PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hampir semua orang pernah mengalami demam, ada yang cuma demam
ringan dan ada yang sampai demamnya tinggi sekali. Demam merupakan keadaaan
yang sering di temui sehari-hari dalam kehidupan terutama pada anak yang
tubuhnya masih rentan terhadap penyakit. Demam di tandai dengan meningkatnya
suhu di atas ambang normal. Peningkatan suhu tubuh dapat di golongkan menjadi
dua, yaitu peningkatan suhu yang tergolong normal (bersifat fisologis) dan
peningkatan suhu yang abnormal (patologis). Peningkatan suhu tubuh dalam
keadaan normal, misalnya peningkatan suhu setelah anak beraktivitas, setelah
mandi air panas, anak menangis, setelah makan, anak yang kurang minum atau
cemas. Peningkatan suhu yang abnormal misalnya akibat penyakit. Beragam
penyakit memang biasanya di mulai dengan manifestasi berupa demam. Untuk
mengatasi ketidaknyamanan yang di akibatkannya, di lakukan berbagai cara mulai
dari sederhana sampai harus kepelayanan kesehatan. Demam merupakan kasus
tersering yang menyebabkan orangtua membawa anak ke pelayanan kesehatan dan
terkadang membuat orang tua panik (Lusia, 2015).
Demam adalah satu gejala infeksi yang biasanya terjadi akibat serangan virus
atau bakteri. Sedangkan kejang didefenisikan sebagai gangguan fungsi otak sesaat
yang mendadak, biasanya dimanifestasikan dengan fenomena motorik involunter,
sensorik, otonomik, atau psikis, sendiri-sendiri atau dalam kombinasi. Sering terjadi
perubahan atau hilangnya kesadaran. Perubahan-perubahan dalam fungsi
neurologik ini disertai dengan impuls-impuls elektroserebral yang tersinkronisasi
secara abnormal (Setiawan, 2001).
Menurut Hidayat (2006), kejang demam merupakan perubahan fungsi pada
otak secara mendadak dan sangat singkat atau sementara yang dapat disebabkan
oleh aktifitas otak yang abnormal serta adanya pelepasan pada serebral yang sangat
berlebihan. Kejang demam adalah suatu kejang yang terjadi pada usia antara 3
bulan hingga 5 tahun yang berkaitan dengan demam, namun tanpa adanya tanda-
tanda infeksi intrakranial atau penyebab yang jelas. Empat persen anak-anak
prasekolah pernah mengalami kejang, selama ini yang paling sering ditemui adalah
kejang demam. Sering terdapat riwayat serangan kejang demam pada anggota
keluarga lainnya.
Dari penelitian oleh berbagai pakar di dunia didapatkan bahwa sekitar 2,2%-
5% anak pernah mengalami kejang demam sebelum mereka mencapai usia 5 tahun.
Insidensi kejang demam diberbagai Negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa
barat mencapai 2-4% sedangkan di negara-negara di Asia jumlah penderita lebih
tinggi lagi. Sekitar 20% diantara jumlah penderita mengalami kejang kompleks
yang harus ditangani lebih teliti. Kejang demam dilaporkan di Indonesia mencapai
2 ± 4% (Lumbantobing 2003). Dalam penelitian ditemukan angka kematian kejang
demam 0,46 % s/d 0,74 %. Dampak kejang demam bila tidak ditangani akan terjadi
kerusakan sel-sel otak akibat kekurangan oksigen dalam otak, pengeluaran sekret
lebih dan risiko kegawatdaruratan untuk aspirasi jalan napas yang menyebabkan
tersumbatnya jalan napas. Jika tidak ditangani dengan baik maka berisiko kematian
(Lumbantobing, 2003).
Secara umum kejang demam memiliki prognosis yang baik, namun sekitar 30
sampai 35% anak dengan kejang demam pertama akan mengalami kejang demam
berulang. Meskipun memiliki prognosis yang baik, namun kejang demam tetap
menjadi hal yang menakutkan bagi orang tua. Untuk itu diperlukan pengetahuan
tentang faktor-faktor yang mempengaruhi berulangnya kejang demam yang bisa
diberikan kepada orangtua untuk meredakan ketakutan yang berlebihan dan
kepentingan tatalaksana (Feitfet, 2007). Adanya faktor-faktor yang berhubungan
dengan terjadinya kejang demam berulang adalah riwayat kejang demam dalam
keluarga, usia kurang dari 12 bulan, temperatur yang rendah saat kejang, dan
cepatnya kejang setelah demam (Berg, 1996). Selain empat faktor di atas, adanya
faktor jenis kelamin, riwayat epilepsi dalam keluarga, dan kejang demam kompleks
pada kejang demam pertama juga ditambahkan sebagai faktor prediktif kejang
demam berulang (Marudur, 2012).
