OLEH
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KOTA KUPANG
2021
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Manusia adalah makhluk sosial (zoon politicon) yang berarti bahwa manusia tidak
dapat hidup sendiri dan saling membutuhkan antara satu dengan yang lainnya. Seorang
sosiolog terkenal yang berasal dari Perancis, yaitu Bouman, mengungkapkan bahwa
“manusia baru menjadi manusia sesudah hidup bersama dengan sesama manusia”. Hal
tersebut disebabkan karena adanya faktor kebutuhan hidup, perasaan suka menolong, rasa
harga diri, hasrat untuk patuh, untuk mencari perlindungan dan yang lainnya karena
adanya suatu kepentingan (Nurnaningsih Amriani, 2012: 11).
Untuk memenuhi kebutuhan kepentingannya, manusia mengadakan hubungan antara
satu dengan yang lainnya yang disebut dengan kontak. Dalam melakukan kontak antara
satu sama lain atau bermasyarakat, dapat timbul suatu pertentangan dalam kepentingan
sehingga menimbulkan adanya perselisihan atau disebut juga konflik atau sengketa.
Sengketa diartikan sebagai suatu situasi di mana ada pihak yang merasa dirugikan
oleh pihak yang lain dalam sesuatu hal. Selain itu, sengketa juga didefinisikan sebagai
suatu konflik yang telah mengemuka. Dengan demikian, sengketa pada dasarnya ialah
suatu perselisihan yang berwujud konflik yang dapat terjadi antara dua pihak atau lebih
yang berkaitan dengan kepentingan seseorang atau sekelompok orang dalam kehidupan
bermasyarakat.
Dengan timbulnya konfik atau sengketa, maka hukum memegang peranan penting
dalam menyelesaikan masalah tersebut (Nurnaningsih Amriani, 2012: 1). Suatu sengketa
biasanya dapat diselesaikan melalui pengadilan yaitu dengan proses beracara di sidang
pengadilan (litigasi) atau melalui jalan kekeluargaan/musyawarah mufakat yang dalam
istilah hukum sering disebut dengan mediasi.
Proses penyelesaian sengketa yang dilaksanakan melalui sidang pengadilan atau yang
sering disebut dengan istilah “litigasi”, yaitu suatu penyelesaian sengketa dengan proses
beracara di pengadilan di mana kewenangan untuk mengatur dan memutuskannya
dilaksanakan oleh hakim. Penyelesaian dalam litigasi ini bersifat putusan, di mana salah
satu pihak akan dinyatakan menang dan pihak lainnya kalah (win-lose solution). Prosedur
dalam jalur litigasi sifatnya lebih formal dan teknis, memerlukan biaya yang mahal, serta
lebih membutuhkan waktu yang cukup lama karena prosesnya yang berlarut-larut (Yahya
Harahap, 2008: 233).
Dewasa ini, lembaga peradilan banyak mendapat kritikan dari berbagai pihak di mana
kritikan tersebut antara lain : 1. Penyelesaian sengketa yang lambat. 2. Biaya perkara
yang mahal. 3. Peradilan tidak tanggap. 4. Putusan pengadilan sering tidak menyelesaikan
masalah. 5. Kemampuan hakim yang bersifat generalis, serta masih banyak kritik yang
lainnya (Nurnaningsih Amriani, 2012: 2). Meskipun lembaga peradilan memiliki
kedudukan dan keberadaan sebagai “pressure valve and the last resort” yaitu sebagai
katub penekan dan jalan penyelesaian terakhir dalam mencari kebenaran dan keadilan,
namun semua kritik tadi dapat mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap lembaga
peradilan (Yahya Harahap, 2008: 229).
Selain melalui litigasi, proses penyelesaian sengketa dapat pula dilaksanakan melalui
“Alternative Dispute Resolution” atau ADR. “Alternative Dispute Resolution” (ADR)
atau penyelesaian sengketa alternatif ialah pengelolaan suatu konflik berdasarkan
manajemen kooperatif (cooperation conflict management). Dalam Pasal 6 Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,
dijelaskan bahwa Alternative Dispute Resolution (ADR) diartikan sebagai suatu pranata
penyelesaian sengketa di luar pengadilan berdasarkan kesepakatan para pihak dengan
mengesampingkan penyelesaian sengketa secara litigasi di pengadilan (Undang-Undang
No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa).
