Anda di halaman 1dari 166

Seri Manusia Harimau

Karya : S.B CHANDRA


EBook: Dewi KZ
Tiraikasih website
http://kangzusi.com/ http://kang-zusianfo/
http://dewikz.byethost22.com/ http://ebook-dewikz.com/
http://tiraikasih.co.cc/ http://cerita-silat.co.cc/
Sumber djvu : Syaugy_ar Hanaoki website
Dilahirkan di Mandailing, Tapanuli Selatan dan keluarga perantau dan petualang.
S.B.CHANDRA
pernah berpetualang ke pedalaman Malaysia, Aceh, Tapanuli, Sumatra Timur. Jambi dan
mengikuti
ilmu mistik pada guru-guru amat terkenal seperti Inyiek Angku, Inyiek Gadang,
Baginda Samadun dan
lain-lain. Telah pernah bekerja pada beberapa harian dan menulis sejumlah buku,
antara lain yang
akan terbit adalah:
* MANUSIA HARIMAU.
* MANUSIA HARIMAU MERANTAU LAGI
* MANUSIA HARIMAU MARAH.
* PETUALANGAN SI MANUSIA HARIMAU BAGIAN I & II.
* KUCING SURUHAN BAGIAN I & II.
* MANUSIA HARIMAU JATUH CINTA BAGIAN I & II.
* MEMBURU SI MANUSIA HARIMAU.
SATU
KISAH YANG LALU:
Untuk membantu pembaca yang belum mengikuti kisah-kisah
Manusia Harimau yang telah dimuat berturut-turut dalam majalah
�Senang�, kami muat keringkasan dari cerita �AKHIRNYA SI MANUSIA HARIMAU JATUH
CINTA� yang berakhir didalam �Senang�
no. 646 penerbitan 9 September yang lalu.
MANUSIA HARIMAU yang diceritakan sebagai pemegang peran
utama, berdasarkan kenyataan yang masih ada di Mandailing Tapanuli Selatan adalah
seorang anak
muda usia sekitar tigapuluhan yang bernama Erwin. Ayahnya, Dja Lubuk dan kakek
(ompung kata
orang Tapanuli) telah lama meninggal. Namun begitu dalam
keadaan Erwin sangat memerlukan, salah seorang daripadanya, kadang-kadang berdua
bangkit dari
kuburan mereka dan datang memberi pertolongan. Hanya sesekali Dja Lubuk atau Raja
Tigor (ompung
Erwin) tidak� mau datang, walaupun Erwin sangat
membutuhkan. Itu pernah terjadi ketika Erwin jatuh cinta pada Safinah, adik Teuku
Samalanga asal
dari Aceh, seorang dukun kenamaan di kota Palembang yang pernah dibantu oleh Erwin
dalam
menyembuhkan seorang pasiennya, perawan Tionghoa bernama
Mei Lan. Erwin juga pernah menyelamatkannya ketika ia jatuh cinta pada seorang
perempuan sangat
cantik yang punya kewajiban untuk menyerahkan tiap suaminya kepada seekor ular
raksasa, setelah
duapuluh satu hari dinikmatinya, karena ular itulah yang
memberi rupa cantik kepadanya. Teuku Samalanga sangat sayang kepada Erwin, yang
diketahuinya
mempunyai ilmu jauh di atas dirinya, tetapi adiknya Safinah sama sekali tidak
mencintai diri Erwin
yang diam-diam sudah sangat tergila gila kepadanya.
Manusia harimau itu kadang-kadang bertanya pada dirinya
apakah ini suatu hukum karma atas dirinya yang selalu menolak cinta wanita yang
sepenuh hati ingin
jadi istrinya, walaupun sudah mengetahui dan melihat bahwa ia pada waktu-waktu
tertentu berubah
jadi harimau. Namun dalam perubahannya itu, hatinya tetap lembut seperti biasa.
Lain halnya kalau ia
disakiti, maka dalam wujudnya yang berubah, perangai dan hatinya pun berubah pula.
Oleh patah hati dan ingin menambah ilmu, karena merasa masih ada kekurangan pada
dirinya, Erwin
mengembara ke Mandailing lagi. Tak jauh dari Muara Sipongi ia menemukan guru, Tuan
Syekh
Ibrahim Bantani yang memiliki seekor harimau loreng dan seekor harimau kumbang yang
dapat
bekerja seperti manusia, memelihara sebuah taman yang letaknya tak sangat jauh dari
jalan raya,
tetapi hanya bisa dilihat oleh mereka yang direstui Tuan Syekh untuk melihatnya. Di
sana Erwin diuji
lagi, sehingga ia mendapat ilmu-ilmu baru.
Mei Lan dan Hasanah yang ditinggalkannya diam-diam di Lahat dan Palembang, bersama
ayah
masing-masing mencari dia sampai ke Mandailing, akhirnya sampai ke Medan. Kedua
wanita itu
dibohongi oleh si manusia harimau dalam usahanya melepaskan diri dari mereka. Di
Medan si
manusia harimau masih menyelamatkan nyawa seorang bangsawan kaya, Teuku Halimah
dari
kematian oleh perbuatan zalim seorang dukun yang akhirnya terpaksa dibunuh mati
oleh Erwin.
Ketika Erwin sampai di Palembang dan berkunjung ke rumah
Teuku Samalanga, yang dilihatnya dalam keadaan sedang berpesta, ia menduga, bahwa
sahabatnya itu
akan menikah. Mereka
berpelukan mesra karena sama-sama gembira. Pada waktu itulah Erwin mengetahui,
bahwa yang akan
kawin bukan sahabatnya, tetapi Safinah yang dicintainya dalam berdiam diri. Ketika
Teuku
masuk untuk memanggil adiknya, si Erwin Manusia Harimau pergi, manibawa nasibnya,
sampai ia tak
kuat lagi berjalan dan masuk ke dalam semak-semak di pinggir jalan.
0odwo0
TAK tahu berapa lama ia di sana dalam keadaan setengah sadar, tanpa punya kekuatan
untuk berdiri,
walaupun dia makhluk
bernama manusia harimau yang dalam keadaan waiar sangat
perkasa.
Dalam hati ia masih memanggil-manggil ayahnya Dja Lubuk,
ompungnya Raja Tigor dan sahabat ayahnya Datuk nan Kuniang di kuburan Kebayoran
Lama. Dia
hanya sanggup menyebut nama-nama mereka di dalam hati, karena ia sudah tak kuasa
bicara.
Tetapi ia sadar, apa yang membuat dia sampai membawa diri dengan berjalan kaki ke
daerah Jambi.
Tanpa mengetahui apa yang akan dilakukannya di sana.
Kemudian ia tertidur di bawah guyuran hujan lebat yang
membuat ia basah kuyup. Untunglah hujan itu hanya sebentar, la tertidur terus
sampai parak siang dan
subuh yang kemudian disusul oleh warna agak merah diufuk timur, tanda sang surya
akan menerangi
alam di belahan bumi yang telah meninggalkan malam.
Ketika ia bangun dengan perut lapar dan coba mengingat-ingat apa yang telah terjadi
ia merasakan ada
dengusan napas tak jauh dan kepalanya. Diangkatnya mata ke atas, dua harimau telah
duduk di sana.
Entah sudah berapa lama. la segera menandai bahwa kedua macan ini adalah piaraan
Teuku
Samalanga yang pernah berhadapan dengannya di hutan tak jauh dari Muara Bungo,
ketika ia bersama
orang Aceh itu hendak melihat jenazah Menora, adik kandung Teuku dan Safinah yang
bunuh diri
setelah digagahi oleh Mohamad Husni, orang kaya yang menantu dukun Abduh di Lahat.
Husni telah ditewaskan oleh kedua harimau, milik Teuku Samalanga.
Harimau itu memandang ramah pada Erwin. Dan Erwin yang
pada saat itu tidak punya daya apa pun hanya berserah. Kalau
kedua harimau itu berniat jahat atas dirinya mereka dengan mudah dapat
melakukannya, karena Erwin
tidak memiliki ilmu dan kekuatan seperti kalau dirinya normal. Tetapi kedua harimau
itu menjilati
muka dan tangannya dengan lidah mereka yang panas. Kemudian pakaiannya. la rasa
dirinya
dibalikkan, karena mereka tak bisa bicara untuk menyuruh dia membalik. Seluruh
pakaiannya yang
basah pun dijilati. Entah dari mana datangnya tetapi setelah ia sadar, dilihatnya
Ada buah pisang yang
banyaknya tidak kepalang tanggung. Satu tandan. Juga ada buah rambutan yang
diketahuinya memang
sedang musim. Kedua harimau itukah membawanya? Mungkin,
tetapi mungkin juga Tuan Syekh Ibrahim Bantani yang kemudian berdiri di sisi Erwin.
Dengan
janggutnya yang putih dan pandangan penuh wibawa. Tuan Syekh kah yang membawa buah-
buahan
itu?
Perutnya yang lapar membuat dia tidak lagi bertanya, tetapi langsung memakan apa
yang ada. Pisang
raja masak di pohon itu menghilangkan rasa lapar. Dia tahu, pisang raja enak untuk
sarapan. Haus
dilepaskannya dengan rambutan berkualitas yang mudah, ditanggalkan dari bijinya dan
punya banyak
air.
Sesudah itu baru Erwin menyusun jari dan berkata: �Guru. Akan tamatkah riwayatku?�
Guru yang berasal dari Banten dan meninggal di Muara Sipongi, Mandailing,
meletakkan ujung
tongkatnya di atas rusuk Erwin yang masih belum bangkit. Kini manusia harimau itu
duduk, mencium
lutut Tuan Syekh Ibrahim.
�Enak saja kau! Terlalu mudah hidup ini bagiku, kalau sampai di sini riwayatmu
tamat. Kau telah
mengalami banyak musibah, mengalami banyak bencana fisik dan batin, tetapi apa yang
kau rasakan
hari ini barulah awal pula dari rentetan nasib yang telah menantikan dirimu. Kau
kehilangan orang
yang kau cintai, wajar.
Karena ia tidak mencintai dirimu. Dan kau terlalu mementingkan harga diri, suatu
tanda bahwa kau
memang berhak untuk hidup lebih lama di dunia ini. Kau masih menghendaki dirinya.
Sebelum dia
kawin telah kutawarkan kepadamu kekuatan untuk membuat dia cinta padamu. Tetapi kau
menolak,
karena kau tak mau cinta hasil
tenngn lain. Kau ingat?� tanya Tuan Syekh. Erwin mengangguk.
�Kau masih cinta padanya?�
Dan si manusia harimau mengangguk lagi.
�Mencintai wanita yang sudah selama tiga malam jadi istri syah suaminya?�
Erwin menganguk lagi.
�Kalau begitu kau mulai kehilangan harga diri. Kau mau merebutnya dari tangen
suaminya? Kalau
mau, kuberi kau
kekuatan, tetapi antara kau dan aku tidak ada hubungan lagi.
Terserah padamu!�
Erwin diam. Dia disuruh memilih. Dia merasa masih mencintai Safinah yang sudah jadi
Nyonya Daud
Ali, juga asal dari Aceh. la dan Safinah sudah berkenalan sejak masih duduk di
sekolah menengah
dulu.
�Aku masih mencintainya guru, tetapi aku akan berusaha melupakannya, karena ia
sudah jadi istri
orang lain!�
�Bagus. Kau harus berhasil. Kalau gagal, ada bencana menantikan dirimu. Berat kau
menghadapinya.
Aku doakan supaya kau berhasil. Dalam hal itu aku hanya bisa mendoakan karena kau
yang punya diri,
kau yang punya hati dan kau pula yang punya masalah.�
�Aku akan berhasil Guru!�
�Semoga. Aku pun tidak tahu. Kalau godaan atau dendam lebih kuat dari imanmu, kau
akan gagal.
Nah, sudah. Aku akan kembali.�
�Tuan Syekh, boleh aku menitip salam untuk kedua pengurus istana Guru?�
�Mereka turut kemari, ingin bertemu denganmu yang mereka nilai sangat baik budi,�
kata Tuan Guru
yang sebenarnya telah dikebumikan itu. Dan seekor harimau loreng besar serta
harimau hitam pekat m
segera pula berada di dekat Erwin. Empat harimaui
dengan seorang guru merupakan suatu kumpulan yang cukup
meriah. Erwin memperoleh semangat hidupnya kembali.
�Bangkitlah Erwin, kau akan sampai di Jambi dalam tempo menghabiskan sepiring nasi.
Hematkan
uangmu. Beli di sana sepesalinan. Kau memerlukannya,� kata Tuan Guru. Tak lama
kemudian dia raib
bersama dua harimau setianya. Yang piaraan Teuku Samalanga masih menunggui Erwin
sebentar,
sampai ia berdiri. Dielusnya kepala kedua harimau yang sudah jadi sahabatnya itu.
Dan kedua
binatang liar yang sudah jinak pada manusia harimau itu menjilati tangannya,
mengakui kebesarannya
di atas diri mereka. Setelah itu Erwin mulai berjalan, tetapi suatu kantuk tiba-
tiba menyerang, tak
terlawan. Ketika ia terbangun, dan waktu tertidur dan terbangun itu lamanya memang
hanya sepanjang
waktu menghabiskan sepiring nasi, ia telah berada di pinggiran kota Jambi.
Seorang gadis kecil tak dikenal, menegurnya:
�Bang Erwin, ayahku menyuruh aku membawa abang ke rumah!�
Manusia harimau itu heran mendengar, karena sepanjang tahunya ia tidak punya siapa-
siapa di Jambi.
�Tetapi siapa kau gadis kecil? Siapa namamu?� tanya Erwin yang terbengong-bengong
mengetahui
tadi dirinya sudah di pinggiran Jambi dan kini ada pula seorang anak tak dikenal
mengajaknya ke
rumah. Kota apakah ini?
�Abang lupa padaku?� tanya bocah yang mengaku bernama Yatun.
Walaupun merasa ragu-ragu, tetapi si manusia harimau menurut, la sadarkan diri
sejak ia terbebas dari
kantuk tadi. Bahwa ia Erwin, anak Dja Lubuk, yang baru melarikan diri dari
Palembang karena gadis
yang dicintainya kawin dengan laki-laki lain.
Gadis kecil itu selama perjalanan memegangi tangan Erwin, seakan-akan takut orang
muda itu
melarikan diri, sehingga masuk sebuah pekarangan yang ditanami banyak pohon buah-
buahan, di
antaranya pisang dan rambutan yang sedang berbuah. Persis
seperti yang dimakannya pagi itu. Di tengah-tengah kebun ada sebuah rumah, model
lama, seperti
yang masih banyak terdapat di daerah Jambi.
�Naiklah,� kata Yatun kepada tamunya. Dan Erwin menurut.
Hanya didalam hati ia bertanya siapa gerangan yang meminta dia datang. Orang itu
mestinya
mengenal dia. Tetapi bagaimana pula orang ini tahu bahwa dia akan masuk ke kota
itu, walaupun
sekiranya mengenal dia.
Setelah duduk di ruang tengah, seorang wanita setengah baya menyugukan secangkir
kopi kepadanya.
Juga secangkir gula pasir dengan kata-kata:
�Belum diberi gula, karena saya tak tahu takarannya.� la masuk lagi dan tak lama
kemudian ke luar
dengan sepiring ketan dan sepinggan kecil kelapa yang telah diparut.
Aneh di rumah orang yang kelihatan kampungan ini, pikir Erwin.
Memberi kopi tanpa dibubuhi nula dulu. Seperti yang pernah dialaminya ketika ia
menginap di hotel
mewah di Medan.
Karena Erwin tidak juga memulai minum atau mencoba ketan
yang dihidangkan, maka perempuan tadi yang rupanya mengetahui ke luar lagi dan
mempersilakan ia
minum. Katanya: �Bukan kah sejak kemarin nak Erwin tak makan dan pagi tadi hanya
makan pisang
dan rambutan. Belum minum Apakah nak Erwin lebih suka teh panas?�
Erwin kian heran, tetapi tanpa tanya mulai minum kopi yang belum diberi gula. �Tak
suka gula �
tanya perempuan itu. Barulah Erwin sadar, bahwa perempuan itu mengetahui semua,
sampai sampai
bahwa ia sejak tadi belum menaruh gula di dalam kopi.
�Suka,� jawab Erwin sambil menyendok gula dan
memasukkannya ke dalam kopi.
�Ketannya,� wanita itu menawarkan. Dan Erwin mengambil dua sendok, diletakkan di
piring kecil
kosong yang tersedia.
�Suka dengan srikaya?� tanya wanita yang lalu masuk lagi ke
dalam dan kemudian meletakkan se piring srikaya, yang biasa dipakai kedai-kedai
kopi kota itu pada
roti panggang.
Agak lama kemudian baru datang seorang laki-laki, sudah agak tua. Bercelana
komprang hitam
dengan kaos oblong putih. Serba bersih, rupanya dia bersalin pakaian dulu.
�Apa kabar nak Erwin? Boleh kupanggil anak?� tanya laki-laki itu, yang tidak
memperkenalkan diri
lebih dulu.
�Silakan Pak,� dan setelah diam sejurus barulah Erwin bertanya, siapakah bapak yang
berilmu sangat
tinggi itu.
�Aku tidak punya ilmu tinggi. Nak.�
�Mustahil. Bapak mengetahui namaku dan tahu aku akan datang.
Malah menyuruh Yatun menjemput aku. Aku berbahagia sekali berkenalan dengan Bapak.
Aku yakin
akan dapat menambah ilmu yang sekedar sekuku ini dari Bapak. Aku baru ditimpa
musibah,�
kata Erwin tanpa ditanya.
�Itu bukan musibah. Itu suatu cobaan. Kau tidak mendapatkan Safinah! karena kalian
berdua bukan
jodoh. Dan kau sudah diuji lagi dengan cobaan lain!� kata laki-laki yang mengatakan
dirinya bernama
Teuku Abidin, paman Teuku Samalanga.
Mendengar siapa orang itu, tidak heranlah Erwin mengapa ia dapat melakukan apa yang
semula terasa
sangat aneh baginya.
Erwin bertanya apakah cobaan lain yang sedang diujikan atas dirinya itu.
�Sudah berlalu dan sudah selesai. Lebih baik kalau tidak diceritakan,� kata Teuku
Abidin. Tetapi
Erwin menunjukkan rasa tidak puas, karena Teuku juga tadi yang menyebut-nyebut
ujian baru yang
sedang menimpa dirinya.
Maka diceritakanlah oleh Teuku Abidin, bahwa pagi itu suami Safinah telah tiada
lagi. Erwin
mendengar dan memandang heran.
Tak mengerti.
�la telah dibunuh kemenakanku, Teuku Samalanga yang sangat
sayang padamu, la telah melakukannya karena tak mampu
mengendalikan diri,� kata Teuku Abidin.
0odwo0
DUA
ERWIN tidak percaya pada telinganya. Mustahil. Cukup lama dia diam terperangah oleh
keterangan
Teuku Abidin. Sahabatnya, Teuku Samalanga jadi pembunuh? Dan yang dibunuh adik
iparnya sendiri
yang baru tiga hari nikah dengan adik kandungnya, satu-satunya saudara yang tinggal
setelah Menora
mati bunuh diri!
�Sukar diterima akal, orang muda?� tanya Teuku Abidin.
�Bukan sukar, tak masuk akal, Pak!�
�Di dunia ini selalu terjadi hal yang tidak masuk akal. Bagi orang sepintar anak,
bukanlah sesuatu
yang mengherankan mestinya. Atas dirimu sendiri terjadi berbagai hal yang mestinya
tidak terjadi
karena tidak masuk akal.�
Erwin mengingat masa lampaunya.� Memang banyak terjadi kenyataan yang sebenarnya
tidak masuk
akal.
�Tetapi apa sebabnya. Pak?�
�Karena bagi kami, hutang nyawa bayar nyawa. Dan hutang itu harus dibayarnya kepada
yang berhak
menerimanya!�
Erwin semakin tidak mengerti. Teuku Abidin paham, bahwa dia harus memberi
penjelasan.
�Kau benar-benar mau tahu?� tanya orang tua itu.
�Tentu, karena Teuku sahabatku. Lebih dari itu, ia saudaraku!�
�Dan kau cinta pada adiknya. Safinah!� Erwin tunduk. Bukan malu, sedih, karena
wanita itu tidak
menghendaki dirinya.
�Kau benar-benar sanggup mendengarnya?�
Erwin hanya memandang. Tak mengerti, mengapa pula Teuku
Abidin mengajukan pertanyaan begitu
�Daud Ali telah membunuh istrinya. Dia harus membayar untuk itu!�
�Siapa Daud Ali?�
�Suami Safinah!�
�Tidak,� jerit Erwin tak kuat menguasai diri. Dan ia menangis seperti anak kecil.
Tidak berusaha
menekan tangis itu.
Kisah ini lebih buruk dari mimpi terburuk. Menyebabkan seorang manusia harimau pun
seperti tak
punya daya dan kekuatan. Seperti tidak punya iman sama sekali, padahal sudah
dipesankan oleh Tuan
Syekh Ibrahim Bantani, bahwa masih banyak lagi kenyataan-kenyataan menyedihkan
menghadang
dirinya. Inilah salah satu daripadanya. Tetapi mengapa sampai terjadi bunuh
membunuh.
Baginya, lebih baik Safinah hidup bersama laki-laki lain dan dia berputih mata,
daripada wanita
tercintanya itu harus berputih tulang.
�Daud Ali itu memang sangat pantas dibunuh. Kalau dia punya dua nyawa, kedua dua
nyawanya harus
dicabut,� kata Teuku Abidin yang rupanya sangat setuju dengan pembunuhan atas diri
laki-laki yang
tadinya jalan menantu bagi dirinya, karena Teuku Samalanga kemenakannya.
Setelah agak reda, Erwin bertanya mengapa sampai terjadi
pembunuhan ganda itu. Dan Teuku Abidin menceritakan, bahwa kisah itu didengarnya
dari Yatun,
anak kecil yang menegur dan membawa Erwin ke rumah itu. la semakin heran. Yatun,
anak kecil itu
yang membawa berita. Menurut Teuku Abidin pembunuhan itu terjadi menjelang subuh.
Bagaimana
pula Yatun datang dari Palembang membawa berita ke Jambi.
�Yatun penghubungku dengan kemenakanku!� mengertilah Erwin, bahwa gadis kecil itu
sebenarnya
makhluk halus suruhan.
Dengan setenang mungkin Teuku Abadi n menceritakan, bahwa drama itu dimulai hanya
sehari sejak
Safinah dan Daud Ali
melangsungkan pernikahan. Dari orang-orang bermulut usil Daud mendengar, bahwa
Safinah
sebenarnya diwaktu yang akhir telah menjalin hubungan dengan seorang muda amat
pintar bernama
Erwin. la tak punya apa-apa, tetapi memiliki kepandaian dukun lalu ditampung oleh
Teuku Samalanga
karena kasihan kepadanya. Ada kabar, bahwa kemudian Erwin mempunyai banyak uang
dari hasil
mengobati seorang perawan keturunan Tionghoa bernama Mei Lan.
Bukan hanya itu. Ketika Erwin pergi dari rumah Teuku Samalanga setelah bercintaan
dengan Safinah,
anak perempuan yang telah diobatinya itu tergila gila kepadanya dan mencari dia
sampai ke Tapanuli
dan Medan, kemudian dibawanya kembali ku Palembang.
Cerita ini membakar hati Daud Ali ia bertanya kepada Teuku Samalanga yang
menegaskan kepadanya
bahwa kalau ada cerita begitu pasti datangnya dari orang yang iri hati kepadanya.
Diceritakannya bahwa Erwin seorang laki-laki yang sangat sopan dan tinggi ilmunya.
Rendah hati dan
tak pernah menyusahkan siapa pun. Buat sementara ia menerima apa yang dikatakan
oleh Teuku
Samalanga.
Tetapi dia tidak hanya percaya kepada keterangan Iparnya
Tiupan dari orang-orang luar juga diterimanya. Apalagi setelah diketahuinya memang
suatu kenyataan
Mei Lan jatuh cinta kepada Erwin sampai mencari-cari dia ke Penyabungan dan Medan.
Erwin
mempunyai guna-guna yang amat kuat untuk memikat dan
menundukkan wanita.
Pada malam kedua Daud Ali bertanya kepada Safinah, siapakah yang bernama Erwin?
Oleh istrinya
diceritakan apa adanya. Persis seperti yang diceritakan oleh abangnya.
�Kau suka padanya ya?� tanya Daud.
�Suka, dia baik dan banyak menolong abangku!� jawab Safinah.
Jawaban ini membuat darahnya mendidih. Suka padanya
diartikannya seperti menyenangi atau mencintai.
�Kau telah pernah berbuat dengan dia, ya?�
Safinah tersentak, karena tidak menyangka akan keluar
pertanyaan seperti itu. Dia tahu maksud suaminya. Dia dituduh telah berbuat serong
dengan Erwin
miskin yang tidak punya dosa itu. Namun begitu, ia kendalikan dirinya sambil
bertanya apakah
maksud Daud dengan �telah berbuat� itu.
�Jangan berpura-pura, kau tahu maksudku, la dukun dan dia telah membuat kau jatuh
cinta
kepadanya!�
�Abang menuduh aku! Jahat, kejam, busuk! Dia orang baik, sangat baik. Aku
memandangnya sebagai
saudara sendiri dan begitu pula dia terhadap diriku! Jangan abang punya pikiran
kotor,� dan karena
sakit hati dia meneruskan: �Mungkin dia jauh lebih baik dan mulia dari abang.
Walaupun dia hanya
seorang miskin yang tidak punya apa-apa!� Setelah itu Safinah keluar kamar,
mengunci diri di dalam
kamar lain. Daud membiarkan. Dia menyangka, bahwa itu hanya suatu cara untuk
menutupi dosa.
Banyak orang pandai berbuat begitu. Dia juga pandai.
Keesokan harinya Safinah tidak bicara apa pun. Tidak dengan Daud, juga tidak dengan
abangnya.
Hatinya sakit. Dia tahu, bahwa suami kurang ajarnya itu tetap mencurigai dia. Kalau
dia merasa
menyesal akan kata-katanya, tentu ia minta maaf.
�Mukamu kusut tampaknya Saf.� kata Teuku Samalanga. �Ada apa?�
Safinah tak kuat menahan airmata. Lalu diceritakannya tuduhan Daud Ali. Sakit hati
Teuku Samalanga
mendengar penghinaan kotor itu, tetapi suatu kekuatan membuat dia sanggup bersabar
dan membujuk
adiknya. �Sudahlah, dia emosi oleh hasutan orang-orang yang membenci diriku. Kau
yang dijadikan
korban. Nanti dia akan sadar, bahwa dia sangat keliru dan meminta maaf padamu!�
kata nya.
Malam itu, atas anjuran dan bujukan abangnya. Safinah kembali tidur bersama Daud
Ali. Tetapi orang
ini rupanya tetap terbakar di dalam hati. la masih saja percaya akan hasutan yang
sampai ke
telinganya, la tidak dapat tidur, begitu pula Safinah.
Juga Teuku Samalanga tidak dapat memeramkan mata di
kamarnya. Hatinya merasa tidak enak saja.
Menjelang subuh terdengar suatu jeritan dari kamar Safinah Teuku terkejut, bangkit.
Jerit itu hanya
sekali lalu senyap. Jantung Teuku berdebar keras ia mendatangi kamar adiknya,
memanggil-manggil
nama Safinah. Tiada jawaban. Dipanggilnya Daud, tiada sahutan. Kecurigaan Teuku
semakin besar,
ditendangnya pintu sehingga terbuka.
Teuku terpekik, melihat tubuh adiknya bersimbah darah di
tempat tidur.
Daud bersiap dengan pisau yang digunakannya untuk membunuh istrinya itu, sementara
Teuku yang
mendobrak kamar dalam
keadaan siap atas segala kemungkinan pun tak ayal lagi mencabut rencong yang sudah
terselip di
pinggangnya.
�Dia perempuan jahanam. Menipu aku. Kau juga tahu dia menipu aku,� kata Daud. Kedua
laki-laki
yang sama-sama dari Aceh itu berhadapan. Sudah tahu apa yang akan dilakukan. Karena
kedua-duanya
merasa kehormatan dirinya ditabrak. Satu di antara mereka harus mati dan sama-sama
menebus
dengan nyawa.
Ternyata Teuku bukan lawan bagi Daud, yang memang
keturunan Aceh, tetapi tanpa isi khusus didalam dadanya. Lain halnya dengan Teuku
yang sangat
marah sehingga menjadi ganas dengan ilmu segunung di dalam dirinya.
Beberapa tikaman Daud mudah dielakkannya. Kemudian ujung
rencongnya menembus dada Daud di sebelah kiri, tepat merobek jantungnya, la jatuh
terjangkang.
Teuku masih menikamnya
beberapa kali lagi, walaupun tusukan pertama tadi sudah
mengantarkan Daud ke alam lain. Dari mana ia tidak pernah akan bisa kembali lagi.
Setelah itu ia memeluk adiknya yang telah tak bernyawa.
Meskipun biasanya punya iman teguh, menghadapi saudara tunggal yang direnggut paksa
nyawanya
itu Teuku Samalanga menangis, hampir meraung-raung. Sama halnya dengan Erwin di
Jambi ketika
mendengar bahwa Safinah sudah tidak ada lagi.
�Mestinya kau membunuh binatang itu Dik, karena dialah yang mestinya mati. Kini aku
sudah tidak
punya siapa-siapa lagi. Kau tinggalkan aku jadi sebatang kara,� kata Teuku
Samalanga dalam
tangisnya, la bagaikan anak kecil. Apa yang terasa, dikeluarkannya.
Tak disadarinya dua orang pembantu telah berdiri di belakangnya, ikut menangis
seperti kehilangan
saudara sendiri. Karena mereka sangat sayang kepada Safinah, yang tak pernah
memperlakukan
mereka sebagai orang yang digaji. Mereka tidak tahu, mengapa sampai ada dua mayat
terbujur di sana.
Siapa membunuh Safinah dan siapa yang membunuh Daud Ali. Mereka sangat terkejut dan
sedih,
karena keluarga Teuku terkenal sebagai tetangga yang baik dan ramah. Mereka juga
tahu bahwa dia
seorang berpengetahuan, tetapi tidak pernah mau menyalahgunakan ilmunya, la malah
dipandang
sebagai orang alim yang tidak pernah meninggalkan perintah agamanya.
Menjelang pagi orang tambah banyak. Polisi pun sudah datang.
Mereka sangat terperanjat dan tak mengerti bagaimana duduk persoalan. Mereka ajukan
pertanyaan
kepada Teuku yang sudah reda, tetapi ia tidak memberi jawaban. Tak kuasa atau tak
mau.
Masih terlintas di dalam benak Polisi apakah suami istri itu bersepakat untuk mati
bersama. Kalau
tidak begitu halnya, pasti ada orang lain yang membunuh mereka. Orang lain itu
mungkin pencuri,
mungkin orang yang berdendam. Belum terpikir bahwa Teuku
Samalanga tersangkut dalam drama itu.
Ketika akhirnya Polisi bertanya kepada Teuku apakah ia mau turut ke kantor untuk
membantu Polisi
dalam melacak pembunuh yang merenggut dua nyawa itu, ia hanya mengangguk. Tetapi
baru beberapa
langkah berjalan ia telah kembali ke jenazah adiknya, memeluk dan menciuminya, la
menangis lagi
tersedu-sedu, tanpa mengeluarkan kata.
Komandan Polisi yang bijaksana tidak langsung mengajukan
pertanyaan kepada Teuku. la tahu bahwa orang yang baru
kehilangan adik itu tentu sangat sedih dan panik. Perlu waktu untuk
tenang kembali.
Kepada Teuku disuguhkan minum. Komandan, seorang Kapten
Polisi yang memeluk agama Hindu, I Made Dirganta, memberinya petuah. Bahwa tunangan
hidup
adalah kematian dan tidak seorang pun dapat mengelakkan diri daripadanya. Bahwa
yang mati
sebenarnya hanya jasad, sedangkan roh akan menempati dunianya yang baru. Bagi yang
baik telah
tersedia nirwana. Pada suatu hari semua roh akan bertemu kembali. Perceraian oleh
kemati an hanya
perpisahan sementara antara orang yang ingin duluan pergi dan orang tersayang yang
ditinggalkan.
Tak kurang dari enam jam kemudian baru Teuku Samalanga
diminta keterangan, la berterus terang, bahwa ialah yang
membunuh iparnya Daud Ali, karena ia membunuh adiknya Safinah, la tidak mau
menerangkan apa
yang menjadi sebab. Bukan saja karena ia yakin bahwa tuduhan Daud tidak benar,
tetapi mulutnya
malu menceritakan fitnah yang amat rendah itu.
Atas pertanyaan Polisi, mengapa Teuku tidak melaporkan saja kejahatan yang
dilakukan oleh Daud,
karena ia pasti akan ditangkap dan diadili lalu dihukum sesuai dengan kesalahannya,
dengan datar
Teuku menyahut: Mungkin saya salah. Tetapi saya menganut
paham kuno, bahwa hutang nyawa harus dibayar dengan nyawa.
Dia berhutang nyawa kepada saya, karena saya yang kehilangan adik, maka dia harus
membayar
kepada saya. Hanya itu, lain tidak!�
Dia sama sekali tidak memperlihatkan rasa menyesal.
Atas budi baik Polisi, Teuku yang tampak tak berdaya diberi ijin untuk mengurus
penguburan jenazah
adiknya. Kemudian
dimasukkan ke dalam sel tahanan, la tenang-tenang saja, seperti bukan dia yang baru
melakukan
pembunuhan. Imannya sudah
kembali. Semua sudah berlalu menurut takdir. Semua harus
diterima begitu pula segala resikonya.
0odwo0
CERITA itu membangkitkan amarah harimau di dalam tubuh
Erwin. Meskipun Daud Ali sudah dibunuh, tetapi ia tidak merasa puas. Jahanam itu
harus lebih
daripada dibunuh. Karena dia.
Safinah meninggal. Dan mulut kotornya pula yang membuat Teuku Samalanga sampai
masuk tahanan.
Entah nasib apa yang akan menimpa dirinya. Bukan tak mungkin keluarga Daud Ali akan
mencari
jalan supaya orang tahanan itu mendapat siksaan,
sebagaimana konon dapat dilakukan melalui orang-orang yang tidak mengindahkan citra
Polisi. Bukan
tidak ada oknum Polisi yang mau berbuat yang jahat demi uang. Uang, duit! Selalu
bisa membuat
manusia menjadi iblis. Uang bisa membuat orang girang, juga bisa bikin orang
celaka, bahkan tewas!
�Saya mau ke Palembang,� kata Erwin kepada Teuku Abidin.
�Untuk apa?�
�Untuk melihat sahabatku.� la memberi salam kepada Teuku Abidin, mohon doanya agar
ia selamat.
�Kau akan kembali lagi ke mari anak muda?�
�Mungkin. Adakah perlunya? Bapak orang hebat. Kalau tak Bapak bimbing aku ke mari
aku tentu tak
tahu, bahwa sahabatku dan adiknya ditimpa musibah!�
Lalu berangkatlah Erwin ke Palembang pada petang hari itu juga.
Dengan bantuan Tuan Syekh Ibrahim Bantani, hanya setengah jam kemudian dia sudah
berada di
Palembang. Dan dia berada di depan Kantor Polisi tempat Teuku Samalanga ditahan.
Tanpa pikir ia langsung saja masuk setelah lebih dulu membaca mantra yang diajarkan
ayahnya Dja
Lubuk. Dia lewat saja di hadapan para petugas Polisi, tak seorangpun menanyai atau
menahannya.
Seolah-olah ia tidak kelihatan.
Tak lama kemudian dia sudah sampai di muka sel tahanan Teuku Samalanga. la menangis
melihat
sahabatnya. Dia menangis karena teringat kepada Safinah.
�Mari kita pergi,� kata Erwin.
�Tak mungkin, sahabatku. Aku kini orang tahanan. Aku telah jadi pembunuh!�
�Tidak, Teuku mesti ikut bersamaku. Nanti malam kuambil!� kata Erwin lalu ia pergi.
Menuju
pekuburan tempat Safinah dan Daud Ali dimakamkan. Ada yang harus dikerjakannya di
sana.
0odwo0
TIGA
DENGAN sekecak bunga mawar dan dahlia segar Erwin
memasuki kuburan. Walaupun hari mendung berat, pertanda langit akan runtuh menyiram
bumi,
Erwin mudah saja menemukan jalan.
Semua tampak jelas olehnya, karena mata harimaunya sedang berfungsi. Bagi harimau
tiada malam
yang gelap.
Penduduk Palembang heran melihat cuaca yang mendadak
berubah. Siangnya panas terik, lalu selepas senja bintang-bintang bertaburan.
Karena memang musim
kemarau. Menebalnya awan
yang membuat bintang gemintang tak tampak lagi, diiringi oleh angin agak kencang
dan hujan gerimis
membuat banyak orang memberi komentar menurut pengetahuan dan kepercayaan masing-
masing.
Apakah karena malam pertama bagi dua manusia yang mati
dibunuh, tidur di dalam bumi? Apakah perubahan itu suatu tanda bahwa alam pun turut
berduka cita?
Tiba di makam Safinah, Erwin berlutut, berdoa sambil
membiarkan airmata mengalir deras bagaikan air dari hulu yang tak terbendung.
Hatinya sangat sedih.
Kehilangan wanita kedua yang benar-benar dicintainya. Kepada siapa ia tidak pernah
berani
menyampaikan perasaan yang terpendam, tetapi ia dibunuh mati karena dituduh berbuat
tidak senonoh
oleh orang yang tiga malam menjadi suaminya, la, yang biasanya mempunyai firasat
tajam, mengapa
tidak pernah menduga bahwa Safinah akan mati tidak wajar di tangan orang yang
dirasuki pikiran
buruk sehingga berbuat
seperti iblis?
�Ampuni aku. Safinah, orang dungu dan makhluk hina yang diam-diam mencintaimu.
Seharusnya aku
tidak pernah sampai ke rumahmu, tidak pernah mengenalmu, sehingga kau tidak sampai
menemukan
nasib yang tidak seharusnya menjadi nasibmu. Aku diburu perasaan salah, seolah-olah
aku menjadi
penyebab
kematianmu. Kau yang begitu bersih dan cantik, yang seharusnya dengan kebahagiaan
menikmati
hidup karena ia menjadi hakmu,�
ucap Erwin dengan perasaan bersalah, walaupun ia tidak pernah berbuat sesuatu yang
melanggar
hukum dan adat terhadap
perempuan yang amat malang itu.
Tanpa diduganya terdengar suara mengatakan pelan dengan
nada membujuk: �Tenanglah Bang Erwin. Ini semua penentuan nasib. Kalau namanya
penentuan
Bang, kita tidak dapat
mengelakkannya. Abang tidak punya salah apa pun. Akulah yang bersalah karena tidak
tahu, bahwa
Abang mengasihi diriku. Maafkan aku Bang? Abang mau kan?� Suara itu suara Safinah.
Entah arwah
Safinah yang berkata, entah hanya khayalan telinga Erwin.
Diciumnya papan nisan yang ditanam di bagian kepala Safinah dengan perasaan tidak
menentu, la
merasa kehilangan, sangat kehilangan.
Kemudian ia mohon kekuatan kepada Tuhan, lalu berdiri. Di saat itu terdengar suara
berbisik di
telinganya: �Lakukan, lakukan. Kau harus memperlihatkannya. Hatimu akan tenang
setelah kau
melakukannya!� Dan diluar dugaan, tetapi sesuai dengan harapannya setelah mendengar
bisikan itu, ia
berubah wujud, la telah jadi Erwin bertubuh harimau. Lalu ia berjalan menurut kata
hati dan langkah
kaki. Berhenti di sebuah kuburan yang juga baru.
Kuburan Daud Ali.
la berdiri di sisi kuburan yang penuh diselimuti karangan bunga dari banyak sahabat
dan beberapa
keluarga, menyatakan duka cita yang dalam atau sekedar turut berduka cita atas
kepergiannya.
Melihat itu kebencian dan amarah Erwin menggantikan rasa sedih
yang mendera hatinya oleh kematian Safinah. Di atas pusara wanita yang disayanginya
itu hanya ada
taburan bunga dan dua karangan, satu di kepala dan satu di kakinya. Otak manusia
waras di dalam
tubuh harimau berkata, bahwa banyaknya karangan bunga di pusara seseorang baru
meninggal, tidak
mesti berarti bahwa orang itu manusia baik yang patut dihormati. Erwin malah
berpikir bahwa Erwin
tidak layak mendapat unjuk simpati demikian besar, karena ia hanya seorang pembunuh
yang
melakukannya semata-mata oleh prasangka dan tuduhan kotor yang tidak benar sama
sekali.
�Kau tidak berhak mendapat penghormatan ini orang buas,� desis Erwin lalu
menyingkirkan semua itu
dengan kasar, la marah dan dendam pada laki-laki yang tidak dikenal bahkan belum
pernah dilihatnya
itu. Dendam, walaupun dia sudah menebus kejahatannya.
Tidak banyak kebencian dan dendam seperti ini.
�Untunglah bunga-bunga ini tidak dapat menolongmu di akhirat,�
kata Erwin dengan suara cukup keras. Akan kedengaran, kalau ada orang di dekat-
dekat sana. Tetapi
kata-kata itu saja tidak cukup untuk melampiaskan amarah dan membalaskan sakit
hati.
�Baru abang Safinah yang menghukum kau Daud. Aku belum,�
kata Erwin lagi, diselang-seling dengan dengusan. Lalu ia mulai menggali dengan dua
tangannya yang
kini mempunyai kekuatan ganda. Ditambah dengan kebencian dan amarah, pekerjaan itu
jadi ringan
saja. Setelah kain kafan mayat Daud tampak, ia langsung mengangkat dan
melemparkannya ke luar
lobang. Erwin keluar dari tempat Daud dibaringkan, dilepaskannya kain kafan penutup
tubuh yang
sudah sangat dingin dan kaku. Sehingga telanjang dengan hanya kapas di sana sini.
Manusia harimau merobek dada mayat, mengeluarkan isinya.
