Anda di halaman 1dari 7

510

SOSIETAS, VOL. 8, NO. 2, 2018

FAKTOR-FAKTOR YANG MELATARBELAKANGI FENOMENA


BUNUH DIRI DI GUNUNGKIDUL
Ayu Ariyana Mulyani, Wahyu Eridiana
Universitas Pendidikan Indonesia
Email: ayuariyana.mulyani@student.upi.edu

Abstrak Bunuh diri adalah upaya yang dilakukan seseorang yang lebih memilih kematian dari pada kehidupan,
dengan cara membunuh diri sendiri secara sengaja. Bunuh diri merupakan permasalahan sosial, yaitu
adanya ketidaksesuaian dalam masyarakat, di mana pada umumnya kebanyakan orang menunda
kematian dengan melakukan segala upaya. Namun seseorang malah melakukan tindakan nekat yang
dipantangkan oleh seluruh agama. Faktor-faktor yang menyebabkan tingginya angka bunuh diri di
Gunungkidul yaitu faktor individu, di mana masyarakat tertutup ketika menghadapi masalah dan kurang
mampu meresolusi masalah yang dihadapi. Faktor sosial, di mana masyarakat jauh dari keluarga dan
rendahnya mobilitas. Faktor ekonomi, di mana masyarakat masih banyak yang bekerja keras di usia
lanjut dan terserang sakit menahun. Tidak ada hubungan antara mitos pulung gantung dengan fenomena
bunuh diri di Gunungkidul. Persepsi mengenai mitos pulung gantung menyamarkan permasalahan yang
sebenarnya terjadi pada korban sehingga memilih bunuh diri sebagai jalan keluar dari permasalahan
yang dihadapi.
Kata kunci: Bunuh Diri, Faktor, Mitos, Pulung Gantung.

1 PENDAHULUAN yang telah maju dalam bidang industri.


Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi
Satu fase yang pasti akan dilalui oleh seluruh mendorong meningkatnya angka bunuh diri,
makhluk di muka bumi yaitu kematian. Berbicara sehingga muncul pandangan bahwa kebanyakan
mengenai kematian secara wajar tidak lagi yang melakukan tindakan bunuh diri identik
menjadi sebuah soal, karena masing-masing dengan seseorang yang menguasai ilmu
individu telah memiliki tatanan hidup yang telah pengetahuan dan teknologi, modern, namun
digariskan oleh Yang Maha Kuasa. Namun, kurang dalam hal keagamaan dan tinggal di
ketika berbicara mengenai kematian yang dapat daerah perkotaan. Sehingga sering disimpulkan
dikatakan mendahului garis yang telah ditetapkan bahwa angka bunuh diri di perdesaan lebih sedikit
oleh Yang Maha Kuasa dalam arti dengan dibandingkan dengan angka bunuh diri yang ada
melakukan tindakan bunuh diri, maka itu menjadi di perkotaan (Al-Husain, 2005, hlm. 4-5). Namun
sebuah persoalan yang perlu dikaji untuk tidak demikian dengan Gunungkidul, fenomena
diketahui sebab yang melatarbelakangi tindakan bunuh diri di sana seperti tidak pernah ada
tersebut. habisnya, kasus demi kasus terjadi dari satu
Bunuh diri merupakan tragedi masyarakat kecamatan ke kecamatan lainnya bahkan dari satu
yang akhir-akhir ini banyak terjadi dalam dusun ke dusun lainnya. Dibalik keindahan alam
kehidupan masyarakat. Mulai dari bunuh diri yang dimiliki oleh Gunungkidul, terdapat rekam
yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi jejak bunuh diri yang mencemaskan pada
sampai bunuh diri yang dilakukan secara terang- masyarakat di sana.
terangan, sampai ditayangkan di media sosial. Bunuh diri masih menjadi salah satu penyebab
Menurut WHO (World Health Organization) tingginya angka kematian di Gunungkidul.
bunuh diri merupakan tiga penyebab terbesar Merujuk pada data kejadian bunuh diri di
kematian diberbagai negara. Kurang lebih Gunungkidul yang diolah oleh Yayasan Imaji
terdapat 800.000 orang mencoba melakukan (Inti Mata Jiwa) berdasarkan data yang diperoleh
tindakan bunuh diri setiap tahunnya. dari Polres Kabupaten Gunungkidul, mencatat
Beberapa sumber yang peneliti baca kasus bunuh diri terus meningkat sejak tahun
menyebutkan bahwa bunuh diri adalah persoalan 2001 s.d. 2007 dan kasus terbanyak yang pernah
klasik, namun dianggap sebagai fenomena terjadi yaitu pada tahun 2007 yang mencapai 39
peradaban yang tersebar luas di negara-negara kasus. Kemudian jumlah bunuh diri dilihat dari
511
SOSIETAS, VOL. 8, NO. 2, 2018