Akhir-akhir ini pembahasan mengenai alternatif dalam penyelesaian sengketa
semakin ramai dibicarakan, bahkan perlu dikembangkan untuk mengatasi kemacetan dan
penumpukan perkara di pengadilan. Alternatif dalam penyelesaian sengketa jumlahnya
banyak, diantaranya mediasi, arbitrase, konsiliasi, negosiasi, pencari fakta (fact finding),
penilaian ahli dan lain sebagainya. Namun alternatif yang lebih sering digunakan di
masyarakat adalah mediasi, di mana mediasi adalah proses penyelesaian sengketa
berdasarkan atas asas kesukarelaan melalui suatu perundingan dengan dibantu oleh
seorang mediator atau lebih untuk menghasilkan kesepakatan yang menguntungkan kedua
belah pihak (Takdir Rahmadi, 2011: 16).
Yahya Harahap (2008: 236) dan Syahrizal Abbas (2011: 25) samasama
mengungkapkan berbagai keuntungan dalam pelaksanaan mediasi. Keuntungan-
keuntungan tersebut diantaranya, mediasi dapat menyelesaikan sengketa dengan lebih
cepat, tidak berbelit-belit, murah atau biaya ringan, penyelesaiannya lebih bersifat
informal yang mampu menciptakan suasana saling pengertian karena yang menyelesaikan
sengketa adalah para pihak sendiri, proses penyelesaian bersifat konfidensial, hubungan
para pihak kooperatif, komunikasi dan fokus penyelesaian, aturan pembuktian tidak perlu,
bebas dari dendam, serta hasil yang dituju adalah sama-sama menang (win-win solution).
Selain memiliki berbagai keuntungan, penyelesaian perkara atau sengketa dengan
mediasi juga didukung oleh dasar legitimasi yang kuat yang berasal dari falsafah negara
yaitu Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal
ini terdapat pada sila keempat Pancasila yang berbunyi “Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Sila tersebut menempatkan
musyawarah pada kedudukan yang tinggi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Kemudian dalam Pasal 28 UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang didalamnya menyatakan tentang jaminan Hak Asasi Manusia yang
harus dijunjung tinggi oleh setiap warga negara, maka persamaan hak harus selalu
dihormati dan dijunjung tinggi, terlebih dalam penyelesaian sengketa yang membutuhkan
keputusan win-win solution (Syahrizal Abbas, 2011: 27).
Dalam upaya menjunjung tinggi Hak-hak Asasi Manusia serta mewujudkan keadilan
dalam suatu sengketa, Mahkamah Agung Republik Indonesia menerbitkan Peraturan
Mahkamah Agung Republik Indonesia No.1 Tahun 2008 (yang selanjutnya disebut
dengan PERMA No.1 Tahun 2008) tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Dalam
aturan tersebut khususnya pada Pasal 1 angka (7) PERMA No.1 Tahun 2008, disebutkan
bahwa penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui mediasi yakni cara penyelesaian
sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan
dibantu oleh seorang mediator, di mana mediator tersebut harus bersifat netral dan tidak
memihak guna membantu mencapai kemungkinan atau alternatif penyelesaian sengketa
yang terbaik dan saling menguntungkan kedua belah pihak yang sedang bersengketa.
Salah satu hal yang juga mendukung pelaksanaan mediasi dalam penyelesaian sengketa
ialah adanya kritik-kritik tajam yang ditujukan pada lembaga peradilan.
Salah satu kritik tersebut ialah kurangnya kemampuan hakim dalam menyelesaikan
sengketa yang kompleks secara baik dan objektif, sebab kualitas hakim tidak seimbang
dengan perkembangan teknologi dan menyebabkan putusan hakim sering menyimpang
dari permasalahan pokoknya (Nurnaningsih Amriani, 2012: 17). Proses mediasi ada yang
dilakukan di luar pengadilan dan di pengadilan.
Proses mediasi yang dilakukan di luar pengadilan tidak diatur 6 secara rinci di dalam
peraturan perundangan, akan tetapi lebih didasarkan pada pengalaman para praktisi. Lain
hal nya dengan mediasi yang dilakukan di pengadilan. Mediasi yang terintegrasi di
Pengadilan telah diatur dengan jelas dalam Peraturan Mahkamah Agung No.1 tahun 2008
(yang menggantikan Peraturan Mahkamah Agung No.2 tahun 2003) tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan. Dalam Pasal 2 ayat (2) PERMA No.1 Tahun 2008 tentang
prosedur mediasi di pengadilan dijelaskan bahwa “setiap hakim, mediator, dan para pihak
wajib mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi”. Dengan demikian,
mediasi sifatnya wajib untuk dilaksanakan terlebih dahulu sebelum perkara diperiksa oleh
hakim.
