Anda di halaman 1dari 10

Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 1 No.

I September 2000 : 10 - 19 10

MEMAHAMI KERUSUHAN SOSIAL, SUATU KENDALA MENUJU


MASYARAKAT MADANI*
Muhammad Mustofa

Abstract

Social riots that occurred in Indonesia since the last half-decade is


understandable in the sense that it reflects the picture of Indonesian social structure.
The existing social structure of this nation is indeed far of reflecting the image of civil
society. Due that, according to the author, efforts being done to tackle social riot is
basically similar to our efforts in developing Indonesian civil society.

Pendahuluan tempat di Indoesia dan yang secara


sporadis masih terjadi hingga akhir-akhir
Seiring dengan era reformasi di ini. Munculnya berbagai peristiwa
Indonesia yang dipelopori mahasiswa kerusuhan sosial tersebut dipandang
sejak tahun 1997, pertanyaan dan sebagai ancaman bagi terjadinya
pernyataan tentang bentuk masyarakat disintegrasi bangsa dan merupakan
ideal yang diinginkan oleh bangsa kondisi yang tidak kondusif bagi
Indonesia semakin kuat dikuman- terwujudnya suatu masyarakat madani.
dangkan. Masyarakat madani yang Oleh karena itu diperlukan pemahaman
diharapkan sebagai suatu tatanan ideal secara proporsional terhadap peristiwa-
masyarakat diharapkan mampu meng- peristiwa kerusuhan sosial tersebut
hasilkan suatu masyarakat yang stabil, sehingga akan dapat dicari pemecahan
rakyat yang berdaulat, pemerintahan masalahnya secara proporsional juga
yang bersih dan demokratis serta dalam rangka mewujudkan masyarakat
mampu mewujudkan cita-cita bangsa madani.
Indonesia yang tertuang dalam Undang-
undang Dasar 1945, suatu masyarakat Masyarakat Madani
adil makmur. Berkenaan dengan
pertanyaan dan pernyataan tersebut, Memberikan sumbangan pikiran
Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional tentang masyarakat madani tidak bisa
(KIPNAS) Ke VII ini pun mengambil tidak memerlukan batasan tentang apa
tema "Kemandirian dan profesionalisme yang disebut sebagai masyarakat
ilmuwan menuju masyarakat madani madani tersebut. Masyarakat madani
Indonesia" yang merupakan upaya yang merupakan padanan atas istilah
untuk mewujudkan sumbangan ilmuwan "civil society", adalah suatu bentuk
menghadapi pertanyaan dan tatanan masyarakat yang di dalam pola
pernyataan tentang masyarakat madani. hubungan antar individu, antara individu
Tulisan ini merupakan sum- dengan kelompok-kelompok individu,
bangan pikiran melalui cara pandang antara individu dengan lembaga-
kriminologi yang dikaitkan dengan lembaga sosial, antara kelompok
masalah kerusuhan sosial yang marak individu dengan lembaga-lembaga
semenjak tahun 1996-an di berbagai sosial, antar kelompok individu, dan

*
Versi asli tulisan merupakan makalah yang disampaikan pada Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional Ke
VII, tanggal 9-11 September 1999 di Komplek PUSPITEK Serpong.
Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 1 No. I September 2000 : 10 - 19 11

