Anda di halaman 1dari 15

1.

ILMU PENGTAHUAN DALAM PANDANGAN ISLAM

Dewasa ini, ilmu pengetahuan dengan berbagai komponen-komponennya sudah


berkembang sangat luas. Idealnya perkembangan ilmu pengetahuan tersebut telah
memberikan dampak positif bagi kehidupan manusia, yakni kehidupan yang makin
cerdas dan baik yang mampu membangun ilmu pengetahuan, kebudayaan dan
peradaban, yang idealnya dapat membimbing manusia agar mampu berpikir positif,
konstriktif, holistik, serta dapat nerguna untuk memecahkan berbagai masalah dalam
kehidupan.

Jadi, tidak dapat dipungkiri lagi bahwa dngan cara demikianlah maka ilmu
pengetahuan dapat digunakan untuk mewujudkan rahmat Allah di muka bumi,
mengingat semua ilmu hakikatnya berasal dari Allah SWT.

Menurut H.M. Quraish Shihab, bahwa untuk membahas hubungan Al-Quran


dengan ilmu pengetahuan bukan dengan melihat melihat sesuatu yang sudah jelas  di
mata seperti lampu bila padam akan menjadi gelap tetapi yang lebih utama adalah
dengan melihat adakah jiwa ayat-ayatnya menghalangi kemajuan ilmu pengetahuan
atau sebaliknya, serta adakah satu ayat Al-Quran yang bertentangan dengan hasil
penemuan ilmiah tersebut.

Pertama, Terdapat pandangan bahwa di dalam Al-Quran sudah tercakup semua


teori ilmu pengetahuan. Mulai dari teori gravitasi bumi, relativisme, anatomi, fisika,
kimia dan lain sebagainya, dianggap sudah ada di dalam Al-Quran. Kemudian, terdapat
pandangan bahwa antara perkembangan ilmu pengetahuan dan Al-Quran tidak ada
hubungannya sama sekali. Bagaimana bisa? Ilmu pengetahuan berdasarkan hasil
pancaindera dan akal pikiran terhadap fenomena alam dan fenomena sosial, sedangkan
Al-Quran berdasarkan wahyu dari Allah SWT.

Oleh sebab itu, umat Islam tidak perlu ragu dalam menerima ilmu pengetahuan
dari manapun, karena tidak ada hubungannya dengan agama. Pendapat yang demikian,
berakibat terjadinya sikap sekularisme dalam islam. Jika demikian, lantas apa
hubungannya antara Al-Quran dengan ilmu pengetahuan atau sains? Hal ini pun juga
sudah sempat menjadi perselisihan antara pendapat para ulama yang sudah
berlangsung cukup lama.

Semantara ini, ada seorang ahli keislaman yang berpendapat bahwa ilmu
menurut Al-Quran yaitu mencakup segala macam pengetahuan yang berguna bagi
manusia dalam kehidupannya, baik untuk masa kini maupun untuk masa yang akan
datang. Untuk pendapat yang satu ini memang sudah tidak diragukan lagi, mengingat Al-
Quran adalah kitab Allah yang telah terbukti kebenarannya yang tidak diragukan lagi dan
mengingat pula bahwa ilmu pengetahuan datangnya dari Allah SWT.
Selanjutnya, terdapat pandangan bahwa di dalam Al-Quran terdapat isyarat-
isyarat, petunjuk, dan dorongan dari ayat-ayat Al-Quran  yang memerintahkan seluruh
umat manusia untuk mengembangkan berbagai macam ilmu pengetahuan. Dengan
demikian, yang diperlukan bukan dilihat dari banyaknya berbagai teori dalam Al-Quran,
tetapi dari segi spiritnya, atau dorongannya.

Dengan cara demikian, maka setiap orang akan mengkaji Al-Quran dengan
sungguh-sungguh dan akan menghasilkan berbagai temuan ilmiah. Namun demikian,
temuan-temuan tersebut agar tidak dimutlakkan, dan tidak dianggap sebagai satu-
satunya kebenaran, melainkan dianggap sebagai temuan yang bersifat temporer, dan
masih dapat diperbaharui dan dikembangan dengan akal dan kemampuan manusia
dalam memanfaatkan segala pengetahuan yang Allah berikan.

2. PENTINGNYA IMAN DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER MUSLIM

Dalam Alquran banyak sekali kisah kisah yang didalamnya ada iman yang
melahirkan pendidikan karakter, diantarnya dari kisah Nabi yusuf, yang tidak hanya
memiliki ketampanan di luar namun didalam hatinya juga, kisah Nabi musa, Nabi isa,
Nabi Adam, Nabi Muhamad, dll. Kisah tersebut kita bisa mengetahui bahwa setelah kita
beriman kepada Allah sebagai pondasi teologis utama, pada akhirnya syariah dan akhlak
akan menjadi implementasinya.