Kasus sengketa yang dapat diselesaikan dengan mediasi harus memenuhi
pertimbangan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Bukti benar dan salah
dikesampingkan untuk proses mediasi namun tidak boleh merugikan yang lemah. Jika
diperlukan, hakim boleh saja melakukan negosiasi dengan kedua belah pihak secara
terpisah untuk menemukan titik temu. Dalam suatu proses penyelesaian sengketa, hal ini
sering disebut dengan istilah kaukus. Kaukus adalah pertemuan antara mediator dengan
salah satu pihak tanpa dihadiri oleh pihak lainnya (Pasal 1 ayat (4) Peraturan Mahkamah
Agung No.1 tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan).
1.2. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan sengketa ?
2. Apa saja bentuk – bentuk Penyelesaian Sengketa ?
3. Apa pengertian Mediasi ?
4. Bagaimana keuntungan dan kelemahan mediasi ?
5. Sebutkan dan jelaskan bentuk-bentuk mediasi !
6. Apa saja jenis-jenis perkara yang dapat diselesaikan melalui mediasi ?
7. Bagaimana peran dan fungsi mediator ?
8. Apa faktor yang mendorong para pihak berkehendak menempuh mediasi ?
1.3. Manfaat Penulisan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan sengketa
2. Untuk mengetahui apa saja bentuk – bentuk Penyelesaian Sengketa
3. Untuk mengetahui apa pengertian Mediasi
4. Untuk mengetahui bagaimana keuntungan dan kelemahan mediasi
5. Untuk mengetahui sebutkan dan jelaskan bentuk-bentuk mediasi
6. Untuk mengetahui apa saja jenis-jenis perkara yang dapat diselesaikan melalui
mediasi
7. Untuk mengetahui bagaimana peran dan fungsi mediator
8. Untuk mengetahui apa faktor yang mendorong para pihak berkehendak menempuh
mediasi
BAB II
ISI
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Alternatif penyelesaiaan sengketadilakukan dengan cara/metode mediasi,
arbitrase dan konsiliasi. Ketiga cara ini pada prinsipnya ditawarkan oleh badan
penyelesaian sengketa konsumen kepada para pihak yang ingin menyelesaikan
sengketa konsumen. Pada penyelesaiaan sengketa melalui mediasi dan konsiliasi, para
pihak diberikan keleluasaan melakukan musyawarah mufakat didampingi oleh
mediator atau konsiliator yang disediakan oleh badan penyelesaiaan sengketa
konsumen dan dipilih oleh para pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa
konsumen melalui cara konsiliasi atau mediasi berdasarkan musyawarah untuk
mencapai mufakat dari para pihak yang bersengketa. Hasil kesepakatan mediasi atau
konsiliasi dirumuskan dalam perjanjian tertulis dan diserahkan kepada badan
penyelesaiaan sengketa konsumen, kemudian berdasarkan kesepakatan mediasi
tersebut, badan penyelesaian sengketa konsumen mengesahkan perjanjian
kesepakatan para pihak dalam bentuk keputusan badan penyelesaian sengketa
konsumen dan keputusan badan penyelesaian sengketa konsumen bersifat final dan
mengikat.
3.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan maka dibuat saran yaitu Keberadaan lembaga-
lembaga mediasi perlu didorong untuk tetap terus berkembang dan diberdayakan agar
dapat mengatasi berbagai permasalahan yang semakin kompleks dalam kehidupan di
masyarakat, baik di wilayah lokal maupun nasional.
DAFTAR PUSTAKA
Nurnaningsih Amriani. 2012. Mediasi (Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di
Pengadilan). Jakarta:PT RajaGrafindo Persada.
Nur Rasaid. 1996. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika.
R. Soeroso. 2006. Tata Cara dan Proses Persidangan. Jakarta:Sinar Grafika.
Sri Hartini. 2008. Diktat Hukum Acara Perdata Indonesia. UNY.
Susanti Adi Nugroho. 2009. Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa. Jakarta: PT
Telaga Ilmu Indonesia.
Syahrizal Abbas. 2011. Mediasi dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional.
Jakarta: Kencana.
Takdir Rahmadi. 2011. Mediasi (Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat).
Jakarta:PT RajaGrafindo Persada.