Anda di halaman 1dari 42

LAPORAN KASUS

OPEN FRAKTUR DIGITI PEDIS

Penyusun :

Dr. Mohamad Zainul Abidin

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA

RSU MITRA DELIMA

KABUPATEN MALANG

2021

4
BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit muskuloskeletal telah menjadi masalah yang banyak dijumpai di

pusat pelayanan kesehatan di seluruh dunia. WHO telah menetapkan dekade ini

(2011-2012) terdapat 1.3 juta orang menderita fraktur. Menurut DEPKES RI

tahun 2011 fraktur di Indonesia terdapat 45.987 orang yang mengalami fraktur,

prevalensi kejadian fraktur yang paling tinggi adalah fraktur femur yaitu terdapat

19.729 orang yang mengalami fraktur, sedangkan ada 14.037 orang yang

mengalami fraktur cruris dan terdapat 3.776 orang mengalami fraktur tibia

(DEPKES, 2014). Penyebab fraktur terbanyak adalah karena kecelakaan lalu

lintas. Kecelakaan lalu lintas ini, selain menyebabkan fraktur, menurut WHO,

juga menyebabkan kematian 1,25 juta orang setiap tahunnya, dimana sebagian

besar korbannya adalah remaja atau dewasa muda (Sjamsuhidajat R, Jong WD,

2010).

Fraktur adalah terputusnya hubungan/kontinuitas struktur tulang atau

tulang rawan bisa komplet atau inkomplet atau diskontinuitas tulang yang

disebabkan oleh gaya yang melebihi elastisitas tulang. Fraktur sebagian besar

diakibatkan oleh dari trauma, beberapa fraktur sekunder terhadap proses penyakit

seperti osteoporosis, yang menyebabkan fraktur yang patologis (Townsend,

Courtney M. 2004).

Penegakan diagnosis fraktur dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan

fisik, yang ditunjang dengan pemeriksaan radiologis. Pemeriksaan radiologis

diperlukan untuk membantu menegakkan diagnosis fraktur dan mengevaluasi

4
komplikasi yang terjadi dalam rangka menunjang pengambilan keputusan terapi

pada pasien.

4
BAB II

LAPORAN KASUS

SOAP IGD:

S: pasien mengeluh luka pada jari III, terkena tombak saat kerja di Ttempat kerjanya

sekitar 30 menit SMRS, nyeri saat digerakkan (+) berdarah (+) Batuk (-), pilek (-),

demam (-), sesak (-), nyeri ulu hati (-).

RPD: DM (-) HT(-)

RPO: Alergi obat (-)

MOI: pasien bekerja memakai tombak untuk memecah lem antar material, kemudian

tombaknya meleset mengenai jar kakinya.

Screening;

Demam(-), batuk(-), pilek(-), nyeri tenggorokan(-), sesak(-), nyeri uluhati(-), diare(-)

Riw. Bepergian: ya (bekerja)

Riw.kontak konfirm(-), suspect (-)

O:

Kesadaran : 456

KU: cukup

TD: 110/70

Nadi: 89x/menit

RR: 21x/menit

Tax: 36,7C

5
SpO2: 99%

Skala nyeri 4

Kepala a/i/c/d -/-/-/- struma (-)

tho : ves +/+ rh -/- wh -/-

Cor : S1S2 tunggal, murmur(-)

Abd: BU + normal. nyeri tekan epigastrium (-) soefl hepar lien tidak teraba

Ekstrimitas: akral hangat, edema -

St lokalis digiti III pedis: Vulnus App (+) batas (-)tegas, bleeding (+), tampak

tulang(+)

F/nyeri (+)

M/ ROM terbatas

2.1 PEMERIKSAAN PENUNJANG

2.1.1 Laboratorium

Hematologi rutin

Hb    11.9 13 – 16  g/dl

APTT 34.20 24.2-38.2

Hct    35.1   40 – 48  %

MCV    85.20   82 – 93  fl

MCH    28.90 27 – 31  pg

6
MCHC    33.90 32 – 36  g/dl

Leukosit   15.2 4 – 11   10^3/ µl

Trombosit   313  150 – 450  10^3/ µl

Neutropil 81.4 49.0 – 67.0 %

Limposit 4.7 25.0 – 33.0 %

Monosit 9.2 3.0 – 7.0 %

Eosinopil 3.6 1.0 – 2.0 %

Basofil 1.1 0.0 – 1.0 %

Eritrosit 4.12 3.80 – 5.30 10 g/uL

RDW 11 10 – 16 %

MPV 5 5 – 10 fl

LED 1 11 0–1

LED 2 23 1–7

Hemostasis

PT    13.50  10.30-16.30 detik

APTT    34.20   24.20-38.20 detik

HbsAg (-)

Metode 1 Non Reaktif

GDA 122

7
8
2.2 DIAGNOSIS KERJA

Open Fraktur digiti III pedis dextra

9
2.3 RENCANA TERAPI

- Imobilisasi

- MRS

- IVFD Ringer laktat 1500cc/24 jam

- IVFD paracetamol 3x 350 mg

- Injeksi antrain

- Injeksi tetagram 1 ampul im

- Puasa pre operasi ORIF

- Konsul Sp.OT

2.4 RENCANA EDUKASI

- Menjelaskan kepada pasien mengenai:

o Diagnosis keluhannya

o Komplikasi dan prognosis keluhan pasien jika tidak dilakukan operasi

o Rencana terapi yaitu dilakukan operasi ORIF (open reduction internal

fixation) yaitu memfikasai tulang dari dalam menggunakan alat agar

tulang dapat istirahat.

