Anda di halaman 1dari 17

Konsep Medikalisasi Dalam Pelayanan Kebidanan

Mata Kuliah : Pemberdayaan dalam Praktik Kebidanan


Dosen : Dr. Mufdillah, M.Sc

Disusun Oleh :
Gusrida Umairo
1910102031

PROGRAM STUDI MAGISTER KEBIDANAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH YOGYAKARTA
TAHUN 2020

1
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum. Wr. Wb

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-
Nya yang dilimpahkan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan
Makalah ini untuk memenuhi Mata Kualiah Pemberdayaan dalam Praktik Kebidanan.
Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang Konsep
Medikalisasi dalam Pelayanan Kebidanan bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Allah SWT yang telah memberikan kemudahan kepada penulis dalam


menyelesaikan sistematik literature review ini.
2. Dr. Mufdillah, M.Sc selaku selaku dosen pengajar dari mata kuliah ini.

Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan makalah
ini.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Yogyakarta, Maret 2020

Penulis,

Gusrida Umairo

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................2
DAFTAR ISI ..................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ....................................................................................................4
B. Rumusan Masalah ..............................................................................................5
C. Tujuan .................................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN
A. Medikaisasi .........................................................................................................6
B. Perbedaan medical model dan kebidanan ...........................................................10
C. Medikalisasi dalam pelayanan kebidanan ...........................................................11
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan..........................................................................................................14
B. Saran ..................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................16

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pada era ini, manusia dihadapkan pada berbagai tantangan dalam hidup dan
kehidupannya, terutama dalam bidang kesehatan. Saat ini umat manusia telah
mencapai perkembangan zaman yang sangat pesat dan peradaban yang lebih maju
dalam pembangunan di bidang kesehatan. Manusia telah, sedang dan akan terus
berkarya serta berproduktivitas menciptakan dan mengembangkan sistem
pelayanan kesehatan dan medikalisasi yang lebih modern (Darwis & Mas’ud,
2017).
Selandia baru telah mempunyai peraturan mengenai praktisi kebidanan
sejak tahun 1904, tetapi lebih dari 100 tahun yang lalu, lingkup praktik bidan telah
berubah secara berarti sebagai akibat dari meningkatnya hospitalisasi dan
medikalisasi dalam persalinan. Dari tenaga yang bekerja dengan otonomi penuh
dalam persalinan normal diawal tahun 1900 secara perlahan bidan menjadi asisten
dokter (Tajmiati et al., 2016)
Perkembangan pesat yang terjadi dalam penyelenggaraan sistem medis
yang ditunjang dengan perkembangan di bidang ilmu dan teknologi telah
mengundang berbagai tanggapan dari berbagai kalangan masyarakat. Tanggapan
yang dikemukakan tidak hanya ditujukan pada masalah di tingkat mikro, seperti
pelayanan petugas kesehatan kepada pasien atau tingkat meso, seperti pelayanan
kesehatan di rumah sakit, tetapi juga mencakup seluruh sistem medis dan
penyelenggaraannya dalam masyarakat (Sunarto, 2015).
Medikalisasi sering dikaitkan dengan berbagai hal, misalnya dengan
proses pengendalian sosial karena medikalisasi sering kali disertai dengan
tindakan paksaan, keharusan, larangan dan pembatasan kebebasan demi
mendapatkan keadaan sehat. Bentuk-bentuk tindakan tersebut merupakan bentuk
pengendalian sosial. Medikalisasi berlebih semacam ini menimbulkan
kekhawatiran sehingga muncul proses demedikalisasi (Sunarto, 2015).
Upaya sistem medis untuk mengatasi masalah kesehatan tidak hanya
menghasilkan dampak positif, tetapi juga negatif. Dampak negatif dari pelayanan
medis ini disebut iatrogenesis. Iatrogenesis ini dapat berupa diperolehnya

4
penyakit oleh seseorang ketika berada di rumah sakit, ketergantungan pasien
terhadap pelayanan medis, dan penyerahan kesehatan seseorang kepada “mafia”
sistem medis (Sunarto, 2015).

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan medikalisasi ?
2. Apa perbedaan medical model dan kebidanan ?
3. Bagaimana medikalisasi dalam pelayanan kebidanan ?

