Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hampir semua orang pernah mengalami demam, ada yang cuma demam
ringan dan ada yang sampai demamnya tinggi sekali. Demam merupakan keadaaan
yang sering di temui sehari-hari dalam kehidupan terutama pada anak yang
tubuhnya masih rentan terhadap penyakit. Demam di tandai dengan meningkatnya
suhu di atas ambang normal. Peningkatan suhu tubuh dapat di golongkan menjadi
dua, yaitu peningkatan suhu yang tergolong normal (bersifat fisologis) dan
peningkatan suhu yang abnormal (patologis). Peningkatan suhu tubuh dalam
keadaan normal, misalnya peningkatan suhu setelah anak beraktivitas, setelah
mandi air panas, anak menangis, setelah makan, anak yang kurang minum atau
cemas. Peningkatan suhu yang abnormal misalnya akibat penyakit. Beragam
penyakit memang biasanya di mulai dengan manifestasi berupa demam. Untuk
mengatasi ketidaknyamanan yang di akibatkannya, di lakukan berbagai cara mulai
dari sederhana sampai harus kepelayanan kesehatan. Demam merupakan kasus
tersering yang menyebabkan orangtua membawa anak ke pelayanan kesehatan dan
terkadang membuat orang tua panik (Lusia, 2015).
Demam adalah satu gejala infeksi yang biasanya terjadi akibat serangan virus
atau bakteri. Sedangkan kejang didefenisikan sebagai gangguan fungsi otak sesaat
yang mendadak, biasanya dimanifestasikan dengan fenomena motorik involunter,
sensorik, otonomik, atau psikis, sendiri-sendiri atau dalam kombinasi. Sering terjadi
perubahan atau hilangnya kesadaran. Perubahan-perubahan dalam fungsi
neurologik ini disertai dengan impuls-impuls elektroserebral yang tersinkronisasi
secara abnormal (Setiawan, 2001).
Menurut Hidayat (2006), kejang demam merupakan perubahan fungsi pada
otak secara mendadak dan sangat singkat atau sementara yang dapat disebabkan
oleh aktifitas otak yang abnormal serta adanya pelepasan pada serebral yang sangat
berlebihan. Kejang demam adalah suatu kejang yang terjadi pada usia antara 3
bulan hingga 5 tahun yang berkaitan dengan demam, namun tanpa adanya tanda-
tanda infeksi intrakranial atau penyebab yang jelas. Empat persen anak-anak
prasekolah pernah mengalami kejang, selama ini yang paling sering ditemui adalah
kejang demam. Sering terdapat riwayat serangan kejang demam pada anggota
keluarga lainnya.
Dari penelitian oleh berbagai pakar di dunia didapatkan bahwa sekitar 2,2%-
5% anak pernah mengalami kejang demam sebelum mereka mencapai usia 5 tahun.
Insidensi kejang demam diberbagai Negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa
barat mencapai 2-4% sedangkan di negara-negara di Asia jumlah penderita lebih
tinggi lagi. Sekitar 20% diantara jumlah penderita mengalami kejang kompleks
yang harus ditangani lebih teliti. Kejang demam dilaporkan di Indonesia mencapai
2 ± 4% (Lumbantobing 2003). Dalam penelitian ditemukan angka kematian kejang
demam 0,46 % s/d 0,74 %. Dampak kejang demam bila tidak ditangani akan terjadi
kerusakan sel-sel otak akibat kekurangan oksigen dalam otak, pengeluaran sekret
lebih dan risiko kegawatdaruratan untuk aspirasi jalan napas yang menyebabkan
tersumbatnya jalan napas. Jika tidak ditangani dengan baik maka berisiko kematian
(Lumbantobing, 2003).
Secara umum kejang demam memiliki prognosis yang baik, namun sekitar 30
sampai 35% anak dengan kejang demam pertama akan mengalami kejang demam
berulang. Meskipun memiliki prognosis yang baik, namun kejang demam tetap
menjadi hal yang menakutkan bagi orang tua. Untuk itu diperlukan pengetahuan
tentang faktor-faktor yang mempengaruhi berulangnya kejang demam yang bisa
diberikan kepada orangtua untuk meredakan ketakutan yang berlebihan dan
kepentingan tatalaksana (Feitfet, 2007). Adanya faktor-faktor yang berhubungan
dengan terjadinya kejang demam berulang adalah riwayat kejang demam dalam
keluarga, usia kurang dari 12 bulan, temperatur yang rendah saat kejang, dan
cepatnya kejang setelah demam (Berg, 1996). Selain empat faktor di atas, adanya
faktor jenis kelamin, riwayat epilepsi dalam keluarga, dan kejang demam kompleks
pada kejang demam pertama juga ditambahkan sebagai faktor prediktif kejang
demam berulang (Marudur, 2012).
Menurut studi pendahuluan yang saya lakukan di Instalasi Rawat Inap Anak
di RSUD Kota Dumai diperoleh selama periode 2019 – 2020 terdapat sebanyak 80
orang anak dari usia 1-3 tahun menderita kejang demam dan ini merupakan angka
kejadian kejang demam tertinggi di RSUD Kota Dumai. Oleh karena itu dengan
meningkatnya angka kejang demam tersebut penulis tertarik untuk melakukan
penelitian mengenai “Faktor – Faktor yang Berhubungan dengan Timbulnya
Kejang Demam Berulang Pada Pasien di Rawat Inap Anak RSUD Kota Dumai”.

