Anda di halaman 1dari 16

PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA OLEH ANGGOTA TENTARA

NASIONAL INDONESIA (TNI) DALAM PERSPEKTIF


HUKUM PIDANA MILITER
Oleh :
Dr.Hj Emma Dysmala S, SH.,MSi

ABSTRAK

Anggota TNI yang melakukan tindak pidana narkotika akan dijatuhi


sanksi pidana sesuai dengan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika apabila terbukti melakukan tindak pidana penyalahgunaan
narkotika. Sesuai dengan Pasal 6 KUHPM, terhadap anggota militer yang
melakukan tindak pidana selain dijatuhi pidana pokok juga dapat dijatuhi pidana
tambahan. Jenis pidana tambahan tersebut berupa pemecatan dari dinas militer,
penurunan pangkat dan pencabutan hak-hak tertentu. Untuk pidana tambahan
yang berupa pemecatan dinas dari militer dan penurunan pangkat tentunya tidak
diatur dalam hukum pidana umum. Kedua jenis pidana tambahan ini adalah murni
bersifat kemiliteran dan sekaligus merupakan pemberatan pemidanaan bagi
anggota militer.

Kata Kunci : Penyalahgunaan Narkotika, Anggota TNI, Peradilan Militer

A. Latar Belakang Masalah


Penyalahgunaan narkotika merupakan masalah yang sangat populer
sekaligus menjadi suatu keprihatinan bangsa Indonesia saat ini. Peredaran dan
penyalahgunaan narkotika di Indonesia sudah pada taraf sangat mengkhawatirkan,
jika diamati berita-berita berbagai media hampir setiap hari ada tindak pidana
narkotika. Hal ini mengindikasikan begitu mudah seseorang mendapatkan
narkoba yang pada akhirnya akan mengancam dan merusak generasi bangsa.
Bahaya penggunaan narkotika tidak mengenal waktu, tempat dan strata
sosial seseorang. Obat terlarang ini mampu merambah seluruh lapisan masyarakat
bahkan aparat penegak hukum maupun Tentara Nasional Indonesia (TNI) ikut
terlibat sebagai pengedar dan pemakai narkotika. Padahal mereka diharapkan
mampu memberikan contoh pada masyarakat untuk menjauhi narkotika,

1
2

mengingat militer di Indonesia identik dengan suatu institusi yang anggotanya


sangat taat dan disiplin terhadap hukum yang ada.
Tentara Nasional Indonesia adalah nama sebuah angkatan perang dari
Negara Indonesia. Pada awal dibentuk bernama Tentara Keamanan Rakyat (TKR)
kemudian diganti nama menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI) dan kemudian
diubah lagi namanya menjadi Tentara Nasonal Indonesia (TNI) hingga saat ini.
TNI terdiri dari tiga angkatan bersenjata yaitu TNI Angkatan Darat, TNI
Angkatan Laut dan TNI Angkatan Udara. TNI dipimpin oleh seorang Panglima
TNI, sedangkan masing-masing angkatan dipimpin oleh Staf angkatan.1
Anggota TNI apabila melakukan tindak pidana akan di proses sesuai dengan
hukum yang berlaku sampai ke meja hijau. Proses di meja hijau dilakukan oleh
peradilan khusus, yaitu peradilan militer, sama dengan peradilan negeri, peradilan
militer juga terbuka untuk umum kecuali tindak pidana kesusilaan, namun jarang
sekali masyarakat sipil yang hadir untuk mengikuti jalannya persidangan. Jika
dilihat dari hukum, prajurit TNI mempunyai kedudukan yang sama dengan
anggota masyarakat biasa, artinya bahwa sebagai warga Negara, bagaimanapun
berlaku semua ketentuan hukum yang berlaku baik hukum pidana, perdata, acara
pidana dan acara perdata, perbedaannya hanya karena ada tugas dan kewajiban
khusus daaripada warga Negara biasa terutama dalam hal yang berhubungan
dengan pertahanan Negara.2 Dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun
2004 tentang TNI Pasal 7 ayat (1):
”Tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan Negara,
mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh
tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan
bangsa dan Negara”.

