Anda di halaman 1dari 12

KARAKTERISTIK TES YANG BAIK

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Salah satu teknik penilaian yang digunakan yang digunakan untuk menilai kemampuan belajar anak
adalah dengan tes. Agar tes yang disusun itu dapat kita harapkan sesuai dengan prinsipnya, maka dalam
menyusun soal tes harus benar-benar memenuhi beberapa kriteria. Sehingga tes itu benar-benar
menilai secara tepat, sesuai dengan keadaan anak yang kita nilai.

Sebuah tes harus memenuhi syarat-syarat tertentu sebagai alat pengukur, sebab memang tidak jarang
kesimpulan penting ditarik dan keputusan penting diambil berdasarkan informasi-informasi yang
berhasil diperoleh melalui penggunaan tes, padahal di lain pihak kita menyadari kelemahan-
kelemahannya yang sebagaian terletak pada kurang cermatnya kita memerikasa alat pengukur (tes) itu
sendiri. Kadang-kadang tes yang dipergunakan tidak benar-benar mengukur apa yang mau diukur, hasil
pengukuran tidak cukup mantap, tidak ada patokan interpretasi yang cukup tegas tentang benar
tidaknya suatu jawaban, dan kadang tes itu tidak cukup mampu menunjukkan perbedaan-perbedaan
kemampuan. Untuk itu, diperlukan karakteristik atau syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam
pembuatan tes yang baik. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai apa pengertian dari tes, bagaimana
karakteristik tes yang baik, dan hubungan karakteristik tes yang satu dengan yang lainnya.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa yang dimaksud dengan tes?

2. Bagaimana karakteristik tes yang baik itu?

C. TUJUAN

1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan tes.

2. Untuk mengetahui bagaimana karakteristik tes yang baik.


BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN TES

Istilah tes secara bahasa diambil dari kata “testum” yaitu suatu pengertian dalam bahasa Perancis kuno
yang berarti piring untuk menyisihkan logam mulia. Seorang ahli bernama Jamea Ms. Cattel, pada tahun
1890 telah memperkenalkan pengertian tes ini melalui bukunya yang berjudul “Mental Test and
Measurement”. Tes dapat didefinisikan sebagai seperangkat pertanyaan dan/atau tugas yang
direncanakan untuk memperoleh informasi tentang atribut pendidikan, psikologik atau hasil belajar
yang setiap butir pertanyaan atau tugas tersebut mempunyai jawaban atau ketentuan yang dianggap
benar.

Adapun dalam pengertian yang lebih luas, para ahli memberikan beberapa pengertian tentang tes, yaitu:

1. Anne Anastasi dalam karya tulisnya yang berjudul “Psychological Testing” mengatakan bahwa tes
adalah alat pengukur yang mempunyai standar objektif, sehingga dapat digunakan secara meluas dan
akurat untuk mengukur dan membandingkan keadaan psikis atau tingkah laku individu.

2. Drs. Amir Daien Indrakusuma dalam bukunya “Evaluasi Pendidikan” mengatakan bahwa tes adalah
suatu alat atau prosedur yang sistematis dan objektif untuk mengukur dan memperoleh data-data atau
keterangan-keterangan yang diinginkan tentang seseorang atau kelompok dengan cara yang boleh
dikatakan tepat dan cepat.

3. Bimo Walgito mengatakan tes adalah suatu metode atau alat untuk mengadakan penyelidikan
yang menggunakan soal-soal, pertanyaan atau tugas-tugas dimana persoalan-persoalan atau
pertanyaan-pertanyaan itu telah dipilih dengan seksama dan telah distandardisasikan.

4. Muchtar Bukhari dalam bukunya yang berjudul “Teknik-teknik Evaluasi” mengatakan bahwa tes
adalah suatu percobaan yang diadakan untuk mengetahui ada atau tidaknya hasil pelajaran tertentu
pada seorang individu atau kelompok.

5. Dikutip dari Webster’s Collegiate, tes adalah sederet pertanyaan atau latihan yang digunakan untuk
mengukur ketrampilan, pengetahuan, intelegensi, kemampuan atau bakat yang dimiliki individu atau
kelompok.
Dari beberapa definisi tersebut diatas, dapat kita pahami bahwa dalam dunia pendidikan yang dimaksud
dengan tes adalah serangkaian cara atau prosedur-prosedur yang digunakan untuk memperoleh data
atau informasi yang akurat tentang suatu objek dalam rangka pengukuran dan penilaian, yang nantinya
akan digunakan untuk mengembangkan dan meningkatkan hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan.

