Anda di halaman 1dari 10

Sejarah musik jazz

Jazz lahir di Amerika Serikat tahun 1868. Hal itu adalah yang ditulis oleh para peneliti
sejarah jazz dan yang telah disepakati oleh berbagai pihak. Walaupun musik jazz lahir di Amerika
Serikat, namun kini jazz bukan lagi hanya milik bangsa Amerika, melainkan sudah menjadi sebuah
warna musik yang dimiliki oleh seluruh masyarakat dunia.

Awalnya, musik jazz lahir dengan dasar Blues. Kemudian pada sekitar tahun 1987 mulai dikenal
bentuk Rag Time, yang pada waktu itu berupa permainan piano di bar-bar. Blues dan Rag Time
berkembang menjadi Boogie - Woogie. Bentuk-bentuk tersebut selain merambah pada jalurnya
sendiri, juga berkembang menelusuri perjalanan musik jazz.

Para peneliti musik mengemukakan, bahwa bentuk musik jazz yang dapat dianggap sebagai bentuk
awal yang berkembang dari zaman ke zaman sampai bentuk jazz yang ada saat ini, adalah bentuk
musik jazz yang terdapat sekitar tahun 1915 - 1917. Pada masa itu, para negro di New Orleans
memainkan musik jazz yang memiliki corak yang khas, sehingga dikenal sebagai jazz New Orleans.

Para musisi jazz New Orleans, menyajikan penampilan mereka di bar, rumah judi, bahkan tempat-
tempat pelacuran yang di masa itu sangat tumbuh subur di New Orleans. Karena dianggap
mengurangi perhatian masyarakat terhadap pemerintahan dan banyak terjadinya tindak kriminal,
maka pada tahun 1917 tempat hiburan hampir di seluruh New Orleans ditutup. Musik Jazz lalu
berkembang keluar dari kota New Orleans.

Para musisi jazz yang berasal dari New Orleans mulai membawa musik jazz menelusuri sungai
Mississippi, terus ke arah utara hingga sampai di Detroit. Di tahun 1920-an musik jazz telah
berkembang di New York, Cichago, Memphis dan kota-kota besar di Amerika Serikat.

Meskipun para musisi jazz mendapat tekanan di New Orleans, mereka tetap berusaha
menggaungkan jazz. Setelah musik jazz tidak mendapatkan tempat untuk diperdengarkan di New
Orleans, Amerika Serikat dan mulai menyebar ke seluruh Amerika, jazz mengalami berbagai
perkembangan. Di tahun 1920 warna jazz mengalami perubahan warna lagi dan disebut jazz
dixieland.

Sebetulnya dixieland adalah sebutan untuk negara Amerika Serikat. Kenapa akhirnya disebut jazz
dixieland, dikarenakan dalam musik jazz dixie ini, instrumen yang digunakan lebih sederhana dan
sangat identik dengan Amerika pada jaman tersebut.

Beberapa orang peneliti mengatakan bahwa jazz dixie ini tidak menggunakan drum sebagai
pengatur ritme musik, melainkan menggunakan semacam kayu bergerigi seperti alat pencuci
pakaian, ditambah beberapa brass-section antara lain, trumpet, trombone, dan clarinet. Selain itu
ditambah sentuhan alat musik khas Amerika, banjo.

Seiring berjalannya waktu, instrumen yang dipakai dalam bermain jazz dixie juga berubah. Jazz
dixie mulai menggunakan piano, gitar sebagai pengganti banjo, string bass digunakan sebagai
pengganti tuba, dan saat itu drum mulai digunakan lagi. Dalam musik dixie, improvisasi dilakukan
secara bersama-sama oleh para solois dari awal sampai akhir lagu.

Setelah dixie, jazz berkembang lagi, dan bentuk berikutnya dikenal dengan jazz swing. Dalam
swing, improvisasi dilakukan secara silih berganti. Dikatakan swing, karena musik ini mengalun
dan bergoyang-goyang (swinging), serta irama swing sangat berekspresi.

Bila pada musik dixie digunakan beat8, atau 8 ketukan. Swing sudah menggunakan triplet (3
ketukan), atau beat 16. Dengan demikian irama dalam musik jazz swing lebih terasa menggelitik
karena tampak ramai dan padat musiknya. Era swing berlangsung dari awal tahun 1930-an hingga
pertengahan tahun 1940. Karena swing melanda hampir seluruh pelosok Amerika Serikat, lalu
swing disebut sebagai salah satu kebudayaan Amerika Serikat atau sering disebut istilah
Mainstream.