C. TUJUAN
1. Mengetahui konsep medikalisasi termasuk dalam pelayana kebidanan
2. Mengetahui perbedaan antara medical model dengan kebidanan
3. Mengetahui medikalisasi dalam pelayanan kebidanan.

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. MEDIKALISASI
Medikalisasi (medicalization) adalah kecenderungan untuk memandang
perilaku yang tidak dikehendaki sebagai penyakit yang memerlukan intervensi medis
sehingga memperluas ruang lingkup penilaian medis ke ranah politik, moral dan
sosial (Jary et al., 1995). Medikalisasi sebagai penempelan merek medis pada
perilaku yang secara moral dan sosial dianggap tak dikehendaki (Abercrombie et al.,
1988).

Menurut Zola ada empat cara medikalisasi seperti berikut ini:


1. Dengan berkembangnya ilmu kesehatan yang menjadi ilmu yang semakin
komprehensif maka ruang lingkup kehidupan manusia yang menjadi sasaran
perhatian ilmu kesehatan pun mengalami ekspansi pula. Untuk dapat menerima
pelayanan kesehatan yang dinilai memadai, dari pasien dituntut semakin banyak
informasi mengenai dirinya, termasuk mengenai kehidupan pribadinya. Sejalan
dengan semakin berkembangnya upaya pencegahan penyakit perluasan pengaruh
ilmu kesehatan ke dalam kehidupan masyarakat pun menjadi semakin besar.
2. Dipertahankannya wewenang atas prosedur teknis tertentu. Ruang lingkup
prosedur teknis yang hanya boleh dilakukan oleh petugas kesehatan, yaitu untuk
melakukan pembedahan dan untuk membuat resep obat, mengalami perluasan.
Kalau semula orang menjalani pembedahan plastik karena memang ada indikasi
diperlukannya prosedur demikian untuk koreksi cacat tubuh maka kini
pembedahan plastik dapat dilakukan karena pertimbangan lain, seperti untuk
meningkatkan daya tarik fisik atau untuk mengubah citra diri. Persalinan yang
sebetulnya dapat berlangsung secara normal dapat diganti dengan persalinan
melalui operasi Caesar. Waktu kelahiran kini dapat diajukan atau diundurkan
untuk jangka waktu tertentu atas permintaan perempuan yang bersalin. Obat
tidak lagi digunakan untuk keperluan kuratif belaka melainkan digunakan pula
oleh orang yang sehat untuk keperluan lain, seperti peningkatan daya ingat dan
keperkasaan.

6
3. Petugas kesehatan mempunyai wewenang khas yang tidak dimiliki orang lain,
yaitu wewenang untuk memeriksa tubuh dan pikiran yang merupakan bagian
paling pribadi seseorang. Dalam kaitan ini, hal yang dapat mempengaruhi
berfungsinya tubuh dan pikiran dianggap sebagai penyakit yang merupakan
masalah medis. Contoh yang diberikan Zola ialah masalah kelahiran. Di masa
lalu kelahiran berlangsung di luar rumah sakit dan pengawasan medis. Kini
pelayanan medis tidak terbatas pada kelahiran, tetapi sudah meluas ke berbagai
bidang terkait, seperti pelayanan sebelum dan sesudah kelahiran, masalah
kemandulan.
4. Ekspansi hal yang dianggap penting oleh ilmu kesehatan ke dalam kehidupan
sehari-hari. Yang dimaksudkan Zola di sini ialah penggunaan retorika dan
pembuktian ilmu kesehatan di bidang lain. Sebagai contoh, ia mengacu kepada
penggunaan istilah seperti “perekonomian yang sehat.” Kita sendiri pun tentu
pernah mendengar istilah seperti “patologi sosial,” “masyarakat yang sakit” atau
“penyakit masyarakat” (Zola, 1994).