antar lembaga sosial didasari oleh suatu yang didalamnya terdapat keaneka-
asas kesetaraan (egalitarian). Rakyat ragaman suku bangsa, keaneka-
sebagai pilar utama masyarakat ragaman realitas sosial termasuk
memiliki kedaulatan yang penuh untuk keaneka-ragaman agama dan keper-
cayaan yang masing-masing telah ikut
menentukan tujuannya dalam
membentuk sikap hidup orang-orang
bermasyarakat, menentukan bentuk Indonesia, menghadapi dunia.
pemerintahan, menentukan apa yang Termasuk proses integrasinya sebagai
harus dilakukan oleh pemerintah untuk suatu bangsa. Terbentuknya bangsa
rakyat serta menentukan aturan main Indonesia ditentukan oleh kesadaran
(demokrasi) dalam mewujudkan sebagai suatu persekutuan yang
kedaulatannya tersebut. tersusun menjadi satu. Kesadaran itu
Batasan tersebut di atas adalah timbul oleh adanya kebanggaan
keadaan yang diharapkan atau suatu memiliki sesuatu yang hendak diper-
das Sollen dan bukan merupakan tahankannya bersama; (Mattulada,
1978: 3-4)
keadaan yang sebenarnya atau das
Sein. Yang menjadi pertanyaan
20 tahun lebih Mattulada sudah
kemudian adalah: (1) apakah bangsa
mengkonstatasi bahwa "kesadaran
Indonesia yang sangat beraneka dalam
keberadaan fungsional" yang
kenyataan budayanya, kenyataan
merupakan perekat integrasi bangsa
sosialnya, kenyataan ekonominya,
telah dipasung oleh filosofi
kenyataan keagamaannya, kenyataan
pembangunan dan semakin meluntur
aspirasi politiknya dan berbagai aneka
fungsinya. Kerusuhan-kerusuhan sosial
yang lain mempunyai kesetaraan dalam
yang marak semenjak 1996-an dalam
mewujudkan kedaulatannya?, (2)
kerangka ini merupakan puncak dari
apakah keserbaragaman tersebut tidak
lunturnya "kesadaran keberadaan
merupakan kendala bagi terwujudnya
fungsional" bangsa Indonesia yang
masyarakat madani, dan (3) apakah
merupakan hasil dari orde
kerusuhan-kerusuhan sosial yang terjadi
pembangunan. Sementara itu menurut
selama ini merupakan bukti adanya
Durkheim, suatu masyarakat akan
ketidaksetaraan budaya, ketidak-
selalu mengalami ketegangan karena
setaraan sosial, ketidaksetaraan
adanya perjuangan yang terus-menerus
ekonomi dsb ?
antara dorongan terjadinya disintegrasi
Lebih 20 tahun yang lalu
(termasuk terjadinya perbendaan-
Mattulada (1978) menengarai bahwa
perbedaan yang cepat) dan dorongan
yang menyatukan atau mendorong
integrasi (termasuk komitmen baru atau
integrasi dari bangsa Indonesia yang
yang diperbaharui tentang kepercayaan-
plurasitis dalam berbagai aspek adalah
kepercayaan bersama). (Tilly, 1978;18)
"kesadaran" (existensi) mereka yang
Dengan demikian tarik menarik antara
saling menopang atau saling
dorongan integrasi dan disintegrasi
memerlukan dalam keanekaragaman
adalah suatu proses yang lajim terjadi
masing-masing. Kesadaran tersebut
dalam pembentukan suatu masyarakat.
oleh Mattulada disebutnya sebagai
Dan sesungguhnya setelah 54 tahun
"kesadaran keberadaan fungsional"
merdeka, bangsa Indonesia belum
(Mattulada, 1978: 4). Identifikasi dari
mencapai suatu tahap menjadi
Mattulada tersebut masih relevan untuk
masyarakat madani. Kerusuhan-
diacu sekarang ini, dan lebih rinci
kerusuhan sosial dalam konteks ini
Mattulada menyatakan :
"Semua kita mengetahui bahwa merupakan dorongan disintegrasi yang
persatuan dan kesatuan nasional tampaknya harus dilalui oleh bangsa
bangsa Indonesia, terjadi atas Indonesia dalam menuju masyarakat
masyarakat Indonesia yang pluralistik, madani.
Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 1 No. I September 2000 : 10 - 19 12