Seperti pernah dilakukannya di Ujungpandang atas seorang laki-laki yang sangat
dibencinya. Karena
orang itu telah menyebabkan kematian adik sahabatnya Nazaruddin. Sahabat yang
akhirnya tewas pula
di Jakarta, dibunuh oleh Sabrina yang cindaku, perempuan cantik asal daerah Kerinci
yang bagi
sementara masyarakat cukup terkenal oleh harimau-harimau liarnya. Lebih terkenal
lagi oleh
harimau jadijadian. Sabrina yang ayu tetapi bernasib malang, kadang-kadang dihantui
da-haga darah.
Sama halnya dengan
korban kecanduan obat bius, ia tak mampu menguasai diri, kalau sifat harimau sedang
merasuk otak
dan seleranya, la mampu mengisap habis darah bayi, hanya dengan memandangi anak
kecil tak
berdosa itu. Telah beberapa anak jadi korbannya. Ibu dan ayah si anak tidak
menyangka atau
mencurigai dirinya, karena ia begitu ramah, kelihatan penuh rasa sayang terhadap
anak-anak yang
tergolong masih bayi.
Setelah selesai dengan pekerjaannya, setengah sadar Erwin berkata: �Kini aku telah
membunuh
mayatmu. Kau pantas menerima hukuman yang lebih dari ini karena Safinahku tidak
pernah bisa
kembali lagi.� Dari sana Erwin pergi sekali lagi ke pusara Safinah.
�Aku telah membunuhnya lagi untukmu, karena dia yang menyebabkan kau mati dan dia
juga yang
menyebabkan abangmu jadi orang tawanan. Aku tak mampu menghidupkan kau kembali
Safinah
sayang, tetapi aku akan membebaskan saudaramu yang juga amat kusayang.� la berjalan
sampai ke
pintu kuburan, berharap dirinya jadi manusia utuh kembali. Tetapi keinginannya
tidak terkabul. Lebih
setengah jam ia duduk atau mondar mandir gelisah.
Bertanya dalam hati, apakah ia telah berbuat terlalu kejam terhadap Daud yang sudah
jadi mayat?
Apakah ini pembalasan pula atas dirinya? Tetapi dihiburnya diri: �Mustahil. Dia
pantas mendapat
ganjaran itu!� Kemudian ia berpikir: �Apakah seharusnya dia melakukan lebih
daripada itu? Mungkin.
Barangkali Safinah ingin agar muka Daud juga dihancurkan saja?� Erwin berbalik
hendak merusak
muka mayat yang sudah tidak punya isi perut itu. Tetapi satu perintah membuat dia
terhenti.
�Jangan Erwin. Kau telah lebih dari membalas dendam,� kata suara Raja Tigor, kakek
yang amat
mencintainya. �Pergilah.
Bukankah kau ada janji pada Teuku Samalanga!� la tahu, suara itu harus dipatuhi,
kalau ia tidak mau
celaka. Suara itu juga membuat dia langsung keluar dari kuburan dalam keadaan
bertubuh harimau, la
jalan di pinggir, tetapi sorot lampu mobil yang datang arah berlawan-an menimpa
dirinya. Tak lama
kemudian, mobil itu
berhenti. Sipengemudi melihat harimau loreng bertubuh besar itu. la injak rem,
supaya kendaraan itu
berhenti. Entah karena gugup, entah memang begitu yang baik menurut jalan
pikirannya.
Tandanya ia menghormati nenek belang. Tetapi ia tidak ingat mematikan lampu
sementara si manusia
harimau juga tidak
menghindar dari sorotan lampu yang amat kuat dan terang itu. Ada tiga menit,
sipengemudi yang baru
pulang bersama istrinya dari sebuah pesta memandangi harimau itu dengan jantung
berdebar keras,
yang bisa copot atau mendadak tidak berfungsi lagi.
Untunglah jantung dua insan itu tidak berhenti bekerja, sehingga jelas melihat apa
yang sebenarnya
mereka tidak akan percayai kalau tidak karena melihatnya sendiri. Harimau itu
berubah jadi manusia,
terus berjalan, melewati mobil yang belum juga digerakkan lagi.
Pengemudi yang seorang pedagang cukup besar di kota Palembang mengerling, ketika
manusia yang
menjelma jadi harimau lewat di samping kanannya. Makhluk itu tidak menoleh, tidak
menghiraukan
kehadiran mobil itu.
Setelah harimau atau manusia itu berjarak dua puluh meter, barulah ia mampu
menjalankan mobilnya.
�Kau melihatnya tadi Ma?�
�Sudahlah jangan mengomongi dia. Dia mungkin mendengar dan mengejar kita,� sahut
istrinya yang
ketakutan. Tentu saja dia juga melihatnya.
Hujan yang tadi sudah berhenti kini turun lagi dalam bentuk gerimis.
Setibanya di depan Kantor Polisi tempat Teuku Samalanga
ditahan, ia berhenti dan seperti tadi pula dia langsung saja masuk.
Kini pun tak ada yang menegurnya. Karena mereka tidak
melihatnya. Mereka telah ditaklukkan ilmu perabun. Si manusia harimau tidak ingin
dirinya dilihat
oleh orang-orang yang tidak perlu melihat. Kalau mereka tidak dirabunkan dan
melihat Erwin pasti
akan timbul bencana. Akan berjatuhan korban. Karena Polisi tidak akan membiarkan
dia masuk dan
Erwin tidak akan mau dicegah masuk. Untuk apa mencederai diri para penjaga keamanan
ini,
selama mereka tidak bertindak di luar hukum. Mereka tidak menyiksa Teuku Samalanga.
Mungkin
orang Aceh itu punya suatu kekuatan yang membuat para petugas yang selalu galak dan
tidak berani
atau tidak bergerak untuk menyakiti dia. Erwin ingat masa lalunya di Jakarta, la
pernah ditangkap, lalu
disiksa sampai babak belur. Tetapi diselamatkan oleh ayahnya Dja Lubuk yang
membunuh dua
penyiksa lalu membawa Erwin keluar tanpa kelihatan.
Waktu itu pukul 22.20.
�Teuku,� panggil Erwin pelan karena Teuku Samalanga sedang duduk di pembaringannya
bersandar
ke tembok dengan
memeramkan mata.
�Aku tak mau lari, Er. Akan jadi orang buruan. Tidak akan pernah tenang,� ujar
Teuku yang sudah
berdiri di belakang terali besinya.
Tetapi Erwin tidak menanggapi. Sebaliknya ia bercerita: �Aku telah melakukannya
Teuku!�
�Melakukan apa?�
�Membunuhnya!� jawab Erwin menyeringai. Tanda suatu kepuasan.
�Membunuh siapa?� tanya Teuku yang tidak mengerti.
�Siapa yang harus dibunuh. Jahanam Daud Ali!�
�Bukankah dia sudah mati.�
�Ya, Teuku yang membunuh. Aku baru tadi dapat
melakukannya!�
Teuku yang jadi kian tak mengerti, bertanya apakah sebenarnya maksud Erwin. Dan
manusia harimau
itu mengatakan, bahwa ia telah ziarah ke pusara Safinah. Juga mendatangi kuburan
Daud Ali.
Tidak diceritakannya apa yang telah dilakukannya. Teuku juga tidak bertanya. Pun
tidak memikirkan
apa yang mungkin dilakukan Erwin.
Dianggapnya cerita Erwin itu sebagai suatu luapan amarah dan Erwin sendiri tak
mengerti apa yang
dikatakannya. Seperti berkhayal.
Erwin menegaskan kembali, bahwa kedatangannya adalah untuk mengambil Teuku. Dia
layak ditahan,
karena perbuatannya itu hanya bela diri. Bukankah Daud juga mempergunakan senjata.
�Tetapi aku belum diadili. Kalau Hakim memutuskan aku bebas, barulah benar aku
boleh keluar dari
sini!� kata Teuku.
Erwin tertawa. Agak sinis tanpa mengatakan apa-apa.
Agak lama kemudian baru Erwin berkata, bahwa di Pengadilan bukan tidak mungkin
terjadi salah
vonis. Bisa karena khilaf, bisa juga karena ia harus berbuat begitu untuk orang
lain. Kata Erwin dia
pernah mengetahui orang dihukum sebagai pembunuh, tetapi
kemudian ternyata bahwa orang itu sama sekali tidak berdosa, karena pembunuh
sebenarnya memberi
pengakuan.
�Aku sudah mengatakan kepada adik Safinah, bahwa aku akan membebaskan Teuku dan ia
sangat
setuju. Aku bicara dengannya tadi!�
Erwin membuka pintu sel seolah-olah tidak dikunci, menarik lengan Teuku yang kini
menurut tanpa
protes, la ingin mengatakan tak mau, tetapi ia tidak mampu mengatakannya. Yang jadi
kenyataan, ia berserah kepada Erwin.
Teuku pun tidak berkata apa-apa setelah ber-a di alam bebas.
Dia merasa kagum lagi. Banyak sekali kepandaian Erwin. Sedikit sekali orang sangat
pandai yang
memiliki ilmu perabun. Si pemegang ilmu harus yakin sepenuhnya, bahwa semua yang
bernyawa menjadi buta terhadap dirinya atau mereka. Tanpa kemampuan pemusatan
pikiran bulat,
ilmu itu tidak akan punya cukup kekuatan.
�Akan kemana kita Erwin?� tanya Teuku Samalanga.
�Istirahat dulu. Teuku perlu istirahat dan menenangkan pikiran.
Besok hari Kamis. Lepas sembahyang lohor kita berangkat!�
�Istirahat di mana dan berangkat ke mana?�
�Istirahat di rumah Teuku. Bawa apa yang perlu saja besok!�
�Terlalu berbahaya bagiku Er. Nanti mereka akan tahu, bahwa aku sudah lari!�
�Teuku tidak lari, aku yang melarikan. Jadi aku yang salah, kalau mau
dipersalahkan,� jawab Erwin
tenang-tenang.
�Kau hebat, bisa setenang ini!�
�Apakah akan membantu kalau kita gugup dan panik?�
Teuku tidak menjawab. Dia ingin sehebat Erwin.
�Teuku tak kurang hebatnya. Tiap manusia punya kekurangan dan kelebihannya,� kata
Erwin. Dan
Teuku mulai tenang. �Kita tak usah terlalu gembira kalau sedang menang dan tak usah
terlalu sedih
kalau sedang kalah!� Tetapi di dalam hati Erwin merasa, bahwa ia hanya dapat
berkata tidak selalu
mampu bersikap begitu.
Beberapa jam yang lalu ia menangis seperti anak kecil di pusara Safinah.
Sampai pagi tidak ada gangguan. Erwin dan Teuku sempat juga tidur.
Tetapi keesokan paginya mereka sudah mendengar apa yang
menjadi buah pembicaraan hampir semua orang Palembang.
Kuburan Daud Ali dibongkar harimau. Perutnya dirobek dan seluruh isinya
dikeluarkan. Cerita lain
bersumber dari pengusaha dan istrinya yang melihat harimau besar berjalan dengan
tenang walaupun
ditimpa sinar lampu mobil. Hewan itu kemudian berubah jadi manusia yang berjalan
tenang melalui
mobilnya. Orang mengaitkan dua kejadian ini. Kuburan dibongkar dan harimau berubah
bentuk jadi
manusia. Tetapi banyak pula orang yang tidak mau mempercakapkan-nya, takut terjadi
sesuatu yang
tidak mereka ingini.
Bukan hanya itu. Seperti api menjilat lalang kering tersiar berita bahwa Teuku
Samalanga yang
membunuh Daud Ali telah lenyap dari tahanan. Tidak ada petugas yang melihat. Kunci
sel tetap utuh.
Orang pandai itu bisa menghilang. Lalu dikaitkan lagi dengan kuburan yang dibongkar
harimau dan
harimau yang jadi manusia.
Kesimpulan sebagian masyarakat Palembang tidak menyimpang dari hukum akal. Teuku
Samalanga
menghilang dari tahanan, ke kuburan Daud, berubah jadi harimau, membongkar kuburan,
merobek-robek dada dan perut mayat. Dia meninggalkan kuburan, lalu berubah jadi
manusia lagi.
Tidak ada yang menyebut-nyebut Erwin. Tidak ada.
0odwo0
EMPAT
KANTOR Kepolisian tempat Teuku Samalanga tadinya ditahan
yang paling sibuk. Dari yang berpangkat tertinggi sampai terendah membicarakan
kelenyapan
pembunuh yang telah diketahui punya profesi sebagai dukun. Dan bukan sembarang
dukun. Telah
banyak orang ditolongnya. Banyak orang yang menyesali mengapa ia sampai ditahan
karena
pembunuhan. Tetapi mereka juga yang berpihak kepadanya, karena ia membunuh bukan
karena
kesadisan, la membalas dendam karena adik kandungnya dibunuh oleh
suaminya. Banyak pemuda, duda, bahkan sejumlah suami
menyayangkan kematian Safinah. Mereka bukan hanya mengingini dirinya tanpa pernah
berhasil,
tetapi karena ia seorang asal Aceh.
Dan gadis asli Aceh tidak banyak di kota mpek-mpek itu. Mereka tidak pernah tahu,
apa sebab
pengantin baru itu dibunuh suaminya.
Tetapi mereka semua yakin, bahwa Safinah wanita bersih yang tidak dapat dibawa arus
kegilalaan
yang melanda sementara gadis, janda bahkan istri di jaman kian banyak manusia
dikalahkan oleh
syaitan.
Beberapa anggota Polisi yang biasanya ganas terhadap tersangka yang belum tentu
bersalah, merasa
mujur sekali belum sampai menyakiti Teuku. Kalau saja ia sampai disiksa, boleh
dikatakan pasti ia
akan membalas. Boleh jadi isi perut mereka juga ikan dikeluarkan.
Mungkin sebelum dikubur, boleh jadi juga dikeluarkan dari kuburannya untuk
diperlakukan seperti
Daud Ali yang bernasib sial itu.
Tidak ada seorangpun petugas yang melihat Teuku meninggalkan
kantor itu. Tandanya ia punya ilmu perabun. Begitu keyakinan mereka. Adanya orang
kedua tidak
pernah mereka bicarakan, karena tidak pernah mereka lihat.
Jejak-jejak harimau di pekuburan baru kali itu didengar dan dilihat penegak hukum
dan masyarakat di
Palembang. Berbondong-bondong mereka ke sana untuk melihat bekas telapak yang cukup
jelas eh
adanya hujan, walaupun hanya gerimis. Tanah diseputar kuburan masih berlumpur oleh
galian,
penimbunan dan penggalian kembali.
Baru setelah kejadian itu masyarakat mengetahui �dengan
sangat keliru� bahwa Teuku Samalanga seorang dukun hebat yang juga harimau
jadijadian. Mereka
tidak tahu tentang dua harimau piaraannya. Juga tidak tahu, bahwa sebenarnyalah dia
manusia biasa
dengan banyak ilmu, tetapi tidak pernah berubah jadi harimau.
Cerita itu pun sampai semuanya ke telinga Teuku dan Erwin.
�Maaf Teuku, karena ulahku Teuku jadi dituduh harimau jadijadian dan Teuku juga
yang membongkar
kuburan Daud Ali.�
�Jadi kau yang membongkar dan itu yang kau namakan
membunuh dia sekali lagi? Mengeluarkan isi perutnya?� tanya Teuku.
�Ya, karena dia membunuh adik Teuku yang tidak punya dosa itu.�
�Erwin, kau mencintai Safinah?�
�Jangan tanya Teuku. Aku mohon jangan ditanyai,� kata Erwin dan sekali lagi ia
tidak kuat menahan
airmata. la, yang begitu perkasa dan punya hati cukup tegar untuk mengoyak dada dan
perut mayat,
ternyata punya kelemahan manusia biasa. ^Karena dia pun sebenarnya manusia biasa,
yang kadangkadang
jadi harimau.
Diterimanya sebagai warisan dari ayahnya Dja Lubuk, karena ia cinta pada ayahnya
itu. Tak mau
menyedihkan hatinya.
Erwin membawa Teuku yang dalam kesedihan dan kecemasan itu
ke rumah Mei Lan, karena ia berjanji akan kembali. Meskipun amat girang atas
kedatangan Erwin,
namun anak dan ayah itu tak terlepas dari keheranan, mengapa dan bagaimana Teuku
Samalanga yang
dihebohkan itu ada bersama Erwin. Mereka dapat melihat Teuku, karena Erwin
membebaskan mereka
dari kerabunan. Ada gunanya mereka melihat Teuku. Guna jadi alasan mengapa Erwin
harus pergi
lagi. Untuk mengurus sahabat terbaiknya.
Meskipun tahu Teuku telah ditahan karena membunuh iparnya, dan tahu pula dari
cerita yang
sambung menyambung bahwa ia telah melarikan diri, bahkan jadi harimau, namun Mei
Lan tidak
menyinggung keanehan itu. Erwin senang atas kebijaksanaan Mei Lan. Mengetahui,
bahwa pembunuh
yang jadi buronan itu tentu dalam kekuatiran, Mei Lan dengan lapang hati
mengijinkan Erwin
menguruskannya, walaupun ia tidak tahu bagaimana cara mengurus harimau jadijadian
yang
mempunyai banyak kesalahan. Pengertian itu membuat Erwin terharu. Gadis ini bukan
hanya sangat
sayang, tetapi juga punya pikiran dewasa. Sekilas ia bertanya di dalam hati, apakah
Mei Lan yang lain
keturunan ini sebaiknya jadi istri?
Barangkali dia inilah yang akan dapat menggantikan Indahayati yang tetap
mencintainya dengan
sepenuh kasih, walaupun sudah mengetahuinya, bahwa ia makhluk aneh yang kadang-
kadang jadi
harimau. Indah yang bersama anak mereka tewas oleh kejahatan Ki Ampuh, bukan takut
kalau Erwin
sedang mengharimau. la sedih, merasa kasihan. Tetapi dia tidak pernah berubah
sampai kejahatan
orang pintar dari Jawa itu merenggut nyawanya.
�Abang akan kembali, kan?� tanya Mei Lan.
�Tentu,� jawab Erwin, malah menambahkan: �Mau kemana, kalau tidak kembali ke sini
Lanny?� Dan
gadis itu senang mendengar karena ia percaya.
�Kita akan kemana?� tanya Teuku Samalanga setelah Erwin bersalaman dengan Mei Lan
dan ayahnya.
�Kita lewat dari depan rumah Teuku. Untuk melihat. Aku punya firasat bahwa di sana
orang sedang
ramai, karena satu regu Polisi sedang memeriksa di bawah pengepungan yang ketat.
Dan apa
yang dikatakan Erwin, memang benar terjadi. Di depan rumah, di jalan raya dan di
pekarangan tam
pak kesibukan. Banyak orang, tua muda, laki-laki dan wanita. Juga banyak Polisi
berpakaian dinas.
Entah berapa banyak pula reserse yang berpakaian preman.
�Kita lalu di sana E r?� tanya Teuku. �Ya, untuk mendengar apa yang mereka katakan!

�Tetapi, terlalu besar resikonya bagiku. Kau sendiri tidak apa-apa, karena kau
tidak punya kesalahan.�
�Sebetulnya akulah yang salah. Aku yang membongkar kuburan, aku yang mengulangi
pembunuhan
atas orang yang sudah mati itu, aku yang mengeluarkan isi perutnya. Aku yang dari
harimau berubah
kembali jadi manusia. Teuku hanya korban dari
kejahatanku!�
�Jangan berkata begitu. Ilmumu yang sangat tinggi dan caramu yang selalu bijaksana
membuat
mereka salah duga. Pikiran mereka tidak bisa menjangkau kepintaran yang kau miliki
Erwin.
Mengkhayalkan pun tidak. Kalau bisa seperti kau, aku juga ingin jadi manusia
harimau,� kata Teuku
Samalanga. Erwin senang mendengar, karena kata-katanya membuktikan, bahwa ia sudah
mulai
tenang dan dapat berkelakar walaupun dicampur keseriusan.
Erwin dan Teuku bergabung dengan segerombolan masyarakat
dan anggota Polisi berseragam di depan, di pekarangan, bahkan di dalam rumah. Yang
melayani
petugas-petugas keamanan hanya pembantu Teuku yang tinggal di sana bersama
istrinya.
Memed menceritakan, bahwa majikannya pada malam itu masih di sana, makan dan tidur
di sana
bersama sahabatnya Erwin. Tetapi pagi jam 10.00 itu Memed sudah tidak lagi melihat
Teuku dan
Erwin yang padahal juga ada di sana. Kekuatan ilmu era bu n yang dimiliki Erwin
memang boleh
dika-ta sempurna.
Polisi hampir tidak percaya, tetapi Memed bersumpah-sumpah bahwa dia berkata
sebenarnya. Juga
bahwa majikannya itu baru pagi hari itu berangkat dari sana. Ditanya apakah ia
mengetahui �
sebagai orang dalam� bahwa majikannya itu kadang-kadang jadi
harimau, ia mati-matian mengatakan, bahwa kalau benar ia bisa begitu, maka ia belum
pernah
menyaksikannya dengan mata
sendiri. Baru pagi itu ia mendengar cerita orang-orang. Baginya Teuku hanya manusia
biasa. Memang
dukun, tetapi dukun yang benar-benar dukun, bukan palsu atau gadungan yang menipu
pasien-pasien yang justru sakit dan membutuhkan pertolongannya.
Ketakjuban dan rasa hormat Teuku Samalanga terhadap si
manusia harimau mencapai puncaknya, ketika dilihatnya Erwin terlibat percakapan
dengan seorang
perwira polisi yang sudah berpangkat Mayor.
Kata Erwin: �Pak Mayor, saya kenal Teuku Samalanga. la tidak membantah bahwa dia
membunuh
Daud Ali. Sepanjang penilaian saya, dia melakukannya karena terpaksa, la turut mati
bersama
adiknya, sehingga mereka hapus dari dunia ini, atau dia membunuh laki-laki ganas
itu. Dalam
membela diri dan mempertahankan nyawanya tentu. Pak Mayor sudah melihat sendiri
kemampuannya
dan ketegaran hati di dalam dadanya, la mampu menggali kuburan dari orang yang
sudah
dibinasakannya karena menurut hematnya sekedar nyawa bayar nyawa tidak cukup. Daud
perlu
diganjar lebih berat, la telah melakukan itu. Kalau ia dikejar-kejar apalagi
disiksa, saya kuatir akan
terjadi hal-hal yang lebih mengerikan lagi/�
�Anda siapa dan mengapa berkata begitu kepada saya?� tanya Mayor Karnadi. Erwin
menerangkan,
bahwa dia sahabat dekat Teuku Samalanga dan tahu bahwa Mayor Polisi Karnadi seorang
perwira
yang tegas tetapi baik hati. la tidak mau sampai terjadi hal-hal yang tidak
diingini atas seorang
penegak hukum sebaik Karnadi yang tidak terlalu mudah dijumpai pada masa ini.
Keterangan Erwin
termakan oleh akal perwira itu. la memang seorang penegak hukum yang baik dan
berani. Tidak
pernah mundur dalam melacak
penjahat yang bagaimanapun. Dan ia belum pernah gagal.
Dengan amat mengejutkan sang Mayor Polisi, Erwin: �Memang Pak Mayor belum pernah
gagal. Saya
tahu Pak Mayor orang berani yang tidak mau mengelak dalam mengemban kewajiban.
Tetapi dalam
kasus ini Pak Mayor bukan berhadapan dengan penjahat atau
manusia biasa. Saya sangat simpati pada Pak Mayor, maka saya beranikan diri berkata
begitu. Bukan
maksud saya mencampuri tugas dan panggilan hati Bapak. Maafkan, kalau kata-kata
saya itu salah,�
kata Erwin dan ia pun hilang dari pandangan Mayor Polisi Karnadi. Tentu saja dia
jadi sangat heran.
Apakah orang ini juga semacam Teuku Samalanga yang bisa hilang dan bisa pula jadi
harimau?
Sambil memutar otaknya perwira Polisi itu meneruskan
pemeriksaan di rumah Teuku Samalanga. Dia mulai berpikir, jangan-jangan Teuku itu
pun ada di
antara mereka. Bukankah dia dapat menghilang dari tempat ia dikurung tanpa tampak
oleh seorang
Polisi pun yang cukup banyak jumlahnya menjaga di sana. Ataukah Teuku bisa pula
meru bah
mukanya atau sekurang-kurangnya
membuat orang melihatnya sebagai orang lain?
Walaupun ia dukun terkenal, tidak ada barang-barang
mencurigakan di rumahnya. Setengah jam kemudian Mayor itu memerintahkan anak
buahnya pulang.
Hanya menempatkan
beberapa petugas berjaga-jaga di sana. �Kalau-kalau ia datang lagi,�
katanya.
Tiga petugas Polisi yang berjaga-jaga di rumah Teuku merasa tidak enak hati, kuatir
kalau orang Aceh
yang bisa jadi harimau itu datang lalu membunuh mereka satu demi satu. Kemudian
mengeluarkan isi perut mereka sebagaimana ia telah mengeluarkan isi dada dan perut
mayat yang
sudah dikubur.
0odwo0
Dengan kekuatan ilmu Tuan Syekh Ibrahim Bantani, dalam waktu singkat Erwin dan
Teuku
Samalanga sudah berada di rumah Teuku Abidin di Jambi. Paman dan kemenakan
berangkulan. Teuku
Samalanga menceritakan, bahwa apa yang terjadi adalah berkat kekuatan gaib yang ada
di dalam diri
Erwin. Dia sendiri sudah pasrah untuk diadili. Karena dia memang telah membunuh.
�Pak� kata Erwin kepada Tuan rumah:
�Teuku Samalanga bukan membunuh atas kehendak hatinya.
Dipaksa membunuh orang telah membunuh adiknya dan akan
membunuhnya pula. Tiada ayat yang menitahkan agar kita
menyerahkan nyawa kita secara sukarela kepada orang yang
hendak membunuh kita. Saya rasa itu bukan hanya suatu
kebodohan, tetapi juga suatu dosa jika nyawa yang hanya satu diberikan kepada orang
sejahat dan
sejahil Daud Ali.�
�Yatun menceritakan, bahwa ia melihat nak Erwin membongkar kuburan Daud lalu
melakukan
pembunuhan untuk kepuasan diri nak Erwin sendiri. Betulkah itu?� tanya Teuku
Mahidin.
�Kalau sudah Yatun berkata begitu, tentu betullah begitu/� jawab Erwin dan Tuan
rumah tidak
meneruskan pertanyaan mengenai peristiwa itu. Dia semakin tahu, bahwa Erwin benar-
benar sangat
tinggi dalam ilmu gaib yang tak dapat diuraikan dengan hukum akal, walaupun segala
kekuatan di
dunia ini sebenarnya dapat diusut asal mulanya dan mengapa mampu mencapai
kedahsyatan yang
begitu menakut dan mengherankan.
�Sekarang apa rencana nak Erwin?� tanya Teuku Mahidin. �Kalau sudi tinggallah di
sini selama
belum bosan.�
Erwin menerima ajakan Tuan rumah, la ingin membantu Teuku seberapa bisa, tetapi ia
belum punya
ijazah untuk menurunkan ilmu, sekedar menambah yang amat diperlukan Teuku
Samalanga.
�Bolehkah aku mengikutmu saja Erwin. Mengembara seperti kau.
Aku sudah tidak punya siapa-siapa selain pamanku ini. Kedua adikku sudah tiada,�
tanya Teuku. la
ingat dan sangat sedih, tetapi tanpa airmata. Pada Menora yang bunuh diri karena
diperkosa Husni dan
pada Safinah yang dibunuh oleh suaminya yang menuduh dia
melakukan perbuatan terlarang yang sama sekali tidak pernah terjadi.
�Jangan,� kata Erwin. �Teuku manusia biasa yang penuh ilmu.
Akan kucoba memanggil ayahku. Aku hanya makhluk tidak normal seperti yang telah
Teuku ketahui.�
0odwo0
LIMA
SUARA orang memberi salam membuat Teuku Mahidin pergi ke
pintu depan. Dia mempersilakan tamunya masuk. Setelah orang itu di dalam, Erwin
langsung
menubruk dan mencium tangan.
�Amang,� katanya. Dan orang itu mengelus-elus rambutnya, membuat Teuku Mahidin dan
kemenakannya keheranan. Yang
datang itu tak lain daripada Dja Lubuk dalam keadaan seperti manusia utuh. Jelas
tua dengan misainya
yang putih bersih, mata tajam menghias wajahnya yang tampan penuh wibawa.
�Inilah ayahku,� kata Erwin. �Telah sejak lama kudengar kebesaran Tuan,� kata Teuku
Mahidin.
�Pertemuan yang tidak kuduga ini sangat membahagiakan.�
�Tak Tuan duga, karena aku dipanggil secara mendadak oleh anakku Erwin. Biasanya
Tuan tahu apa
yang akan terjadi. Walaupun Tuan tidak biasa mereklamekan diri, tetapi banyak di
antara orang-orang
yang mengenal nama dan ingin berkenalan dengan Tuan.
Oleh karenanya aku merasa beruntung dapat berhadapan langsung dengan Tuan. Aku juga
merasa
berhutang budi kepada Teuku-Teuku berdua, yang telah menyukai dan menyayangi
anakku.
Karena kita sudah seperti satu keluarga, tak ada buruknya kalau kita bicara
terbuka. Kepada Teuku
Samalanga yang abang langsung almarhumah Safinah, aku menyatakan sangat bersedih
atas
musibah yang menimpa dirinya. Sekaligus juga menimpa diri Erwin.
Sudah pernah diceritakannya tentang cintanya kepada adik Teuku, tetapi dia tidak
berani berterus
terang, karena kuatir akan beban hati yang akan dipikulnya. Tindakannya atas
kuburan Daud Ali
adalah suatu pelampiasan sakit hati yang seharusnya dapat dibendung. Tetapi tiap
manusia punya
kelemahannya, apalagi yang sekedar makhluk tak menentu seperti kami,� kata Dja
Lubuk
merendahkan diri. Dan berterus terang. �Tidak kuceritakan pun Teuku Mahidin akan
atau sudah tahu
bahwa aku dan anakku dan ayahku semuanya hanya setengah manusia!� Mendengar ini
Erwin yang
akhir-akhir ini selalu mencurahkan airmata, kembali tak dapat
membendung duka citanya, la menangis, tanpa mengeluarkan suara.
�Kuharap jangan berkata begitu. Tuan Dja Lubuk. Segala kekurangan yang pasti ada
pada tiap insan
yang hamba Allah pasti ada gunanya atau ada penyebabnya. Tiada lain karena Tuhan
itu Maha Adjl
dan Maha Penyayang. Tiada kebencian pada Tuhan, tiada sifat membalas pada Nya.
Orang tidak boleh
melihat suatu
kenyataan hanya secara lahiriah sehingga ada manusia yang di dalam hatinya lalu
menyesali Tuhan.
Lalu ber emosi dengan keluh an �mana Keadilan Tuhan? Mana kasih sayang-Nya. Padahal
didalam hal
atau kenyataan yang menyedihkan itulah letak keadilan dan kemahapenya-yangan Allah.
Orang mudah
menyebut Allah, padahal sebenarnya tidak atau sangat kurang mengenal Nya. Orang
mengadu dan
memohon kepada N ya Kepada yang kurang atau
tidak dikenal. Orang berdoa tanpa mengetahui dan memenuhi syarat-syarat dalam
berdoa. Syaratsyarat
itu sebenarnya mudah, tetapi orang tidak mau sungguh-sungguh mempelajarinya!� kata
Teuku
Mahidin yang rupanya punya ilmu mendalam tentang agama dan berusaha mendekatkan
diri pada
Tuhan yang pasti ada dan dapat dibuktikan tentang ada-IMya.
�Tuan, ahli agama, layak disebut guru besar,� kata Dja� Lubuk.
Tetapi orang Aceh itu menjawab, bahwa apa yang telah diketahui dan dikuasainya baru
ibarat setitik
air di telaga. Biasa, orang yang benar-benar berilmu selalu merendahkan diri. Orang
yang
berpengetahuan hanya secuil jugalah yang selalu ingin dipandang sebagai orang
sangat pandai.
Dja Lubuk menerangkan, bahwa ia datang atas panggilan Erwin yang ingin
menyelamatkan Teuku
Samalanga dari penangkapan pihak yang berwajib. Erwin belum mempunyai hak untuk
menurunkan apa yang dimilikinya. Dja Lubuk meminta Erwin
mengantarkan sahabatnya itu ke Muara Sipongi untuk menimba sedikit ilmu dari Tuan
Syekh Ibrahim
Bantani.
�Tuan baik sekali,� kata Teuku Mahidin sambil menyatakan, bahwa ia ingin berbuat
apa saja yang
mungkin dilakukannya untuk
membalas budi ayah dan anak itu.
�Bapak Dja Lubuk,� kata Teuku Samalanga, �bolehkah orang luar Mandailing menuntut
ilmu untuk
sewaktu-waktu diperlukan bisa berubah jadi harimau?�
Dja Lubuk tertawa. Diterangkannya, bahwa kalau sekiranya ada ilmu untuk itu, maka
ia sudah pasti
tidak memilikinya, la, ayahnya dan anaknya menjadi makhluk yang secara mudah
dikatakan orang
�manusia harimau� bukan dari mempelajarinya, tetapi menerimanya sebagai warisan
turun temu run.
Teuku Mahidin memandang Erwin, lalu menge-uarkan apa yang terlintas menjadi
pertanyaan di dalam
hatinya. �Bagaimana dengan Erwin kelak Tuan Dja Lubuk?�
Kini manusia harimau yang bangkit dari kuburannya di
Mandailing itu memandang anaknya. �Sebenarnya terserah kepada yang harus menerima
warisan!�
�Ijinkan aku bertanya,� kata Teuku Mahidin lagi. �Apakah itu berarti, bahwa yang
jadi pewaris dapat
menolak?�
Diterangkan oleh Dja Lubuk, bahwa penolakan boleh saja. Boleh jadi karena malu
untuk jadi penerus,
mungkin juga karena takut.
Malu, karena kelainan dari manusia normal itu sama sekali bukan suatu kehormatan.
Takut, karena
manakala di tengah orang ramai berubah ujud, mungkin akan dikeroyok dan dibunuh
oleh orang
banyak. Penolakan bukan tidak ada resikonya. Bahkan sudah pasti akan ada buntutnya.
Diceritakan
oleh orang berilmu gaib sampai setelah kematiannya itu, bahwa sampai sekarang di
perbatasan
Mandailing dengan Pasaman masih ada seorang laki-laki yang mukanya persis harimau.
Menakutkan.
Tetap begitu, siang dan malam. Dia tidak pernah berubah rupa, tetapi menyandang
muka harimau.
Selebihnya manusia biasa. Dia sekolah, sampai tamat sekolah menengah tingkat
pertama, la dijauhi
oleh kebanyakan kawan-kawannya, karena jijik. Ada yang karena takut. Tetapi ada
anak-anak bengal
yang berani menyoraki dan menghinanya, karena tahu bahwa dia tidak akan melakukan
perlawanan, la
tahu akan
kelainan dirinya dan tahu diri pula. la menerima segala nista dan cerca.
Sambutannya hanya kata-kata
lembut, bahwa rupanya itu bukan buatannya. Su dah nasib maka ia jadi begitu, tetapi
dia tidak akan
menyusahkan siapa pun. Dan sampai ia dewasa memang
Darwis tidak pernah mengganggu sesama manusia. Dan oleh
kemahaadilan dan kemahasayangan Tuhan kepada hamba-Nya,
Darwis pun dapat jodoh. Beristri dan sudah punya anak empat orang, ketika penulis
mengunjungi dan
mendengar ceritanya. Yang ada dihati penulis hanya rasa kasihan. Entah mengapa ia
menolak.
Andaikata dia menerima, maka ia akan jadi seperti Erwin. Belum tentu akan seperti
Dja Lubuk dan
Raja Tigor yang punya segudang ilmu sehingga mampu bangkit lagi setelah dikuburkan.
Bukan untuk
menyusahkan manusia, tetapi juga berkali-kali terpaksa mengamuk dan membunuh,
karena Erwin
yang anak dan cucu mereka
diperlakukan tidak adil. Manakala ia dianiaya dan hendak dibunuh.
�Siapakah Tuan Syekh Ibrahim Bantani itu?� tanya Teuku Hamidin.
�Orang pintar dari Banten yang terkenal mempunyai banyak cendekiawan dibidang ilmu
gaib.
Meskipun ia sangat pandai, ia masih ingin mengenal dan belajar lebih banyak. Itulah
yang
membawanya ke Mandailing, la melihat banyak persamaan, tetapi juga banyak yang
berbeda. Di sana
dia belajar dan mengajar, menerima dan memberi. Ditakdirkan Tuhan dia tutup usia di
sana, di sebuah
kampung tak lauh dari Muara Sipongi dan dikebumikan di sana.� Teuku Mahidin
mengajukan ruparupa
pertanyaan dan akhirnya meminta supaya dia juga boleh ikut ajar kepada orang hebat
dari Jawa
itu. �Kurasa tidak usah,� kata Dja Lubuk. �Teuku sudah mempunyai sangat banyak.
Bahkan
mempunyai pesuruh
yang anak kecil Yatun itu.� Mendengar ini Teuku Mahidin merasa kagum atas
kepintaran Dja Lubuk,
la begitu banyak tahu.
Mengetahui yang rasanya tak masuk akal akan sampai diketahuinya.
Tiba-tiba saja anak perempuan kecil yang membawa Erwin dari pinggir kota ke rumah
Teuku Mahidin
telah hadir di sana, mencium tangan Dja Lubuk lalu duduk bersimpuh, la tahu bahwa
ia
berhadapan dengan orang-orang sangat pandai, sementara dirinya sendiri hanya
seorang pesuruh yang
melakukan segala apa yang diperintahkan Teuku Mahidin kepadanya. Tingkah lakunya
seperti kanakkanak
biasa, sehingga bagi orang yang tidak mengenal apa dia sebetulnya pastilah akan
menyangka
bahwa ia tak lebih daripada seorang anak seperti anak-anak lainnya.
�Setelah Teuku bertemu dengan Tuan Syekh, insya Allah Teuku tidak akan dikenal lagi
oleh hamba
hukum yang ditugaskan
menangkap Teuku.. Satu saja pantangnya, yang Teuku tentu selalu mengamalkannya.
Jangan Takabur
dan sombong. Sebab yang Maha Kuasa hanya Tuhan jua!� kata Dja Lubuk. Kepada anaknya
dia
berpesan untuk menyampaikan salam hormatnya kepada Tuan
Syekh.
�Aku mohon diri sekarang,� katanya kepada Tuan rumah lalu bangkit memberi salam, la
menuju
pintu, dipandangi oleh semua yang tinggal, sebab ia minta supaya jangan diantarkan.
Dari jarak
beberapa meter, ketika Dja Lubuk sudah tiba di ambang pintu Teuku Mahidin mohon
agar manusia
harimau itu sudi sesekali mampir berbincang-bincang. Dja Lubuk me-lnsya Allah kan
tanpa menoleh,
sebab sebaiknya ia tidak menoleh lagi. Ketika menuruni tangga ia pun raib.
Yang tinggal saling pandang. Teuku Mahidin juga yang memecah kesepian: �Ayahmu
hebat sekali
Erwin. Aku beruntung bisa berhadapan dengan beliau. Dan aku akan tambah beruntung
lagi manakala
boleh bertemu dengan kakekmu Raja Tigor!�
Di ruangan itu seperti bertiup angin, disusul oleh suara: �Sejak tadi aku hadir di
sini. Mengikuti
pertemuan kalian yang sangat berkesan. Pada suatu hari nanti kita bertemu Teuku
Mahidin. Kini aku
mau pergi menyusul anakku sebab dia pasti menunggu
kedatanganku. Kami mau sama-sama kembali ke Mandailing.�
Terdengar langkah-langkah menuju pintu. Mereka semua tahu, bahwa itulah Raja Tigor
yang oleh
berbagai sebab yang hanya dia mengetahui, belum mau memperlihatkan diri. Sesuai
dengan pesan
ayahnya, Erwin dan leuku Samalanga berangkat sehabis magrib. Dja
Lubuk juga menyuruh mereka berjalan kaki. Tidak menumpang kendaraan, juga tidak
secara gaib.
Ketika Erwin menoleh, Erwin jadi agak terkejut oleh kehadiran dua harimau mengikuti
mereka.
Seekor loreng dan yang lainnya hitam pekat, milik Tuan Syekh. Seolah-olah
ditugaskan untuk
mengawal Erwin dan sahabatnya.
Setelah menyerahkan Teuku kepada Tuan Syekh, manusia
harimau itu mohon diri. Berpesan guru besar dari Jawa itu: �Ingat, masih banyak
bahaya
menghadangmu. Tabahkan hati, kuatkan
iman. Turutkan kehendak kakimu!� Setelah mencium tangan Tuan Syekh, anak Dja Lubuk
keluar dari
taman impian yang hanya tampak oleh mereka yang boleh melihatnya.
Dengan sebuah bis Erwin kembali ke arah Selatan, menuju kota Bukittinggi dimana ia
menginap tiga
malam untuk tidur di ngarai tanpa tikar dan selimut. Sudah sejak lama ia mendengar
tentang
kehadiran seekor ular di sana, panjangnya melebihi li mabelas meter, sudah
bertahun-tahun tidak
kelihatan, tetapi menurut orang-orang yang percaya dan mungkin mengetahui masih ada
di sana.
Beberapa penduduk kampung Sianok dan Koto Gadang pernah
didatangi dalam mimpi sekedar memberitahu bahwa ia masih
bermukim di sana dan berpesan agar jangan sampai melakukan pembakaran guna
menghindari akibat
yang tidak akan
menyenangkan. Di jaman pendudukan Jepang, jelas ada tiga orang serdadu Jepang yang
turun ke
ngarai itu tidak pernah kembali.
Bukan karena menuruni ngarai, tetapi karena mereka turun untuk mencari si ular
raksasa yang tidak
mereka percayai ada di sa-na Konon terdengar beberapa banyak letusan, karena ketiga
serdadu itu
membawa senjata, termasuk sebuah senapan mesin ringan dan cukup banyak granat.
Letupan-letupan
granat juga terdengar oleh ]
masyarakat di atas lembah bersungai itu. Pada ke-1 esokan paginya ada beberapa
penduduk Sianok
yang masih melihat ular amat besar itu bergerak pelan ke suatu tempat di dinding
ngarai, berhutan
agak lebat. Kata orang hutan itu berfungsi sebagai penutup lobang yang
menghubungkan ngarai
dengan danau Singkarak yang terletak
indah di pinggir jalan raya antara Padangpanjang dengan Solok.