Karakter yang dikembangkan dalam surat Luqman selanjutnya yaitu pada ayat
13 tentang makna inna al-syirka la zhulmun al-azhim yang artinya mempersekutukan
Allah merupakan kezaliman yang besar. Ayat ini menekankan pentingnya keimanan
sebagai pondasi utama setiap manusia. Sehingga setiap manusia muslim diwajibkan
mempercayai dengan sepenuh hati adanya Allah SWT. Perbuatan tidak mempercayai
atau mempersekutukan Allah disebut syirik, syirik adalah perbuatan mempersekutukan
Allah dengan makhluk-Nya, seperti patung, pohon besar, batu, dan lainnya.
Mempersekutukan Allah dikatakan kezaliman yang besar, karena perbuatan itu berarti
menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya. Sebagai umat Islam telah diketahui bahwa
tauhid merupakan asas puncak dan tertinggi dalam Islam, sehingga perbuatan
mengingkari tauhid dengan menyekutukan Allah merupakan dosa besar yang tidak
dapat ditolerir, kecuali dengan taubat yang sebenar-benarnya (taubatan nasuha) .

Lukman juga memberikan pelajaran kepada anak anaknya. Mulai dari beriman
kepada Allah, tidak menyekutukan Allah, menghormati orang tua meskipun berbeda
paham, tidak boleh sombong, tidak boleh merendahkan orang lain dengan sebutan yang
hina dll. Lukman juga berkata tentang iman, taqwa dan tawakal adalah sebuah kesatuan
yang akan menyelamatkan manusia dalam meraih ridho Allah “Wahai anakku, Dunia ini
merupakan sebuah lautan yang dalam, telah banyak orang-orang yang hanyut
kedalamnya, mak jadikanlah iman sebgai kapalmu di dunia ini, taqwa sebagi isinya, dan
tawakal sebagai layarnya. Mudah-mudahan dengan demikian engkau bisa selamat dan
saya kwatir engkau tidak bisa selamat” .

Salah satu landasan normatif pendidikan karakter adalah berasal dari kitab suci
suatu agama. Dalam konteks agama Islam, Al-Qur’an dan Hadits merupakan pedoman
dan rujukan utama dalam bertingkah laku. Larangan mempersekutukan Allah dalam
Islam mutlak ditaati dan dilaksanakan karena merupakan perintah dan ajaran agama
sebagai bentuk pengakuan terhadap kekuasaan Allah SWT. Landasan normatif tersebut
dibutuhkan mengingat bahwa nilai dan norma tidak bersifat netral tetapi memiliki
keperpihakan pada sumber yang lebih tinggi. Demikian pentingnya pendidikan karakter
keimanan yang berbasis nilai religius karena merupakan kebenaran wahyu Tuhan atau
disebut juga konservasi moral.

Pendidikan karakter tentang iman juga menekankan pentingnya monoloyalitas


bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah SWT, perbuatan
menyembah selain Allah SWT merupakan bentuk kemusyrikan. Novan Ardy Wiyani
mengungkapkan bahwa salah satu karakter yang harus terbentuk dalam perilaku peserta
didik adalah peningkatan keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa
melalui olah hati. Iman dan taqwa kepada Tuhan menurut Novan merupakan landasan
yang kuat untuk terbentuknya karakter. Dengan iman dan taqwa tersebut akan terukir
karakter positif lainnya .

3. ILMU FALAK: PENGERTIAN DAN MANFAAT MEMPELAJARI ILMU FALAK


 PENGERTIAN ILMU FALAK

Menurut bahasa, falak artinya ‫ مدار النجوم‬atau orbit atau peredaran/lintasan


benda-benda langit, sehingga ilmu falak adalah ilmu pengetahuan yang
mempelajari lintasan benda-benda langit khususnya bumi, bulan dan matahari
pada orbitnya masing-masing dengan tujuan untuk diketahui posisi benda langit
tersebut antara satu dengan lainnya agar dapat diketahui waktu-waktu di
permukaan bumi. 

Istilah ilmu falak dapat disejajarkan dengan istilah Practical Astronomi


(Astronomi Praktis) yang terdapat dalam dunia astronomi. karena hasil
perhitungan dari ilmu ini dapat dipraktekan atau dimanfaatkan manusia dalam
kehidupan sehari-hari. Dinamakan juga Ilmu Hisab karena kegiatan yang menonjol
dari ilmu ini ialah menghitung kedudukan ketiga benda langit di atas.

 MANFAAT ILMU FALAK

Dengan mempelajari ilmu falak atau ilmu hisab, kita dapat memastikan
matahari sudah terbenam untuk berbuka puasa, melakukan rukyatul hilal dengan
tepat ke posisi hilal.
Dengan demikian, ilmu falak atau ilmu hisab dapat menumbuhkan keyakinan
dalam melakukan ibadah, sehingga ibadahnya lebih khusyu’. Nabi SAW bersabda :
“Sesungguhnya sebaik-baik hamba Allah adalah mereka yang selalu
memperhatikan matahari dan bulan untuk mengingat Allah” (HR. Thabrani).