akan menyebabkan terjadinya


Memahami Kerusuhan Sosial Dalam disintegrasi bangsa.
Perspektif Kriminologi Kendatipun seting tempat dan
latar belakang sosial budaya terjadinya
Kerusuhan-kerusuhan sosial peristiwa-peristiwa kerusuhan sosial
yang marak sejak tahun 1996-an dan tersebut di atas beragam, secara teoritis
secara sporadis masih terjadi hingga terdapat pola umum yang dapat
kini, akan menyentak nurani kita. Betapa dipergunakan untuk memahami
bangsa yang selama ini menganggap kerusuhan-kerusuhan sosial tersebut.
dirinya sebagai bangsa yang ramah dan Pemahaman secara konseptual ini akan
bersahabat tampak seperti telah dapat membawa kita untuk mencari
kehilangan nilai-nilai kebaikan maupun solusi masalah secara proporsional.
nilai-nilai kemanusiaan yang dimilikinya. Kerusuhan-kerusuhan sosial
Saling menyerang antar etnis yang yang melibatkan banyak pelaku dan
semula hidup berdampingan secara dampak dari peristiwa tersebut, yang
damai menghancurkan nilai tidak dapat kita pahami dengan
persahabatan yang semula dimiliki. menggunakan akal sehat, dalam
Perkosaan, penjarahan harta benda, khasanah kriminologi dan sosiologi
pembakaran rumah dan bangunan lain merupakan bentuk dari tingkah laku
merupakan pemandangan yang kolektif. Dalam hal ini tingkah laku
memilukan pada setiap peristiwa kolektif diartikan sebagai suatu kajian
kerusuhan sosial. Padahal tindakan- yang menitikberatkan pada pola-pola
tindakan tersebut merupakan tindakan dan urutan-urutan peristiwa yang terjadi
yang dikecam oleh para individu bila dalam situasi problematis (Lang & Lang,
sedang tidak terlibat dalam kerusuhan 1968:556). Sementara itu Smelser
sosial. (1962) sebagai teoritisi terkemuka
Yang lebih menyedihkan dari tentang tingkah laku kolektif
keadaan tersebut di atas adalah, menyebutnya sebagai tingkah laku yang
peristiwa-peristiwa kerusuhan sosial merupakan redefinisi kolektif terhadap
tersebut terjadi di hampir seluruh situasi yang tidak terstruktur (Smelser,
wilayah tanah air. Kerusuhan-kerusuhan 1962:23). Gejala yang masuk dalam
tersebut terjadi misalnya di kategori tingkah laku kolektif dapat
Ujungpandang, Tasikmalaya , Jakarta, ditemui pada berbagai situasi seperti
Solo, Situbondo, Banyuwangi, Aceh, reaksi orang ketika terjadi bencana
Kalimantan Barat, Maluku, Kupang, alam, kerusuhan sosial, gerakan sosial
Timor Timur. Hampir tidak ada wilayah radikal yang dijalankan secara damai,
yang luput dari munculnya peristiwa- kepanikan, sampai dengan revolusi.
peristiwa kerusuhan sosial. Bahkan Pemahaman terhadap tingkah
dalam format yang lebih kecil, gejala laku kolektif ini sebetulnya sudah
yang serupa dengan kerusuhan- dimulai sejak masa awal perkembangan
kerusuhan sosial, seperti tindakan sosiologi. Sighele (1892) misalnya telah
kolektif warga masyarakat menghakimi memberikan pandangan tentang tingkah
sendiri pelaku kejahatan yang laku kolektif dan menekankan pengaruh
tertangkap, tawuran pelajar antar fisik dan psikologis bagi timbulnya
sekolah menjadi gejala yang terjadi tingkah laku kolektif dengan
hampir setiap hari. Oleh karena itu mengatakan:
dapat dimengerti apabila dikhawatirkan
bahwa kerusuhan-kerusuhan sosial "The effect of number is to impart to all
dalam berbagai format, yang merupakan members of a crowd a sense of their
keadaan yang nyaris anomik, tersebut sudden, extraordinary and
uncontrollable power, such that no one
Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 1 No. I September 2000 : 10 - 19 13

can judge or punish their actions; and kesalahtafsiran terhadap kenyataan


this assurance leads them to commit yang dihadapi oleh individu. Dalam
acts which they (individually) condemn, situasi problematis terjadi ketidak-
feeling them unjust" (Sighele, 1892:93). stabilan respon apa yang harus
dilakukan oleh individu. Begitu situasi
Suasana perasaan yang berada
menjadi "jelas", dan nilai-nilai konven-
dalam pengaruh kerumunan dan
sional tidak lagi mengikat para individu
bertingkah laku tidak selaras dengan
yang berada dalam situasi tersebut,
perilaku normalnya tersebut oleh
para individu tersebut mulai mencari
pelopor sosiologi lainnya yaitu Park dan
pedoman bertindak dengan mengamati
Burgess (1921) dikatakannya sebagai
tingkah laku orang lain bagaimana
tidak mengacu pada sesuatu acuan
orang-orang lain memberikan reaksi.
norma masa lalu ataupun masa depan.
Munculnya pemimpin dalam situasi
Meskipun tingkah laku kolektif tidak
problematis tersebut karena tingkah
dapat dirujuk pada suatu tingkah laku
lakunya dapat dijadikan acuan oleh
yang baku, namun terdapat ciri-ciri yang
orang lain dan dianggap sebagai
merupakan pola dari timbulnya tingkah
tingkah laku yang sesuai dengan
laku kolektif. Dalam hal ini terdapat tiga
tuntutan situasi. Begitu "jiwa" kolektifa
ciri utama yang dapat ditemukan dalam
terbentuk, maka orientasi terhadap
setiap peristiwa tingkah laku kolektif.
tingkah laku konvensional yang tunduk
Ciri-ciri tersebut meliputi spontanitas,
hukum tidak lagi menjadi kuat dan para
volatilitas, dan transitoris (Lang & Lang,
pemeranserta terperangkap dalam
1968:556-557). Setiap peristiwa
siklus pembenaran tingkah laku diri
kerusuhan sosial terjadi secara spontan.
mereka sendiri.
Artinya peristiwa kerusuhan sosial
Dalam setiap peristiwa
bukanlah merupakan peristiwa yang
kerusuhan sosial akan terlihat betapa
dapat diprakirakan terjadinya, atau
tingkah laku orang cepat sekali berubah.
direkayasa. Individu-individu yang
Dua kelompok etnis yang semula
terlibat dalam suatu kerusuhan sosial
berhubungan satu sama lain secara
pada mulanya merupakan para individu
damai, tiba-tiba dapat menjadi saling
yang tunduk hukum, tidak menyukai
bermusuhan. Demikian juga, warga
kekerasan dan sadar akan konsekuensi
masyarakat yang semula tunduk hukum,
dikenai sanksi hukum bila melakukan
menghargai harta benda milik orang
tindakan kekerasan. Namun dalam
lain, dalam kerusuhan sosial Mei 1997
situasi problematis ketika individu-
berubah menjadi orang-orang yang tidak
individu tersebut terlibat dalam suatu
takut menghadapi aparat penegakan
tingkah laku kolektif seperti kerusuhan
hukum dan menjarah barang-barang
sosial, secara tiba-tiba saja mereka
yang dianggapnya berharga. Para
melakukan tindakan yang sehari-hari
pelaku yang terlibat dalam kerusuhan
mereka cela dan mereka hindari.
sosial tidak merasa bahwa
Selaras dengan ciri spontanitas ini,
perbuatannya salah, dan mereka
betapapun kejamnya tingkah laku yang
mempunyai dalih-dalih pembenaran
dilakukan oleh orang dalam suatu
tindakannya.
kerusuhan sosial, namun tindakan
Ciri berikut dari tingkah laku
tersebut bukan merupakan ciri
kolektif adalah cepat reda. Sifat spontan
kepribadian atau karakter dari pelaku
dan volatil dari tingkah laku kolektif tidak
dalam kehidupannya sehari-hari.
pernah berlangsung lama kecuali
Volatilitas atau mudah
apabila terbentuk suatu kelompok inti
berubahnya keadaan terkait dengan
yang mempertahankan agitasi dan
sifat eksplosif dari peristiwa kerusuhan
provokasi terhadap pemeranserta
sosial yang menyebabkan terjadinya
tingkah laku kolektif. Kerusuhan-
Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 1 No. I September 2000 : 10 - 19 14