Erwin mau menghabiskan waktunya tiga ma-I lam kedinginan, karena ingin memiliki
geliga yang
dapat diberikan ular itu melalui ludahnya, la tahu bahwa kalau bertemu dengan ular
itu mungkin ia
akan tewas disamping kemungkinan binatang itu dapat dijadikan teman, karena Erwin
tiada maksud
buruk. Sebenarnya ia sudah tidak membutuhkan geliga yang katanya akan membuat semua
musuh gentar dan tak kan berani menyusahkan dirinya. ! Dengan ilmu yang sudah
dimilikinya, lebihlebih
setelah diisi lagi oleh Tuan Syekh Ibrahim Ban tani ia akan berani menghadapi siapa
atau apa
pun yang akan menjahilinya. Tetapi mengingat peringatan ayah, ompung dan Tuan Syekh
sendiri
bahwa masih sangat banyak
bahaya menghadang dirinya, maka ia ingin memperkuat benteng dengan geliga yang
banyak jadi
sebutan itu. Dua malam menahan di ngin tanpa hasil membuat Erwin mulai hilang
harapan. Tidak ada
suatu tanda pun tentang kehadiran seekor ular besar di sana. Tetapi ia mau
mencukupkan sampai tiga
malam. Setelah itu ia akan menganggap bahwa kisah itu hanya isapan jempol. Hanya
mau dijadikan
dongeng kanak-kanak yang mengasyikkan.
Tetapi ketika ia pada petang hari turun ke tempatnya menanti untuk tidur malam
terakhir, ia terkejut
melihat tanah yang akan tenggelam seperti parit besar yang tidak seberapa dalamnya.
Ranting-ranting pun banyak berpatahan. Dan parit itu panjang sekali. Dia menye lu
surinya, sehingga
sampai ke dinding tebing yang berhutan agak lebat itu. la mau meneruskan, karena
penasaran tetapi satu suara yang amat dikenalnya, suara Syekh Bantani melarang.
�Jangan kau langgar
kawasannya Erwin. Yang satu ini tak terlawan olehmu dan oleh kita beramai-ramai
sekali pun.� Erwin
mundur sementara hari sudah gelap.
Ketika ia mau merebahkan diri dengan harapan alau kalau ular itu keluar dari daerah
miliknya, ia jadi
terkejut sekali, karena di hadapannya jelas ada tiga orang serdadu berpakaian
seperti tentara Jepang
yang dilihatnya di gambar-gambar perang Asia Timur Raya.
Tiba-tiba ketiga serdadu itu menjerit-jerit, lalu hilang.
Erwin hanya bisa menduga, bahwa ketiga serdadu itulah roh Jepang yang hilang tahun
1943 di sana.
Badan mereka sudah berpindah ke perut ular yang menguasai kawasan itu. Barangkali
ia sekedar mau
memperlihatkan kebesarannya. Bagaimanapun
hebatnya Jepang di waktu itu, dapat menaklukkan
Malaya, Filipina, Singapura dan Indonesia dalam waktu sangat cepat, mereka jangan
coba-coba
menentang dirinya.
Kekuasaannya itu memang dibuktikannya pada awal tahun 1944
ketika penguasa Jepang di sana mengirim selusin tentaranya untuk mencari ketiga
serdadu yang hilang
itu. Ini pun semuanya tidak kembali. Penasaran, seorang Mayor Jepang mengepalai
satu
pasukan lagi dengan membawa senjata berat. Yang mereka
temukan duabelas mayat yang sudah hampir lumat. Tewas karena diremukkan oleh ular
yang merajai
ngarai itu.
0odwo0
ENAM
ERWIN merasa bahwa ia tidak akan mungkin bertemu dengan
ular raksasa yang telah datang lalu pergi lagi dengan hanya meninggalkan bekas
tempat ia berlalu, la
sudah mendengar dan akan mematuhi seruan Tuan Syekh Ibrahim Bantani, bersiap untuk
meninggalkan ngarai yang tidak mau menerima kedatangannya.
Tetapi begitu ia melangkah terdengar olehnya suatu resekan dari semak-belukar yang
diperkirakan
menutupi lubang pertapaan sang raja ular. la memandang ke sana, rasa takut dan
ingin tahu bercampur
menjadi satu. Kemudian tampak olehnya dua lampu besar berwarna hijau memancarkan
cahaya
berkilauan. Walaupun ia tidak biasa mengenal kalah tanpa bertarung, sekali ini
kakinya tidak dapat
digerakkan, la terus mamandangi cahaya itu. Mata sang ular sakti, la mengangkat
kepalanya tinggitinggi,
sehingga jelas tampak oleh Erwin. Seperti memperlihatkan diri. Semacam suatu show
untuk
Erwin bahwa cerita tentang dirinya bukan dongeng, la tidak suka kenyataan
diceritakan sebagai
dongeng kelak. Biar Erwin
menyampaikan kepada masyarakat sekitar, bahwa ia benar-benar ada. Dan ia
memperlihatkan diri
kepada sang manusia harimau, supaya makhluk itu tahu bahwa ada yang tak kalah
hebatnya dari dia.
�Berilah aku sesuatu Maharaja,� pinta Erwin. Untuk jadi kenangan, bahwa aku telah
benar-benar
bertemu dengan Tuan.
Bagaimana aku harus mengucapkan terima kasih atas kebaikan budi Tuan ini.
Maharaja.� Sorot mata
ular itu berubah jadi redup, tetapi tetap memancarkan sinar terang. Erwin berharap
sang Maharaja
mengatakan sesuatu, tetapi ular itu hanya menggelengkan kepala, mungkin sebagai
isyarat
mengatakan bahwa ia tidak dapat berkata-kata, karena ia bukan manusia ular.
Berlainan dengan Erwin
yang manusia harimau.
Pelan-pelan ia merendahkan kepalanya kembali, lalu sorotan itu pun hilang. Meskipun
ular itu telah
raib, Erwin tetap saja berdiri di sana, seolah-olah belum puas dengan apa yang
telah nyata-nyata
disaksikannya dengan mata sendiri.
Dengan langkah gontai tetapi hati puas ia berjalan, melalui batang air yang hanya
sedalam mata kaki
hingga lutut, la mendaki jalan, maksud hati dari atas ngarai akan ke Aur
Tajungkang. Hawa dan angin
yang menusuk tulang sudah tak terasa olehnya. Apakah ia satu-satunya makhluk yang
pernah melihat
Maharaja ular itu?
Tentu tidak. Tetapi mungkin yang melihat, mati kejang karena terkejut dan takut.
Serdadu-serdadu
Jepang yang hilang dan bergelimpangan mayatnya di sana tentu pernah melihatnya,
tetapi tak sempat
membawa cerita karena tidak diberi kesempatan untuk itu.
Ketika ia melalui panorama, darimana orang pada siang hari atau terang bulan dapat
menikmati ih
mandangan yang indah, terdengar olehnya langkah-langkah di sampingnya. Ketika ia
menoleh batulah
diketahuinya bahwa ayahnya Dja Lubuk teluh berada di
sampingnya.
�Kau beruntung telah melihatnya. Aku pun telah turut beruntung.
Sekali ini aku menumpang mujur, karena dia sebenarnya hanya
memperlihatkan diri kepadamu. Itulah satu pertanda dan bukti igi tentang kebesaran
Tuhan. Suatu
bukti bahwa Tuhan mempunyai kesanggupan yang tidak terbalas. Dan hanya Dialah yang
memiliki
ketidakterba-tasan itu. Malaikat tidak, nabi pun tidak. Apalagi kita yang hanya
makhluk-makhluk
hampir tidak bermakna,� kata Dja Lubuk. Selalu arif, selalu bijaksana memilih kata-
kata yang paling
tepat. Yang tak tersangkal kebenarannya.
�Ayah, bagaimana caranya mencari dan mendapatkan
ketenangan di dalam hidup? Kadang-kadang sangat meletihkan.
Rasanya tidak kuat lagi,� tanya Erwin.
�Tiada ketenangan bagi siapa pun yang masih menghadapi dan turut dipengaruhi atau
mempengaruhi
berbagai arus di permukaan bumi ini. Sebab tiap orang terlibat di dalamnya. Maksud
amang,
ketenangan tanpa gangguan. Bagaimanapun kecukupan, bahkan kaya rayanya seseorang
dengan
keluarga yang semuanya sangat bahagia dan mencintainya pada waktu-waktu tertentu
ketenangannya pasti terganggu. Entah oleh anak yang mendadak berubah tingkah.
Katakanlah oleh
pengaruh lingkungan. Bisa juga seorang istri setia atau suami jujur tergoda oleh
orang lain, diluar
perkiraannya semula. Ada suatu kekuatan yang merobohkan
kesetiaan. Di antaranya termasuk iblis atau setan yang selalu pegang peranan. Sudah
selalu
kuceritakan kepadamu, bahwa iblis memang punya tugas untuk menggoda manusia,
menguji
keimanannya. Yang terkalahkan oleh iblis pasti orang yang belum kuat imannya.
Itulah gunanya orang
mengamalkan ajaran
agamanya, di antaranya i m a n di dalam dirinya.�
Erwin bertanya apakah semasa hidupnya sang ayah juga banyak mengalami ketegangan,
gangguan dan
penderitaan.
�Bukan hanya semasa hidup, setelah mati pun aku masih seperti ini. Orang wajar
tidak seperti aku dan
ompungmu. Yang tidak pernah mati hanya roh manusia. Yang namanya tubuh atau
kerangka, tempat kedudukan hayat selagi masih hidup, akan habis dimakan bumi. Dia
menjadi tanah,
karena asalnya pun dari tanah jua. Hanya tulang-belulang yang tinggal, bisa berumur
sampai
ratusan bahkan jutaan tahun. Sampai sekarang masih ditemukan sisa-sisa tengkorak
manusia purba
dari jutaan tahun yang silam Tetapi aku tidak hanya tinggal roh. Kau lihat amangmu
ini. Bisa kau
raba, bisa memeluk dan dipeluk, mencium dan dicium. Bisa bicara, seolah-olah ia
tidak mati, padahal
ia sudah pernah mati. Apakah aku hidup kembali? Tidak, tetapi sewaktu-waktu aku
bangkit dari
kematian itu,� kata Dja Lubuk. Tenang, jelas bagaikan uraian guru kepada murid. Dan
Erwin
mendengarkan dengan airmata
membasahi pipi. la begitu sedih dan terharu.
�Kuteruskan tentang ketenangan yang tidak pernah abadi bagi manusia yang masih
hidup. Suaml istri
yang kaya raya, tidak kekurangan suatu apa pun. Dengan anak-anak yang manis. Baik
rupa maupun
perangai. Yang kesemuanya sangat men-i intai orang tua dan mendapatkan limpahan
kasih yang tiada
taranya. Pada suatu saat Tuhan memanggil salah seorang anak atau si ayah atau ibu
untuk pulang,
karena masanya hidup di dunia sudah berakhir.
Kau dapat membayangkan, bagaimana pedih perasaan dan sedih hati orang yang diting-
lialkan, yang
sebenarnya tidak mau berpisah dengan yang pergi, padahal mereka semua tahu, bahwa
perpisahan itu
pada suatu ketika pasti datang. Itu sudah suatu kemestian karena begitulah janji
Tuhan pada saat
seorang insan yang hanya hamba Allah diberi kesempatan hidup di dunia. Tuhan
memberinya akal,
kekuatan dan kelengkapan lainnya. Tuhan menyediakan agama untuk dihayati �lan
diamalkannya.
Memberi janji bagi tiap hamba-Nya yang baik, bahwa ia akan mendapat imbalan indah
yang abadi
untuk dunia lain yang abadi.�
Apa yang dijelaskan Dja Lubuk sangat meresap ke dalam hati, walaupun sebagian
daripadanya bukan
hal-hal yang belum
diketahuinya. Terpikir olehnya, kalau yang tinggal dari orang mati hanya roh,
sementara ayah dan
kakeknya dapat mengun lunginya dalam wujud bernyawa dan bertubuh bia a, untuk apa
kedua orang
yang dicintainya itu melakukannya? Apakah karena permintaannya yang dikabulkan
ataukah oleh
suatu penentuan nasib yang tidak dapat diingkari. Apa yang dipikirkan Erwin
diketahui oleh Dja
Lubuk, sebagaimana ia dalam banyak hal dapat membaca pikiran orang,
yang juga menurun kepada anaknya itu.
�Aku bisa bangkit lagi dari kematian bukan karena aku menghendakinya. Tetapi karena
penentuan.
Oleh penentuan ini aku dapat menemuimu kalau perlu. Andaikata aku tidak ditakdirkan
bisa bangkit
lagi dalam wujud seperti sekarang tentu aku tak mungkin lagi bersua dan berkata-
kata dengan kau
Erwin.�
�Dan menyelamatkanku dari segala bencana/� kata Erwin menambahkan, karena ayahnya
sengaja
tidak mau menyebutkan kenyataan itu.
Erwin diajak ayahnya kembali ke panorama yang terletak di bibir ngarai mengambil
tempat duduk di
sebuah bangku yang sengaja disediakan di sana bagi para pengunjung untuk menikmati
keindahan alam. Dan bagi mereka yang hendak menikmati duduk berdampingan dengan
kekasih di
tengah suasana teramat
menyenangkan yang hanya Tuhan mampu menciptakannya.
�Pada waktu menjelang fajar atau senja cantik sekali di sini, Er,�
kata Dja Lubuk. Seperti manusia biasa. Kalau orang melihatnya pada waktu itu,
takkan ada yang
mungkirynenyangka, bahwa ia manusia harimau. Lebih-lebih, tidak akan ada yang
menduga bahwa ia
manusia telah meninggal yang bangkit dari kuburnya. Kalaupun dikatakan demikian
masih sulit
mencari manusia yang mau percaya.
Padahal suatu kenyataan.
�Ayah, mengapa orang-orang lain tidak bangkit lagi setelah meninggal?�
�Karena mereka tidak menyimpang dari yang wajar. Tetapi pasti ada orang-orang lain
yang seperti
aku dan kakekmu. Dan Datuk nan Kuniang. Begitu pula Tuan Syekh Ibrahim Bantani.
Sudah tentu ada
lagi yang lain, yang tidak kita kenal. Mayat-mayat yang ditakdirkan bisa hidup
kembali lalu bangkit
dari kuburnya, mendatangi tempat atau orang-orang tertentu bukan hanya terjadi di
negeri kita, tetapi
juga di barat. Aku dulu mendengar cerita, bahwa kuburan Belanda tidak pernah ada
hantunya. Yang
berhantu hanya kuburan orang Islam. Aku heran, tetapi semula aku percaya. Ternyata
itu tidak
benar, kuburan Belanda juga ada hantunya. Dalam perantauan aku pernah sampai ke
kota Pangkalan
Brandan. Ketika melalui kuburan Belanda, aku ingat betul malamnya malam Minggu.
Kulihat ada
asap mengepul dari daerah pekuburan itu. Jelas kelihatan karena hari sedang terang
bulan. Juga ada
suara anjing melolong panjang dari sana. Karena aku tidak lekas takut dan ingin
tahu, maka aku
mendekati kuburan yang sekelilingnya ditanami bambu. Memang benar dari sebuah
kuburan ada
keluar asap berwarna kuning yang menjulang cukup tinggi. Tidak ada api. Kucoba
mencari anjing
yang melolong. Tidak ada. Agak lama aku mengintai. Sampai asap itu menipis dan
merendah, lalu
hilang. Kupikir habis sampai sekian.
Kiranya belum. Dari kuburan itu, keluar manusia. Seorang wanita bergaun putih.
Mukanya pun putih
seluruhnya, seputih gaun yang dikenakannya!
Erwin mendengarkan dengan penuh perhatian, walaupun ia
sudah menemukan berbagai macam pengalaman yang sangat
muskil di masa lalunya yang belum mencapai tiga puluh tahun.
�Amang, bahaya apa lagi yang akan menghadang diriku? Aku bukan takut, tetapi kalau
boleh lebih
suka hidup tanpa terlalu banyak ketegangan. Apakah tidak mungkin begitu Amang?�
�Sudah kukatakan tadi mengenai ketenangan hidup!� kata Dja Lubuk. Setelah diam
sejenak ia berkata
pelan, �Aku mencium peristiwa yang tidak kita harapkan Erwin.�
�Oh, kau hebat orang tua,� kata satu suara yang sudah berdiri tidak jauh dari
mereka, la bersama
seorang kawannya.
�Koto, kau mencium bau aneh?� tanya yang seorang.
�Ya, aku tak tahu apakah penciuman kita sama. Tetapi aku mencium bau harimau.
Apakah berani
harimau datang ke sekitar sini?� Suara orang itu menyindir. Dja Lubuk dan Erwin
tahu, bahwa
merekalah yang disindir. Mereka yang dimaksudkan. Kata-kata itu menjelaskan, bahwa
yang datang
berdua itu bukan manusia seperti manusia lainnya. Paling sedikit manusia
berkepandaian tinggi.
Erwin dan ayahnya diam tidak menyahuti. Mereka harap kedua
orang berilmu tinggi itu berlalu saja, karena yang sedang duduk-duduk di sana bukan
orang-orang
iseng yang mencari lawan.
Tiadanya sambutan membuat kedua pendatang yang berpakaian serba hitam itu malah
penasaran.
�Aku rupanya salah sangka Koto,� kata yang seorang, �bukan bau harimau cuma bau
cirik (kotoran)
kucing.� Mendengar itu telinga Erwin yang duluan merasa merah. Itu suatu
penghinaan. Sudah pasti.
Kedua orang padat berisi ini tentu orang-orang kenamaan di lingkungan Bukittinggi,
bahkan mungkin
di seluruh Minangkabau.
Tetapi sikap mencari musuh yang mereka perlihatkan telah
merupakan pertanda, bahwa orang-orang ini juga tergolong orang yang sombong dan
barangkali juga
takabur.
Berkata Dja Lubuk dengan tenang, �Kami hanya menumpang duduk di tanah Tuan-tuan
yang amat
subur dan indah ini. Kami menyampaikan hormat kami, kami memanglah hanya sehina
yang Tuantuan
katakan. Tidaklah pantas kami kecil dan hina ini menjadi lawan Tuan-tuan!�
Yang dipanggil dengan Koto menyambut Tuek, orang-orang ini menyindir kita. Pura-
pura
merendahkan diri, tetapi sebenarnya menantang dengan cara mereka. Mereka masuk
tanah kita tanpa
ijin, kurang ajar pula, apakah kita biarkan mereka pergi tanpa suatu cenderamata?�
Tanpa menunggu
jawaban si Datuek (datuk). Koto melompat dengan kaki melayang di udara menuju muka
Dja Lubuk.
Suara celananya yang berselengkang lebar khas jago-jago pencak dan silat Minang
memecah kesepian.
Kasihan, maksudnya tidak kesampaian. Tanpa menggeser duduk. Lubuk mengangkat tangan
kanannya
menolak tendangan maut yang ditujukan pada dirinya.
Karena sambutan ini tidak disangka sama sekali oleh Koto, maka terkejut dan
terjengkang ke
belakang. Tetapi tidak terhempas, la putar badan ke arah kiri, tangan kanan
menyentuh tanah dengan
sangat ringannya dan tubuhnya sudah berdiri tegak lagi, siap untuk serangan kedua.
�Inyo barani malawan Tuek. Rupo-ruponyo ngarai mananti bangkai!� kata Koto dengan
sombong,
tetapi sudah menilai agak lain
terhadap orang yang dikatakannya akan jadi bangkai guna makanan ngarai.
0odwo0
TUJUH
KOTO bersiap dengan kedua kaki d ipentangkan lebar tetapi sebagai terpaku di bumi
dan berkata
lantang, �Apa lagi, berdirilah.
Lebih terhormat tewas dalam bertarung daripada mati konyol indak malawan,� Koto
mencampur aduk
bahasa Indonesia dengan dialek daerahnya.
�Jangan, Tuan,� kata Dja Lubuk lembut. �Kami kemari untuk menikmati alam Tuan yang
milik Allah,
bukan hendak mengadu nyawa. Tuan lihat, aku sudah terlalu tua sementara anakku ini
masih terlalu
hijau bagi Tuan-tuan!�
Tetapi kata-kata halus ajakan damai tidak menggugah hati Koto dan Datuk untuk
mengurungkan
maksud. Malah Koto berkata keras,
�Kucing busuk. Kok indak ka malawan kan tidak menepis tendanganku!�
�Tapi Tuan sendiri mengatakan, bahwa yang begitu namanya mati konyol yang sangat
hina!� sahut
Dja Lubuk. Tidak kasar, tetapi dengan suara datar. Tidak lagi selembut tadi.
�Kok baitu, malawan namonyo. Indak salah den lai,� hardik Koto yang menuduh Dja
Lubuk melawan
dan tidak salahnya lagi
bertindak.
Tetapi apa yang tidak diduga Koto, Datuk, dan bahkan Dja Lubuk telah terjadi dalam
waktu kurang
dari sepersepuluh detik. Erwin melompat tanpa mengambil ancang-ancang dan
tendangannya telak
mengenai muka Koto yang sedang bersiap untuk menyerang Dja Lubuk. Tidak ada waktu
untuk
mengelak, bahkan tidak mendapat waktu untuk melakukan gerakan refleks bagi seorang
sangat ka
wakan semacam dia. la terjungkal dan kali ini jatuh erdebab dengan punggung
terhempas. Bukan
hanya dia, Datuk pun terkejut. Anak
yang dikatakan ayahnya masih hijau itu ternyata tidak sehijau yang diakui. Tetapi
bagaimanapun
kagetnya tentu saja orang sehebat Datuk tidak akan jadi surut langkah olehnya, la
langsung menyerang
Erwin. Dan pukulan pertamanya tepat mengenai dada kanan
manusia harimau muda itu.
�Biar pun waang harimau sati, aden indak gan-ta,� katanya setelah melihat Erwin
termundur beberapa
langkah, la langsung memukul bertubi-tubi, ada yang kena, ada pula yang ditepiskan
oleh anak Dja
Lubuk. Bahkan ada pukulan Erwin yang masuk ke rusuk dan muka Datuk garang itu.
Koto yang belum bebas dari kagetnya bersiap memperhatikan Dja Lubuk yang juga hanya
sebagai
penonton saja duduk di bangku.
Dia tidak berkata, tidak tegang, hanya matanya memandangi Koto dengan dingin,
sedingin hawa
menjelang subuh itulah.
Pertarungan antara Erwin dengan Datuk bertambah sengit, sebab Datuk pun ternyata
bukan hanya
besar omong melainkan juga besar tenaga. Kecepatan tangan dan kakinya tak kan
mungkin
terkalahkan oleh pesilat Cina mana pun juga, walaupun film-film unjuk hebat Cina
bisa membuat
orang biasa merasa minder dalam adu tenaga.
Erwin kewalahan. Lebih berat menghadapi Datuk daripada
bertempur dengan Ki Ampuh di masa-masa lalu.
�Datuk hebat sekali� kata Lubuk memuji dengan hati tulus. Tetapi dia juga senang
melihat anaknya
dapat lawan tangguh. Dari orang semacam Datuklah didapat pengalaman dan kemudian
mengukur
diri. Sudah dapat menyamai, masih di bawah atau sudah mampu mengatasi. Itulah yang
ingin
diketahui oleh Dja Lubuk. Makhluk yang hidup dua kali itu melihat jelas, bahwa
kedua petarung itu
mempunyai tekad yang sama. Keluar sebagai pemenang. Yang satu menyadari, bahwa ia
dan ayahnya
akan dilempar, ke ngarai kalau sampai kalah. Yang lainnya akan merasa sangat malu
dan hina kalau
ditumbangkan di negeri sendiri, apalagi tadi sudah
mengeluarkan/kata-kata yang begitu sombong dan angkuh.
Berkata Dja Lubuk kepada Koto yang belum bergerak memulai serangan baru, apakah dia
mau
mencoba permainan beberapa jurus
dengan dia yang sudah tua renta. Jagoan dari dataran Minang itu merasa ditantang,
suatu kepantangan
bagi tiap pasilek kawakan untuk menolak.
�Sebenarnya aku kasihan kepadamu harimau bersemangat kucing, tetapi ibarat orang
mengaji yang
harus sampai tamat, maka aku juga akan menyudahi apa yang tadi sudah kumulai.
Tetapi sebelum kau
dan anakmu menemui ajal di bumi kami, aku ingin tahu, apakah yang membawa kalian
sampai
kemari?�
�Menemui Maharaja Ular Sakti di ngarai kalian ini,� jawab Dja Lubuk.
Koto merasa aneh mendengar, la hanya mengetahui, bahwa ular raksasa itu hanya
semacam dongeng,
tak ada orang yang pernah bertemu berhadap-hadapan.
Kata Dja Lubuk �Tuan tentu ingin tahu, apakah kami bertemu.
Malu bertanya gelap di berita. Tuan garang. Biarlah kukatakan. Kami telah bertemu.
Itulah yang
dinamakan rejeki. Tuah dan untung elok berada di pihak kami! Mata beliau seperti
lampu mobil
menyala terang, tetapi berwarna hijau berkilauan. Kalau kalian pergi ke bawah,
barangkali masih akan
melihat bekas tempat beliau lalu!�
Hati Koto goncang. Belum ada pendekar Minang yang berhasil bertemu, walaupun telah
beberapa
banyak mencobanya. Itulah makanya memandang kisah itu hanya sebagai dongeng. Kini
orang luar
datang dan langsung berjumpa. Kalau si tua yang harimau ini tidak berdusta,
pastilah dia orang luar
biasa. Di dalam hati Koto mengakui, patutlah serangan pertamanya tadi sama sekali
tidak
mengejutkannya dan bahkan menepiskannya dengan satu tolakan ringan saja.
Dja Lubuk berdiri, tidak mengambil gaya seperti akan bertempur.
Dia hanya berdiri tenang, menanti apa yang akan datang.
�Bersiaplah hai harimau berupa manusia,� kata Koto.
�Kau hebat. Tuan Koto. Sejak mula tiba tadi kalian telah menyindir kami sebagai
harimau. Itu
tandanya kalian orang-orang
luar biasa. Apa yang Tuan-tuan katakan memang benar. Tanda pintar tetapi juga tanda
kejam. Bukan
kehendak kami menjadi begini, tetapi nasib jualah yang menentukannya. Adakah
manusia dapat
mengelak dari nasib yang sudah ditentukan baginya? Melebihi nabi, melebihi
malaikat, melebihi wali
Allah?�
Mendengar Dja Lubuk menyebut nama Allah, Koto jadi bingung, la tidak menyangka,
bahwa
makhluk-makhluk yang manusia
harimau ini dapat begitu pandai bicara mengenai insan dan Tuhan.
�Serangan Tuan Koto, aku sudah siap!� pinta Dja Lubuk.
�Sudah siap?� tanya Koto heran.
�Sudah sejak tadi. Atau salahkah caraku ini?� tanya Dja Lubuk yang sangat terasa
merupakan ejekan
bagi Koto.
Koto melompat tinggi, hampir tiga meter di udara, tetapi ia berbalik lagi tanpa
menyerang. Dia heran
melihat Dja Lubuk tidak mengubah posisi, seperti tahu, bahwa lompatannya itu hanya
sebagai suatu
manuvre belaka. Tadinya dia mengharapkan Dja Lubuk akan mengambil sikap menyambut
atau
menyerang. Kiranya ia bertenang-tenang saja tiada beranjak dari tempatnya berdiri.
Rupanya orang ini tidak memerlukan persiapan.
Koto bergerak dengan langkah mundur sampai sejauh enam
meter dari Dja Lubuk. Kali ini ia berkata, �Aku akan benar-benar menyerang,
bersiaplah harimau.�
Tetapi Dja Lubuk tetap saja tidak mengadakan persiapan. Seperti meremehkan
peringatan dari orang
gagah itu. Tubuh Koto melayang di udara, gayanya seperti s/ow motion. Dja Lubuk
menekuk lututnya
sedikit, kemudian mengangkat tubuh, bagaikan terbang vertikal tak kurang dari enam
meter di atas
bumi. Di ketinggian itu ia membalik lalu menerkam Koto yang sudah siap
menantikannya di bawah.
Koto tidak percaya pada matanya, tetapi mata itu juga belum pernah menipu dirinya.
Yang turun
menuju dirinya bukan lagi si orang tua tetapi sudah harimau besar dengan kepala
orang tua itu. Ini
tidak masuk akal. Yang
diketahuinya, manusia itu bisa berubah jadi harimau. Semacam jadijadian atau
cindaku. Bukan
manusia dengan tubuh harimau.
Oleh kejut dan heran, Koto tidak ingat untuk menghindar.
�Matilah aku sekali ini,� pikir Koto yang sudah pasrah kepada nasib. Tetapi Dja
Lubuk tidak
menerkam dengan kedua kaki
depannya yang pasti akan mampu mengoyak-ngoyak dan
menamatkan riwayat Koto. la hanya berdiri di hadapan pendekar itu dengan
membentangkan kedua
tangannya.
�Keadaanku ini bukan kemauanku. Tuan,� kata Dja Lubuk kembali dengan kata-kata
lembut, yang
kian membingungkan tetapi juga serta merta membuat pendekar itu bersedih. Makhluk
ini dapat
membunuhnya, tidak membunuh. Dapat berkata kasar, tetapi justru bicara dengan
lembut.
Seperti ada kekuatan yang memerintah, Koto menjatuhkan diri menyusun kesepuluh jari
tanda
mengaku salah dan mohon ampun.
Erwin dengan Datuk masih bertarung.
�Tampar kepalanya dengan tangan kirimu, Erwin,� kata Dja Lubuk. Melaksanakan tidak
semudah
memberi perintah. Setelah bertarung beberapa lama lagi, barulah Erwin mampu memukul
kepala
Datuk dengan tamparan tangan kiri. Dan pesilek kawakan itu serta merta jatuh.
Pemandangan gelap
dan kepala pusing. Rupanya letak kelemahan sang pendekar di pipi kanan dan harus
dipukul dengan
tangan kiri.
Datuk terkejut melihat Koto telah menyusun sembah. Hatinya panas. Mengapa pula si
pengecut ini
mengaku kalah. �Bangkit Koto, bunuh dia!�
�Ampun Datuk,� kata Koto. �Beliau bukan mencari lawan.� Kini Datuk memandang ke Dja
Lubuk.
Baru sekarang pula ia melihat yang tidak pernah diduganya. Sama sebagaimana Koto
juga tidak
menduga. Harimau besar itu mempunyai kepala manusia. Bukan sekedar harimau, seperti
yang banyak
terdapat di beberapa tempat.
Terutama sekali di daerah Kerinci.
Erwin mendekati ayahnya. Mereka memandang Koto dan Datuk.
Bukan dengan muka garang. Sekarang Datuk juga merasa, bahwa
benar-benarlah kedua pendatang yang sangat aneh itu bukan mencari lawan. Dan sama
sekali tidak
punya maksud buruk. Tidak pula pendendam. Kalau mau, mereka dapat membinasakan diri
Koto dan
Datuk tanpa mengeluarkan banyak tenaga lagi. Hanya tinggal pukulan-pukulan
terakhir. Akan jadi
mayatlah mereka di sana.
Akal sehat mendapat kemenangan dalam diri Datuk, la pun
menyusun jari lalu memberi hormat Kini Dja Lubuk dan Erwin juga memberi hormat
dengan cara
yang sama. Kedua orang kawakan Minang itu kian kagum. Sudah banyak pengalaman
mereka di
dalam pertempuran. Di berbagai medan laga. Yang sengaja diatur sebagai tempat
mengukur kekuatan
antar pendekar-pendekar daerah atau di tempat-tempat yang oleh keadaan terpaksa
dijadikan medan
laga.
Yang begitu hanya terjadi kalau dua orang atau kelompok yang bermusuhan tiba-tiba
bertemu dan
sama-sama hendak
memperlihatkan keunggulan masing-masing. Datuk dan Koto sudah banyak sekali
berhadapan dengan
lawan. Secara persahabatan guna menambah pengalaman masing-masing, sekaligus
menilai siapa
yang lebih unggul. Berkali-kali pula sudah bertarung dengan kelompok yang memang
bermusuhan
dengan mereka. Tidak selalu mereka menang. Dan kalau kalah, mereka mendapat
perlakuan yang amat
menjatuhkan martabat mereka. Senjata mesti
diserahkan, begitu pula destar yang merupakan mahkota di kepala tiap pesilat.
�Kami mohon maaf, telah bersikap tidak sopan terhadap Tuan-tuan yang seharusnya
kami perlakukan
sebagai tamu,� kata Datuk.
Kesadaran dan sportivitasnya masih boleh dipuji.
�Kesalahpahaman biasa terjadi di antara orang-orang yang belum saling kenal,� kata
Dja Lubuk yang
berubah kembali jadi manusia.
�Lagi pula Tuan-tuan hanya menjaga agar negeri Tuan-tuan jangan sampai dinodai oleh
pendatangpendatang
yang hendak merusak!�
Kata-kata Dja Lubuk kian menambah rasa malu pada Koto dan Datuk. Belum pernah
mereka bertemu
dengan makhluk-makhluk yang mempunyai hati serendah ini.
�Sudikah Tuan-tuan menerima kami sebagai murid? Kami ini
orang-orang kasar yang masih harus banyak belajar. Belajar adat dan belajar ilmu!�
kata Datuk. Tetapi
sebagai biasa, Dja Lubuk menolak dengan mengatakan, bahwa ia bukan guru. la dan
anaknya hanya
petualang-petualang yang bernasib malang.
�Apakah yang Tuan-tuan tuntut dari kami? Kami wajib membayar hutang.� Datuk dan
Koto
menyangka, bahwa sekurang-kurangnya Dja Lubuk akan meminta destar dan pisau yang
selalu terselip
di pinggang. Yang sudah biasa dibasahi oleh darah lawan-lawan mereka yang
ditundukkan. Mungkin
meminta supaya mereka
menanggalkan seluruh pakaian. Hanya boleh bercelana dalam saja.
Supaya semua orang tahu, apa yang telah terjadi atas diri mereka.
�Tak ada yang kami pinta. Kami bersyukur, di antara kita tidak sampai terjadi
pertikaian yang
berkepanjangan. Betapa sayang, kalau sampai ada di antara kita yang harus berpisah
dengan nyawa.
Kami hanya mohon ijin untuk diperkenankan meneruskan
perjalanan kami!� kata Dja Lubuk.
Mendengar ini kedua pendekar yang malu, bingung dan amat
terharu itu secara bersamaan menyalam Dja Lubuk dan anaknya.
�Tuan, limpahkanlah sedikit sifat mulia yang ada pada diri Tuan-tuan, supaya kami
mulai kini
dijauhkan dari kesombongan dan keangkuhan!� kata Datuk dan Koto.
Dja Lubuk memegang tangan anaknya. Datuk dan Koto terkejut heran, karena keduanya
mendadak
hilang dari pandangan.
Sesungguhnya mereka hanya pergi meneruskan perjalanan.
�Kau harus menemui Mei Lan, anakku. Kau telah berjanji kepadanya,� kata Dja Lubuk.
�Dia tidak
akan tentram sebelum melihat kau kembali.�
0odwo0
DELAPAN
LENYAPNYA Dja Lubuk dan anaknya, bukan hanya
mengherankan, tetapi sangat mengecewakan Datuk dan Koto. Sikap para tamu yang
begitu lembut dan
pemaaf terhadap mereka yang mulanya sangat sombong, kasar dan angkuh telah membuat
kedua
pendekar itu merasa sangat berhutang budi. Bukan hanya nyawa mereka dibiarkan utuh
menunggui
diri, tetapi secara langsung mereka mendapat pelajaran bagaimana sebaiknya sifat
dan
kelakuan insan-insan yang kesemuanya sama-sama hamba Allah di permukaan bumi ini.
�Kita harus menemukan beliau-beliau Koto,� kata Datuk,
�walaupun kita terpaksa keluar dari daerah ini. Tidak selesai kalau kita tidak
mendapat tanggapan.
Kita tadi mohon limpahan sifat-sifat yang baik. Beliau pasti akan memenuhinya,
tetapi tentu tidak
dengan cara semudah itu!�
Tiap manusia, siapa pun dia ada kelebihan dan ada pula
kekurangannya. Begitulah Koto dan Datuk yang seperguruan pada seorang guru yang
dikenal sakti di
daerah Bukit Apit punya pula beberapa ilmu yang tidak semua orang pandai memiliki.
Sambil menengadahkan kedua belah tangannya dan menyebut
nama gurunya �Inyiek Jambang,� Koto membaca mantera sambil mengikutkan gerak kaki
sesuai
kehendak kaki itu sendiri.
�Beliau-beliau tidak kelihatan, tetapi masih ada di sekitar sini.
Setidak-tidaknya belum jauh. Kau cium?� tanya Datuk yang juga membaca mantera
seperti rekannya.
Memang benar, sebagaimana ketika baru tiba tadi mereka mencium bau harimau, kini
pun mereka
mencium bau itu kembali. Dan kehebatan mereka mencium
diimbangi oleh hadirnya kembali Dja Lubuk dan Erwin sambil bertanya:
�Kupuji ketajaman hidung Tuan-tuan. Tetapi mengapa Tuan-tuan begitu ingin bertemu
kembali
dengan kami?�
Sesuai adat, kedua pendekar terkenal kawakan itu mengatur sembah sambil berkata:
�Kami tadi telah
berlaku kurang ajar. Tetapi Inyiek sangat ber-murah hati, begitu juga anak Inyiek.
Bolehkah kami
mengetahui nama Inyiek yang mulia?�
Dja Lubuk juga mengatur jari tanda membalas hormat.
Jawabnya: �Jangan sebut aku dengan yang mulia. Sebab aku dan keturunanku semua
bukan orang
mulia. Kami hanya dusun tak bermakna dengan nasib serupa ini pula!�
�Maafkan kami Inyiek. Bagi kami kemuliaan seseorang tidaklah selalu terletak pada
keturunan,
melainkan dan terutama pada sifatnya. Sifat-sifat itu ada pada Inyiek dan sukar
didapat pada
kebanyakan orang yang dianggap mulia karena darah dan
keturunan!� kata Datuk.
Dja Lubuk tertawa. dia bisa menerima tafsir kata mulia para pendekar Minang itu.
Dalam hati ia
bersyukur, bahwa orang-orang ini tidak terlalu buruk. Yang mau melihat dan mengakui
kesalahan atau
kesilapan masih termasuk orang baik dan mungkin akan menjadi orang yang sangat baik
di kelak
kemudian hari.
�Apa yang dapat kulakukan untuk Tuan-tuan?� tanya Dja Lubuk.
�Berilah kami ijin mengikuti perjalanan Inyiek selama tujuh hari.
Limpahkan apa yang boleh disedekahkan kepada kami yang masih amat bodoh ini!� kata
Datuk
merendah.
�Mengikuti aku, walaupun hanya sehari berarti berjalan dengan makhluk yang sudah
mati!� sahut Dja
Lubuk. Kedua pasilek itu tampak tak percaya.
�Cuma ditakdirkan aku sewaktu-waktu bangkit kembali. Bukan untuk menyusahkan
orang,� dan tanpa
ditanya Dja Lubuk menerangkan lagi: �Untuk anakku ini. Yang dalam hidupnya selalu
dilanda badai,
walaupun ia selalu berusaha mengelakkannya. Itulah yang dinamakan nasib. Tapi
jangan kalian pikir
anakku ini pun sudah pernah mati pula, la hampir sama dengan Tuan-tuan!�
�Maksud Inyiek, kalau kami boleh batanyo?� kata Koto.
�Dia tidak sesempurna kalian!� �Kami jadi semakin tidak paham.
Sudilah Inyiek menjelaskan,� pinta Datuk.
�Tak penting. Kalian manusia sempurna. Anakku tidak. Kalian telah melihat aku
tadi,� kata Dja
Lubuk. Tanpa dia memandang ke
bumi. Terharu. Kedua pendekar itu kira-kira mengerti, walaupun belum yakin betul,
apakah tafsiran
mereka benar.
Dan mereka tidak berani bertanya lagi mengenai Errwin. Akan tidak sopan. Bisa
melukai hati orangorang
budiman itu.
Tetapi Koto beralih ke hal lain. �Kami yang masih bodoh akan bahagia sekali kalau
boleh mengetahui
nama Inyiek. Untuk kami sebut manakala kami terjepit!� Dia berterus terang,
walaupun Dja Lubuk
sama sekali tidak pernah menggambarkan bahwa ia akan sudi membantu kalau
dibutuhkan.
�Tuan bijak bersari. Seperti semua cendekiawan Minang. Bijak-bijak dalam berkata,
bijaksana dalam
berbuat!� kata Dja Lubuk, sementara Erwin sejak tadi hanya mendengarkan. Diam-diam
dia belajar
mengenai sifat pendekar daerah ini. Yang bisa beringas, tetapi juga bisa memulihkan
keadaan
kembali.
�Kami tidak bijak Inyiek. Kalau kami bijaksana tidak akan terjadi sengketa yang
seharusnya tidak
pernah ada. Itulah bukti bahwa kami masih bodoh. Ceroboh dalam kata, ceroboh pula
dalam
perbuatan!�
Dja Lubuk menyebutkan namanya. Juga nama anaknya yang
amat sederhana itu. Pendekar-pendekar Minang itu pun
menyebutkan nama. Datuk nan Budiman dan Bahar Sutan
Mangkuto.
Ketika Koto dan Datuk mengatakan siapa guru mereka. Dja
Lubuk mengangguk-anggukkan kepala sambil menerangkan, bahwa dia selalu mendengar
nama besar
yang terkenal sampai ke
Mandailing itu. �Beliau orang saleh,� kata Dja Lubuk. �Tak pernah mencederai
sesamanya. Nyamuk
yang menggigit dihalaunya dengan hembusan. Tidak sampai hati beliau membunuh!�
Apa yang dikatakan Dja Lubuk memang benar. Begitulah sifat-sifat Inyiek Jambang
yang sudah tiada,
�tetapi selalu jadi sebutan.