Oleh karena itu, menjaga integritas TNI serta menjamin terlaksananya dan
berhasilnya tugas TNI yang sangat penting karena langsung berhubungan dengan
tegak dan runtuhnya Negara, maka di samping peraturan-peraturan yang bersifat
khusus yang sifatnya lebih keras dan lebih berat bagi prajurit TNI. Adapun

1
Tentara Nasional Indonesia, https://id.wikipedia.org/wiki/Tentara_Nasional_Indonesia,
diakses 10 Januari 2020, pukul 10:30
2
Moch. Faisal Salam, Peradilan Militer Indonesia (Bandung: Mandar Maju, 1994),
hlm.15.
3

peraturan-peraturan yang bersifat khusus tersebut diantaranya, yaitu hukum


pidana militer dan hukum acara pidana militer.3 Hukum pidana militer dan hukum
acara pidana militer, adalah hukum khusus karena untuk membedakan dengan
hukum pidana umum dan hukum acara pidana umum yang berlaku untuk semua
orang. Dalam penerapannya, hukum pidana militer dipisahkan menjadi Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) sebagai hukum material dan
hukum acara pidana militer sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1997 tentang Peradilan Militer sebagai hukum formal.
Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Pasal 1
ayat (1) ditegaskan bahwa narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari
tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat
menyebabkan hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan
dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan
sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009.Jenis-jenis
narkotika dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 pada Bab III ruang
lingkup pada pasal 6 ayat 1 menegaskan bahwa narkotika di golongkan menjadi
Narkotika golongan I, Narkotika golongan II, Narkotika golongan III.
Peradilan Militer diberi wewenang oleh undang-undang sebagai peradilan
khusus yang memeriksa dan mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh anggota
TNI, yang secara khusus dibentuk untuk melaksanakan tugas Negara di bidang
penyelenggara pertahanan Negara yang ditundukkan dan diberlakukan hukum
militer.
Dibentuknya lembaga Peradilan Militer tidak lain adalah untuk menindak
para anggota TNI yang melakukan tindak pidana dan menjadi salah satu alat
kontrol bagi anggota TNI dalam menjalankan tugasnya. Sehingga dapat
membentuk dan membina TNI yang kuat, professional, dan taat hukum karena
tugas TNI sangat besar untuk mengawal dan menyelamatkan bangsa dan Negara.
Dengan demikian penegakan hukum di bidang hukum militer harus
semakin dimaksimalkan, sebagaimana diketahui bersama bahwa hukum militer
sebagai subsistem dari sistem pertahanan keamanan Negara perlu mengatur secara
tegas mengenai operasionalisasi dari tatanan kehidupan bela Negara yang

3
Tri Andrisman, Hukum Pidana Militer (Bandar Lampung: Unila, 2010), hlm. 32.
4

melahirkan pertahanan, keamanan rakyat semesta. Tatanan kehidupan bela Negara


mencakup penyelenggaraan seluruh daya kemampuan bangsa dan harus disusun
diarahkan serta dikerahkan secara terpadu dan terkendali baik mengenai tenaga
manusia, fasilitas, peralatan maupun jasa dan ruang wilayah. Arah pengembangan
hukum militer menuju pada terciptanya keserasian antara penyelenggara
kesejahteraan dan penyelenggaraan keamanan dalam rangka mewujudkan
wawasan nusantara serta ketahanan nasional, guna menjamin eksistensi kehidupan
berbangsa dan bernegara yang bertujuan membangun manusia seutuhnya.4
Anggota TNI yang melakukan tindak pidana narkotika akan dijatuhi
sanksi pidana sesuai dengan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika apabila terbukti melakukan tindak pidana penyalahgunaan
narkotika. Sesuai dengan Pasal 6 KUHPM, terhadap anggota militer yang
melakukan tindak pidana selain dijatuhi pidana pokok juga dapat dijatuhi pidana
tambahan. Jenis pidana tambahan tersebut berupa pemecatan dari dinas militer,
penurunan pangkat dan pencabutan hak-hak tertentu. Untuk pidana tambahan
yang berupa pemecatan dinas dari militer dan penurunan pangkat tentunya tidak
diatur dalam hukum pidana umum. Kedua jenis pidana tambahan ini adalah murni
bersifat kemiliteran dan sekaligus merupakan pemberatan pemidanaan bagi
anggota militer.
Beberapa kasus yang terjadi pada anggota militer yaitu mengenai peradilan
militer terhadap anggota TNI yang melakukan penyalahgunaan
narkotika.Peradilan militer merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman di
lingkungan angkatan bersejata untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan
memperhatikan kepentingan penyelengaraan pertahanan dan keamanan negara
khususnya penerapan peradilan militer terhadap anggota TNI yang melakukan
penyalahgunaan narkotika. Selanjutnya yang menjadi permasalahan berkisar pada
penerapan sanksi pidana terhadap anggota TNI yang melakukan tindak pidana
penyalahgunaan narkotika oleh peradilan militer dan tetap harus
mempertimbangkan ketentuan-ketentuan yuridis yang berlaku serta dayagunanya.
Daya guna penjatuhan pidana terhadap anggota TNI yang melakukan