kerusuhan sosial pada umumnya terjadi bekerja melalui proses nilai tambah.
dalam jangka waktu yang relatif singkat. Setiap faktor apabila berdiri sendiri
Kerusuhan Mei 1997 di Jakarta, ataupun menyatu melalui suatu proses,
misalnya hanya berlangsung selama tetapi bila tidak melibatkan faktor yang
tiga hari. Kerusuhan di Jalan Ketapang berikutnya secara lengkap tidak akan
bahkan berlangsung hanya dalam satu melahirkan tingkah laku kolektif.
hari. Setelah itu suasana kembali relatif Keenam faktor yang dikemukakan oleh
seperti semula. Ciri ini dapat ditengarai Smelser tersebut meliputi:
pada peristiwa kerusuhan sosial yang 1. Pendorong struktural, yaitu suatu
lain, kecuali bila terdapat kelompok inti kondisi struktural masyarakat yang
yang mempertahankan agitasi dan mempunyai potensi bagi timbulnya
provokasi. Kerusuhan sosial yang tingkah laku kolektif. Semakin heterogen
berlarut-larut dapat juga disebabkan suatu masyarakat, semakin kondusif
oleh kesalahan dalam upaya heterogenitas masyarakat tersebut bagi
pengendaliannya. munculnya kerusuhan sosial.
Berdasarkan ciri-ciri utama dari Keanekaragaman ciri bangsa Indonesia
tingkah laku kolektif di atas, maka secara etnis, budaya, sosial, ekonomi,
pandangan orang yang mengatakan kepercayaan, politik dan sebagainya
bahwa orang-orang yang terlibat dalam merupakan kondisi nyata yang potensial
kerusuhan sosial sebagai orang yang bagi munculnya suatu tingkah laku
telah kehilangan nilai-nilai moralitas, kolektif termasuk kerusuhan sosial.
tidak sepenuhnya benar. Tindakan 2. Ketegangan struktural, yaitu suatu
orang yang terlibat dalam tingkah laku kondisi ketegangan yang diakibatkan
kolektif hanya bersifat temporer dan oleh kenyataan struktur masyarakat
situasional. Sebagai individu, setiap seperti ketidakpastian, penindasan,
orang yang terlibat dalam tingkah laku konflik, kesenjangan. Kondisi kete-
kolektif seperti kerusuhan sosial bila gangan tersebut merupakan kondisi
dalam keadaan tidak bergabung dalam yang potensial bagi tumbuhnya
kolektifa para individu tersebut pada kerusuhan sosial.
dasarnya adalah orang yang tunduk Selama kurun waktu lebih dari
hukum dan berorientasi pada nilai-nilai 50 tahun bangsa Indonesia masih dalam
konvensional. proses membentuk diri menjadi bangsa
Di samping pemahaman ciri yang merupakan ciri masyarakat
utama dari tingkah laku kolektif, madani. Kurun waktu lebih dari
pemahaman berikutnya yang perlu setengah abad tersebut jelas
dilakukan terhadap kerusuhan sosial merupakan proses perubahan sosial
sebagai salah satu bentuk tingkah laku yang sedang dihadapi oleh bangsa
kolektif adalah pemahaman terhadap Indonesia. Huntington (1968) meng-
proses terjadinya kerusuhan sosial analisa kekerasan kolektif yang terjadi
tersebut. Model analisa yang dominan pada negara-negara berkembang pasca
dalam bidang kriminologi dan sosiologi Perang Dunia II, mengidentifikasi
yang menjelaskan proses terjadinya adanya konflik internal bangsa-bangsa
suatu tingkah laku kolektif adalah model tersebut karena terdapat kesenjangan
analisa dari Neil J. Smelser (1962) yang antara pertumbuhan kelembagaan
tertuang dalam bukunya "Theory of politik yang lambat di satu sisi dengan
Collective Behavior". perubahan sosial yang cepat di lain sisi.
Dalam menjelaskan proses Lebih jauh Huntington menulis:
terjadinya suatu tingkah laku kolektif,
Smelser (1962, 15-17) menyebutkan "Perubahan sosial dan perubahan
terdapat 6 (enam) faktor penentu bagi ekonomi - urbanisasi, meningkatkan
munculnya tingkah laku kolektif yang jumlah orang yang melek huruf dan
Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 1 No. I September 2000 : 10 - 19 15