4. METODE PENENTUAN ARAH KIBLAT

Untuk mengetahui akurasi dari metode-metode penentuan arah kiblat, dapat


dilihat dari langkah kerja masing-masing metode sebagai berikut :

a. Metode pengukuran dengan mengetahui azimuth kiblat

Metode ini memperhitungkan besar sudut kiblat pada bola bumi. Ketika ingin
mengetahui arah kiblat maka secara otomatis perhitungan yang dimaksud adalah untuk
mengetahui arah menuju Ka’bah di Mekah dilihat dari suatu tempat di permukaan Bumi.
Perhitungan arah kiblat dilakukan dengan menggunakan prinsip ilmu ukur segitiga bola.
Untuk perhitungan arah kiblat, ada 3 titik yang diperlukan, yaitu: titik A, terletak di lokasi
yang akan dihitung arah kiblatnya, titik B terletak di Ka’bah, dan titik C terletak di kutub
Utara. Metode pengukuran dengan mengetahui azimuth kiblat dapat diaplikasikan di
lapangan dengan menggunakan alat bantu seperti yang akan dijelaskan di bawah ini
yaitu:

1) Theodolit dan GPS

Theodolit merupakan salah satu alat ukur sudut digital yang dapat
dikategorikan paling akurat untuk mengukur kiblat. Di samping theodolit, ada
Total Station yang dilengkapi dengan piranti Global Positioning System (GPS)
sebagai pemandu arah dan posisi. Sistem kerja alat ini pada dasarnya sama yaitu
dengan bantuan sinar matahari untuk mengetahui posisi azimuth matahari, dari
posisi tersebut dapat diketahui arah utara sejati yang digunakan untuk
menentukan arah kiblat tempat tersebut. Aplikasi sudut kiblat dengan alat ini
tergolong cukup akurat. Terbukti dengan pengecekan kembali yang telah penulis
lakukan pada beberapa masjid dan mushalla, hasil aplikasi sudut kiblat dengan
theodolit sama dengan hasil metode rashdul kiblat. Untuk mendapatkan hasil
pengukuran dengan theodolit yang akurat, maka dibutuhkan data yang akurat
pula. Data titik koordinat suatu tempat yang digunakan dalam penentuan arah
kiblat sebaiknya diperoleh dari GPS. GPS (Global Positioning System) merupakan
sebuah alat penerima informasi waktu dan posisi secara pasti dan benar karena
menggunakan data satelit yakni kode tertentu yang dikirimkan oleh satelit ke
penerima GPS (Abidin, 2000: 43).

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang ini telah


memungkinkan penggunaan teknologi satelit dalam berbagai bidang keilmuan,
baik yang sifatnya ilmiah maupun praktis. Pemanfaatan teknologi satelit berupa
GPS ini digunakan dalam survei dan pemetaan khususnya penentuan posisi.
Walaupun GPS bukan satu-satunya teknologi penentuan posisi, tetapi metode
ini digunakan hampir di semua tempat tanpa terganggu oleh waktu dan cuaca.
Metode GPS merupakan teknologi satelit yang banyak digunakan di setiap
Negara. Metode GPS ini menggunakan sistem WGS 1984 sebagai acuan
perhitungan posisi yang mengacu pada datum geosentrik yang berlaku
Internasional. Dengan adanya persamaan pemakaian sistem datum posisi
dengan sistem datum gravitasi normal yaitu menggunakan sistem WGS 1984,
maka dapat diperoleh keuntungan yaitu tidak perlu dilakukan trasformasi
koordinat hasil pengukuran GPS ke sistem lokal. Sehingga sistem GPS ini dapat
dimanfaatkan dalam hal penentuan posisi secara akurat dalam pengukuran arah
kiblat.

2) Segitiga Kiblat

Segitiga kiblat adalah metode pengukuran arah kiblat dengan menggunakan


perhitungan trigonometri segitiga siku. Segitiga kiblat ini salah satu metode
praktis yang dapat diterapkan ketika sudah diketahui arah utara sejati dan sudut
kiblat tempat yang diinginkan. Metode ini tergolong cukup akurat karena untuk
mendapatkan sudut kiblat, panjang kedua sisi diperhitungkan secara teliti
menggunakan penggaris. Setelah kedua sisinya dapat ditentukan, maka akan
terbentuk sebuah segitiga, di mana salah satu sudutnya merupakan sudut kiblat.

Pengukuran arah kiblat dengan segitiga ini tergolong praktis diterapkan di


lapangan dan mudah digunakan karena hanya menggunakan perhitungan
trigonometri. Namun pada aplikasinya sangat tergantung pada penunjukan titik
utara sejati sebelumnya. Selain itu, ketelitian dalam mengambil data jarak
memakai penggaris harus sangat diperhatikan karena panjang garis beberapa
milimeter, sudut yang dibentuk tidak akurat lagi. Sehingga dalam pengukuran
memakai segitiga ini harus benar-benar teliti.