o Komplikasi yang mungkin dapat terjadi selama operasi

o Dampak yang terjadi setelah operasi

o Kontrol ke Spesialis Bedah orthopedi post oporesi

10
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi dan Fisiologi Tulang

Tulang dalam garis besarnya dibagi atas:

a. Tulang panjang

Yang termasuk tulang panjang misalnya femur, tibia, ulna dan humerus,

dimana daerah batas disebut diafisis dan daerah yang berdekatan dengan garis

efifisis disebut metafisis. Daerah ini merupakan suatu daerah yang sangat sering

ditemukan adanya kelainan atau penyakit, oleh karena daerah ini merupakan

daerah metabolik yang aktif dan banyak mengandung pembuluh darah. Kerusakan

atau kelainan berkembang pada daerah lempeng efifisisakan menyebabkan

kelainan pertumbuhan tulang.

b. Tulang pendek

Contoh dari tulang pendek antara lain tulang vertebra dan tulang-tulang

karpal.

c. Tulang pipih

Yang termasuk tulang pipih antara lain tulang iga, tulang scavula dan

tulang pelvis (Benvie, 2009).

Secara makroskop terdiri dari : (1) substantia compacta dan (2)

substantiaspongiosa. Pada os Longum substantia compacta berada di bagian

tengah dan makin ke ujung tulang menjadi semakin tipis. Pada ujung tulang

terdapat substantia spongiosa, yang pada pertumbuhan memanjang tulang

membentuk cavitis medullaris. Lapisan superficialis tulang disebut periosteum

14
dan lapisan profunda disebut endosteum. Bagain tengah os longum disebut

corpus, ujungtulang berbentuk konveks atau konkaf, membesar, membentuk

persendiaan dengan tulang lainnya.

Dari aspek pertumbuhan, bagian tengah tulang disebut diaphysis, ujung

tulang disebut epiphysis dibentuk oleh cartilago, dan bagian diantara

keduanyadisebut metaphysis, tempat peartumbuhan memanjang dari tulang

(peralihanantara cartilago menjadi osseum) (Mansjoer A et al, 2001).

Tulang terdiri atas daerah yang kompak pada bagian luar yang

disebutkorteks dan bagian dalam yang bersifat spongiosa berbentuk trabekula

dandiluarnya dilapisi oleh periostenum. Pada anak lebih tebal daripada orang

dewasa,yang ,memungkingkan penyembuhan tulang pada anak lebih cepat

dibandingkan orang dewasa (Benvie, 2009).

Regio Cruris tersusun dari dua tulang yaitu os tibia dan os fibula.

(Putz, R and Pabst, R, 2002)

Gambar 3.1
Anatomi os tibia (tampak anterior, lateral dan posterior)

15
Os tibia merupakan tulang yang berukuran besar, memiliki beberapa

bagian yaitu condylus lateralis, facies artikularis superior, condylus medialis,

tuberositas tibiae, corpus tibiae, margo anterior, margo interosseus, margo

medialis, facies lateralis, facies medalis, incissura fibularis, maleolus medialis,

facies articularis inferior, facies articularis maleoli medialis, foramen nutricium,

tuberculum intercondilare medial dan lateral, dan facies posterior. (Putz, R and

Pabst, R, 2002)

(Putz, R and Pabst, R, 2002)

Gambar 3.2 Anatomi os fibula


(tampak anterior, posterior, dan hubungan dengan os tibia)

Os fibula memiliki beberapa bagian yaitu apex capitis fibulae, facies

articularis capitis fibulae, caput fibulae, collum fibulae, crsita medialis, margo

interosseus, foramen nutricium, facies medialis, facies posterior, margo anterior,

16
corpus fibulae,facies articularis malleolus lateralis,fossa maleoli lateralis, sulcus

malleolaris, dan malleolus lateralis. (Putz, R and Pabst, R, 2002)

(Putz, R and Pabst, R, 2002)

Gambar 3.3
Otot-otot yang membungkus os tibia dan fibula

Otot-otot yang membungkus os tibia dan fibula yaitu m.gastrocnemius, m.

Fibularis longus, m.soleus, m. Extensor digitorum longus, m.fibularis brevis, dan

m. Tibialis anterior. (Putz, R and Pabst, R, 2002)

17
(Putz, R and Pabst, R, 2002)

Gambar 3.4
Arteri dan nervus pada regio cruris (tampak anterior)

Arteri terbesar pada regio cruris adalah arteri tibialis anterior. Arteri ini

akan berjalan ke inferior menuju tarsal dan akan bercang menjadi arteri dorsalis

pedis. Arteri ini penting dalam mengevaluasi fungsi perfusi setelah terjadinya

fraktur pada ekstremitas inferior. Di sebelah lateral arteri tibialis anterior terdapat

nervus fibularis profundus yang juga jalan bersama menuju tarsal. Nervus yang

terletak di bagian paling lateral adalah n. Fibularis superfisialis. (Putz, R and Pabst,

R, 2002)

18
3.2 Definisi Fraktur

Patah tulang adalah terputus atau hilangnya kontinuitas dari struktur

tulang, “epiphyseal plate” serta “cartilage” (tulang rawan sendi). (Pedoman

Diagnosis dan Terapi Ilmu Bedah, 1994).

3.3 Klasifikasi Fraktur

(AO/OTA Universal Classification of Fractures)

Dalam upaya untuk menyediakan sistem klasifikasi komprehensif yang

dapat diadaptasikan ke seluruh sistem kerangka, Maurice E Muller dan yayasan

AO menyusun klasifikasi universal AO / OTA yang diterima secara luas (dikenal

sebagai Muller AO Klasifikasi).