Musik jazz yang berakar dari musik blues, berkembang menjadi jazz New Orleans, rag time, boogie
woogie, dixie dan terakhir swing, selanjutnya mulai awal dekade 1940-an, jazz memasuki era be
bop. Musik be bop merupakan pelampiasan protes para kaum negro di Amerika Serikat. Suasana
Perang Dunia II membuat semua masyarakat, dan para musisi menjadi frustasi..

Oleh karena itu, dalam masa tahun 40-an terjadi pencetusan bentuk-bentuk musik baru, salah
satunya jump band. Jump band adalah bentuk grup musik yang membawakan musik humor dan
biasanya mengandung unsur porno di dalam liriknya. Jump band ini kemudian bercabang ke musik
R&B, serta mengilhami bentuk rock'n'roll yang juga merupakan kelanjutan bentuk perkembangan
boogie woogie ke arah bentuk musik pop ataupun rock.

Pada jazz be bop, batasan-batasan yang berlaku dalam jazz swing sedikit diperlonggar, lebih
ekspresif dan cenderung lebih progresif. Maka itu, sejak masa be bop, muncullah istilah jazz
progresif, dan musik jazz dinyatakan masuk ke dalam era jazz modern.

Munculnya musik rock dan menggaung di seluruh dunia pada tahun 1946-an merupakan saingan
terberat jazz untuk terus berjalan dan berkembang. Akhirnya be bop runtuh dan musik jazz bersifat
dingin, maka muncullah istilah cool jazz. Cool jazz berlangsung dari tahun 1949 hingga tahun 1951.
Pada masa-masa itu, musik jazz mengalami transisi karena terdesak oleh menggeloranya musik
rock.

Pada masa modern jazz, atau tepatnya memasuki era 60-an, timbul bentuk musik baru yang disebut
soul dan funk. Soul timbul dari pengaruh gereja gospel dengan pengaruh blues. Sedangkan funk
punya arti 'lebih keras dari tusukan peniti'. Hal tersebut diartikan tentang keduniawian, karena funk
lebih cenderung untuk komersial. Di samping 2 bentuk musik tersebut, ada bentuk yang masih setia
pada alur utama jazz, dan akhirnya disebut dengan istilah hard bop.

Jazz adalah sebuah seni ekspresi dalam bentuk musik. Anggapan musik jazz adalah
musiknya kaum elite dan mapan ternyata salah besar bila dilihat dari sejarah terbentuknya aliran ini.
Jazz disebut sebagai musik fundamental dalam hidup manusia dan cara mengevaluasi nilai-nilai
tradisionalnya. Tradisi jazz awalnya dari , pengaruh dari tribal drums dan musik gospel, blues serta
field hollers (teriakan peladang).

Proses kelahirannya telah memperlihatkan bahwa musik jazz sangat berhubungan dengan
pertahanan hidup dan ekspresi kehidupan manusia di kalangan bawah.
Yang menarik adalah bahwa asal kata “jazz” berasal dari sebuah istilah vulgar yang digunakan
untuk aksi seksual. Sebagian irama dalam musik jazz pernah diasosiasikan dengan rumah-rumah
bordil dan perempuan-perempuan “nakal”. Jazz akhirnya menjadi bentuk seni musik, baik dalam
komposisi tertentu maupun improvisasi, yang merefleksikan melodi-melodi secara spontan. “Kalau
kau menanyakannya, kau tak akan pernah tahu” begitu menurut Louis Armstrong.

Legenda jazz dimulai di New Orleans dan berkembang ke Sungai Mississippi, Memphis, St. Louis,
dan akhirnya Chicago. Tentu saja musik jazz dipengaruhi oleh musik yang ada di New Orleans,
tribal drums Afrika dan struktur musik ala Eropa. Latar belakang jazz tidak dapat dilepaskan dari
fakta di mana jazz dipengaruhi berbagai musik seperti musik spiritual, cakewalks, ragtime dan
blues.

Salah satu legenda jazz yang dipercaya bahwa sekitar 1891, seorang pemilik kedai cukur rambut di
New Orleans bernama Buddy Bolden meniup cornet-nya dan saat itu lah musik jazz dimulai sebagai
gebrakan baru di dunia musik. Setengah abad kemudian, musik jazz di Amerika memberi banyak
kontribusi di dunia musik, dipelajari di universitas, dan akhirnya menjadi sebuah aliran musik yang
serius dan diperhitungkan.

Musik jazz sebagai seni yang populer mulai menyebar ke hampir semua masyarakat Amerika pada
tahun 1920-an (dikenal sebagai Jazz Age). Jazz semakin marak di era swing pada akhir 1930-an,
dan mencapai puncaknya di akhir 1950-an sebagai jazz modern. Di awal tahun 20-an dan 30-an,
“jazz” telah menjadi sebuah kata yang dikenal umum.