3) Rubu’ Mujayyab dan Busur Derajat

Rubu’ mujayyab atau kuadrant merupakan metode pengukuran sudut kiblat


yang telah ada pada abad pertengahan yang lalu. Dalam hal ketelitian, sudut
yang dihasilkan rubu’ mujayyab ini hampir sama dengan busur derajat. Ketelitian
maksimum yang dapat dicapai hanya sampai pada satuan menit. Ini dapat dilihat
dari bentuk sexagesimal yang terdapat dalam bentuk seperempat lingkaran ini.

Selain tergantung pada penentuan arah utara sejati, tentu saja haruslah
sangat berhatihati ketika memposisikan Rubu’ Mujayyab sejajar utara atau barat
sejati dan khoit rubu’ ditarik sebesar sudut kiblat, karena ketika satuan jaib yang
kecil yang ada satuannya adalah menit terkadang menimbulkan kesalahan
dalam penarikan khoit. Di samping itu, data yang dipakai dalam rubu’ mujayyab
masih kasar dan sulit untuk dideteksi. Sehingga metode ini digolongkan pada
metode pengukuran yang kurang akurat.

4) Segitiga siku dari bayangan setiap saat

Segitiga siku-siku dari bayangan matahari merupakan alternatif pengukuran


arah kiblat yang dapat dikategorikan akurat, sederhana dan murah. Metode ini
menggunakan teknik yang hampir sama dengan alat theodolit. Komponen
utama yang harus diketahui ketika menggunakan segitiga siku adalah azimuth
kiblat dan azimuth matahari. Dengan dua komponen tersebut, maka arah kiblat
dapat ditentukan dengan mengambil bayangan sebuah tongkat yang didirikan
tegak lurus di pelataran yang datar pada waktu yang telah ditentukan.

Akan tetapi yang perlu diperhatikan, tingkat akurasi dari metode segitiga
sikusiku ini tergantung pada beberapa hal, yaitu: ketepatan jam yang digunakan
untuk acuan pengukuran, ketepatan pengambilan data lintang dan bujur Ka’bah
dan tempat yang diukur arah kiblatnya sesuai dengan konsep geografik atau
geosentriks, ketepatan data deklinasi dan equation of time yang digunakan,
serta ketelitian pengambilan bayangan benda dari tingkat yang benar-benar
berdiri tegak lurus di tempat yang benar-benar datar.

Dengan kata lain, metode pengukuran arah kiblat dengan segitiga siku-siku
dari bayangan matahari setiap saat akan menghasilkan arah kiblat yang akurat
bilamana data-data pendukungnya akurat. Bila data-data pendukungnya akurat,
maka arah kiblat yang dihasilkan dapat menyamai hasil arah kiblat dengan alat
theodolit dan GPS, dan rashdul kiblat.

5) Kompas

Pengukuran arah kiblat maupun arah utara dengan berbagai model kompas
termasuk kompas kiblat, masih memiliki kesalahan/ penyimpangan bervariasi
sesuai dengan deklinasi magnetik suatu tempat. Sehingga menurut penulis,
kompas hanya digunakan sebatas ancar-ancar saja, karena melihat bukti di
lapangan ketika dilakukan pengukuran di daerah yang banyak terdapat baja,
besi, atau medan listrik, dapat mengganggu penunjukan arah utara dan selatan
sejati.

Penggunaan kompas harus digunakan pada area lapangan yang sekiranya


tidak terdapat besi dan bahan logam lainnya dan tetap menggunakan koreksi
deklinasi magnetik. Ini dilakukan untuk meminimalisir penyimpangan yang
ditunjukkan utara magnetis kompas. Di samping itu, pengukuran kiblat dengan
kompas ini terbatas hanya pada satuan derajat busur yang ada pada kompas
tersebut.
b. Metode Pengamatan
1) Rashdul Kiblat

Rashdul kiblat merupakan metode pengamatan bayangan pada saat posisi


matahari berada di atas Ka’bah atau ketika matahari berada di jalur yang
menghubungkan antara Ka’bah dengan suatu tempat. Pada setiap tanggal 28
Mei dan tanggal 16 Juli, semua bayangan benda yang tegak lurus di permukaan
bumi yang terkena sinar matahari akan menunjukkan arah kiblat. Metode arah
kiblat tradisional ini termasuk akurat bila dibandingkan dengan metode lain yang
hanya ancar-ancar seperti kompas, rubu’ mujayab, segitiga kiblat, dan busur
derajat.

Berdasarkan pada deklinasi matahari yaitu pergerakan matahari ke


utara dan selatan bumi yang berubah setiap harinya, waktu rashdul kiblat dapat
ditentukan. Rashdul kiblat ini memperhitungkan posisi matahari ketika berada
tepat di atas Ka’bah walaupun posisinya sedikit condong ke sebelah utara atau
sebelah selatan Ka’bah. Pada saat itu setiap benda yang berdiri tegak lurus di
atas permukaan bumi, bayangannya akan mengarah ke Ka’bah. Peristiwa Istiwa
’adzom ini ditandai dengan adanya persamaan lintang Ka’bah dengan deklinasi
matahari.