Suhadi, Pembahasan Perkembangan Pembangunan Hukum Nasional Tentang Militer


4

dan Bela Negara (Jakarta: Badan Pembina Hukum Nasional Tentang Hukum Militer dan Bela
Negara1996), hlm. 2.
5

penyalahgunaan narkotika bagi diri sendiri, daya guna adalah bahwa hukum perlu
menuju pada tujuan yang penuh harga, karena pemidanaan bagi seorang militer
pada dasarnya lebih merupakan suatu tindakan pendidikan atau pembinaan
daripada tindakan penjeraan atau pembalasan. Berat ringannya sanksi pidana
tidak semata-mata untuk memberi efek jera atau pencegahan terhadap
penyalahguna narkotika maupun mencegah masyarakat umum untuk melakukan
perbuatan yang serupa.

B. PEMBAHASAN
Indonesia sebagai negara menyatakan diri negara hukum, landasan
tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945
hasil Amandemen yang berbunyi Negara Indonesia adalah Negara hukum”
Uraian tersebut diatas memberikan pengertian bahwa dalam menjalankan
kekuasaannya pemerintah yang dalam hal ini penguasa penguasa harus
berdasarkan hukum (rechts staats) tidak berdasarkan kekuasaan (machtstaat).
Maka setiap tindak pidana yang terjadi seharusnya di proses melalui jalur hukum,
jadi hukum dipandang sebagai satu-satunya sarana bagi penyelesaian terhadap
pelanggaran atau kejahatan (tindak pidana). Dasar untuk memidana baik terhadap
pelanggaran atau kejahatan (tindak pidana), yang merupakan salah satu asas
paling penting dalam hukum pidana, yaitu asas legalitas terdapat pada Pasal 1 ayat
(1) KUHP, yang berbunyi:
“Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana
dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan
dilakukan”.5

Berdasarkan ketentuan ini, maka seseorang dapat dipidana bila memenuhi


hal-hal berikut:
1. Adanya suatu norma pidana tertentu;
2. Norma pidana tersebut berdasarkan Undang-Undang;
3. Norma pidana ini harus telah berlaku sebelum perbuatan terjadi; 6

5
P.A.F Lamintang, ,Ruang Lingkup Berlakunya Ketentuan Pidana Menurut Undang-
Undang (Bandung: Sinar Baru, 1990), hlm.7.
6
Ledeng Marpaung,Unsur-Unsur Perbuatan Yang Dapat Dihukum (Delik)(Jakarta:Sinar
Grafika, 1999), hlm.3.
6

Berkenaan dengan tindak pidana (penyalahgunaan narkoba oleh anggota


militer). Moeljatno mengatakan:
“Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan
hukum, yang mana larangan tersebut disertai dengan ancaman (sanksi)
yang berupa pidana tertentu”. 7