Pengaruh dan perkembangan musik blues tidak dapat ditinggalkan saat membahas musik jazz di
tahun-tahun awal perkembangannya. Kemampuan untuk memainkan musik blues menjadi standar
bagi semua musisi jazz, terutama untuk digunakan dalam berimprovisasi dan ber-jam session.
Pemain musik blues biasanya menggunakan gitar, piano, harmonika, atau bermain bersama dalam
kelompok yang memainkan alat-alat musik buatan sendiri.

Jejak Langkah Jazz di Indonesia

Menelusuri sejarah jazz di Indonesia memang agak sulit. Sebab, selain terdapat banyak
pendapat yang berbeda tentang siapa, kapan, dan di mana musik jenis ini muncul di Indonesia,
pelaku-pelaku langsungnya sendiri yang bisa dijadikan sebagai narasumber juga sudah tidak ada.

Menurut Sudibyo Pr, seorang pencinta jazz dan penulis buku tentang musik jazz, konon
pemain musik jazz pribumi dari Indonesia pertama kali adalah orang Aceh. Ia juga mengatakan
bahwa di negeri ini orang Indonesia yang pertama kali memainkan musik jazz adalah tentara. Para
tentara itu biasanya dipanggil untuk menghibur pejabat-pejabat Belanda dan orang-orang Indonesia
yang haknya disamakan oleh orang Belanda. Waktu itu, mereka bermain musik jazz di Societet.
Padahal, tidak banyak orang Indonesia yang bisa memasuki gedung itu.

Sementara itu, ada pula yang menyebut bahwa jazz masuk ke Indonesia pada waktu yang
bersamaan dengan merebaknya jazz di New Orleans, Amerika, pada tahun 1900-an. Dan pada tahun
1920, tercatat ada band bernama Black & White di bawah pimpinan seorang musikus yang
nasionalis, yakni Wage Rudolf Supratman. Band tersebut terbentuk dan bermain di Kota Makassar.
Sedangkan di Jakarta, pada tahun 1930-an, juga ada sebuah grup band beraliran jazz bernama
Melody Makers yang dimotori oleh Jacob Sigarlaki. Waktu itu, Jacob didukung oleh musisi lain
seperti Bootje Pesolima, Hein Turangan, Nico Sigarlaki, serta Tjok Sinsu. Tapi ada juga yang
mengatakan bahwa jazz pertama kali dimainkan di Indonesia pada tahun 1922. Sebab, di tahun
tersebut, ada seorang pemain saksofon dari Belanda yang datang ke Indonesia dengan kawan-
kawannya lalu membuat band. Waktu itu, band tersebut dianggap sebagai band jazz yang pertama
di Indonesia. Hampir 80% personel band itu adalah orang Indo-Belanda, sedangkan yang pribumi
sedikit sekali.

1940-an Hingga 1960-an

Lalu, di tahun 1940-an, Hein Turangan juga


membentuk grup band jazz bernama Jolly Strings di Jakarta.
Di era 1940-an itu, muncul pula seorang kritikus jazz bernama
Harry Liem yang aktif menulis di koran Jazz Wereld. Tapi
setelah selesai Perang Dunia II, Harry Liem pindah ke
Amerika dan meneruskan karirnya sebagai penulis jazz di
sana.

Pada pertengahan tahun 1950-an ada seorang pemain


piano bernama Nick Mamahit yang merilis album “Sarinande”.
Waktu itu Nick didukung oleh Bart Risakotta (drum) dan Jim
Espehana (bass). Ada yang menyebut album “Sarinande” dianggap sebagai tonggak rekaman musik
jazz di Tanah Air.

Di seputaran dekade 60-an, jazz Indonesia juga meramaikan tempat-tempat hiburan malam seperti
bar atau kafe. Dari lingkungan tersebut, muncullah multi-instrumentalis, Bill Saragih, yang
kemudian melakukan perjalanan ke beberapa negara di Asia hingga Amerika. Bill Saragih antara
lain dikenal lewat kelompok The Jazz Riders. Grup ini pada awalnya dibentuk oleh Didi Pattirane.
Tapi setelah Didi Pattirane pindah ke New York, grup ini diteruskan oleh Didi Tjia dan Bill
Saragih.

Di tahun 1960-an pula terjadi pergolakan politik di dalam negeri dan hal itu sedikit banyak
mempengaruhi perkembangan musik jazz di Indonesia. Pada tahun-tahun tersebut, jazz dimainkan
secara sembunyi-sembunyi. Sebab, musisi jazz dan penggemarnya dihinggapi perasaan takut
dituduh sebagai antek imperialis.