sebaran kejadian per wilayah kecamatan dalam berbeda pula, dan menghasilkan arus sosial yang
rentang tahun 2015-2017 (sampai bulan Mei), berbeda. Arus sosial itulah yang mempengaruhi
kejadian bunuh diri banyak terjadi di Wonosari keputusan individu tentang tindakan bunuh diri.
yang merupakan ibu kota kabupaten dan menjadi Dengan kata lain, perubahan kesadaran kolektif
salah satu wilayah perkembangan sosial, ekonomi masyarakat akan membawa perubahan dalam arus
dan budaya Gunungkidul (jalur transportasi sosial, yang pada akhirnya menyebabkan
utama). Dalam kurun waktu dua tahun lebih lima perubahan di dalam angka bunuh diri. Faktor
bulan, terjadi 12 kasus bunuh diri di Kecamatan psikologis dapat menjelaskan mengapa seorang
Wonosari. individu melakukan bunuh diri, sedangkan fakta
Kasus bunuh diri di Gunungkidul menyerupai sosial dapat menjelaskan mengapa satu kelompok
gunung es yang hanya terlihat puncaknya, namun mempunyai angka bunuh diri yang lebih tinggi
begitu besar ketika melihat bagian dasarnya. dari pada kelompok lainnya. Penelitian ini akan
Seperti itulah fenomena bunuh diri di menjelaskan apa saja yang menjadi faktor yang
Gunungkidul, artinya angka yang berhasil melatarbelakangi tingginya angka bunuh diri di
terkumpul boleh jadi hanya kasus yang tertangani Gunungkidul dengan metode campuran strategi
saja. Sementara bisa jadi masih banyak kasus Sequential exploratory.
bunuh diri yang belum ditangani oleh aparat
kepolisian maupun bagian kesehatan. Kasus 2 METODE
bunuh diri di Gunungkidul merupakan sebuah
tragedi kemanusiaan yang mana sebabnya masih Penelitian ini diteliti dengan metode
menjadi sebuah misteri. Pasalnya masyarakat di campuran (mix method), yang menggabungkan
sering mengaitkan kasus bunuh diri dengan mitos antara pendekatan kuantitatif dan pendekatan
pulung gantung. kualitatif. Metode ini dipilih karena dalam
Secara umum tindakan bunuh diri dipandang memahami tingginya angka bunuh diri pada
sebagai tindakan paling personal, artinya faktor masyarakat Gunungkidul tidak hanya dapat dikaji
yang melatarbelakangi seseorang melakukan dengan mengeksplorasi pandangan partisipan
tindakan bunuh diri hanya faktor psikologis. melalui hasil observasi, wawancara, studi
Keputusan dalam melakukan tindakan tersebut dokumentasi dan studi literatur saja, melainkan
dilakukan tanpa dipengaruhi oleh orang lain, juga diukur melalui model matematis melalui
sehingga banyak orang berpendapat bahwa proses pengukuran seperti pada pendekatan
tindakan bunuh diri didasarkan pada gangguan kuantitatif dengan sampel yang lebih luas untuk