1) Setiap tulang besar dan setiap segmen tulang diberi nomor

• Humerus - 1, Radius / ulnar - 2, Femur - 3, Tibia - 4 dan seterusnya.

• Segmen proksimal - 1, Diaphysis - 2, Segmen distal - 3

• Contoh: Proksimal femur dikodekan sebagai - 31 (3 - Femur, 1 - Proksimal)

(AOTRAUMA, 2013)

19
(AOTRAUMA, 2013)

Gambar 3.5
Penomoran sistem kerangka

2) Fraktur segmen proksimal dan distal diklasifikasikan berdasarkan jenisnya;

• A - Ekstra artikular

• B - Artikular parsial

• C - Complete artikular

3) Fraktur Diaphyseal;

• A - Sederhana

• B - Wedge

• C - Kompleks

20
(AOTRAUMA, 2013)

Gambar 3.6
Fraktur proksimal, diaphyseal, dan distal

4) Setiap pola fraktur selanjutnya dibagi lagi sebagai kelompok;

• Fraktur segmen proksimal dan distal

(AOTRAUMA, 2013)

Gambar 3.7
Fraktur segmen proksimal dan distal

21
• Fraktur diafisis

(AOTRAUMA, 2013)

Gambar 3.8
Fraktur diafisis

5) Menggunakan sistem AO / OTA

• Tulang yang mana? (mis. Femur - 3)

• Segmen yang mana? (misalnya Diaphysis - 2)

• Tipe apa? (misalnya Sederhana - A)

• Grup yang mana? (misalnya, Melintang - 3)

Dengan menggunakan contoh di atas, fraktur dikodekan sebagai - 32-A3 (Fraktur

femur tranversal diaphyseal sederhana).

22
Kriteria Gustilo Anderson pada patah tulang terbuka

Gambar 3.9
Klasifikasi patah tulang terbuka menurut Gustilo Anderson

Derajat I : gari patah sederhana dengan luka ≤ 1 cm bersih

Derajat II : garis patah sederhana dengan luka > 1 cm, bersih, tanpa

kerusakan jaringan lunak yang luas atau terjadinya flap atau avulsi

Derajat III : patah tulang yang disertai dengan kerusakan jaringan lunak luas

termasuk kulit, otot, syaraf, pembuluh darah

Derajat IIIA : bila patah tulang derajat III yang masih dapat ditutup dengan

jaringan lunak

Derajat IIIB : bila patah tulang derajat III yang tidak dapat ditutup dengan

jaringan lunak, sebab jaringan lunak termasuk periosteum, sangat

berperan dalam proses penyembuhan. Pada umumnya terjadi

kontaminasi serius.

Derajat IIIC : terdapat kerusakan pembuluh darah arteri. (Pedoman Diagnostik

dan Terapi Ilmu Bedah, 1994).

23
3.4 Epidemiologi

Pada penelitian didapatkan bahwa fraktur akan meningkat seiring

bertambahnya usia, dimana pada usia dewasa (≥ 20 tahun) paling tinggi sebanyak

59.5% dibanding pada remaja (16-19 tahun) sebanyak 31.8%, dan anak-anak (1-

16 tahun) 8.7%.6 Tempat paling sering terjadinya fraktur pada tulang adalah pada

tibia (49.1%), lalu diikuti oleh tarsal (25.3%), metatarsal (8.8%), femur (7.2%),

fibula (6.6%), pelvis (1.6%), sesamoids (0.9%), dan vertebra (0.6%).7 Stres

fraktur di korteksanterior pada sepertiga tengah tibia merupakan 5-10% dari

semua patah tulang stres tibialis (Maulana R, 2015)

3.5 Etiologi

Fraktur terjadi bila ada suatu trauma yang mengenai tulang, dimana

trauma tersebut kekuatannya melebihi kekuatan tulang. 2 faktor mempengaruhi

terjadinya fraktur (Brunner and Suddart, 2001) :

 Ekstrinsik meliputi kecepatan dan durasi trauma yang mengenai tulang, arah

dan kekuatan trauma.

 Intrinsik meliputi kapasitas tulang mengasorbsi energi trauma, kelenturan,

kekuatan, dan densitas tulang.

Trauma langsung akibat benturan akan menimbulkan garis fraktur transversal

dan kerusakan jaringan lunak. Benturan yang lebih keras disertai dengan

penghimpitan tulang akan mengakibatkan garis fraktur kominutif diikuti dengan

kerusakan jaringan lunak yang lebih luas.

24
Trauma tidak langsung mengakibatkan fraktur terletak jauh dari titik trauma

dan jaringan sekitar fraktur tidak mengalami kerusakan berat. Pada olahragawan,

penari dan tentara dapat pula terjadi fraktur pada tibia, fibula atau metatarsal yang

disebabkan oleh karena trauma yang berulang.

Selain trauma, adanya proses patologi pada tulang seperti tumor atau pada

penyakit Paget dengan energi yang minimal saja akan mengakibatkan fraktur.

Sedang pada orang normal hal tersebut belum tentu menimbulkan fraktur

(Brunner and Suddart, 2001).

