Anda di halaman 1dari 18

MODUL

KASUS ANOSMIA

(SISTEM SENSOSI PERSEPSI)

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas KDP


(Keperawatan Dasar Profesi)

Disusun Oleh:

Wulan Septiani

JNR0200092

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUNINGAN

2020
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Alhamdulillahirrobil’alamin, puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena telah
memberikan kesempatan pada penulis untuk menyelesaikan modul ini dengan baik dan tepat
pada waktunya.. Atas rahmat dan hidayah-NYA lah penulis dapat menyelesaikan modul yang
berjudul “Konsep Menopause” tepat waktu.

Modul ini dibuat dengan berbagai observasi dan beberapa bantuan dari berbagai pihak
untuk membantu menyelesaikan tantangan dan hambatan selama mengerjakan modul ini. Oleh
karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada semua puhak yang telah membantu dalam
penyusunan modul ini.

Penulis menyadari modul ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, dengan
segala kerendahan hati penulis mengharapkan kritik dan saran untuk lebih sempurnanya modul
ini. Besar harapan penulis, semoga modul ini dapat bermanfaat dan menjadi bahan kajian ilmu
pengetahuan kepada seluruh pembaca.

Wasalamu’alaikum Wr. Wb.

Kuningan, 27 Januari 2021

Wulan Septiani
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.....................................................................................

KATA PENGANTAR................................................................................i

DAFTAR ISI...............................................................................................ii

KONSEP TEORI………………………………………………………….

A. Tujuan umum……………………………………………………….1
B. Tujuan khusus....................................................................................1
C. Anatomi Fisiologi .............................................................................1
A. Definisi...............................................................................................4
B. Etiologi ..............................................................................................6
C. Tanda dan gejala.................................................................................8
D. Penatakalsanaan.................................................................................9
E. Komplikasi………………………………………………………….9
F. Pemeriksaan Penunjang.....................................................................10
G. Asuhan Keperawatan ........................................................................11
H. Studi kasus………………………………………………………….15

PENUTUP.......................................................................................

A. Kesimpulan ........................................................................................16
B. Saran...................................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................18
A. Tujuan Umum
Setelah menyelesaikan modul ini diharapkan saya bisa memahami dan menerapkan
asuhan keperawatan pada pasien dengan Anosmia (Sistem Sensori Persepsi).

B. Tujuan Khusus
1. Menguraikan anatomi dan fisiologi
2. Menjelaskan patofisiologi Anosmia
3. Menjelaskan pengkajian pada klien dengan Anosmia
4. Merumuskan diagnosa keperawatan dengan Anosmia
5. Menyusun rencana asuhan keperawatan
6. Mengimplementasikan rencana keperawatan
7. Melakukan evaluasi asuhan keperawatan
8. Mendemostrasikan pengkajian fisik pada klien dengan Anosmia

C. Anatomi Fisiologi

a. Anatomi

Reseptor-reseptor olfaktorius merupakan sel-sel khusus, berupa sel-sel saraf


bersilia yang terletak di dalam epitel olfaktorius pada rongga hidung. Akson-akson sel
tersebut bergabung menjadi bungkusan- bungkusan kecil yang banyak jumlahnya
(nervus olfaktorius sebenarnya) yang memasuki rongga tengkorak melalui foramina
lamina kribiformis dari tulang etmoidalis dan kemudian menempel ke bulbus olfaktorius
pada permukaan inferior lobus frontalis. Proses awal informasi olfaktorius terjadi di
dalam bulbus olfaktorius, yang berisi sel-sel interneuron dan mitral besar; akson-akson
dari sel-sel mitral besar meninggalkan bulbus melewati traktus olfaktorius.
Traktus olfaktorius lewat ke belakang pada permukaaan basalis lobus frontalis dan,
tepat sebelum mencapai level kiasma optikum, sebagian besar serabut-serabut traktus
olfaktorius berbelok ke lateral, membentuk stria olfaktorius lateralis. Serabut-serabut ini
lewat menuju ke kedalaman fissura lateralis, di mana serabut-serabut tersebut menyilang
untuk mencapai lobus temporalis. Serabut-serabut tersebut berakhir utamanya di korteks
olfaktorius primer pada unkus, pada aspek