kejiwaan seseorang. Namun faktor yang mengetahui faktor-faktor yang melatarbelakangi
mendorong seseorang melakukan tindakan bunuh tingginya angka bunuh diri di Gunungkidul
diri bukan hanya faktor psikologis saja, faktor (Creswell, 2015, hlm. 81).
sosial memiliki peran besar pula dalam memicu Dalam penelitian ini peneliti menggunakan
terjadinya tindakan bunuh diri. Stengel (dalam strategi sequential exploratory. Strategi sequential
Al-Husain, 2005, hlm. 4) mengungkapkan bahwa exploratory merupakan strategi yang cukup
bunuh diri merupakan tindakan pribadi yang populer dalam penelitian metode campuran (mix
berkaitan erat dengan faktor-faktor sosial, di method) (Creswell, 2015, hlm. 317). Strategi ini
mana seseorang tidak akan dapat dipahami digunakan oleh peneliti karena dalam proses
terlepas dari sistem sosial di mana dia hidup di penelitian lebih condong pada proses kualitatif, di
dalam sistem tersebut. mana pada tahap pertama peneliti menggunakan
Bunuh diri bukan saja sekedar tingkah laku pendekatan kualitatif untuk mengetahui latar
yang nekat mengakhiri hidup yang dipantangkan belakang masalah bunuh diri yang terjadi pada
oleh seluruh agama, tersimpan kunci pemahaman masyarakat melalui informasi kondisi masyarakat
rahasia kehidupan yang kompleks dalam Gunungkidul dan faktor yang mempengaruhi
fenomena bunuh diri (Darmaningtyas, 2002, hlm. tingginya angka bunuh diri. Kemudian data
1-2). Fenomena bunuh diri di satu daerah dan kualitatif yang telah terkumpul dianalisis untuk
daerah lainnya belum tentu sama, hal yang kemudian diikuti pengumpulan dan analisis data
membedakan adalah faktor yang melatarbelakangi kuantitatif pada tahap kedua yang didasarkan
fenomena itu terjadi. pada hasil tahap pertama, yaitu untuk mengetahui
Terdapat sebab sosial yang cukup menentukan hubungan mitos pulung gantung dengan tingginya
dalam fenomena bunuh diri. Durkheim (dalam angka bunuh diri masyarakat Gunungkidul.
Ritzer, 2012, hlm. 156-159) menjelaskan Pada tahap kualitatif, peneliti menggunakan
perbedaan level fakta sosial yang disebabkan oleh beberapa teknik pengumpulan data diantaranya
berbedanya kesadaran kolektif dalam suatu observasi, wawancara, studi dokumentasi, dan
masyarakat, mempengaruhi perbedaan angka studi literatur. Selanjutnya peneliti menguji
bunuh diri di masyarakat. Masyarakat yang keabsahan data dengan cara triangulasi dan
berbeda memiliki kesadaran kolektif yang member check. Kemudian menganalisis data
512
SOSIETAS, VOL. 8, NO. 2, 2018