Waktu rashdul kiblat ini adalah waktu transit matahari di atas Ka’bah,
sehingga dalam proses perhitungannya perlu dihitung meridian pass pada hari
tersebut dengan cara mengurangi waktu zawal (pkl. 12.00 MMT) dengan nilai
e.445

MP = pkl.12.00 – e

= pkl. 12.00 – 00j 02m 45d

= pkl. 11: 57: 15 MMT

Waktu zawal di Mekah pada tanggal 28 Mei 2010 adalah pkl. 11: 57: 15
MMT, sehingga untuk mengetahui deklinasi pada jam tersebut446 dilakukan
cara interpolasi dengan mengambil data dari ephemeris atau program WinHisab
yaitu:

0 pkl. 11: 00: 00 MMT/ pkl. 08: 00: 00 GMT = 210 27’ 41”

0 pkl. 12: 00: 00 MMT/ pkl. 09: 00: 00 GMT = 210 28’ 05”

0 pkl. 11: 57: 15 MMT/ pkl. 09: 57: 15 GMT = 210 28’ 3,9”

Deklinasi matahari pada saat zawal di atas Ka’bah sebesar 210 28’ 3,9”.
Artinya pada waktu tersebut nilai deklinasi matahari hampir sama dengan
lintang Ka’bah geografik (210 25’ 21,17”). Waktu inilah yang merupakan waktu
di mana bayang-bayang setiap benda yang berdiri tegak lurus di permukaan
Bumi dapat menunjukkan arah kiblat.

Sehingga untuk mengetahui waktu rashdul kiblat pada tanggal 28 Mei


2010 di Indonesia bagian barat, terlebih dahulu harus dihitung perbedaan waktu
antara Mekah dan Indonesia bagian barat yaitu dengan mengetahui selisih bujur
Mekah dengan Indonesia bagian barat yaitu:

 (Bujur) Mekah = 390 49’ 34,56” BT

 (Bujur) Indonesia bagian Barat = 105o

Selisih Bujur Mekah dan lokasi = 65o 10’ 25,44”

Sehingga diketahui selisih waktu di antara 2 lokasi yaitu 04j 20m 41,7d
(65o 10’ 25,44” x 4’). Jadi waktu Rashdul kiblat di Indonesia bagian barat yaitu
dengan menambah 04j 20m 41,7d yaitu 16:17:56,7 WIB (dibulatkan pukul 16:18
WIB), dan untuk Indonesia bagian tengah yaitu tinggal menambah satu jam yaitu
pkl. 17:18 WIT, dan Indonesia bagian timur yaitu tinggal menambah dua jam
yaitu pkl. 18:18 WITA.

Waktu rashdul kiblat ternyata tidak hanya dapat dimanfaatkan pada


tanggal 28 Mei atau 16 Juli saja, akan tetapi ada toleransi di mana hari sebelum
atau sesudahnya dapat digunakan untuk menentukan arah kiblat.

2) Metode Peta Satelit

Menganalisis metode peta satelit ini, yakni dengan melakukan


pengamatan arah kiblat melalui beberapa software kiblat yang ada. Seperti
google earth, program ini merupakan tempelan gambar peta-peta yang
disatukan. Keterangan ini penulis peroleh dari seorang ahli Bakosurtanal yang
mengetahui persis konsep yang digunakan dalam program google earth. Aplikasi
yang dapat dikonsumsi masyarakat umum ini pada dasarnya menggunakan
bentuk matematis astronomis yakni pendekatan Bumi berbentuk bola.

Kemudian riskannya ketika mengambil data dari google earth yang bisa
menyebabkan kesalahan sistemik. Maksudnya, ketika satu titik kita ambil jika
sumber gambar wilayah tersebut sudah berubah sekitar 1 cm, maka akan
menimbulkan pergeseran sesuai dengan perubahan tadi. Selain itu penerapan
sudut yang diperhitungkan program tidak dapat diaplikasikan di lapangan.
Dengan mengamati, maka akan hanya dapat mengetahui apakah arah bangunan
mushala dan masjid tersebut sudah mengarah kiblat dengan benar atau belum.
Sehingga, dari hal ini metode peta satelit ini tetap menjadi salah satu metode
pengamatan untuk menentukan arah kiblat, akan tetapi dengan
mempertimbangkan beberapa hal yang telah disebutkan di atas.