B. KARAKTERISTIK TES YANG BAIK

Sebagai suatu alat pengukur yang digunakan untuk mengukur, membandingkan dan memperoleh suatu
informasi yang akurat, maka suatu tes yang baik harus memiliki karakteristik-karakteristik tertentu.
Berikut adalah pandangan para ahli mengenai karakteristik suatu tes yang baik:

1. Prof. Drs. Anas Sudijono dalam bukunya yang berjudul “Pengantar Evaluasi Pendidikan” (2005: 93)
mengatakan bahwa setidak-tidaknya ada empat karakteristik yang harus dimiliki oleh tes yang baik
yaitu: valid, reliable, objektif, dan praktis.

2. Masrun MA dan Dra. Sri Mulyani Martaniah (1974: 117) mengatakan bahwa suatu tes yang baik
harus memiliki minimal tiga hal, yaitu: validitas, reliable, dan kemampuan membandingkan.

3. Dra. Suharsimi AK mengatakan bahwa suatu tes yang baik harus memenuhi empat syarat, yaitu:
validitas, reliabilitas, objektifitas, dan praktikabilitas.

4. Arikunto & Suharsimi dalam bukunya “Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan” mengatakan bahwa
syarat-syarat tes yang baik adalah: validitas, reliabilitas, objektivitas, praktikabilitas, dan ekonomis.

5. Miller (1991: 91) dan Gronlund & Lin (1990: 47) menyatakan bahwa ada tiga hal yang harus
diperhatikan dalam menentukan suatu alat ukur yang berkualitas, yaitu: validitas, reliabilitas, dan
praktikabilitas.

Dari beberapa pendapat para ahli di atas dapat kita lihat bahwa tidak ada yang bertentangan antara
yang satu dengan yang lain, tetapi saling melengkapi, sehingga dapat disimpulkan bahwa kriteria tes
yang baik melingkupi:

1. Valid atau Validitas

Kata valid sering diartikan dengan tepat, benar, dan shahih. Jadi, kata validitas dapat diartikan dengan
ketepatan, kebenaran, dan kesahihan. Dan apabila kata valid atau validitas itu dikaitkan dengan fungsi
tes sebagai pengukur, maka sebuah tes dapat dikatakan valid dan memiliki validitas apabila tes tersebut
dapat mengukur apa yang seharusnya diukur (Anas Sudijono, 2005: 93). Dengan kata lain, Validitas
adalah kesesuaian antara materi ujian dan materi yang telah dipelajari (Djemari Mardapi (1996: 22).
Misalnya: apabila kita memberikan tes bidang studi IPA pada anak SD kelas V, tetapi apabila tes tersebut
mengukur kemampuan IPS kelas VI SD maka tes tersebut tidak mengukur pelajaran IPA tetapi mengukur
kemampuan pelajaran IPS, maka jelas tes tersebut tidak memiliki validitas. Atau misalkan juga: alat
thermometer dikatakan valid apabila mengukur suhu badan, tetapi dikatakan sebagai alat yang tidak
valid apabila untuk mengukur tekanan udara.

Secara garis besar ada dua macam validitas, yaitu validitas logis dan validitas empiris.

a. Validitas Logis

Istilah validitas logis mengandung kata “logis” berasal dari kata “logika”, yang berarti penalaran. Dengan
makna demikian maka validitas logis untuk sebuah instrument evaluasi menunjukan pada kondisi bagi
sebuah instrumen yang memenuhi persyaratan valid berdasarkan hasil penalaran. Kondisi valid tersebut
dipandang terpenuhi karena instrumen yang bersangkutan sudah dirancang secara baik, mengikuti teori
dan ketentuan yang ada. Sebagaimana pelaksanaan tugas lain misalnya membuat sebuah karangan, jika
penulis sudah mengikuti aturan mengarang, tentu secara logis karangannya sudah baik. Berdasarkan
penjelasan tersebut maka instrumen yang sudah disusun berdasarkan teori penyusunan instrumen,
secara logis sudah valid. Dari penjelasan tersebut kita dapat memahami validitas logis dapat dicapai
apabila instrumen disusun mengikuti ketentuan yang ada. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
validitas logis tidak perlu diuji kondisinya tetapi secara langsung diperoleh sesudah instrumen tersebut
selesai disusun.