menggunakan analisis model Miles and diketahui sebab yang melatarbelakangi tindakan
Huberman. tersebut.
Tahap selanjutnya yang dilakukan dalam Bunuh diri merupakan fenomena sosial.
penelitian ini yaitu mencari data kuantitatif untuk Artinya, yang melatarbelakangi seseorang
menjelaskan hubungan yang ditemukan dalam melakukan tindakan bunuh diri yaitu karena
data kualitatif, yaitu mengenai hubungan mitos pengaruh-pengaruh yang ada di lingkungan
pulung gantung dengan fenomena bunuh diri. masyarakat. Fenomena bunuh diri pada
Pada tahap ini, pengumpulan data diikuti oleh masyarakat Gunungkidul dipengaruhi oleh
partisipan yang jumlahnya lebih besar, dipilih beberapa faktor, diantaranya faktor individu
secara random dan acak dengan tujuan untuk (tertutup ketika menghadapi masalah dan kurang
menyempurnakan dan memperluas temuan resolusi terhadap masalah yang dihadapi), faktor
kualitatif (Creswell, 2010, hlm. 1110). Teknik sosial (jauh dari keluarga dan rendahnya
pengumpulan data kuantitatif dilakukan dengan mobilitas), faktor ekonomi (masyarakat masih
menggunakan kuisioner. Pengumpulan data pada banyak yang bekerja keras di usia lanjut dan
tahap kedua (kuantitatif) ini bertujuan untuk terjangkit sakit menahun), dan faktor budaya.
menguji hipotesis yang bersumber dari hasil Dalam mencari faktor-faktor penyebab dari
pengumpulan data pada tahap pertama (kualitatif) tindakan bunuh diri seseorang, ada pernyataan
yang dilakukan melalui proses wawancara, menarik yang disampaikan Durkheim dalam
observasi, studi literatur dan studi dokumentasi. bukunya. Menurutnya, “apabila ingin mencari
Analisis data yang dilakukan pada tahap tahu penyebab suatu kasus, yang harus dilakukan
kedua (kuantitatif) bertujuan untuk menguji yaitu mempelajari, mengamati situasi dan kondisi
hubungan dua variabel, yaitu mitos pulung yang melatarbelakangi kasus tersebut”
gantung dan bunuh diri. Dalam penelitian ini, (Durkheim, 1897, hlm. 105).
analisis statistik yang dilakukan yaitu analisis Berikut ini merupakan penjelasan
statistik inferensial non-parametris. Di mana jenis mengenai faktor-faktor yang melatarbelakangi
data yang akan dianalisis yaitu data ordinal yang tingginya angka bunuh diri di Gunungkidul:
“tidak menuntut banyak asumsi seperti data yang Pertama, faktor individu (tertutup ketika
harus terdistribusi secara normal” (Brown, 1983, menghadapi masalah dan kurang resolusi
hlm. 492). Analisis data yang digunakan dalam terhadap masalah yang dihadapi). Depresi
penelitian pada tahap ini menggunakan analisis merupakan modus yang sering dijadikan
rank spearman. Dipilihnya rumus analisis rank penyebab mengapa banyak kasus bunuh diri di
spearman dikarenakan data yang diperoleh adalah Gunungkidul. Depresi muncul sebagai akibat
data ordinal dengan skala likert. adanya “ketidakmampuan seseorang
mengaktualisasikan ketiga potensi dalam dirinya,
3 HASIL DAN PEMBAHASAN yaitu adaptasi, regulasi dan interaksi” (Soefihara,
2007, hlm. 69). Salah sekian sumber depresi itu
berasal dari sikap tertutup korban ketika
Bunuh diri adalah upaya seseorang yang dihadapkan pada suatu masalah.
lebih memilih kematian dari pada kehidupan Kecenderungan seseorang untuk
dengan cara membunuh diri sendiri dengan melakukan tindakan bunuh diri tidak begitu
sengaja. Bunuh diri merupakan permasalahan terlihat dengan jelas. Umumnya, seseorang akan
sosial yang intensitas kejadiannya paling banyak menutupi perasaan dan masalah yang dihadapi
dan menjadi salah satu penyebab tingginya angka dengan raut yang terlihat bahagia. Masih
kematian di Kabupaten Gunungkidul. Cara yang melekatnya stigma bahwa orang yang berbicara
banyak dilakukan oleh korban bunuh diri yaitu mengenai bunuh diri dianggap sebagai orang yang
dengan cara gantung diri menggunakan alat-alat kurang iman atau dianggap kurang waras,
yang mudah ditemukan disekitar korban seperti menjadi faktor mengapa seseorang tidak terbuka
tali, selendang dan sarung. Korban melakukan terhadap perasaan yang sebenarnya.
tindakan bunuh diri di saat waktu-waktu sepi Seperti yang telah disampaikan bahwa
seperti pagi dan sore hari (saat masyarakat sibuk orang yang pernah berbicara mengenai bunuh
di ladang) dan pada malam hari (hlm. 79). diri, bukan berarti dia tidak akan benar-benar
Berbicara mengenai kematian secara wajar melakukan tindakan tersebut. WHO (World
tidak lagi menjadi sebuah soal, karena masing- Health Organization) menegaskan bahwa
masing individu telah memiliki tatanan hidup “ungkapan seseorang yang pernah berbicara
yang telah digariskan oleh-Nya. Namun, ketika mengenai bunuh diri merupakan ungkapan yang
berbicara mengenai kematian yang dapat sebenarnya dirasakan”. Hal itu merupakan bentuk
dikatakan mendahului garis yang telah ditetapkan seseorang dalam meminta bantuan apabila kita
oleh Yang Maha Kuasa dalam arti dengan peka terhadap permasalahan lawan bicara.
melakukan tindakan bunuh diri, maka itu menjadi
sebuah persoalan yang perlu dikaji untuk
513
SOSIETAS, VOL. 8, NO. 2, 2018