Secara gaib dan tidak sesuai dengan hukum logika biasa, mendadak berdirilah di sana
seorang
berpostur tinggi, janggut putih panjang dengan misai lebat melengkung ke bawah,
sama dengan misai
Dja
Lubuk. Pipinya agak cekung matanya tidak garang tetapi
memancarkan sinar yang membuat manusia biasa tak mampu
menentangnya, la berbaju teluk belanga putih dengan celana model pesilat berwarna
hitam, kain
sarung Bugis tersilang dari bahu kanan ke pinggul kiri. Di kepalanya yang kenal
dengan pisau cukur
kalau agak panjang sebuah songkok model Aceh yang hanya tampak
ujungnya karena dibalut pula dengan sebuah handuk besar yang selalu putih bersih
dan tanpa setitik
noda pun.
Dja Lubuk dan Erwin sendiri yang punya begitu banyak ilmu pun tak bebas dari rasa
terkejut. Dja
Lubuk dan Inyiek Jambang berpandangan, sama-sama tersenyum dan bersalaman. Dua
insan yang
telah meninggal berjumpa seperti dua orang biasa yang masih hidup normal. Tetapi di
antara
keduanya toh ada perbedaan yang tidak sedikit, namun tak terlihat oleh mata kasar.
Kalau Inyiek
Jambang merasakan tangan yang tak ubahnya tangan manusia
hidup, dapat dipegang, dapat diraba maka yang demikian tidak dirasa oleh Dja Lubuk,
la melihat dan
menjabat tangan guru sakti Bukit Apit itu, tetapi tidak merasa apa-apa.
�Memang kita tak sama Dja Lubuk. Tetapi hati kita tak berbeda.
Dja Lubuk bangkit dalam ujud seperti dulu karena ananda yang amat dicintai. Aku
tidak dapat seperti
itu. Tetapi ada satu hal yang tak berbeda. Aku pun mencintai tiap hamba Allah.
Ingin kedamaian dan
ketentraman di antara semua manusia. Tetapi keinginan kita tidak akan tercapai ama
manusia masih
mempunyai hati sirik, serakah dan tidak sudi menerima kebenaran!� kata Inyiek
Jambang.
Lama mereka berbeka-beka, tentang dunia yang fana dan dunia lain yang baqa. Inyiek
Jambang juga
berkata, bahwa Erwin banyak menderita rli dalam hidupnya, masih banyak lagi
tantangan yang
menghadangnya. Tetapi Erwin telah dan masih akan banyak
menyelamatkan manusia, la meletakkan tangannya di atas kepala Erwin. Terasa dingin.
Memang lain
dengan elusan tangan ayahnya.
Lalu kepada Dja Lubuk ia meminta agar suka memberi sesuatu, apa saja, untuk kedua
muridnya Datuk
dan Koto. Pelajaran yang diberikan Dja Lubuk dengan kata-kata dan cara menghadapi
mereka
telah merubah mereka jadi orang-orang yang tidak lagi akan seburuk tadinya. Merasa
setaraf dengan
guru besar sakti itu Dja Lubuk menerima.
Erwin mencium tangan Inyiek Jambang, walaupun ia tidak
merasa menyentuh sesuatu dan memohon sesuatu yang dapat
dikaruniakan kepadanya.
�Kau sudah mempunyai banyak Nak,� kata Inyiek. �Sebenarnya tak ada yang luar biasa
padaku untuk
diturunkan kepadamu, walaupun aku suka sekali untuk memenuhi keinginanmu. Tetapi
aku
mempunyai ini sekedar untuk kenang-kenangan bahwa kau
kupandang sebagai cucuku. Cucu orang tua yang pernah ada di tanah Minang ini,� lalu
Inyiek Jambang
memberi Erwin sebuah tasbih.
la mengucapkan selamat jalan kepada Dja Lubuk dan Erwin
dengan permohonan untuk bersedia disertai oleh kedua muridnya.
Lalu berjalanlah kedua manusia harimau dan kedua pendekar itu.
�Kami akan ke Palembang,� kata Dja Lubuk yang menambahkan bahwa ia tidak akan turut
sampai ke
kota itu. Mengantar Erwin ke perbatasan.
�Ijinkanlah kami turut Tuan,� pinta Datuk dan Mangkuto.
Dja Lubuk mengangguk dengan menerangkan, bahwa mereka
hanya akan berjalan kaki dan itu cukup jauh. Tetapi kedua pendekar itu, walaupun
heran mendengar,
tetap mau ikut. Sekaligus apakah mereka dapat menyamai Dja Lubuk dan anaknya
ataukah nanti
manusia harimau Mandailing itu akan memperlihatkan hal-hal baru yang belum dapat
mereka
ramalkan.
Mereka mengambil jalan pintas sehingga dalam tempo tidak lama tiba di Solok lalu
menuju Sawah
Lunto. Dalam perjalanan di daerah yang cukup banyak binatang buasnya inilah, Koto
dan Datuk
mempersaksikan apa yang belum mereka lihat. Beberapa kali mereka bertemu dengan
harimau dewasa
yang besar yang
mengejutkan dan mengecilkan semangat Koto dan Datuk, karena
mereka tidak dipersiapkan guru untuk menghadapi harimau,
walaupun mereka punya kepandaian pencak dan silat yang sangat tinggi. Anehnya tidak
ada satu pun
dari harimau itu yang
menunjukkan amarah apalagi tanda-tanda mau menerkam. Mereka menyingkir, memberi
jalan kepada
Dja Lubuk yang jalan di depan.
Ada di antaranya yang sujud memberi hormat.
Dalam hati Koto dan Datuk timbul keinginan amat besar untuk nanti mohon diberi ilmu
penunduk
harimau kepada Dja Lubuk atau anaknya Erwin. Tetapi tatkala pikiran itu timbul,
mendadak mereka
semua mendengar geram seekor harimau. Hanya geramnya, sang raja rimba tidak
menampakkan diri.
Mereka semua yakin, bahwa tidak akan terjadi suatu apa pun, karena dua orang yang
ditakuti harimau
telah memperlihatkan kelebihan mereka. Dja Lubuk dan Erwin sendiri pun tidak
kuatir.
Juga tidak ada firasat.
Tetapi tiba-tiba harimau itu menggeram lebih keras, entah apa maksudnya. Melawan
kekuatan Dja
Lubuk yang gaib atau meminta supaya mereka jangan melewati kawasannya. Tetapi
mereka hanya
mau lalu, tidak punya niat lain.
Tiba-tiba harimau yang hampir sebesar lembu dewasa itu
memperlihatkan diri. Belum pernah Dja Lubuk dan Erwin apalagi kedua kawan mereka
melihat raja
hutan sebesar itu.
la tidak tunduk oleh tatapan Dja Lubuk. Di situ manusia harimau itu mengetahui,
bahwa harimau ini
bukan harimau biasa. Bahkan barangkali bukan piaraan seseorang. Untuk pertama kali
selama riwayat
hidup dan setelah matinya Dja Lubuk merasa apa pun yang dihadapinya ini, punya
sesuatu di dalam
dirinya yang membuat dia merasa kuat kuasa dan tidak mau tunduk kepada siapa pun
yang punya
kekuatan melemahkan semangat perlawanannya.
�Kami hanya menumpang lewat, mengambil jalan pintas,� kata Dja Lubuk, seperti
biasanya lembut
karena tidak ingin mencari lawan. Harimau itu mendengus keras. Matanya tetap
memandang lurus ke
mata Dja Lubuk, sehingga orang asal Tapanuli itu kian
menyadari bahwa ia berhadapan dengan harimau yang ingin
bertarung. Mau menguji kekuatan sampai dimana benarkah
kehebatan orang Mandailing yang berani masuk kawasannya itu.
Yang sudah menundukkan dua pendekar dan bersahabat dengan Inyiek Jambang. Dia belum
dikalahkan dan dia tidak sebersahabat Inyiek Jambang.
Mendadak harimau sangat besar itu bergerak ke arah kanan, melewati Dja Lubuk yang
berdiri tenang
di tempatnya. Kini raja rimba itu menghadapi dua pendekar bersama Erwin. Mungkin ia
mau memilih
lawan yang tidak sekeras Dja Lubuk dulu. la menatap Erwin yang juga menujukan
matanya ke si
harimau. Tetapi ia segera merasa, bahwa sinar si punya kawasan lebih kuat. Harimau
itu bersiap-siap
untuk menerkam. Koto dan Datuk tidak dapat melawan rasa cemas. Jelas yang seekor
atau yang satu
ini lain. Menantang.
Harimau melompat seakan-akan hendak menerkam Erwin, tetapi di udara ia merubah
sasaran, menuju
Datuk, yang mungkin
diketahuinya tidak punya kekuatan khusus terhadap dirinya. Tetapi mata Erwin
secepat kilat
menangkap rubah gerakan, la
menghadang, melindungi Datuk, sehingga harimau yang lihay itu terbentur pada
pukulan Erwin. Raja
rimba itu tidak terpental. Erwin lah yang terjangkang ke belakang. Hanya bisa cepat
mengelakkan
kuku-kuku sang raja dengan menggerakkan tubuhnya ke arah kiri.
Terkaman yang meleset ini membuat si raja hutan kian marah, la menyerang lagi, kali
ini Koto yang
dijadikan sasaran. Pendekar itu terpekik, tetapi ia masih luput dari maut. Juga
karena Erwin cepat
mengambil tindakan, la menangkap kaki harimau yang sedang menerkam ke arah Koto.
Kaki itu
dipelintir dan ditarik Erwin sekuat tenaga, membuat binatang ganas dan sangat kuat
itu menggeram
karena menjadi kian marah. Dja Lubuk hanya memperhatikan. Mau melihat sampai dimana
kemampuan anaknya. Kekuatan makhluk-makhluk perkasa selalu dicoba oleh yang merasa
lebih kuat.
0odwo0
SEMBILAN
DJA LUBUK berpikir, siapakah kiranya yang punya harimau ini.
Ataukah dia seseorang yang oleh suatu sumpah atau kutukan menjadi harimau penuh di
luar
kemauannya. Apakah dia ini pun nanti akan berbalik punya sikap bersahabat seperti
Datuk dan Koto
yang pada mulanya menyerang dia dan anaknya, karena dianggap punya keberanian masuk
ke kawasan
mereka tanpa minta ijin mereka terlebih dahulu? Tetapi Datuk dan Koto akhirnya jadi
sahabat karena
mereka tak kuasa melawan Dja Lubuk dan Erwin.
Apakah ia dan anaknya dapat mengalahkan penguasa daerah ini?
Belum tentu. Bukan saja belum tentu dapat dikalahkan.
Kemungkinan mereka tidak akan keluar dari tempat ini juga ada.
Tak ada yang punya kekuatan tak terbatas di dunia ini, siapa atau apa pun. Sebab,
yang mempunyai
tenaga tanpa ada batasnya hanya DIA Yang Satu.
Harimau itu marah sekali. Dia pasti telah selalu bertarung dengan sesamanya untuk
menentukan siapa
yang raja. Boleh jadi pula dengan orang-orang gagah yang berani melanggar
kekuasaannya.
Ataukah dia kadang-kadang masuk kampung untuk mengadu
tenaga dengan yang dinamakan jago harimau-harimau pilihan punya kebiasaan mengintip
orang
berlatih atau berguru silat.
Melihat cara dan gaya mereka menyerang serta mengelakkannya.
Harimau yang pintar sangat mengetahui, bahwa kalau ia sampai berhadapan dengan
pandai silat
kawakan, maka ia benar-benar harus punya ilmu pula. Mereka tahu, bahwa pandai silek
yang punya
semangat tinggi, tidak mudah dikalahkan. Mereka bisa meletihkan harimau dengan
kepintarannya
mengelakkan serangan. Kalau
harimau letih kian marah, maka serangannya sudah tidak teratur lagi. Jika sudah
sampai begitu, maka
terbukalah kesempatan bagi si pendekar untuk membunuhnya dengan pisau yang tak
pernah
tertinggal di rumah atau di gelanggang. Jantungnya akan tembus atau sepanjang
perutnya akan robek.
Kalau sampai begitu, maka betapa besar pun kekuatannya, ia akan tewas. Kematian
harimau besar
oleh keunggulan seorang anak manusia akan menjatuhkan citra raja rimba. Akan
berkurang rasa segan
manusia kepada mereka.
Selama dia berhadapan dengan lawan, belum pernah mengalami kakinya ditarik dari
bawah ketika dia
sedang melayang di udara.
Karena tarikan ini jadi bertentangan dengan arah lompatnya maka terasa sakit.
Apalagi dipelintir pula.
Tahulah ia bahwa lawannya ini, meskipun kelihatan masih sangat muda mempunyai
sesuatu yang
jarang dimiliki oleh pendekar lain. Dan ini harus benar-benar diperhitungkan oleh
sang harimau yang
mau menjaga martabat bangsa dan kawasannya.
Dia yang rupanya bisa menahan diri, dia tidak langsung
menerjang lagi. la pergi beberapa meter jauhnya dari manusia-manusia itu. Dia
berdiri di sana
menghadapi Erwin, karena hanya dia yang menahan dan menyerang. Yang lainnya tidak
dimasukkannya dalam perhitungan. Diam-diam dia juga kagum pada sikap mereka. Ada
empat orang,
tetapi hanya satu yang bertarung. Yang lain tidak mengeroyok. Padahal mata tajamnya
melihat jelas
bahwa yang tua itu punya Umu dan yang dua orang lainnya pasti pendekar Minang. Itu
mudah
dikenalnya, karena sedaerah atau katakanlah senegeri.
Dja Lubuk dan Erwin juga tahu, bahwa harimau itu sedang
berpikir dan berhitung, cara apa yang terbaik dilakukannya. Mundur berarti
pengecut. Meneruskan
perkelahian tidak boleh sembarangan. Yang dihadapi jelas bukan lawan yang mudah
mengalah bahkan
mungkin tidak mudah atau tidak dapat dikalahkan. Karena badannya luar biasa besar,
sehingga
menjadi yang amat dihormati bangsanya di kerajaannya itu, ia merasa wajib
mempertahankan
martabatnya, la harus mampu mengalahkan para pendatang itu. Dia tahu resikonya.
Mungkin harimau
itu pun berharap supaya orang-orang mengambil langkah mundur lalu meneruskan
perjalanan.
Dalam hal demikian barangkali ia akan membiarkan. Dia tidak kalah, malah sudah
memaksa mereka
pergi.
Celakanya, Erwin tidak mau berspekulasi. Khawatir harimau itu malah jadi menyangka
mereka takut.
Harimau senang menerkam orang takut. Dari cara harimau itu menyerang, dapat
diketahui bahwa dia
sangat mengenal orang yang paling lemah
mempertahankannya. Makanya dia memilih Datuk dan Koto.
Memang dia bukan harimau biasa. Dia pasti punya kelebihan dari harimau lain. Apakah
dia berasal
dari manusia atau memang harimau liar, yang pasti dia banyak isi.
Erwin meminta Datuk dan Koto menyingkir ke belakang ayahnya.
Dan kedua orang itu menurut, karena itulah yang terbaik.
�Kami hanya mau menumpang lalu Rajo Ba-lang, tetapi kalau Rajo tidak mengijinkan,
silakanlah
membinasakan kami,� kata Erwin.
Mungkin harimau itu mengerti apa yang dimaksud Erwin yang sambil berkata mengambil
sikap untuk
menyambut serangan.
Si harimau masih berdiri saja, seperti ragu-ragu, atau
menimbulkan kesan pada lawannya bahwa dia ragu-ragu. Supaya lawannya agak lengah.
Menerkam
musuh yang lengah jauh lebih mudah dari yang sedang bersiap siaga.
�Aku menunggu, kalau itu yang Rajo ingini,� kata Erwin. Kini menantang.
Harimau itu mengeram, rupanya dia menahan emosi. Supaya
jangan menerkam dulu. Menanti kesempatan yang agak baik. Dan untuk itu dia
berpikir.
Pelan-pelan harimau itu membalik, seperti hendak pergi. Dan Erwin juga menyangka
bahwa dia lebih
suka memilih jalan damai.
Seperti Datuk dan Koto di Panorama tadi.
Tetapi pada detik-detik berikut, raja rimba itu mendadak
berputar, merendahkan badan lalu melompat ke arah Erwin. Yang memang tidak
menyangka harimau
punya akal selicik itu. Dia belum pernah menemukan lawan seperti ini. Dja Lubuk dan
kedua
pendekar Minang juga kaget, karena mereka pun menyangka,
bahwa harimau itu tidak ingin meneruskan pertarungan.
Erwin melempar diri ke kiri, tak urung kaki depan kanan hewan itu sempat juga
menampar ke arah
dirinya. Erwin yang tadi sudah mengenal cara menyerang si perkasa hutan sempat pula
menangkap kaki kanan itu di atas kuku, pasti pergelangan kakinya
itu. Sekali dia pelintir, sehingga binatang itu hilang keseimbangan.
Dengan tenaga dalam Erwin menolakkan binatang itu sehingga terhempas berdebab ke
bumi. Dja
Lubuk menarik napas lega dan bangga. �Hebat kau anakku,� gumamnya. �Sudah melebihi
aku.�
Sang raja hutan bangkit dengan hati penuh amarah dan
dendam, tetapi sekaligus tambah menyadari bahwa dia berhadapan dengan lawan yang
sangat tangguh.
Yang benar-benar di luar perhitungannya. Sekali lagi, tanpa diduga oleh Erwin dan
Dja Lubuk,
harimau itu melangkah ke arah lain lalu melompat ke tubuh Koto yang berdiri di
belakang Dja Lubuk.
Tetapi sekali lagi ia kecewa, karena Dja Lubuk segera menarik Koto sehingga si raja
rimba menerkam
tempat kosong. Koto gemetar, begitu pula Datuk. Kedua orang ini lebih takjub,
karena si harimau
dengan sengaja mencari mangsa yang diyakininya dapat dibinasakan. Kedua pesilek itu
kini
menganggap bahwa harimau yang seekor ini pun bukan harimau biasa. Jangan-jangan
seperti Dja
Lubuk yang sudah mereka
saksikan sendiri bagaimana dia dari manusia biasa berubah jadi harimau berwajah
manusia. Tetapi di
samping rasa takut, mereka juga masih punya harga diri. Bagaimanapun mereka
pendekar yang punya
nama cukup tenar. Akan sangat memalukan, kalau hanya berlindung pada Dja Lubuk dan
Erwin.
Mereka harus melawan, walaupun harus ditebus dengan nyawa. Rasa malu dan harga diri
inilah yang
membuat kedua murid Inyiek Jambang sekarang
mengambil sikap untuk membela diri. Si raja hutan melihat. Kedua pendekar
senegerinya itu telah
bersiap dengan jarak satu meter di antara masing-masing. Kedua-duanya pula memegang
pisau,
tandanya punya hasrat untuk merobek dada atau perut si harimau kalau terbuka
kesempatan untuk itu.
Lain yang terpikir oleh Dja Lubuk dan Erwin. Karena kedua orang itu dipercayakan
Inyiek Jambang
kepada mereka untuk turut sama berjalan, mereka tidak mau sampai terjadi sesuatu
atas diri Datuk dan
Koto.
Bagi si harimau, membinasakan seorang raja pun rupanya sudah akan lumayan daripada
ia mungkin
tewas tanpa menimbulkan
cedera.
�Bunuh Koto, bunuh,� teriak Datuk ketika harimau itu mengambil ancang-ancang lalu
melompat
menuju Datuk, yang cepat
merendahkan diri sementara Koto menusuk dan menarik pisaunya ke samping tubuh si
harimau.
Harimau itu menggeram keras, tetapi luka itu tidak cukup dalam untuk mengurangi
tenaganya. Itu
sudah suatu prestasi bagus dan menambah semangat Koto. Datuk juga besar hati karena
ia dapat
mengelakkan serangan si harimau. Kalau kaki binatang dengan kukunya yang sangat
tajam dan kuat
sampai dapat merobek muka atau bahunya maka dia akan binasa, setidak-tidaknya cacat
untuk seumur
hidup.
Datuk dan Koto cepat mengambil posisi menghadapi sang
harimau kembali, sebab tahu bahwa mereka kini yang jadi sasaran amarah. Raja rimba
itu pasti
bertekad untuk membunuh mereka, la tidak segera menyerang, khawatir akan terjadi
seperti tadi lagi.
Meleset, malah ia yang terluka. la mengendurkan otot-ototnya berjalan setengah
lingkaran. Datuk dan
Koto menyesuaikan gerak langkah mereka dengan si raja rimba. Dja Lubuk dan Erwin
mundur untuk
memberi ruang gerak kepada kedua pendekar yang telah melonjak semangatnya itu. Demi
kehormatan
dan terutama demi keselamatan.
Pada waktu itu pula terjadi keanehan, sekurang-kurangnya bagi Koto dan Datuk. Di
sana sini telah
berdiri harimau-harimau yang tentu baru datang. Dan mereka hanya memandangi,
mungkin
dengan perasaan tegang. Entah mengharapkan kemenangan si raja entah mendoakan
kematiannya,
kalau ia raja yang tidak disukai. Di dunia manusia dan hewan sama saja. Yang jahat
dan serakah
dibenci, diharapkan lekas mampus. Yang disayangi dan dihormati hanya yang adil dan
punya timbang
rasa terhadap yang tidak sekuat dia.
Setelah mendapat posisi yang baik harimau itu berdiri tenang dulu, memandang sabar
ke depan dan
juga ke sekitarnya sehingga jelas baginya, bahwa anggota masyarakat daerahnya
sedang
menonton. Dia yang tahu dirinya disukai atau tidak, juga menyadari
apa yang diharapkan oleh harimau-harimau lain itu. Mereka semua akan tambah takut
dan tunduk
kepadanya kalau dia keluar sebagai pemenang, tetapi ia akan dipencilkan dan diejek
kalau kalah dalam
pertarungan.
Ketika dia bersiap untuk menerkam, Erwin pun sudah mengubah tempatnya berdiri,
bersiap siaga.
Ketika raja rimba yang amat marah itu melompat ke arah Koto, ia pun turut melompat.
Kecepatannya melebihi si harimau, la memagutkan tangannya erat-erat ke leher raja
hutan itu, ketika
ia masih di udara, sehingga Koto sempat mengelak dan bahkan merunduk menikamkan
pisaunya ke
perut si harimau. Untung tikaman itu tidak mengenai kaki Erwin yang kedua-duanya
menjepit perut si
harimau dengan kuat, supaya ia jangan sampai dilemparkan oleh binatang yang tidak
menyangka akan
dapat serangan secara itu. Kedua tangan Erwin dicekikkan dengan seluruh tenaga
ditambah tenaga
dalam.
Ketika tiba di tanah harimau itu mengerahkan segenap tenaga untuk membebaskan diri,
tetapi tidak
berhasil. Cekikkan Erwin membuat harimau itu mulai sulit bernapas, tambah sesak
karena cekikan itu
mengencang terus.
Datuk dan Koto mau datang membantu, tetapi Dja Lubuk
melarang.
�Tidak adil kalau dia dikeroyok. Biar mereka selesaikan berdua!�
kata si manusia harimau tenang. Harimau-harimau yang jadi penonton kelihatan tegang
melihat
adegan yang belum pernah mereka saksikan. Mereka pasti selalu melihat pertarungan
antar sesama
harimau yang saling bermusuhan atau berebut betina, pun mungkin pernah melihat
bangsanya
bertempur dengan manusia.
Yang dibekali ilmu atau yang tidak berdaya sama sekali. Tetapi belum pernah melihat
seorang
manusia melompati harimau yang sedang menerkam lalu mencekik lehernya sehingga raja
yang
terkenal sangat kuat itu melemah.
Inilah pertama kali Erwin mengeluarkan seluruh kekuatan
tersembunyi yang ada, yang hanya pada saat seperti itu pula baru dapat dikerahkan.
Harimau itu masih
berdaya upaya membebaskan
diri. Dengusnya pun sudah melemah, kemudian dia tak melawan. Di waktu itu Erwin
bukan
mengetatkan cekikan, tetapi malah
melonggarkannya. Datuk dan Koto datang dengan pisau terhunus, tetapi Dja Lubuk
melarang. Jangan
membunuh penguasa yang
sudah tidak berdaya itu. Si harimau pun tahu rupanya bahwa lawannya itu tidak
menghendaki
nyawanya. Dengan begitu dia pun sadar, bahwa ia masih hidup karena diperkenankan
hidup. Mungkin
di dalam hati ia malah minta ditewaskan saja karena malu pada masyarakat
sebangsanya. Tetapi ia
tidak dapat mengatakannya.
Yang amat mencengangkan Datuk dan Koto adalah tindakan
Erwin selanjutnya, la memberi minum binatang itu dari botol berisi air putih yang
dibawanya untuk
persediaan di jalan. Dja Lubuk senang memandangi sikap anaknya yang sama dengan
dia, penuh kasih
sayang kepada tiap makhluk yang dikarunia nyawa oleh Tuhan. Yang memberi hak hidup
bagi tiap
insan dan makhluk.
Setelah Erwin dan Dja Lubuk mengelus-elus kepala si raja rimba yang dikalahkan.
Datuk dan Koto
turut berbuat sama, walaupun belum mengerti benar, mengapa binatang yang begitu
ganas dan terangterangan
hendak membunuh mereka masih diberi
kesempatan untuk hidup. Dan dengan begitu punya kesempatan lagi untuk melakukan
pembunuhan
terhadap orang-orang tiada berdosa.
Di Sawahlunto mereka mendapat cerita dari seorang yang sudah sangat lanjut usia,
bahwa memang di
sana ada seekor harimau luar biasa besar, yang selalu murka, la sangat membenci
manusia, karena dia
pun asalnya manusia yang jadi harimau karena
perbuatan manusia juga. Namanya dulu si Kalek.
0odwo0
SEPULUH
SEMASA hidupnya si Kalek ini seorang pesilat dan pendekar terkenal juga di daerah
Sawahlunto
sampai ke Solok dan Sijunjung.
Tetapi dia hanya seorang miskin. Sudah sejak kecilnya begitu.
Bahkan turun-temurun. Yang diketahui orang, sejak kakeknya memang mereka keturunan
orang
miskin. Dari dulu anak beranak hanya berkuli di ladang, sawah atau kebun orang.
Mereka rajin, tetapi
penghasilan mereka hanya cukup untuk makan dan
barangkali setahun sekali ganti pakaian baru. Kakeknya juga pesilat, juga terkenal
ke daerah sekitar, la
bahkan guru, tetapi tidak menentukan bayaran bagi yang belajar padanya. Yang
belajar pun hanya
anak-anak tidak mampu. Sesekali memberinya beras atau sedikit uang. Dan kakek si
Kalek sudah puas
dengan keadaan begitu. Ada orang yang menasihatkan dia untuk ke luar daerah,
menjadi guru, tetapi ia
tidak mau meninggalkan kampung
halamannya? �Saya lahir di sini, akan berkubur di sini juga,�
jawabnya dan ia memenuhi janji, la meninggal di kampung tempat ia dilahirkan dan
dibesarkan,
dikuburkan di sana. Menjadi buah bibir masyarakat beberapa waktu lamanya, bahwa Pak
Ipin tutup
mata dengan tenang sambil tersenyum. Sampai sudah dimandikan dan akan dikafani ia
tetap
tersenyum. Seolah-olah ia puas hidup dan puas meninggalkan dunia ini. Barangkali
pun bukan sekedar
seolah-olah, tetapi sebenar-benarnya puas. la terima dunia sebagaimana adanya, dan
orang yang dapat
berhati lapang begitu pastilah merasakan kepuasan. Dan orang semacam itu pastilah
pula merasa
bahagia.
Pak Ipin meninggalkan tiga orang anak, ketiga-tiganya laki-laki.
Yang tertua dan kedua jadi orang surau, yang ketiga, Binur mengikuti jejak ayahnya,
jadi pesilat.
Seperti ayahnya, ia dan istrinya juga hidup dari berkuli dan pemberian beberapa
murid yang sangat
tidak seberapa jumlahnya, la pun rajin bekerja, merasa hidup hanya pas-pasan. Orang
pun
menasihatinya untuk meninggalkan kampung, merantau. Mengadu untung di negeri orang.
Dengan
bekal kepintaran lumayan dalam ilmu persilatan ia bisa mencari pekerjaan sebagai
centeng atau
sebagai guru silat. Di luar kampungnya sendiri, mungkin ia akan diambil sebagai
guru oleh keluarga
mampu yang tidak mengetahui bahwa ia turun-temurun miskin. Masih banyak orang yang
menilai
kepintaran si miskin seimbang dengan kemiskinannya, sehingga sulit mendapat
kemajuan dan perbaikan nasib.
Tetapi sama halnya dengan Pak Ipin orang muda yang berpikiran sangat sederhana dan
bahkan kolot
ini pun tidak mau beranjak dari kampung.halamannya. Diapun mungkin sangat keliru
mempunyai
prinsip �di sini dilahirkan, maka di sini juga aku akan dikuburkan.�
Dari hanya berdua dengan istrinya, Binur pun setelah beberapa tahun dikaru nia
anak. Seperti
semufakat, dengan ayahnya ia juga mendapat tiga orang anak, hanya saja tidak
ketiga-tiganya lakilaki.
Yang tertua perempuan yang dua lainnya laki-laki. Yang bungsu diberi nama si Kalek
dan dialah yang
belajar silat pada ayahnya.
Ternyata ia mempunyai bakat yang baik sekali. Lompatnya bisa sejauh lompat harimau,
berbaliknya
secepat itu pula. Namanya segera terkenal, lebih terkenal daripada ayah dan
kakeknya. Daerah yang
dijangkau namanya lebih luas daripada yang pernah dicapai kakeknya, I pin, dan
ayahnya, Binur. la
selalu diundang untuk memperlihatkan ketangkasannya di tempat-tempat orang
mengadakan pesta perkawinan, khitanan atau upacara adat.
Beberapa perkumpulan silat di luar kampungnya mengundang dia untuk adu kemahiran.
Beberapa kali
ia memperoleh kemenangan.
Kalau orang-orang yang berjiwa sportif kagum dan senang atas kemenangan Kalek,
karena
mengangkat nama kampungnya, maka tidaklah demikian halnya dengan anak-anak orang
kaya atau
kalangan atas yang mempunyai hati khisit dan dengki. Mereka menganggap tidak layak
orang
semiskin si Kalek mendapat
kemenangan. Tidak sesuai dengan derajatnya. Si miskin harus kalah. Itulah yang
layak bagi mereka.
Dan yang kaya atau anak orang bernama harus senang. Seolah-olah itulah hukum yang
adil dan harus
berlaku.
Diam-diam beberapa orang, termasuk orang tua yang anaknya kalah, merasa tidak
senang dengan si
Kalek. Dalam usianya yang baru dua puluh empat tahun ia sudah pernah diundang ke
Mamnjau, sudah mengembara sampai ke Lubuk Sikaping. Sudah ke Bonjol dan Rao.
Malahan sudah
pernah dua kali ke Tapanuli. Yang sekali ke Gunungtua dan yang lainnya ke Kota
Nopan. Di sana pun
ia memperoleh kemenangan, sehingga namanya kian tenar.
Mungkin dia belum berhadapan dengan yang dinamakan si Dja Bopong yang terkenal
sampai ke Aceh
karena silat harimaunya.
Barangkali dia belum berkenalan dengan Ayam Kinantan Padangbo-lak yang dengan
tangan kosong
dapat menebas putus leher seorang perampok yang mengganas ke kampungnya. Tetapi
bagaimanapun
ia tentu diuji orang dengan bukan yang sembarangan. Dan ia berhasil keluar sebagai
pemenang, la
membawa banyak hadiah sehingga Kalek dan saudara-saudaranya dapat membeli pakaian
yang baik
dan mampu memperbaiki gubuk mereka yang sudah
hampir roboh.
Beberapa penduduk yang semula meremehkan si Kalek, kini
mengubah sikap. Sudah jelas ia mengangkat nama kampung, maka selayaknyalah ia
dihargai. Mereka
adalah orang-orang yang mau mengakui kenyataan dan mengubah cara yang tidak benar
selama ini.
Tetapi tidak semua orang mau mengakui kenyataan. Orang-orang sirik tetap saja
sirik, bahkan
bertambah benci kepada Kalek.
Mereka memikirkan cara bagaimana menyingkirkan orang yang menusuk mata mereka itu.
Betapa
gila dan jahat! Orang yang hanya se si Kalek, yang menang bertanding silat tanpa
merugikan siapa pun
hendak dibinasakan. Mereka tidak tahan melihat orang yang biasa miskin ini tidak
bergubuk miring
lagi. Mereka sakit hati melihat kedua orang kakaknya bisa berganti baju dan kain
yang lumayan.
Kalek tahu, bahwa ia di benci dan bahwa ada orang-orang yang hendak meniadakannya
dari kampung
itu. Jalan yang paling aman baginya ia pindah dari sana, kalau ia tidak mau
dipindahkan orang-orang
berhati jahat itu ke dunia lain, dari mana ia tidak akan pernah kembali.
Semula orang-orang busuk ini menyewa pesilat kampung lain untuk menyergap si Kalek,
tetapi sudah
tiga kali gagal. Ketika ketahuan, bahwa ada orang luar masuk kampung dan mencoba
membunuh si Kalek, maka si penyergap berkata, bahwa ia hanya hendak mencoba sampai
di mana
kekuatan orang hebat itu.
Ternyata benar ia handalan. Dengan begitu saja, perkara jadi
selesai.
Suatu kali tiga orang kuat kampung, bersekongkol mengeroyok si Kalek. Tiga lawan
satu mustahil
mereka akan kalah. Tetapi kemustahilan itu yang justru terjadi. Kalek dengan
matanya yang tajam,
walaupun dalam gelap, sempat mengenali mereka. Yang seorang bernama si Buyung
Bagak, anak
seorang Datuk yang
terkenal kaya sejak nenek moyangnya. Dia memang punya
kepandaian lumayan ditambah dengan mulut besar dan sikap
sombong. Ini juga bisa jadi modal dalam menghadapi orang tak punya. Walaupun
kebolehannya
melebihi diri si orang kaya. Kedua orang kawan Buyung Bagak juga pesilat-pesilat
pemberani. Kalek
tahu bahwa mereka ini bukan sekedar mau mengganggu. Mereka mau membunuhnya. Supaya
Kalek
yang menyakitkan mata mereka itu, tinggal nama. Besok orang akan menanam tubuhnya
yang sudah
binasa dan sukar dikenali.
�Kalek, akhirnya basuo juo. Kini baru ang ba-suo lawan nan sabananyo!� bentak si
Buyung Ba-gak.
Harapannya bahwa si Kalek akan gemetaran, tidak berhasil. Si Kalek sudah lama tahu
bahwa pada
suatu saat orang ini akan menyergapnya. Dia sendiri berpikir bahwa yang begitu
tidak perlu terjadi.
Dia terlalu tidak ada arti untuk disingkirkan dengan cara yang begitu keji. Dia
tahu diri, sadar bahwa
dia miskin dan tak pernah berani mengada-ada.
�Jangan Tuk,� kata Kalek dalam bahasa Minang, walaupun orang itu bukan Datuk, hanya
anak seorang
Datuk. �Saya terlalu kecil untuk jadi lawan Datuk nan Bagak,� katanya merendahkan
diri guna
menghindari perkelahian.
�Jangan menyindir, monyet. Kau hendak mengatakan, bahwa aku terlalu kecil untuk
jadi lawanmu.
Begitu maksudmu. Jangan berpura-pura!�
Bersamaan dengan itu Buyung Bagak melompat dengan satu
terjangan yang dengan mudah dielakkan oleh Kalek, sehingga si garang hanya
menendang tempat
kosong. Kedua kawannya
menanti aba-aba untuk turut ambil bagian.
�lyo hebat ang, Lek,� kata Buyung, sudah berhadapan lagi dengan Kalek.
�Saya mohon, saya tidak mau berkelahi dengan Datuk!� pinta Kalek. Dalam hati si
Buyung merasa
senang dipanggil Datuk, namun dia tetap mau membinasakan orang kecil yang
dianggapnya orang
berlebih di kampungnya itu. Orang seperti si Kalek tidak boleh tinggal di sana.
Lain halnya kalau dia
hanya kuli atau penarik pedati.
Tetapi si Kalek ini, menurut Buyung memang macam-macam. Mau bersilat segala! Itu
kan bukan
untuk orang semacam dia.
Sekali lagi Kalek mengatakan, bahwa ia tidak mau berhadapan dengan Buyung Bagak,
tetapi anak
orang kaya yang sangat
sombong itu berkata, �Kau takut? Aku ingin melihat darahmu menyiram bumi ini Kalek.
Dia pasti
akan jadi lebih subur. Dan aku tak rela kau turut menguras beras kampung ini.�
Buyung Bagak memberi aba-aba, tetapi Kalek yang tajam mata dan telinga, sejak tadi
sudah tahu
bahwa ada dua orang lagi yang hendak membunuhnya. Tiga lawan satu, bukan suatu
perkelahian yang
seimbang. Tetapi kalau sudah tidak dapat dielakkan, orang mesti mempertaruhkan
nyawanya kalau
tidak mau mati dengan embel-embel konyol.
Udin dan Itam serentak menyerang, tetapi Kalek mengelak
dengan gaya yang begitu rapinya sehingga kedua penyerang itu nyaris bertubrukan.
Buyung Bagak
mencabut pisau belatinya, la ingin pertarungan ini segera selesai. Dan cara yang
paling singkat
tentulah dengan menusuk jantung Kalek dengan pisau yang sudah pernah ditanam selama
tujuh Jumat.
Menurut orang pandai yang menjam-pi dan menanamnya, tergores saja sudah akan
menimbulkan luka yang tidak akan bisa disembuhkan. Akan
membusuk dan akhirnya berulat.
Pertempuran sudah agak kacau. Sesekali tendangan Itam makan rusuk si Udin. Pada
satu kali tusukan
Itam dengan dua jari sekeras besi malah masuk tepat di bawah bahu Buyung Bagak. ia
berteriak
kesakitan. Kalau jari itu berisi pasti akan menembus dan
meninggalkan dua lubang seperti dilanggar peluru. �Calieklah
kawan,� hardik si Buyung. Maksudnya supaya si Itam melihat kawan, jangan sembarang
tusuk.
�Indak sangajo Tuan,� sahut Itam, takut oleh salah tusuk itu.
Melawan tiga orang tidak mudah, tetapi tiga orang menyerang satu orang juga tidak
mudah. Apalagi
pandai silat yang telah mempunyai banyak pengalaman. Walaupun serangan dengan niat
bulat untuk
membunuh baru sekali ini dialaminya.
Kalek menganggap, bahwa yang harus lebih dahulu dirubuhkan adalah kedua orang
bayaran Buyung
Bagak, yang bagaimanapun lebih suka selamat daripada jadi korban. Mereka tidak
punya kebenci-m
sebesar yang dipunyai Buyung terhadap diri Kalek.
Mereka pun mau membantu Buyung karena diyakinkan, bahwa
mereka bertiga pasti dengan mudah dapat membinasakan orang kecil ini. Dan tidak
ikan ada perkara.
�Itu dijamin,� kata Buyung yang merasa dapat turut menghitam-putihkan kampung itu
seperti
ayahnya.
Dengan tenang sehingga terarah Kalek menyerang ke dua kawan Buyung yang lebih
banyak bermodal
keberanian daripada
kepintaran. Beberapa tendangan dan pukulan Kalek tepat mengenai sasaran. Perut,
dada, leher dan
kepala. Juga rusuk tidak luput dari tendangan keras. Buyung juga mengetahui, bahwa
Kalek
mengutamakan serangan kepada kedua orang bayarannya dan
mengapa dia bermuslihat begitu. Dan dugaannya memang tepat.
Karena tak lama kemudian yang seorang telah berteriak terus terang bahwa dia tidak
mau kehilangan
nyawanya. Yang lainnya juga tidak mampu bertahan lama. Padahal kedua-duanya, sama
dengan
Buyung Bagak, juga sudah mempergunakan pisau hendak membunuh lawan yang masih saja
bertangan
kosong itu. Tidak satu pun sambaran atau tusukan pisau mereka yang memakan Kalek.
Pada suatu kesempatan hampir senjata makan tuan. Kalek berteriak supaya orang-orang
bayarannya
jangan lari, tetapi tidak dihiraukan.
Kini tinggal Buyung Bagak sendiri. Mau lari juga karena
keyakinan tidak tersua dalam kenyataan, masih punya rasa malu.
Dalam bertarung dengan hati bimbang itulah Kalek menangkap pergelangan-nya yang
sedang
menghunus pisau. Dengan teknik tinggi ia membuat ujung pisau itu berbalik kepada
pemegang dan
pada saat berikutnya mata pisau menggores lengannya, langsung mengucurkan darah.
Buyung pucat
dan takut. Bukan oleh rasa sakit tetapi oleh ingatan bahwa luka yang disebabkan
pisau itu tidak dapat
disembuhkan. Akan membusuk dan berulat.
�Lain kali kita jumpa lagi,� kata Buyung Bagak lalu lari. Kalek tidak mengejar. Apa
yang terjadi
seharusnya cukup untuk jadi pelajaran bagi ketiga orang penyerangnya itu. Meskipun
tidak sampai
cedera, Kalek merasa sangat tidak tentram. Kehadirannya di kampung itu pasti tidak
akan tenang lagi.
Buyung Bagak akan penasaran sebelum membinasakan dia. Walau begitu ia bertahan.
Dengan dalih luka dalam suatu pertandingan persahabatan.
Datuk nan Diateh mengobati luka maknya Buyung Bagak. Dia pun tahu, bahwa luka itu
oleh
percobaannya membunuh Kalek. Orang yang terus ketakutan itu merasa heran, dalam
tempo tiga hari
lukanya sudah kering. Bukan karena pengobatan yang hebat, tetapi karena pisau itu
sama sekali tidak
punya kekuatan untuk
menimbulkan luka seperti yang dikatakan si penjampi dan
penanamnya selama tujuh Jumat.
Kali ini Buyung tidak mau gagal, la menemui pesihir yang akan dapat membinasakan
Kalek untuk
selama-lamanya. Mau
bagaimanapun boleh. Kata orang, pesihir itu sangat luar biasa.
Sudah banyak buktinya. Buyung Bagak bersiul-siul karena orang kecil yang menjadi
duri di mata dan
pikirannya itu akan binasa.
