Anda di halaman 1dari 3

HARIAN UMUM SORE

SINAR HARAPAN
Minggu, 5 Oktober 2008.

Indonesia Menjadi Target Penelitian

Mikroba Tanah Mampu Kurangi Gas Rumah Kaca

Jakarta, Sinar Harapan

Indonesia, bersama enam negara tropis lain, akan menjadi target penelitian untuk
mengorek kekayaan hayati di bawah tanah. Puluhan ribu spesies yang hidup di bawah tanah,
mulai dari cacing, bakteri, jamur, hingga serangga, belum terpetakan hingga sekarang.
Padahal pemetaan ribuan mikroba ini bisa memperbaiki kesuburan dan mengatasi degradasi
tanah secara alamiah, tanpa bantuan pupuk kimia. Yang tak kalah penting, mikroba tersebut
juga bisa mengurangi produksi gas rumah kaca.

Klaus Toepfer, Direktur Eksekutif United Nations Environment Programme (UNEP),


dalam rilis yang diluncurkan pekan lalu mengatakan ”Kehidupan bawah tanah belum banyak
dipelajari. Saat orang berpikir tentang penemuan spesies baru, mereka cenderung
memikirkan mengenai hutan hujan, rawa mangrove atau puncak gunung. Padahal temuan
tersebut berada hanya beberapa milimeter di bawah telapak kaki kita.”

Syukurlah, kini para peneliti telah menunjukkan bukti bahwa di sejumlah kawasan,
terutama wilayah tropis, terdapat ribuan spesies yang akan sangat berguna bagi kehidupan.
Ribuan spesies ini dijanjikan akan sangat berjasa bagi konsep pembangunan berkelanjutan,
yang berarti juga memberantas kemiskinan.

Adalah Louis Pasteur, bapak mikrobiologi modern, yang mengatakan bahwa mikroba
mampu menimbulkan dampak lingkungan yang cukup besar. Cacing tanah, rayap dan
organisme renik lain, misalnya, mempengaruhi kemampuan tanah menyerap air hujan.
Tanah yang tidak memiliki organisme cenderung dalam kondisi kering dan berisiko
mengalami bencana besar, seperti banjir dan erosi. Akibatnya, kualitas air sungai dan
sejumlah habitat juga ikut terpengaruh.

Sementara keberadaan bakteri dan jamur membantu meminamilkan polutan dan


kuman penyebab penyakit dari air tanah ketika bakteri ini menapis melalui tanah untuk
waduk dan sumber penyimpanan air minum lainnya. Organisme yang hidup di tanah juga
memainkan peran penting dalam mengeluarkan karbondioksida, methane, dan gas rumah
kaca lainnya dari tanah ke atmosfer.

Copyright © Sinar Harapan 2002


HARIAN UMUM SORE

SINAR HARAPAN
Minggu, 5 Oktober 2008.

Pemahaman dan penguraian peran makhluk kecil yang disebut ”siklus karbon” ini
bisa membantu tanah menyerap gas rumah kaca lebih banyak. Penelitian menunjukkan
bahwa organisme yang hidup di dalam tanah mampu menetralkan hama tanaman, binatang
dan manusia serta patogen.

”Peran besar” mikroba ini memang masih menunggu penemuan, terutama di


kawasan tropis yang belum diteliti. Diharapkan bahwa ”harta” genetik ini bisa digunakan
untuk obat, termasuk antibiotik dan produk industri abad ke-21.

Organisme tanah ini juga berfungsi sebagai pupuk hayati. Dr. Fatima Moreira, ahli
mikrobiologi tanah dari Federal University of Lavras di Lavras, Brazil, mengatakan bakteri
penghasil nitrogen telah dikirim ke Brazil untuk mendorong hasil buncis dengan cara ramah
lingkungan.

Buncis yang disuntik dengan spesies bakteri penghasil nitrogen --disebut


Bradyrhizobium-- menuai panen yang menggembirakan, meski sama sekali tidak melibatkan
penggunaan pupuk pestisida. Teknik baru ini, dikatakan Moreira, menghemat ekonomi
nasional sekitar satu miliar dolar per tahun.