Meskipun tidak ada larangan secara tertulis (resmi), ancaman tuduhan tersebut membuat
musisi dan penggemar jazz merasa ketar-ketir sehingga perkembangan musik jazz di era 1960-an
bisa dibilang lambat. Tapi hak itu tidak berlangsung lama. Setelah melewati masa-masa susah,
tepatnya pada tahun 1967-an, para musisi jazz mulai menapak lagi.
Gebrakan Indonesia All Stars

Di tahun 1967, grup jazz Indonesia All Stars membuat kaget para pencinta musik jazz dunia
karena berhasil tampil di ajang “Berlin Jazz Festival”. Saat itu, Indonesia All Stars, yang konon
berlatih susah payah dengan segala keterbatasan, terdiri dari Bubi Chen (piano), Jopie Chen (bass),
Jack Lesmana (gitar), Benny Mustapha Van Diest (drum), dan Maryono (saksofon). Lagu-lagu yang
mereka suguhkan sangat unik sehingga saat itu disebut sebagai “jazz ala Indonesia”. Mereka juga
mampu mengaransemen lagu Djanger Bali dan Ku Lama Menanti menjadi “ucapan penghargaan
dan terima kasih” atas dukungan perusahaan penerbangan Belanda, Koninklijke Luchtvaart
Maatschappij (KLM), yang telah memfasilitasi keberangkatan Indonesia All Star.

Di ajang “Berlin Jazz Festival” tersebut, Bubi Chen mendapatkan respons sangat positif dari
para penulis jazz internasional. Ia lantas disebut sebagai pianis jazz terbaik di Asia dan mendapat
gelar sebagai “Art Tatum of Asia”. Art Tatum bisa disebut sebagai salah satu pianis jazz terbesar
yang pernah ada yang telah meninggal dunia di tahun 1956.

Di kancah perjalanan musik Jazz tanah air, nama Margie Segers juga patut diperhitungkan.
Dia seakan menjadi icon penyanyi jazz yang mewarnai industri musik Indonesia di era awal 70-an.
Kepiawaiannya dalam membawakan lagu jazz patut dibanggakan, bahkan legenda musisi jazz
Indonesia, Jack Lesmana, memuji suara Mergie yang bening dan berkarakter. Tak salah bila pada
album “Siapa Bilang Sayang”, Jack Lesmana menggandeng Margie untuk melantunkan sejumlah
tembang hasil karya beberapa musisi jazz Tanah Air, antara lain A. Ryanto, Charles Mercys, Bing
Slamet, Narto Sabdo, dan Jack Lesmana sendiri.

Memasuki dekade 70-an, kehidupan jazz Indonesia makin marak dan tampak mulai terpusat
di beberapa kota besar. Di Jakarta, Jack Lesmana yang didukung penuh oleh sang istri, Nien
Lesmana, menggelar jazz di panggung-panggung, terutama di areal Taman Ismail Marzuki, serta di
layar kaca TVRI.

Dari Indra Lesmana Hingga Chandra Darusman

Pada 30-31 Mei 1976, dalam acara bertajuk “Jazz Masa Dulu dan
Kini”, muncullah musisi belia dan musikus masa depan: Indra Lesmana,
putra Jack Lesmana. Waktu itu, Indra Lesmana bermain piano di atas
pangkuan Broery Marantika karena kakinya belum bisa menyentuh pedal
piano. Pementasan “Jazz Masa Lalu dan Kini” tersebut kemudian direkam
dan dirilis ke publik lalu dianggap sebagai rekaman live pertama di Tanah
Air saat itu. Dalam rekaman tersebut, seperti juga dalam pementasannya, tampil para musisi papan
atas seperti Bubi Chen, Benny Likumahuwa, Didi Tjia, Benny Mustapha, Abadi Soesman, Margie
Segers, Rien Djamain, Broery Marantika. Termasuk pula Indra Lesmana dan kakak-beradik, Oele
dan Perry Pattiselanno.

Menyangkut rekaman, di tahun 70-an, Jack Lesmana juga kerap menghasilkan album
rekaman jazz. Selain album solo, ia juga melahirkan album dari beberapa penyanyi seperti Margie
Segers, Rien Djamain, Broery Marantika. Dan saat itu terdapat label rekaman Hidayat, sebagai label
indie yang aktif memproduksi rekaman-rekaman jazz. Hidayat kemudian ditemani label lain
bernama Pramaqua.