Dari penjelasan di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa aplikasi


pengukuran sudut azimuth kiblat yang paling akurat adalah menggunakan alat
ukur sudut Theodolit dan GPS sebagaimana beberapa point yang telah
dijelaskan terdahulu. Pengukuran azimuth kiblat dapat dinilai menghasilkan
ketelitian dan keakuratan penunjuk arah. Akan tetapi tetap harus dengan
koreksi yaitu menggunakan perhitungan dari data-data titik koordinat geosentris
(yang berarti menggunakan konsep ellipsoid). Sedangkan penentuan arah kiblat
dari metode pengamatan yaitu menggunakan rashdul kiblat dan peta satelit,
dapat dipilih bahwa metode yang paling akurat adalah metode rashdul kiblat.
Karena metode ini dapat menunjukkan ketepatan dalam menghadap kiblat yaitu
adanya waktu bayangan arah kiblat. Akan tetapi tetap melakukan koreksi yaitu
menggunakan data geosentris.

5. POSISI MATAHARI PADA AWAL WAKTU SHALAT

Kedudukan Matahari pada waktu shalat menurut hukum Islam dapat disimpulkan
sebagai berikut:

1) Shalat dzuhur sejak Matahari tergelincir sampai bayang-bayang sesuatu duakali


panjangnya.
2) Shalat Ashar dimulai sejak bayang-bayang sesuatu sama panjangnya
sampaisempurna terbenam Matahari.
3) Shalat Magrib dimulai sempurna terbenam Matahari sampai hilang megamerah.
4) Shalat Insya dimulai semenjak hilang mega merah sampai terbit fajar keduaatau
fajar shadiq.
5) Shalat subuh dimulai semenjak terbit fajar kedua sampai terbit piringan
atasMatahari.
6. PERHITUNGAN WAKTU SHALAT

Untuk menghitung awal waktu salat, data – data yang diperlukan antara lain:
Lintang dan bujur tempat, deklinasi, tinggi matahari, saat matahari berkulminasi, sudut
waktu matahari, dan ikhtiyat.

1) Zuhur

Waktu zuhur telah didefenisikan dalam beberapa cara pada literatur fikih:

a) Saat Matahari mulai Menurun (Zawaal) setelah mencapai titik tertinggi


di langit
b) Saat bayangan sebagai penanda (tongkat tegak) mencapai panjang
minimum dan mulai bertambah.
c) Saat piringan Matahari keluar dari garis Zenit, yaitu garis diantara
pengamat dan pusat matahari saat posisinya paling tinggi.

Defenisi pertama dan kedua masih sepadan, sebagaimana panjang


bayangan memiliki hubungan terhadap ketinggian matahari dan dapat dihitung
menggunakan rumus berikut:

Panjang bayangan: Tinggi Benda x Cot (Sudut Matahari)

Sudut Matahari adalah fungsi yang kontiniu sepanjang waktu dan hanya
memiliki satu titik puncak yang menunjukkan tepatnya tengah hari. Sehingga
berdasarkan dua defenisi, zuhur dapat segera dimulai setelah Tengah Hari.

Defenisi ketiga sedikit berbeda dari dua defenisi sebelumnya, berdasarkan


defenisi ini, matahari harus melintasi garis Zenith sebelum Zuhur dimulai. Kita
dapat menggunakan informasi berikut dalam menghitung waktunya:

 Jari – jari Matahari (r) : ~695.500 km


 Jarak Matahari-Bumi (d) : 147.098.074km ~ 152.097.701 km

Dengan adanya r dan d, taktu t yang dibutuhkan untuk matahari melintasi


garis zenit dapat dihitung menggunakan rumus berikut:

T : arctan (r/d) /2 π × 24 × 60 × 60

Pada nilai maksimum didapatkan dari rumusan diatas adalah 65 detik.


Sehingga, diperkirakan sekitar 1 menit hingga piringan matahari keluar dari zenit
dan dapat dianggap sebagai perhitungan waktu zuhur jika defenisi ketiga
digunakan. Waktu kulminasi matahari dapat dihitung dengan mudah
menggunakan rumusan sebagai berikut:

Waktu tengah hari: 12 – EoT + Zona waktu- Bujur pengamat

15
Dalam perhitungan waktu zuhur dalam dalam urumus umum
perhitungannya kita akan melihat rumus sebagai berikut:

Waktu dzuhur : 12 – EoT – t – Bujur Pengamat (λ) – Bujuk Tolok Daerah

Jika rumus (2) disesuaikan kembali posisinya maka akan terlihat seperti
berikut:
t- Bujur Pengamat – Bujur Tolok Daerah
Waktu Dzuhur : 12 – EoT - + ikhtiyat
15

2) Asar

Ada dua pendapat utama dalam penentuan perhitungan waaktu Asar.