1.2 Rumusan Masalah


Kejang demam merupakan kelainan neurologis yang paling sering dijumpai pada
anak – anak. Bila dibandingkan dengan Amerika Serikat dan Eropa, insidensi di Asia
kemungkinan lebih tinggi. Berbagai penelitian mengenai faktor – faktor risiko kejang
demam berulang telah dilakukan di beberapa tempat di Indonesia yaitu Jakarta,
Surabaya,dan Makassar akan tetapi menyimpulkan hasil yang berbeda. Penelitian di
Kota Dumai belum pernah dilakukan padahal pemahaman faktor risiko sangat penting.
Dengan demikian, masalah penelitian ini adalah bagaimana gambaran serta hubungan
antara usia saat kejang demam pertama, suhu saat kejang demam, tipe kejang demam,
durasi kejang demam, dan riwayat kejang demam dalam keluarga terhadap kejadian
kejang demam berulang pada anak di RSUD Kota Dumai?

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui faktor – faktor yang berhubungan dengan timbulnya kejang
demam berulang pada pasien di Rawat Inap Anak RSUD Kota Dumai.
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasikan karakteristik kejang demam berulang pada anak mulai
dari tahun 2015-2020 di RSUD Kota Dumai.
b. Memperoleh faktor utama penyebab timbulnya kejang demam berulang pada
pasien di Rawat Inap Anak RSUD Kota Dumai.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Manfaat Bagi Ilmu Pengetahuan
Penelitian ini dapat menjadi literatur penunjang bagi pihak-pihak yang ingin
melakukan penelitian dengan topik yang akan dikembangkan. Selain itu, penelitian
ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada para pembaca mengenai faktor
– faktor yang berhubungan dengan timbulnya kejang demam berulang pada pasien
di rawat inap anak RSUD Kota Dumai.
1.4.2 Manfaat Bagi Ilmu Keperawatan
Sebagai data dan informasi sehingga dapat dilakukan tindak lanjut dan
mengetahui penanganan pertama yang tepat saat anak mengalami kejang demam
sesuai dengan faktor – faktor penyebab yang telah diidentifkasikan. Selain itu juga
dapat menjadi sumber masukan dan informasi tambahan dalam pengembangan ilmu
keperawatan anak tentang fakto – faktor yang menyebabkan timbulnya kejang
demam berulang.
1.4.3 Manfaat Bagi RSUD Kota Dumai
Memberikan informasi mengenai faktor – faktor risiko kejang demam
berulang pada anak di RSUD Kota Dumai sehingga dokter diharapkan dapat
memberikan edukasi kepada orangtua pasien mengenai kemungkinan terjadinya
kejang demam berulang serta tindakan preventif terhadap kejadian kejang demam
berulang.
1.4.4 Manfaat Bagi Masyarakat
Penelitian ini juga dapat memberikan efek positif kepada masyarakat, sebagai
informasi sehingga keluarga, tenaga medis khususnya responden mengetahui
tingkat pengetahuannya dan mencari informasi mengenai faktor – faktor yang
menyebabkan timbulnya kejang demam berulang sehingga dapat melakukan
penanganan yang tepat ketika anak mengalami kejang demam berulang.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kejang Demam


Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi karena peningkatan suhu
tubuh dengan cepat sehingga >38 derajat Celsius, dan kenaikan suhu tersebut
diakibatkan oleh proses ekstrakranial. Perlu diperhatikan bahwa demam harus
mendahului kejang. Umumnya terjadi pada anak usia 6 bulan – 6 tahun, puncaknya
pada usia 14-18 bulan (Chris Tanto dkk., 2014). Secara klinis, klasifikasi kejang
demam dibagi menjadi dua yaitu kejang demam sederhana dan kejang demam
kompleks (Janet dkk., 2013).
Kejang demam merupakan bangkitan kejang yang terjadi karena peningkatan
suhu akibat proses ekstrakranium dengan ciri lamanya kurang dari 15 menit, dapat
bersifat umum dan dapat terjadi 16 jam setelah timbulnya demam. Kejang demam
sering terjadi pada anak usia 0-5 tahun, karena pada usia ini otak anak sangat rentan
terhadap peningkatan suhu badan (Hidayat, 2008).
Kejang adalah malfungsi/gangguan mendadak pada sistem listrik otak yang
diakibatkan oleh pelepasan muatan listrik yang berlebihan dari saluran cortex
(Wong, 2009). Dalam buku lain tertulis bahwa kejang demam adalah suatu kondisi
saat tubuh anak sudah tidak dapat menahan serangan demam pada suhu tertentu
(Pusponegoro, 2004). Menurut Doengoes pada tahun 2000, kejang merupakan
akibat dari pembebasan listrik yang tidak terkontrol dari sel saraf korteks serebral
ditandai dengan serangan tiba-tiba terjadi gangguan kesadaran ringan aktifitas
motorik dan atas gangguan fenomena sensori (Doengoes, 1999).

2.2 Etiologi
Beberapa teori dikemukan mengenai penyebab terjadinya kejang demam.
Demam yang memicu kejang berasal dari proses ekstrakranial. Sekitar 90% akibat
dari infesksi virus seperti Rotavirus dan Parainfluenza (Joshua R. Francis dkk.,
2016). Kejang demam juga disebabkan karena infeksi saluran pernapasan atas akut,
otitis media akut, roseola, infeksi saluran kemih, dan infeksi saluran cerna (Chris
Tanto dkk., 2014). Kejang demam juga diturunkan secara genetik sehingga eksitasi
neuron terjadi lebih mudah. Pola penurunan genetic masih belum jelas, namun
beberapa studi menunjukan keterkaitan dengan kromosom ternetu seperti 19p dan
8q13-2, sementara studi lain menunjukan pola autosomal dominan (Chris Tanto
dkk., 2014).