inferomedial lobus temporalis, dan di amigdala yang berdekatan dengan struktur


tersebut. Bersebelahan dengan unkus, bagian anterior dari girus parahipokampalis, atau
area entorkinal, terdapat korteks olfaktorius asosiasi. Korteks primer dan asosiasi disebut
juga sebagai korteks piriformis dan bertanggung jawab untuk mengaresiasi rangsangan
olfaktorius. Proyeksi olfaktorius adalah unik di antara system sensorik di mana proyeksi
ini terdiri atas urutan dua neuron saja di antara reseptor- reseptor sensorik dan korteks
serebri dan tidak berproyeksi melewati thalamus.
usia mengandung 5 juta reseptor olfaktorius, dengan 1000 tipe berbeda. Selama
deteksi bau, bau “diuraikan” menjadi berbagai komponen. Setiap reseptor berespons
hanya terhadap satu komponen suatu bau dan bukan terhadap molekul odoran
keseluruhan. Karena itu, tiap-tiap bagian suatu bau dideteksi oleh satu dari ribuan
reseptor berbeda, dan sebuah reseptor dapat berespons terhadap komponen bau tertentu
yang terdapat di berbagai aroma.
Bagian reseptor sel reseptor olfaktorius terdiri dari sebuah tonjolan yang membesar
dan mengandung beberapa silia panjang yang berjalan seperti hiasan rumbai-rumbai ke
permukaan mukosa. Silia ini mengandung tempat untuk mengikat odoran, molekul yang
dapat dihidu. Selama bernafas tenang, odoran biasanya mencapai reseptor sensitif hanya
dengan difusi karena mukosa olfaktorius berada di atas jalur normal aliran udara.
Tindakan mengendus meningkatkan proses ini
dengan menarik arus udara ke arah atas di dalam rongga hidung sehingga
lebih banyak molekul odoriferosa di udara yang berkontak dengan mukosa olfaktorius.
Odoran juga mencapai mukosa olfaktorius sewaktu makan dengan naik ke hidung dari
mulut melalui faring (belakang tenggorokan). Agar dapat dihidu, suatu bahan harus (1)
cukup mudah menguap sehingga sebagian molekulnya dapat masuk ke hidung melalui
udara inspirasi dan (2) cukup larut air sehingga dapat masuk ke lapisan mucus yang
menutupi mukosa olfaktorius. Molekul harus larut agar dapat dideteksi oleh reseptor
olfaktorius.

b. Fisiologi

Indra penciuman dan pengecapan tergolong ke dalam system penginderaan


kimia(chemosensation). Proses yang kompleks dari mencium dan mengecap di mulai ketika
molekul–molekul dilepaskan oleh substansi di sekitar kita yang menstimulasi sel syaraf
khusus dihidung, mulut atau tenggorokan. Sel–sel ini menyalurkan pesan ke otak, dimana
bau dan rasa khusus di identifikasi. Sel – sel olfaktori (saraf penciuman) di stimulasi oleh
bau busuk di sekitar kita. Contoh aroma dari mawar adonan pada roti. Sel–sel saraf ini
ditemukan di sebuah tambahan kecil dari jaringan terletak diatas hidung bagian dalam, dan
mereka terhubung secara langsung ke otak penciuman (olfaktori) terjadi karena adanya
molekul–molekul yang menguap dan masuk kesaluran hidung dan mengenal olfactory
membrane.