3.6 Penegakan Diagnosis

a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik

Selama anamnesis / pemeriksaan klinis, informasi berikut dikumpulkan:

berat badan / tinggi badan, menarche / menopause, nutrisi, terapi

farmakologis (dulu dan sekarang), tingkat aktivitas, mekanisme jatuh /

cedera, faktor risiko osteoporosis sekunder. Berikut ini dianggap risiko

tinggi untuk osteoporosis sekunder: kelainan kronis hati dan ginjal yang

parah, obat steroid (> 7,5 mg untuk lebih dari 6 bulan), malabsorpsi

(penyakit Chron), rheumatoid arthritis, sindrom inflamasi sistemik,

hipertiroidisme, hiperparatiroidisme primer, dan obat antiepilepsi.

(Mangone G, 2010)

Tanda-tanda tidak pasti:

- Rasa nyeri dan tegang

- Hilangnya fungsi

- Deformitas. (Pedoman Diagnostik dan Terapi Ilmu Bedah, 1994).

25
Tanda-tanda pasti:

- False movement

- Krepitasi

- Deformitas akibat fraktur (Pedoman Diagnostik dan Terapi Ilmu

Bedah, 1994).

Inspeksi (look):

- Pembengkakan

- Deformitas (Pedoman Diagnostik dan Terapi Ilmu Bedah, 1994).

Palpasi (feel):

- Tegang lokal, nyeri tekan, krepitasi

- Pemeriksaan pulsasi arteri distal dari fraktur (Pedoman Diagnostik dan

Terapi Ilmu Bedah, 1994).

Gerakan (move):

- Gerakan abnormal (false movement)

- Functio laesa (Pedoman Diagnostik dan Terapi Ilmu Bedah, 1994).

b. Pemeriksaan Radiologi

- Plain X Ray

2 arah (anterior-posterior dan lateral)

2 waktu yang berbeda (saat setelah trauma dan 10 hari setelah trauma)

2 sendi (proksimal dan distal dari fraktur harus terlihat di film

2 ekstremitas (sebagai pembanding, bila garis fraktur meragukan,

terutama pada anak-anak. (Pedoman Diagnostik dan Terapi Ilmu

Bedah, 1994).

26
- Arthrography

Bagian-bagian epifisis kartilago tidak terkalsifikasi dan tidak

tampak pada film biasa. Epiphisis kartilaginosa dapat terlihat dengan

bahan kontras yang disuntikkan ketika informasi yang lebih rinci

diperlukan. Kadang-kadang terlihat pada anak ada fraktur atau cedera

epifisis pada humerus distal, meskipun diagnosis anatomi yang tepat

tidak dapat dibuat dengan pasti pada film polos. (The Royal Children’s

Hospital Melbourne)

- MRI

Alternatifnya adalah scan MRI, yang juga sangat efektif dalam

memvisualisasikan jaringan lunak, termasuk tulang rawan. MRI pada

anak-anak yang lebih muda biasanya membutuhkan anestesi. (The

Royal Children’s Hospital Melbourne)

3.7 Penatalaksanaan

Prinsip penatalaksanaan fraktur terdiri dari 4R yaitu recognition berupa

diagnosis dan penilaian fraktur, reduction, retention dengan imobilisasi, dan

rehabilitation yaitu mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin.

(Tim ,Coughlin. Principles of Bone Healing: Bone Healing Process)

Penatalaksanaan medis menurut Chaeruddin Rosjad, 1998. Sebelum

menggambil keputusan untuk melakukan penatalaksanaan definitive.

Prinsip penatalaksanaan fraktur ada 4 R yaitu :

1. Recognition: diagnosa dan penilaian fraktur prinsip pertama adalah

mengetahui dan menilai keadaan fraktur dengan anannesis,

27
pemeriksaan klinis dan radiologi. Pada awal pengobatan perlu

diperhatikan : lokasi fraktur, bentuk fraktur, menentukan tehnik

yang sesuai untuk pengobatan, komplikasi yang mungkin terjadi

selama pengobatan.

2. Reduction: tujuannya untuk mengembalikan panjang &

kesegarisan tulang. Dapat dicapai yang manipulasi tertutup/reduksi

terbuka progresi. Reduksi tertutup terdiri dari penggunaan

traksimoval untuk menarik fraktur kemudian memanupulasi untuk

mengembalikan kesegarisan normal/dengan traksi mekanis.

Reduksi terbuka diindikasikan jika reduksi tertutup gagal/tidak

memuaskan. Reduksi terbuka merupakan alat frusasi internal yang

digunakan itu mempertahankan dalam posisinya sampai

penyembuhan tulang yang solid seperti pen, kawat, skrup dan plat.

Reduction internafixation (orif) yaitu dengan pembedahan terbuka

kan mengimobilisasi fraktur yang berfungsi pembedahan untuk

memasukkan skrup/pen kedalam fraktur yangberfungsi untuk

menfiksasi bagian-bagian tulang yang fraktur secara bersamaan.

3. Retention, imobilisasi fraktur tujuannya mencegah pengeseran

fregmen dan mencegah pergerakan yang dapat mengancam union.

Untuk mempertahankan reduksi (ektrimitas yang

mengalamifraktur) adalah dengan traksi.Traksi merupakan salah

satu pengobatan dengan cara menarik/tarikan pada bagian tulang-

tulang sebagai kekuatan dngan kontrol dan tahanan beban

keduanya untuk menyokong tulang dengan tujuan mencegah

28
reposisi deformitas, mengurangi fraktur dan dislokasi,

mempertahankan ligamen tubuh/mengurangi spasme otot,

mengurangi nyeri, mempertahankan anatomi tubuh dan

mengimobilisasi area spesifik tubuh. Ada 2 pemasangan traksi

yaitu : skin traksi dan skeletal traksi.