2.3 Patogenesis
Mekanisme kejang yang tepat masih belum diketahui, namun ada beberapa
faktor yang menyebabkan perkembangan kejang. Kejang dimulai dengan adanya
kelompok neuron yang akan menimbulkan ledakan discharge atau rabas yang
berarti dan sistem hambatan GABAergik. Perjalanan rabas kejang akhirnya
tergantung pada efek eksitasi sinaps glutamaterik. Ada bukti menunjukan bahwa
eksitasi neurotransmitter asam amino seperti glutamat atau aspartat dapat
memainkan peran dalam menghasilkan eksitasi neuron dengan bekerja pada sel-sel
tertentu (Behrman, 1996).
Pada keadaan demam dengan kenaikan suhu 1 derajat Celcius akan
mengakibatkan kenaikan metabolisme basal sekitar 10% -15% dan kebutuhan
oksigen akan meningkat 20%. Pada anak berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai
65% dari seluruh tubuh dan orang dewasa hanya 15%. Kenaikan suhu tubuh tertentu
dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron dan terjadi difusi
ion Natrium melalui membran akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan
listrik ini dapat meluas ke seluruh sel dengan bantuan neurotransmitter dan
terjadilah kejang. Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda. Pada anak
dengan ambang kejang yang rendah, kejang bisa terjadi pada suhu 38 derajat
Celcius sedangkan pada anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang akan
terjadi pada 40 derajat Celcius (Hassan R, 2002).

2.4 Manifestasi Klinis


Kebanyakan kejang demam sederhana berlangsung singkat, bilateral,
serangan berupa klonik atau tonik-klonik. Umumnya kejang berhenti sendiri.
Begitu kejang berhenti anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi
setelah beberapa detik atau menit anak terbangun dan sadar kembali tanpa adanya
kelainan saraf (Paul dkk., 2010).
Menurut Behrman (1996), kejang demam terkait dengan kenaikan suhu yang
tinggi dan biasanya berkembang bila suhu tubuh mencapai 39 derajat Celcius atau
lebih ditandai dengan adanya kejang khas menyeluruh tonik klonik lama beberapa
detik sampai 10 menit. Kejang demam yang menetap lebih dari 15 menit
menunjukkan penyebab organik seperti proses infeksi atau toksik selain itu juga
dapat terjadi mata terbalik ke atas dengan disertai kekakuan dan kelemahan serta
gerakan sentakan terulang.