0odwo0
SEBELAS
ORANG setengah baya bertubuh kerempeng itu jangan
diremehkan. Sebab dialah Sutan Imbalo, orang terkenal dan ditakuti yang konon
bertempat tinggal di
Kamang Bukittinggi, Kabupaten Agam. Meskipun beralamat di kampung yang pernah sa-
ngat
terkenal dengan durian tebal berwarna ke-emasan yang tak mudah dilupakan oleh
penggemarnya,
namun tidak mudah orang
menemukannya di sana. Ketidakpastian di mana dia sebenarnya selalu makan dan tidur
membuat dia
lebih terkenal lagi sebagai manusia misterius dengan kepintaran amat tinggi dalam
ilmu sihir yang
konon dipelajarinya di Tibet, la memang pernah tinggal di kawasan itu, kemudian
hijrah ke Nepal
dengan serdadu Gurkha-nya yang amat mahir mempergunakan kukri, pisau tebal
membungkuk yang
dapat mengenai sasaran dari jarak berpuluh meter. Tepat di jantung. Si pandai sihir
ini juga jadi ahli
batu-batuan dengan segala macam cerita mengenai khasiat atau sialnya. Kalau ia
duduk di antara para
pedagang batu-batuan Nepai yang berjejer di kaki lima Penang, Singapura, Kuala
Lumpur, Bangkok
dan juga di kota-kota besar Indonesia, maka sungguh susah membedakannya dari mereka
yang ratarata
punya wajah khas intara Cina dan Birma.
Buyung Bagak menyampaikan maksudnya tanpa banyak variasi, la ingin agar orang, yang
katanya tak
tahu diri di kampungnya itu, bernama si Kalek, dihukum supaya ia tahu adat.
�Jangan dimatikan,� pinta Buyung seolah-olah orang yang selalu punya rasa kasihan
terhadap
sesamanya.
�Hah, tidak dilenyapkan? Orang yang banyak lagak dan tidak disukai lebih baik
dibuang saja dari
dunia ini,� kata Sutan Imbalo.
�Jangan Sutan, kasihan. Dia pun memperoleh nyawanya dari Tuhan, sama dengan kita.
Tak baik
membunuh sesama manusia!�
�Tuan terlalu pemurah. Pernahkah dia dulu berjasa pada Tuan makanya tidak sampai
hati
melenyapkan dia?�
�Tidak, kepantangan saya menerima jasa dari orang semacam dia.�
Setelah berpikir sebentar. Sutan Imbalo bertanya, hendak
diapakan si Kalek yang tidak tahu adat ini.
�Diubah saja menjadi binatang! Saya dengar Tuan sanggup melakukannya. Saya rasa itu
pantas bagi
dia. Tidak cukup penting
untuk dibunuh!�
�Hmm, mau dihukum berkepanjangan? Itu perkara kecil! Kata Tuan hendak diubah jadi
binatang.
Boleh. Bukan kerja berat.
Bahkan lebih mudah daripada membunuh. Dijadikan cacing? Atau ular? Atau kita
jadikan babi?�
Si Buyung Bagak berpikir. Betapa hebatnya orang ini. Bisa mengubah manusia jadi
binatang apa saja.
�Atau kita jadikan anjing supaya dia melolong sepanjang malam.
Lebih-lebih di waktu bulan penuh,� tanya Sutan Imbalo.
�Kalau dijadikan anjing, penduduk akan dihantui bunyi lolongannya. Selalu takut dan
susah tidur.
Paling kasihan anak-anak.
Tak akan berani keluar rumah. Saya ingin dia dijadikan harimau!�
kata Buyung Bagak.
Sutan Imbalo merasa aneh. Dijadikan harimau? Bukankah itu lebih berbahaya, katanya
kepada anak
Datuk nan Diateh.
�Mungkin tetapi saya senang kalau sampai dapat melihat dia jadi harimau. Apalagi
kalau dia dapat
bicara seperti manusia,� kata Buyung Bagak. Dia membayangkan, bagaimana akan
senangnya
berhadapan dengan si Kalek yang mungkin akan minta-minta
ampun supaya dijadikan manusia kembali. Dan dia akan
mengatakan, bahwa si Kalek harus bersyukur, masih diberi
kesempatan untuk hidup. Dan tak usahlah macam-macam lagi, mau jadi manusia segala.
Dia lebih
pantas jadi harimau daripada manusia. Untuk diburu dan ditembak, lalu kulitnya yang
diisi akan
dipajang di ruang tamu rumahnya di kota. Oh, betapa akan
senangnya dia.
�Kalau memang itu yang akan membuat Tuan merasa senang, saya akan melakukannya.
Tetapi
sebagai harimau tentulah dia akan merupakan binatang buas yang berbahaya. Dia akan
ingin makan
daging segar!�
�Itu kan soal mudah. Dia bisa menangkap babi hutan atau rusa kalau cukup cepat
larinya!� kata
Buyung Bagak.
�Tetapi bisa juga manusia!� kata Sutan Imbalo.
�Itu terserah dia. Tetapi dia tidak akan mendapat aku. Setelah ia jadi harimau, aku
akan selalu
membawa bedil untuk membunuhnya tanpa perkara. Itu akan merupakan suatu kesenangan
tersendiri
yang barangkali tidak pernah dirasakan orang lain. Membunuh harimau yang manusia!�
Meskipun Sutan Imbalo selalu menerima macam-macam order
dari orang yang hendak merubuhkan lawannya, namun keinginan manusia yang seorang
ini terasa
aneh, menyimpang! Ini orang sinting yang sadis, pikirnya. Tetapi dia menyanggupi
dan ia akan
melaksanakannya. Apa pun kelak yang akan terjadi, bukan lagi menjadi tanggung
jawabnya.
Segala persyaratan dipenuhi oleh Buyung Bagak. Termasuk bayi yang tak boleh berumur
lebih
daripada tiga puluh tiga hari.
Walaupun diterangkan oleh tukang sihir bahwa bayi itu, sesuai ketentuan, harus
dibinasakan, la upah
orang menculik seorang bayi.
Bagi si Buyung Bagak tidak ada syarat yang terlalu berat untuk dipenuhi, asal saja
si Kalek bisa
menjadi harimau.
�Bila ia akan jadi si Balang?� tanya Buyung ketika semua persyaratan sudah
diadakannya.
�Dalam tempo tujuh hari, dihitung dari malam nanti,� jawab Imbalo.
0odwo0
Sejak malam itu memang benarlah si Kalek yang pendekar miskin itu selalu merasa
gelisah. Selalu
kepanasan dan sulit tidur, padahal kampungnya itu punya hawa dingin, terutama pada
malam hari.
Terasa olehnya bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Teringat oleh si Kalek, bahwa
apa yang
dirasakannya itu mungkin buatan orang jahil. Tetapi ia tidak punya cukup biaya
untuk minta bantuan
dukun yang dalam hal-hal berat selalu meminta imbalan yang besar.
Meskipun belum tentu berhasil.
Tingkah lakunya sedikit demi sedikit pun berubah. Pada malam ke empat terkena
perbuatan sihir
Sutan Imbalo ia mulai menggeram geram. Terasa olehnya ketidakwajaran ini, tetapi ia
tak kuasa
mencegahnya, la bahkan teringat kepada Buyung Bagak yang
disangkanya mungkin mempergunakan pandai sihir atau sekurang-kurangnya dukun besar
berilmu
hitam. Karena pengeroyokannya tidak berhasil.
Sementara si Kalek tak tentram dan kian khawatir merasakan perubahan pada dirinya.
Buyung Bagak
yang mengetahui seluruh perkembangan dari mata-matanya, menantikan hari ketujuh
dengan rasa tak
sabar. Akhirnya ia akan menang dengan cara yang sangat gemilang. Baginya hari
terasa berlalu begitu
lambat.
Pada malam ketujuh penyihiran, si Kalek bukan lagi hanya
menggeram-geram, tetapi sudah mulai mencakar-cakar, la terus mundar-mandir bagaikan
harimau di
dalam kandang.
Menjelang subuh ia tak kuasa menahan dorongan hatinya, la melompat dari jendela,
berlari menuju
hutan. Sampai di pinggir hutan dirinya gemetar dan ia melihat perubahan yang amat
menyedihkan dan menakutkan, la menjadi harimau. Pikirannya masih bekerja seperti
manusia, la
menangis sambil berguling-guling.
Tetapi hanya itulah yang dapat dilakukannya, la tak mampu mengubah kenyataan, bahwa
dia sudah
bukan lagi si Kalek yang pendekar miskin. Kini ia sudah jadi si Kalek yang harimau.
Tempatnya bernaung sudah bukan lagi gubuknya yang sudah
tidak miring untuk melindungi dirinya dari panas dan hujan, la sudah jadi penghuni
hutan, sama
halnya dengan babi, ular, rusa, gajah dan satwa lainnya. Tempatnya bergolek sudah
berubah dari Tikar
pandan butut menjadi tanah dingin yang keras gersang atau lembab dingin.
Beberapa hari dan malam ia menangisi nasib. Mengapa atas
dirinya yang hanya orang miskin dan tak pernah menyusahkan orang lain harus ditim
pahkan
kejahatan yang menyebabkan derita semacam ini?
Bersamaan dengan derita yang tak terhalau itu proses atas tiap makhluk bernyawa
berjalan terus atas
dirinya. Perut yang sudah sekian hari tak mendapat isi merasa lapar. Datanglah
kebutuhan mendesak
untuk makan. Dan kini ia ingin makan daging segar, walaupun ia masih dapat
mengingat bahwa
biasanya ia makan nasi, kadang-kadang hanya dengan sepotong cabe dan sejemput garam
ber kuahkan
air panas.
Mulailah si Kalek harimau bergerak mencari makan. Dan yang berhasil diterkamnya
adalah seekor
anak babi hutan yang sedang sakit. Masih disadarinya, bahwa ia tidak boleh makan
babi. Haram
hukumnya. Tetapi kemudian pikirannya ber balik
Itu dulu. Tatkala dia masih manusia! Bukankah dia kini sudah bukan manusia lagi.
Dia hanya seekor
harimau. Tidak punya pantangan. Masih terlintas pula rasa kasihan. Tetapi rasa yang
biasa dimiliki
oleh manusia normal ini pun lenyap, dikalahkan oleh keinginan untuk hidup. Sepotong
demi sepotong
mangsanya itu berpindah tempat ke perutnya.
Memang dia ingin hidup. Harus hidup, kalau ia tidak mau
menerima hasil oleh kejahatan manusia dengan pasrah seterusnya.
Meskipun sudah berubah wujud dan golongan dari manusia ke hewan buas, ia masih
mampu dan
berkepanjangan mempunyai
dendam yang kian hari kian membara. Si Kalek miskin sudah bukan lagi makhluk
berhati lembut, la
telah menjadi pembenci yang ingin mencari kedamaian lagi melalui suatu pembalasan
yang setimpal.
Itulah makanya ia selalu mengintai kesempatan bila kiranya si Buyung Bagak lalu di
daerah
kawasannya untuk memburu babi, sebab ia termasuk orang yang suka melakukan
perburuan. Entah
guna olahraga, entah karena adanya nafsu membunuh yang
bergolak di dalam dadanya, la akan menerkamnya, walaupun
mereka sedang beramai-ramai dan besar kemungkinan ia akan tewas oleh peluru dan
tombak mereka.
Untuk itu kadang-kadang �
pada malam hari� ia sampai masuk kampung sehingga dihebohkan masyarakat bahwa kini
sudah ada
Inyiek Balang yang berani memasuki kawasan penduduk. Agar tiap orang berhati-hati.
Dan
membunuhnya pada kesempatan pertama. Suatu ketidakadilan bagi penghuni rimba. Bagi
mereka ada
batas pemukiman. Tetapi bagi manusia tidak. Mereka boleh masuk ke hutan semau dan
seberani hati.
Kadang-kadang sesuai dengan tuntutan kebutuhan. Mengambil kayu, bahkan menebas
hutan semaumaunya.
Mencari binatang buruan. Babi hutan ka-ena mereka merusak ladang dan tanaman
penduduk.
Mencari rusa untuk dijadikan santapan. Untuk itu manusia masuk ke kampung-kampung
para a.
Dalam istilah negara bertetangga dinamakan melanggar perbatasan. Yang bisa
menimbulkan tembak-menembak, bahkan perang antar bangsa.
Sebenarnya yang dicari si Kalek hanya satu sa-ia. Buyung Bagak.
Lain tiada. Tetapi masyarakat tentu tidak tahu tujuan harimau besar ini. Kalaupun
tahu, paling-paling
mereka saling tanya mengapa ia mencari Buyung Bagak. Apa sebab dan asal mulanya.
Namun, si
harimau akan tetap dibunuh, n orang kampung akan sengaja
menantikan dia untuk lebih cepat dibinasakan.
Karena kunjungan hewan itu kian sering kelihatan dan penduduk semakin khawatir,
maka dipasang
perangkap di pinggir hutan.
Dengan umpan tentunya. Kambing. Kasihan hewan piaraan lemah ini. Ditakdirkan untuk
dipelihara,
dibesarkan, disembelih atau diumpankan kepada harimau.
Tetapi perangkap tidak pernah mengena. Harimau cerdik rupanya si pelanggar batas
itu.
Pernah Buyung Bagak beberapa kali berburu. Dan tampak oleh si Kalek, tetapi tidak
terbuka ke patan
baik untuk menerkam dan membunuhnya, la bukan takut kehilangan nyawa. Itu resiko.
Tetapi ia tidak
mau kehilangan nyawa tanpa membunuh Buyung Bagak.
Kematiannya akan menutup ua kesempatan membalas sakit hati.
Itulah yang sangat tidak dikehendakinya.
Pernah pula ia ditembak oleh rombongan Buyung, tetapi tidak kena. la yakin, bahwa
yang menembak
itu orang yang membuatnya jadi binatang. Bagaimana pun marah dan sakitnya hati, si
Kalek
masih harus menahan emosi yang meluap.
Buyung Bagak memang ingin membunuh harimau yang
diyakininya si Kalek. Dalam mimpi ia pernah menembak harimau itu sampai tewas. Lalu
dikuliti dan
kemudian diopzet (diawetkan dengan mengganti isi perut), diletakkan di gedung
mereka di kota
Padang.
Dia akan memberi nama harimau hasil tembakannya itu si Kalek.
Didukung oleh mimpi itu Buyung Bagak yakin, bahwa pada suatu saat ia pasti akan
merubuhkan
binatang itu dengan peluru yang dimuntahkan senapannya.
Tetapi bukan hanya Buyung yang punya keyakinan. Si Kalek pun punya niat yang sama.
Kalau Buyung
sudah dirubuhkannya, ia rela mati. Tak sabar lagi menanti D-day, hari si Kalek
menerkam dan
mencabut nyawa Buyung Bagak, maka pada suatu malam hujan
gerimis ia kembali mendekati kampung, la sangat berhati-hati.
Bukan tak mungkin penembak sedang bersembunyi menantikan
kedatangannya. Kalau ia kelihatan dan tewas ditembak, maka buyarlah semua maksud
dan selamalamanya
dia tidak akan dapat memaafkan dirinya.
Dia mengendap-endap. Pasang mata dan telinga. Telapaknya
yang besar tak terdengar menginjak bumi. Khas kemampuan
harimau, yang tidak dipunyai oleh manusia. Akhirnya ia sampai ke dekat rumah Buyung
Bagak.
Bersembunyi di balik serumpun tebu.
Hari baru jam 9. Mungkin Buyung belum pulang atau akan pergi ke rumah pacarnya.
0odwo0
DUABELAS
LAMA si Kalek bersembunyi di sana. Setelah ia hendak kembali ke hutan untuk menanti
lagi pada
malam besoknya, tiba-tiba telinganya yang tajam mendengar langkah-langkah yang kian
lama kian
mendekat. Tidak sia-sia, pikirnya, la bersiap. Tetapi setelah kian dekat, ia
melihat bahwa yang datang
itu bukan si Buyung Bagak, melainkan ayah dan ibunya. Baru pulang dari pesta
perkawinan.
Bukan mereka sasarannya, walaupun punya hubungan darah
langsung dengan Buyung. Kedua suami istri itu naik tangga dan masuk rumah tanpa
diganggu. Dan si
Kalek menunggu lagi, karena menurut perhitungannya orang yang dinantikan tentu akan
datang.
Anak muda biasanya tidak buru-buru meninggalkan pesta, dimana banyak gadis-gadis
berkumpul.
Sekurang-kurangnya untuk cuci mata.
Akhirnya, menjelang pukul 12, yang dinantikan datang juga.
Si Kalek harimau bersiap. Kira-kira duapuluh meter dari
rumahnya mendadak Buyung Bagak berhenti, la memandang ke
sekeliling. Tidak biasanya dia begitu. Rupanya ada semacam perasaan tidak enak. la
ragu-ragu. Si
Kalek menjadi tegang. Apakah Buyung akan memanggil-manggil orang tua atau tetangga
karena
merasa cemas tanpa sebab yang nyata? Mungkin ada dorongan untuk itu, tetapi ia
merasa malu. Pada
mereka dan pada diri sendiri.
Bukankah ia terkenal bagak dan ditakuti orang sekampung?
Buyung melangkah lagi. Kini lebih cepat, ingin lekas sampai di rumah. Si Kalek
mengangkat tubuh
bergerak cepat tanpa suara, la menerkam Buyung tepat di kuduk, taring-taringnya
yang tajam langsung
ditanamkan ke leher mangsanya. Oleh berat badan si harimau. Buyung tersungkur dan
karena kagetnya
tak mampu
berteriak. Si Kalek memperkuat gigitannya dengan sepenuh tenaga rahangnya dan ia
tidak melepaskan
Buyung sampai ia yakin, bahwa musuhnya itu sudah mati, atau sekurang-kurangnya
sekarat.
Kemudian ia membalik tubuh yang sudah kehilangan segala tenaga, dipandanginya.
Mungkin
berhasrat untuk mengoyak dadanya lalu mengeluarkan isinya. Setelah itu merusak
mukanya.
Tetapi Kalek tidak melakukannya. Mungkin sisa-sisa kehalusan sifat yang ada pada
dirinya tidak
mengijinkan. Bukankah ia menghendaki kematian Buyung yang dengan kekuatan uangnya
telah membuatnya jadi harimau? Kini si Bagak sudah mati,
bukankah sudah cukup? Tetapi ada suatu maksud yang telah
direncanakannya yang dianggapnya perlu dilaksanakan, la
menggigit bahu kanan anak Datuk itu lalu menyeretnya sampai ke
tangga rumahnya. Setiba di tangga, Kalek tidak lantas kembali ke hutan yang menjadi
tempat
tinggalnya, la menyandarkan tubuh mayat itu, membetulkan letak kedua kakinya. Puas
hatinya. Uang
memang selalu berkuasa, tetapi tidak untuk selamanya. Karena uang hanya benda mati.
Tidak
mempunyai sifat abadi. Si Kalek belum selesai dengan pekerjaannya, la menggeram-
geram
memberitahu kehadirannya. Setelah yakin, bahwa orang tua Buyung tentu mendengar,
begitu pula
tetangga dekat si Kalek menjauh.
Bersembunyi lagi. Rupanya ia mau melihat lanjutan hasil
pembalasannya. Dan dia melihat jendela rumah Datuk terkuak sedikit. Tandanya orang
sudah bangun.
Begitu juga jendela rumah Sutan Malano.
Datuk nan Diateh dengan istrinya merasa cemas. Tidak pelak lagi, pasti ada harimau
masuk kampung
dan berada dekat sekali dengan rumah mereka. Bukan kedatangan harimau yang mereka
cemaskan,
tetapi si Buyung, anak mereka yang belum pulang dari menghadiri pesta perkawinan.
Dan dia tentu
akan pulang.
Kecemasan meningkat jadi rasa takut. Datuk tidak mau
mempertaruhkan nasib Buyung Bagak. Sehebat-hebatnya dia
bersilat, kalau diterkam harimau pasti ia akan binasa. Bukan hanya itu, mungkin
akan diseret si raja
hutan ke rimba untuk disantap bersenang-senang.
Datuk membuka jendela dan berteriak memanggil tetangga
terdekat. Dilihatnya jendela rumah Sutan Malano terbuka dan melemparkan caha ya
terang menembus
kegelapan malam yang
mence kam.
�Sutan,� teriak Datuk. Yang dipanggil menya hut. Karena tahu apa maksud panggilan
itu, sebelum
ditanya ia lebih dulu menjawab:
�Kami pun mendengar. Rasanya dekat benar!�
�Si Buyung belum pulang,� kata Datuk. Sutan alano turut cemas, karena di antara
mereka masih ada
hubungan keluarga. Datuk mengajak Sutan bersama-sama ke tempat orang yang
mengadakan
keramaian memeriahkan perkawinan. Dalam dialog melalui jendela, mereka semufakat
untuk samasama
turun rumah dengan
membawa obor. Harimau takut pada api.
�Hati-hatilah Da,� pesan istri Datuk yang semakin bingung.
�Harimau lapar selalu ganas. Belum tentu takut pada obor!�
Datuk menenangkan hati istrinya dengan mengatakan, bahwa ia tidak pergi seorang
diri. Ada Sutan
Malano yang tentu akan ditemani oleh anaknya Sayuti, sahabat dekat dan sebaya
dengan Buyung
Bagak.
Pintu dibuka, tetapi begitu sampai di anak tangga bawah, Datuk menjerit-jerit
diiringi ledakan tangis
dengan menyebut-nyebut nama anaknya. Istrinya terkejut dan sebelum sampai melihat
dia sudah tahu
apa yang terjadi. Pasti anak mereka. Begitu melihat Buyung tersandar di anak tangga
bawah
perempuan malang itu menjerit histeris lalu tidak sadarkan diri. Sutan Malano pun
sudah tiba, disusul
oleh tetangga-tetangga lain.
Kampung itu jadi gempar. Dan kejadian mengerikan yang sangat aneh itu jadi
pembicaraan. Ada yang
berbisik-bisik, tetapi ada pula yang berterusterang.
Ada yang menduga, bahwa Buyung diserang di tempat lain,
tetapi masih mampu membawa tubuhnya sampai ke rumahnya.
Malah ada yang menyangka, bahwa si harimau tak kuat menghadapi kehebatan silat
Buyung Bagak,
sehingga ia melarikan diri tanpa mencapai maksud yang sebenarnya, yaitu menyeret
mangsanya untuk
dimakan di hutan. Mayat diangkat ke rumah.
Beberapa orang dengan bersenjatakan parang, tombak dan obor mengikuti jejak harimau
yang dimulai
dari tangga rumah. Ketika panik tadi mereka tidak sampai melihat jejak-jejak itu
yang sebenarnya
kelihatan jelas, karena pada siang harinya turun hujan dan tanah becek. Karena
selain jejak, juga
kelihatan jelas dua bekas lain di antara jejak-jejak itu, mereka dapat menarik
kesimpulan bahwa
penerkaman terjadi di tempat lain tetapi si raja hutan menyeret tubuh Buyung di
antara kaki kiri dan
kanannya sampai ke tangga rumah. Kini bulu kuduk mereka berdiri, tetapi bersamaan
dengan itu juga
mendapat keyakinan, bahwa harimau itu hanya
menghendaki orang tertentu dan bukan pula harimau biasa.
Harimau biasa tidak akan membawa mayat korbannya sampai ke tangga tempat
kediamannya. Tetapi
mereka tidak menyebut-nyebut si Kalek, karena kejahatan itu sangat dirahasiakan
oleh Buyung dan
ayahnya. Penduduk menyangka, bahwa Kalek diam-diam
meninggalkan kampung mencari selamat. Datuk pun tidak berani menyebut-nyebut
kemungkinan
bahwa yang menyerang itu
barangkali si Kalek yang sudah disihir jadi harimau, karena segenap penduduk akan
membenci dan
menjauhi dirinya. Perbuatan itu sangat keji, terkutuk dan sangat ganas. Hanya
beberapa orang
menduga, bahwa harimau yang datang dan membunuh Buyung
Bagak tentulah harimau yang pernah dilukai Buyung tatkala berburu dan binatang itu
datang
membalas sakit hatinya. Itulah makanya dipesankan kepada pemburu untuk tidak
menembak harimau
yang tidak mengancam keselamatannya, karena lazimnya binatang buas itu tidak akan
menyerang
manusia yang tidak mengusik diri serta keluarganya. Dan kalau pemburu menembak
harimau harus
sampai mati. Namun begitu masih ada satu bahaya. Kalau yang mati ditembak seekor
jantan dan yang
betina tahu siapa yang
menembak, maka betina ini akan melakukan pembalasan kalau terbuka kesempatan untuk
itu. Begitu
juga sebaliknya.
Datuk nan Diateh yakin bahwa yang membunuh anaknya si
Kalek. la menyesal telah berbuat sejahat itu terhadap orang yang diketahuinya tidak
punya kesalahan
apa pun, bahkan mengangkat nama kampungnya oleh kemahirannya bersilat. Tetapi
kematian anak
tunggalnya itu juga membangkitkan dendam terhadap harimau buatan penyihir yang
disewanya, la
meminta orang sekampung dan penduduk dari kampung-kampung yang berdekatan untuk
memburu
pembunuh anaknya. Oleh rasa segan kepada Datuk, banyak juga yang mematuhinya
sebagian dengan
hati berat dan takut. Kuatir harimau itu marah pula kepada mereka, karena
mencampuri urusan yang
tidak ada sangkut pautnya dengan mereka. Ada yang sengaja pergi dengan berbagai
alasan, supaya
jangan terlibat. Si Kalek yang punya insting bahwa ia pasti akan diburu untuk
dibunuh, sengaja pula
pindah dulu ke hutan lain sampai keadaan reda kembali.
Setelah beberapa kali berburu tanpa hasil, orang kampung tak bersedia lagi. Mereka
memberi alasan,
bahwa mungkin yang
menyerang itu harimau jadijadian, jadi tidak di hutan tempatnya.
Datuk yang yakin, bahwa harimau itu tak lain daripada si Kalek, pergi ke Padang
menghubungi
pemburu profesional. Yang biasa memburu harimau untuk mendapat kulitnya guna
diperdagangkan.
Tak kurang dari lima pemburu menyediakan diri. Apalagi dengan bayaran cukup tinggi
yang
dijanjikan Datuk. Tiap pemburu diberi upah dan kepada yang menewaskan si pembunuh
manusia akan
diberi pula hadiah tambahan yang melebihi harga seekor harimau.
Beberapa pawang juga ambil bagian, walaupun mereka tahu bahwa harimau itu tidak
akan dapat
ditangkap melalui jerat atau perangkap kalau ia memang bukan harimau biasa. Dan
sebenarnya
mereka tahu, bahwa yang dikehendaki ini bukan harimau biasa. Turut serta mereka
hanya nasibnasiban,
kalau-kalau ilmu mereka melebihi kepandaian dan akal si harimau.
Di tempat yang baru pun si Kalek tidak merasa aman lagi. Dan karena tahu nyawanya
sangat terancam
oleh orang-orang yang mengejar uang, maka ia tidak punya pilihan lain daripada
membunuh mereka. Seorang pawang dan dua pemburu diterkam
dan dikoyak-koyaknya. Setelah itu pemburu bayaran pun tidak bersedia lagi. Tetapi
si Kalek tetap
curiga pada manusia yang masuk ke kawasannya. Itulah sebabnya keempat orang yang
datang dari
Bukittinggi itu dihadang dan diserang oleh si Kalek. Pakaian Datuk dan Sutan
Mangkuto yang serba
hitam dan sangat dikenal oleh si Kalek sebagai pakaian pendekar telah sangat
menimbulkan
kecurigaan di hati harimau. Dia menilai bahwa yang terjahat di permukaan bumi ini
manusia.
Walaupun manusia Iuga yang
terpintar dan terbaik.
Orang tua yang menceritakan riwayat harimau asal manusia
kepada Dja Lubuk, Erwin dan kedua pesilat dari Minang itu mengungkapkan, bahwa si
Kalek tidak
bekerja setengah-setengah.
Masih ada satu lagi yang harus dibinasakannya, yaitu pesihir yang menerima tugas
dan upah dari
Buyung Bagak. Tanpa adanya pesihir itu, biar pun si Bagak mempunyai segunung uang,
si Kalek tidak
akan berubah Iddi harimau. Dalam hal ini uang dan kekuatan tidak dapat dipisahkan.
Orang tidak tahu bagaimana kejadiannya. Tetapi pada suatu pagi masyarakat kampung
Sianok,
Bukittinggi telah menemukan mayat yang pasti diterkam lalu dicabik-cabik harimau di
jalanan
kampung itu, padahal tempat itu tidak pernah dimasuki harimau. Penduduk merasa
lebih aneh lagi
karena ternyata si harimau mengeluarkan jantung dan otak mangsanya lalu
meletakkannya kira-kira
lima meter dari mayat. Orang tahu, bahwa yang mati itu pesihir dari desa Kamang.
0odwo0
Mendengar kisah harimau yang baru mereka lumpuhkan itu, Dja Lubuk dan Erwin
termenung,
sementara bagi Datuk dan Koto cerita itu hanya merupakan cerita aneh penuh
kehebatan yang amat
menarik. Mungkin keharuan Dja Lubuk dan anaknya disebabkan keadaan diri mereka yang
tidak
normal. Setelah mengucapkan terima kasih kepada pengungkap kisah, mereka mohon
diri.
Belum jauh melangkah, Dja Lubuk berkata kepada anaknya,
bahwa ia bermaksud kembali ke hutan mencari harimau yang
mereka kalahkan tadi. la menganjurkan anaknya untuk meneruskan perjalanan ke
Palembang, tetapi
Erwin pun rupanya ingin kembali, la mengusulkan kepada ayahnya agar ia saja yang
kembali mencari
si Kalek, sementara ayahnya lebih baik kembali ke Tapanuli.
Ternyata ayah dan anak punya maksud sama, kedua-duanya
hendak mencari Kalek. Kedua pendekar Minang yang dianjurkan untuk kembali saja ke
Bukittinggi,
karena mereka masih mau masuk hutan lagi, juga menyatakan ingin ikut. Rupanya
mereka
menyesuaikan diri dengan Dja Lubuk dan Erwin yang diharap akan menurunkan beberapa
kepandaian
kepada mereka.
�Kami yang melukainya, kami mau mohon maaf,� kata Datuk yang dapat menebak apa
sebab Dja
Lubuk dan anaknya mau
kembali mencari harimau yang berasal dari manusia itu.
Tidak terlalu mudah mencari si Kalek yang luka, la tentu
bersembunyi. Tetapi akhirnya ketemu juga. Harimau itu tidak menyangka, bahwa
keempat orang itu
akan kembali. Apakah mau menyelesaikan dirinya yang baru luka? Sampai ia mati,
karena harimau
luka sangat berbahaya? Tetapi ia heran ketika melihat Dja Lubuk dan ketiga orang
lainnya memberi
hormat dengan menyusun jari. Wajah mereka kelihatan terharu. Kalaulah si Kalek bisa
bicara, tentu ia
akan bertanya.
Dja Lubuk yang mulai berkata lembut: �Kami kembali untuk mohon maaf. Kami telah
mendengar
semua dari Angku Sati.
Sebenarnya engkau lengan aku dan Erwin, punya nasib buruk yang sama,� kata Dja
Lubuk dengan
suara lembut sambil mendekati si Kalek yang terbaring karena sakit, la memegang
kaki kemudian
mengelus kepala si Kalek dongan airmata membasahi pipi. Si Kalek yang mengerti
seluruh kata-kata
Dja Lubuk pun tak kuasa liigi menahan airmata yang sudah sejak tadi hendak terlepas
dari
bendungannya. Erwin menyertai belaian Ayahnya terhadap si Kalek.
0odwo0
TIGABELAS
PERLAHAN-LAHAN tampang harimau yang tadinya ganas itu
berubah. Memperlihatkan kesedihan. Jelas sekali, walaupun ia harimau, la memandangi
mereka
seakan-akan mengucapkan teri-makasih, karena ada manusia-manusia yang mengerti dan
bersimpati kepada nasibnya. Kemudian tampak tenaganya kian berkurang, tubuhnya
melemas dan
muka sedih itu mengesankan kepasrahan. Seperti orang yang akan menyudahi hidupnya.
Dan memang
benarlah si Kalek akan mati, sebagaimana tiap makhluk bernyawa pada saatnya akan
mati. Mungkin di
dalam hati ia amat sedih dan menyesal, karena ia tak mampu menyatakan terima kasih
dengan katakata
yang dimengerti oleh orang-orang itu. Mungkin juga ia ingin mohon maaf, karena ia
telah salah
sangka
menganggap mereka sebagai musuh. Walaupun kesalahdugaan itu semata-mata akibat
nasib buruk dan
pengalaman pahit yang
menimpanya bertubi-tubi.
�Kau hendak pergi, Kalek?� tanya Dja Lubuk
y(ing sangat paham akan gelagat itu. �Pergilah dengan tenang.
Semua kita akan pergi.�
Mengerti akan perasaan Dja Lubuk dan tahu ipa yang akan
terjadi, air mata Kalek semakin deras mengalir, seperti hendak dihabiskan semua,
sebab setelah ini dia
tidak akan menangis lagi.
Erwin membaca surat Yasin, napas si Kalek mengendur, ia
mengatupkan mata. Bukan hanya Erwin, kedua pendekar Minang itu pun tak kuasa
menahan air mata,
dapat merasakan kesedihan harimau yang manusia itu. Bersamaan dengan kepergian
nyawanya, tubuh harimau itu secara perlahan berubah menjadi manusia kembali. Ketika
tubuh telah
berubah sempurna, nyawa pun telah tiada. Si Kalek tak sempat berkata-kata.
Mereka semua takjub, terlebih lebih Datuk dan Koto. Selama ini mereka hanya pernah
mendengar
cerita. Kini mereka saksikan dengan mata sendiri. Suatu kenyataan yang tidak dapat
dimengerti, tetapi
juga tidak dapat dibantah.
Keempat orang itu berunding. Ada satu kesamaan, yaitu mayat itu harus dikuburkan.
�Bagaimana yang baik?� tanya Dja Lubuk. �Kita kuburkan di sini?�
Datuk dan Koto tidak menjawab, tetapi Erwin berpendapat
bahwa sebaiknya mayat itu diantarkan ke keluarganya. Agar mereka tahu kematian si
Kalek dan
mereka yang menguburkan mayatnya.
Walaupun akan timbul tanda tanya yang tak terjawab, tetapi mereka pasti akan
mendapat semacam
kelegaan, bahwa Kalek telah meninggal. Dan bukan mati tanpa tentu rimbanya.
Mereka tunggu hari malam diselingi dengan bacaan doa, agar dosa-dosa si Kalek
diampuni dan rohnya
diterima di yaumil mahsyar.
Pada malam hari mereka usung mayat si Kalek, diletakkan
dengan khidmat di surau kampung kediamannya. Pada waktu sholat
subuh orang sudah akan mengetahuinya.
Setelah itu, kedua manusia harimau dan kedua pendekar
meneruskan perjalanan. Kini tidak lagi berjalan kaki. Mereka naik bis yang hampir
penuh oleh
penumpang. Setelah jalan beberapa kilo, seorang penumpang berkata, �Ada yang lain
di dalam bis
ini.�
Semua penumpang memandang dan menunggu kelanjutan kata-katanya. Rupanya dia orang
berisi. Dja
Lubuk dan anaknya saling pandang, seolah-olah mengatakan, bahwa mereka harus
bersiap.
Seorang penumpang lain, yang tertarik tetapi tak mengerti apa maksud orang tadi
dengan kalimatnya
bertanya apakah yang lain itu. Penumpang lain yang umumnya orang Minang tak
bertanya.
Mereka hanya tahu, bahwa yang berkata itu tentunya seorang pintar sehingga
mengetahui ada yang
�lain�. Yang �lain� itu bica macam-macam. Bisa palasiek (semacam kuntilanak
pengisap darah
terutama darah bayi dan kanak-kanak), bisa cindaku, yaitu harimau jadijadian
seperti ayah Sabrina
yang dikeroyok orang di
kampungnya, bisa juga seorang pencopet yang tercium oleh orang pandai itu.
Pertanyaan tidak dijawab. Datuk dan Koto tahu, bahwa yang dimaksud orang
sekampungnya atau
sedaerahnya itu tentulah mereka, terutama sekali Dja Lubuk dan anaknya. Merasa
tersinggung oleh un\uk pandai orang orang tadi maka Datuk berkata, �Kalau ada yang
tidak berkenan
di hati Angku, turun sajalah di sini!�
Bagi yang mula-mula buka suara dan kemudian ternyata bergelar Angku Pasaman,
tanggapan Datuk
jelas merupakan tantangan. Dan ia lalu menyangka, bahwa orang inilah yang rupanya
�lain� itu. Dia
salah seorang di antara empat penumpang yang baru naik.
Penumpang-penumpang lain mulai gelisah. Si orang pandai
ditantang oleh orang yang merasa tersinggung. Mereka pun lalu menyangka bahwa
Datuklah orang
yang �lain� itu. Kalau bukan dia, mengapa pula dia harus merasa tersinggung dan
menanggapi, pikir
mereka. Dja Lubuk dan Erwin diam saja. Dalam hati mereka
merasa�senang kepada kawan yang menganggap penghinaan
kepada teman juga penghinaan kepada dirinya. Itu salah satu dari pertanda kawan
sejati.
Angku Pasaman pun bukan orang yang membiarkan tantangan
berlalu tanpa reaksi, la penganut setia pepatah orang Sumatera Barat �Kato baja-
wab, gayung
basambuik� maka ia menantang balik
�Saya orang biasa, yang lain itulah yang seharusnya turun, sebab bukan di dalam bis
ini tempatnya,�
lalu katanya kepada pengemudi
�Pir, berhenti sebentar. Ada yang mau turun hendak masuk ke rimba!� Jelas Angku
Pasaman sudah
tahu, bahwa yang
dimaksudkannya dengan �lain� itu adalah harimau l�di jadian. Itu yang dikenal di
sana. Manusia
harimau boleh dikata jarang sekali disebut, karena memang hanya ada beberapa di
daerah Minang.
Datuk yang tadi sudah menanggapi jadi tambah panas. Terang yang dimaksud orang usil
itu Dja Lubuk
atau anaknya, yang tidak menanggapi, karena mampu menahan diri. Sesudah Angku
Pasaman menyebut rimba pun mereka diam saja.
Supir menghentikan bis, suasana kian mencekam. Para
penumpang biasa tidak berani buka mulut. Mereka semua
ketakutan, entah apa yang akan terjadi. Dua orang sudah saling menantang didengar
orang banyak.
Apa hanya sampai di kata-kata saja? Bagi yang punya harga diri akan sangat
memalukan.
Datuk berdiri, bukan untuk langsung turun, te-tapi menarik tangan Angku Pasaman
sambil berkata,
�Tuan tentunya orang bagak, mari kita coba!�
Orang yang ditarik, bertahan tidak mau turun. Dja Lubuk
menyuruh Datuk duduk, yang dipatuhi tanpa tanya. Semua orang, termasuk Angku
Pasaman
menyangka, bahwa orang tua berambut dan berjanggut serta bermisai putih itu
tentulah ayah orang
yang menantang. Dja Lubuk memalingkan pandang kepada Angku
Pasaman, sehingga mata mereka bertemu. Hati orang itu
bergoncang, matanya tak kuat bertatapan dengan Dja Lubuk, la tunduk, menimbulkan
rasa heran
sekaligus mengetahui bahwa orang tua itu bukan orang sembarangan.
Berkata Dja Lubuk kepada supir bis �Bung supir, suruh kenekmu menurunkan kopor
hitam Angku ini.
Beliau ingin turun di sini saja.�
Membangkitkan kagum semua penumpang, Angku Pasaman
tanpa menjawab barang sepatah kata pun, bangkit lalu turun. Kenek menurunkan
kopornya. Betul
kopor itu berwarna hitam, membuat semua orang tambah heran. Sudah pasti orang itu
bukan mau
turun di sini, di tengah rimba yang terkenal menyimpan banyak harimau dan gajah.
Tetapi ia turun tanpa protes.
Setiba di bawah, Angku Pasaman berdiri terbo-doh-bodoh, mulai diselapi perasaan
takut, karena ia
bukan pawang harimau walaupun banyak kepandaian. Dan dia sadar, bahwa orang tua
yang
mengatakan dia mau turun di situ jauh lebih hebat dari dirinya.
�Jalan, bung supir,� pinta Dja Lubuk. Bis itu bergerak.
Tetapi setelah lebih kurang dua puluh meter, Dja Lubuk meminta supir supaya
berhenti lagi. Semua
orang heran, apa pula lagi yang akan dilakukan orang yang pasti punya kekuatan luar
biasa ini.
Dja Lubuk turun, tak ada seorangpun yang berani bertanya. Juga Erwin tidak. Setiba
di bawah, Dja
Lubuk memandang ke arah Angku Pasaman yang berdiri kebingungan, tak tahu akan
berbuat apa. Dja
Lubuk memanggil dengan tangannya. Orang yang turun bukan atas kemauan sendiri tadi,
datang.
Berdiri di hadapan Dja Lubuk seperti orang bisu.
�Naiklah,� kata Dja Lubuk. Dan orang itu naik tanpa kata.
la duduk kembali di tempatnya tadi, dipandangi semua
penumpang, tetapi tak seorangpun mengajukan pertanyaan. Mereka sudah paham. Bahwa
ilmunya
ditundukkan oleh orang tua yang impaknya hanya manusia sederhana saja.
Atas permintaan Dja Lubuk, bis berjalan lagi. Supir dan kenek pun tahu, bahwa
bersama mereka rida
seorang manusia yang
pandai luar biasa. Dia pasti punya ilmu penunduk (pitunduek).
Sampai di Sungai Dareh, keempat penumpang dari Sawahlunto itu turun, walaupun
sebenarnya bukan
itu tempat yang dituju.
�Mengapa kita turun di sini Amang?� tanya Erwin.
�Kasihan penumpang-penumpang bis itu. Selagi kita masih ada di sana mereka tercekam
dan tak dapat
berkata-kata. Dengan cara ini kita membebaskan mereka,� kata Dja Lubuk.
Datuk dan Koto seperti bermimpi. Rasa heran dan kagum sejak di Panorama Bukittinggi
sampai
pertarungan dengan harimau yang ternyata berasal dari manusia, kembalinya mereka
mendapatkan si
Kalek sampai mengantarkan mayatnya, kini bertambah lagi dengan rasa hormat, karena
orang ajaib
yang luar biasa tangguh itu ternyata punya hati yang penuh kemanusiaan.