4. Rehabilitation, mengembalikan aktiftas fungsional seoptimal

mungkin Penatalaksanaan fraktur mengacu kepada empat tujuan

utama yaitu:

a. Mengurangi rasa nyeri, Trauma pada jaringan disekitar

fraktur menimbulkan rasa nyeri yang hebat bahkan sampai

menimbulkan syok. Untuk menguranginyeri dapat diberi

obat penghilang rasa nyeri, serta dengan teknik imobilisasi,

yaitu pemasangan bidai / spalk, maupun memasang gips.

b. Mempertahankan posisi yang ideal dari fraktur. Seperti

pemasangan traksi kontinyu, fiksasi eksternal, fiksasi

internal, sedangkan bidai maupun gips hanya dapat

digunakan untuk fiksasi yang bersifat sementara saja.

c. Membuat tulang kembali menyatu Tulang yang fraktur

akan mulai menyatu dalam waktu 4 minggu dan akan

menyatu dengan sempurna dalam waktu 6 bulan.

d. Mengembalikan fungsi seperti semula Imobilisasi dalam

jangka waktu yang lama dapat menyebabkan atrofi otot dan

kekakuan pada sendi. Maka untuk mencegah hal tersebut

diperlukan upaya mobilisasi

29
Penatalaksanaan awal fraktur meliputi reposisi dan imobilisasi fraktur

dengan splint. Status neurologis dan vaskuler di bagian distal harus diperiksa baik

sebelum maupun sesudah reposisi dan imobilisasi. Pada pasien dengan multiple

trauma, sebaiknya dilakukan stabilisasi awal fraktur tulang panjang setelah

hemodinamis pasien stabil. Sedangkan penatalaksanaan definitif fraktur adalah

dengan menggunakan gips atau dilakukan operasi dengan ORIF maupun OREF.

Tujuan pengobatan fraktur :

1. REPOSISI dengan tujuan mengembalikan fragmen keposisi anatomi.

Tehnik reposisi terdiri dari reposisi tertutup dan terbuka. Reposisi tertutup

dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau traksi kulit dan skeletal. Cara lain

yaitu dengan reposisi terbuka yang dilakukan padapasien yang telah

mengalami gagal reposisi tertutup, fragmen bergeser, mobilisasi dini, fraktur

multiple, dan fraktur patologis.

2. IMOBILISASI / fiksasi dengan tujuan mempertahankan posisi fragmen post

reposisi sampai Union. Indikasi dilakukannya fiksasi yaitu pada pemendekan

(shortening), fraktur unstabel serta kerusakan hebat pada kulit dan jaringan 

sekitar

Jenis Fiksasi :

1. Ekternal / OREF (Open Reduction External Fixation)

 Gips ( plester cast)

 Traksi :

1. Traksi Gravitasi :  U- Slab pada fraktur humerus

30
2. Skin traksi

Tujuan menarik otot dari jaringan sekitar fraktur sehingga fragmen

akan kembali ke posisi semula. Beban maksimal 4-5 kg karena bila

kelebihan kulit akan lepas

3. Sekeletal traksi : K-wire, Steinmann pin atau Denham pin.

Traksi ini dipasang pada distal tuberositas tibia (trauma sendi

koksea, femur, lutut),  pada tibia atau kalkaneus ( fraktur kruris).

Adapun komplikasi yang dapat terjadi pada pemasangan traksi

yaitu gangguan sirkulasi darah  pada beban > 12 kg, trauma saraf

peroneus (kruris) , sindroma kompartemen, infeksi tempat

masuknya pin

Gambar 3.10
Fiksasi eksternal

31
Indikasi OREF  :

1. Fraktur terbuka derajat III

2. Fraktur dengan kerusakan jaringan lunak yang luas

3. fraktur dengan gangguan neurovaskuler

4. Fraktur Kominutif

5. Fraktur Pelvis

6. Fraktur infeksi yang kontraindikasi dengan ORIF

7. Non Union

8. Trauma multiple

 Internal / ORIF (Open Reduction Internal Fixation)

ORIF ini dapat menggunakan K-wire, plating, screw, k-nail.

Keuntungan cara ini adalah reposisi anatomis dan mobilisasi dini tanpa

fiksasi luar.

Indikasi ORIF :

1. Fraktur yang tak bisa sembuh atau bahaya avasculair nekrosis tinggi,

misalnya fraktur talus dan fraktur collum femur.

2. Fraktur yang tidak bisa direposisi tertutup. Misalnya fraktur avulse dan

fraktur dislokasi.

3. Fraktur yang dapat direposisi tetapi sulit dipertahankan. Misalnya

fraktur Monteggia, fraktur Galeazzi, fraktur antebrachii, dan fraktur

pergelangan kaki.

32
4. Fraktur yang berdasarkan pengalaman memberi hasil yang lebih baik

dengan operasi, misalnya : fraktur femur.

Gambar 3.11
Internal Fiksasi

3. REHABILITASI

Mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin untuk menghindari

atropi atau kontraktur. Bila keadaan mmeungkinkan, harus segera dimulai melakukan

latihan-latihan untuk mempertahankan kekuatan anggota tubuh dan mobilisasi.

3.7.1 Penyembuhan Fraktur

Penyembuhan Dengan Kalus

Proses penyembuhan fraktur pada tulang kortikal terdiri atas lima fase, yaitu :

(Bianca ,Lumpp)

1. Fase Inflamasi

Dengan adanya patah tulang, tubuh mengalami respon yang sama dengan bila

ada cedera di lain tempat dalam tubuh. Terjadi perdarahan dalam jaringan

33
yang cedera dan terjadi pembentukan hematoma pada tempat patah tulang.