2.5 Faktor Resiko


Semua jenis infeksi yang bersumber di luar susunan saraf pusat yang
menimbulkan demam dapat menyebabkan kejang demam. Penyakit yang paling
sering menimbulkan kejang demam adalah infeksi saluran pernafasan atas, otitis
media akut, pneumonia, gastroenteritis akut, bronchitis, dan infeksi saluran kemih
(Soetomenggolo, 2000).
Selain demam yang disebabkan oleh berbagai sebab, faktor lain yang
berperan dalam etilogi kejang demam, yaitu usia, riwayat keluarga, faktor prenatal
(usia saat ibu hami, riwayat pre eklamsi pada ibu, hamil primi/multipara, pemakaian
bahan toksik), faktor perinatal (asfiksia, bayi berat lahir rendah, usia kehamilan,
partus lama, cara lahir), dan faktor paskanatal (kejang akibat toksik, trauma kepala).
a. Demam
Demam terjadi apabila hasil pengukuran suhu tubuh mencapai di atas 37,80
o
C aksila atau diatas 38,30 oC rektal. Demam dapat disebabkan oleh berbagai sebab,
tetapi pada anak tersering disebabkan oleh infeksi. Demam merupakan faktor utama
timbul bangkitan kejang demam. Demam disebabkan oleh infeksi virus merupakan
penyebab terbanyak timbul bangkitan kejang demam (Hirtz, 1997).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Amalia dkk pada tahun 2013 didapatkan
hasil bahwa 97,3% anak yang mengalami kejang demam memiliki suhu lebih dari
37,80 oC dan sebanyak 2,7 % anak mengalami kejang demam pada suhu <37,80 oC
(Amalia dkk., 2013). Pada penelitian Kowlesser dan Fobes mendapatkan bangkitan
kejang demam terjadi rata-rata pada kenaikan suhu berkisar 38,90 oC - 39,90 oC
(40-46%). Bangkitan kejang terjadi pada suhu 37 oC - 38,90 oC sebanyak 11%
penderita dan sebanyak 20% penderita kejang demam terjadi pada suhu tubuh diatas
400 oC (Lumbantobing, 2007). Dalam teori Kharis juga menyatakan bahwa demam
akibat infeksi virus merupakan penyebab terbanyak timbul bangkitan kejang
demam (80%) (Khanis, 2010).
Pada demam tinggi akan mengakibatkan hipoksi jaringan termasuk jaringan
otak, sehingga pada keadaan hipoksi akan kekurangan energi. Hal ini akan
mengganggu fungsi normal pompa Na+ dan reuptake asam glutamate oleh selglia.
Kedua hal tersebut mengakibatkan masuknya ion Na+ kedalam sel meningkat dan
timbunan asam glutamate ekstrasel. Tumpukan asam ekstarsel akan mengakibatkan
peningkatan permeabilitas membran sel terhadap ion Na+ ke dalam sel di permudah
dengan adanya demam sebab demam akan meningkatkan mobilitas dan benturan
ion terhadap membran sel. Perubahan konsentrasi ion Na+ intrasel dan ekstrasel
tersebut akan mengakibatkan perubahan potensial membran sel neuron sehingga
membran sel dalam keadaan depolarisasi. Disamping ini demam dapat merusak
neuron GABAergik sehingga fungsi inhibisi terganggu (Hendarto, 2005).
b. Usia
Pada masa otak belum matang mempunyai eksitabilitas neuron lebih tinggi
dibandingkan yang sudah matang. Pada masa ini disebut sebagai develommental
window dan rentan terhadap bangkitan kejang. Eksitator lebih dominan
dibandingkan inhibitor, sehingga tidak ada keseimbangan antara eksitator dan
inhibitor. Anak yang mendapatkan serangan bangkitan kejang pada usia awal
develommental window mempuyai waktu lebih lama fase eksitabilitas neural di
bandingkan anak yang mendapatkan serangan kejang demam pada usia akhir masa
development window. Apabila anak mengalami stimulasi berupa demam pada otak
fase ekstabilitas akan mudah terjadi bangkitan kejang developmental window
merupakan masa perkembangan otak fase organisasi yaitu pada waktu anak berusia
2 tahun. Sehingga anak yang dibawah umur 24 bulan mempunyai resiko mengalami
kejadian kejang demam (Fuadi, 2010).
Arnold (2000) dalam penelitiannya mengidentifikasikan bahwa sebanyak 4%
anak akan mengalami kejang demam, terjadi dalam satu kelompok usia antara 3
bulan sampai dengan 5 tahun dengan demam tanpa infeksi intrakranial, sebagian
besar (90%) kasus terjadi pada anak antara usia 6 bulan sampai dengan 5 tahun
dengan kejadian paling sering pada anak usia 18 sampai 24 bulan. Faktor resiko
anak mengalami kejang demam berulang pada usia kurang dari 1 tahun sebanyak
50%, dan pada anak usia lebih dari 3 tahun sebanyak 20%. Pada penelitian yang
dilakukan oleh Fuadi dkk, juga menyebutkan bahwa usia anak <2 tahun memiliki
faktor resiko lebih tinggi mengalami kejang demam (Fuadi, 2010).
c. Riwayat Keluarga
Belum dapat dipastikan cara pewarisan sifat genetik dengan kejang demam,
tetapi nampaknya perwarisan gen secara autosomal dominan paling banyak
ditemukan. Penetrasi autosomal dominan di perkirakan sekitar 60% -80%. Apabila
salah satu orang tua penderita dengan riwayat pernah menderita kejang demam
mempunyai risiko untuk bangkitan kejang demam sebesar 20% - 22%. Apabila
kedua orang tua penderita tersebut mempunyai riwayat pernah menderita kejang
demam maka risiko untuk terjadi bangkitan kejang demam meningkat menjadi 59
- 64%, tetapi sebaliknya apabila kedua orangnya tidak mempunyai riwayat pernah
menderita kejang demam maka risiko terjadi kejang demam hanya 9%. Pewarisan
kejang demam lebih banyak oleh ibu dibandingkan ayah yaitu 27% berbanding 7%