Pada tahun 1977, Pramaqua merilis album Jopie Item Combo & Idris Sardi, yang antara lain
didukung pula oleh musisi kawakan seperti Karim Suweilleh (drums), Abadi Soesman (drum) dan
Wempy Tanasale (bass). Album ini mengetengahkan duet permainan biola Idris Sardi dan raungan
gitar Jopie Item.

Jopie Item sejak pertengahan 1970-an muncul sebagai generasi lanjutan jazz Indonesia yang
lumayan aktif bermain di pentas clubs dan TVRI. Grupnya waktu itu yang terkenal adalah Jopie
Item Combo. Jopie juga bermain dengan Rully Johan atau Abadi Soesman. Sementara Abadi
Soesman sendiri juga memiliki proyek jazz rock-nya yang lain dengan kelompok The Eternals,
yang juga bermain di clubs.

Di akhir 1970-an, tepatnya di 1978, berdirilah kafe bernama Green Pub di gedung Djakarta
Theatre di pusat Kota Jakarta, yang lantas menjadi salah satu tempat trendy terpenting bagi
pergerakan jazz di era 80-an. Waktu itu, yang tampil dalam grup yang memakai nama Gold Guys
sebagai formasi perdana adalah Armand (keyboard), Djoko Waluyo Haryono (gitar), Dicky
Prawoto (bass), Karim Suweilleh (drum), dan Embong Rahardjo yang kerap digantikan oleh
Maryono (saksofon). Vokalisnya waktu itu adalah Jackie Bahasoean, vokalis jazz yang datang dari
Surabaya.

Perlu diingat pula, di akhir 70-an tersebut mulai terdeteksi


pergerakan jazz di lingkungan kampus. Yang paling menonjol adalah
Universitas Indonesia lewat para mahasiswa Fakultas Ekonominya.
Pada waktu itu muncul Chandra Darusman dengan kelompok
vokalnya bernama Chaseiro yang antara lain didukung teman-teman
sekampusnya seperti kakak beradik Helmie dan Rizali Indrakesuma,
Edi Hudioro, Norman Sonisontani, atau Omen.
Fariz RM, Peter F. Gontha, dan Balawan

Di akhir 1970-an juga muncul musisi muda lain Fariz Rustam


Munaf. Fariz merilis album yang unsur jazz rock-nya lumayan tebal yaitu
“Sakura” di tahun 1978. Fariz adalah wakil figur muda dari lingkungan
SMA yang tampil ke permukaan meramaikan pergerakan jazz Indonesia,
walaupun waktu itu ia lebih dipandang sebagai musisi dan penyanyi pop.

Perjalanan panjang jazz juga tak akan lengkap tanpa kehadiran klub-klub
jazz yang sempat bertaburan di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya. Klub tersebut antara
lain adalah Jamz milik pengusaha penggila jazz yakni Peter F. Gontha. Kiprah Peter F. Gontha
tidak bisa dilepaskan dari sejarah kemajuan jazz di Tanah Air. Lewat koneksinya yang luas, ia
mampu meyakinkan para musisi jazz kelas satu dunia untuk menggelar pertunjukan di Indonesia.
Berkat jasanya pula, para musisi jazz Indonesia bisa bermain di event-event jazz internasional.

Di era tahun 1980-an selain pergelaran jazz lokal macam “Jazz Goes To Campus” yang
sekarang sudah menjadi agenda rutin setiap tahun dan digelar di kampus UI, pada tahun 1988 juga
terselenggara sebuah event jazz yang terbesar yang pernah digelar oleh anak negeri, yakni Jakarta
International Jazz Festival atau yang lebih dikenal dengan nama Jak Jazz, atas gagasan Ireng
Maulana.

Perhelatan jazz akbar ini sungguh membanggakan karena diikuti oleh musisi jazz dunia,
baik dari Amerika, Eropa, dan Asia. Tentu saja ratusan musisi jazz kita ikut bergumul sambil
berkolaborasi satu panggung dengan musisi-musisi luar negeri. Musisi-musisi dari luar yang
memeriahkan Jak Jazz pertama itu adalah Phil Perry, Lee Ritenour, Larry Corvell, Kazumi
Watanabe, Frederick Noran Band, Igor Brill Ensemble. Di era tahun 2000-an jazz di Indonesia
makin berkembang dengan sangat pesat, lihat saja grup-grup baru yang mengusung format musik
jazz yang juga sukses secara komersial seperti Bali Lounge, Maliq & D’Essentials, Park Drive,
Rieka Roeslan, dan Sova. Dan yang tak boleh dilupakan adalah munculnya Balawan, gitaris asal
Bali yang permainannya selalu mendapat pujian, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.

Anda mungkin juga menyukai