Transformasi dalam kehidupan sosial dan kesehatan tentu akan membawa


implikasi positif dan negatif.
1. Implikasi Positif
a. Meningkatnya studi penelitian dan kajian-kajian empiris terhadap berbagai
perilaku sosial dan kesehatan bukan hanya pada lembaga dan pusat-pusat
pelayanan kesehatan namun semakin meluas pada organisasi -organisasi
sosial kesehatan (baik formal, maupun informal dan non formal), stakeholder
dan masyarakat
b. Berkembang luasnya metodologi dalam ilmu sosial dan ilmu kesehatan yang
aplikasikan untuk berbagai jenis penelitian ilmiah dan riset terutama di
bidang sosiologi kesehatan dan antropologi kesehatan, dan khususnya dalam
ilmu kesehatan
c. Berkembang luasnya penggunaan pendekatan etik dan emik dalam kajian atau
riset perilaku sosial kesehatan
d. Berkembangnya teori-teori di bidang ilmu sosial dan ilmu kesehatan
e. Tumbuh kembangnya kesadaran sosial atas pentingnya kesehatan, perilaku
kesehatan yang baik

7
f. Sikap dan tindakan (perilaku) kesehatan yang pro-kehidupan semakin
meningkat dan meluas
g. Paradigma tentang kesehatan semakin luas diintegrasikan dengan bidang
sosial dan semakin banyak dikorelasikan dengan bidang-bidang lainnya
h. Berkembangluasnyapenggunaan teknologidanindustrialisasi dalam hubungan
pelayanan kesehatan sosial
i. Meningkatnya ketersediaan SDM tenaga medis- paramedik dalam pelayanan
kesehatan sosial baik kuantitas maupun kualitas
j. Meningkatnya lembaga dan fasilitas pelayanan kesehatan sosial baik
kuantitas maupun kualitas
k. Meningkat dan meluasnya transfer ilmu pengetahuan terutama dalam ilmu
sosial kesehatan, ilmu kesehatan sosial, sosiologi kesehatan, serta ilmu
lainnya yang relevan.
l. Meningkat dan meluasnya penggunaan teori-teori sosial dalam mengkaji,
menganalisis dan memecahkan masalah- masalah perilaku kesehatan. Dan
implikasi positif lainnya (Darwis & Mas’ud, 2017).
2. Implikasi Negatif
a. Sistem medikalisasi telah menciptakan globalisasi dan liberalisasi serta
sekulerisasi dalam sistem pelayanan kesehatan modern, yang berdampak luas
terhadap melebarnya kesenjangan (gap) dalam perolehan hak-hak dan akses
pelayanan kesehatan
b. Sistem medikalisasi modern telah menciptakan kriminalisasi dan viktimisasi
terhadap sistem medis etnisitas dan tradisional serta nilai-nilai sosial budaya
c. Sistem medikalisasi modern menumbuhkembangkan dan mengakselerasi
praktek kapitalisasi, high cost serta komersialisasi dalam pelayanan kesehatan
d. Sistem medikalisasi modern telah menumbuhkembangkan perilaku gaya
hidup dalam memperoleh pelayanan kesehatan
e. Sistem medikalisasi modern cenderung memandang paramedis - tenaga medis
sebagai robot dan sekaligus dijadikan sebagai bagian dari program
industrialisasi dan korporatisasi
f. Industrialisasi, korporatisasi, serta teknologisasi dan modernisasi di bidang
kesehatan cenderung semakin memperbesar struktur dan infrastruktur serta

