Anda di halaman 1dari 4

BAB I

LATAR BELAKANG

I.1 Latar Belakang

Infeksi cacing merupakan permasalahan kesehatan dunia. Saat ini

diperkirakan lebih dari 1,5 miliar orang (24% dari populasi dunia) terinfeksi oleh

parasit cacing(1). Masalah kecacingan merupakan masalah yang serius di

Indonesia. Angka infeksi cacing mencapai 28% dari penduduk Indonesia pada

tahun 2013(2). Kecacingan sering terjadi pada anak-anak, diperkirakan sekitar 600

juta anak usia sekolah beresiko tinggi terinfeksi parasit cacing di seluruh dunia (1).

Disebabkan kondisi sanitasi dan hygiene yang kurang memenuhi syarat

kesehatan(3). Penderita kecacingan seringkali tidak menunjukkan gejala apapun,

namun infeksi yang berat dapat menyebabkan gangguan penyerapan makanan,

gangguan pertumbuhan, obstruksi usus hingga anemia akibat kurang gizi (4).

Berdasarkan media penularannya cacing pencernaan terbagi 2 golongan, yaitu

cacing soil transmitted helminth (STH) yang media penularannya melalui tanah

dan non STH yang media penularannya tidak melalui tanah(5).

Cacing gelang usus yang akan diteliti adalah Ascaridia galli dan cacing

pita usus Raillietina sp sebagai hewan uji. Ascaridia galli merupakan nematoda

yang memiliki genus yang mirip dengan nematoda usus manusia Ascaris

lumbricoides dan merupakan nematoda intestinal terbesar yang hidup dilumen

usus ayam(6). Infeksi cacing ini menyebabkan sayap ayam melemah dan

mengalami penurunan berat badan(7). Sedangkan Raillietina sp merupakan parasit

cacing pita intestinal terpanjang yang dapat ditemukan diusus ayam(8).

1
2

World Health Organization merekomendasikan albendazol dan mebendazol

untuk mengobati infeksi STH(9). Meskipun efektif, obat-obatan tersebut memiliki efek

samping seperti nyeri ulu hati, diare, sakit kepala, mual, lemah, pusing dan insomnia.

Obat-obatan ini juga dikontraindikasikan bagi wanita hamil serta menyusui, penderita

sirosis hati dan keamanan pemakaian pada anak-anak dibawah umur 2 tahun belum dapat

dipastikan(10-12). Hal ini menjadi pertimbangan terhadap penggunaan bahan-bahan dari

alam yang memiliki efek antelmintik sebagai obat cacing alternatif. Telah dilakukan

penelitian terhadap beberapa tanaman yang terbukti memiliki pengaruh terhadap

mortalitas dan kematian cacing, diantaranya akar dan daun tanaman putri malu, daun

ketepeng cina dan biji pinang(8,13,14). Kandungan zat pada tanaman yang memiliki daya

antelmintik adalah tanin, fenol, alkaloid dan saponin(15,16).

Beberapa tanaman telah di lakukan penelitian sebagai antelmintik namun

belum ada penggunaan bahan alam berupa biota laut sebagai antelmintik. Potensi

biota laut sebagai sumber bahan bioaktif baru banyak diteliti dalam tahun-tahun

terakhir, meskipun belum sebanyak penelitian terhadap biota darat. (17) Salah satu

biota laut yang berpotensi menghasilkan senyawa bioaktif adalah teripang yang

juga dikenal dengan nama sea cucumber, mentimun laut. Teripang adalah jenis

biota laut yang tersebar di perairan Indonesia, salah satunya teripang keling

(Holothuria leucospilota Brandt.). Jenis teripang ini dapat ditemukan di perairan

pulau Lemukutan, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat.(18) H. leucospilota

memiliki bioaktivitas yang tinggi dan perlu dilakukan penelitian lebih lanjut

sebagai bahan baku obat(19). Penelitian sebelumnya H. leucospilota mengandung

golongan senyawa steroid(18), triterpenoid(20,21), fenolik(22), flavonoid(23), triterpen

glikosida (saponin)(18) yang berpotensi sebagai antijamur (24), antibakteri(24),


3

antiinflamasi(18), antioksidan(22,25) dan antitumor(25). Penelitian mengenai daya

antelmintik dari teripang dilakukan dengan teknik fraksinasi menggunakan pelarut

etil asetat. Pelarut etil asetat merupakan pelarut dengan toksisitas rendah yang

digunakan untuk mengekstrak senyawa dengan polaritas menengah, seperti

flavonoid, fenolik, tanin dan triterpenoid(26). Untuk itu perlu dilakukan pembuktian

daya anticacing dari fraksi etil asetat teripang sehingga selanjutnya dapat

digunakan oleh masyarakat dalam upaya meningkatkan kesembuhan penderita

kecacingan. Beberapa zat yang terkandung didalam H. leucospilota diperkirakan

memiliki daya antelmintik, namun hingga saat ini masih belum ada penelitian

yang secara ilmiah membuktikan hal tersebut.

Berdasarkan latar belakang tersebut peneliti tertarik untuk meneliti daya

antelmintik fraksi etil asetat teripang keling (Holothuria leucospilota Brandt.)

terhadap cacing Ascaridia galli dan Raillietina sp secara in vitro.

I.2 Rumusan Masalah

Permasalahan yang dapat diangkat dalam penelitian ini adalah :

1. Apakah fraksi etil asetat teripang memiliki daya antelmintik pada cacing

Ascaridia galli dan Raillietina sp?

2. Berapakah konsentrasi fraksi etil asetat teripang yang dapat memberikan

daya antelmintik pada cacing Ascaridia galli dan Raillietina sp?

I.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan :

1. Untuk mengetahui daya antelmintik fraksi etil asetat teripang terhadap

cacing Ascaridia galli dan Raillietina sp.


4

2. Untuk mengetahui konsentrai fraksi etil asetat teripang yang dapat

memberikan daya antelmintik pada cacing Ascaridia galli dan Raillietina

sp.

I.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah :

1. Bagi Peneliti, dapat mengembangkan ilmu dan mengaplikasikannya untuk

memperoleh dan mengetahui pengaruh pemberian fraksi etil asetat

teripang (Holothuria leucospilota Brandt.) terhadap Ascaridia galli dan

Raillietina sp. secara in vitro yang berpotensi sebagai antelmintik.

2. Bagi institusi pendidikan, menambah literatur, ilmu pengetahuan dan

wawasan dibidang daya antelmintik dari bahan alam yang belum banyak

diteliti.

3. Bagi masyarakat, memberikan informasi mengenai manfaat bahan alam

sebagai terapi antelmintik dan meningkatkan potensi dan nilai guna biota

laut dalam usaha pelestarian serta produksi.

Anda mungkin juga menyukai