Berdasarkan salah satu hukum yang dijadikan sebagai acuan terhadap


berlakunya suatu peraturan perundang-undangan, yakni Lex Specialis Derogat
Legi Generale, maka untuk menjerat pelaku penyalahgunaan narkotika
digunakanlah Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang
sifatnya lebih khusus.8
Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Pasal 1
ayat (1) ditegaskan bahwa narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari
tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat
menyebabkan hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan
dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan
sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini. Secara etimologi narkoba
berasal dari bahasa Inggris yaitu narcotics yang berarti obat bius, yang artinya
sama dengan narcosis dalam bahasa Yunani yang berarti menidurkan atau
membiuskan.9 Secara terminologis narkoba adalah obat yang dapat menenangkan
syaraf, menghilangkan rasa sakit, menimbulkan rasa ngantuk.10 Soerjono dalam
patologi sosial merumuskan definisi narkotika sebagai bahan-bahan yang terutama
mempunyai efek kerja pembiusan atau dapat menurunkan kesadaran. 11 Sementara
Smith Kline dan French Clinical memberi definisi narkotika sebagai zat-zat yang
dapat mengakibatkan ketidaksadaran atau pembiusan dikarenakan zat-zat tersebut
bekerja mempengaruhi susunan saraf. Dalam definisi narkotika ini sudah
termasuk candu seperti morfin, cocain, dan heroin.12

7
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hlm.23.
8
Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum (Jakarta:MandarMaju,2003),
hlm.23.
9
Hassan Sadhily, Kamus Inggris Indonesia (Jakarta: Gramedia, 2000), hlm. 390.
10
Mulyono M. Anton, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1998),
hlm. 609.
Soerjono Soekanto, Patologi Sosial(Bandung: Alumni Bandung, 1997), hlm. 78.
11

Smith Kline dan French Clinical, A Manual For Law Enforcemen Officer Drugs Abuse
12

(Pennsylvania: Philladelphia, 1969), page. 91


7

Jenis-jenis Narkotika dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 pada


Bab III ruang lingkup pada Pasal 6 ayat (1) menegaskan bahwa Narkotika di
golongkan menjadi Narkotika golongan I, Narkotika golongan II, Narkotika
golongan III. Zat-zat narkotika yang semula ditujukkan untuk kepentingan
pengobatan, namun dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
khususnya perkembangan teknologi obat-obatan maka jenis-jenis Narkotika dapat
diolah sedemikian banyak seperti yang terdapat pada saat ini, serta dapat pula
disalahgunakan fungsinya yang bukan lagi untuk kepentingan di bidang
pengobatan, bahkan sudah mengancam kelangsungan eksistensi generasi suatu
bangsa.13
Salah satu upaya untuk memberantas penyalahgunaan narkotika adalah
dengan mencari dan membasmi asal muasal atau yang memproduksi barang
tersebut sehingga para pemakainya kesulitan untuk mendapatkan narkotika itu.
Penerapan pidana ganda dalam bentuk pidana Narkotika diatur dalam Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yaitu Pasal 111 sampai dengan
Pasal 127. Dalam Pasal 111 ayat (1) dijelaskan bahwa:
“Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam,
memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan
Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus
juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan miliar
rupiah)”.

Berdasarkan pasal di atas, maka pelaku tindak pidana narkotika diancam


dengan penjatuhan pidana pokok secara kumulatif, yaitu pidana penjara dan
pidana denda. Oleh karena itu, penerapan pidana pokok secara kumulatif
dimaksudkan sebagai efek jera bagi para produsen, penyuplai, dan pihak-pihak
yang terkait dalam kejahatan narkotika tersebut.
Perkara pidana yang dilakukan oleh warga sipil proses penyelesaiannya
mengikuti hukum acara pidana yang diatur dalam KUHAP, jika seorang anggota
TNI melakukan suatu tindak pidana, maka akan diproses melalui Sistem Pidana
Umum dengan komponen (subsistem) terdiri dari Polisi selaku penyidik, jaksa