Dr. Moreira mengatakan telah melakukan survei terhadap 2000 spesies, termasuk
pohon, belukar dan tumbuhan obat di Brasil, untuk menemukan spesies yang cocok untuk
disuntik dengan bakteri penghasil nitrogen.

Proyek Baru

Untuk mengungkap ”peran” mikrobiologi tanah inilah diluncurkan proyek senilai


US$26 juta. Sebanyak US$9 juta didanai dari Global Environment Facility (GEF) dan donor
lain yang terlibat adalah Rockefeller Foundation. Proyek ini ditargetkan pada pengungkapan
keanekaragaman hayati bawah tanah dari tujuh negara tropis, yakni Brasil, Meksiko, Cote
d'Ivoire, Uganda, Kenya, India dan Indonesia.

Ahmed Djoghlaf, kepala UNEP/GEF yang berbasis di Nairoibi, Kenya mengatakan.


”Ada kebutuhan mendesak untuk mengakses, mengelompokkan dan merekam bentuk
kehidupan di bawah tanah. Beberapa orang bahkan sadar bahwa peningkatan pertanian dan
pembersihan hutan untuk tanah pertanian memicu kepunahan dan penurunan jumlah
tanaman dan binatang di atas permukaan tanah.” Ada bukti bahwa dampak yang sama akan

Copyright © Sinar Harapan 2002


HARIAN UMUM SORE

SINAR HARAPAN
Minggu, 5 Oktober 2008.

terjadi di bawah tanah. Jadi ini terjadi maka kita akan kehilangan spesies berguna dari tanah
bahkan tanpa diketahui.

Sementara Mike Swift, Direktur Tropical Soil Biology and Fertility Institute of CIAT
(TSBF) yang berbasis di Nairobi yang mengkoordinir proyek ”Conservation and Sustainable
Management of Below-Ground Biodiversity” mengatakan negara-negara tersebut dipilih
karena dianggap memiliki keanekaragaman hayati dalam tanah paling tinggi.
Proyek ini bertujuan mendorong perluasan kesadaran dan pengetahuan penyelamatan
bentuk kehidupan dalam tanah bagi para ahli lingkungan, petani, pejabat pemerintah dan
pakar lain di negara-negara berkembang.

Namun Riza Tjahjadi, Direktur Pesticide Action Network, mengingatkan bahwa


proyek semacam ini hendaknya bukan merupakan upaya negara maju untuk ”mengakali”
negara berkembang. ”Jangan sampai, sample yang didapat kemudian diangkut ke negara
mereka dan kita tidak mendapatkan apa-apa,” ujar Riza saat dihubungi SH Selasa (3/12).
Riza menambahkan bahwa jika proyek tersebut sebatas penelitian tidak menjadi masalah.
Namun perlu ditegaskan bahwa laboratorium penelitian mesti terbuka dan end user terlibat
secara langsung maupun berhak melakukan pengamatan terhadap proses penelitian
tersebut. ”Jangan sampai, petani sebagai end user misalnya, tidak tahu apa-apa dan hanya
menerima hasil akhir penelitian itu,” jelas Riza.

Satu hal penting yang ditambahkan Riza adalah pelibatan observer atau pemantau
dalam penelitian ini sehingga target penelitian tersebut tidak diselewengkan sehingga justru
berdampak negatif.

Selain menemukan spesies baru, salah satu tujuan proyek ini adalah menguji jika
ada perbedaan vegetasi yang berperan dalam pendorong atau mengurangi keragaman
kehidupan di bawah tanah. Menurut para peneliti Brasil, pertanian monokultur, misalnya,
dianggap mengurangi keanekaragaman hayati bawah tanah dibanding pertanian polikultur.
Menariknya, sejumlah petani Indonesia yang memperjuangkan pertanian polikultur ditentang
oleh pemerintahan Orde Baru waktu itu karena dianggap mengurangi hasil produksi
pertanian. Rezim saat itu memang hanya mengandalkan limpahan produksi sesaat –lewat
pertanian monokultur-- dan menafikan kehancuran keanekaragaman hayati yang
mengikutinya. (san).

Copyright © Sinar Harapan 2002

Anda mungkin juga menyukai