Selain itu, seseorang melakukan bunuh diri hidup” (Marliana, 2012, hlm. 57), ditambah
karena merasa mentok atau menghadapi jalan dengan kondisi fisik yang sudah tidak lagi muda.
buntu atas segala persoalan yang dihadapi. Naik Oleh karenanya, mengakhiri hidup adalah jalan
turunnya angka bunuh diri di Gunungkidul penyelesaian yang sering diambil.
menunjukkan bahwa fenomena bunuh diri Faktor lain yang menyebabkan tingginya angka
bukanlah suatu masalah yang bisa dianggap bunuh diri yaitu karena sakit menahun yang
remeh. Tindakan nekat seperti bunuh diri diderita oleh masyarakat. Kebanyakan masyarakat
merupakan bentuk sikap penolakan terhadap menderita penyakit yang sumber sakit nya berada
masalah, sehingga memilih untuk menarik diri pada bagian kaki, panggul dan punggung. Bisa
atas segala persoalan yang dihadapi dengan cara dikatakan itu sebagai sebab dari pekerjaan berat
memutus tali penderitaan dengan gantung diri. yang dilakoni oleh masyarakat selama bertahun-
Kedua, faktor sosial (jauh dari keluarga dan tahun. Depresi karena menderita sakit menahun
rendahnya mobilitas). Usia korban bunuh diri menjadi modus terbanyak dari kasus bunuh diri di
tertinggi di Gunungkidul adalah orang dengan Gunungkidul. Masyarakat yang menderita sakit
lanjut usia. Secara hubungan sosial mereka jauh yang tak kunjung sembuh biasanya sering
dengan sanak dan saudaranya. Fenomena bunuh mengeluh karena merasa bosan, lemah dan tidak
diri di Gunungkidul terjadi karena adanya tau harus berbuat apa. Segala yang dibutuhkan
keregangan hubungan antara satu anggota dengan sangat bergantung pada anggota keluarga lain.
anggota keluarga lainnya. Faktanya di
Gunungkidul memang banyak mbah-mbah yang Hubungan Mitos Pulung Gantung dengan
sudah sepuh dan ditinggal merantau oleh anak- Bunuh Diri pada Masyarakat Gunungkidul
anaknya untuk mencari nafkah di luar kota. Mitos pulung gantung merupakan cerita
Selain itu, mayoritas masyarakat lama yang sering dikaitkan dengan kasus bunuh
Gunungkidul hidup sebagai seorang petani di diri di Gunungkidul. Wujudnya yang
mana penghidupannya murni dari hasil pertanian. digambarkan seperti bola api berpijar berwarna
Hal tersebut mempengaruhi ritme hidup merah, terlihat tali yang menggantung dengan
masyarakat Gunungkidul yang mana mobilitas simpul tali gantung diri di bagian kepala dan
hanya antara rumah dan ladang. Rendahnya berekor saat melayang di udara, diyakini oleh
mobilitas masyarakat Gunungkidul bukan tanpa sebagian kecil masyarakat Gunungkidul sebagai
sebab. Sedikit generasi muda yang masih menetap salah satu faktor yang menyebabkan tingginya