(Fuadi, 2010).
Penelitian yang dilakukan oleh Talebian et.al yang memperoleh hasil bahwa
sebesar 42,1% kejadian kejang demam pada bayi disebabkan oleh riwayat keluarga
yang juga positif kejang demam. Penelitian yang dilakukan oleh Amalia et.al juga
didapatkan hasil sebanyak 81,3% anak dengan kejang demam meiliki riwayat
dengan kejang demam (Amalia dkk., 2013).
d. Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR)
Bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah bayi baru lahir yang berat badanya
saat lahir kurang dari 2.500 gram ( sampai dengan 2.499 gram ) (Sarwono, 2006).
Menurut Fuadi, 2010 BBLR dapat menyebabkan afiksia atau iskemia otak dan
pendarahan intraventrikuler, iskemia otak dapat menyebabkan kejang. Bayi dengan
BBLR dapat mengalami gangguan metabolisme yaitu hipoglikemia dan
hipokalesemia. Keadaan ini dapat menyebabkan kerusakan otak pada perinatal,
adanya kerusakan otak, dapat menyebabkan kejang pada perkembangan
selanjutnya. Trauma kepala selama melahirkan pada bayi dengan BBLR kurang
2500 gram dapat terjadi pendarahan intrakranial yang mempunyai risiko tinggi
untuk terjadi komplikasi neurologi dengan manisfestasi kejang (Fuadi, 2010).
Dalam penelitian Amalia et.al didapatkan hasil bahwa 70,3% anak dengan
kejang demam memiliki riwayat BBLR dan sebanyak 29,7% tidak pernah
mengalami trauma persalinan. Dengan demikian berat badan lahir rendah
mempunyai resiko dengan kejadian kejang demam. Sejalan dengan penelitian
Forsgren L, Sidenvall R, Blomquist HM, mendapatkan bahwa bayi lahir dengan
berat badan kurang 2500 gram berisiko 3,4%, sedangkan bayi lahir berat badan di
atas 2500 gram berisiko 2,3% untuk timbul bangkitan kejang demam. Bayi lahir
kurang bulan (preterm) berisiko 3 kali untuk terjadi kejang demam dibanding bayi
lahir aterm (Amalia dkk., 2013).
e. Trauma Persalinan
Trauma persalinan akan menimbulkan asfiksia perinatal atau pendarahan
intracranial. Penyebab yang paling banyak akibat gangguan prenatal dan proses
persalinan adalah asfiksia, yang akan menimbulkan lesi pada daerah hipokampus
dan selanjutnya menimbulkan kejang. Pada asfiksia perinatal akan terjadi hipoksia
dan iskemia di jaringan otak. Keadaan ini dapat menimbulkan bangkitan kejang
baik pada stadium akut dengan frekuensi tergantung pada derajat beratnya asfiksia,
usia janin dan lamanya asfiksia berlangsung (Liu, 2008). Persalinan sukar dan lama
juga meningkatkan risiko terjadinya cedera mekanik dan hipoksia janin.
Manifestasi klinik dari cedera mekanik dan hipoksia dapat berupa kejang
(Wikjosastro, 2005).
Penelitian Kharis di RSUP. Dr. Kariadi Semarang menunjukkan bahwa bayi
yang lahir premature lebih besar pada kelompok kasus sebesar 21 % dibanding pada
kelompok kontrol sebesar 14%. Didapatkan juga bahwa anak yang lahir premature
mempunyai risiko untuk menderita kejang demam 4,9 kali lebih besar dibanding
anak yang lahir tidak premature. Bayi yang lahir premature perkembangan organ –
organ tubuhnya kurang sempurna sehingga belum dapat berfungsi dengan
sempurna. Bayi premature dapat mengalami trauma lahir sehingga terjadi
pendarahan intraventrikuler, keadaan ini akan menimbulkan gangguan struktur
serebral dengan kejang sebagai salah satu manifestasi klinisnya (Fuadi, 2010).
f. Jenis Kelamin
Lelaki menunjukkan insidens mengalami kejang demam yang lebih tinggi
berbanding perempuan (Lamantobing, 1995). Ini disebabkan pada wanita di
dapatkan maturasi serebral yang lebih cepat berbanding laki-laki dn kerentanannya
terhadap kenaikan suhu lebih rendah disbanding anak laki-laki. Hasil penelitian
Siddiqui dkk (2000) Department of Paediatrics, Hayat Shaheed Teaching Hospital
Peshawar diperoleh anak laki-laki menderita kejang demam 55% dan anak
perempuan 45%.
g. Suhu Tubuh
Demam adalah keadaan suhu di atas suhu normal, yaitu mencapai 38 °C.
Demam disebabkan adanya ketidakseimbangan antara produksi panas dan
pengeluarannya. Anak dengan demam lebih dan 39 °C mempunyai risiko untuk
mengalami kejang 4-5 kali leih besar dibanding kurang dari 39 °C. Demam pada
infeksi terjadi akibat mikroorganisme yang merangsanga makrofag dan membentuk
pyrogen endogenik. Zat ini bekerja pada hipothalamus dengan bantuan enzim
cyclooxygenase pembentuk prostaglandin. Prostanglandin yang akan
meningkatkan set point hipothalamus. Pada demam tinggi akan mengakibatkan
hipoksik jaringan ke otak.
Demam dikaitkan dengan pengeluaran sitokin. Aktivasi jalur sitokin akan
meningkatkan risiko terkenanya kejang demam. Tinggi suhu tubuh pada saat timbul
serangan kejang disebut nilai ambang kejang. Ambang kejang berbeda-beda untuk
setiap anak. Adanya perbedaan ambang kejang ini menunjukkan bahwa ada anak
yang mengalami kejang setelah suhu tubuhnya meningkat sangat tinggi sedangkan
pada anak yang lain, kejang sudah timbul walaupun suhu meningkat tidak terlalu
tinggi. Variasi suhu berpengaruh pada kejadian seluler dan beberapa gangguan
neurologis yang dipicu oleh suhu tinggi termasuk kejang demam dan demam
episodik ataksia (Paul, 2010).