Manusia memiliki kira–kira 10.000 sel reseptor berbentuk rambut. Bila molekul udara
masuk, maka sel–sel ini mengirimkan impuls saraf (Loncent, 1988). Pada mekanisme
terdapat gangguan atau kerusakan dari sel–sel olfaktorus menyebabkan reseptor dapat
mengirimkan impuls menuju susunan saraf pusat. Ataupun terdapat kerusakan dari sarafnya
sehingga tidak dapat mendistribusikan impuls reseptor menuju efektor, ataupun terdapat
kerusakan dari saraf pusat di otak sehingga tidak dapat menterjemahkan informasi impuls
yang masuk ( Keliat,.2015).
D. Definisi Anosmia
Indera penghindu merupakan fungsi dari nervus olfaktorius, sangat erat
hubungannya dengan nervus trigeminus karena keduanya sering bekerja bersama.
Sensitivitas sensor olfaktorius juga dipengaruhi oleh umur dan jenis kelamin. Pada
wanita lebih tajam secara virtual daripada pria disemua aspek. Belum ada penjelasan
yang pasti tentang hal tersebut, namun karena faktor hormonal adalah isu yang paling
banyak diperdebatkan. Macam gangguan penciuman adalah anosmia, agnosia, parsial
anosmia, hiposmia, disosmia dan presbiosmia (Hummel et al,2011)
Anosmia merupakan salah satu penyakit pada indera penciuman yang
mengakibatkan gangguan pada pembauan adalah anosmia. Istilah anosmia berasal
dari kosa kata Yunani “an” (tidak) dan “osmia” (membau). Dari kosa kata ini
diperoleh suatu terminologi, anosmia adalah hilang atau terganggunya kemampuan
indra penciuman dalam membaui suatu objek karena beberapa sebab. Penyebab
terbanyak adalah usia tua. Separuh penduduk Amerika berusia di atas 65 tahun dan
tiga perempat di atas usia 80 tahun menderita anosmia dalam derajat yang berbeda-
beda (Endang, 1990)
Anosmia adalah kerusakan pada sistem olfaktori yang menyebabkan
ketidakmampuan untuk mencium bau. Anosmia dapat disebabkan karena adanya
hambatan dalam hidung oleh lender yang melapisi bagian dalam hidung. Hambatan
ini membuat epitel penciuman menjadi terhambat. Epitel penciuman berfungsi untuk
menangkap bau yang kemudian mengirimkan sinyal ke otak. Penyebab adanya
hambatan dalam hidung bisa disebabkan karena penyakit atau cedera otak. Pada
kasus cedera otak, menyebabkan perubahan otak dalam tengkorak dan memotong
saraf-saraf olfaktori yang melalui ciribform plate.
Beberapa bagian utama hidung yang terlibat dalam fungsi penghidu adalah
neuroepitel olfaktorius, bulbus olfaktorius dan korteks olfaktorius. Neuroepitel
olfaktorius terletak dibagian atap rongga hidung dank arena itu tidak terkena aliran
udara nafas secara langsung (Delank KW, 1994). Neuroepitel olfaktorius merupakan
epitel kolumnar berlapis semu yang berwarna kecoklatan , warna ini disebabkan
pigmen granul pada sitoplasma kompleks golgi (Allanger JJ, 2002).
Anosmia juga bisa disebabkan karena faktor usia, dimana individu dewasa
pertengahan mengalami penurunan fungsi penciuman. Anosmia dapat pula terjadi
pada usia muda, misalnya karena pukulan keras pada kepala, flu yang tak kunjung
sembuh, zat kimia beracun, dan beberapa penyebab lain yang membahayakan jiwa.
Diketahui, bagian dalam hidung terlapisi mukosa atau lapisan lembut yang lembap.
Sel-sel di dalam mukosa bersentuhan dengan bagian saraf penciuman yang disebut
axons, lalu masuk rongga dalam yang dinamakan foramina. Foramina ini
berhubungan dengan tengkorak kepala. Sel-sel dan axons-nya berjumlah sekitar 20-
24, tersusun sedemikian rupa dan bekerja sinergis dalam mendeteksi aroma. Ujung-
ujung saraf tadi berakhir dalam suatu struktur berbentuk gelembung-gelembung
penciuman. Oleh karena itu, benturan keras di bagian kepala bisa mengakibatkan
anosmia. Selain terkena benturan, kerusakan saraf indra penciuman juga dapat terjadi
karena tekanan tumor di area hidung atau kepala. Kondisi ini bisa mencetuskan
anosmia total atau kacaunya kinerja saraf, hingga terjadi kesalahan persepsi
mengenai aroma. Bau sampah misalnya, dikira bau tempe goreng. Halusinasi bau ini
pun bisa terjadi karena gangguan pada otak, misalnya akibat epilepsy (Afnan.2017)

Bahaya anosmia adalah penderita tak dapat mendeteksi bahaya dari makanan.
Misalnya, apakah makanan itu sudah rusak atau basi. Ancaman lainnya, mereka tidak
dapat mendeteksi bau gas berbahaya. Hidung mereka leluasa saja menghirup racun
yang melayang-layang di udara, hingga si racun bebas menyusup ke paru-paru.
Selebihnya, karena tak mampu merasakan aroma, mereka juga tak dapat menikmati
makanan dan minuman yang mereka konsumsi. Dalam banyak kasus, penderita
anosmia sering kali menarik diri, lantaran mereka tidak yakin bahwa tubuh mereka
tidak menimbulkan bau yang mengganggu orang lain.
E. Etilogi
1. Defek konduktif
a. Proses inflamasi / peradangan dapat mengakibatkan gangguan pembauan.
b. Adanya massa / tumor dapat menyumbat rongga hidung sehinga menghalangi
aliran adorant / ke epitel olfaktorius.
c. Abnormalitas development (misalnya ensefalokel, kista dermoid) juga dapat
menyebabkan obstruksi.
d. Pasien pasca laringektomi atau trakheotomi dapat menderita hisposmia karena
berkurang atau tidak adanya aliran udara yang melalui hidung.