Ada dua macam validitas logis yang dapat dicapai oleh sebuah instrumen, yaitu: valditas isi dan validitas
konstrak (construct validity). Validitas isi bagi sebuah instrumen menunjuk suatu kondisi sebuah
instrumen yang disusun berdasarkan isi materi pelajaran yang dievaluasi. Selanjutnya validitas konstrak
sebuah instrumen menunjuk suatu kondisi sebuah instrumen yang disusun berdasarkan konstrak aspek-
aspek kejiwaan yang seharusnya dievaluasi. Penjelasan lebih jauh tentang jenis validitas logis ini akan
diberikan berturut-turut dalam membahas jenis-jenis validitas instrumen nanti.

b. Validitas Empiris

Istilah validitas empiris memuat kata “empiris” yang artinya “penga-laman”. Sebuah instrumen dapat
dikatakan memiliki validitas empiris apabila sudah diuji dari pengalaman. Sebagai contoh sehari-hari,
seorang dapat diakui jujur oleh masyarakat apabila dalam pengalaman dibuktikan bahwa orang tersebut
memang jujur. Contoh lain, seseorang dapat dikatakan kreatif apabila dari pengalaman dibuktikan
bahwa orang tersebut sudah banyak menghasilkan ide-ide baru yang diakui berbeda dari hal-hal yang
sudah ada. Dari penjelasan dan contoh-contoh tersebut diketahui bahwa validitas empiris tidak dapat
diperoleh hanya dengan menyusun instrumen berdasarkan ketentuan seperti halnya validitas logis,
tetapi harus dibuktikan melalui pengalaman.

Ada dua macam validitas empiris, yakni ada dua cara yang dapat dilakukan untuk menguji bahwa
instrumen memang valid. Pengujian tersebut dilakukan dengan membandingkan kondisi instrumen yang
bersangkutan dengan kriterium atau sebuah ukuran. Kriterium yang digunakan sebagai pembanding
kondisi instrumen dimaksud ada dua, yaitu: yang sudah tersedia dan yang belum ada tetapi akan terjadi
di waktu yang akan datang. Bagi instrumen yang kondisinya sesuai dengan kriterium yang sudah
tersedia, yang sudah ada, disebut memiliki validitas “ada sekarang”, yang dalam istilah bahasa Inggris
disebut memiliki concurrent validity. Selanjutnya instrumen yang kondisinya sesuai dengan kriterium
yang diramalkan akan terjadi, disebut memiliki validitas prediksi, yang dalam istilah bahasa Inggris
disebut memiliki predictive validity.

Dari uraian adanya dua jenis validitas, yakni validitas logis yang ada dua macam, dan validitas empiris,
yang juga ada dua macam, maka secara keseluruhan kita mengenal adanya empat validitas, yaitu:

· Validitas isi,

· Validitas konstrak,

· Validitas “ada sekarang”, dan

· Validitas predictive.

Dua yang pertama yakni (1) dan (2) dicapai melalui penyusunan berdasarkan ketentuan atau teori,
sedangkan dua berikutnya yakni (3) dan (4) dicapai atau diketahui melalui pengalaman. Adapun
penjelasan masing-masing validitas adalah sebagai berikut.

· Validitas isi (content validity)

Sebuah tes dikatakan memiliki validitas isi apabila mengukur tujuan khusus tertentu yang sejajar dengan
materi atau isi pelajaran yang diberikan. Oleh karena materi yang diajarkan tertera dalam kurikulum
maka validitas isi ini sering juga disebut validitas kurikuler.

Validitas isi dapat diusahakan tercapainya sejak saat penyusunan dengan cara memerinci materi
kurikulum atau materi buku pelajaran. Bagaimana cara memerinci materi untuk kepentingan
diperolehnya validitas isi sebuah tes akan dibicarakan secara lebih mendalam pada waktu menjelaskan
cara penyusunan tes.

· Validitas kontruksi (construct validity)

Sebuah tes dikatakan memiliki validitas konstruksi apabila butir-butir soal yang membangun tes tersebut
mengukur setiap aspek berpikir seperti yang disebutkan dalam Tujuan Instruksional Khusus. Dengan
kata lain jika butir-butir soal mengukur aspek berpikir tersebut sudah sesuai dengan aspek berpikir yang
menjadi tujuan instruksional.