yang berpendidikan, industrialisasi, sebagai pihak yang harus bertanggung


perluasan media massa - memperluas jawab atas terjadinya kondisi kete-
kesadaran politik, memperganda gangan tersebut.
tuntutan-tuntuan politik, dan Mencari sumber ketegangan
memperluas partisipasi politil.
dalam wujud yang kongkrit adalah suatu
Perubahan-perubahan tersebut merong-
rong sumber-sumber tradisonal dari proses obyektifikasi atau proses
otoritas politik dan merongrong mencari kambing hitam. Proses obyek-
lembaga-lembaga politik tradisional; tifikasi sumber ketegangan tersebut
mereka sangat mempersulit masalah yang merupakan proses pemahaman
pembentukan basis-basis baru asosiasi terhadap kenyataan subyektif yang
politik dan lembaga-lembaga politik baru mereka alami akan dicari pada pihak di
dan menggabungkan legitimisasi luar diri mereka. Kerusuhan antar etnis
dengan efektifitas. Tingkat mobilisasi merupakan perwujudan dari proses
sosial dan perluasan partisipasi politik obyektifikasi bahwa sumber ketegangan
adalah tinggi, namun tingkat organisasi
yang dirasakan bersama oleh suatu
politik dan pelembagaannya rendah.
Sebagai akibatnya terjadi ketidak- kelompok adalah kelompok etnis lain.
stabilan politik dan ketidak-tertiban" Pencarian sumber ketegangan pada
(Huntington, 1968:5). kelompok lain tersebut merupakan
proses eksternalisasi. Kerusuhan sosial
Belum terwujudnya masyarakat yang berlatar belakang kesenjangan
madani sepanjang sejarah ekonomi, akan menghasilkan obyek-
pemerintahan republik sejak 1945, tifikasi yang mempunyai kaitan dengan
merupakan kondisi ketegangan kaitan kehidupan ekonomi. Misalnya
struktural yang melatarbelakangi kerusuhan Mei 1997 di Jakarta
keseluruhan peristiwa kerusuhan sosial dilatarbelakangi oleh kondisi terpu-
di Indonesia. Tuntutan perimbangan ruknya ekonomi nasional. Masyarakat
anggaran antara pusat dan daerah umum yang mengalami ketegangan
maupun tuntutan pemerintahan yang karena ketidakpastian ekonomi ini
bersih dan demokratis adalah reaksi karena menyaksikan golongan ekonomi
logis dari tatanan pemerintahan yang yang beruntung memborong segala
terlalu dominan dan sentralistis selama macam kebutuhan pokok atau mem-
ini. Sepanjang kondisi pendorong borong mata uang asing (khususnya
struktural dan ketegangan struktural dollar AS) merasakan bahwa sumber
tidak berubah, dan masyarakat madani ketegangan yang mereka alami adalah
yang egaliter serta demokratis belum sektor ekonomi. Oleh karena itu adalah
dirasakan sebagai kenyataan, sulit logis bila kerusuhan Mei 1997 yang lalu
mengharapkan bahwa kerusuhan- lebih diarahkan kepada sektor-sektor
kerusuhan sosial akan dapat diatasi ekonomi atau golongan masyarakat
secara tuntas. yang menguasai sektor ekonomi.
3. Pertumbuhan dan penyebar- Mengikuti proses obyektifikasi
luasan kepercayaan umum, adalah dan eksternalisasi, sumber ketegangan
suatu proses ketika ketegangan yang telah ditengarai oleh suatu
struktural menjadi bermakna bagi para kelompok masyarakat akan disosia-
calon pelaku tindakan kolektif. Ketika lisasikan kepada segenap anggota
suatu kelompok masyarakat merasakan kelompok dan menjadi kepersayaan
diperlakukan secara tidak adil dalam umum bahwa kelompok lain merupakan
berbagai aspek, atau ketika suatu pihak yang bertanggung jawab atas
kelompok masyarakat mengalami ketegangan struktural yang mereka
ketidakserasian atau konflik dengan alami. Keseluruhan proses tersebut
kelompok lain, mereka akan mencoba menurut Berger dan Luckman (1967)
mencari sumber-sumber yang dianggap adalah suatu upaya kelompok
Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 1 No. I September 2000 : 10 - 19 16