8
suprastruktur pelayanan kesehatan, namun pada sisi lain semakin
mendegradasi nilai-nilai fungsional dan moralitas, memarginalkan nilai-nilai
humanisme dan harkat martabat
g. Sistem medikalisasi modern cenderung lebih dominan memandang pasien
dan masyarakat sebagai target kepentingan ekonomi semata atau obyek
komersialisasi, target untuk memperoleh keuntungan materi yang banyak dan
kekayaan
h. Sistem pelayanan kesehatan semakin banyak diselimuti konflik kepentingan,
konflik pelayanan, konflik kekuasaan dan proyekisme, konflik dan
overlapping kebijakan dan telah menciptakan, program
i. Pusat-pusat pelayanan kesehatan seperti rumah sakit, puskesmas, poliklinik,
balai pengobatan, tempat tempat praktek dan lainnya, semakin tumbuh dan
berkembang, namun cenderung semakin banyak memunculkan berbagai
perilaku persaingan tidak sehat dan konflik kepentingan
j. Kebijakan dan program - program di bidang kesehatan dan pelayanannya
cenderung lebih banyak dikelola secara proyekisme, manipulatif, praktek
kongkanglingkong, diskriminatif serta tidak efektif
k. Ketersediaan tenaga SDM di bidang kesehatan (termasuk kedokteran,
keperawatan dan kebidanan) dengan jumlah (kuantitas) yang ada, cenderung
belum sepenuhnya dibarengi dengan dukungan kualitas dan profesionalisme
l. Kesenjangan SDM di kalangan tenaga medis - paramedik semakin meningkat
dan meluas
m. Pengetahuan, keterampilan dan pengalaman dalam pelayanan kesehatan (baik
tentang penyakit, gizi dan makanan, pendidikan kesehatan, dan administrasi
pelayanan publik di rumah sakit dan puskesmas, maupun yang lainnya),
cenderung belum didukung penguasaan teori-teori atau pendekatan ilmu-ilmu
sosial dan perilaku (Darwis & Mas’ud, 2017).

Transformasi dalam kehidupan sosial dan kesehatan tersebut mengisyaratkan


bahwa, dalam sistem pelayanan kesehatan, tidak melulu harus mengandalkan
pengetahuan dan keterampilan (kompetensi) teknis dan manajerial, melainkan sangat
penting mengedepankan pendekatan kompetensi sosial dan stratejik, termasuk
kompetensi spiritual. Ada banyak teori yang relevan terkait hal itu yang dapat

9
diterapkan – diamalkan – diasosiasikan serta disosialisasikan dalam menghadapi
berbagai tantangan dan mengatasi berbagai permasalahan dalam bidang kesehatan dan
sistem pelayanannya. Oleh karena itu, teori pendekatan sosial (TPS) dalam kesehatan
semakin urgen dan strategis untuk diinternalisasikan guna mengatasi atau
meminimalisir implikasi negatif dari transformasi kesehatan sosial serta
mengefektifkan penyelenggaraan sistem pelayanan kesehatan (Darwis & Mas’ud,
2017).

B. Perbedaan model medical dan kebidanan


Medical model merupakan salah satu model yang dikembangkan untuk
membantu manusia dalam memahami proses sehat dan sakit dalam arti kesehatan.
Model ini sering digunakan dalam bidang kedoteran dan lebih fokus pada proses
penyakit dan mengobati ketidaksempurnaan. Yang tecakup dalam model ini adalah
1. berorientasi pada penyakit
2. menganggap bahwa akal/pikiran dan badan terpisah
3. manusia menguasai alam
4. yang tidak biasa menjadi menarik
5. pasien berperan pasif
6. dokter yang menentukan (Tajmiati et al., 2016)

Model ini kurang cocok untuk kebidanan karena terlalu berorientasi pada penyakit
dan tidak memberika pasien menentukan keinginannya sendiri. Tapi masih banyak
yang terpengaruhi dengan model ini. berikut ini akan diberikan gambaran bagaimana
perbedaan pandangan mengenai kehamilan sesuai medical model dan falsafah
kebidanan.

10
Medical model Model kebidanan
Orientasi pada penyakit X filosofi asuhan Orientasi pada manusia sehat mengikuti
kebidanan proses alamiah
Manusia (bidan) sebagai kontrol terhadap Kondisi fisiologis
alam (mempercepat proses seharusnya
dapat berjalan secara alamiah)
Memahami individu dari bio dan body Holistic approach (bio-psiko sosio
cultural spirit)
Bidan berorientasi pada pengobatan Orientasi sehat
penyakit
Manusia dipisahkan dari lingkungan Keduanya saling mempengaruhi
dimana kesehatan individu lebih
diprioritaskan daripada kesehatan manusia
Adanya spesialis asuhan asuhan Komprehensif Minimalis intervensi
mengutamakan high teknologi
Dokter sebagai kontrol, peran pasien pasif, Pasien sebagai objek
informasi terbatas pada pasien
Fokus pada kondisi pasien Mencakup lingkungan
Outcome yang diharapkan ibu dan bayi Outcome yang diharapkan ibu dan bayi
hidup dan sehat yang hidup dan sehat dan kepuasan akan
kebutuhan individu
(Sumber : Dr. Atit Tajmiati, S.Kep. et al., 2016)