Kebanyakan sekolah (termasuk Shafi’i, Maliki, Ja’fari, dan Hanbali) mengatakan
Asar adalah waktu saat panjang bayangan sebuah benda sama dengan panjang
benda tersebut ditambah panjang bayangan saat tengah hari. Pendapat
dominan dalam Hanafi mengatakan Asar dimulai saat panjang bayangan benda
adalah dua kali panjang benda ditambah panjang bayangan benda saat tengah
hari. Rumus-rumus yang digunakan:

 Tinggi matahari: Cotan h⁰ = │tan [ø – ƍ] + 1│


 Sudut waktu matahari = Cos t = sin Һ - tan ø tan ƍ
Cos ø, Cos ƍ
 Awal waktu asar = 12 – e + (t/15) + kwd + i

Dengan:

h° = Ketinggian Matahari Saat Asar

ø = Lintang Tempat

ƍ = Deklinasi Matahari

e = Equation of time

Rumus 1) digunakan untuk menentukan ketinggian matahari saat zuhur


yang akan memenuhi kriteria panjang bayangan adalah panjang benda
ditambah panjang bayangan saat tengah hari. Hal ini dapat dilihat dari adanya
konstanta (nilai tetap) yaitu 1 yang menunjukkan panjang atau nilai yang sama.
Berikutnya adanya operasi terigonometri dalam menentukan panjang
(Bayangan) saat siang hari, ditunjunkkan dengan menghitung nilai zenit
matahari zm dengan adanya nilai ø sebagai bidang patokan dan juga adanya ƍ
yang menunjukkan posisi matahari. Variabel ini adalah variabel yang nilainya
dapat berubah – ubah yang digunakan sebagai perhitungan nilai yang digunakan
pada saat menghitung bayangan yang terjadi bila lintang tempat dan nilai
deklinasi berbeda.

Rumus 2) digunakan untuk mengukur sudut matahari yang dibentuk


saat awal waktu asar. Variabel yang digunakan adalah perbandingan lintang dan
deklinasi matahari menunjukkan penyesuaian posisi pengamat terhadap
ketinggian matahari yang memenuhi posisi matahari yang membentuk kriteria
pada rumus 1). Rumus 3) Sebagai perhitungan waktu awal salat Asar. Dimulai
dari meredian Pass yang ditambahkan dengan konversi sudut waktu matahari ke
dalam jam ditambah dengan ikhtiyat dan waktu lokal.

3) Magrib

Shalat magrib dimulai sejak matahari terbenam sampai hilang mega


merah. Terbenamnya matahari itu apabila piringan matahari secara keseluruhan
sudah tidak kelihatan, karena sudah berada di bawah ufuk. Keadaan demikian,
secara astronomi dapat dikatakan bahwa matahari terbenam ketika pinggir
piringan atasnya menurut pengelihatan pengamat sudah berimpit dengan
horizon mar`i kemudian ditunjukkan dengan ketinggian matahari saat terbenam.
10 Rumus-rumus yang digunakan:

 Menentukan Dip : 1,76 √ m


 Tinggi Matahari : - (Semi Diameter + refraksi + Dip)
 Sudut waktu matahari : Cos t = sin Һ - tan ø tan ƍ
Cos ø, Cos ƍ
 Awal waktu magrib = 12 – e + (t/15) + kwd + i

Rumus 1) Dip adalah ketinggian posisi pengamat, diukur dalam satuan


meter. Ketinggian pengamat mempengaruhi keterlihatan dari piringan matahari,
lama terbenamnya. Hal ini berlahu dalam perhitungan waktu magrib dan waktu
terbit.

Rumus 2) Waktu magrib merupakan waktu saat matahari berada di ufuk


terbenam. Ketinggian matahari adalah -1 derajat. Yang menjadi parameter
dalam perhitungan adalah refraksi dan besar piringan matahari sehingga sudut
waktu matahari dapat ditetapkan dengan jumlah dari jari – jari yang terlihat
(semi diameter) di permukaan ufuk dengan nilai refraksi yang mengakibatkan
posisi matahari lebih tinggi sebesar 34’30” ditambah dengan pengaruh
ketinggian terhadap keterlihatan matahari terbenam.
Rumus 3) dan 4) masih menggunakan formulasi yang sama dalam
perhitungannya untuk penentuan waktu. Variabel yang diperlukan sudah
didapat dari rumus 1) dan 2).

4) Isya

Pada saat itu matahari berkedudukan 18o dibawah ufuk (horizon)


sebelah barat atau bila jarak zenit matahari = 108 derajat. Adapun rumus yang
digunakan adalah :

 Tinggi Matahari : h° = -18°


 Sudut waktu matahari : Cos t = sin Һ - tan ø tan ƍ
Cos ø, Cos ƍ
 Awal waktu isya = 12 – e + (t/15) + kwd + i

Dalam perhitungan waktu isya, kriteria kecerlangan langit (saat


menghilang mega merah di labgit hingga gelap) telah banyak dikonversikan ke
dalam satuan kesepakatan dengan ketinggian 18 derajat dibawah ufuk barat.
Baik dari pemerintah ataupun lembaga lain (lihat tabel diatas) menunjukkan nilai
ketinggian isya yang yang berlaku pada banyak negara adalah sebesar 18
derajat.