Ujung fragmen tulang mengalami devitalisasi karena terputusnya pasokan

darah. Tempat cedera akan diinvasi oleh makrofag (sel darah putih besar),

yang akan membersihkan daerah tersebut. Terjadi inflamasi, pembengkakan,

dan nyeri. Tahap inflamasi berlangsung beberapa hari dan hilang dengan

berkurangnya bembengkakan dan nyeri

2. Fase proliferasi seluler subperiosteal dan endosteal

Kira-kira 5 hari hematom akan mengalami organisasi, terbentuk benang-

benang fibrin dalam jendalan darah, membentuk jaringan untuk

revaskularisasi, dan invasi fibroblast dan osteoblast. Fibroblast dan osteoblast

(berkembang dari osteosit, sel endotel, dan sel periosteum) akan menghasilkan

kolagen dan proteoglikan sebagai matriks kolagen pada patahan tulang.

Terbentuk jaringan ikat fibrus dan tulang rawan (osteoid). Dari periosteum,

tampak pertumbuhan melingkar. Kalus tulang rawan tersebut dirangsang oleh

gerakan mikro minimal pada tempat patah tulang. Tetapi gerakan yang

berlebihan akan merusak sruktur kalus. Tulang yang sedang aktif tumbuh

menunjukkan potensial elektronegatif.

Pada saat ini terjadi reaksi jaringan lunak sekitar fraktur sebagai suatu

reaksi penyembuhan. Penyembuhan fraktur terjadi karena adanya sel – sel

osteogenik yang berproliferasi dari periosteum untuk membentuk kalus

eksterna serta pada daerah endosteum membentuk kalus interna sebagi

aktivitas seluler dalam kanalis medularis. Apabila terjadi robekan yang hebat

pada periosteum, maka penyembuhan sel berasal dari diferansiasi sel – sel

34
mesenkimal yang berdiferensiasi kedalam jaringan lunak. Pada tahap awal

dari penyembuhan fraktur ini terjadi penambahan jumlah dari sel – sel

osteogenik yang memberi penyembuhan yang cepat pada jaringan osteogenik

yang sifatnya lebih cepat dari tumor ganas. Jaringan seluler tidak terbentuk

dari organisasi pembekuan hematoma suatu daerah fraktur. Setelah beberapa

minggu, kalus dari fraktur akan membentuk suatu massa yang meliputi

jaringan osteogenik. Pada pemeriksaan radiologist kalus belum mengandung

tulang sehingga merupakan suatu daerah radioluscen.

Pada fase ini dimulai pada minggu ke 2 – 3 setelah terjadinya fraktur dan

berakhir pada minggu ke 4 – 8.

3. Fase pembentukan kalus (fase union secara klinis)

Pertumbuhan jaringan berlanjut dan lingkaran tulang rawan tumbuh

mencapai sisi lain sampai celah  sudah terhubungkan. Fragmen patahan tulang

digabungkan dengan jaringan fibrus, tulang rawan, dan tulang serat matur.

Setelah pembentukan jaringan seluler yang tumbuh dari setiap fragmen sel

dasar yang berasal dari osteoblast dan kemudian pada kondroblast membentuk

tulang rawan. Tempat osteoblas diduduki oleh matriks interseluler kolagen

dan perlekatan polisakarida oleh garam – garam kalsium pembentuk suatu

tulang yang imatur.

Bentuk kalus dan volume dibutuhkan untuk menghubungkan defek secara

langsung berhubungan dengan jumlah kerusakan dan pergeseran tulang. Perlu

waktu tiga sampai empat minggu agar fragmen tulang tergabung dalam tulang

35
rawan atau jaringan fibrus. Secara klinis fargmen tulang tidak bisa lagi

digerakkan.

Bentuk tulang ini disebut moven bone. Pada pemeriksaan radiolgis kalus

atau woven bone sudah terlihat dan merupakan indikasi radiologik pertama

terjadinya penyembuhan fraktur.

4. Fase Osifikasi

Woven bone akan membentuk kalus primer dan secara perlahan – lahan

diubah menjadi tulang yang lebih matang oleh aktivitas osteoblas yang

menjadi struktur lamellar dan kelebihan kalus akan di resorpsi secara bertahap.

Pada fase 3 dan 4 dimulai pada minggu ke 4 – 8 dan berakhir pada minggu

ke 8 – 12 setelah terjadinya fraktur.

Pembentukan kalus mulai mengalami penulangan dalam dua sampai tiga

minggu  patah tulang, melalui proses penulangan endokondral. Patah tulang

panjang orang dewasa normal, penulangan memerlukan waktu tiga sampai

empat bulan. Mineral terus menerus ditimbun sampai tulang benar-benar telah

bersatu dengan keras. Permukaan kalus tetap bersifat elektronegatif.

5. Fase remodeling

Bilamana union telah lengkap, maka tulang yang baru membentuk bagian

yang menyerupai bulbus yang meliputi tulang tetapi tanpa kanalis medularis.

Pada fase remodeling ini, perlahan-lahan terjadi resorpsi secara osteoklastik

dan tetap terjadi proses osteoblastik pada tulang dan kalus eksterna secara

perlahan-lahan menghilang. Kalus intermediat berubah menjadi tulang yang

36
kompak dan berisi sistem Haversian dan kalus bagian dalam akan mengalami

peronggaan untuk membentuk ruang sumsum.