C. Medikalisasi dalam pelayanan kebidanan


1. Medikalisasi mengenai persalinan
Greene (2007) menyimpulkan bahwa medikalisasi persalinan di Eropa
berawal pada abad ke-18, manakala kelahiran yang semula ditangani kerabat
atau bidan perempuan mulai ditangani dokter laki-laki dan berbagai alat bantu
medis mulai digunakan dalam kelahiran. Pada abad ke-19 mulai digunakan obat
untuk mengurangi rasa sakit waktu bersalin. Pada abad tersebut perempuan di
Inggris, banyak di antaranya dari kalangan kelas bawah, mulai ada yang bersalin
di rumah sakit. Dalam periode berikutnya medikalisasi persalinan berbentuk
semakin besarnya peran ahli kandungan menggantikan peran bidan dan semakin
diterapkannya prosedur medis, seperti penggunaan monitor, pemberian obat-
obatan, dan tindakan bedah seperti episiotomi (pelebaran vagina untuk

11
memudahkan persalinan) dan operasi Caesar, serta pengkategorian perempuan
yang bersalin di rumah sakit sebagai pasien (Greene, 2007)
2. Medikalisasi mengenai sindrom premenstruasi dan menopause.
Menopause yang semula dianggap sebagai bagian normal dalam
perkembangan tubuh perempuan kemudian dikonstruksikan sebagai gangguan
kesehatan yang memerlukan penanganan medis. Medikalisasi berbentuk
dikategorikannya menopause sebagai masalah “defisiensi hormon” karena
“kegagalan ovarium” yang dapat diatasi dengan prosedur “terapi penggantian
hormon” (hormone replacement therapy)— suatu pandangan bidang medis yang
mendapat dukungan kuat dari industri farmasi (Boston Women’s Health Book
Collective., 2006). Hal yang sama dikemukakan Kearl (2008) salah satu bentuk
medikalisasi ialah medikalisasi penuaan, dalam mana proses yang semula
dianggap normal semakin menuntut keterlibatan dan tuntunan bidang medis
(Kearl, 2008).
Mackey mengemukakan bahwa konstruksi sosial menopause sebagai
masalah kesehatan terkait dengan proses medikalisasi di abad ke-20: semenjak
menopause dikaitkan dengan defisiensi estrogen maka sejumlah simtom
menopause dianggap sebagai indikasi masalah medis yang memerlukan
penanganan preventif dan kuratif. Ditemukannya terapi estrogen memungkinkan
penanganan menopause secara medis (Mackey, 2004).
Mackey mengemukakan bahwa dalam berbagai masyarakat, terutama
masyarakat Barat, menopause cenderung dikonstruksikan sebagai suatu masalah
kesehatan berjangka panjang yang membawa dampak negatif bagi kaum
perempuan. Secara budaya menopause dikaitkan dengan berbagai masalah
seperti ialah hilangnya fertilitas, hilangnya kewanitaan, dan penuaan (Mackey,
2004).
Mackey mengemukakan bahwa menopause, yang merupakan suatu gejala
normal dalam siklus hidup kaum perempuan, dapat dikonstruksikan secara sosial
sebagai suatu masalah kesehatan berjangka panjang yang berdampak negatif.
Pandangan dominan ini tidak diimbangi dengan pandangan lain, menurut
Mackey kita jarang dapat menemukan tulisan yang mengemukakan pandangan
bahwa menopause merupakan sesuatu gejala yang netral atau normal atau

