Kasus-kasus di Sulawesi bagaimana kerusakan lingkungan hidup dapat
menimbulkan bencana terhadap daerah sekitarnya.
1. Alih fungsi lahan kemudian dimanfaatkan untuk aktivitas pertambangan. Ada
75 izin usaha pertambangan di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara. Izin itu diberikan tanpa mempertimbangkan daya dukung lingkungan. Aktivitas pertambangan ini telah menghancurkan kawasan hutan, dan merusak daerah aliran sungai, terutama di kawasan hulu. Intensitas hujan yang tinggi menjadi kombinasi banjir besar tahun 2019 di Konawe Utara. Yang lebih memprihatinkan adalah pemerintah daerah menganggap izin tambang itu sebagai andalan sumber pendapatan daerah. Padahal ditilik lebih dalam, sektor ini tidak signifikan memberikan dampak positif bagi masyarakat. Karena itu, tidak ada pilihan lain yang harus dilakukan oleh Pemerintah Daerah Sulawesi Tenggara, yakni hentikan seluruh aktivitas pertambangan di provinsi itu. Kemudian, lakukan audit untuk mengetahui praktik pertambangan yang merusak lingkungan. Pemerintah daerah harus tegas. Pemerintah daerah jangan menjadi bagian dari masalah yang menimbulkan kerusakan alam dan penderitaan bagi warga Sulawesi Tenggara. Hal ini mengakibatkan terjadinya banjir besar yang meluluhlantakkan sejumlah desa di provinsi itu, banjir bandang yang terjadi di Konawe Utara ini membawa sedimen lumpur dari gunung, dari area tambang nikel di hulu dan menyapu daerah hilir, tempat mayoritas penduduk bermukim. 2. Bencana ekologis yang terjadi di Sulawesi Selatan disebabkan eksploitasi sumber daya alam dan perusakan lingkungan yang berlebihan dalam meraup keuntungan tanpa memikirkan keberlanjutan lingkungan dan keselamatan hidup rakyat. Selain itu, rentetan bencana ekologis di Sulsel dari tahun ke tahun semakin meningkat. Sepanjang sejarah di Sulsel, bencana ekologis yang paling parah pada Januari 2019 yang menimbulkan banyak kerugian baik secara materil maupun non materil. Terjadinya bencana banjir pada tahun 2019 di beberapa daerah di Sulawesi Selatan disebabkan karena jumlah tutupan hutan Daerah Aliran Sungai (DAS) Jeneberang di Kabupaten Gowa hanya sebesar 16,82 persen. Seharusnya luas tutupan hutan sebagai 'catchment area' atau daerah resapan air 30 persen dari luas DAS Jeneberang. Akibatnya, bencana banjir terjadi hingga menyasar di beberapa kabupaten kota di Sulawesi selatan seperti, Kota Makassar, Kabupaten Gowa, Kabupaten Takalar dan Kabupaten Jeneponto pada awal Januari 2019. 3. Banjir bandang pada tahun 2014 menimpa 4 wilayah di Sulawesi Utara, yaitu Manado, Tomohon, Minahasa, dan Minahasa Utara dengan wilayah terparah terkena dampak banjir bandang di Manado. Banjir bandang menyebabkan puluhan ribu orang menjadi korban banjir bandang dan melakukan pengungsian akibat banjir bandang. Banjir Bandang ini juga mengakibatkan puluhan ribu rumah mengalami kerusakan. Selain itu, banjir bandang menyebabkan kerusakan pada sarana dan prasarana di wilayah yang terkena bencana. Banjir bandang ini juga disusul terjadinya longsor yang mengakibatkan kerugian dengan perkiraan sebesar 1,8 triliun Rupiah. Banjir bandang ini disebabkan hilangnya hutan dan sungai-sungai kecil di sekitar Manado, serta rusaknya daerah resapan akibat pembangunan kota yang serampangan menyebabkan sejumlah sungai di Manado tak mampu lagi menahan debit air hujan. Selain itu banjir bandang ini diperparah, karena air laut yang sedang pasang. 4. Terjadinya banjir bandang di Sigi, Sulawesi Tengah pada tahun 2019 mengakibatkan 90% rumah penduduk terimbun lumpur bercampur pasir, Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sulawesi Tengah mengatakan berdasarkan investigasi awal, pihaknya menduga kuat banjir bandang itu diakibatkan oleh kerusakan hutan akibat aktivitas penebangan liar di hulu sungai. Batang-batang kayu dalam ukuran besar yang terbawa banjir ditemukan memiliki bekas potongan mesin.