Ketinggian pengamat dan refraksi cahaya tidak dimasukkan ke dalam


perhitungan karena tidak memperhatikan posisi ketinggian matahari diatas ufuk
dan besar piringan yang terlihat. oleh karena itu Rumus 3) digunakan kembali
sebagai konversi waktu awal salat dari besaran sudut waktu matahari yang
didapat dari perhitungan sebelumnya.

5) Subuh

Kriteria dari waktu subuh sendiri adalah kebalikan dari waktu Isya, yaitu
dimulai sejak muncul cahaya fajar di langit timur. Defenisi utamanya sendiri
merujuk kepada peningkatan kecerlangan cahaya di langit setelah munculnya
cahaya zodiak. Perbedaan kriteria dalam konversinya pada ketinggian matahari
pun terlihat pada penelitian di berbagai tempat. Di indonesia sendiri
menggunakan ketinggian 20 derajat dibawah ufuk sebelah timur. Hal ini dapat
dilihat misalnya pendapat ahli falak terkemuka indonesia yaitu Saadoe’ddin
Djambek yang disebut – sebut sebagai pembaru pemikiran hisab di indonesia.
Beliau menyatakan bahwa waktu subuh dimulai dengan tampaknya fajar
dibawah ufuk sebelah timur dan berakhir dengan terbitnya matahari.
Menurutnya dalam ilmu falak saat tampaknya fajar didefenisikan dengan posisi
matahari sebesar 20 derajat dibawah ufuk timur. Senada dengan Abdur Rachim
yang menyebutkan bahwa waktu subuh ditandai dengan tampaknya fajar sidiq
dan dianggap masuk waktu subuh ketika matahari 20 derajat dibawah ufuk. Jadi
jarak zenit matahari berjumlah 110 derajat (90 derajat + 20 derajat). Sementara
batas akhir waktu subuh adalah waktu syuruq (terbit), yaitu = -01 derajat.

Di dalam bukunya, Susiknan Azhari 11melihat pemikiran Saadoe’ddin


Djambek dan Abdur Rachim di atas nampaknya masih banyak dipengaruhi oleh
Syaikh Taher Djalaluddin Azhari. Dalam bukunya yang berjudul Nakhbatu at-
Taqrirati fi Hisabi alauqati disebutkan bahwa waktu subuh bila matahati 20
derajat dibawah ufuk sebelah timur. Oleh karenanya sudah saatnya kajian awal
waktu salat didialogkan dengan hasil – hasil riser kontemporer agar sesuai
dengan tuntutan syar’i dan sains modern sehingga hasil yang diperoleh lebih
valid dan mendekati kebenaran. Adapun rumus yang digunakan adalah :

 Tinggi Matahari : h° = -20°


 Sudut waktu matahari : Cos t = sin Һ - tan ø tan ƍ

Cos ø, Cos ƍ

 Awal waktu subuh = 12 – e + (t/15) + kwd + i

Pada poin 1) adalah ketinggian yang digunakan dalam perhitungan


waktu salat subuh di indonesia berdasarkan pedoman perhitungan waktu salat
Depag RI, sehingga penulis menggunakan besar nilai -20 derajat (di timur)
menyesuaikan kepada referensi yang digunakan, dan jika ingin menggunakan
nilai yang lain dapat dibandingkan pada tabel diatas (Jarak Zenit matahari waktu
Subuh dan Isya) yang bisa disesuaikan juga pada hasil penelitian di sekitar
tempat pengamatan. Karena memang masih membutuhkan jawaban dan
pembuktian saat kriteria dan keadaan langit terjadi dan memenuhi sehingga bisa
dikonversikan dan didapatkan ketinggian matahari di awah ufuk yang
sebenarnya. Tidak adanya pengaruh ketinggian tempat pengamat menunjukkan
tidak diperlukannya penampakan fisik matahari, hanya pengaruh cahaya
terhadap kecerlangan langit fajar.

Rumus 2) kembali digunakan sebagai konversi nilai


ketinggian/kedalaman matahari dalam satuan sudut waktu. Karena memang
nilai sudut waktu yang menjadi variabel utama dalam perhitungan waktu salat.

Pada rumus 3) jika diperhatikan dengan seksama perbedaan yang


muncul adalah nilai dari (t/15) menjadi negatif (-) yang berarti terjadi
pengurangan waktu. Dikarenakan waktu subuh terjadi sebelum waktu Zuhur
(Meridian Pass), maka nilai sudut waktu di arah timur menjadi pengurang untuk
mendapatkan nilai jam sebelumnya ataupun nilai waktu subuh. Pada
perhitungan waktu salat yang diatas, rumus 3) akan menunjukkan nilai (t/15)
yang selalu positif (penambah) dikarenakan waktu - waktu salat tersebut terjadi
setelah tengah hari (Meridian Pass) dan patokan utama dari setiap perhitungan
adalah saat Meridian Pass.

Gambar 1. Bola Langit Saat Subuh (Sumber:Perhitungan Waktu Salat)

7. METODE PENENTUAN AWAL BULAN KAMARIYAH

Anda mungkin juga menyukai