12
bahkan berdampak positif. Padahal menurutnya berbagai penelitian pun
menunjukkan bahwa sebagian besar kaum perempuan tidak merasa terganggu
oleh menopause dan juga tidak mengupayakan tindakan medis untuk
mengatasinya (Mackey, 2004).
3. Medikalisasi dalam Female Genital mutilation (Sunat Perempuan)
Sunat perempuan atau disebut Female Genetal Mutilation (FGM)
merupakan prosedur yang melibatkan pemnghapusan sebagian atau semua alat
kelamin eksternal perempuan, atau menciderai organ genetalia dengan alasan
non medis (WHO 2014).
Berdasarkan Permenkes Nomor 6 Tahun 2014 bahwa sunat perempuan
hingga saat ini tidak merupakan tindakan kedokteran karena pelaksanaannya
tidak berdasarkan indikasi medis dan belum terbukti bermanfaat bagi kesehatan;
bahwa berdasarkan aspek budaya dan keyakinan masyarakat Indonesia hingga
saat ini masih terdapat permintaan dilakukannya sunat perempuan yang
pelaksanaannya tetap harus memperhatikan keselamatan dan kesehatan
perempuan yang disunat, serta tidak melakukan mutilasi alat kelamin perempuan
(female genital mutilation); bahwa Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
1636/Menkes/Per/XII/2010 tentang Sunat Perempuan dipandang tidak sesuai
lagi dinamika perkembangan kebijakan global (Kesehatan 2015).
Prosedur tindakan FGM diketahui tidak memiliki manfaat kesehatan.
Bahkan dapat menimbulkan kerusakan jaringan genetal yang sehat dan
mengganggu fungsi alami tubuh, selain itu dapat beresiko jangka panjang atau
seumur hidup. Menurut WHO (World Health Organization n.d.), terdapat
beberapa komplikasi dari FGM, antara lain:
1. Prosedur FGM yang menyakitkan dan menimbulkan traumatis
2. Penggunaan alat yang tidak steril oleh praktisi tradisional yang tidak
memiliki pengetahuan tentang anatomi wanita dan dalam menangani adanya
komplikasi
3. Kerusakan dan menghilangkan jaringan genetalia yang sehat dalat
mengganggu fungsi alami tubuh dan dapat menyebabkan gangguan jangka
pendek maupun jangka panjang

13
4. Penghapusan struktur sensitif seksual yaitu kelenjar klistoris, labia minora
dilaporkan mengurangi respon seksual. Selain itu bekas luka pada area vulva
menyebabkab jaringan parut yang menimbulkan rasa sakit saat berhubungan
seksual. WHO (WHO 2014) telah memperingatkan tentang timbulnya
peningkatan risiko kematian ibu dan bayi pada wanita yang disunat. Hal ini
berdasarkan pada penelitian yang dilakukan pada wanita yang pernah disunat
di enam Negara Afrika, yaitu didapatkan hasil bahwa 30% lebih banyak yang
harus section caesaria, 66% lebih banyak bayi lahir yang harus diresusitasi,
dan 50% lebih banyak anak meninggal dalam kandungan maupun lahir mati
dibandingkan pada wanita yang tidak sunat.

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN

14
Medikalisasi ialah kecenderungan untuk memandang perilaku yang tidak
dikehendaki sebagai penyakit yang memerlukan intervensi medis sehingga
memperluas ruang lingkup penilaian medis ke ranah politik, moral dan sosial.
Medikalisasi menyebabkan dampal positif dan negatif. Namun pada era ini banyak
sekali medikalisasi banyak mengalami dampak negatignya daripada dampak positif
seperti; Sistem medikalisasi telah menciptakan globalisasi dan liberalisasi serta
sekulerisasi dalam sistem pelayanan kesehatan modern, yang berdampak luas
terhadap melebarnya kesenjangan (gap) dalam perolehan hak-hak dan akses
pelayanan kesehatan, menciptakan kriminalisasi dan viktimisasi terhadap sistem
medis etnisitas dan tradisional serta nilai-nilai sosial budaya, menumbuh
kembangkan dan mengakselerasi praktek kapitalisasi, high cost serta komersialisasi
dalam pelayanan kesehatan, menumbuh kembangkan perilaku gaya hidup dalam
memperoleh pelayanan kesehatan serta sistem medikalisasi modern cenderung
memandang paramedis - tenaga medis sebagai robot dan sekaligus dijadikan sebagai
bagian dari program industrialisasi dan korporatisasi. Sebagai contoh yang sudah
dibahas diatas mengenai medikalisasi persalinan, pada zaman dahulu persalinan
dianggap sesuatu uang fisiologis dan penolong persalinan ialah bidan. Pada era ini
persalina banyak sekali intervensinya seperti untuk mengurang rasa nyeri diberikan
obat, persalinan normal banyak dilakukan oleh dokter walaupun dalam kasus normal,
bidan hanya sebagai asisten.
Medikalisasi pada sunat perempuan (Female Genital Mutilation). Prosedur
tindakan FGM diketahui tidak memiliki manfaat kesehatan. Bahkan dapat
menimbulkan kerusakan jaringan genetal yang sehat dan mengganggu fungsi alami
tubuh, selain itu dapat beresiko jangka panjang atau seumur hidup.
Medical model merupakan salah satu model yang dikembangkan untuk
membantu manusia dalam memahami proses sehat dan sakit dalam arti kesehatan
Model ini kurang cocok untuk kebidanan karena terlalu berorientasi pada penyakit
dan tidak memberikan pasien menentukan keinginannya sendiri. Ciri-ciri medical
model ialah berorientasi pada penyakit, menganggap bahwa akal/pikiran dan badan
terpisah, manusia menguasai alam, yang tidak biasa menjadi menarik , pasien
berperan pasif serta dokter yang menentukan