2.6 Penanganan Pertama


1. Penanganan Secara Umum
a. Tetap tenang dan jangan panik
Panik merupakan tingkatan ansietas yang paling berat. Ansiteas itu sendiri
merupakan suatu respon emosi seseorang yang berhubungan dengan sesuatu yang
tidak biasa terjadi pada dirinya dan suatu mekanisme diri yang digunakan dalam
mengatasi permasalahan yang ada pada dirinya. Ketika seseorang sudah berada
pada tingkatan ansietas panik, maka respon yang terjadi pada tubuh akan berubah.
Seperti pada respons kognitif dan respons perilaku dan emosinya. Ketika seseorang
panik maka beberapa respons kognitifnya diantaranya tidak dapat berpikir logis,
gangguan realitas, ketidakmampuan memahami suatu hal. Sedangkan respons
perilaku dan emosi diantaranya ketakutan dan kehilangan kendali/kontrol.
Dari penjelasan seperti diatas, jika ibu panik pada saat anaknya sedang
mengalami kejang demam maka ditakutkan ibu tidak dapat berrpikir jernih dan
melakukan tindakan yang justru tidak baik jika dilakukan. Seperti ibu langsung
memberikan obat melalui mulut karena sangan khawatir kepada anak. Hal yang
terjadi yaitu dengan menaruh anaknya di tanah karena budaya yang ada di sekitar.
Seorang ibu, jika anaknya mendadak mengalami kejang akan sangat wajar
merasa khawatir dan panik. Namun, rasa panik tersebut harus bisa segera
dikendalikan. Beberapa cara yang dapat dilakukan supaya tidak panik yaitu dengan
meminta bantuan pada orang lain. Dalam hal ini, ibu bisa meminta bantuan pada
keluarganya (suami, orang tua, atau saudara dan tetangganya yang dekat). Mencari
lebih banyak informasi terkait penanganannya akan lebih membuat tenang. Bisa
meminta informasi pada orang-orang yang dekat dengannya. Yang terakhir
meluruskan pikiran/persepsi. Cobalah tenang supaya pikiran bisa jernih kembali.
Bisa dengan cara menarik nafas panjang dan hembusakan pelan-pelan melalui
mulut.
b. Segera bawa ke Rumah Sakit
Jika kejang sudah berhenti dan anak sudah pulih seperti semula, bawa anak
ke dokter untuk mengobati penyebab demamnya. Terlebih lagi jika anak juga
mengalami kaku leher, muntah hebat, dan terus lemas. Jika kejang terus berlanjut
hingga >10 menit, jangan menunggu kejang berrhenti segera bawa anak ke dokter
terdekat.
2. Penanganan dalam Pengaturan Suhu
a. Monitoring suhu dan menurunkannya
Pantau dan ukurlah suhu tubuh anak pada saat kejang. Karena, hal ini bisa
menjadi pegangan orang tua untuk mengetahui pada suhu berapa anak akan
mengalami kejang. Sehingga, ibu dapat mencegah terjadinya serangan kejang yang
berikutnya. Setelah anak sudah sadar dan tidak kejang, lakukanlah kompres hangat
unuk menurunkan suhu tubuh klien. Ibu juga dapat memberikan obat penurun panas
jika anak sudah benar-benar sadar melalui mulut. Penurun panas melalui anus dapat
diberikan pada saat anak kejang. Terus pantau suhu tubuh anak dan bawa anak ke
tenaga kesehatan terdekat.
3. Penanganan dalam Pengaturan Posisi
a. Tempatkan anak di tempat yang datar dan di bawah
Anak yang sedang mengalami kejang, maka akan melakukan gerakan-
gerakan yang tidak terkontrol. Jika anak ditempatkan di tempat yang tinggi dan
tidak diawasi, maka anak dapat jatuh. Maka, tempatkan anak di tempat yang datar
dan di bawah untuk mencegah terjadinya luka/cedera akibat jatuh.
b. Jangan mengekang pergerakan anak saat kejang
Salah satu gejala kejang demam yaitu gerakan anak yang tidak terkontrol.
Jika pergerakan yang tidak terkontrol tersebut ditahan/dikekang, maka pergerakan
tersebut tidak akan berhenti. Sebaliknya, justru dapat membuat anak cedera/patah
tulang. Menggendong anak dengan kain juga dapat mengekang pergerakan anak.
c. Singkirkan benda tajam dari sekeliling anak
Kejang akan membuat gerakan-gerakan anak tidak terkontrol. Gerakan tidak
terkontrol tersebut memungkinkan anak untuk membentur atau menyentuh benda-
benda yang ada disekitar anak. jika benda tersebut lunak maka tidak masalah,
namun jika benda yang terbentur atau terrsentuh adalah keras/ tajam maka
memungkinkan terjadi cedera. Oleh karena itu, segera pindahkan benda-benda
keras atau tajam yang bisa menyebabkan cedera pada anak selama kejang
berlangsung.
4. Penanganan dalam menjaga kepatenan jalan nafas
a. Jangan menaruh/menempatkan apapun dalam mulutnya
Jangan berusaha untuk membuka rahang yang terkatup pada keadaan kejang
untuk memasukkan sesuatu. Hal ini dapat membuat gigi patah dan cedera pada bibir
dan lidah. Selain itu, juga dilarang untuk memasukkan sendok, kayu, jari, atau
benda yang lain ke dalam mulut, karena dapat beresiko menyebabkan sumbatan
jalan nafas.
b. Miringkan kepala anak dengan hati-hati
Karena tidak sadarkan diri, anak yang mengalami kejang demam maka
berkemungkinan akan tersedak ludahnya sendiri dan muntah. Tersedak dan muntah
dapat menyebabkan pernafasan anak terganggu. Padahal, anak yang mengalami
kejang demam membutuhkan pasokan O2 yang lancar supaya bisa sampai ke otak.
Untuk tesedak ludahnya sendiri dan muntah, maka ibu dapat memiringkan
kepala anak. hal ini dilakukan agar jika anak muntah, maka muntahannya dapat
keluar sendiri dari mulutnya dan juga dapat mencegah terjadinya tersedak serta
mencegah terjadinya lidah jatuh yang dapat menghambat pernafasan anak.
c. Memastikan pernapasan anak lancar
Anak yang mengalami kejang demam harus mendapatkan pasokan oksigen
yang lancar dan cukup. Jika pernafasan terganggu, maka pasokan oksigen ke dalam
tubuh khususnya otak juga akan terganggu. Untuk melancarkan jalan nafas anak,
maka longgarkan baju anak yang terpakai dengan ketat. Selain itu, keluarkan
makanan/ apapun yang ada di dalam mulut anak supaya tidak mengganggu
perrnafasan.
d. Jangan berikan makanan atau obat lewat mulut saat anak kejang demam
Memberikan obat melaui mulut tidak membantu anak melewati masa
kejangnya. Ketika anak yang sedang kejang diberikan obat melalui mulut, justru
dapat menyebabkan anak tersedak. Karena pada saat anak mengalami kejang
demam, anak akan tidak sadarkan diri dan tidak dapat diberikan instruksi untuk
menelan.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian
Jenis penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian kuantitatif non
eksperimental. Desain penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah
desain penelitian deskriptif dengan pendekatan survey. Penelitian ini merupakan
deskriptif dengan tinjauan retrospektif dengan menggunakan disain penelitian cross
sectional yaitu variabel-variabel yang termasuk faktor risiko dan variabel yang
merupakan efek diobservasi sekaligus pada waktu yang sama. Data yang diteliti
berupa data sekunder dari rekam medis pasien yang didiagnosis kejang demam di
Rawat Inap Anak RSUD Kota Dumai.
Penelitian deskriptif adalah suatu metode yang menghadirkan gambaran
tentang situasi atau fenomena secara detail dan objektif. Metode penelitian
deskriptif digunakan untuk memecahkan atau menjawab permasalahan yang sedang
dihadapi pada situasi sekarang. Penelitian deskriptif yang akan dilakukan ini
bertujuan untuk mengetahui faktor – faktor yang mempengaruhi timbulnya kejang
demam berulang di RSUD Kota Dumai. Penelitian ini akan dilakukan dengan
menempuh langkah-langkah pengumpulan data, klasifikasi, pengolahan, membuat
kesimpulan, dan laporan (Asmadi, 2008).