memberikan makna subyektif atas haruslah individu yang berasal dari


pengalaman hidupnya yang nyata. kolektifa yang secara nyata sedang
Dengan demikian dalam kerusuhan- menghadapi situasi problematis dan
kerusuhan sosial yang terjadi, pihak- mengikuti keseluruhan proses
pihak yang konflik satu sama lain tidak terbentuknya tingkah laku kolektif.
melakukan konflik semata-mata Dengan demikian agitator atau
berdasarkan suatu sikap kedengkian, iri provokator hanyalah salah satu unsur
hati atau balas dendam, tetapi kecil saja bagi terjadinya kerusuhan
merupakan hasil pemahaman subyektif sosial.
mereka ketika satu sama lain saling 6. Bekerjanya pengendalian
berhubungan secara tidak serasi, sosial, adalah suatu tahapan yang
senjang, atau tidak adil yang merupakan penting yang sebetulnya dapat
pengalaman subyektif yang nyata. dimanfaatkan untuk mencegah
4. Faktor pencetus, merupakan pecahnya suatu kerusuhan sosial.
faktor situasional yang menegaskan Pranata penegakan hukum atau agen-
pendorong struktural, ketegangan agen pengendalian sosial dapat
struktural dan kepercayaan umum didayagunakan untuk mengintervensi
tentang sumber ketegangan yang setiap tahapan proses terbentuknya
memicu timbulnya tingkah laku kolektif. tingkah laku kolektif bukan tahapan
Faktor pencetus biasanya merupakan ketika kerusuhan sosial nyaris terjadi
suatu bentuk konflik yang bersifat atau sudah terjadi. Sebab kapan
individual atau hanya melibatkan sedikit persisnya suatu kerusuhan sosial terjadi
orang saja. Karena konflik individual tidak dapat diprakirakan. Bekerjanya
atau konflik kecil tersebut oleh kelompok pranata pengendalian sosial secara
yang lebih luas dipandang sebagai tidak tepat ketika kerusuhan sosial
perwujudan dari gerakan musuh yang sudah terjadi justru akan dapat
nyata yang telah diidentifikasi dalam memperpanjang atau menghambat
proses sebelumnya, maka konflik proses deeskalasi suatu kerusuhan
tersebut mampu memicu konflik yang sosial. Sementara itu agen-agen
lebih besar. Kenyataan ini dapat pengendalian sosial yang mampu
ditemukan dalam setiap peristiwa mengantisipasi kemungkinan terjadinya
kerusuhan sosial yang terjadi selama ini kerusuhan sosial, akan mampu men-
selalu diawali oleh adanya konflik cegah terjadinya kerusuhan.
individual atau hanya melibatkan sedikit Pengalaman selama masa kampanye
orang saja. pemilihan umum 1999 yang lalu yang
5. Mobilisasi pemeranserta, dikhawatirkan akan dapat menyebabkan
meskipun faktor-faktor yang tersebut terjadinya kerusuhan, mengingat model
dari nomor 1 hingga 4 telah terbentuk, kampanye yang populer masih
bagi terjadinya tingkah laku kolektif merupakan bentuk-bentuk pengerahan
memerlukan adanya dukungan massa massa, ternyata berlangsung secara
untuk bertindak. Kolektifa massa harus relatif aman. Kita mencatat bahwa
ada untuk melaksanakan kerusuhan menjelang masa kampanye yang lalu,
sosial. Kolektifa tersebut tidak terstruktur satuan-satuan tugas (satgas) dari
bentuknya. Untuk menggerakkan massa berbagai partai politik yang bersaing
dalam kerusuhan sosial diperlukan dalam pemilihan umum telah melakukan
adanya pemimpin yang mengagitasi dan berbagai kesepakatan untuk mencegah
menggerakkan massa tersebut. terjadinya konflik antar pendukung
Memang agitator atau provokator partai. Sementara itu pranata penjaga
mempunyai peran penting dalam setiap keamanan formal (polisi dan TNI)
peristiwa kerusuhan sosial. Namun selama masa kampanye tersebut telah
agitator atau provokator tersebut menunjukkan sikap netralitasnya tidak
Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 1 No. I September 2000 : 10 - 19 17

memihak kepada salah satu partai dari tingkah laku kolektif dapat dengan
politik merupakan kondisi yang kondusif cepat berubah menjadi sasaran
bagi tidak pecahnya kerusuhan antar keberingasan massa. Hal tersebut
pendukung partai politik. Kerusuhan di terjadi pada massa Revolusi Prancis,
Aceh dan Maluku yang sampai ketika Robespierre seorang tokoh
sekarang masih terjadi menunjukkan revolusi berubah menjadi korban dari
adanya kesalahan penanganan konflik. pengikutnya ketika dia mencoba
Bila proses menyatunya faktor menghentikan semangat revolusi yang
ke 1 hingga ke 6 telah terbentuk maka masih hangat.
tidak ada kekuatan apapun yang dapat Menurut Turner, saat yang paling
mencegahnya. Sebab dalam situasi peka dan susah dikendalikan adalah
yang sangat problematis tersebut para saat ketika suatu peristiwa kerusuhan
individu yang terlibat di dalamnya tidak sosial pertama kali terpicu dan selama
melihat alternatif tingkah laku yang tepat massa perubahan perilaku massa dari
dalam menghadapi situasi tersebut bentuk kerumunan ekspresif menjadi
kecuali ikut terlibat dalam tingkah laku kerumunan aktif. Pada tahap ini apabila
kolektif. Dalam keadaan ini dapat juga dilakukan tindakan represif yang lemah
dikatakan bahwa tingkah laku kolektif atau bahkan tindakan represif yang tidak
pada dasarnya merupakan suatu bentuk diperlukan, justru akan meningkatkan
pengendalian sosial swadaya (self help keberingasan massa. Yang perlu
social control) (de la Roche, 1996; dilakukan adalah menengarai juru bicara
Black, 1995) karena mengharapkan dari kerumunan massa yang benar-
bekerjanya pengendalian sosial formal benar dianggap mewakili mereka, dan
dan baku tidaklah mungkin. biasanya bukan merupakan pimpinan
formal maupun pimpinan non formal
Upaya Pengendalian Sosial masyarakat. Pemimpin kerumunan
Kerusuhan Sosial tersebut dapat diajak berunding secara
serius dan terbuka untuk bernegosiasi.
Berdasarkan model analisa Namun perencanaan negosiasi yang
Smelser di atas, upaya pengendalian sembarangan serta adanya unsur
sosial kerusuhan sosial tidak bisa tidak publikasi justru akan dapat
harus merupakan rangkaian usaha menyebabkan kegairahan kerumunan
untuk menciptakan struktur masyarakat massa dalam melakukan kerusuhan.
yang adil secara sosial, adil secara Apabila tindakan represif
budaya, adil secara ekonomi, adil berlebihan yang dapat bersifat
secara politik dan sebagainya melalui provokatif dihindarkan dan negosiasi
terwujudnya masyarakat madani. mampu menghasilkan beberapa kese-
Apabila masyarakat madani masih pakatan, kita akan dapat mengharapkan
merupakan bentuk angan-angan maka terjadinya masa pendinginan. Selan-
pecahnya suatu kerusuhan sosial jutnya apabila kerusuhan sudah dapat
adalah sesuatu yang niscaya. dipastikan mereda, barulah langkah-
Berlarut-larutnya kerusuhan langkah pengendalian untuk mele-
sosial di beberapa tempat sebagaimana paskan ketegangan yang lebih me-
telah disinggung di atas menunjukkan nyeluruh dapat dilaksanakan. Perlu
adanya ketidaktepatan dalam disadari bahwa apabila suatu kerusuhan
pengendalian sosial. Dalam kaitan ini sosial yang semula mereda kemudian
Turner (1980) mengingatkan bahwa merebak kembali, sulit diperoleh suatu
usaha untuk mengendalikan tingkah cara untuk mengendalikannya. Bahkan
laku kolektif yang bersifat volatil (mudah kerusuhan susulan ini derajat
berubah) dan tak dapat diprakirakan keseriusannya semakin tinggi.
sifat alaminya tidaklah mudah. Tokoh
Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 1 No. I September 2000 : 10 - 19 18