Menurut studi pendahuluan yang saya lakukan di Instalasi Rawat Inap Anak
di RSUD Kota Dumai diperoleh selama periode 2019 – 2020 terdapat sebanyak 80
orang anak dari usia 1-3 tahun menderita kejang demam dan ini merupakan angka
kejadian kejang demam tertinggi di RSUD Kota Dumai. Oleh karena itu dengan
meningkatnya angka kejang demam tersebut penulis tertarik untuk melakukan
penelitian mengenai “Faktor – Faktor yang Berhubungan dengan Timbulnya
Kejang Demam Berulang Pada Pasien di Rawat Inap Anak RSUD Kota Dumai”.
2.2 Etiologi
Beberapa teori dikemukan mengenai penyebab terjadinya kejang demam.
Demam yang memicu kejang berasal dari proses ekstrakranial. Sekitar 90% akibat
dari infesksi virus seperti Rotavirus dan Parainfluenza (Joshua R. Francis dkk.,
2016). Kejang demam juga disebabkan karena infeksi saluran pernapasan atas akut,
otitis media akut, roseola, infeksi saluran kemih, dan infeksi saluran cerna (Chris
Tanto dkk., 2014). Kejang demam juga diturunkan secara genetik sehingga eksitasi
neuron terjadi lebih mudah. Pola penurunan genetic masih belum jelas, namun
beberapa studi menunjukan keterkaitan dengan kromosom ternetu seperti 19p dan
8q13-2, sementara studi lain menunjukan pola autosomal dominan (Chris Tanto
dkk., 2014).
2.3 Patogenesis
Mekanisme kejang yang tepat masih belum diketahui, namun ada beberapa
faktor yang menyebabkan perkembangan kejang. Kejang dimulai dengan adanya
kelompok neuron yang akan menimbulkan ledakan discharge atau rabas yang
berarti dan sistem hambatan GABAergik. Perjalanan rabas kejang akhirnya
tergantung pada efek eksitasi sinaps glutamaterik. Ada bukti menunjukan bahwa
eksitasi neurotransmitter asam amino seperti glutamat atau aspartat dapat
memainkan peran dalam menghasilkan eksitasi neuron dengan bekerja pada sel-sel
tertentu (Behrman, 1996).
Pada keadaan demam dengan kenaikan suhu 1 derajat Celcius akan
mengakibatkan kenaikan metabolisme basal sekitar 10% -15% dan kebutuhan
oksigen akan meningkat 20%. Pada anak berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai
65% dari seluruh tubuh dan orang dewasa hanya 15%. Kenaikan suhu tubuh tertentu
dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron dan terjadi difusi
ion Natrium melalui membran akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan
listrik ini dapat meluas ke seluruh sel dengan bantuan neurotransmitter dan
terjadilah kejang. Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda. Pada anak
dengan ambang kejang yang rendah, kejang bisa terjadi pada suhu 38 derajat
Celcius sedangkan pada anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang akan
terjadi pada 40 derajat Celcius (Hassan R, 2002).
Amalia K, Fatimah, Bennu HM. 2013. Faktor risiko kejadian kejang demam pada
anak balita diruang perawatan anak rumah sakit umum daerah daya kota
makassar. ISSN : 2302-1721. 1 (6): 1-9.
Arnold. 2000. How should febrile seizure be evaluated and treated. Pediatric
Epilepsi Center.
Behrman, Kliegman, Arvin. Nelson Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 15, Vol. 3, W.B.
Saunders Company, Philadelphia, Pennysylvania. Hal 2059-2060.
Chris Tanto et al., 2014. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi ke-4. Jakarta : Media
Aesculapius. Hal 102-105.
Fuadi, Bahtera T, Wijayahadi N. 2010. Faktor resiko bangkitan kejang demam pada
anak. Sari Pediatri .12 (3): 142-149.
Hassan R. et al., 2002. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak 2. Cetakan Kesepuluh.
Hendarto. 2005. Cermin dunia kedokteran subbagian saraf anak, bagian ilmu
kesehatan anak, fakultas kedokteran universitas indonesia/rscm, pusat
penelitian dan pengembangan. Jakarta: PT. Kalbe Farma.
Hidayat AA. 2008. Pengantar ilmu kesehatan anak untuk pendidikan kebidanan.
Jakarta: Salemba Medika.
Khanis A. 2010. Defisiensi besi dengan parameter stfr sebagai faktor resiko
bangkitan kejang demam. Semarang: Universitas Diponegoro. Diakses di
eprints.undip.ac.id .
Paul R. Carney & James D. Geyer. 2010. Pediatric Practice Neurology. United
Pusponegoro D, Hardiono. 2004. Standar pelayanan medis kesehatan anak. Edisi 1.
Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Sarwono. 2006. Buku acuan nasional pelayanan kesehatan maternal & neonatal.
Edisi1. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Setiadi. 2007. Konsep dan penulisan riset keperawatan. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Sugiyono. 2009 Metode penelitian kuantitatif, kualitatif dan r&d. Bandung: Alva
Beta.
Wong DL. 2009. Buku ajar keperawatan pediatrik wong. Edisi 6. Jakarta : EGC.