3.2 Waktu dan Lokasi Penelitian


Penelitian ini akan dilakukan mulai bulan Maret sampai bulan Mei 2021.
Penelitian ini dilakukan di Rawat Inap Anak RSUD Kota Dumai. Data penelitian
direncanakan diambil mulai bulan Januari 2015 - Desember 2020.

3.3 Populasi Penelitian


Populasi adalah semua pasien yang berobat ke Rawat Inap Anak RSUD Kota
Dumai selama Januari 2015 – Desember 2020 dengan diagnosis kejang demam
berulang pada lebih dari satu episode demam. Penelitian ini menggunakan total
sampling di mana seluruh pasien kejang demam berulang pada periode Januari 2015
– Desember 2020 diambil sebagai sampel.
3.4 Kriteria Sampel
Kriteria sampel digunakan untuk membantu peneliti mengurangi bias dari
hasil penelitian. Kriteria tersebut menentukan dapat dan tidaknya sampel tersebut
digunakan. Kriteria sampel dibedakan menjadi dua, yaitu kriteria inklusi dan
eksklusi (Sugiyono, 2009).
Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah usia antara 6 bulan – 5 tahun, tidak
mengalami gangguan neurodevelopmental sebelum bangkitan kejang demam
pertama. Kriteria eksklusi ialah berkas rekam medis tidak ditemukan mengalami
kelainan neurologis setelah kejang atau mendapatkan terapi profilaks kejang
demam jangka panjang pada kejang demam sebelumnya.

3.4 Variabel Penelitian


Variabel penelitian ini adalah kejang demam berulang, usia saat kejang
demam pertama, jenis kelamin, riwayat kejang demam dalam keluarga, riwayat
epilepsi dalam keluarga, dan tipe kejang demam pertama yang dialami oleh pasien.
Kejang demam berulang adalah kejang yang terjadi pada lebih dari satu episode
demam. Kejang demam kompleks adalah kejang demam yang bersifat fokal,
berlangsung lebih dari 15 menit, atau berulang dalam satu kali episode demam.
Kejang demam sederhana adalah kejang demam yang bukan merupakan kejang
demam kompleks.

3.5 Teknik Pengambilan Data


Teknik pengambilan sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini
menggunakan teknik consecutive sampling dimana sampel penelitian adalah
seluruh populasi yang terjangkau yang dirawat inap di ke Rawat Inap Anak RSUD
Kota Dumai selama Januari 2015 – Desember 2020 yang memenuhi kriteria inklusi
dari penelitian dan diperoleh berdasarkan urutan masuknya di Rumah Sakit. Cara
pengambilan semua data-data medis yang diambil dari catatan medis pada anak
yang didiagnosa kejang demam berulang berdasarkan klinis dan pemeriksaan
penunjang dimasukan dalam penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA

Amalia K, Fatimah, Bennu HM. 2013. Faktor risiko kejadian kejang demam pada
anak balita diruang perawatan anak rumah sakit umum daerah daya kota
makassar. ISSN : 2302-1721. 1 (6): 1-9.

Arnold. 2000. How should febrile seizure be evaluated and treated. Pediatric
Epilepsi Center.

Asmadi. 2008. Teknik prosedural keperawatan: konsep dan aplikasi kebutuhan


dasar klien. Jakarta: Salemba Medika..

Behrman, Kliegman, Arvin. Nelson Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 15, Vol. 3, W.B.
Saunders Company, Philadelphia, Pennysylvania. Hal 2059-2060.

Chris Tanto et al., 2014. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi ke-4. Jakarta : Media
Aesculapius. Hal 102-105.

Doengoes, Marylinn E. 1999. Rencana asuhan keperawatan. Edisi 3. Jakarta: EGC.

Fuadi, Bahtera T, Wijayahadi N. 2010. Faktor resiko bangkitan kejang demam pada
anak. Sari Pediatri .12 (3): 142-149.

Hassan R. et al., 2002. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak 2. Cetakan Kesepuluh.

Hendarto. 2005. Cermin dunia kedokteran subbagian saraf anak, bagian ilmu
kesehatan anak, fakultas kedokteran universitas indonesia/rscm, pusat
penelitian dan pengembangan. Jakarta: PT. Kalbe Farma.

Hidayat AA. 2008. Pengantar ilmu kesehatan anak untuk pendidikan kebidanan.
Jakarta: Salemba Medika.

Hirtz GD. 1997. Febrile seizure. Pediatric in Review. 18(1): 5-8.

Janet L. et al., 2013. Febrile Seizures. Pediatric Annals 42(12): 249-54.

Joshua R. Francis, dkk., 2016. An observational study of febrile seizures: the .


importance of viral infection and immunization. BMC Pediatrics 16:202.
Jakarta.

Khanis A. 2010. Defisiensi besi dengan parameter stfr sebagai faktor resiko
bangkitan kejang demam. Semarang: Universitas Diponegoro. Diakses di
eprints.undip.ac.id .

Liu DTY. 2008. Manual persalinan. Edisi 3. Jakarta: EGC.

Lumbantobing. 2007. Kejang demam ( febrile convulsions). FKUI: Jakarta.

Paul R. Carney & James D. Geyer. 2010. Pediatric Practice Neurology. United
Pusponegoro D, Hardiono. 2004. Standar pelayanan medis kesehatan anak. Edisi 1.
Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.