di Gunungkidul, sehingga memaksa generasi tua angka bunuh diri di Gunungkidul.
untuk tetap menetap di kampung karena garapan Mitos diartikan sebagai “cara pandang
pertanian masih sangat luas walaupun harus seseorang yang primitif dalam menjelaskan dunia
dilakukan dengan perjuangan yang keras. Selain yang tidak mampu mereka pahami dan
itu, kecintaan masyarakat terhadap tanah kendalikan” (Essebo, 2018, hlm. 8). Sebuah mitos
kelahiran juga turut menjadi alasan untuk tetap mencerminkan kebudayaan suatu masyarakat.
tinggal. Mobilitas yang rendah mempengaruhi Dalam menghadapi sebuah fenomena, masyarakat
referensi hidup seseorang. Masyarakat merasa Gunungkidul masih bersikap arketif (archetype).
kurang mengekspresikan diri, karena pola hidup Arketif merupakan sebuah bentuk pikiran yang
mereka hanya berladang, menyiapkan kebutuhan kental dengan emosi dan simbolisasi sehingga
sehari-hari di rumah dan kembali berladang. memunculkan persepsi dan sebuah aksi.
Ketiga, faktor ekonomi (masih banyak Kata pulung berasal dari bahasa Jawa,
yang bekerja keras di usia lanjut dan sakit tidak yang artinya wahyu, isyarat, anugerah, rezeki dan
kunjung sembuh). Bekerja di ladang merupakan kebahagiaan. Kehadiran pulung dimaknai banyak
bagian dari kehidupan masyarakat Gunungkidul. oleh masyarakat Gunungkidul. Biasanya
Dengan komposisi usia lanjut yang mendominasi, “masyarakat akan melihat pulung saat hendak
tidak berarti produktifitas masyarakat rendah. menonton wayang, acara bersih desa bahkan saat
Masyarakat dengan semangat kerja yang sangat pemilihan kepala desa” (Darmaningtyas, 2002,
tinggi, itulah Gunungkidul. Berjalan puluhan hlm. 434). Seiring berjalannya waktu, istilah
kilometer untuk berladang, menggarap tanah pulung sering dikaitkan dengan kasus gantung
dengan kondisi bebatuan yang keras, dan berjalan diri. Sehingga dikenal istilah pulung gantung pada
di dataran yang tidak mulus dengan membawa masyarakat Gunungkidul.
hasil pertanian dan pakan ternak adalah dinamika Menurut cerita yang berkembang, akan
kehidupan masyarakat Gunungkidul. Dibutuhkan ada orang yang gantung diri tepat di mana arah
fisik yang kuat dan juga kesabaran dalam pulung gantung itu jatuh. Apabila pulung gantung
menjalaninya. Ketika hasil panen tidak sesuai terbang ke arah selatan dan tepat jatuh di salah
dengan harapan, tidak sedikit masyarakat merasa satu desa di sana, masyarakat meyakini tidak lama
kecewa. “Perasaan kecewa yang mendalam akan ada berita yang gantung diri. Sesungguhnya,
memunculkan perasaan tidak berguna lagi untuk pulung gantung hanyalah sebuah cerita orang
514
SOSIETAS, VOL. 8, NO. 2, 2018