2. Defek sentral / sensorineural


a. Proses infeksi / inflamasi menyebabkan defek sentral gangguan pada transmisi
sinyal.
b. Penyebab congenital menyebabkan hilangnya struktur syaraf.
c. Gangguan endokrin (hipotiroidisme, hipoadrenalisme, DM) berpengaruh pada
fungsi pembauan.
d. Trauma kepala, operasi otak atau perdarahan subarachnoid dapat menyebabkan
regangan, kerusakan atau terpotongnya fila olfaktoria yang halus dan
mengakibatkan anosmia.
e. Toksitisitas dari obat – obatan sistemik dan inhalasi
f. Definsi gizi (vit A, thiamin, zink) terbukti dapat mempengarui pembauan.
3. Faktor resiko
a. Proses degenerative patologi (penyakit Parkinson, Alzheimer)
b. Proses degenaratife normal (penuaan)
c. Lingkungan
d. Perokok
e. Pencemaran bahan kimia
f. Virus bakteri pathogen
g. Usia: Dengan bertambahnya usia seseorang jumlah neuron olfaktorius lambat
laun akan berkurang sehingga mengurangi daya penciuman.
F. Tanda dan Gejala
1. Berkurangnya kemampuan dan bahkan sampai tidak bisa mendeteksi bau.
2. Gangguan pembau yang timbul bisa bersifat total / tidak bisa mendeteksi seluruh
bau.
3. Dapat bersifat parsial / hanya sejumlah bau yang dapat dideteksi.
4. Dapat juga bersifat spesifik (hanya satu / sejumlah kecil yang dapat dideteksi)
5. Kehilangan kemampuan merasa / mendeteksi rasa dalam makanan yang di
makan.
6. Berkurangnya nafsu makan.
G. Penatalaksanaan
1. Pengobatan yang dapat digunakan untuk memperbaiki kehilangan sesuai
penciuman antara lain antihistamin bila diindikasi penderita alergi
2. Berhenti merokok dapat meningkatkan fungsi penciuman.
3. Koreksi operasi yang memblok fisik dan mencegah kelebihan dapat digunakan
dekongostan nasal.
4. Suplemen zink kadang direkomendasikan
5. Kerusakan neuro olfaktorius akibat infeksi virus prognosisnya buruk, karena tidak
dapat di obati.
6. Terapi vitamin A sebagian besar dalam bentuk vitamin A
(Neurologi edisi delapan. Jakarta:Penerbit Erlangga,tahun 2005)
H. Komplikasi
Anosmia dapat juga sebagai komplikasi akibat adanya cedera pada bagian kepala
(Nur Farida. 2013. Me Body Mengenal Bagian-bagian Tubuhku.Jakarta : Penerbit
Gramedia Widiasarana Indonesia.
I. Pemeriksaan Penunjang
1. CT scan
Kelainan tulang, fraktur fossa kranii anterior yang tak diduga sebelumnya
2. MRI kepala
Mengevaluasi bulbus olfaktorius, ventrikel, dan jaringan-jaringan lunak lainnya di
otak. CT koronal paling baik untuk memeriksa anatomi dan penyakit pada
lempeng kribiformis, fossa kranii anterior, dan sinus menyingkirkan neoplasma
pada fossa kranii anterior,, sinusitis paranasalis, dan neoplasma pada rongga
hidung dan sinus paranasalis.
3. Laboratorium darah. (Neurologi edisi delapan. Jakarta: Panerbit Erlangga,tahun
2005)
J. Asuhan Keperawatan Anosmia
A. Pengkajian
1. Data subjektif
 Identitas
 Keluhan utama
 Riwayat penyakit sekarang
 Riwayat penyakit dahulu
 Riwayat penyakit keluarga
 Pola pemeliharaan kesehatan
2. Aktivitas atau istirahat
 Eliminasi
 Neurosensori
 Pencernaan
 Kenyamanan
 Kaji gaya hidup monoton atau hiperaktif
 Pola kebiasaan
3. Data objektif
 Keadaan umum
 Tingkat kesadaran klien composmentis, dengan nilai GCS(4,5,6)
 Keterangan : 4 (respon membuka mata spontan).
 5 (respon verbal sesuai)
 6 (respon motoric mengikuti perintah)
 Tanda-tanda vital
4. Head to toe
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi

B. Diagnosa Keperawatan
1. Perubahan persepsi sensori penciuman berhubungan dengan kerusakan sel
olfaktori akibat infeksi sinus hidung yang serius
2. Perubahan pola nutrisi berhubungan dengan anoreksia

C. Intervensi Keperawatan

No Standar Diagnosis Standar Luaran Standar Intervensi


Keperawatan Indonesia Keperawatan Indonesia Keperawatan Indonesia
(SDKI) (SLKI) (SIKI)
1. Gangguan Persepsi Sensori - Verbalisasi Minimalisasi rangsangan
berhubungan dengan merasakan (1.08241)
Gangguan Penghiduan sesuatu melalui Observasi :
(D.0085) indra penciuman 1. Periksa status
meningkat (1) mental, status
Definisi : - Verbalisasi mental, dan tingkat
Perubahan persepsi terhadap merasakan kenyamanan(mis,
stimulus baik internal sesuatu melalui nyeri, kelelahan)
maupun eksternal yang indra pengecapan Terapeutik:
disertai dengan respon yang meningkat (1) 1. Diskusikan tingkat
berkurang, berlebihan atau toleransi terhadap
terdistorsi. beban sensori( miss,
bising, terlalu
Penyebab : terang)
1. Gangguan 2. Batasi stimulus
penglihatan lingkungan (mis,
2. Gangguan cahaya, suara,
pendengaran aktivita)
3. Gangguan 3. Jadwalkan aktivitas
penghinduan harian dan waktu
4. Gangguan perabaan istirahat
5. Hipoksia serebral 4. Kombinasikan
6. Penyalahgunaan zat prosedur/tindakan
7. Usia lanjut dalam satu waktu,
8. Pemajanan toksin sesuai kebutuhan
lingkungan Edukasi:
Gejala dan Tanda Mayor 1. Ajarkan cara
Subjek : meminimalisasi
1. Mendengar suara stimulus (mis.
bisikan atau melihat Mengatur
bayangan pencahayaan
2. Merasakan sesuatu ruangan, mengurangi
melalui indera kebisingan,
perabaan, penciuman, membatasi
perabaan, atau kunjungan)
pengecapan. Kolaborasi:
Objektif : 1. Kolaborasi dalam
1. Distrosi sensori meminimalkan
2. Respons tidak sesuai prosedur/tindakan
3. Bersikap seolah 2. Kolaborasi
melihat, mendengar, pemberian obat yang
mengecap, meraba, atau mempengaruhi
mencium sesuatu persepsi stimulus
Kondisi Klinis Terkait:
1. Glukoma
2. Katarak
3. Gangguan refraksi
(miopia, hiperopia,
astigmatisma,
presbyopia)
4. Trauma okuler
5. Trauma pada saraf
kranialis II, III, IV
dan VI akibat stroke,
aneurisma
6. intracranial,
trauma/tumor otak)
7. Infeksi okuler
8. Presbikusis
9. Malfungsi alat bantu
dengar
10. Delirium
11. Demensia
12. Gangguan amnestic
13. Penyakit terminal
14. Gangguan psikotik
2. Defisit Nutrisi (D.00019) Status nutrisi membaik Manajemen Nutrisi
(L.03030) (L.03119)
Definisi:
Asupan nutrisi tidak cukup Observasi
untuk memenuhi kebutuhan 1. Identifikasi status
metabolisme. nutrisi
2. Identifikasi alergi
Penyebab : dan intoleransi
1. Ketidakmampuan makanan
menelan makanan 3. Identifikasi makanan
2. Ketidakmampuan yang disukai
mencerna makanan 4. Identifikasi
3. Ketidakmampuan kebutuhan kalori dan
mengabsorbsi nutrient jenis nutrient
4. Peningkatan 5. Identifikasi perlunya
kebutuhan penggunaan selang
metabolisme nasogastik
5. Faktor ekonomi (mis, 6. Monitor asupan
finansial tidak makanan
mencukupi) 7. Monitor berat badan
6. Faktor psikologis(mis,
stres, keengganan Terapeutik
untuk makan) 1. Lakukan oral
hygiene sebelum
makan, jika perlu
2. Fasilitasi
menentukan
pedoman diet (mis,
piramida makanan)
3. Sajikan makanan
secara menarik dan
suhu yang sesuai
4. Berikan makanan
tinggi serat untuk
mencegah konstipasi
5. Berikan makanan
tinggi kalori dan
tinggi protein
6. Berikan suplemen
makanan, jika perlu

Edukasi
1. Anjurkan posisi
duduk, jika mampu
2. Ajarkan diet yang
diprogramkan
Kolaborasi
1. Kolaborasi
pemberian medikasi
sebelum makan
(mis, pereda nyeri,
antiemetik) jika
perlu
2. Kolaborasi dengan
ahli gizi untuk
menentukan jumlah
kalori dan jenis
nutrient yang
dibutuhkan, jika
perlu.