13
Moh. Taufik Makaro et al., Tindak Pidana Narkotika (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005),
hlm.19.
8

selaku penuntut, hakim, dan petugas lembaga pemasyarakatan. Sedangkan


pelanggaran terhadap tindak pidana militer, akan diproses melalui mekanisme
sistem peradilan pidana militer dengan komponen (subsistem) terdiri dari Ankum,
Papera, Polisi Militer, Oditur Militer, Hakim Militer dan Petugas Pemasyarakatan
Militer.Perkara tindak pidana apabila tidak segera diselesaikan sesuai dengan
ketentuan hukum yang berlaku, akan sangat merugikan korban, pelaku (dalam hal
ini prajurit itu sendiri) maupun satuan secara umum dalam upaya pembinaan
personel, oleh sebab itu perkara pidananya harus segera diselesaikan.
Selama ini apabila ada prajurit TNI yang melakukan tindak pidana, baik
tindak pidana umum maupun tindak pidana militer sebagaimana terdapat dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM), diadili oleh peradilan
militer. Dalam ruang lingkup militer, perbuatan pelanggaran yang dilakukan oleh
prajurit militer telah diatur dalam perundang-undangan yaitu:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM)
3. Kitab Undang-Undang Hukum Disiplin Militer (KUHDM) .14
Anggota militer yang terbukti melakukan pelanggaran tindak pidana akan
diselesaikan di peradilan militer. Hukum pidana militer memuat peraturan yang
menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam hukum pidana
militer atau orang-orang tertentu yang peraturan ditujukkan padanya. Di dalam
Pasal 1 KUHPM berbunyi:
“(Diubah dengan UU No. 9 Tahun 1947) untuk penerapan kitab undang-
undang ini berlaku ketentuan-ketentuan pidana umum, termasuk Bab ke
Sembilan dari buku pertama Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,
kecuali ada penyimpangan-penyimpangan yang ditetapkan dengan
Undang-Undang”.

Pidana militer dalam arti luas mencakup pengertian hukum pidana militer
dalam arti materiil dan hukum pidan militer dalam arti formil. Hukum pidana
materiil merupakan kumpulan peraturan tindak pidana yang berisi perintah dan
larangan untuk menegakkan ketertiban hukum dan apabila perintah dan larangan
itu tidak ditaati maka diancam hukuman pidana.15
14
A.Mulya Sukmapermata, Hukum Acara Peradilan Militer (Bandung Citra Aditya
Bakti, 2007), hlm.37.
15
Moch.Faisal Salam, op.cit., hlm.26.
9

1. Tindak Pidana Militer/ Khusus


Tindak pidana militer adalah tindak pidana yang dilakukan oleh subjek
militer, yang terdiri dari:
a. Tindak Pidana Militer Murni (Zuiver Militare Delict):
Tindak pidana militer murni adalah suatu tindak pidana yang hanya
dilakukan oleh seorang militer, karena sifatnya khusus untuk
militer.16
Contoh:
1) Tindak Pidana desersi yang tertera pada Pasal 87 KUHPM
2) Tindak Pidana insubordinasi pada Pasal 105-109 KUHPM
3) Tindak Pidana meninggalkan pos penjagaan Pasal 118 KUHPM
b. Tindak Pidana Militer Campuran (Gemengde Militerire Delict)
Tindak pidana militer campuran adalah suatu perbuatan dilarang,
yang pada pokoknya sudah ditentukan dalam perundang-undangan
lain, sedangkan ancaman hukumnya dirasakan terlalu ringan
apabila perbuatan itu dilakukan oleh seorang militer. Oleh karena
itu diatur lagi dalam KUHPM disertai ancaman hukuman yang
lebih berat, disesuaikan dengan keadaan khas militer.17

Pemidanaan bagi seorang militer, pada dasarnya lebih merupakan suatu


tindakan pendidikan atau pembinaan dari pada tindakan penjeraan atau
pembalasan, selama terpidana akan diaktifkan kembali dalam dinas militer setelah
selesai menjalani pidana. Seorang militer (eks narapidana) yang akan kembali
aktif tersebut harus menjadi seorang militer yang baik dan berguna, baik karena
kesadaran sendiri maupun sebagai hasil “tindakan pendidikan” yang ia terima
selama dalam rumah penjara militer (rumah rehabilitasi militer). Seandainya tidak
demikian halnya, maka pemidanaan itu tiada mempunyai arti dalam rangka
pengembaliannya dalam masyarakat militer.18