zaman dulu yang masih berkembang dari mulut menghambat kajian permasalahan yang
ke mulut. Faktanya masyarakat masa kini belum sebenarnya terjadi pada korban bunuh diri.
pernah ada yang melihat wujud pulung gantung Korban bunuh diri yang berlatar belakang dari
secara langsung. kelompok yang rentan secara ekonomi, sosial,
Dalam suatu kebudayaan, “sesuatu yang kesehatan dan usia tersamarkan oleh adanya
terulang atau repetisi akan selalu dialami” persepsi mengenai mitos pulung gantung.
(Marliana, 2012, hlm. 49). Meniru tradisi yang Seperti yang telah disampaikan dalam
ada pada masyarakat sebelumnya pembahasan rumusan masalah sebelumnya,
melatarbelakangi proses repetisi itu terjadi. bunuh diri terjadi terhadap seseorang yang tidak
Begitulah yang terjadi dalam perkembangan lagi melihat jalan keluar terhadap berbagai
cerita mitos pulung gantung. Masyarakat terus persoalan yang menghimpit. Daya tahan fisik
mengkonsumsi cerita yang disebarkan secara yang tidak lagi kuat dan prima, mental yang
berulang dari satu generasi ke generasi lain, semakin rapuh, dan tidak adanya ruang untuk
dengan tanpa melihat dan mencari tau secara mengungkapkan segala kemandegan dalam hati
langsung kebenarannya. Tanpa disadari cerita menjadi faktor yang mendorong seseorang
mengenai mitos pulung gantung tersebut sudah melakukan tindakan nekat –bunuh diri.
tertanam di dalam benak masyarakat, sehingga Beberapa beranggapan bahwa dengan
memunculkan sebuah persepsi bahwa pulung memitoskan pulung gantung merupakan ciri dari
gantung merupakan faktor yang melatarbelakangi sebuah cara lari dari tanggung jawab sosial.
seseorang bunuh diri. Pengembangan mitos pulung gantung berdampak
Kebenaran mengenai mitos pulung buruk terhadap proses penyelesaian masalah
gantung terbukti setelah terjadi kasus bunuh diri bunuh diri di Gunungkidul. Hal tersebut
di masyarakat. Mengutip istilah yang digunakan mendorong masyarakat menjadi lari dari
Darmaningtyas (2002) dalam bukunya, kenyataan dan mengakibatkan masyarakat
interpretasi masyarakat terhadap kemunculan memandang kasus bunuh diri secara mistis dan
pulung gantung terjadi setelah kejadian atau “post mencoba melakukan penyelesaian dengan cara
factum explanation”. Masyarakat baru akan bisa mistis pula. Dengan kondisi masyarakat Indonesia
menyimpulkan kemunculan pulung gantung yang yang multikultural, khsusnya di Gunungkidul
katanya pernah terlihat sebelum kasus bunuh diri yang terkenal dengan luhurnya budaya,
terjadi. Kejadian yang terus berulang dengan penyelesaian persoalan secara mistis masih bisa
interpretasi yang sama membangun persepsi diterima. Namun persoalannya adalah
bahwa pulung gantung adalah tanda akan ada penyelesaian dengan cara mistis menjadi lebih
seseorang yang gantung diri, dan dijadikan mengemuka sehingga mengabaikan cara lain yang
sebagai faktor yang melatarbelakangi seseorang lebih rasional seperti melalui perbaikan
melakukan tindakan bunuh diri. pendidikan, ekonomi, hubungan sosial, dan
Mitos pulung gantung merupakan kesehatan.
bentukan masyarakat yang berorientasi dari Melawan stigma mengenai pulung
sejarah dan bersifat cenderung statis. gantung adalah tugas seluruh elemen masyarakat.
Sebagaimana disampaikan oleh Iswidayati bahwa Tidak meneruskan wacana mengenai mitos
“sebuah mitos identik dengan sejarah yang pulung gantung merupakan langkah yang harus
terbentuk pada masanya, bersifat cenderung statis dimantapkan, sehingga tidak lagi menyesatkan
dan merupakan pernyataan mengenai kenyataan masyakarat. Selain itu, sikap tersebut akan
yang tidak tampak secara kasat mata” (Iswidayati, membantu pemerintah dan masyarakat untuk
2007, hlm.180). Persepsi mengenai pulung lebih fokus dalam upaya penyelesaian latar
gantung yang sering dikaitkan dengan kasus belakang masalah sesungguhnya yang diderita
bunuh diri pada sebagaian masyarakat oleh korban bunuh diri dan orang yang berisiko
Gunungkidul menggambarkan kepercayaan, nilai bunuh diri.
dan norma kolektif masyarakat Gunungkidul. Dengan demikian, mitos pulung gantung
Persepsi tersebut mendorong anggota masyarakat bukan merupakan faktor yang menyebabkan
lainnya untuk menyesuaikan pada klaim atau tingginya angka bunuh diri di Gunungkidul.
persepsi yang telah dibangun secara kolektif Persepsi sebagian kecil masyarakat Gunungkidul
dalam masyarakat. terhadap mitos pulung gantung merupakan
Durkheim menggambarkan itu sebagai kepercayaan yang keliru. Sesungguhnya faktor-
sebuah “fakta sosial non-material di mana faktor bunuh diri pada masyarakat Gunungkidul
representasi kolektif merupakan kekuatan moral yaitu karena faktor individu yang cenderung
yang berada di luar diri individu” (Marliana, 2012 menutup diri saat dihadapkan pada suatu masalah
hlm. 19). dan kurang mampu meresolusi masalah, faktor
Pulung gantung sebagai tutur cerita lama yang sosial di mana masyarakat mengalami
dianggap sebagai penyebab terjadinya bunuh diri, kerenggangan hubungan sosial dengan anggota
515
SOSIETAS, VOL. 8, NO. 2, 2018