Sarwono. 2006. Buku acuan nasional pelayanan kesehatan maternal & neonatal.
Edisi1. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Setiadi. 2007. Konsep dan penulisan riset keperawatan. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Soetomenggolo. 2000. Kejang demam. Jakarta: Balai Penerbit IDAI. 244-252.


States: The McGraw-Hill Companies. Hal 41-45.

Sugiyono. 2009 Metode penelitian kuantitatif, kualitatif dan r&d. Bandung: Alva
Beta.

Wikjosastro, Hanifa. 2005. Ilmu kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka


Sarwono Prawirohardjo.

Wong DL. 2009. Buku ajar keperawatan pediatrik wong. Edisi 6. Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai

  • Sifat Termodinamika dan Kinetika Reaksi
    Sifat Termodinamika dan Kinetika Reaksi
    Dokumen2 halaman
    Sifat Termodinamika dan Kinetika Reaksi
    Retno dwi Astutik
    Belum ada peringkat
  • Lembar Kendali Responsi Dan Asistensi
    Lembar Kendali Responsi Dan Asistensi
    Dokumen2 halaman
    Lembar Kendali Responsi Dan Asistensi
    Retno dwi Astutik
    Belum ada peringkat
  • 009 Susana
    009 Susana
    Dokumen8 halaman
    009 Susana
    Awal JaNuary Saragi
    Belum ada peringkat
  • Laporan
    Laporan
    Dokumen19 halaman
    Laporan
    Retno dwi Astutik
    Belum ada peringkat
  • 2012-2-02003-MN Bab2001
    2012-2-02003-MN Bab2001
    Dokumen23 halaman
    2012-2-02003-MN Bab2001
    noor latifah
    Belum ada peringkat
  • Sifat Termodinamika
    Sifat Termodinamika
    Dokumen1 halaman
    Sifat Termodinamika
    Retno dwi Astutik
    Belum ada peringkat
  • 6 Bab 3
    6 Bab 3
    Dokumen10 halaman
    6 Bab 3
    Retno dwi Astutik
    Belum ada peringkat
  • PROSES DEHIDROGENASI ETILBENZENA
    PROSES DEHIDROGENASI ETILBENZENA
    Dokumen2 halaman
    PROSES DEHIDROGENASI ETILBENZENA
    Retno dwi Astutik
    Belum ada peringkat
  • Makalah
    Makalah
    Dokumen8 halaman
    Makalah
    Retno dwi Astutik
    Belum ada peringkat
  • 009 Susana
    009 Susana
    Dokumen8 halaman
    009 Susana
    Awal JaNuary Saragi
    Belum ada peringkat
  • Skripsi
    Skripsi
    Dokumen4 halaman
    Skripsi
    Retno dwi Astutik
    Belum ada peringkat
  • BAB IV Oleo
    BAB IV Oleo
    Dokumen7 halaman
    BAB IV Oleo
    Retno dwi Astutik
    Belum ada peringkat
  • Makalah
    Makalah
    Dokumen8 halaman
    Makalah
    Retno dwi Astutik
    Belum ada peringkat
  • Perengkahan Katalitik
    Perengkahan Katalitik
    Dokumen6 halaman
    Perengkahan Katalitik
    Retno dwi Astutik
    Belum ada peringkat
  • Translate Perengkahan 4
    Translate Perengkahan 4
    Dokumen15 halaman
    Translate Perengkahan 4
    Retno dwi Astutik
    Belum ada peringkat
  • Document
    Document
    Dokumen8 halaman
    Document
    Retno dwi Astutik
    Belum ada peringkat
  • Plate Type HE
    Plate Type HE
    Dokumen12 halaman
    Plate Type HE
    Retno dwi Astutik
    Belum ada peringkat
  • BAB IV Acc
    BAB IV Acc
    Dokumen7 halaman
    BAB IV Acc
    Retno dwi Astutik
    Belum ada peringkat
  • Boiler pertama-WPS Office
    Boiler pertama-WPS Office
    Dokumen14 halaman
    Boiler pertama-WPS Office
    Retno dwi Astutik
    Belum ada peringkat
  • Abs Trak
    Abs Trak
    Dokumen1 halaman
    Abs Trak
    Retno dwi Astutik
    Belum ada peringkat
  • BAB IV Tangpeng
    BAB IV Tangpeng
    Dokumen13 halaman
    BAB IV Tangpeng
    Retno dwi Astutik
    Belum ada peringkat
  • Bab 4 Baru Goes To Acc
    Bab 4 Baru Goes To Acc
    Dokumen7 halaman
    Bab 4 Baru Goes To Acc
    Retno dwi Astutik
    Belum ada peringkat
  • Bab I, K
    Bab I, K
    Dokumen2 halaman
    Bab I, K
    Retno dwi Astutik
    Belum ada peringkat
  • Bab Iv
    Bab Iv
    Dokumen6 halaman
    Bab Iv
    Retno dwi Astutik
    Belum ada peringkat
  • Makalah Papk
    Makalah Papk
    Dokumen20 halaman
    Makalah Papk
    Retno dwi Astutik
    Belum ada peringkat
  • BAB IV Acc
    BAB IV Acc
    Dokumen7 halaman
    BAB IV Acc
    Retno dwi Astutik
    Belum ada peringkat
  • Ringkasan Combustion
    Ringkasan Combustion
    Dokumen17 halaman
    Ringkasan Combustion
    Retno dwi Astutik
    Belum ada peringkat
  • BAB IV Acc
    BAB IV Acc
    Dokumen7 halaman
    BAB IV Acc
    Retno dwi Astutik
    Belum ada peringkat
  • Si O2
    Si O2
    Dokumen5 halaman
    Si O2
    Retno dwi Astutik
    Belum ada peringkat