16
Ibid.,
17
E.Y Kanter dan S.R. Sianturi, Hukum Pidana Militer Di Indonesia (Jakarta: Alumni
AHM-PTHM, 1981), hlm. 43.
18
S.R Sianturi, Hukum Pidana Militer Di Indonesia (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum
Tentara Nasional Di Indonesia, 2010), hlm. 69.
10

Hal seperti ini perlu menjadi dasar pertimbangan hakim untuk menentukan
perlu tidaknya penjatuhan pidana tambahan pemecatan terhadap terpidana di
samping dasar-dasar lainnya, yang sudah ditentukan. Jika terpidana adalah
seorang non-militer, maka hakekatnya dan pelaksanaan pidananya sama dengan
diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).19
Selanjutnya Militer sebagai subjek dari tindak pidana seorang militer
termasuk subjek tindak pidana umum dan juga subjek dari tindak pidana militer.
Dalam hal ini terjadi suatu “tindak pidana militer campuran”
(gemengdemilitairedelict), militer tersebut secara berbarengan dengan subjek dari
tindak pidana umum dan tindak pidana militer yang juga berbarengan
(eendaadsesamenloop, concursusidealis). Apabila diperhatikan ketentuan Pasal 1
ayat (2) KUHP yang pada prinsipmnya “menghendaki” penerapan ketentuan
pidana yang menguntungkan bagi tersangka, dalam hal tersebut di atas tentunya
dikehendaki penerapan tindak pidana umum yang ancaman pidana lebih ringan.
Akan tetapi pasal 63 KUHP menentukan lain yaitu: penerapan ketentuan pidana
pokok yang paling berat (ayat pertama), atau penerapan ketentuan pidana yang
khusus (ayat kedua). Karena justru alasan pengkitaban KUHPM secara khusus
(tersendiri) adalah antara lain pemberatan ancaman pidana, maka dalam hal terjadi
suatu delik militer campuran, yang diterapkan adalah ketentuan pidana yang
tercantum dalam KUHPM, sesuai ketentuan Pasal 63 KUHP.20
Narkotika sebagai salah satu kejahatan yang grafiknya terus meningkat
dari waktu ke waktu. Hampir semua lapisan masyarakat dengan tanpa
membedakan status sosial dapat dimasuki oleh narkoba dan psikotropika, seperti
anak-anak, pelajar, mahasiswa, selebritis, lembaga professional dan juga para
oknum pejabat.Semua pihak yang terlibat dalam tindak pidana atau
penyalahgunaan narkotika dapat menjadi pelaku dan sekaligus korban. Indonesia
sebagai salah satu Negara di Asia yang semula dijadikan tempat transit narkotika
dan psikotropika dan telah berkembang menjadi tempat untuk memproduksi
narkotika. Jumlah penduduk yang terus meningkat setiap tahunnya menjadikan
Indonesia sebagai pasar potensial narkotika.

19
Ibid.,
20
Moch. Faisal Salam., op.cit., hlm.31.
11

Peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika dengan sasaran potensial