Gambar 3.12
Penyembuhan Fraktur

Penyembuhan Dengan Penyatuan Langsung

Proses penyatuan langsung tidak lagi melibatkan proses pembentukan

kalus. Jika lokasi fraktur benar‒benar dilakukan imobilisasi dengan menggunakan

plate, tidak dapat memicu kalus. Namun, pembentukan tulang baru dengan

osteoblas timbul secara langsung diantara fragmen. Gap antar permukaan fraktur

diselubungi oleh kapiler baru dan sel osteoprogenitor tumbuh dimulai dari

pangkal dan tulang baru terdapat pada permukaan luar (gap healing). Saat celah

atau gap sangat kecil, osteogenesis memproduksi tulang lamelar, gap yang lebar

pertama‒tama akan diisi dengan tulang anyaman, yang selanjutnya dilakukan

remodeling untuk menjadi tulang lamelar. Setelah 3‒4 minggu, fraktur sudah

cukup kuat untuk melakukan penetrasi dan bridging mungkin kadang ditemukan

37
tanpa adanya fase pertengahan atau contact healing (Mangone G, Postiglione M,

Pasquetti P, 2010).

Penyembuhan dengan kalus, meskipun tidak langsung (indirect) memiliki

keuntungan antara lain dapat menjamin kekuatan tulang di akhir penyembuhan

tulang, dengan peningkatan stres kalus berkembang lebih kuat sebagai contoh dari

hukum Wolff. Dengan penggunaan fiksasi metal, disisi lain, tidak terdapatnya

kalus berarti tulang akan bergantung pada implan metal dalam jangka waktu yang

cukup lama. Karena, implan akan mengurangi stress, yang mungkin dapat

menyebabkan osteoporotik dan tidak sembuh total sampai implan dilepas

3.8 Komplikasi

Komplikasi fraktur menurut Smeltzer dan Bare (2001) dan Price (2005)

antara lain:

1. Komplikasi awal fraktur antara lain: syok, sindrom emboli lemak, sindrom

kompartement, kerusakan arteri, infeksi, avaskuler nekrosis.

a) Syok

Syok hipovolemik atau traumatic, akibat perdarahan (banyak kehilangan

darah eksternal maupun yang tidak kelihatan yang bias menyebabkan

penurunan oksigenasi) dan kehilangan cairan ekstra sel ke jaringan yang

rusak, dapat terjadi pada fraktur ekstrimitas, thoraks, pelvis dan vertebra.

b) Fat Emboli Sindrom

Pada saat terjadi fraktur globula lemak dapat masuk kedalam pembuluh

darah karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler atau

karena katekolamin yang di lepaskan oleh reaksi stress pasien akan

38
memobilisasi asam lemak dan memudahkan terjasinya globula lemak pada

aliran darah.

c) Kompartement Sindrom

Merupakan masalah yang terjadi saat perfusi jaringan dalam otot kurang

dari yang dibutuhkan untuk kehidupan jaringan. Ini bisa disebabkan

karena penurunan ukuran kompartement otot karena fasia yang

membungkus otot terlalu ketat, penggunaan gibs atau balutan yang

menjerat ataupun peningkatan isi kompatement otot karena edema atau

perdarahan sehubungan dengan berbagai masalah (misalnya : iskemi,dan

cidera remuk).

d) Kerusakan Arteri

Pecahnya arteri karena trauma bias ditandai denagan tidak ada nadi, CRT

menurun, syanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada

ekstrimitas yang disbabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan

posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan. Infeksi Sistem

pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma

orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini

biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bias juga karena

penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.

e) Avaskuler nekrosis Avaskuler nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah

ke tulang rusak atau terganggu yang bias menyebabkan nekrosis tulang

dan di awali dengan adanya Volkman’s Ischemia (Smeltzer dan Bare,

2001).

39
2. Komplikasi dalam waktu lama atau lanjut fraktur antara lain: mal union,

delayed union, dan non union.

a) Malunion

Malunion dalam suatu keadaan dimana tulang yang patah telah sembuh

dalam posisi yang tidak seharusnya. Malunion merupaka penyembuhan

tulang ditandai dengan meningkatnya tingkat kekuatan dan perubahan

bentuk (deformitas). Malunion dilakukan dengan pembedahan dan

reimobilisasi yang baik.

b) Delayed Union

Delayed union adalah proses penyembuhan yang terus berjalan dengan

kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal. Delayed union

merupakankegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang

dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena penurunan

suplai darah ke tulang.

c) Nonunion

Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan memproduksi

sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion di

tandai dengan adanya pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang

membentuk sendi palsu atau pseuardoarthrosis. Ini juga disebabkan karena

aliran darah yang kurang (Kalfas IH, Principles of Bone Healing).

3.9 Prognosis fraktur

Prognosis Pada kasus fraktur, prognosisnya bergantung dari tingkat

keparahan serta tata laksana dari tim medis terhadap pasien dengan korban

40
fraktur. Jika penanganannya cepat, maka prognosisnya akan lebih baik. Begitu

juga sebaliknya. Sedangkan dari tingkat keparahan, jika fraktur yang di alami

ringan, maka proses penyembuhan akan berlangsung dengan cepat dengan prognosis

yang baik. Tapi jikalau pada kasus yang berat prognosisnya juga akan buruk.bahkan jikalau

parah, tindakan yang dapat di ambil adalah cacat fisik hingga amputasi.Selain itu

penderita dengan usia yang lebih muda akan lebih bagus prognosisnya di banding

penderita dengan usia lanjut. (Bresler,Michael Jay.2006.)