Dibenarkannya Angku
Pasaman naik kembali ke bis setelah disuruhnya turun hanya melalui kekuatan
pandangan matanya,
membuat Datuk dan Koto menduga, bahwa inilah yang boleh dinamakan mahaguru.
Ketegasannya disertai oleh kemanusiaan yang amat tinggi terhadap siapa saja.
Termasuk terhadap
orang yang menghina atau hendak membinasakannya. Sangat jarang manusia punya
kebolehan dan
budi seperti Dja Lubuk. Kedua pendekar itu kini merasa bahwa diri mereka belum apa-
apa, baik dalam
hal tenaga dan ketangkasan maupun dalam budi pekerti.
Di sungai Dareh Dja Lubuk mengatakan, bahwa ia hendak
kembali ke Tapanuli karena merasa terpanggil. Mungkin
kehadirannya di negeri yang masih belum dijamah pembangunan itu amat diperlukan.
Datuk dan Koto
menangis sampai terisak-isak.
Selama hidup mereka belum pernah mengenal orang sehebat dan selembut Dja Lubuk,
walaupun
selain dia, tentu masih ada manusia-manusia yang tak kalah pintar dan baik hati.
Tetapi mereka bukan
manusia harimau yang sewaktu-waktu bangkit dari kuburannya.
0odwo0
Erwin menasehati kedua pesilat Minang itu untuk kembali saja ke Bukittinggi, sampai
nanti keadaan
membuat mereka bertemu lagi.
Tetapi Datuk dan Koto sangat memohon supaya boleh turut ke tempat tujuan Erwin.
Guna lebih
banyak melihat dan dengan begitu lebih banyak belajar, kata mereka.
�Dalam perjalanan dari Bukittinggi kemari saja kami sudah menyaksikan sendiri,
bahkan turut
mendapat pengalaman yang amat berharga. Ayah abang dan abang jelas merupakan guru
yang dapat
memberi banyak pelajaran.�
Erwin menyerah, lalu ketiga orang itu berangkat menuju
Palembang. Erwin akan langsung ke rumah Mei Lan, mohon maaf kepadanya dan
menjelaskan seluruh
peristiwa yang telah terjadi, la sangat berharap gadis itu dalam keadaan sehat-
sehat, karena di dalam
segala ketegangan yang secara beruntung dilaluinya ia tidak lupa kepada gadis
Tionghoa itu. Dan
selama hari-hari terakhir pikirannya diganggu kecemasan yang tidak jelas sebab
musababnya. Apakah Mei Lan ditimpa penyakitnya kembali?
Dalam perjalanan menuju Lubuklinggau, Erwin .��lalu termenung.
Jelas bagi Datuk dan Koto bahwa sahabat mereka itu memikirkan sesuatu yang cukup
berat. Rupanya
orang sehebat dia pun bisa tak berdaya terhadap godaan kenangan atau kecemasan.
�Apa yang Abang pikirkan?� tanya Datuk yang duduk di sampingnya. Meskipun ia lebih
tua beberapa
tahun, tetapi untuk menghormati Erwin, ia memanggilnya dengan abang. Sebutan Tuan
atau engku
akan kaku dan pasti merupakan hambatan dalam
hubungan yang diharap akan lebih akrab. Panggilan �guru� tentu tidak disukai oleh
orang hebat yang
amat bersahaja itu.
�Datuk memperhatikan? Memang banyak yang kupikirkan dan kadang-kadang aku cemas
tanpa
mengetahui apa sebabnya.
Biasanya pertanda akan adanya sahabat atau keluarga yang ditimpa musibah. Aku masih
berpendapat,
bahwa sebaiknya kalian tidak usah turut ke Palembang. Di Lubuklinggau kita
berpisah,
bagaimana pikiran Datuk?� tanya Erwin.
�Walaupun baru beberapa hari, tetapi telah banyak yang kami alami. Kami akan
mengantar Abang
sampai ke Palembang. Kalau
ada yang menghadang, ijinkan kami turut menghadapi! Kalau kami harus mati, kami
ikhlas dengan
sepenuh hati!� kata Datuk dan ia berkata yang sebenarnya.
�Baiklah, kalau sudah begitu keinginan hati Datuk dan Koto.�
Hujan lebat menyambut ketibaan mereka di Lubuklinggau.
Mereka menyewa satu kamar untuk bertiga di penginapan sangat sederhana. Erwin masih
punya
sedikit uang. Bayar di muka, karena mereka bertiga hanya punya buntelan kecil. Bagi
penanggung
jawab penginapan dinilai sebagai tamu yang tidak bonafide. Ini bangsanya yang lari
malam tanpa
membayar.
Apa mau dikata, pada malam itu penginapan jadi heboh oleh ributnya orang tamu yang
pedagang. Dia
kecurian uang dan
perhiasan. Dan apa boleh buat lagi, Erwin dan kawan-kawannya dicurigai sebagai
pelaku.
0odwo0
EMPATBELAS
KETIGA sahabat itu merasa dihina. Mereka memang tidak punya apa-apa. Berjalan jauh
tanpa
perbekalan. Tetapi seumur hidup mereka belum pernah mengambil hak orang lain.
Apalagi dengan
memasuki kamar dan mencuri.
Seorang berbadan tegap yang bertugas sebagai penjaga
keamanan penginapan sangat sederhana itu mendatangi Erwin dan kedua kawannya dan
mengajaknya
masuk kamar.
Dia menerangkan, bahwa persoalan itu tidak perlu diperbesar apalagi dihebohkan.
Hanya membuat
malu, katanya. Dia
mengatakan, agar barang-barang yang dicuri itu dikembalikan saja dan tidak akan
dibuat perkara apa
pun.
Erwin tidak bereaksi. Dengan begitu ia berusaha sekuat-kuatnya menenangkan diri. la
melihat bahwa
Koto dan Datuk bukan hanya merasa amat malu karena dihina, tetapi sudah sukar
menahan
amarah mereka. Mereka masih berhasil mengekang diri, karena diberi isyarat oleh
Erwin agar
bersabar.
�Kami mau bersumpah dengan cara apa pun, bahwa kami tidak tahu menahu dengan
pencurian itu,�
kata Erwin.
�Di jaman ini sumpah tidak lagi menjamin suatu kebenaran,� kata Dirham yang
bertanggung jawab
atas keamanan tamu di
penginapan itu. Kata-kata itu memang benar, tetapi di masyarakat yang penuh dengan
berbagai jenis
penjahat ini, masih cukup banyak manusia yang takut akan kutukan sumpah. Kalau
mereka ini sampai
berani bersumpah tandanya mereka telah berkata benar.
�Kalian tidak keberatan kami geledah kamar ni dan diri kalian?�
tanya Dirham. Berharap bahwa penggeledahan itu akan
menghapuskan tuduhan terhadap diri mereka, maka Erwin setuju, walaupun panas
hatinya kian
meningkat.
Dirham memanggil dua orang kawan untuk memeriksa kamar
yang ditempati oleh ketiga tamu yang tidak punya kopor dan amat sedikit uang.
Semuanya dibulakbalik,
sehingga isi kamar yang tidak seberapa itu jadi porak-poranda. Tidak ketemu a apa.
Meskipun
malu, ketiga sahabat itu merasa agak lega. Kini lepaslah mereka dari tuduhan.
Tetapi kelegaan itu
hanya beberapa saat. Yang kehilangan segera berkata, bahwa ketiga orang itu tentu
telah
menyembunyikannya di lain tempat. Mereka tentu tidak terlalu bodoh untuk menyimpan
batang
berharga dan uang curian itu di dalam kamar. Sebab mereka pun tahu bahwa kamar
mereka akan
digeledah.
Mendengar tuduhan itu Erwin tidak merasa perlu lagi menahan diri yang sudah amat
sulit
dikendalikan, la melompat ke arah penuduh itu, be gitu cepat dan di luar dugaan,
sehingga Tamsir, si
pedagang yang kecurian dan punya mulut ceroboh itu, tidak sempat mengelak agak
selangkah pun.
Satu tamparan keras menghantam pipinya, membuat ia terjajar, tetapi tidak sampai
jatuh. Dirham
bertindak karena merasa kewajibannya melindungi Tamsir. Sudah kecurian, dipukul
pula. Dirham
melayangkan tinjunya dengan sepenuh tenaga ke muka Erwin. Malang baginya, tidak
mengena,
karena ditepiskan oleh si manusia harimau dengan tangan kirinya, sementara tangan
kanannya
bersarang ke rusuk di petugas
keamanan. Kalau tinju Dirham yang besar mengenai sasaran, pasti muka Erwin akan
pecah, tetapi kini
dialah yang terbungkuk sambil memegang rusuknya yang terkena sodokan tangan Erwin.
Padahal
pukulan Erwin hanya mempergunakan tiga puluh persen dari tenaga biasa.
�Bunuh!� teriak Tamsir yang merasa sangat dihina oleh orang miskin itu, dengan
keyakinan bahwa
beberapa belas orang yang berkerumun di situ tentu akan membantai Erwin dengan
kedua kawannya,
yang kelihatan bersiap-siap untuk menyambut segala kemungkinan. Tetapi tak ada
seorangpun yang
memberi respons.
Pukulan Erwin terhadap Tamsir dan Dirham membuat mereka
berpikir untuk melibatkan diri.
�Apalagi kalian semua, pengecut!� hardik Dirham yang kini dendam kepada Erwin. Si
bangsat
gelandangan itu berani
meletakkan tangan atas dirinya. Betul-betul cari mati. Sambil berkata begitu Dirham
melompat lagi
dengan tindakan diarahkan ke dada Erwin. Tidak lagi sekuat tadi, karena rusuknya
masih terasa sakit.
Sekali lagi Erwin menepiskan pukulan itu dan sekali lagi pula tangannya masuk ke
rusuk Dirham.
Kalau tadi menerpa rusuk kanan, kini yang sebelah kiri.
Sementara itu beberapa orang Polisi di bawah pimpinan Kapten Kahar Nasution yang
rupanya
diberitahu melalui telepon tentang adanya pencurian dan keonaran di penginapan itu
telah tiba di sana.
�Itu dia pencurinya. Pak Kapten,� kata Dirham yang mengenal perwira Polisi itu.
�Orangnya sedang
kalap!�
Kapten Kahar memperhatikan Erwin, memandang dari atas ke
bawah. Dia juga melihat ke araA Koto dan Datuk.
Tamsir menceritakan apa yang terjadi. Dirham menyatakan
keyakinannya bahwa yang pantas dicurigai hanya Erwin dengan kedua kawannya.
�Bagaimana itu Saudara Erwin?� tanya Nasution yang tenang-tenang saja karena tidak
terpengaruh
oleh tuduhan.
�Kalau orang yang tidak punya apa-apa pantas dituduh jadi pencuri karena ada orang
yang kehi angan,
pantaslah kami dituduh.
Karena kami memang tidak punya apa-apa. Perjalanan kami dari Bukittinggi sebagian
dilakukan
dengan jalan kaki,� jawab Erwin tenang.
�Saya datang kemari hanya menjalankan tugas. Boleh saya bertanya tanpa menyinggung
perasaan
Saudara?� tanya Kapten Kahar, la lalu bertanya, pakah tuduhan Tamsir dan Dirham
benar.
Erwin menyangkal. Seumur hidupnya tidak pernah mencuri dan dia tidak akan pernah
jadi pencuri.
�Pasti dia dan kedua kawannya itu yang mencuri Pak Kapten,�
kata Dirham. �Kalau kena cara nya mereka pasti mengaku,�
tambahnya.
�Tidak ada cara yang akan membuat saya mengakui perbuatan yang tidak saya lakukan,�
kata Erwin.
Kahar yang tetap tenang tetapi mengikuti semua kata-kata yang menuduh dan dituduh
berkata:
�Baiklah, yang kehilangan dan Saudara Dirham begitu pula para tersangka ikut dengan
saya ke Kantor
Polisi untuk memberi keterangan.� Kahar yang tidak suka dengan suasana tegang
bertanya dari mana
asal Erwin dan
kedu��kawannya.
�Saya dari Mandailing dan kedua sahabat saya ini kenalan baru di Bukittinggi, ingin
turut ke
Palembang. Mungkin oleh perasaan asal daerah yang sama, Kahar bertanya, siapa orang
tua Erwin.
�Ayah saya sudah tidak ada. IMama beliau Dja Lubuk f� jawab Erwin.
Jawaban benar dan sederhana itu rupanya membuat Kapten
Kahar Nasution agak terkejut. Dia pernah mendengar cerita yang seperti dongeng
tentang Dja Lubuk
dengan anaknya Erwin. Dia dengar juga tentang seorang laki-laki bernama Erwin di
dalam kematian
hartawan Husni yang dibinasakan oleh harimau di luar
kota Muara Bungo. Apakah benar ini orangnya? Bukan tak mungkin dia ! hanya mengaku-
ngaku anak
Dja Lubuk dengan ha-i rapan orang takut kepadanya karena nama Dja Lubuk cukup
disegani oleh
mereka yang mengenal kisahnya. Ketika Kapten Polisi Kahar berpikir bahwa mungkin
orang ini hanya
omong kosong, mendadak
terdengar suara harimau di penginapan itu. Semua orang terkejut, juga Kapten Kahar.
Tetapi ia segera
paham, bahwa orang yang disangka mencuri itu berkata benar. Yang mengaum itu Dja
Lubuk, ayah
Erwin yang selalu hadir dimana anaknya terjepit. Kapten Kahar tidak akan mundur
dalam
menjalankan tugas, tetapi dia akan berhati-hati. Dia tahu tentang beberapa anggota
Polisi yang tewas
di Jakarta.
�Kapten,� kata Erwin. �Sebelum Kapten membawa kami ke Kantor Polisi, saya punya
usul. Yang jadi
masalah pencurian dan siapa yang mencuri. Bagaimana kalau Kapten perintahkan agar
semua orang
yang menginap di hotel ini dan semua petugasnya berkumpul. Siapa tahu. Kapten akan
mendapat
pencurinya di sini.
Barangkali kawan-kawan saya, barangkali saya. Tetapi barangkali juga orang lain
yang ada di antara
kita!�
�Saya rasa tidak perlu Pak Kapten,� kata Dirham. �Sudah pasti mereka. Usulnya itu
hanya suatu
muslihat licik untuk mengibuli Pak Kapten dan kita semua!�
�Saya tidak percaya kepada mereka, tetapi usulnya itu bukan usul yang pasti tak
berguna. Kalau dia
licik, akan kita ketahui juga kelicikannya!� kata Kapten Nasution dan ia
memerintahkan bawahannya
untuk mengumpulkan semua tamu dan petugas
penginapan. Setelah semua berkumpul, pihak penegak hukum
secara singkat menceritakan apa yang mereka sudah ketahui.
Seorang tamu kemalingan dan tiga tamu lainnya disangka menjadi pencurinya, karena
mereka tidak
memiliki apa-apa. Menyangka saja bukan merupakan kekuatan untuk menahan seseorang,
apalagi
membawanya ke pengadilan.
�Bapak kan tahu caranya, bagaimana membuat maling mengakui perbuatannya,� kata
Dirham. Tamsir
menguatkan. Kedua orang ini
ingin Erwin dihajar sampai rusak, karena kedua-duanya sudah mendapat pelajaran dari
si manusia
harimau itu. Se kali lagi terdengar auman harimau di dalam penginapan itu. Dekat
dan jelas sekali.
Orang tambah takut dan gelisah.
�Apa itu Pak Kapten. Seperti suara nenek be-lang,� kata Tamsir.
Mereka semua berkata serupa, Kapten Kahar pun mengatakan, bahwa ia juga mendengar.
Kemudian perwira Polisi itu berkata lagi �Barangkali harimau keramat. Saya pernah
mendengar
bahwa di sekitar sini memang ada harimau aneh. la datang kalau ada kejadian yang
tidak baik.
Tetapi dia tidak mengganggu manusia yang tidak berdosa. Saya ingin bertanya kepada
kalian �Saya
mau mencari jalan tengah.
Kalau benar tak mungkin orang lain yang mencuri, saya akan bawa ketiga orang ini.
Tetapi kalau
misalnya bukan mereka yang mencuri, saya harap pencuri yang sebenarnya berbaik hati
untuk
mengaku.
Saya rasa yang kehilangan akan puas kalau barang dan uangnya dikembalikan.
Bagaimana Saudara
Tamsir!� Kapten Polisi Kahar berkata begitu, karena ia tidak ingin jatuh korban
karena amarah Dja
Lubuk, la yakin, bahwa Erwin ini benar anak Dja Lubuk.
Perasaannya itu pasti tidak keliru, begitu pikirnya walaupun ia tidak
memperlihatkannya.
Ketika tidak ada seorang pun yang mengaku, Erwin mohon ijin untuk bicara.
�Saya punya pisau yang dapat menunjukkan siapa yang mencuri, kalau dia ada di
antara kita,� kata
Erwin. �Sudah tentu, kalau Kapten percaya, bahwa di belahan bumi ini masih ada
kekuatan gaib
tersimpan di dalam berbagai tempat. Termasuk di dalam diri manusia, hewan dan benda
mati.� Kapten
Kahar semakin percaya, bahwa inilah dia orangnya yang bernama Erwin, yang manusia
harimau
seperti ayahnya. Yang mengaum tadi tentu ayahnya, la pernah mendengar cerita yang
seperti dongeng,
bahwa Dja Lubuk akan bangkit dari makamnya kalau anaknya dalam bahaya.
�Bagaimana Tuan-tuan, tak ada ruginya kita lihat pisau orang yang Tuan-tuan tuduh
ini. Apakah benar
punya kemampuan
menunjukkan siapa yang sebenarnya melakukan pencurian!� kata Kapten Kahar Nasution.
�Ah, itu hanya sulap atau sihir yang akan menipu pandangan mata kita!� kata Dirham
yang belum
puas menghina Erwin.
�Kalau begitu kita tonton sulapnya itu,� kata Kahar sambil bertanya kepada Erwin.
�Apakah kami
harus membayar?�
�Kami bukan tukang bikin pertunjukan Kapten!� jawab Erwin singkat.
Kapten Kahar memerintahkan anak buahnya supaya membuat
semua orang duduk membentuk lingkaran. Walaupun Dirham dan Tamsir serta seinlah
orang
keberatan, mereka terpaksa menurut perintah para penegak hukum itu. Kalau engkar
bisa dianggap
takut.
Dan takut, tanda bersalah.
Erwin duduk di tengah-tengah, sementara kedua sahabatnya
turut membuat lingkaran bersama hadirin yang lainnya. Datuk dan Koto semakin hormat
kepada
Erwin yang rupanya masih menyimpan banyak kepandaian. Betapa enaknya, kalau mereka
mempunyai
kepintaran semacam anak muda itu.
Tak kurang dari Kapten Kahar sendiri yang membuat pedupaan.
Orang-orang heran, tetapi ia membuang rasa heran itu dengan berkata, �Jangan heran,
saya juga
manusia semacam kalian semua.
Dan saya selalu tertarik dengan kekuatan-kekuatan gaib!�
Erwin memulai setelah beberapa saat menenangkan diri dan
mengkhusukkan segenap perhatian. Setelah pikirannya menjadi satu ia membaca mantra
seperti yang
telah beberapa kali dilakukannya kalau ingin mengetahui sesuatu yang masih gelap.
Pisau yang diletakkan di atas piring ceper mulai bergerak. Ke kiri dan ke kanan.
Yang menyaksikan,
termasuk Kapten Kahar dan kedua orang yang melemparkan tuduhan berat atas dirinya
menumpahkan seluruh perhatian. Kapten Kahar karena tertarik, Dirham dan Tamsir
karena mulai
takut. Yang mereka tuduh dan hina itu rupanya seorang dukun yang barangkali
termasuk kaliber
lumayan.
�Saudaraku Siti Alus,� kata Erwin. �Semua manusia yang ada ini percaya, bahwa kau
tidak akan mau
berdusta. Kau akan menikam siapa saja yang coba menumbangkan kejujuranmu dengan
kekuatan
hitam yang ada padanya.�
Suasana sangat hening, tetapi terasa mencekam. �Siti Alus, tolong jawab
pertanyaanku ini. Apakah si
pencuri uang dan barang saudagar Tamsir ada di antara kami yang hadir, termasuk
diriku?
Kalau ada, berdiri dan menjulanglah pelan-pelan.� Suasana tambah tegang dan
beberapa wajah
memperlihatkan rasa takut. Pucat.
Pisau yang diberi nama Siti Alus itu bergerak, pelan-pelan berdiri sampai lurus di
atas piring.
Kemudian ia bergerak, naik. Semua mata seperti tidak percaya akan apa yang mereka
lihat! la seperti
mengatakan, bahwa si pencuri ada di antara mereka yang hadir.
0odwo0
LIMABELAS
PISAU itu kian tinggi dari piring sampai sebatas kepala Erwin dan para hadirin yang
duduk di
sekelilingnya. Kemudian berhenti, tanpa ada penahan dari atas, tanpa penunjang dari
bawah.
�Yang mencuri uang dan perhiasan berharga milik Tamsir ada di antara kita.
Barangkali saya.
Barangkali kepala keamanan yang sangat keras menuduh saya!� kata Erwin dengan suara
lantang
tetapi tenang.
�Bohong,� teriak Dirham.
�Dia tidak menuduh, hanya mengatakan mungkin dia sendiri, mungkin juga Saudara.
Mengapa mesti
marah!� kata Kapten Kahar.
Kata Erwin melanjutkan,� Pisau ini boleh kita minta sekedar menunjukkan pencurinya
atau langsung
menembus jantungnya!�
Tiba-tiba dua orang muda berpakaian parlente berteriak, �Kami
yang mengambil. Kami mengaku, jangan ditikam!� Semua orang tercengang, kemudian
terdengar
bisik-bisik. Tamsir dan Dirham malu bukan kepalang.
�Bagaimana Saudara Tamsir dan kepala keamanan?� tanya Kapten Kahar. �Orang miskin
tidak mesti
dituduh mencuri.
Percayakah kalian pada pengakuan kedua orang ini? Ataukah kalian pikir mereka
mustahil mencuri.
Di antara semua yang hadir tampaknya merekalah yang paling mampu!�
Dirham dan Tamsir diam. Mereka tidak merasa perlu minta maaf, hanya kepada seorang
dukun yang
tidak memiliki apa-apa selain sedikit kepintaran.
Dirham malah berkata, �Rupanya dia dukun. Kukira pantaslah kalau Tuan Tamsir
memberi sekedar
upah!�
Erwin membaca mantra lagi dan pisaunya turun perlahan-lahan sampai rebah kembali di
atas piring
tanpa memberi suara.
�Berapa upahnya dukun?� tanya Tamsir yang ternyata punya sifat sombong. Dia tidak
takut, karena
bukankah di sana ada Polisi?
Dukun itu tak kan berani macam-macam. Tetapi dengan amat
mengejutkan orang banyak, tiba-tiba Tamsir terjungkal ke depan, seperti ada yang
memukul
tengkuknya. Padahal tidak ada orang yang memukul, la duduk kembali dengan perasaan
takut dan
malu.
Terasa benar olehnya ada yang memukul, sementara semua orang tidak melihat ada
pendatang baru.
Untuk menutupi rasa malu Tamsir berkata �Saya agak pening!�
�Saya harus membayar dukun berapa?� tanya Tamsir.
�Kukira seribu rupiah sudah cukup,� kata Dirham.
Kini giliran Dirham tersungkur sambil menjerit. �Anda juga pening?� tanya Kapten
Kahar. �Tidak,
seperti ada setan memukul saya dari belakang. Barangkali setan itu marah mendengar
upah seribu.
Berilah dua ribu Tuan Tamsir!�
�Manusia sombong,� bentak Erwin. Kini dengan suara
menggeledek yang tidak sesuai dengan ukuran tubuhnya. �Aku memang miskin. Hampir
tidak pernah
memegang uang ribuan.
Tetapi aku beritahu kepadamu, bahwa aku meminta bantuan Siti Alus hanya untuk
mengetahui siapa
pencuri yang sebenarnya.
Bukan untuk mencari upah. Kau dengar kataku? Aku tidak suka berkelahi, tetapi
karena merasa kau
sangat menghina diriku, aku tantang kau untuk beradu tenaga. Dengan senjata boleh,
dengan tangan
kosong pun jadi. Ataukah kau dengan senjata pilihanmu dan aku dengan tangan kosong!
Anggaplah
sebagai permainan antara andalan Lubuklinggau yang tegap besar, sarat gizi, dengan
seorang perantau
miskin yang tak pernah makan sempurna. Tadi kau
bernafsu sekali meninjuku. Kalau kena mukaku, pasti akan remuk sampai tak bisa
dikenal lagi.�
Semua orang memandang Dirham yang berbadan besar dan
kekar. Tetapi di luar dugaan, Datuk bangkit dari tempatnya duduk, melangkah ke
Dirham dan
menendang mukanya secara ahli,
sehingga petugas keamanan itu terjungkal lagi. Kini ke belakang dengan hidung
mengeluarkan darah.
�Bangkitlah!� bentak Datuk. Ketika orang itu hendak bangkit berdiri, satu tendangan
keras menerpa
dadanya. Kapten Polisi Kahar melompat dan menahan Datuk untuk melerai.
�Maaf Pak Kapten� kata Datuk sopan dalam amarah. �Perbuatan saya ini tidak pantas,
apalagi di
hadapan Bapak. Tetapi
kesombongan orang ini sejak tadi terlalu menyakitkan hati.�
Kata-kata yang mengandung kesadaran itu membuat perwira
yang lapang hati itu dapat mengerti.
�Siapakah saudara, mengapa sampai berjalan kaki sejauh itu?�
tanya Kapten itu ramah. Semua hadirin pasang telinga, ingin tahu kisah ketiga orang
yang rupanya
bukan petualang biasa.
�Di negeri saya, bagaimanapun miskinnya, saya ini bergelar
�datuk� dan orang yang disegani. Bersama sahabat saya Koto kami bertemu dengan Pak
Erwin.
Melihat sifat dan kemampuannya kami memutuskan untuk belajar dari dia. Walaupun
baru beberapa
hari
kenal, tetapi selama itu kami sudah tahu betul siapa dan bagaimana dia sebenarnya.
Kami pun sudah
mengenal ayah beliau yang
diterangkan beliau tadi!� kata Datuk.
�Tuan Dja Lubuk?� tanya sang Kapten.
�Ya, kami sudah bertemu, pernah seperjalanan, sudah
menyalamnya! Pak Kapten juga sudah?� Kedua orang itu bercerita seperti dua orang
sahabat. Kapten
Kahar cukup tahu, bagaimana pandangan masyarakat daerah di Minangkabau terhadap
Datuk mereka.
�Saya belum pernah bertemu, tetapi ada juga mendengar ceritanya,� kata Kapten
Kahar. �Ingin saya
bertemu dengan orang hebat itu!�
�Lebih dari hebat Pak,� kata Datuk. �Tetapi punya hati sehalus sutera. Itulah yang
membuat kami
sangat heran. Kekerasan, kejujuran dan kelembuta n bergabung di dalam satu diri!�
Orang ramai jadi tidak lagi memikirkan si Tamsir yang kecurian, tetapi seluruh
perhatian mereka
beralih kepada cerita Datuk tentang Dja Lubuk. Kebetulan tidak ada seorang pun di
antara mereka �
selain Kapten Kahar� yang pernah mendengar kisah tentang diri manusia harimau itu.
Sebuah auman lagi. Singkat tetapi keras, la menunjukkan
kehadirannya.
�Tuan,� teriak Datuk tanpa sengaja. �Tampillah Tuan Guru supaya dilihat oleh orang-
orang ini!� Dan
Datuk dengan sepenuh hati ingin agar Dja Lubuk memperlihatkan diri supaya mereka
tahu, siapakah
Erwin dan mereka berdua yang tadi dituduh mencuri, la akan bangga, kalau Dja Lubuk
tampil di sana.
Tanpa memberi isyarat, tiba-tiba saja sudah berdiri di tengah lingkaran orang-orang
yang masih duduk
itu, suatu makhluk yang hanya pernah dilihat oleh Datuk, Koto dan tentunya Erwin
yang anak
kandungnya. Seluruh tubuhnya harimau. Hanya kepala
merupakan seorang laki-laki tua tetap ganteng dan berwibawa
dengan mata yang tak ter tentang oleh siapa pun: Dja Lubuk!
Semua orang berubah jadi pucat. Beberapa wanita yang juga tamu hotel, menyertai
suami atau orang
tua gemetar lalu pingsan.
Kapten Kahar Nasution tidak luput dari terkejut dan seperti sukar percaya akan apa
yang dilihatnya.
Padahal ia sudah mendengar kisah tentang Dja Lubuk si manusia harimau yang
meninggal dan
dikuburkan di Mandailing tetapi kadang-kadang bangkit lagi untuk tampil di tempat
yang perlu.
Sampai-sampai di Pulau Jawa.
�Kau petugas yang baik Kahar. Mengabdilah dengan sebersih hati untuk bangsa dan
negara. Jangan
lupa kampung halaman. Lihat-lihat juga ke sana bagaimana keadaannya!�
�Terima kasih Ompung Guru,� sahut Kahar dengan suara jelas tetapi bergetar, la
memang sudah lama
tidak pulang ke
kampungnya. Tetapi dia mendengar, bahwa Mandailing masih
sangat ketinggalan. Banyak penduduknya yang miskin dan melarat.
Pada waktu itu juga datang niat di dalam hatinya untuk pulang sebentar ke
Mandailing pada
kesempatan pertama.
�Bagus,� kata Dja Lubuk, �niatmu itu saja pun sudah sangat bagus. Menandakan kau
belum lupa pada
asalmu!�
Kahar Nasution heran dan kagum. Dja Lubuk benar-benar
keramat, pikirnya.
�Bolehkah saya maju menyalam Ompung Guru?� tanya Kapten Kahar.
Manusia bertubuh harimau atau harimau berkepala manusia itu tertawa lalu berkata.
�Kalau kau tidak
jijik menjamah tanganku yang berbulu dan berkuku tajam-tajam ini, maka akulah yang
mestinya
berterima kasih. Mendapat kehormatan disa lam oleh seorang Nasution asal Mandailing
yang sudah
Kapten Polisi. Kudoakan, pada akhir tahun ini kau sudah akan naik pangkat jadi
Mayor, Kahar!
Kapten Kahar bergerak dengan mengingsut ke ah Dja Lubuk.
Sebelum ia sampai, makhluk itu telah berubah menjadi seorang tua biasa. Kepala yang
sama dengan
tubuh manusia sepenuhnya.
Hampir semua hadirin yang masih mampu menguasai diri
menyebut Allahuakbar karena apa yang mereka saksikan itu hanya bisa terjadi oleh
Kebesaran dan
Kekuasaan Tuhan yang tidak ada batasnya. Beberapa orang sujud, ketika Kapten Polisi
Kahar Nasution
menjabat dan menyalam tangan Dja Lubuk.
�Selama kau menjalankan tugas dengan hati bersih, tidak menyalahgunakan wewenangmu,
Insya
Allah kau akan dilindungi Tuhan.� Perwira Polisi itu mundur kembali ke tempat ia
duduk tadi.
Setelah Kahar duduk kembali, Dja Lubuk memandang ke
sekelilingnya, meletakkan tangan kanannya di atas kepala Erwin.
Kemudian hilang dari pandangan.
Serentak Dirham dan Tamsir mendatangi Erwin dan kedua
sahabatnya, menyalam mohon maaf. Sebenarnya mereka sangat malu berbuat begitu
karena tadinya
mereka telah bersikap terlalu kasar dan sombong. Tetapi kehilangan muka bagi mereka
masih lebih
baik daripada kehilangan nyawa yang bisa saja terjadi kalau Erwin yang punya
berbagai ilmu itu
hendak membalas dendam.
Pisau yang dapat disuruhnya itu tentu dengan mudah dapat pula diperintah untuk
mendatangi mereka
di mana saja, lalu menusuk jantung mereka tanpa ada tangan yang menikamnya.
Dirham yang amat ketakutan menawarkan kepada Erwin untuk
menginap dan makan minum apa saja yang dikehendakinya tanpa membayar. Dengan halus
ia
menolak. Tawaran Kapten Kahar
Nasution untuk menjadi tamunya pun ditolaknya dengan ucapan terima kasih.
Kedua orang yang mencuri barang dan uang
Tamsir dibawa ke Kantor Polisi untuk diproses. Ternyata mereka memang pencuri
profesional yang
selalu beroperasi di hotel-hotel.
Di kopor mereka terdapat banyak sekali kunci untuk membuka pintu kamar yang jadi
sasaran. Juga
senjata api. Selain itu cukup pakaian bermutu untuk menampilkan diri sebagai orang-
orang baik dan
mampu. Mereka jarang menginap di penginapan amat sederhana, seperti yang mereka
lakukan sekali
ini di Lubuklinggau. Tetapi
mereka sudah tahu, bahwa Tamsir, seorang pedagang kaya yang tidak suka menginap di
tempat
mewah untuk menghindari biaya besar dan menarik perhatian maling dan penodong.
Bawahan Kapten Kahar Nasution yang turut menyaksikan seluruh kejadian di penginapan
merasa
hebat karena dapat menceritakan suatu kejadian nyata yang layaknya hanya terdapat
di dalam
dongeng. Rekan-rekan mereka semula tidak percaya, tetapi karena dipersilakan
bertanya sendiri
kepada sang Kapten atau orang-orang yang di penginapan, mereka jadi menyesal
mengapa tadi tidak
dibawa serta.
�Kalian melihat sendiri? Bukan sulap?� tanya beberapa Polisi.
�Pak Kapten bicara dan bersalaman dengannya!�
�Dengan harimau yang berkepala manusia?�
�Ya. Sudah tua, rambut dan misainya putih. Tetapi sangat ganteng dan penuh wibawa.
Pandang-?in
matanya akan membuat jantung berdebar dan kalau kurang kuat iman, bisa rontok!�
Kapten Kahar Nasution juga rindu kepada kampungnya di
Mandailing yang sampai sekarang masih kurang dijamah kemajuan, kurang pula diingat
oleh mereka
yang sudah senang dirantau, kalau daerah luar Mandailing harus dikatakan daerah
perantauan bagi
mereka yang meninggalkan kampung halamannya. Banyak rumah yang dibangun lebih empat
puluh
tahun yang lalu sudah miring atau bahkan hampir roboh tanpa ada tangan-tangan yang
memperbaikinya karena tiada biaya untuk itu. Di sela-sela kemiskinan yang memilukan
itulah terselip
kisah dan kejadian yang penuh misteri. Di negeri asalnya itu banyak harimau hidup
berdampingan
secara damai dengan manusia. Karena meskipun miskin orang-orang asli daerah itu
tidak akan
menggusur
pemukiman si raja bolang. Namun begitu bukan tak ada manusia peladang atau penyadap
karet yang
diterkam dan dimakan harimau.
Karena mereka membuat kesalahan yang jadi pantangan si raja rimba atau�kata orang�
karena
orang malang itu sudah
ditakdirkan untuk jadi korban harimau. Tetapi yang begitu sangat
jarang terjadi. Penulis cerita ini biasa bertemu dengan Ompung Bolang. Saling
pandang atau ia
memintas tanpa menghiraukan kehadiran makhluk sedaerahnya selama mereka tidak
disakiti dan
dirugikan. Biasanya, kalau berpapasan dan saling pandang si gagah perkasa lalu
menghindar. Anda
tentu tak percaya, atau sukar percaya, tetapi begitulah kejadian yang tidak aneh
bagi banyak penduduk
di sana.
Ketika menghitung dana sisa uang tahulah ketiga sahabat itu bahwa mereka sudah
hampir kehabisan
sama sekali. Tetapi mereka melangkah juga. Belum beberapa jauh mereka berjalan,
ketika tiba-tiba
sebuah jip yang datang dari belakang berhenti di depan mereka. Seorang berpakaian
seragam Polisi
turun. Kapten Kahar Nasution. �Kuminta Saudara Erwin menolongku! Begitu juga Datuk
dan Saudara
Koto!� kata Kapten Kahar memohon.
0odwo0
ENAMBELAS
TENTU saja Erwin merasa aneh dengan pencegatan Kapten
Kahar. Apalagi dia pula yang duluan memberi salam kepada Erwin yang menurut
pandangan umum
tidak selayaknya mendapat
kehormatan begitu dari seorang perwira yang sudah berpangkat Kapten. Karena Datuk
dan Koto juga
disebut, maka kedua pendekar ini bertanya-tanya pertolongan apa pulalah yang dapat
diharapkan dari
mereka. Selama berhadapan, lalu bersahabat dan sejalan dengan Erwin dan Dja Lubuk,
mereka
menyadari, bahwa mereka berdua masih belum apa-apa. Hanya terbawa nasib mujur,
turut jadi orang
disegani di negeri �orang�.
Erwin hanya memandang sang perwira tanpa tanya. Hanya di
dalam hati ia sempat berpikir, apakah nasib yang serupa selalu datang berulang?
Apakah terjadi suatu
peristiwa seperti di Medan, ketika ia juga tidak punya uang? Ketika itu ia telah
menawarkan diri untuk
mencoba melihat pemilik penginapan yang sudah lama
dilanda penyakit tak kun�
ng sembuh, walaupun sudah banyak dokter dan belasan dukun mencoba. Termasuk di
antaranya dukun
yang disebut-sebut sebagai dukun kawakan. Usaha Erwin ternyata berhasil gemilang
dan itu untuk
pertama kali ia mengambil agak banyak dari hadiah yang diberikan kepadanya. Guna
ongkos di jalan.
�Saya sama sekali tidak ingin menunda keberangkatan kalian, tetapi kalau kalian mau
mengundurkannya, mungkin kalian akan menghasilkan banyak kebaikan,� kata Kapten
Kahar.
�Kebaikan apa,� kata Erwin bukan bertanya tetapi lebih cenderung tidak masuk akal.
Sebagai biasa,
walaupun punya ilmu tinggi, ia selalu merasa tidak punya apa-apa. Di situlah
letaknya kelebihan orang
yang benar-benar berilmu.
�Agak panjang untuk diceritakan di sini. Tidak menyangkut diriku pribadi.�
�Saya tak mengerti, urusan apakah ini? Saya tidak punya banyak simpanan. Kapten.
Kemampuanku
hanya sekedar yang Kapten
saksikan itulah!� kata Erwin.
�Ini bukan soal pencurian. Soal kemanusiaan. Perasaanku mengatakan, bahwa Saudara
Erwin dapat
berbuat sesuatu. Dan kalau itu diperkenankan Tuhan saya akan turut bangga, ka.ena
kita dari daerah
yang sama. Kalau diusut-usut teliti dan mendalam, barangkali kita pun berkeluarga.�
Erwin tahu, bahwa Kahar begitu bukan untuk menyenangkannya, la hargai kerendahan
hati perwira
Polisi itu. Tidak banyak yang begitu.
�Bagaimana Datuk dan Saudara Koto?� tanya l rwin untuk memberi tahu kedua
sahabatnya, bahwa
mereka bukan hanya
peserta tanpa suara.
Koto memandang Datuk, yang menyatakan bahwa kalau betul
ada yang dapat dilakukan untuk Kapten, apa salahnya menunda keberangkatan beberapa
jam. Dan
sesuai dengan harapan Erwin, Datuk memang merasa senang dengan pertanyaan Erwin
yang
meminta pendapatnya.
Ketiga orang yang tadi berjalan kaki, kini masuk ke dalam jip Kapten Kahar. Tidak
bertanya akan ke
mana. Cara Erwin ini pun menimbulkan rasa senang kepada Kahar. Erwin tidak ragu-
ragu.
Rumah yang disinggahi atau dimasuki tak lain dari rumah Kahar sendiri. Bukan rumah
mewah dengan
pekarangan besar. Rumah sederhana, tetapi terasa sejuk ketika Erwin dan kedua kawan
seperjalanannya masuk.
Yang keluar dari dalam setelah mereka dipersilakan duduk, seorang perempuan berusia
sekitar lima
puluh dan seorang gadis dua puluhan dengan paras elok. Sebenarnya kedua wanita itu
heran siapa pula
yang dibawa Kahar dan dipersilakan duduk di ruang tamu yang biasanya hanya
dijadikan tempat
menerima kawan-kawan sejawat atau pejabat-pejabat. Atau keluarga mereka. Tak biasa
mereka
melihat tamu-tamu kumuh begitu diterima di ruangan itu.
Erwin, bahkan Datuk dan Koto merasa bahwa kedatangan mereka mengherankan kedua
wanita itu.
Tetapi sebodo amat, bukan
mereka yang ingin datang dan bukan mereka pula yang merasa punya keperluan!
�Ini Ibu dan ini Dinar, adikku,� kata Kahar.
Tak ada yang mengulurkan tangan untuk berkenalan Erwin dan kawan-kawannya khawatir
kedua
wanita itu menganggap mereka tak tahu diri. Ibu Kahar dan Dinar memang tidak merasa
layak
memberi salam.
�Ini Saudara Erwin, Mak. Orang Mandailing!� kata Kahar. Tetapi perkataan
Mandailing, daerah asal
yang sama, tidak menggerakkan perubahan pada Ibu Kahar yang janda dan Dinar yang
perawan
banyak penggemar.
Melihat suasana kikuk itu Kahar merasa malu kepada Erwin, tetapi ia juga tidak
punya cukup
keberanian untuk menyuruh Ibu dan adiknya menyalam tamu-tamu, yang disadari oleh
Kahar, tidak
punya lahiriah yang layak untuk dihormati. Tetapi Kahar meminta Ibu dan adiknya itu
duduk, yang
tidak dapat ditolak, walaupun tidak
mengerti mengapa pula harus turut duduk. Kalau tidak duduk berarti menyinggung
perasaan Kahar.
Dan ini mereka tidak mau.
�Ketiga kawan-kawanku ini sebenarnya sudah mau berangkat ke Palembang, tetapi
kutahani agar mau
menunda,� kata Kahar yang justru menimbulkan tanda tanya sanggup bertanya kepada
hati Ibunya, apa
perlunya ditunda.
�Aku mau minta tolong kepada Saudara Erwin, Mak!� kata Kahar.
Ibunya tidak menanggapi karena tak masuk di akalnya bahwa orang semacam tamu-tamu
anaknya bisa
memberi pertolongan.