generasi muda telah menjangkau berbagai penjuru daerah di Indonesia. Pada
dasarnya narkotika sangat diperlukan dan mempunyai manfaat di bidang
kesehatan dan ilmu pengetahuan, akan tetapi penggunaan narkotika menjadi
berbahaya jika terjadi penyalahgunaan.Pada tahun 1976, dibuatlah UU No. 9
Tahun 1976 tentang Narkotika yang melarang tentang perbuatan, penyimpanan,
pengedaran dan penggunaan narkotika berupa pembatasan dan pengawasan
karena sangat bertentangan dengan UU Narkotika. Sebab kerjahatan narkotika
merupakan kejahatan yang sangat merugikan perorangan, masyarakat dan
merupakan bahaya besar bagikehidupan manusia dan kehidupan Negara di bidang
politik, keamanan, ekonomi, sosial, budaya serta ketahanan nasional
Indonesia.Selain narkotika bisa untuk disalahgunakan untuk kejahatan,
penggunaan narkotika bisa juga digunakan untuk keperluan pengobatan dan atau
ilmu pengetahuan serta untuk mencegah dan menanggulangi bahaya-bahaya yang
dapat ditimbulkan oleh penyalahgunaan narkotika, serta rehabilitasi terhadap
pecandu narkotika yang pengaturannya terdapat dalam UU No. 9 Tahun 1976
tentang Narkotika.
Selanjutnya pada tahun 1997, dibuatlah Undang-Undang No. 22 Tahun
1997 tentang Narkotika sebagai pengganti Undang-Undang No. 9 Tahun 1976
tentang Narkotika yang tidak sesuai dengan perkembangan zaman setelah tahun
1997. Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika bertujuan untuk
menjamin ketersediaan narkotika guna kepentingan kesehatan dan ilmu
pengetahuan di satu sisi, dan di sisi lain untuk mencegah peredaran gelap
narkotika yang selalu menjurus pada terjadinya penyalahgunaan.Harus disadari
bahwa masalah penyalahgunaan narkotika adalah suatu problema yang sangat
kompleks.
Oleh karena itu, diperlukan upaya dan dukungan dari semua pihak agar
dapat mencapai tujuan yang diharapkan dari pelaksanaan Undang-Undang No. 22
Tahun 1997 tentang Narkotika dan semuanya tergantung pada partisipasi semua
pihak, baik pemerintah, aparat keamanan, keluarga dan lain sebagainya. Sebab
penyalahgunaan narkotika tidak dapat hilang dengan sendirinya meskipun telah
dikeluarkan Undang-Undang yang mengatur sanksi secara tegas tetapi harus juga
12

didukung oleh berbagai pihak agar terlaksananya Undang-Undang Narkotika


tersebut.
Kemudian seiring perkembangan jaman, di tahun 2009 maka dibuatlah
Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dengan alasan bahwa
tindak pidana narkotika telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan
menggunakan modus operandi yang tinggi, teknologi canggih, didukung oleh
jaringan organisasi yang luas, dan sudah banyak menimbulkan korban terutama di
kalangan generasi muda bangsa yang sangat membahayakan kehidupan
masyarakat , bangsa, dan Negara sehingga Undang-Undang No. 22 Tahun 1997
tentang Narkotika sudah tidak sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi
yang berkembang dalam menanggulangi dan memberantas tindak pidana
narkotika.
Adapun kewenangan dari Pengadilan Militer untuk mengadili perkara
tindak pidana narkotika yang terdakwanya anggota militer, terdapat di dalam
Pasal 9 angka (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 1997 yakni :
Mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang melakukan tindak
pidana adalah :
a. Prajurit
b. Yang berdasarkan undang-undang yang dipersamakan prajurit
c. Anggota suatu golongan atau jawatan atau badan yang dipersamakan
atau dianggap sebagai Prajurit berdasarkan undang-undang.
d. Seseorang yang tidak masuk golongan pada huruf a, huruf b, dan huruf
c tetapi atas keputusan Panglima dengan persetujuan Menteri
Kehakiman harus diadili oleh suatu Pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Militer
e.
C. PENUTUP
. Anggota TNI yang melakukan tindak pidana narkotika akan dijatuhi
sanksi pidana sesuai dengan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika apabila terbukti melakukan tindak pidana penyalahgunaan
narkotika. Sesuai dengan Pasal 6 KUHPM, terhadap anggota militer yang
melakukan tindak pidana selain dijatuhi pidana pokok juga dapat dijatuhi pidana
13

tambahan. Jenis pidana tambahan tersebut berupa pemecatan dari dinas militer,
penurunan pangkat dan pencabutan hak-hak tertentu. Untuk pidana tambahan
yang berupa pemecatan dinas dari militer dan penurunan pangkat tentunya tidak
diatur dalam hukum pidana umum. Kedua jenis pidana tambahan ini adalah murni
bersifat kemiliteran dan sekaligus merupakan pemberatan pemidanaan bagi
anggota militer.
Peradilan Militer diberi wewenang oleh undang-undang sebagai peradilan
khusus yang memeriksa dan mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh anggota
TNI, yang secara khusus dibentuk untuk melaksanakan tugas Negara di bidang
penyelenggara pertahanan Negara yang ditundukkan dan diberlakukan hukum
militer.
Dibentuknya lembaga Peradilan Militer tidak lain adalah untuk menindak
para anggota TNI yang melakukan tindak pidana dan menjadi salah satu alat
kontrol bagi anggota TNI dalam menjalankan tugasnya. Sehingga dapat
membentuk dan membina TNI yang kuat, professional, dan taat hukum karena
tugas TNI sangat besar untuk mengawal dan menyelamatkan bangsa dan negara.