keluarga diakibatkan tingginya angka urbanisasi, REFERENSI


dan faktor ekonomi di mana banyak orang lanjut Sumber dari Buku:
usia yang masih bekerja keras dan menderita sakit Al-Qur’an.
yang tidak kunjung sembuh.
Al-Husain, Sulaiman bin Muhammad. (2005).
Mengapa Harus Bunuh Diri?. Jakarta:
4 KESIMPULAN Qisthi Press.

Berdasarkan hasil temuan dan pembahasan, Creswell, John W. (2015). Research Design:
peneliti menarik kesimpulan bahwa bunuh diri Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan
adalah upaya yang dilakukan seseorang yang Mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
lebih memilih kematian dari pada kehidupan,
dengan cara membunuh diri sendiri secara Darmaningtyas. (2002). Menyingkap Tragedi
sengaja. Apapun alasannya bunuh diri adalah Bunuh Diri di Gunungkidul. Yogyakarta:
sebuah pilihan yang tragis. Bunuh diri merupakan Salwa Press.
permasalahan sosial yang perlu segera ditangani
secara kohesif. Durkheim, Emile. (1952). Suicide: A Study in
Sociology. New York: The Free Press.
Bunuh diri di Gunungkidul banyak
dilakukan oleh orang lanjut usia. Selain itu, laki- Iman & Wage. (2003). Tali Pati: Kisah-kisah
laki menjadi korban paling banyak dalam kasus Bunuh Diri di Gunungkidul. Yogyakarta:
ini. Cara yang banyak dilakukan yaitu dengan Jalasutra.
menggantungkan diri menggunakan tali,
selendang ataupun sarung di langit-langit rumah Ritzer, G. (2012). Teori Sosiologi: Dari Sosiologi
dan pohon-pohon besar. Tipe bunuh diri egoistik Klasik sampai Perkembangan Terakhir
merupakan tipe yang banyak terjadi di Posmodern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Gunungkidul, di mana tindakan tersebut
merupakan bentuk “cry for help” dari seseorang Rochmawati, Ida. (2009). Nglalu: Melihat
yang terhimpit oleh permasalahan yang Fenomena Bunuh Diri dengan Mata Hati.
membelenggu dan memerlukan uluran tangan Yogyakarta: Jejak Kata Kita.
untuk dijadikan ruang yang mampu menyalurkan
segala kesedihan, kesepian dan penderitaan. Sumber dari Skripsi:
Marliana, Santi. (2012). “Bunuh Diri sebagai
Pilihan Sadar Individu”: Analisa Kritis
Faktor-faktor yang menyebabkan tingginya
angka bunuh diri di Gunungkidul yaitu faktor Filosofis terhadap Konsep Bunuh Diri
individu, di mana masyarakat tertutup ketika Emile Durkheim. (Skrispi). Fakultas Ilmu
menghadapi masalah dan kurang mampu Pengetahuan dan Budaya, Universitas
meresolusi masalah yang dihadapi. Faktor sosial, Indonesia, Depok.
di mana masyarakat jauh dari keluarga dan
Sumber dari Jurnal:
rendahnya mobilitas. Faktor ekonomi, di mana
Essebo, M. (2018). A mythical place : A
masyarakat masih banyak yang bekerja keras di
Conversation on The Earthly Aspects of
usia lanjut dan terserang sakit menahun.
Myth. Vol. I(16), 1-13.
https://doi.org/10.1177/0309132518768426.
Tidak ada hubungan antara mitos pulung
gantung dengan fenomena bunuh diri di
Iswidayati, S. (2007). Fungsi Mitos dalam
Gunungkidul. Keberadaan pulung gantung tidak
Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat
dibenarkan oleh sebagian besar masyarakat, sebab
Pendukungnya, Vol. VIII(2), 180–184.
sangat sedikit yang mengaku pernah melihat dan
sulit dibenarkan secara ilmiah. Fenomena yang
Soefihara, Endin Aj. (2007). Jurnal Keluarga:
ada yaitu persepsi masyarakat terhadap pulung
Mengapa Bunuh Diri. Vol.1, Nomor 1, 1-
gantung yang sering dikaitkan dengan kasus
220. Yayasan Keluarga Indonesia.
bunuh diri. Persepsi tersebut telah menyamarkan
permasalahan yang sebenarnya terjadi pada
Sumber dari Publikasi Lembaga Pemerintah:
korban sehingga memilih bunuh diri sebagai jalan
Badan Pusat Statistik Kabupaten Gunungkidul.
keluar dari permasalahan yang dihadapi.
(2017). Kabupaten Gunungkidul dalam
Angka. Yogyakarta: BPS Kabupaten
Gunungkidul.
516
SOSIETAS, VOL. 8, NO. 2, 2018

Sumber dari Internet: http://www.who.int/en/news-room/fact-


World Health Organization. (2018). Suicide. sheets/detail/suicide.
[Online]. Diakses dari

Anda mungkin juga menyukai