�Barangkali saja Saudara Erwin dapat mengobati Pak Hasbi,� kata Kahar pelan. Ini
pun menambah
keheranan Ibu Kahar. Erwin juga ikut heran. Lagi-lagi pengobatan. Seperti di
Palembang. Seperti di
Jakarta. Di Medan juga. Di Surabaya dan* Ujungpandang pun pengobatan juga. Mengapa
selalu
begitu? Apakah perjalanan hidupnya hanya akan terdiri dari kengerian, bilamana
tanpa diingini ia
berubah jadi harimau? Akan dimasukkan rumah tahanan karena dituduh melakukan
kejahatan. Dirinya
disiksa yang akan berakibat bermatiannya para penyiksa karena ia atau ayahnya akan
membalas. Bertarung mempertahankan kebenaran atau nyawanya?
Menggali kuburan mayat-mayat yang semasa hidup sangat
menyakitkan hatinya. Digilai wanita-wanita cantik yang tidak berkenan di hatinya,
sehingga
menyebabkan banyak perawan jadi merana. Dan jatuh hati kepada wanita yang justru
tidak
mencintainya. Menyebabkan dia mengelana membawa diri seperti tidak akan ada
ujungnya.
Yang bernama Hasbi adalah pensiunan Bupati yang diserang
penyakit gila. Bukan hanya itu. la tak lain dari abang tertua Husni yang melarikan
dan memperkosa
adik Teuku Samalanga, sahabat baik Erwin yang akhirnya jadi pelarian atas bantuan
Erwin karena ia
membunuh iparnya. Telah diceritakan bahwa Husni tewas dibunuh harimau piaraan Teuku
Samalanga
tak jauh dari Muara Bungo.
�Mak,� kata Kapten Kahar. �Saudara Erwin telah menolongku menangkap dua penjahat
besar. Hanya
dengan pisaunya.�
�Dibunuhnya penjahat itu?� tanya Ibu Kahar tanpa pikir panjang.
Menurut penilaiannya orang semacam Erwin itu punya kemampuan apalah selain daripada
yang kasarkasar.
�Kalau membunuh, tentu dia tidak di sini. Sudah dalam sel tahanan!� kata Kahar.
Ibunya kecewa
tetapi selain itu, juga tertarik.
�Pisaunya itu disuruhnya menunjukkan yang mana di antara berpuluh-puluh orang tamu
penginapan
yang mencuri! Kedua-duanya pencuri itu langsung mengaku, karena takut ditikam pisau
yang dapat
bekerja sendiri. Tanpa bantuan Saudara I rwin, mungkin kedua bandit itu akan
lolos.� Kini Ibu Kahar
memandang Erwin.
Timbul sedikit*perubahan. Rupanya si miskin ini punya kepandaian ju-ja. �
�Tapi Pak Hasbi kan tidak kemalingan Har!� kata perempuan yang mulai tertarik itu.
�Memang benar. Tetapi perasaanku mengatakan, bahwa Saudara Erwin akan sanggup
mengobatinya,
kalau dia mau! Aku yakin, dia punya ilmu pengobatan,� kata Kahar lagi sambil
menambahkan.
�Betul kan, Saudara Erwin?�
Erwin tidak dapat berbuat lain kecuali menjawab, bahwa ia bukan dukun, tetapi kalau
sekedar ba coba
dan dipinta oleh keluarga si sakit ia ber edia, karena Kapten Kahar orang yang
sangat baik.
Oleh Kapten Kahar diterangkan, bahwa istri Hasbi masih adik sepupu ibunya. Penyakit
gilanya itu
sudah berjalan sebulan.
Datangnya mendadak. Dari orang yang sehat segar bugar, pada suatu pagi ia tiba-tiba
tidak bisa bicara,
kemudian setelah tiga hari berdiam diri, tetapi makan melebihi banyaknya makan
seekor kerbau,
Hasbi mulai mengamuk-imuk, memukuli keluarganya. Juga tamu-tamu yang datang. Pada
suatu kali
ia mengambil sebilah parang panjang dan mengacung-acungkannya di jalan raya. Orang
ramai
berlarian. Masih untung tidak ida orang yang sampai jadi korban. Untuk mencegah
kejadian yang
menyangkut orang lain, ia dikunci di dalam kamar. Tetapi ia merusak segala perkakas
yang ada,
menendang-nendang pintu dan sekali waktu keluar dari
jendela, la tertawa-tawa dengan suara keras sambil mengatakan, bahwa setan pun
tidak akan dapat
merintanginya.
Itulah Hasbi yang pernah menjadi kepala pemerintahan sebuah kabupaten.
Di masa jayanya ia banyak tertawa oleh upeti-upeti dari bawahan yang mendapatkannya
dengan
melakukan berbagai macam
penipuan dan pemerasan terhadap rakyat, termasuk rakyat teramat kecil yang hanya
mempunyai lebih
sedikit dari sejengkal tanah untuk telapak gubuk atau tempatnya bermandi keringat
bersawah ladang
sekedar sesuap nasi atau singkong guna bisa bernapas menjelang akhir penderitaan.
Karena ia tidak
berhasil turut mencicipi buah kemerdekaan yang pernah direbut pertahanannya. Tidak
seperti
sekelompok kecil orang-orang �pintar� yang dengan segala cara telah memilyarkan
diri. Ex Bupati
Hasbi merupakan contoh yang teramat gamblang bahwa sesungguhnyalah tiada yang abadi
di dunia
ini. Mengherankan memang, mengapa kian banyak saja orang yang haus harta dan
kemewahan di atas
penderitaan orang lain.
Diceritakan oleh Kapten Kahar bahwa banyak dukun dari
berbagai daerah yang mengobatinya. Beberapa orang di antara mereka malah tewas di
hadapan si sakit
atau mati sepulangnya dari rumah Hasbi. Dan kematian dukun-dukun itu tidak pula
semua mati biasa.
Ada yang gantung diri, ada yang mengunci kamar untuk meminum racun serangga. Ada
yang tak
pandai berenang, tetapi dengan sengaja menceburkan diri ke dalam kali.
�Mengerikan sekali/� kata Erwin menanggapi. Mungkin dukun-dukun yang membayar
dengan nyawa
karena mengobati Hasbi,
tidak mampu berhadapan dengan orang pandai yang menimbulkan sakit gila atas bekas
Bupati.
Mendengar cerita itu Erwin tahu, bahwa yang melakukan
pembalasan melalui ilmu hitam tentu salah seorang korban di masa sang Bupati punya
wewenang dan
kekuasaan. Dikerjakannya sendiri au dilakukan oleh orang pandai yang diupah. Datuk
dan Koto
memandang Erwin. Ingin agar dia menolak karena terlalu besar risikonya. Kalau
sampai Erwin mati
gantung diri atau meminum
racun maka raiblah kesempatan mereka untuk menuntut ilmu
daripadanya.
Sekarang pun Erwin bertanya �Bagaimana Datuk dan Saudara Koto. Sudah kita dengar
ceritanya dari
Kapten Kahar. Masih mau dicoba?� Harapan Ibu Kahar agak membesar, karena rupanya
bukan Erwin
yang kelihatan konyol itu sendiri yang akan mencoba. Tetapi juga kedua sahabatnya.
Melihat pakaian
mereka yang serba hitam dan wajah yang sedikit angker, perempuan itu lebih yakin
kepada Datuk dan
Koto.
Sebelum Erwin menjawab. Kapten Kahar dulu-an berkata �Saya tahu, bahwa apa yang
telah terjadi itu
sangat mengkhawatirkan.
Saya sengaja men ritakan seluruh kenyataan, supaya Saudara-saudara tahu bahwa
risikonya sangat
besar. Tetapi kalau berhasil, satu insan akan tertolong, keluarganya akan merasa
bahagia.
Termasuk Ibu saya ini, karena istri Pak Hasbi itu saudara misan Ibu saya.� Erwin
langsung minta
dibawa ke tempat orang sakit gila itu.
Tanpa diduga. Ibu Kahar yang semula jijik melihat ketiga tamu anaknya dan sampai
detik itu tidak
menyuruh keluarkan air dingin sekali pun, berkata, �Nanti dulu. Tak baik kalau
tidak minum,
walaupun seteguk saja.� Kapten Kahar merasa malu dengan sifat ibunya, sementara
Erwin dan kedua
sahabatnya mengejek di dalam hati. Manusia bisa mendadak berubah, kalau merasa ada
harapan.
Yang angkuh sombong bisa jadi ramah manis bagaikan madu Arab yang baru diperas dari
sarangnya.
Kasihan orang-orang semacam itu, menelanjangi diri untuk kita nilai sambil
mencibir.
Meskipun sebenarnya Erwin dan kedua sahabatnya merasa haus, tetapi si manusia
harimau menolak
dengan bijaksana �Pantang minum kalau hendak melihat orang sakit!� Lebih baik haus
daripada
merasa kehilangan harga diri oleh secangkir teh yang diletakkan bukan karena
keikhlasan. Kapten
Kahar semakin malu, karena ia merasa bahwa penolakan Erwin itu tak lain daripada
suatu
pembalasan atas ibunya yang semula begitu meremehkannya.
Sama halnya dengan penyambutan di rumah Kahar tadi, orang-orang di rumah Hasbi juga
meremehkan Erwin sambil bertanya di
dalam hati, mengapa pula seorang perwira Polisi sampai percaya kepada orang-orang
semacam itu
yang tentunya mengaku dukun kawakan. Memasuki rumah bekas pejabat yang mewah itu
Erwin
merasa kepanasan. Yang mengejutkan adalah Koto yang mendadak terhuyung-huyung, lalu
jatuh tak
berdaya dengan mata terbelalak.
0odwo0
TUJUHBELAS
KAPTEN Kahar terkejut dan tiba-tiba datang penyesalan dalam dirinya, mengapa ia
menahani maksud
keberangkatan Erwin ke Palembang. Tidak cukup sampai di situ, Datuk pula mengatakan
pusing.
Erwin memintanya agar duduk saja.
�Rumah ini penuh dengan iblis/� bisik Erwin ke telinga Datuk.
�Tetapi tenang-tenanglah. Insya Allah kita tidak akan mati di sini.�
Orang-orang di rumah itu jadi panik, walaupun mereka sudah beberapa kali melihat
dukun mati
terkapar di sana.
Oleh kejatuhan dua sahabatnya, maka Erwin lebih dulu
membantu mereka dengan membaca mantra sambil menyapu muka mereka masing-masing
tujuh kali.
Ibu Kapten Kahar yang juga telah hadir di sana sini kini menyaksikan sendiri, bahwa
Erwin tidak
serapuh yang diduganya. Walaupun ia belum yakin, bahwa orang dusun ini akan mampu
bertahan.
Dengan tenang sambil menyebut nama Tuan Syekh Ibrahim
Bantani dan Datuk nan Kuniang ia mengikuti Kapten Kahar ke kamar Hasbi yang
terbaring merontaronta
dengan kedua tangan dan kakinya terikat. Bekas Bupati itu terpaksa diperlakukan
begitu untuk
mencegah jatuhnya korban oleh sifat-sifatnya yang semakin beringas.
Ketika Erwin sudah berdiri setengah meter dari Hasbi, mendadak ia terjungkal karena
ada yang
menerjang, walaupun tidak kelihatan siapa yang melakukannya. Erwin kaget, tetapi
segera bangkit
lagi, membuat semua mata yang memandang tidak berkedip dengan hati
sangat takut, karena semua mengetahui, bahwa mungkin dukun ini pun akan mati di
sana. Namun
begitu mereka juga kagum, bahwa Erwin begitu cepat bangkit kembali. Beberapa dukun
terdahulu
yang tewas di sana juga terjungkal atau terpental, tetapi tak sempat mampu untuk
bangun lagi.
Hasbi berteriak �Mau apa harimau ini datang ke sini. Bosan hidup?�
�Aku datang untuk mati atau mematikan, setan!� hardik Erwin yang di luar dugaan
hadirin terdengar
seperti guruh dan
menyebabkan rumah itu seakan-akan bergetar.
�Kau akan mati di sini harimau siluman!� kata Hasbi yang menyuarakan kekuatan dukun
yang
menguasai dirinya.
�Katakanlah apa yang kausuka. Kematian memang tunangan orang hidup. Tidak akan
mengherankan
kalau aku tewas di sini.
Tetapi aku tahu, bahwa kaulah yang akan binasa sekali ini.�
�Berani kau kurang ajar, hah!� bentak Hasbi.
�Jadi kau kira aku takut? Kasihan, kau keliru. Pergilah kalau masih mau hidup.
Kembali ke Tuanmu!�
suara Erwin tambah menggelegar. Di tengah ketegangan itu tercium bau asap
kemenyan, walaupun tidak ada yang membakar. Diiringi oleh auman harimau. Bagi Erwin
suatu tanda
bahwa ayah atau ompungnya sudah ada di sana. Dan kalau mereka atau salah seorang
datang, tidak
diragukan lagi, bahwa lawan yang dihadapi berkaliber berat.
Sekurang-kurangnya mereka berjaga-jaga, kalau-kalau Erwin sendiri tidak mampu
menghadapi. Dja
Lubuk dan Raja Tigor terlalu sayang kepada anak dan cucu mereka, itulah sebabnya.
Iblis yang duduk di dalam tubuh Hasbi berkata tenang yang dipaksakan. �Untuk apa
mempertaruhkan
nyawamu bagi hewan yang semasa berkuasanya sangat menyiksa banyak manusia yang tak
berani
menentang dia dan kawan-kawannya. Biarlah
dirasakannya pembalasan ini. Biar keluarganya tahu bahwa dia ini pernah jadi
bajingan yang merusak
nasib orang banyak!�
Mendengar ucapan ini keluarga Hasbi tunduk karena merasa malu.
Erwin pun terdiam sejenak. Apa yang dikatakan iblis itu mungkin benar, tetapi
perbuatan dukun itu
tetap merupakan kejahatan di negara hukum ini. Meskipun banyak orang tidak
menghiraukannya.
�Tetapi tetap bukan hakmu untuk menganiaya sesama manusia,�
kata Erwin. Membesarkan hati keluarga Hasbi dan memberi harapan kepada Kapten
Kahar.
Hasbi tertawa terbahak-bahak lalu berkata �Bodoh, kau orang baik mau membela
kejahatan. Berarti
kau berpihak kepada
kejahatan.�
Erwin menguatkan hati supaya jangan terpengaruh oleh hasutan iblis yang sebagian
berdasar
kebenaran itu.
�Aku tidak pernah dan tidak akan pernah berpihak kepada kajahatan. Aku hanya akan
coba
membebaskan orang ini dari penyakitnya yang tidak wajar. Kalau hukum yang berlaku
di negeri ini
kelak akan menindak dia, aku akan turut gembira,� kata Erwin polos. Orang-orang
yang mendengar
ucapan Erwin, termasuk
Kapten Kahar kini mengetahui, bahwa orang muda potongan dusun pedalaman itu, tidak
setolol yang
mereka sangka mengenai
kejadian-kejadian di negara ini.
Terdengar suara hingar-bingar, yang bukan suara manusia tanpa kelihatan apa-apa.
Suara iblis dan n
dan setan yang dikirim oleh dukun kawakan.
�Siapa namamu orang sangat pandai tetapi juga sangat jahat?�
tanya Erwin. Hasbi menjawab, �Cari sendiri, kalau kau pintar. Aku sudah mengetahui
namamu. Si
Erwin, anak Dja Lubuk, cucu Raja Tigor. Musuh besarmu Ki Ampuh yang terkutuk
menjadi babi. Kau
pernah jatuh cinta setengah mati, tetapi tiada berbalas. Kini perempuan itu sudah
mati dibunuh
suaminya. Adakah penjelasanku yang salah?� Suara itu sangat lantang, satu persatu
kata dapat
ditangkap. Lalu kata Hasbi yang mewakili iblis kepada hadirin,
�Sudah kalian dengar. Begitulah kisah tentang orang dungu yang mau melawanku ini!�
Erwin malu sekali, la paham bahwa uraian dukun kawakan itu
dimaksudkan untuk meruntuhkan morilnya. Sesaat memang Erwin merasa goyah. Tetapi ia
normal
kembali setelah ada bisikan di telinganya agar ia meningkatkan perlawanan. Suara
itu jelas suara
ompungnya.
Erwin berpikir, bahwa salah satu cara untuk melemahkan
lawannya itu, adalah dengan jalan mencekik iblis yang duduk di dalam tubuh Hasbi.
Tetapi di bagian
mana? Di kaki, di tangan, di kepala ataukah di bagian lain?
�Kau tak tahu di mana aku! Ha haa, si harimau siluman kebingungan!� kata Hasbi.
Lagi-lagi mengejek
Erwin. Tetapi bukan hanya itu cara memukul musuhnya.
Satu bisikan di telinga Erwin mengatakan, agar ia
mempergunakan limau nipis dengan garam. Yang tidak lazim
dipakai dalam perdukunan. Biasanya orang mempergunakan limau purut dan bunga.
Terdengar lagi bisikan oleh Erwin. la lalu minta ijin kepada pemilik rumah untuk
boleh ke dapur
mengambil sesuatu. Kapten Kahar segera mengijinkan tanpa menunggu jawaban istri
Hasbi yang
dalam keadaan sedih dan panik.
�Harus saya ambil sendiri,� kata Erwin. la mendapat dua buah limau nipis, yang
kebetulan tersedia
dan garam. Ketika ia sudah dekat dengan si sakit terasa ada yang memukul tangannya,
sehingga garam di piring berhamburan. Tentu oleh pesuruh dukun berilmu tinggi itu.
Untung limau
nipis dimasukkan ke dalam saku.
Terasa juga ada yang meraba sakunya, tetapi kemudian rabaan itu seperti tersentak.
Erwin dibantu
oleh kakeknya yang tidak memperlihatkan diri. Dialah yang membebaskan Erwin dan
gangguan si iblis. Tetapi karena garam telah tumpah, maka Erwin kembali lagi ke
dapur untuk
mengambil penggantinya.
Ketika Erwin dan Kapten Kahar masuk ruangan dapur yang luas dan bersih terdengar
suara pukulmemukul
dan tendang-menendang. Tanpa kelihatan siapa atau apa yang sedang
bertarung. Raja Tigor menghadapi iblis yang hendak menghalangi
Erwin mengambil garam. Kapten Kahar heran, tetapi tidak
mengajukan pertanyaan.
Dengan perlindungan yang tak tampak oleh pandangan mata
kasar itu, garam dan jeruk nipis sampai juga di hadapan Hasbi. la memberontak,
berusaha
membebaskan diri dari ikatan, sehingga ranjang tempat ia berbaring bergoncang
goncang seperti
diombang-ambing gempa. Yang hadir semua menjadi lebih takut lagi.
Beberapa wanita yang berkeluarga dekat, keluar menjauhkan diri, khawatir akan
segala kemungkinan
yang bisa saja terjadi kalau ia sampai sanggup memutuskan tali-tali pengikat
dirinya. Orang yang
sedang kemasukkan iblis bisa mempunyai tenaga yang tidak
mungkin dipunyai manusia biasa.
�Bangsat kau harimau sial, pergi, pergi! Ini gara-gara si Kahar kambing itu. Siapa
minta kau
membawa harimau kemari. Ini rumah manusia, rumahku yang kubeli dengan uangku
sendiri. Bukan
kandang harimau. Bawa dia pergi. Kahar kambing. Dan jangan kauinjak rumahku ini
lagi!� Hasbi
mengangkat-angkat badannya, membanting ke kiri dan ke kanan.
Ketika Erwin mengeluarkan limau nipis dari kantongnya, Hasbi semakin menggila.
Erwin minta
diambilkan air putih segelas. Ketika ia memotong jeruk, Hasbi menjerit-jerit,
bagaikan dirinya yang
diiris.
Erwin memantrai air, lalu menyiramkan isinya ke muka Hasbi, sesudah garam dan jeruk
dimasukkan
ke dalam. Hasbi melolong panjang, kemudian terdiam lemas, bagaikan orang kehilangan
seluruh
tenaga.
Erwin memutuskan semua tali pengikat diri Hasbi. Kemudian meminta air putih segelas
lagi, diberi
garam dan limau yang sebuah lagi. Air itu di-cipratkannya di seluruh kamar, la
keluar dan
mencipratkan sisa isinya ke segenap pintu.
Hawa panas yang membuat pengap kamar tempat Hasbi
menderita berangsur hilang, digantikan oleh suasana yang wajar bagi ruangan ber-
ase.
Di luar jangkauan berpikir keluarga Hasbi, bekas Bupati itu kini
terbaring di sana dengan badan lemas, tetapi matanya terbuka memandang ke sekitar,
la bertanya
�Mengapa kalian di kamarku ini?�
Istrinya bertanya �Sudah agak enak Abang rasa?�
Mata Hasbi menunjukkan keheranan �Apa yang agak enak? Aku tak pernah merasa tidak
enak. Kau
ngawur Diah,� kata Hasbi kepada istrinya yang bernama Sadiah. Semua orang heran
mendengar jawaban Hasbi yang tidak pernah merasa sakit. Rupanya semua yang
dilakukannya di luar
kesadaran. Oleh sangat kuatnya ilmu dukun yang mengirim sejumlah iblis ke rumah
itu.
Kini Erwin jadi pembicaraan berbisik-bisik. Yang paling malu adalah Ibu Kapten
Kahar dan adiknya
Dinar. Yang paling gembira istri Hasbi dan Kapten Kahar.
Erwin mendapatkan kedua sahabatnya yang sudah turut sadar dan mengingat segala apa
yang telah
terjadi. Erwin memang bukan main, pikir mereka di dalam hati.
�Kau siapa, anak muda?� tanya Hasbi kepada Erwin yang duduk di kursi menghadapi
dia. �Kalau
keluarga, baru sekali ini kulihat.
Siapa nama ayahmu. Mengapa kau bawa serta?� Sadiah heran mendengar pertanyaan
suaminya.
Begitu ramah terhadap orang setengah kumal yang tidak dikenalnya. Tidak biasanya
dia begitu.
Erwin tidak menjawab. Tak tahu mau memberi jawaban
bagaimana.
Bagi seluruh keluarga Hasbi merupakan suatu kenyataan yang amat ajaib, bagaimana
laki-laki itu
sampai tidak tahu, bahwa ia telah sebulan sakit gila dan berbuat persis orang gila
dalam tingkat yang
sudah amat gawat.
Mereka juga tidak habis pikir, bagaimana seorang pemuda
kelihatan kampungan dan tidak punya apa-apa, ternyata mampu mengalahkan kekuatan
gaib seorang
dukun yang telah
menyebabkan Hasbi jadi gila dan beberapa dukun bunuh diri sebagai akibat dari usaha
mereka
menyembuhkan si sakit.
Hasbi yang rupanya belum puas karena pertanyaannya belum
dijawab, bertanya lagi �Anak muda, pertanyaanku belum terjawab!�
Melihat bahwa dukun yang amat tinggi ilmu itu dalam hal ini tidak mampu mencari
jawaban. Kapten
Kahar berkata �Masih saudara saya Oom. Baru beberapa hari ini datang dari kampung!�
�Mmm,� gumam Hasbi. Tanpa susah-payah ia duduk dan mengulurkan tangan kepada Erwin.
Sekali
lagi menimbulkan rasa kagum kepada keluarga Hasbi. Apakah ilmu dan pegangan orang
muda ini,
sehingga seorang manusia yang tadinya sudah dianggap tak tertolong lagi dan
biasanya punya sifat
yang angkuh, bisa mendadak berubah jadi laki-laki ramah dan rendah hati.
�Dia tentu membutuhkan pekerjaan. Kahar. Berilah dia tempat di kepolisian. Kalau
aku masih
berkuasa akan kutempatkan dia di kantorku!� kata Hasbi.
Kapten Kahar tidak menjawab. Tetapi senano melihat Hasbi
bukan saja bebas dari penyakitnya, melainkan juga dari sifatnya yang buruk. Tidak
di ragukan lagi,
bahwa Erwin punya kekuatan gaib, yang tidak terpancar pada wajahnya dan lebih-lebih
tidak bisa
kelihatan dari keadaan lahiriahnya.
�Apa kerjamu sekarang?� tanya Hasbi lagi kepada Erwin. Seperti orang yang menaruh
perhatian
sangat besar atas nasib orang
�kampungan� itu. �Mengembara saja Tuan,� jawab Erwin. �Tuan?
Mengapa kau menyebut aku dengan Tuan? Bukankah kau saudara Kahar dan dengan I
begitu juga jadi
saudara kami,� kata Hasbi yang d� jawab dengan �terima kasih� oleh Erwin.
Kapten Kahar permisi kepada Hasbi untuk mengajak Erwin
dengan kedua sahabatnya istirahat di J ruangan lain. Istri Hasbi ikut, karena ia
tahu, bah-wa kini tentu
urusan upah atau hadiah untuk Erwin.
�Anak telah berjasa sekali kepada kami sekeluarga. Katakanlah berapa kami harus
membayar dan apa
yang dapat kami lakukan sebagai tanda terima kasih,� kata Nyonya Sadiah. Bagi
Erwin, di luar dugaan
Kahar dan perempuan itu, lagu sema i am itu adalah lagu
lama yang memuakkan. Pertolongan yang tidak akan berhasil tanpa ijin Tuhan selalu
disudahi dengan
�upah dan bayaran�.
�Janganlah bicara upah. Aku bukan kuli harian,� kata Erwin dengan sengaja agak
kasar. �Iblis iblis itu
pun baru keluar dari rumah ini. Masih menunggu kesempatan untuk kembali!� Erwin
berkata benar.
Dia tahu, bahwa lawannya itu akan berdaya upaya membunuh Hasbi dan dia. Dan kalau
tidak ada jalan
damai dia akan memperlihatkan, bahwa manusia harimau akan mempertaruhkan nyawa
tunggalnya.
0odwo0
DELAPANBELAS
MESKIPUN Kapten Kahar Nasution tidak mengerti mengapa laki-laki yang pasti
memerlukan uang
itu menolak apa yang
dinamakannya upah, namun ia mohon maaf, kalau istri Hasbi telah menyinggung
perasaan Erwin.
�Kapten heran mengapa aku menolak uang. padahal aku amat membutuhkannya. Aku
sendiri juga
heran. Kapten Kahar,� ujar Erwin membuat perwira Polisi itu kian tak habis pikir.
Disangkanya
manusia semacam Erwin hanya ada di dalam cerita, khayalan pengarang untuk
mengasyikkan
pembaca. Kiranya benar-benar ada dalam kenyataan. Filsafat hidup apakah yang dianut
laki-laki ini?
�Tak adakah sesuatu yang dapat kulakukan untukmu?� tanya Kahar.
�Ada, aku tak tahu apakah Kapten akan berhasil!�
�Katakanlah,� sela Nyonya Hasbi. Kami akan melakukannya sampai berhasil.�
�Tidak marah?� tanya Erwin.
Perempuan dan perwira Polisi itu menidakkan sambil bertanya di dalam hati apa
gerangan yang akan
dipinta dukun ini untuk dilakukan.
Maka berceritalah Erwin, bahwa di masa pegang kedudukan
dengan wewenang besar Hasbi telah menimbulkan banyak rasa sakit hati kepada rakyat
biasa melalui
aparat-aparat bawahannya.
Dengan wewenang yang disalahgunakan itu ia telah sangat
memperkaya diri. Sebagian terbesar kekayaannya tergolong haram, kata Erwin.
Bilamana ia sembuh ia
harus mengembalikan milik-milik rakyat yang dirampasnya dengan cara yang halus
berselimutkan apa
yang dinamakan berdasar peraturan. Tetapi ada juga yang dengan cara kasar bertulang
punggung
kekuasaan dan kekuatan, terhadap mana orang kecil tidak berani membangkang.
Meskipun tidak
secara terusterang mengaku-, tetapi Sadiah tahu, bahwa apa yang dikatakan Erwin
memang benar.
Kalau tidak dengan jalan itu, bagaimana pula mereka bisa menjadi sangat kaya raya,
mempunyai
puluhan hektar tanah, deposit di beberapa bank. Dari mana datangnya semua itu?
Jangankan Bupati
Gubernur dan Dirjen atau Menteri pun tak kan bisa mencapai itu kalau benar hanya
dari penghasilan
halal kedudukannya. Entahlah kalau itu harta warisan.
�Kembalikan itu kepada orang yang menderita karenanya,� kata Erwin. �Jikalau tidak
begitu, maka
setelah sembuh ia akan sakit lagi, karena ada saja orang lain yang akan melakukan
pembalasan.
Dengan cara kasar atau halus.�
Istri Hasbi dan Kapten Kahar berjanji.
Atas desakan petugas keamanan akhirnya Erwin dan kedua
kawannya menerima tawaran Kahar untuk menginap di rumahnya.
Erwin harus dua tiga hari di Lubuklinggau menantikan selesainya pengobatan atas
diri pasiennya.
Pada malam itu juga ibu Kapten Kahar dan adiknya Dinar
memperlihatkan sikap yang amat ramah. Kedua wanita itu turut makan bersama Erwin,
Datuk dan
Koto. Sikap yang lain sekali daripada ketika mereka baru melihat Erwin. Tak suka,
bahkan jijik.
Biasa, lumayan banyak manusia yang begitu.
Kapten Kahar selalu membuang pandang kepada Erwin. Betapa besar kekuatan yang
dimiliki oleh
manusia ini. Betapa pula rendahnya sifat manusia terpelajar yang punya kedudukan
terhormat untuk membimbing dan menaungi rakyat dengan
kedudukan seperti Hasbi. Jelaslah manusia tidak mudah dinilai secara lahiriah.
Tidak perdu I i dia apa
atau siapa.
Tidak seperti Koto dan Datuk, si manusia harimau tidak mudah memejamkan mata dan
tidur. Dia
tidak merasa tenang, walaupun telah dapat mengalahkan dukun jahat yang membuat
Hasbi gila. Dia
merasakan, bahwa orang yang pasti hebat itu tidak akan berhenti sampai di situ.
Dan apa yang diyakini Erwin itu sesungguhnya terjadi, la merasa hawa di dalam kamar
yang luas itu
pelan-pelan menjadi panas dan kian panas. Dia juga merasakan ada yang lain di kamar
itu. Bukan
hanya karena mereka bertiga. Tetapi apa yang lain itu tidak tampak oleh Erwin.
Kehadirannya pasti,
entah apa.
Tiba-tiba Koto terpekik. Datuk terbangun. Erwin bertanya kepada Koto ada apa,
tetapi kawannya itu
tidak menjawab, la tidak berkata, tidak mengaduh bahkan bernapas pun tidak. Koto
telah tiada. Erwin
lantas tahu, bahwa yang mencabut nyawa Koto pastilah �orang� lain yang ada di kamar
itu. Datuk
ketakutan, sementara Erwin meminta supaya Datuk jangan panik. Jangan sampai
menyebabkan Tuan
rumah turut terkejut pula.
Karena lampu listrik yang menerangi kamar itu tidak dipadamkan, maka mereka dapat
melihat wajah
Koto dengan jelas, la yang berkulit cerah seperti sawo matang telah berubah warna
menjadi hitam
legam seperti arang. Tandanya ia bukan mati secara wajar.
�Ada iblis di kamar ini,� kata Erwin. Kalau dia manusia tentu kelihatan. Aku
merasakan bahwa dia
masih ada.� Datuk tambah takut. Dia tidak punya ilmu tinggi terhadap setan dan
iblis.
Kekuatannya terletak pada berpencak silat. Sama seperti Koto.
Apakah dia akan menerima gilirannya?
�Kalau kau jantan, perlihatkan dirimu, pengecut,� kata Erwin. la sangat penasaran.
Iblis ini pasti
kiriman dukun yang membuat Hasbi gila. Dia ingin membinasakan Erwin yang telah
berani
menentang dia. Karena mengetahui, bahwa Erwin bukan manusia yang mudah
dikalahkan dan sama sekali tak kan mau mengalah, maka ia telah meminta bantuan
gurunya. Yang
hendak dibunuh sebenarnya Erwin, tetapi bentengnya tak tertembus oleh iblis yang
dikirim Maribun
ke kamar pemuda kampung itu. Dan sudah terbiasa di dalam
menembakkan ilmu gaib, orang yang tidak dimaksud menjadi
korban, karena ilmu atau pesuruh yang ditugaskan tidak mampu membayar sasarannya.
Ketika Erwin dan Datuk menghadapi Koto de ngan perasaan
sangat terpukul, terasa ada hembusan angin. Tak lama kemudian disusul oleh suatu
jeritan
melengking. Dja Lubuk, ayah Erwin telah berdiri di sana dalam bentuknya sebagai
manusia. Orang tua
itu bergerak cepat kian kemari, seperti orang gila gayanya, karena lawannya tidak
tampak.
�Obati dia,� bentak Dja Lubuk. Tetapi dia hanya disambut dengan gelak cemooh oleh
lawannya.
Kelihatan Dja Lubuk berkeringat dan napasnya turun naik buru-memburu. Nasib baik
bagi si manusia
harimau, tanpa sengaja terpukul olehnya kelemahan dukun yang tidak kelihatan itu.
Dugaan Erwin
bahwa yang masuk kamar itu iblis kiriman, mungkin benar. Tapi Dja Lubuk bertarung
dengan si
dukun sendiri, la atau suruhannya tak mampu melawan pertahanan Erwin, maka Koto
yang dibunuh
kawannya pun jadilah, pikir Maribun. Erwin pasti akan sangat sedih dan panik. Bagi
Maribun lebih
mudah mengalahkan orang panik dan gugup da ripada musuh yang dengan tenang mengatur
lang kah
dan sepak terjangnya.
Tiba-tiba Dja Lubuk berhenti bersilat dengan napas yang
terengah-engah. Selama pertarungan] yang bagaikan tanpa lawan itu ia beberapa kali
jatuh berdebap.
Tidak diragukan lagi bahwa musuh ini mempunyai kekuatan luar biasa. Rupanya hd ruk-
pikuk di
kamar Erwin itu terdengar juga oleh Kapten Kahar yang lalu bergegas ke sana. Datuk
membuka pintu
dan perwira itu segera mengetahui bahwa Koto telah meninggal dunia. Sebabnya b<-
Iiim diketahui secara pasti, tetapi bukan oleh serangan jantung mendadak. Dja Lubuk
sudah pergi
dengan berpesan kepada
anaknya agar sangat waspada.
�Amang pun kepayahan, sayang. Ini kesempatan besar tetapi juga penuh risiko bagimu
menguji diri,�
pesan Dja Lubuk.
Berkata Erwin kepada Kapten Kahar, �Sebenarnya saya yang dituju, tetapi ia salah
ambil. Mestinya
kami tidak tidur di sini. Kapten terlalu baik, sekarang jadi merepotkan!�
�Jangan berkata begitu,� ujar Kapten Kahar. �Tiada pekerjaan yang terlalu berat
bagi seseorang, siapa
pun dia, yang telah tiada Erwin. Apa yang kita lakukan adalah perbuatan terakhir
yang dapat kita
lakukan bagi hamba Allah yang sudah dipanggil Yang
Empunya.� Lega sedikit hati Erwin dan Datuk.
�Apakah jenazah kawan kita ini perlu divi-sum?� tanya Kahar.
�Saya rasa tidak,� jawab Erwin. �Kita periksa saja badannya, kalau-kalau ada
meninggalkan bekas.�
Bekas itu memang ada.
Bukan berupa tanda berwarna biru atau merah, yang kata setengah orang bekas kecupan
setan. Yang
tampak pada leher Koto empat bekas gigitan kecil, dua sebaris. Gi-jitan ular.
Rupanya ada ular dikirim
masuk kamar itu. Diperintahkan menggigit Erwin, tetapi ia tak mampu
melaksanakannya. Yang
digigit leher Koto. Itulah yang membuat dia menjerit tadi, tetapi sekaligus juga
mencabut nyawanya
dari tubuh yang tidak berpagar itu.
�Siapakah yang telah begitu kejam melakukan pembunuhan ini.
Bukankah kawan kita ini tidak punya kesalahan kepada si
pembunuh?� kata Kap ten Kahar. Erwin menjawab, bahwa yang ditujui ular suruhan itu
bukan Koto,
sebagaimana telah dikatakannya juga tadi.
�Tetapi orang ini telah jadi pembunuh. Harus ditangkap,� kata Kapten Kahar yang
agak emotil karena
terjadi di rumahnya dan sebagai hamba hukum merasa berkewajiban menangkapnya.
Tetapi! siapakah orang itu, tak jelas bagi Kahar.
�Berkata Erwin, �Andaikata pun kita ketahui orangnya, hanya andaikata, bagaimanakah
menimpakan
kesalahan atas dirinya.
Adakah bukti untuk itu?� Kapten Kahar terdiam. Memang tidak ada bukti. Yang
membunuh Koto
seekor ular. Bagaimana membuktikan
bahwa ular itu punya kaitan apalagi suruhan seseorang?
�Ya, memang berat. Kejahatan, termasuk pembunuhan yang dilakukan melalui ilmu
hitam, di
antaranya dengan menyuruh piaraan, sangat sukar diJ buktikan untuk dapat dijadikan
alasan
menangkapi si pelaku,� kata Kapten Kahar mengakui. �Terserah Saudara,� katanya lagi
setelah
mengetahui, bahwa Erwin punya kekuatan gaib untuk menghadapi semacam itu.
�Apa ular itu sudah pergi?� tanya Datuk yang kini baru teringat kepada ular yang
menewaskan sa
habatnya. Bersamaan dengan itu dia jadi takuti kembali. Bukan mustahil ular itu
mendadak meng gigit
dia pula dan ia menemukan nasib sama dengan Koto. Rupanya Kahar dan Erwin pun baru
ingat lagi
kepada si pembunuh, setelah Datuk menyebutnya. Erwin lalu mencari-cari dan akhirnya
ketemu.
Tempatnya bukan tanggung-tanggung. Di dalam saku kemeja
Erwin yang digantungkan pada sangkutan baju di tembok.Sudah mati.
�Ini dia,� kata Erwin mengeluarkan seekor ular kecil dari saku tempatnya menyudahi
hidup.
Kapten Kahar dan Datuk memandang, tanpa tanya, tetapi ingin penjelasan. Kata Erwin,
ular itu tak
berhasil menggigitnya. Untuk itu ia harus mati, hukuman si pemilik atas pesuruhnya
yang tidak
berhasil melaksanakan tugas.
�Apakah itu ular biasa?� tanya Kapten Kahar. Erwin menerangkan, memang ular biasa
yang sangat
berbisa. Kalau ia ular siluman, ia sudah tidak ada di sana. Kapten itu lalu
bertanya, kalau begitu,
bagaimanakah dia masuk. Diterangkan oleh Erwin, bahwa untuk masuk ia dapat bantuan
dari yang
menyuruh, la sama sekali tidak kelihatan, sehingga tanpa kesulitan apa pun dapat
masuk melalui
pintu. Tetapi karena tidak dapat melaksanakan tugas, maka untuk pulang ia tidak
dibantu lagi. Dan ia
tahu, bahwa ia harus mati, sesuai dengan janji antara majikan dan pesuruh, la masuk
ke dalam saku
Erwin dengan harapan semoga orang itu bisa mati karena terkejut. Sehingga masih
dapat memberi
bakti terakhir kepada sang
majikan, walaupun ia telah mati. Tetapi harapannya itu pun tidak jadi kenyataan,
karena Erwin hanya
terkejut sedikit saja.
Cerita Erwin mengenai ular dan majikannya itu membuat Pak Kapten hanya bisa
mengangguk-angguk.
Segala hukum yang
diketahuinya tidak punya arti apa-apa di dalam kasus ajaib semacam ini.
�Apa yang dapat kita lakukan?� tanya Kahar dalam keadaannya sebagai Tuan rumah.
Erwin
mengusulkan untuk mengurus jenazah dahulu sampai selesai pemakamannya. Setelah itu
nanti baru
dipi kirkan.
Koto yang asal Minang telah dikebumikan dengan sempurna,
dihadiri banyak pelayat dan pengantar, karena Kapten Kahar Nasution menerang kan
bahwa Koto
masih saudaranya.
Datuk yang merasa bertanggung jawab kepada keluarga Koto
karena ia orang yang dituakan di kampung sangat dendam kepada dukun yang mengirim
ular itu,
tetapi tak dapat berbuat apa-apa, karena tidak mengetahui siapa dan di mana
orangnya.
�Aku tahu perasaan Datuk,� kata Erwin, �bertenang dan berdoalah, akan kita
selesaikan sampai
tercapai keadilan.�
�Beri aku kesempatan untuk membunuhnya,� kata Datuk.
�Kita harus mengetahui kekuatannya secara sempurna, kalau kita tidak mau gagal.
Salah-salah, kita
pun akan dimakannya,� kata Erwin.
Ketika mengantar ke pemakaman, Erwin merasa bahwa yang
menyebabkan kematian Koto berada di sekitarnya. Di antara orang yang turut ke pe
kuburan. Apa
maunya? Erwin membisikkan kepada Datuk dan berpesan supaya dia waspada.
Ketika jenazah akan diturunkan ke bumi, memang terjadi hal yang amat mengejutkan.
Menimbulkan
rasa takut di antara
sementara hadirin dan menjadi bisik-bisik di antara mereka. Banyak yang memandang
ke arah Kapten
Kahar. Dari lubang kubur ke luar seekor ular besar sambil mendesis desis.
0odwo0
SEMBILANBELAS
DUA orang penyambut jenazah di liang lahat yang paling
terkejut, tetapi ular itu tidak mengganggu. Orang-orang di atas pun tidak ada yang
dikejar, la berlalu
dari lubang itu dengan tenang, diikuti oleh puluhan pasang mata. Mereka jadi herani
lagi, ketika
mendadak ular itu hilang begitu saja. Badannya sebesar lingkaran betis orang gemuk,
sementara
panjangnya diperkirakan tak kurang dari empat meter. Bukan ular sendok. Warnanya
hijau dan kuning
mengkilap.
Seorang pengantar jenazah berbisik kepada Erwin, �Pertanda apakah itu, dukun
kawakan?� Erwin
tidak mengenalnya, dan ia bertanya dengan bibirnya mencibir sinis. Anak Dja Lubuk
tidak menjawab.
Tetapi ia tahu, bahwa orang itu bukan sekedar bertanya.