DAFTAR PUSTAKA
14

Alatas, Husein. Penanggulangan Korban Narkoba Meningkatkan Peran Keluarga


dan Lingkungan. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
2007.
Andrisman, Tri. Hukum Pidana Militer. Bandar Lampung: Unila, 2010.
Banton, Wiliam. Ensiklopedia Bronitica. Usa 1970, volume 16. Penyalahgunaan
Narkoba Dalam Perpektif Hukum Islam dan Pidana Nasional. Jakarta:
Rajawali Press, 2008.
FR, Juliana Lisa dan Nengah Sutrisna, Narkoba, Psikotropika dan Gangguan
Jiwa. Yogyakarta: Nuha Medika, 2013.
Hawari, Dadang. Konsep Islam Dalam Memerangi Aids dan Naza. Yogyakarta:
Dhana Bakti Primayasa, 2003.
Indonesia, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
_______. Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional
Indonesia.
Kanter, E.Y dan S.R. Sianturi.Hukum Pidana Militer Di Indonesia. Jakarta:
Alumni AHM-PTHM, 1981.
Khudzaifah, Dimyati dan Kelik Wardiono. Metode Penelitian Hukum. Surakarta:
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2004.
Kline, Smith dan French Clinical. A Manual For Law Enforcement Officer Drugs
Abuse. Pennsylvania: Philladelphia, 1969.
Korps Reserse Polri Direktorat Reserse Narkoba Dalam Makalah 2000. Peranan
Generasi Muda Dalam Pemberantasan Narkoba. Jakarta: 2000.
Lamintang, P.A.F. Ruang Lingkup Berlakunya Ketentuan Pidana Menurut
Undang-Undang. Bandung: Sinar Baru, 1990.
Makaro, Moh. Taufik et al. Tindak Pidana Narkotika. Bogor: Ghalia Indonesia,
2005.
Marpaung, Ledeng. Unsur-Unsur Perbuatan Yang Dapat Dihukum (Delik).
Jakarta: Sinar Grafika, 1999.
Ma’roef, Ridha. Narkotika, Masalah dan Bahayanya. Jakarta: PT. Bina Aksara,
1987.
Moeljatno. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: Bina Aksara, 1987.
15

Mulyono, M. Anton. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka,


1998.
Sadhily, Hassan. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia, 2000.
Sasangka, Hari. Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana. Jakarta:
Mandar Maju,2003.
Salam, Moch. Faisal. Peradilan Militer Indonesia. Bandung: Mandar Maju, 1994.
_______.Peradilan Militer Di Indonesia. Bandung: Mandar Maju, 2004.
Sianturi, S.R. Hukum Pidana Militer Di Indonesia. Jakarta: Badan Pembinaan
Hukum Tentara Nasional Di Indonesia, 2010.
Soekanto, Soerjono. Patologi Sosial. Bandung: Alumni Bandung, 1997.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif (Suatu
Tinjauan Singkat). Jakarta: Rajawali Pers, 2001.
Suhadi. Pembahasan Perkembangan Pembangunan Hukum Nasional Tentang
Militer dan Bela Negara.Jakarta : Badan Pembina Hukum Nasional
Tentang Hukum Militer dan Bela Negara, 1996.

Sujono, Ar dan Bony Daniel. Komentar dan Pembahasan Undang-Undang


Nomor 35 Tahun 2009. Jakarta: Sinar Grafika, 2011.
Sumapermata, A. Mulya. Hukum Acara Peradilan Militer. Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2007.
Sunggono, Bambang. Metologi Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1996.
Taufik, Moh. Tindak Pidana Narkotika. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2005.
Tentara Nasional Indonesia. https://id.wikipedia.org/wiki/Tentara
Nasional_Indonesia. Diakses 12 Maret 2019.
16

Anda mungkin juga menyukai