D. Studi Kasus
Seorang laki-laki berusia 26 tahun datang ke rumah sakit dengan keluhan tidak dapat
mencium bau sama sekali, dank lien juga mengatakan berat badan menurun, hal ini sudah
dirasakan selama 14 hari sehingga klien merasa sangat cemah. Dengan TTV TD : 110/80
N: 80 R : 21 S:36,2

1. Apa penyebab dari Anosmia?


2. Adakah hubungan atau pengaruh bulu hidung pada penyakit ini?
3. Klien tidak mampu mencium bau apakah ada anatomi yang terganggu?
4. Masalah keperawatan apa yang muncul?
5. Apakah flu biasa berbeda dengan Anosmia?
6. Apakah ada tanda gejala lain selain ketidak mampuan mencium bau?
7. Apakah penyakit ini bisa dicegah?
8. Bagaimana penanganan pada penyakit ini?
9. Komplikasi apa yang terjadi dan bagaimana kelanjutannya?
10. Apa saja pemeriksaan penunjangnya?

A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas maka dapat ditarik simpulan bahwa anosmia adalah
ketidakmampuan penciuman/ penghidu sebagian atau total kehilangan sensasi
penciuman. Anosmia terjadi akibat obstruksi saluran kelenjar hidung atau kerusakan
syaraf. Anosmia biasanya disebabkan proses natural dari penuaan ataupun kebanyakan
karena common cold (influenza), anosmia dapat Banyak obat-obatan yang dapat
mengubah kemampuan penghidu. Sensasi penghidu menghilang karena kelainan seperti
tumor osteoma atau meningioma, sinus nasal atau operasi otak. Dapat juga disebabkan
karena defisiensi zinc/ seng. Rokok tobacco adalah konsentrasi terbanyak dari polusi
yang dapat menyebabkan seorang menderita anosmia. Faktor siklus hormonal atau
gangguan dental juga dapat menyebabkan anosmia. Anosmia dapat juga terjadi karena
beberapa bagian otak yang mengalami gangguan fungsi

B. Saran
1. Hindari penggunaan obat yang dapat menyebabkan anosmia.
2. Mengurangi atau menghindari merokok karena sebagai salah satu penyebab anosmia.
3. Perbanyak makan yang mengandung zinc atau seng dan vitamin A.
4. Tingkatkan peran serta keluarga dalam upaya penyembuhan maupun pencegahan
anosmia.
5. Segera periksakan ke dokter apabila terjadi gangguan pada indera penciuman untuk
mengetahui diagnosis awal.
DAFTAR PUSTAKA

Nurarif, Amin Huda dan Hardhi Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis dan NANDA NIC-NOC Edisi Revisi Jilid 3. Jogjakarta :
Mediaction
Keliat, Budi Anna, dkk. 2015. NANDA Internasional Inc. Diagnosis Keperawatan:
Definisi dan Klasifikasi 2015-2017,Ed.10. Jakarta: EGC
Firdausi, Afnan. 2017. Sistem Olfaktori. Fakultas Pendidikan Psikologi Universitas Negeri
Jakarta
Akil, M. Amsyar.2007. Penghindu dan Pengecap. Fakultas Kedokteran Universitas
Hasannudin
Huriyati E dan Nelvia T. 2013. Gangguan Fungsi Penghindu dan Pemeriksaannya.
Buku Nanda Internasional diagnosis keperawatan definisi dan klasifikasi
2012-2014.
Effy Huriyati, Dkk Jurnal Gangguan Fungsi Penghindu Dan Pemeriksaannya 2009 :
Padang
Neurologi edisi delapan, 2005. Jakarta:Penerbit Erlangga
Nur Farida Me and Body Mengenai Bagian-bagian Tubuhku.2013 Jakarta :Penerbit
Gramedia Widiasarana Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai