I September 2000 : 10 - 19 10
Abstract
*
Versi asli tulisan merupakan makalah yang disampaikan pada Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional Ke
VII, tanggal 9-11 September 1999 di Komplek PUSPITEK Serpong.
Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 1 No. I September 2000 : 10 - 19 11
antar lembaga sosial didasari oleh suatu yang didalamnya terdapat keaneka-
asas kesetaraan (egalitarian). Rakyat ragaman suku bangsa, keaneka-
sebagai pilar utama masyarakat ragaman realitas sosial termasuk
memiliki kedaulatan yang penuh untuk keaneka-ragaman agama dan keper-
cayaan yang masing-masing telah ikut
menentukan tujuannya dalam
membentuk sikap hidup orang-orang
bermasyarakat, menentukan bentuk Indonesia, menghadapi dunia.
pemerintahan, menentukan apa yang Termasuk proses integrasinya sebagai
harus dilakukan oleh pemerintah untuk suatu bangsa. Terbentuknya bangsa
rakyat serta menentukan aturan main Indonesia ditentukan oleh kesadaran
(demokrasi) dalam mewujudkan sebagai suatu persekutuan yang
kedaulatannya tersebut. tersusun menjadi satu. Kesadaran itu
Batasan tersebut di atas adalah timbul oleh adanya kebanggaan
keadaan yang diharapkan atau suatu memiliki sesuatu yang hendak diper-
das Sollen dan bukan merupakan tahankannya bersama; (Mattulada,
1978: 3-4)
keadaan yang sebenarnya atau das
Sein. Yang menjadi pertanyaan
20 tahun lebih Mattulada sudah
kemudian adalah: (1) apakah bangsa
mengkonstatasi bahwa "kesadaran
Indonesia yang sangat beraneka dalam
keberadaan fungsional" yang
kenyataan budayanya, kenyataan
merupakan perekat integrasi bangsa
sosialnya, kenyataan ekonominya,
telah dipasung oleh filosofi
kenyataan keagamaannya, kenyataan
pembangunan dan semakin meluntur
aspirasi politiknya dan berbagai aneka
fungsinya. Kerusuhan-kerusuhan sosial
yang lain mempunyai kesetaraan dalam
yang marak semenjak 1996-an dalam
mewujudkan kedaulatannya?, (2)
kerangka ini merupakan puncak dari
apakah keserbaragaman tersebut tidak
lunturnya "kesadaran keberadaan
merupakan kendala bagi terwujudnya
fungsional" bangsa Indonesia yang
masyarakat madani, dan (3) apakah
merupakan hasil dari orde
kerusuhan-kerusuhan sosial yang terjadi
pembangunan. Sementara itu menurut
selama ini merupakan bukti adanya
Durkheim, suatu masyarakat akan
ketidaksetaraan budaya, ketidak-
selalu mengalami ketegangan karena
setaraan sosial, ketidaksetaraan
adanya perjuangan yang terus-menerus
ekonomi dsb ?
antara dorongan terjadinya disintegrasi
Lebih 20 tahun yang lalu
(termasuk terjadinya perbendaan-
Mattulada (1978) menengarai bahwa
perbedaan yang cepat) dan dorongan
yang menyatukan atau mendorong
integrasi (termasuk komitmen baru atau
integrasi dari bangsa Indonesia yang
yang diperbaharui tentang kepercayaan-
plurasitis dalam berbagai aspek adalah
kepercayaan bersama). (Tilly, 1978;18)
"kesadaran" (existensi) mereka yang
Dengan demikian tarik menarik antara
saling menopang atau saling
dorongan integrasi dan disintegrasi
memerlukan dalam keanekaragaman
adalah suatu proses yang lajim terjadi
masing-masing. Kesadaran tersebut
dalam pembentukan suatu masyarakat.
oleh Mattulada disebutnya sebagai
Dan sesungguhnya setelah 54 tahun
"kesadaran keberadaan fungsional"
merdeka, bangsa Indonesia belum
(Mattulada, 1978: 4). Identifikasi dari
mencapai suatu tahap menjadi
Mattulada tersebut masih relevan untuk
masyarakat madani. Kerusuhan-
diacu sekarang ini, dan lebih rinci
kerusuhan sosial dalam konteks ini
Mattulada menyatakan :
"Semua kita mengetahui bahwa merupakan dorongan disintegrasi yang
persatuan dan kesatuan nasional tampaknya harus dilalui oleh bangsa
bangsa Indonesia, terjadi atas Indonesia dalam menuju masyarakat
masyarakat Indonesia yang pluralistik, madani.
Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 1 No. I September 2000 : 10 - 19 12
kerusuhan sosial pada umumnya terjadi bekerja melalui proses nilai tambah.
dalam jangka waktu yang relatif singkat. Setiap faktor apabila berdiri sendiri
Kerusuhan Mei 1997 di Jakarta, ataupun menyatu melalui suatu proses,
misalnya hanya berlangsung selama tetapi bila tidak melibatkan faktor yang
tiga hari. Kerusuhan di Jalan Ketapang berikutnya secara lengkap tidak akan
bahkan berlangsung hanya dalam satu melahirkan tingkah laku kolektif.
hari. Setelah itu suasana kembali relatif Keenam faktor yang dikemukakan oleh
seperti semula. Ciri ini dapat ditengarai Smelser tersebut meliputi:
pada peristiwa kerusuhan sosial yang 1. Pendorong struktural, yaitu suatu
lain, kecuali bila terdapat kelompok inti kondisi struktural masyarakat yang
yang mempertahankan agitasi dan mempunyai potensi bagi timbulnya
provokasi. Kerusuhan sosial yang tingkah laku kolektif. Semakin heterogen
berlarut-larut dapat juga disebabkan suatu masyarakat, semakin kondusif
oleh kesalahan dalam upaya heterogenitas masyarakat tersebut bagi
pengendaliannya. munculnya kerusuhan sosial.
Berdasarkan ciri-ciri utama dari Keanekaragaman ciri bangsa Indonesia
tingkah laku kolektif di atas, maka secara etnis, budaya, sosial, ekonomi,
pandangan orang yang mengatakan kepercayaan, politik dan sebagainya
bahwa orang-orang yang terlibat dalam merupakan kondisi nyata yang potensial
kerusuhan sosial sebagai orang yang bagi munculnya suatu tingkah laku
telah kehilangan nilai-nilai moralitas, kolektif termasuk kerusuhan sosial.
tidak sepenuhnya benar. Tindakan 2. Ketegangan struktural, yaitu suatu
orang yang terlibat dalam tingkah laku kondisi ketegangan yang diakibatkan
kolektif hanya bersifat temporer dan oleh kenyataan struktur masyarakat
situasional. Sebagai individu, setiap seperti ketidakpastian, penindasan,
orang yang terlibat dalam tingkah laku konflik, kesenjangan. Kondisi kete-
kolektif seperti kerusuhan sosial bila gangan tersebut merupakan kondisi
dalam keadaan tidak bergabung dalam yang potensial bagi tumbuhnya
kolektifa para individu tersebut pada kerusuhan sosial.
dasarnya adalah orang yang tunduk Selama kurun waktu lebih dari
hukum dan berorientasi pada nilai-nilai 50 tahun bangsa Indonesia masih dalam
konvensional. proses membentuk diri menjadi bangsa
Di samping pemahaman ciri yang merupakan ciri masyarakat
utama dari tingkah laku kolektif, madani. Kurun waktu lebih dari
pemahaman berikutnya yang perlu setengah abad tersebut jelas
dilakukan terhadap kerusuhan sosial merupakan proses perubahan sosial
sebagai salah satu bentuk tingkah laku yang sedang dihadapi oleh bangsa
kolektif adalah pemahaman terhadap Indonesia. Huntington (1968) meng-
proses terjadinya kerusuhan sosial analisa kekerasan kolektif yang terjadi
tersebut. Model analisa yang dominan pada negara-negara berkembang pasca
dalam bidang kriminologi dan sosiologi Perang Dunia II, mengidentifikasi
yang menjelaskan proses terjadinya adanya konflik internal bangsa-bangsa
suatu tingkah laku kolektif adalah model tersebut karena terdapat kesenjangan
analisa dari Neil J. Smelser (1962) yang antara pertumbuhan kelembagaan
tertuang dalam bukunya "Theory of politik yang lambat di satu sisi dengan
Collective Behavior". perubahan sosial yang cepat di lain sisi.
Dalam menjelaskan proses Lebih jauh Huntington menulis:
terjadinya suatu tingkah laku kolektif,
Smelser (1962, 15-17) menyebutkan "Perubahan sosial dan perubahan
terdapat 6 (enam) faktor penentu bagi ekonomi - urbanisasi, meningkatkan
munculnya tingkah laku kolektif yang jumlah orang yang melek huruf dan
Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 1 No. I September 2000 : 10 - 19 15
memihak kepada salah satu partai dari tingkah laku kolektif dapat dengan
politik merupakan kondisi yang kondusif cepat berubah menjadi sasaran
bagi tidak pecahnya kerusuhan antar keberingasan massa. Hal tersebut
pendukung partai politik. Kerusuhan di terjadi pada massa Revolusi Prancis,
Aceh dan Maluku yang sampai ketika Robespierre seorang tokoh
sekarang masih terjadi menunjukkan revolusi berubah menjadi korban dari
adanya kesalahan penanganan konflik. pengikutnya ketika dia mencoba
Bila proses menyatunya faktor menghentikan semangat revolusi yang
ke 1 hingga ke 6 telah terbentuk maka masih hangat.
tidak ada kekuatan apapun yang dapat Menurut Turner, saat yang paling
mencegahnya. Sebab dalam situasi peka dan susah dikendalikan adalah
yang sangat problematis tersebut para saat ketika suatu peristiwa kerusuhan
individu yang terlibat di dalamnya tidak sosial pertama kali terpicu dan selama
melihat alternatif tingkah laku yang tepat massa perubahan perilaku massa dari
dalam menghadapi situasi tersebut bentuk kerumunan ekspresif menjadi
kecuali ikut terlibat dalam tingkah laku kerumunan aktif. Pada tahap ini apabila
kolektif. Dalam keadaan ini dapat juga dilakukan tindakan represif yang lemah
dikatakan bahwa tingkah laku kolektif atau bahkan tindakan represif yang tidak
pada dasarnya merupakan suatu bentuk diperlukan, justru akan meningkatkan
pengendalian sosial swadaya (self help keberingasan massa. Yang perlu
social control) (de la Roche, 1996; dilakukan adalah menengarai juru bicara
Black, 1995) karena mengharapkan dari kerumunan massa yang benar-
bekerjanya pengendalian sosial formal benar dianggap mewakili mereka, dan
dan baku tidaklah mungkin. biasanya bukan merupakan pimpinan
formal maupun pimpinan non formal
Upaya Pengendalian Sosial masyarakat. Pemimpin kerumunan
Kerusuhan Sosial tersebut dapat diajak berunding secara
serius dan terbuka untuk bernegosiasi.
Berdasarkan model analisa Namun perencanaan negosiasi yang
Smelser di atas, upaya pengendalian sembarangan serta adanya unsur
sosial kerusuhan sosial tidak bisa tidak publikasi justru akan dapat
harus merupakan rangkaian usaha menyebabkan kegairahan kerumunan
untuk menciptakan struktur masyarakat massa dalam melakukan kerusuhan.
yang adil secara sosial, adil secara Apabila tindakan represif
budaya, adil secara ekonomi, adil berlebihan yang dapat bersifat
secara politik dan sebagainya melalui provokatif dihindarkan dan negosiasi
terwujudnya masyarakat madani. mampu menghasilkan beberapa kese-
Apabila masyarakat madani masih pakatan, kita akan dapat mengharapkan
merupakan bentuk angan-angan maka terjadinya masa pendinginan. Selan-
pecahnya suatu kerusuhan sosial jutnya apabila kerusuhan sudah dapat
adalah sesuatu yang niscaya. dipastikan mereda, barulah langkah-
Berlarut-larutnya kerusuhan langkah pengendalian untuk mele-
sosial di beberapa tempat sebagaimana paskan ketegangan yang lebih me-
telah disinggung di atas menunjukkan nyeluruh dapat dilaksanakan. Perlu
adanya ketidaktepatan dalam disadari bahwa apabila suatu kerusuhan
pengendalian sosial. Dalam kaitan ini sosial yang semula mereda kemudian
Turner (1980) mengingatkan bahwa merebak kembali, sulit diperoleh suatu
usaha untuk mengendalikan tingkah cara untuk mengendalikannya. Bahkan
laku kolektif yang bersifat volatil (mudah kerusuhan susulan ini derajat
berubah) dan tak dapat diprakirakan keseriusannya semakin tinggi.
sifat alaminya tidaklah mudah. Tokoh
Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 1 No. I September 2000 : 10 - 19 18
Sighele, S.
1892 La foule criminelle; Essai de
psychologie collective.
Translated from the Italian by
Paul Vigny. Paris: Felix Alcan.
Smelser, N.J.
1962 Theory of Collective Behavior.
New York: The Free Press.
Tilly, C.
1978 From Mobilization to
Revolution. New York: Random
House.
Turner, R.H.
1979 Collective Behavior, The
Encyclopaedia Britannica.
Vol.4. Chicago: Encyclopaedia
Britannica Inc., hal. 842-853.
Jurusan Kriminologi
Program Ekstensi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Indonesia