15
B. SARAN
Dengan adanya medikalisasi dalam pelayanan kebidanan kita seharusnya lebih
memfilter mana dampak medikalisasi yang positif dan negarif. Transformasi
dalam kehidupan sosial dan kesehatan tersebut mengisyaratkan bahwa, dalam
sistem pelayanan kesehatan, tidak melulu harus mengandalkan pengetahuan dan
keterampilan (kompetensi) teknis dan manajerial, melainkan sangat penting
mengedepankan pendekatan kompetensi sosial dan stratejik, termasuk kompetensi
spiritual. Dengan perkataan lain, apapun perencanaan dan praktek kesehatan serta
tindakan-tindakan medis yang dijalankan oleh penyelenggara pelayanan kesehatan
(rumah sakit/ puskesmas dan semacamnya, paramedis-petugas medis ataupun
semacamnya) maka tidak selayaknya mengabaikan - mengesampingkan
pendekatan sosial. Pendekatan sosial, tentunya sangat penting berlandaskan
kepada teori-teori sosial ataupun teori - teori pendekatan sosial dalam sistem
pelayanan kesehatan

DAFTAR PUSTAKA

Abercrombie, Nicholas, Hill, S., & Turne, B. S. (1988). The Penguin Dictionary of
Sociology. Penguin.

16
Boston Women’s Health Book Collective. (2006). The Politics of Women’s Health: The
Medicalization of Menopause. In In Our Bodies Ourselves: Menopause. Health
Resource Center.

Darwis, & Mas’ud, H. (2017). Kesehatan Masyarakat dalam Perspektif Sosioantropologi


(1st ed.). CV SAH MEDIA.

Greene, E. (2007). Elena Greene’s Notes on History of Pregnancy and Childbirth:


Pregnancy and Childbirth for the Historical Author.
http://www.elenagreene.com/childbirth.html.%0D

Jary, David, & Jary, J. (1995). Collins Dictionary of Sociology (2nd ed.). HarperCollins
Publishers.

Kearl, M. C. (2008). Death and Medicine. In In Kearl’s Guide to the Sociology of Death.
Medicine.

Kesehatan, K., 2015. Pemenkes RI No 6 Tahun 2014. International Encyclopedia of the


Social & Behavioral Sciences: Second Edition, pp.878–882.
Mackey, S. (2004). The Construction of Menopause as a Problematic State of Health:
The Influence of Symptom Checklists and Clinical Samples. Proceedings of the
TASA 2004 Conference, La Trobe University.
http://www.tasa.org.au/conferencepapers04/docs/HEALTH/MACKEY%25 20.pdf

Sunarto, K. (2015). Sosiologi Kesehatan (5th ed.). Universitas Terbuka.

Tajmiati, A., Astuti, E. W., & Suryani, E. (2016). Konsep Kebidanan dan Etikolegal
dalam Praktik Kebidanan (1st ed.). Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

WHO, 2014. Female genital mutilation, Switzerland.


Zola, I. K. (1994). Medicine as an institution of social control. The Sociology of Health
and Illness, 392–402.

17

Anda mungkin juga menyukai