41
BAB IV

PEMBAHASAN

42
BAB V

KESIMPULAN

Fraktur adalah terputusnya hubungan/kontinuitas struktur tulang atau

tulang rawan bisa komplet atau inkomplet atau diskontinuitas tulang yang

disebabkan oleh gaya yang melebihi elastisitas tulang. Fraktur sebagian besar

diakibatkan oleh dari trauma, beberapa fraktur sekunder terhadap proses penyakit

seperti osteoporosis, yang menyebabkan fraktur yang patologis (Sjamsuhidajat R,

De Jong Wim, 2011).

Penegakan diagnosis fraktur dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan

fisik, yang ditunjang dengan pemeriksaan radiologis. Pemeriksaan radiologis

diperlukan untuk membantu menegakkan diagnosis fraktur dan mengevaluasi

komplikasi yang terjadi dalam rangka menunjang pengambilan keputusan terapi

pada pasien.

Terapi fraktur diperlukan konsep ”empat R” yaitu : rekognisi, reduksi/

reposisi, retensi/fiksasi, dan rehabilitasi. Proses penyembuhan patah tulang adalah

proses biologis alami yang akan terjadi pada setiap patah tulang, tidak peduli apa

yang telah dikerjakan dokter pada patahan tulang tersebut. Pada permulaan akan

terjadi perdarahan di sekitar patahan tulang, yang disebabkan oleh terputusnya

pembuluh darah pada tulang dan periost yang disebut dengan fase hematoma,

kemudian berubah menjadi fase jaringan fibrosis, lalu penyatuan klinis, dan pada

akhirnya fase konsolidasi (Mansjoer A et al, 2001).

44
Daftar Pustaka

Abdurrahman, Sjarwani Achmad, dkk, 1994, Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu

Bedah, Patah Tulang Terbuka, hal 131-135, Surabaya: Fakultas Kedokteran

Universitas Airlangga.

Abdurrahman, Sjarwani Achmad, dkk, 1994, Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu

Bedah, Patah Tulang Tertutup, hal 136-140, Surabaya: Fakultas Kedokteran

Universitas Airlangga

American Orthopedic classification. (2010). Diakses dari

http://www.aona.com

American Foot and Ankle College Surgeon. Bone healing. Diunduh dari

http://www.foothealthfacts.org/ footankleinfo/Bone_Healing.htm pada

tanggal 11 juni 2018 pukul 14.00

Apley, A.Graham. (2010). Apley’s System of Orthopaedics and Fractures Ed 9.

UK : Hodder Arnold.

Arbeitsgemeinschaft für Osteosynthesefragen Trauma, Classification of fractures,

2013

Bresler,Michael Jay.2006. Manual Kedokteran Darurat Edisi 6. Pg.60. Jakarta

:EGC

Bianca ,Lumpp. Bone Morphology and Fracture Healing. Diundu dari

http://meds.queensu.ca/courses/msk/documents/ bone_morphology.pdf pada

tanggal 11 juni 2018 pukul 14.00

Benvie. (2009). Fraktur. Diakses dari http://doctorology.net

45
Brunner and Suddart. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Editor:

Suzanne C. Smeltzer, Brenda G. Bare. Jakarta: EGC. 2001 diakses dari

http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/108/jtptunimus-gdl-sitifatima-5395-

207.bab-r.pdf

Ekayuda, Iwan. (2011). Trauma Skelet. Radiologi Diagnostik. Jakarta : FK UI.

31-61

Fauzi A, Rahyussalim, Aryadi, Tobing SD. Cedera Sistem Muskuloskeletal.

Departemen Bedah Divisi Orthopaedi dan Traumatologi FKUI/RSCM.

Desember 2009

Kalfas IH. Principles of Bone Healing. Diunduh dari

http://cnx.org/content/m27924/latest/20-Reading%20-%20Kalfas.pdf pada

tanggal 11 juni 2018 pukul 14.00

Mansjoer A et al (editor) 2001, Kapita Selekta Kedokteran., Jilid 1, Edisi III.,

Media Esculapius., FKUI., Jakarta

Maulana R, 2015. Tibia Stress Fracture. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala. Volume

15. 2015

Mangone G, Postiglione M, Pasquetti P, 2010, Rehabilitation in peripheral non

femoral fractures: a review. Clinical Cases in Mineral and Bone Metabolism

vol.7(1) page 48-50

Putz, R and Pabst, R, 2002; Sobotta Anatomi Ekstremitas Bawah; edisi 21,

Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Richard, Buckley. (2012). General Principles of Fracture Care. Diakses dari

http://emedicine.medscape.com/article/1270717-overview

46
Rasjad, Chairuddin. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Jakarta : PT. Yarsif

Watampone. 2007

Sjamsuhidajat R, De Jong Wim. (2011). Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke-2.

Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Shih AT. Zainalabidin Z. Bone Healing. Diunduh dari

http://www.headtotoehealthcare.org/library/Bone_Healing.pdf pada tanggal

11 juni 2018 pukul 14.00

The Royal Children’s Hospital Melbourne

Tim ,Coughlin. Principles of Bone Healing: Bone Healing Process. Diunduh dari

http://www.medscape.com/ viewarticle/405699_6 pada tanggal 11 juni 2018

pukul 14.00

Vorvick LJ. Bone Fracture Repair. Diunduh dari

http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/002966.htm pada tanggal

11 juni 2018 pukul 14.00

47

Anda mungkin juga menyukai