Sebagai contoh jika rumusan Tujuan Instruksional Khusus (TIK): “Siswa dapat membandingkan antara
efek biologis dan efek kologis”, maka butir soal pada tes merupakan perintah agar membedakan antara
dua efek tersebut.

“Konstruksi” dalam pengertian ini bukanlah “susunan” seperti yang sering dijumpai dalam teknik, tetapi
merupakan rekaan psikologis yaitu suatu cara tertentu “memerinci” isi jiwa atas beberapa aspek seperti:
ingatan (pengetahuan), pemahaman, aplikasi, dan seterusnya. Dalam hal ini, mereka menganggap
seolah-olah jiwa dapat dibagi-bagi. Tetapi sebenarnya tidak demikian. Pembagian ini hanya merupakan
tindakn sementara untuk mempermudah mempelajari.

Seperti halnya validitas isi, validitas konstruksi dapat diketahui dengan cara memerinci dan
memasangkan setiap soal dengan setiap aspek dalam TIK. Pengerjaannya dilakukan berdasarkan logika,
bukan pengalaman. Dalam pembicaraan mengenai penyusunan tes hal ini akan disinggung lagi.

· Validitas “ada sekarang” (concurrent validity)

Validitas ini lebih umum dikenal dengan validitas empiris. Sebuah tes dikatakan memiliki validitas
empiris jika hasilnya sesuai dengan pengalaman. Jika ada istilah “sesuai” tentu ada dua hal yang
dipasangkan. Dalam hal ini hasil dipasangkan dnegan hasil pengalaman. Pengalaman selalu mengenai
hal yang telah lampau sehingga data pengalaman tersebut sekarang sudah ada (ada sekarang,
concurrent).

Dalam membandingkan hasil sebuah tes maka diperlukan suatu kriterium atau alat banding. Maka hasil
tes merupakan sesuatu yang dibandingkan. Untuk jelasnya di bawah ini dikemukakan sebuah contoh.

Misalnya seorang guru ingin mengetahui apakah tes sumatif yang disusun sudah valid atau belum. Untuk
ini diperlukan sebuah kriterium masa lalu yang sekarang datanya dimiliki. Misalnya nilai ulngan harian
atau nilai ulangan sumatif yang lalu.

· Validitas prediksi (predictive validity)

Memprediksi artinya meramal, dengan meramal selalu mengenai hal yang akan dating jadi sekarang
belum terjadi. Sebuah tes dikatakan memiliki validitas prediksi atau validitas ramalan apabila
mempunyai kemampuan untuk meramalkan apa yang akan terjadi pada masa yang akan datang.

Misalnya tes masuk Perguruan Tinggi adalah sebuah tes yang diperkirakan mampu meramalkan
keberhasilan peserta tes dalam mengikuti kuliah di masa yang akan datang. Calon yang tersaring
berdasarkan hasil tes diharpkan mencerminkan tinggi-rendahnya kemampuan mengikuti kuliah. Jika nilai
tesnya tinggi tentu menjamin keberhasilannya kelak. Sebaliknya seorang dikatakan tidak lulus tes karena
memiliki nilai tes yang rendah jadi diperkirakan akan tidak mampu mengikuti perkuliahanyang akan
datang.

Sebagai alat pembanding validitas prediksi adalah nilai-nilai yang diperoleh setelah peserta tes mengkuti
pelajaran di Perguruan Tinggi. Jika ternyata siapa yang memiliki nilai tes lebih tinggi gagal dalam ujian
semester I dibandingkan dengan yang dahulu nilai tesnya lebih rendah maka tes masuk yang dimaksud
tidak memiliki validitas prediksi.

2. Reliabilitas

Kata reliabilitas diambil dari bahasa Inggris “Reliability” yang berasal dari kata “Reliable” yang berarti
dapat dipercaya dan juga sering diterjemahkan dengan keseimbangan (stability) atau kemantapan
(consistency). Apabila istilah tersebut dikaitkan dengan fungsi tes sebagai alat ukur, maka suatu tes
dapat dikatakan reliabel dan memiliki reliabilitas jika hasil-hasil pengukuran yang dilakukan dengan
menggunakan tes tersebut secara berulang kali terhadap subjek yang berbeda, kapan saja, dimana saja
dan oleh siapa saja diperiksa atau dinilai senantiasa menunjukkan hasil yang relatif sama (Anas Sudijono,
2005: 95).

Reliabilitas juga dikatakan menentukan validitas, jika suatu tes tidak reliable berarti tes tersebut tidak
valid (Fernandes,1984:43). Ebel (1980:224) mengemukan bahwa suatu tes tidak dapat dikatakan bagus
apabila tidak menunjukkan kualitas reliabilitasnya. Oleh karena itu, semakin tinggi reliabilitas suatu tes,
maka semakin bagus kualitas tes tersebut. Dan jika dihubungkan dengan validitas, maka reliabilitas
adalah ketetapan sedangkan validitas adalah ketepatan.

Misalnya: sebuah soal tes IPS sebanyak 100 soal, diberikan kepada siswa dan hasilnya siswa tersebut
betul 80. Kemudian selang beberapa hari tes itu (tes yang sama) diberikan lagi pada anak tersebut dan
hasilnya ternyata 81. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa tes tersebut memiliki reabilitas. Karena
menunjukkan hasil yang mantap dan hasil tetap (walaupun ada perbedaan, tetapi perbedaab itu tidak
berarti karena hanya 1).

Tes yang memberikan hasil yang tidak tetap atau unriliabel itu disebabkab karena harapan beberapa hal,
diantaranya :

a. Situasi pada waktu tes berlangsung.

Dalam hal ini melibatkan factor siswa yang mengerjakan tes, yang mencakup segiu fisik maupun psikis
dari yang mengerjakan tes. Misalnya :

ü kesehatan anak terganggu pada waktu mengerjakan tes.

ü Perasaan anak yang takut, gugup atau terburu-buru pada waktu mengerjakan tes.

ü Tidak mengerjakan tes dengan sepenuh hati.

Dari faktor-faktor tersebut di atas dapat mengakibatkan hasil tes anak tidak reliabel. Misalkan pada
waktu tes pertama anak merasa gugup dan takut, dan pada waktu tes yang kedua anak sudah tidak
takut dan tidak gugup karena pernah mengerjakan tes itu. Maka hasil tes pertama dan tes kedua (dari
tes yang sama) hasilnya akan tidak sama (tidak reliabel).

b. Keadaan tes itu sendiri.

Hal ini disebabkan karena soal dari tes itu sendiri kurang baik, misalnya antara lain:

ü Pertanyaan tidak jelas apa yang dimaksud sehingga ada kesulitan bagi anak untuk menjawab itu.

ü Tidak ada petunjuk yang jelas bagaimana cara mengerjakan soal itu.

ü Pertanyaan soal tes itu membingungkan, sehingga bias terjadi salah pengertian antara anak dan guru
yang membuat soal.
Karena itulah agar tes yang kita susun benar-benar dapat reliabel maka kita harus memperhatikan
beberapa hal, antara lain:

ü Ciptakan situasi yang tenang dalam pelaksanaan tes. Seorang guru harus mengusahakan agar
lingkungan sekitar pelaksanaan tes tidak terjadi kegaduhan.

ü Membuat soal tes yang jelas pertanyaannya sehingga tidak terjadi salah pengertian antara murid
dengan guru yang membuat soal tes. Dalam hal ini soal tes yang kita susun supaya menggunakan bahasa
yang sederhana, jelas dan mudah dimengerti.

ü Membuat petunjuk yang jelas cara mengerjakan soal tes.

ü Membuat kunci jawaban/pola jawaban sebelum hasil tes dikoreksi.

3. Objektifitas

Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa obyektif berarti tidak mengandung unsur-unsur pribadi.
Dalam hubungan ini, suatu tes dapat dikatakan obyektif dan memiliki obyektivitas apabila tes tersebut
disusun dan dilaksanakan sesuai dengan apa yang ada. Isi atau materi tes diambil berdasarkan materi
atau bahan pelajaran yang telah diberikan sebelumnya dan sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan
(Anas Sudijono, 2005: 96). Dengan kata lain, sebuah tes dikataka memiliki obyektivitas apabila dalam
pelaksanaan tes tersebut tidak ada factor subjektif yang mempengaruhi, terutama dalam system
penilaian. Apabila dikaitkan dengan reliabilitas, maka objektifitas lebih menekankan ketetapan pada
sistem scoring, sedangkan reliabilitas lebih menekankan ketetapan dalam hasil tes.