Penutup langkah-langkah yang berhasil guna


dalam mengatasi kerusuhan sosial.
Pembahasan terhadap masalah
kerusuhan sosial dalam perspektif
kriminologi di atas mengajarkan kepada Daftar Pustaka
kita bahwa munculnya peristiwa-
peristiwa kerusuhan sosial tidak lepas Berger, P.L. dan T. Luckmann.
dari kenyataan bekerjanya struktur 1967 The Social Construction of
sosial bangsa Indonesia. Struktur sosial Reality. New York: Anchor
bangsa Indonesia yang bekerja selama Books Doubleday & Company,
ini merupakan struktur sosial yang jauh Inc.
dari ciri suatu masyarakat madani. Oleh
karena itu penanganan masalah Black, D.
kerusuhan sosial tidak lepas dari upaya 1995 The epistemology of pure
membentuk masyarakat madani yang sociology, Law and Social
salah satu cirinya adalah adanya Inquiry, 20, hal. 829-870.
kesetaraan (egaliter) antar individu
maupun antar kelompok dalam berbagai Durkheim, E.
aspek kehidupan. 1961 The Elementary Forms of
Kerusuhan sosial yang terjadi di Religious Life. New York:
Indonesia selama ini tidak dapat Collier Books.
dijadikan alasan untuk mengatakan
bahwa bangsa Indonesia telah Huntington, S.P.
kehilangan nilai-nilai kebaikan, atau 1968 Political Order in Changing
telah kehilangan moralitasnya. Sebab Societies. New Haven: Yale
kendatipun dalam kerusuhan sosial Univ. Press.
ditampilkan tingkah laku beringas, keji,
kejam, tidak manusiawi, namun tingkah Lang, K. dan G.E. Lang
laku tingkah laku tersebut muncul dalam 1968 Collective Behavior,
situasi yang amat khusus, ketika International Encyclopaedia of
sekelompok orang atau kerumunan the Social Sciences. Crowell
untuk sementara kehilangan pedoman Collier and Macmillan, Inc.
bertindak dan merasa bahwa tindakan
beringas, keji, kejam, tidak manusiawi Mattulada
yang mereka lakukan merupakan 1978 Integrasi Nasional Dalam Proses
tindakan yang "benar" untuk Pembangunan dan Perubahan
mengantisipasi situasi problematis yang Sosial, Makalah, Seminar
mereka hadapi saat itu. Pengem-bangan Kebudayaan
Berlarut-larutnya peristiwa Dalam Rangka Pembangunan
kerusuhan sosial yang masih terjadi di Nasional, Jakarta: LIPI 17-20
beberapa tempat sekarang ini, Juli.
menunjukkan bahwa aparat penegakan
hukum telah dengan salah mengambil Park, R.E. dan E.W. Burgess
tindakan represif yang justru 1921 Introduction to the Science of
meningkatkan keseriusan kerusuhan. Sociology. Chicago: Univ. of
Dengan kata lain, pranata penegakan Chicago Press.
hukum belum dapat memahami
kompleksitas masalah kerusuhan sosial
sebagai tingkah laku kolektif yang dapat
dijadikan acuan dalam mengambil de la Roche, R.
Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 1 No. I September 2000 : 10 - 19 19

1996 Collective Violence as Social


Control, Sociological Forum,
Vol. 11, No. 1, hal. 97-123.

Sighele, S.
1892 La foule criminelle; Essai de
psychologie collective.
Translated from the Italian by
Paul Vigny. Paris: Felix Alcan.

Smelser, N.J.
1962 Theory of Collective Behavior.
New York: The Free Press.

Tilly, C.
1978 From Mobilization to
Revolution. New York: Random
House.

Turner, R.H.
1979 Collective Behavior, The
Encyclopaedia Britannica.
Vol.4. Chicago: Encyclopaedia
Britannica Inc., hal. 842-853.

Jurusan Kriminologi
Program Ekstensi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Indonesia

Sejak tahun akademik 1997-1998, Program Ekstensi


FISIP UI telah membuka Jurusan Kriminologi. Bagi yang
berminat, dapat menghubungi Program Ekstensi FISIP UI,
Kampus FISIP UI Depok, melalui No. 786-4740, antara
pukul 15.00 - 20.00 (Senin-Jum'at) dan pukul 08.00 sampai
dengan pukul 14.00 setiap hari Sabtu.

Anda mungkin juga menyukai