Anda di halaman 1dari 3

Dari Ngintip, Nguping Hingga ‘Anjangsana’ Dalam Mimpi

“KH. Romzi Al-Amiri Mannan, Direktur Pusat Pendidikan Ilmu al-Qur’an” begitulah
saya membaca sampul buku tipis lusuh yang tak sengaja terbaca ketika sibuk membantu abi
memindahkan buku-bukunya ke rak. Setelah bertanya siapa sosok tersebut, abi menjawab
sekenanya, “kyai di Nurul Jadid”. Seraya ber-oh pendek, lantas memasukkan buku yang berisi
tentang ilmu tajwid itu kedalam lemari dan melanjutkan aktifitas.
Pada tahun 2017 saya masuk ke Pondok Pesantren Nurul Jadid dengan status siswi
mutasi. Berdomisili di asrama PPIQ, lengkap sudah bahwa saya tidak tahu-menahu tentang sosok
yang ternyata dahulu pernah ‘membaca’ buku beliau yang tercetak angka 2001 di sampul
belakangnya. Belakangan saya ketahui adalah ulama sekaligus intelektual Islam produktif yang
intens melahirkan puluhan karya dari jemarinya.
Suatu hari saat bersama teman-teman yang lain, seluruh siswi yang memenuhi koridor
mendadak senyap. Disusul kemudian mereka sigap berdiri sembari menundukkan kepalanya dan
membelah kerumunan dan membentuk sebuah jalan. Sontak saya mengikuti formasi spontan
tersebut dengan beberapa kali celingukan akibat penasaran. Hingga teman saya menegur agar
saya menjaga sikap, sebentar lagi kyai romzi lewat.
Bayangan saya langsung terlintas pada sosok berbaju serba putih bersurban lengkap
dengan kitabnya. Maklum, kyai kalau mengajar rata-rata begitu. Namun saya salah. Satu-satunya
yang melintas adalah sosok berkopyah hitam, mengenakan kemeja liris-liris, celana hitam
bersabuk dan tas selempang di bahu sebelah kanan beliau. Langkahnya tegap dan tak segan
menyapa siswi yang dikenalnya, tak luput juga senyum yang selalu mengembang.
Inilah awal keterkejutan sekaligus kekaguman saya pada kyai Romzi. Kesederhanaannya
tak sebanding dengan “al-mukarram” yang disandangnya. Keterkejutan saya tak berhenti
sampai disitu. Sebagai anggota Pers, saya biasanya berada di kantor pers siswa yang berbagi
ruang dengan ruang kelas program keagamaan. Hanya terpisah sekat kayu. Dan saya mendapati
beliau mengajar dengan riang sekali. Suasana di kelas itu pastilah hidup. Beliau tak segan
menghampiri muridnya satu-satu.
Juga sesekali menegur muridnya yang mengantuk sembari nyeletuk dengan jokes khas
beliau. Atau berpura-pura melempar pertanyaan agar murid yang mengantuk segar kembali. Hal
inilah yang membuat saya ketagihan untuk selalu ingin ‘sekedar’ memandang beliau. Hingga
menggerakkan saya untuk nekat menunggui beliau rawuh, dan berlanjut dengan rutinitas
nguping di kantor pers hingga ngintip di jendela yang selalu saya lakukan hingga lulus MANJ.
Demikianlah kesan yang saya dapat sosok kyai kharismatik ini. Ingin rasanya menjadi
santri resmi beliau dan merasakan pengajaran beliau langsung. Namun keinginan tersebut urung
lantaran fokus saya berbeda. Kesan akan kecerdasan, kesederhanaan dan kelihaian dalam
berkomunikasi lintas kalangan terpatri begitu saja dalam hati ketika melihat wajah beliau.
Artinya, beliau telah banyak merubah hidup saya.
Hingga pada suatu hari menjelang subuh, saya melihat beliau memakai kopyah putih dan
berbaju gelap rapi. Beliau, tanpa tedeng aling-aling menghampiri saya seraya tersenyum kepada
saya. “kenapa kyai Romzi disini?” Seketika saya terbangun. Ternyata hanya mimpi. Saya sempat
merasakan ketakutan dan denyut jantung mendadak kencang, ndredeg. Saya berangkat menuju
mushala dengan menyisakan sedikit tanya. Kok tiba-tiba mimpi kyai Romzi?
Wirid dibacakan, saya berada di barisan belakang dengan rasa kantuk ala santri yang luar
biasa. Lalu terdengar pengumuman untuk menambah bacaan istighatsah dan yasin yang
dikhususkan kepada beliau. Ternyata beliau sedang sakit. Saya terperanjat. Kemudian tiba-tiba
membatin, “apa secepat ini, Kyai? sembari tetap berusaha menampik perasaan tersebut. Namun
takdir berkata lain. Empat hari setelah itu beliau wafat.
Wafatnya beliau tentu menyisakan duka yang mendalam. Tetapi bukan berarti hal
tersebut menghentikan kita untuk terus meneguk keberkahan dari beliau. Karena bahkan mereka
hidup di sisi tuhannya dengan mendapatkan rezeki (Q.S. 3:169). Bagi saya pribadi, sekalipun
hanya bermodal ngintip dan nguping, beliau telah memberikan saya banyak teladan, kesan dan
pengajaran. Tatkala beliau ‘beranjangsana’ melalui mimpi sejatinya masih merasa percaya dan
tidak.
Siapalah saya dimata beliau? Namun dalam ‘anjangsana’ itu, saya berharap bahwa beliau
memaafkan saya yang telah lancang curi-curi pandang hingga ngintip dan nguping ketika beliau
mengajar. Terlebih, saya berharap bisa dianggap santri beliau sekalipun tidak pernah berinteraksi
langsung. Selamat jalan, Kyai. Selamat bertemu dengan orang yang engkau cintai. Dan mohon
restui kami agar selalu istiqamah dalam menapaki langkahmu hingga akhir hayat nanti.
Profil Singkat Penulis:
Nama : Wildana Rahmah
Domisili : Asrama PPIQ Dalbar
Pendidikan : Mahasiswa UNUJA semester III

Anda mungkin juga menyukai