Contoh: soal tes IPS sebanyak 50 butir soal, setiap soal tes yang benar diberi angka 2, sehingga apabila
benar semua akan memperoleh skor 100. Misalkan Ali mendapat skor 80 karena benar 40 soal tes
setelah diperiksa guru A. apabila ada guru lain yang memeriksa hasil pekerjaan Ali maka skornya masih
tetap 80 juga. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa soal tes IPS tersebut diatas memiliki
objektivitas. Tetapi apabila hasil tes Ali dari guru A dan guru B tersebut tidak sama, amaka tes itu
dikatakan tidak memiliki objektivitas. Di pihak lain, seorang guru dalam mengoreksi hasil tes anak harus
tidak memasukkan factor subjektif agar hasil tes itu merupakan hasil objektif, sesuai dengan
kemampuan anak (nilai yang diperoleh). Dalam tes yang terbentuk subjektif sulit bagi guru untuk
member nilai yang se-objektif mungki, sebab jawaban dari soal tes subjektif membutuhkan uraian-
uraian, sehingga sulit bagi guru untuk member nilai yang tepat, apalagi kalau guru tidak membuat pola
jawaban sebelumnya. Hal ini bias mengakibatkan dua anak akan memperoleh nilai yang tidak sama,
padahal jawabannya sama. Dengan demikian hasil tes itu tidak objektif dan berarti hasil tes itu tidak
memiliki objektivitas. Faktor yang mempengaruhi objektifitas adalah sebagai berikut:

a. Bentuk Tes

Tes yang berbentuk uraian (essay), akan memberikan banyak kemungkinan kepada si penilai untuk
memberikan banyak penilaian (skoring) menurut caranya sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa dengan
menggunakan tes bentuk uraian akan memungkinkan masuknya unsur subjektivitas dari si penilai dalam
melakukan skoring.
b. Penilai

Dengan menggunakan tes bentuk uraian, faktor subjektivitas dari seorang penilai akan dapat masuk
secara lebih leluasa dan mempengaruhi pemberian skor. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi dalam
subjektivitas penilaian tersebut antara lain: kesan penilai terhadap peserta tes (hallo-effect), tulisan,
bahasa, waktu pelaksanaan penilaian, dan sebagainya.

5. Praktikabilitas dan Ekonomi

Sebuah tes dapat dikatakan memiliki praktikabilitas dan ekonomis tinggi apabila tes tersebut bersifat
praktis dan mudah pengadministrasiannya. Beberapa hal yang menyangkut kepraktisan dalam alat
penilaian, yaitu:

a. Mudah diadministrasikan, dalam artian tidak memerlukan tenaga yang banyak, serta tidak
memerlukan keahlian yang tinggi sehingga dapat dikerjakan oleh setiap guru.

b. Mudah dilaksanakan. Misalnya tidak membutuhkan peralatan yang banyak dan rumit.

c. Lengkap, dalam artian dilengkapi dengan cara penjawaban yang baik dan benar, kunci jawaban dan
pedoman penilaian.

d. Tidak memerlukan biaya atau ongkos yang terlalu tinggi dan waktu yang lama.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Tes adalah serangkaian cara atau prosedur-prosedur yang digunakan untuk memperoleh data atau
informasi yang akurat tentang suatu obyek dalam rangka pengukuran dan penilaian, yang nantinya akan
digunakan untuk mengembangkan dan meningkatkan hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan.

Sebagai suatu alat pengukur yang digunakan untuk mengukur, membandingkan dan memperoleh suatu
informasi yang akurat, mak suatu tes yang baik harus memiliki karakteristik-karakteristik tertentu, yaitu:

Valid atau Validitas.

Reliabilitas.

Obyektifitas.

Praktikabilitas dan Ekonomi.


DAFTAR PUSTAKA

Sudijono, Anas. 1998. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT Grafindo Persada.

______, 1984. Teknik Penilaian Pendidikan. Mojokerto.

Tim PEKERTI AA. 2007. Panduan Evaluasi Pembelajaran. Surakarta: UNS.

Trasidi, Iding. Kontribusi Pengetahuan Guru SLB-C tentang Kontribusi Tes Hasil Belajar
dengan Kualitas Tes Matetakita SLDP Tunagrahita Kelas Enam yang Dibuatnya.

Bandung: FIP UPI.

http://ridha026.blogspot.com/2010/11/normal-0-false-false-false.html

http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2187913-karakteristik-tes-yang-baik/

Anda mungkin juga menyukai