Melihat Erwin diam saja, rupanya ia tidak puas lalu menambahkan,
�Kalian turun-temurun manusia harimau, hah! Ayahmu si Dja Lubuk itu, hebat juga.�
Kini tanpa
menunggu jawaban ia berlalu. Tidak ada orang memperhatikannya, juga Erwin tidak.
Tetapi sesaat
kemudian diketahuinya bahwa orang misterius itu sudah tak ada lagi di antara
mereka.
Setelah ular menghilang, jenazah Koto diturunkan. Kelihatan sebagian besar dari
mereka ingin
bergegas, terutama yang berada di liang kubur. Penimbunan pun dipercepat. Yang tak
kurang
berpikirnya daripada Erwin adalah Kapten Polisi Kahar. Apakah artinya ini semua dan
apakah lagi
yang bakal terjadi? Kemarin malam ada ular kecil tetapi dengan bisa mematikan masuk
kamar lalu
membunuh Koto. Kini keluar seekor ular besar dari liang kubur, tetapi tidak
mengganggu. Meskipun
tak masuk akal sementara orang yang tidak pernah melihat keajaiban semacam itu,
tetapi bagi Kapten
Kahar sudah semakin jelas bahwa cerita-cerita seperti itu bukan khayalan.
Ketika orang tak dikenal berbisik pada telinga Erwin tadi, hanya
Datuk yang memperhatikan, tetapi kemudian tidak lagi, karena ia turun menurunkan
jenazah
sahabatnya. Hatinya amat pilu. la berangkat berdua dari kampung, tetapi kelak akan
pulang sendiri,
kalau ia masih akan kembali ke kampungnya. Kalau ia tidak menemui nasib seperti
Koto.
Kemungkinan itu besar sekali. Jangan-jangan ular besar dari liang lahat itu nanti
yang akan
mendatangi dia dan membunuhnya dengan cara lain. Rasa sedih berbaur
dengan rasa takut. Ketika telah selesai pembacaan talkin bagi yang pergi untuk
selamanya, mereka
semua pulang. Erwin jalan seiring dengan Kapten Kahar, yang dipenuhi berbagai malam
pertanyaan,
tetapi belum dapat disampaikan kepada Erwin. Datuk tidak pernah jauh dari Erwin,
seolah-olah
manusia yang sama-sama hamba Allah seperti dirinya sendiri dapat memberinya
perlindungan
terhadap bencana yang tak terlawan oleh manusia biasa bahkan tak dapat ditakuti
dengan senjata.
Tenangkanlah hati Datuk� bisik Erwin kepada orang Minang yang telah kehilangan
teman akrabnya
itu.
�Hatiku sangsi, seperti masih ada saja bahaya mengancam!� kata Datuk.
�Memang begitu, tetapi kalau kita gugup ia semakin mudah menyerang. Dari dalam atau
dari luar.
Maka pertenanglah diri dan jangan berhenti menyebut nama Allah. Dialah yang melihat
semua dan
Dia pula yang Maha Pelindung.�
�Apa akan kukatakan di kampung nanti?� Datuk malu dan bingung, walaupun belum tentu
apakah dia
masih dapat
kesempatan menginjakkan kaki di kampungnya.
Tiba di rumah, suatu musibah lain sudah menantikan Kapten Kahar dan kedua tamunya,
Erwin dan
Datuk. Seorang keluarga yang tidak kuat menahan emosi, menceritakan, bahwa adiknya
Dinar
Nasution kemasukan setan. Sejak tadi menangis | dan menjerit-jerit.
Ketika itu pula Dinar mengeluarkan jerit melengking yang tidak seperti biasa.
Menegakkan bulu roma.
Kapten Kahar bergegas ke kamar adiknya untuk melihat pandangan yang sangat
mengejutkan dan
menakutkan. Dinar telentang ke jang di ranjang, muka pucat
bagaikan mayat. Mulutnya ternganga lebar, mengeluarkan jerit panjang, panjang
sekali. Tak mungkin
dilakukan oleh manusia tanpa kekuatan iblis yang memasuki dirinya
Erwin baru masuk setelah dipanggil sendiri oleh Kapten Kahar yang kebingungan.
Inikah arti ular
yang keluar dari liang lahat tadi?
Mengapa harus begini. Apa kesalahannya? Lebih-lebih apa
kesalahan adiknya Dinar? Buatan orang jahil, pasti orang lahil.
Tetapi apa yang dapat dilakukan atas pembuatnya. Dan siapakah yang melakukannya.
Bagaimana
membuktikannya?
�Hanya kau yang dapat menolong, Erwin,� kata Kapten Polisi yang merasa dirinya
punya kedudukan
tak berdaya.
�Tidak,� jawab Erwin. �Saya hanya Ikhtiar, tak lebih daripada itu.
Berhasil atau tidak, sepenuhnya di tangan Tuhan!�
�Tolonglah, adikku hanya dia seorang,� pinta Kapten Kahar.
�Kalau bisa dipindahkan, biarlah aku menggantikannya.� Dia memang sangat sayang
kepada adiknya
yang hanya sebiji itu.
Tak masuk akal, tetapi ada selama lima menit Dinar melengking panjang. Ketika ia
mengatupkan
mulut dan jerit terhenti, maka warna wajahnya berubah warna jadi hitam-legam.
Padahal ia biasanya
berwarna putih-kuning dan tadi putih-pucat.
Ibu Dinar tidak bisa berbuat apa-apa selain menangis terisak-isak. Hanya itu.
Hatinya kecut. Bingung
bercampur takut. Baru malam kemarinnya Koto mati digigit ular. Kini anaknya
dimasuki iblis atau
jin. Pada waktu itu hatinya mengutuk kehadiran Erwin, Koto, dan Datuk di rumah itu.
Pada waktu itu
dia lupa, bahwa dia juga orangnya yang kemarin dari benci sangat hormat kepada
Erwin.
Karena Erwin yang menyembuhkan Hasbi dari kegilaannya.
Perempuan itu memandang Erwin yang sedang menghadapi
anaknya. Erwin juga melempar pandang kepada ibu Dinar, sehingga keduanya bertemu
pandang. Buruburu
perempuan itu
menundukkan muka, merasa bahwa Erwin yang pandai itu,
membaca apa yang tersirat di dalam hatinya. Pada waktu itu perempuan setengah baya
itu berdiri dan
menghambur ke luar
kamar, mengejut-herankan Kapten Kahar dan beberapa keluarga yang ada di sana.
Kapten Kahar
mengejar dan mengikuti ibunya ke kamar lain, tempat ia menangis tersedu-sedu. Kahar
bertanya
mengapa ibunya mendadak bersikap begitu aneh.
Jawab ibu Dinar, �Entahlah. Aku berburuk sangka kepada orang-orang yang kau bawa
tidur di sini.
Sekarang aku merasa bersalah.�
�Sudahlah, Ibu sedang gugup. Mereka orang baik. Seorang kawan mereka sudah jadi
korban kejahatan
dukun jahil, la marah karena Erwin mengobati Pak Hasbi. Hendak membalas Erwin
tetapi tidak
termakan olehnya. Lalu dia menyerang kawannya yang malang itu. Tenanglah, mudah-
mudahan Erwin
dapat menolong kita. Aku, jangan Ibu harapkan dalam hal ini. Aku tidak punya
kekuatan apa pun.�
Atas bujukan Kahar, perempuan itu kembali ke kamar Dinar.
Dia masih dalam keadaan kejang, tetapi mukanya tidak hitam-legam lagi. Ibu dan
kakak Dinar merasa
agak lega. Perempuan itu semakin menyesal mengapa ia harus mencurigai Erwin.
Mengapa gadis tidak bersalah itu harus dikirimi jin? Kahar tidak lekas mengerti,
tetapi Erwin segera
dapat memastikan, bahwa pembalasan dilakukan atas diri Kapten Kahar melalui
penderitaan adiknya
karena dialah yang membawa Erwin ke rumah Hasbi untuk mengobatinya. Kalau tidak
karena itu,
maka dukun itu tidak punya sebab untuk sakit hati kepada Kapten Kahar.
Dalam hati perwira Polisi itu mengambil keputusan untuk mencari dan membinasakan
sang dukun
jahil, kalau adiknya sampai mati oleh perbuatannya yang terkutuk itu.
�Bisakah adikku ini ditolong Erwin?� tanya Kapten Kahar.
Erwin menjawab lagi, bahwa ia hanya berikhtiar dan tidak
menentukan apa-apa.
�Tetapi kau bisa tahu siapa yang melakukan, bukan?�
�Kalau sekedar itu, kurasa bisa. Dia tadi bersama kita ke pemakaman. Kapten pun
agaknya melihat dia
tadi!� Tetapi Kahar tidak bisa ingat yang mana orangnya.
�Bukankah seorang kawan kita sudah tewas, mengapa dia masih mengganggu?� tanya
Kapten Kahar.
Dijawab oleh Erwin bahwa seorang dukun yang penasaran tidak mudah menghentikan
pembalasannya. Kalau dia tergolong yang sadis, dia akan serang siapa saja yang
dianggapnya
bersekongkol menentang dia. �Bukan tidak boleh jadi, dia nanti mengarahkan
pukulannya terhadap
Kapten. Boleh jadi juga terhadap Ibu Kapten. Tetapi kita akan coba membendungnya!�
Dinar kelihatan tenang, tetapi tanpa diduga, mendadak ia
menjerit panjang lagi, lalu membanting-banting badannya.
Kemudian ia tertawa terbahak-bahak. Penyakit yang tadinya diderita Hasbi kini telah
berpindah
kepada diri Dinar. Tidak cukup sekian, tiba-tiba gadis itu bangkit dengan tampang
ganas mata
terbelalak lebar, la menuju abangnya yang terpaksa menjauhkan diri karena melihat
bahwa adiknya
sangat marah kepadanya. Bagi pandangan sang perwira, mata adiknya itu memancarkan
api. Kedua
tangannya dalam posisi siap untuk mencekik.
�Mengapa kau Dinar!� teriak Ibunya. �Mau membunuh laki-laki ini. Dia yang
membawakan lawan
untukku. Dia pikir dia cerdik minta bantuan kepada si manusia harimau jahanam itu.
Dia keliru.
Mestinya Kahar tidak campur tangan. Dan semua ini tidak akan terjadi. Tetapi kini
sudah terlambat.
Dia harus dihukum, sebagai tumbal bagi nyawa si manusia harimau yang sangat
disayanginya itu.�
Jelas. Kata-kata Dinar yang mewakili jin yang dikirim oleh dukun Maribun bisa
dimengerti oleh siapa
pun yang mendengar.
Erwin tahu, bahwa nyawa Kahar terancam. Kalau iblis yang
bersarang di tubuh Dinar sampai mencekik lehernya, maka ia tidak akan tertolong.
Satu kota, bahkan
satu propinsi akan gempar.
Seorang gadis mencekik mati kakak kandungnya yang Kapten Polisi.
Erwin menghadang Dinar sambil membaca-baca dan meniup
muka gadis kemasukan itu. Tetapi Dinar melawan. Dengan kedua belah tangannya ia
mendorong
Erwin yang membuatnya pun heran sambil sangat terkejut dan terlempar beberapa
meter. Kapten
Kahar jadi tambah takut. Kali ini perwira yang tidak pernah gentar
menghadapi penentang penentang hukum bagaimanapun
hebatnya, merasa ketakutan, la begitu cinta kepada adiknya ilan kini adik tersayang
itu hendak
membunuhnya. Rasa sayang itu saja membuat ia tidak mungkin melawan. Lalu, akan
menyerah
kepada nasib sajakah? Membiarkan diri dibunuh oleh adik kandung yang sedang
mewakili dukun yang
mengirim iblis ke dalam diri Dinar?
Dan kalau gadis itu sudah sembuh kembali, akan bunuh diri atau hidup menderita
sepanjang umur,
karena ia telah menewaskan ibang terkasihnya?
Erwin yang jatuh segera bangkit, kini bukan lagi manusia Erwin tetapi telah menjadi
harimau
berkepala manusia. Semua terjadi begitu cepat. Semua hadirin geger dan menghindar,
tetapi sebagian
besar di antara mereka mengetahui, bahwa apa yang sedang terjadi adalah suatu
keajaiban yang lebih
baik tak usah dipertanyakan mengapa bisa terjadi begitu, karena tidak dapat
dipecahkan oleh hukum
akal semata-mata.
�Jangan kalian takut,� kata Erwin yang sudah bertubuh harimau itu. �Aku tidak akan
mengusik
kalian.� Dinar tertawa-tawa besar melihat lawan yang menghadang dirinya.
�Kau tak mampu menyembunyikan rahasiamu lagi, hah!� kata Dinar. �Kasihan. Kau
merasa malu,
tetapi tidak dapat menutupi aibmu. Sekarang semua orang tahu, bahwa kaulah yang
iblis. Bukan aku.
Aku ini manusia baik-baik yang berilmu dan menjalankan tugas kemanusiaan. Aku wajib
membunuh
makhluk yang seperti kau ini.
Manusia bukan, hewan bukan pula.� Kata-kata yang dilontarkan Dinar memang
menimbulkan rasa
malu pada diri Erwin yang masih berpikir wajar sebagai manusia.
�Keluar dan hadapilah aku sebagai jantan,� kata Erwin dengan tujuan supaya Dinar
terbebas dari jin
yang dikirim Maribun.
�Mengapa aku mesti keluar,� jawab si jin �nyaman tinggal di dalam diri wanita
secantik ini. Bunuhlah
aku! Tapi kau tidak berani.
Membunuh aku berarti kau membunuh Dinar yang adik sahabatmu si Kahar jahanam itu.�
Apa yang dikatakan jin itu memang benar. Kalau Erwin
membunuhnya, Dinarlah yang akan mati sementara dia akan
menyelinap ke luar tatkala tubuh tempatnya bersarang itu sedang sekarat. Erwin
segera paham, bahwa
lawannya ini bukan saja sangat tangguh, tetapi juga luar biasa cerdik.
Si manusia harimau kehilangan akal. la haru� mengeluarkan jin itu dari tubuh Dinar.
Ini hama Tiap
iblis, setan atau jin punya kelemahan yang berbeda satu dengan lainnya. Kalau tepat
caranya jin akan
dapat dihalau dengan hanya sebutir lada putih. Bisa juga dengan sesiung bawang
putih!
Erwin mendengar suatu bisikan di telinganya Itu suara Datuk nan Kuniang yang sudah
lama tidak
mendatanginya. Datuk yang
dimakamkan di sebuah pekuburan daerah Kebayoran Lama ini
beberapa kali menolong Erwin, karena Dja Lubuk dan Raja Tigor sahabat-sahabatnya
yang sangat
akrab. Bisikan itu begitu pelan, sehingga Erwin pun tidak segera dapat
menangkapnya.
�Aku punya nama, walaupun aku bukan manusia dan bukan hewan seperti katamu. Tetapi
kau tl dak
punya nama. Karena kau hanya jin atau iblu yang hina,� kata Erwin memanasi. Dinar
tertawa
�Kau kata aku tidak punya nama? Kau mau tahu? Semua orang kenal. Akulah Maribun,
yang tidak
terlawan oleh kekuatan apa pun di bumi ini!� Tampang Dinar memperlihatkan
kesombongan,
membangkitkan kejijikan. Dinar gadis yang sebenarnya mempunyai paras menawan itu.
Bisikan halus itu terdengar lagi ke telinga Erwin. Sekarang ia memasukkan tangan
kanannya ke ketiak
kiri Dinar, memijitnya sekuat tenaga. Ketika terasa sebuah biji kecil keras, ia
menekannya semakin
kuat. Dinar menjerit-jerit, meronta-ronta lalu terkulai pingsan. Jin itu telah
keluar. Buat sementara
Dinar bebas, tetapi Erwin merasakan, bahwa pertarungannya masih jauh daripada
selesai.
0odwo0
DUAPULUH
MEMANG bagi yang melihat, menjadi lemasnya Dinar merupakan tanda kemenangan Erwin
dalam
bentuk dirinya yang sangat
mengerikan itu. Tetapi mereka sudah tidak takut, karena ialah menjadi harapan dan
pejuang mereka
dalam menghalau jin yang bersarang di dalam tubuh gadis itu. Dalam hati Erwin
berharap agar ia
segera menjadi manusia biasa kembali, karena sesungguhnyalah ia sangat malu dengan
keadaannya
yang seperti itu. Tetapi harapannya tidak terkabul dan ia tidak dapat semaunya
mengubah diri jadi
harimau atau jadi manusia kembali.
Erwin memandang sedih ke sekelilingnya seperti mau melihat dan membaca muka dan
hati mereka
masing-masing. Dia kasihan kepada dirinya sendiri, tetapi ia tidak mengharapkan
belas kasihan dari
mereka. Bahkan dialah yang kasihan kepada mereka, karena telah membuat mereka
terkejut dan
semula tentu ketakutan.
Siapalah orangnya yang tidak akan ketakutan melihat seorang manusia mendadak
berubah jadi
harimau berkepala manusia.
Melihat Erwin memandang, semua yang hadir menundukkan kepala.
Rasa kasihan, rasa hormat dan mungkin juga masih bercampur lagi dengan sedikit rasa
takut yang
mereka ketahui tidak pada
tempatnya, tetapi tidak dapat dibuang begitu saja dari perasaan.
Mungkin di luar sadar, Erwin berkata, �Aku menyesal, kalau keadaanku ini membuat
kalian semua
merasa takut. Kalian tahu, aku tidak punya maksud untuk menakuti kalian. Tetapi aku
juga tidak
mampu melawan nasib yang telah ditentukan bagi diriku!�
Yang mendengarkan semua terharu. Ibu Kahar bergerak maju, memegang dan mencium
tangan Erwin
dalam bentuk kaki depan harimau.
Kahar membiarkan, agak lega atas sikap Ibunya yang
menunjukkan kekhilafan penilaian terhadap diri Erwin. Si manusia harimau juga
terharu.
Dalam keadaan mengharimau itulah Erwin memakai sebagian
dari kemampuannya untuk mengembalikan Dinar kepada gadis
normal. Pelan-pelan ia membuka mata dan beruntung sekali, ia
tidak menjerit atau takut melihat makhluk itu duduk di hadapannya, la memandang
lama, kemudian
tersenyum. Erwin juga senang
dengan ketenangan Dinar, tetapi kemudian senyum gadis itu membangkitkan suatu rasa
takut pada
dirinya sendiri, sebagaimana telah beberapa kali dialaminya. Padahal mereka melihat
kenyataan
bahwa dia hanya pemuda miskin dan beberapa di antara mereka bahkan melihat bahwa
dia manusia
dengan tubuh harimau, ada waktu melihat Dinar tersenyum, maka Erwin lah yang
berdoa, agar jangan
sampai terjadi pula lagi alangan beberapa bencana cinta-tak-normal atas dirinya.
Yang sangat menakjubkan, Dinar yang baru ditinggalkan jin, bukan hanya tersenyum
ramah, tetapi
beberapa saat kemudian malah berkata pelan, namun cukup jelas untuk didengar semua
yang ha dir,
�Abang Erwin hebat sekali. Bagaimana Abang membuat diri Abang jadi harimau begini?
Abang mau
mengajarkan ilmunya kepadaku nanti?�
�Istirahatlah. Kau perlu istirahat,� kata Erwin� sebagai jawaban.
�Aku akan istirahat, kalau Abang berjanji mengajarkan ilmunya!�
�Baiklah,� jawab Erwin untuk menghentikan cerita yang tidak lucu itu.
Tetapi jawaban itu membuat Dinar meneruskan, �Jadi aku nanti juga bisa jadi harimau
seperti Abang.
Mama dengar itu?� tanya gadis itu kepada Ibunya. Yang ditanya diam. Sedih, mengapa
anak nya jadi
punya kemauan begitu. Dan mulai pula datang kembali dugaan yang tidak sehat di
dalam hatinya.
Mestinya Dinar takut, tetapi dia tersenyum. Dia pun ingin pula jadi wanita
mengerikan.
Bayang kan, kalau Dinar punya tubuh harimau, menjadi wanita harimau. Apakah Erwin
mempunyai
dan mempergunakan ilmunya membuat Dinar menyenangi dirinya, walaupun ia jelas-jelas
bukan
manusia normal?
�Jangan berpikir begitu Nyonya,� kata Erwin. Di luar dugaan Ibu Dinar dan tidak
dimengerti oleh
Kahar yang juga mendengar ucapan Erwin.
Perempuan yang tidak berpikiran stabil itu terkejut dan kini takut melihat Erwin
yang mungkin marah
dan melakukan pembalasan, la tidak lagi lari seperti pernah dilakukannya tadi, juga
tidak minta maaf
karena pikiran buruknya dibaca oleh Erwin. Tetapi ia menangis tersedu-sedu,
menimbulkan tanda
tanya lagi pada keluarganya yang ada di sana. Apakah yang dipikirkannya sehingga
manusia harimau
itu sampai berkata agar dia jangan berpikir begitu?
�Mengapa Abang berkata begitu kepada Mama?� tanya Dinar.
Erwin tidak menjawab, tetapi meneruskan usahanya dalam
memulihkan jalan pikiran dan keadaan tubuh Dinar.
Erwin kian gelisah, walaupun keadaan Dinar terus membaik
secara perlahan, karena dirinya belum juga kembali jadi manusia.
Rupanya hal ini dilihat dari jauh oleh dukun berilmu sangat tinggi Maribun yang
mengirim ular dan
jin ke rumah Kapten Kahar dan pekuburan tempat tubuh Koto disimpan untuk selamanya.
Karena dia
bukan hanya hebat dalam ilmu gaib tetapi juga cerdik berpikir, maka ia buru-buru
menelepon ke
Kantor Polisi bahwa di rumah Kapten Kahar sedang bersembunyi seekor harimau yang
lebih ganas
dari harimau biasa. Kalau tidak segera dibinasakan, maka ia akan mengambil banyak
korban di
Lubuklinggau. Dia juga menceritakan, bahwa harimau yang lain daripada siluman itu
tela h
melakukan teror di Jakarta, Surabaya, Ujungpandang, Medan, dan Palembang.
Komandan jaga tidak percaya, karena rumah yang disebutkan pelapor adalah tenpat
tinggal seorang
perwira Polisi. Tanpa ragu-ragu Maribun menjelaskan, bahwa dalam soal ini tidak ada
kaitan dengan
jabatan Kapten Kahar, tetapi makhluk yang sangat
berbahaya itu sedang bersembunyi di sana. Mungkin juga dilindungi oleh Kapten itu.
Polisi sebagai
pelindung masyarakat harus mengambil tindakan.
�Kalau tidak percaya, datanglah kemari. Yang melapor ini Maribun! Kalian tidak
kenal? Apakah
orang semacam aku membuat laporan palsu?� kata Maribun dengan nada mulai marah.
Maribun memang cukup dikenal. Bukan hanya sebagai dukun,
tetapi lebih-lebih lagi sebagai orang dermawan.
Maribun ingin membinasakan musuhnya melalui tangan resmi, pihak yang berwajib
memelihara
keamanan dan ketertiban.
Pengaduannya agak meragukan, tetapi sekaligus juga menimbulkan rasa takut. Kalaulah
benar ada
harimau yang melebihi harimau siluman bersembunyi di rumah Kapten Kahar, maka hewan
itu harus
dibinasakan, sebelum ia mengambil korban di kota itu.
Kapten Kahar terkejut, ketika mendapat laporan dari pemelihara pekarangan bahwa
satu regu Polisi
telah datang dan komandannya angin bertemu dengan Kapten Kahar.
Siapakah yang telah memberi laporan kepada Polisi, tanya
Kapten Kahar pada diri sendiri tanpa mampu memberi jawaban, la amat marah dan sakit
hati. la buruburu
ke pintu pagar pekarangan, mendapat hormat dari seorang Letnan Polisi yang memimpin
pasukan, la tidak berani langsung masuk pekarangan, karena hal ini menyangkut
atasannya yang
bertempat tinggal di sana.
�Ada apa Let?� tanya Kapten Kahar menahan emosi yang bangkit di dalam dirinya. Sang
Letnan yang
bernama Jaya menyampaikan laporan yang diterima Polisi dan menyebutkan nama
pelapor.
�Itu bohong. Apa maunya orang ini memberi laporan yang tidak benar dan bisa
menimbulkan
ketegangan. Bangsat betul. Masukkah di akalmu di sini ada harimau? Dari mana
datangnya. Gila,
orang itu gila dan kalian mau pula percaya kepada provokasi orang gila!� kata
Kapten Kahar. Dia
marah sekali. Melihat ini si Letnan jadi ragu-ragu.
Mustahil Kapten Kahar berdusta, kalau benar ada harimau yang tentu membahayakan
keselamatan
mereka sekeluarga.
Sejumlah Polisi telah mengatur posisi masing-masing dalam pengepungan. Hanya
menunggu perintah
dari komandan
penyerbuan.
�Pak Kapten yakin tidak ada bahaya? Tidak ada harimau?
Katanya harimau yang lain lagi dari siluman,� lanjut Letnan Jaya.
�Betul-betul gila. Akan kupanggil pelapor edan itu nanti. Aku
cuma tahu harimau di hutan. Tidak percaya siluman segala. Kau percaya?�
�Tidak Pak, cuma dengar dari cerita-cerita.�
�Dalam dongeng memang ada. Hanya khayalan penulis,� Kapten Kahar tertawa. Walaupun
hanya tawa
yang dibuat. Si Letnan memberi hormat lagi dan memerintahkan anak buahnya untuk
kembali.
Kapten Kahar merasa lega dengan kepergian si Letnan, tetapi juga merasa bersalah
karena ia berdusta.
Tiada pilihan lain baginya daripada berdusta.
la kembali ke kamar adiknya, tempat Erwin masih saja dalam keadaannya seperti tadi.
Meskipun tidak
melihat sendiri, ia tahu, apa yang baru saja dihadapi oleh Tuan rumah yang baik
hati dan telah jadi
korban dukun Maribun. Dia ingat baik-baik nama itu.
Karena Dinar sudah tertidur tenang, Erwin minta diri untuk kembali ke kamarnya
bersama Datuk,
yang dirasuki berbagai macam perasaan. Untuk kedua kalinya dia melihat manusia jadi
harimau.
Tempo hari di Panorama Bukittinggi disaksikannya Dja Lubuk yang mengharimau ketika
bertempur
dengannya. Kini ia menjadi saksi lagi dari kejadian serupa atas diri Erwin. Tetapi
rasa takut sudah
tidak ada. la tahu bahwa masih banyak petualangan di hadapannya, barangkali juga
kematiannya,
tetapi ia bangga telah bersahabat dengan Erwin, walaupun seorang sahabat telah
pergi.
Akhirnya kematian seseorang bisa terjadi di mana saja. Kematian Koto meninggalkan
kesan
menyedihkan, tetapi tidak boleh
disesalkan. Tak ada manusia yang tahu, kapan saatnya janji bersedia kembali kepada
Yang Empunya
harus dipenuhi. Tiada kekuatan apa pun dapat membatalkan janji itu. Kalau ada
seseorang diyakini
akan mati, tetapi tidak mati, maka hal itu bisa terjadi karena saat memenuhi janji
belum tiba. Tiada
lain daripada itu.
Datuk memandangi Erwin. Tiada bertanya. Tetapi Erwin bertanya kepada Datuk apakah
ia ingin
berpisah saja, karena kalau masih bersama-sama mungkin ia akan turut terlibat dalam
peristiwa�
peristiwa yang sudah tentu belum habis sampai di situ. Datuk menangis terharu, la
tidak mau berpisah.
Waktu dia mengatakan ingin tetap bersama itu, Erwin berubah jadi manusia kembali.
Dia merasa lega.
Untuk kesekian kalinya dia mengalami, bahwa
perubahan atas dirinya tidak selalu terjadi atas keinginan hati dan kebutuhannya.
Ketika ia ingin jadi
harimau, ia justru selalu tidak bisa berubah dari wujud manusia.
Setelah menanti beberapa saat ia kembali ke kamar Dinar, la dapat merasa ketenangan
yang kembali
ke diri keluarga Kahar, terutama Kapten itu sendiri.
�Menyesal atas kesulitan yang kutimbulkan. Kapten,� kata Erwin.
�Jangan berkata begitu saudaraku Erwin,� kata Kahar spontan, la kian melihat suatu
kebersihan dan
ketulusan pada diri si manusia harimau.
�Aku salah satu dari yang disebut manusia harimau. Ingatlah itu baik-baik. Aku
bukan manusia
beruntung yang normal seperti kalian.�
Hati Kapten Kahar amat tersentuh mendengar ucapan Erwin.
Itulah jerit halus dari seorang anak manusia yang harus menerima nasib menyimpang
dari manusia
lainnya.
�Sebaiknya kami pergi dari rumah Kapten. Nanti timbul kesulitan baru. Kami senang
tinggal di sini,
tetapi tidak suka kalau karena kami nanti nama baik Kapten terbawa-bawa. Bahkan
bisa rusak dan
menimbulkan kecurigaan di antara Korps Kepolisian. Waktu mereka mengepung dan mau
menyerbu
tadi. Kapten terpaksa berbohong, bukan? Padahal Kapten tidak biasanya suka
berdusta.�
�Hanya untuk kebaikan. Tidak merugikan siapa pun. Ini semua yang dapat dinamakan
takdir. Tidak
kita kehendaki apalagi kita atur!
Tetapi kita juga tidak dapat mengelakkannya. Salahkah manusia yang tak mampu
mengelakkan takdir,
karena memang
sesungguhnya tidak ada satu makhluk pun yang mampu
membebaskan dirinya dari takdir yang sudah ditentukan!�
�Falsafah hidupmu tinggi sekali. Saudara Er win. Di mana kau belajar? Adakah buku
pelajaran untuk
itu?�
�Aku tidak pernah belajar filsafat, Kapten. Per jalanan hidup yang memberi ajaran
kepadaku. Kap ten
setuju kan, kami pergi dari rumah Kapten ini. Bukan kami tidak suka di sini. Urusan
atau peristi wa ini
belum selesai.�
�Akan ke mana Saudara Erwin. Adikku pun belum sembuh! Kau tak akan meneruskan
pengobatannya?�
�Aku berada di sekitar sini. Tentu saja aku akan coba dengan segala daya yang ada.�
�Kedatangan Polisi tadi oleh pengkhianatan seorang pelapor,�
kata Kahar.
�Dia berkata yang sebenarnya. Mau menyelamatkan keluarga Kapten.�
�Tetapi aku akan bikin perhitungan dengannya. Sudah pasti dia mau merusak!�
�Aku mohon dengan segenap kebersihan hati, jangan! Demi kebaikan banyak pihak.
Jangan rusak
masa depan Kapten. Aku yakin. Kapten akan jadi seorang besar yang amat penting bagi
bangsa dan
negara ini. Jangan Kapten!�
Datuk memandang Erwin. Ingin penjelasan mengapa tidak
dibalas.
�Ini urusanku, maka akulah yang akan menyelesaikan, Datuk.
Layak begitu, bukan? Ataukal Datuk punya pendapat lain?�
�Tidak, pendapat dan cara Saudara tentu yang terbaik. Tetapi aku tidak rela kalau
dia tidak dibalas.
Dia terlalu jahat dan sombong!� kata Datuk.
Maribun yang ditanyai Polisi menyatakan penyesalan, karena mereka telah dibohongi
Kapten mereka
sendiri. Maribun bersumpah bahwa ia tidak mengada-ada.
�Aku memikirkan keselamatan Pak Kahar dan masyarakat kota ini,� katanya.
0odwo0
DUAPULUH SATU
SESUNGGUHNYA Maribun sangat berharap dan sudah yakin,
bahwa untuk sekali itu ia menyingkirkan lawannya melalui kekuatan yang dipelihara
dan dibiayai
negara. Dia akan tertawa lebar melihat si harimau mati dikepung lalu binasa
ditembak, dengan lebih
dulu tentu mematikan beberapa pengepungnya. Maribun juga tahu, bahwa Erwin yang
manusia
harimau dari warisan, mempunyai ilmu yang sangat tangguh. Sudah dirasakannya
bagaimana kekuatan
orang muda itu ketika mengobatinya Hasbi. Tetapi peduli apa Maribun akan kematian
beberapa
anggota masyarakat, siapa pun dia. Yang terang bukan sanak-pihaknya. Dia akan
mendapat nama baik
pula dari Polisi karena telah melaporkan keadaan yang sangat membahayakan
masyarakat kota itu.
Maribun juga akan tertawa puas bila Kapten Kahar terbukti menyembunyikan harimau
yang jelas-jelas
mengancam keamanan. Sekurang-kurangnya
ketenangan, la pasti akan dipecat. Ataukah akan ikut mati dalam membela si manusia
harimau yang
menjadi harapannya untuk
menyembuhkan adiknya Dinar?
Atas hasutan Maribun juga seorang Mayor Polisi yang kenal baik dengannya pura-pura
bertandang ke
rumah Kapten Kahar. Seolah-olah mau menjenguk adiknya yang sakit. Begitu nasihat
Maribun untuk
menutupi maksud yang sebenarnya. Dapat mempercayai
keterangan Maribun yang dilengkapi dengan alasan dan keterangan.
Mayor Polisi Ahmad Buang ingin membuat suatu kejutan bagi masyarakat kota
Lubuklinggau. Atas
kelihayan Mayor Ahmad Buang, akhirnya terbukti, bahwa memang benar Kapten Kahar
melindungi
seekor harimau yang ganasnya melebihi harimau lapar dan luka. Uh, kalau tersiar
begitu, betapa hebat
namanya. Di mana-mana orang akan menyebut Mayor Buang. Barangkali juga orang akan
katakan,
bahwa ia bukan hanya Perwira Polisi yang cerdik dan berani, tetapi
juga seorang pejabat yang punya ilmu gaib. Kebohongan Kapten Kahar seperti yang
dikatakan
Maribun tidak akan dapat mengelabui dirinya.
Kapten Kahar mempersilakan tamunya masuk. Kedatangan itu
saja sudah agak aneh, karena tidak biasanya Mayor itu berkunjung ke rumah Kahar.
Lebih heran lagi,
ketika Ahmad Buang berkata,
�Saya dengar adik Kapten sakit. Tidak diopnamekan saja?�
Dari mana atau siapa pula Ahmad Buang mengetahui tentang
sakitnya adik sang Kapten. Ah, ini semakin macam-macam.
Kahar menerima atasannya di ruang tamu, mengatakan, bahwa memang adiknya sakit,
tetapi hanya
ringan. Tidak perlu opname.
Bahkan ke dokter pun tidak perlu, katanya. Dengan cara itu sebenarnya ia
menyampaikan kejengkelan,
karena dia sudah
merasakan, bahwa si Mayor mau menyelidiki, bukan mau tahu tentang penyakit dirinya.
Sekali ini,
tanpa dipinta Tuan rumah, Erwin yang sedang bersiap dan menunggu langkah baik untuk
pergi, datang
ke ruang tamu. Dan di luar dugaan Kahar, juga sangat mengejutkan Mayor Ahmad Buang
ia bertanya,
�Bapak mau menyelidiki kebenaran cerita Maribun, ya?�
Buang berkata, gugup, walaupun hanya seorang Erwin
kampungan yang bertanya, �Apa maksudmu?� la merasa manusia yang seperti itu cukup
diper-kamu.
�Bapak mau mencari kepastian apakah di sini ada harimau yang sangat ganas,
berterusteranglah Pak.
Bukankah Bapak berhadapan dengan seorang yang pangkatnya di bawah Pak Mayor?�
�Siapa kamu?� tanya Buang.
�Pekerjaan saya supir. Bapak perlu supir? Saya sudah lama tidak punya pekerjaan.
Saya dengar Bapak
senang sekali membantu orang susah,� kata Erwin mencerocos. Pak Mayor yang merasa
keco-longan
rahasia dan diteror dengan pertanyaan-pertanyaan oleh orang yang semula
dipandangnya tidak punya
arti sama sekali, bangkit dari duduknya dan secara sangat tidak wajar, tanpa pamit
meninggalkan
rumah, tetapi baru beberapa langkah, Erwin berkata,
bahwa harimau yang dicarinya itu memang ada. Perwira itu merasa dipermainkan tetapi
ia berhenti
dan menoleh.
�Kamu juga melihatnya?� tanya Mayor Ahmad Buang.
�Ya, tadi memang lalu dari pekarangan ini. Melompat ke pekarangan orang sebelah.
Itu harimau
piaraan namanya Pak,� kata Erwin berlagak tahu.
�Mengapa kau tahu dia harimau piaraan?� tanya Buang.
�Karena tak kan ada harimau rimba sampai menyasar kemari.
Jadf, kesimpulan saya yang bodoh, harimau piaraan. Mungkin di sekitar sini ada
dukun memelihara
atau ada orang yang mewarisi harimau!� kata Erwin.
Mayor itu kembali dan bertanya kepada Kapten Kahar apakah dia boleh duduk sebentar
lagi.
�Silakan Pak Mayor,� kata Kahar.
�Kamu seperti orang banyak tahu, siapa namamu?�
�Bujang,� jawab Erwin. Kahar dan Datuk yang sudah ikut serta pula di sana hanya
mendengarkan.
Walaupun hanya sedikit, tetapi mereka merasa geli juga.
�Namamu hampir sama dengan namaku. Ahmad Buang, Mayor Polisi.� la minta �Bujang�
meneruskan ceritanya. Maka dijelaskanlah oleh Erwin, bahwa dia berasal dari Kerinci
dan di sana
masih lumayan banyak harimau jadijadian. Ada juga orang yang
memelihara atau mewarisi harimau. Harimau yang dipelihara dapat disuruh oleh
pemiliknya, kata
Erwin. Dan Mayor itu tidak ragu-ragu, karena cerita begitu sudah biasa juga
didengarnya. Lalu dia
mengambil kesimpulan, bahwa cerita Maribun memang bukan
omong kosong belaka.
�Apa yang dikatakan Tuan Maribun itu memang benar, Pak Mayor,� kata Erwin membuat
orang dari
Kepolisian itu semakin heran akan kepandaian lelaki kampungan itu, �tetapi harimau
itu tidak
bersembunyi di sini. Dugaan Pak Mayor bahwa Kapten Kahar
menyembunyikan harimau sangat ganas itu sangat keliru. Tidak masuk akal, bukan.
Ataukah Pak
Mayor bisa percaya?� tanya Erwin.
�Tentu saja tidak,� jawab Mayor Ahmad Buang tanpa banyak pikir lagi. Padahal tadi
dia begitu yakin
akan cerita Maribun.
�Saya kuatir harimau itu nanti mencari Pak Maribun, kalau ia benar harimau piaraan
atau suruhan,�
kata Erwin lagi. �Sebab harimau yang begitu bisa mengetahui dan membaca pikiran
orang!�
�Mengerikan juga,� kata Mayor Buang mengikutkan perasaannya, la juga tidak suka
pikirannya dibaca
oleh harimau, yang bisa melakukan pembalasan.
�Kapten, maaf aku telah mengganggu,� kata Mayor Buang. �Aku permisi.�
�Tidak ingin melihat adikku yang sakit itu? Bukankah itu maksud kedatangan Pak
Mayor kemari?�
tanya Kahar. Atasannya yang jadi malu itu merasa serba tak enak. Dia disindir.
Tetapi memang pantas
ia disindir.
�Kudoakan supaya dia lekas sembuh,� kata Buang lalu pergi, la mengutuk Maribun yang
telah
mempengaruhi dia supaya pergi ke rumah Kahar melakukan penyelidikan dan melihat
kenyataan.
Ketika ia akan naik Toyoto Hardtop-nya, Erwin datang menghampiri dan bertanya
bagaimana tentang
pekerjaan supir itu. Pak Mayor tidak mengerti apa sebenarnya yang dimaksud orang
mengaku
bernama Bujang itu, tetapi ia berkata, bahwa dia akan menyediakan pekerjaan kapan
saja pelamar itu
mau mulai.
�Terima kasih Pak,� kata Erwin, �jangan lagi Bapak mau dikibuli dukun Maribun.
Bapak jangan
marah, dialah sebenarnya yang sangat jahil.�
Erwin mengangkat tangan memberi hormat dan perwira
menengah Polisi itu pergi. Berbagai macam pertanyaan timbul di dalam benaknya. Yang
satu dengan
lain bertentangan.
Atas mufakat, Kapten Kahar menyetujui Erwin dan Datuk pergi.
Bekal beberapa puluh ribu rupiah diterima Erwin. la memang
membutuhkannya. Dia mengatakan masih akan mengunjungi Hasbi yang sebenarnya masih
diancam
bahaya karena ia mempunyai
banyak musuh, la juga akan datang pada petang hari itu untuk melihat Dinar.
Apa yang dikhawatirkan Erwin tampaknya bisa terjadi kalau tidak segera dicegah
perkembangannya.
Sebelum petang hari itu, ia bertanya kepada ibunya kenapa Erwin tidak datang
melihatnya, la
termenung ketika dikatakan, bahwa Erwin sudah pindah atas permintaannya sendiri.
Kahar
menerangkan, bahwa Erwin tinggal tak jauh dari sana dan akan datang mengobati
Dinar.
�Minta dia tinggal di sini saja Bang,� kata Dinar. �Bukankah dia orang baik yang
menolong Pak
Hasbi. Dia berjanji akan
mengajarkan aku ilmu menjadi harimau. Tentu aku akan jadi hebat sekali ya Bang.�
Kebetulan pada waktu itu Erwin tiba dalam keadaannya yang normal. Berpakaian
bersih, la minta
disediakan segenggam lada putih untuk melanjutkan pengamanan rumah dari gangguan
orang jahil
mana pun. Ditanamnya di tiap pintu masuk d.ut di keempat sudut rumah. Cara kuno
yang masih I
pakai banyak dukun sampai sekarang.
Dinar bertanya mengapa Erwin pindah.
�Rumah begini terlalu bagus untukku Nona Dinar. Ayahku berpesan supaya aku selalu
hidup dalam
kesederhanaan,� kata Erwin. Kahar mend-ngarkan dengan rasa haru.
�Aku ingin sepertimu. Bang Erwin. Aku ikut Abang saja, boleh?�
�Tak sesuai untukmu. Hidup Abang hidup petualang. Suatu kesenangan mengembara dari
satu ke lain
tempat!�
�Aku juga mau bertualang. Mau mengembara Cari pengalaman.�
�Ya, semua orang mau cari pengalaman. Tetapi jangan
pengalaman seperti Abang. Nona harus lekat sembuh, mudah-mudahan satu dua hari
lagi. Nanu kita
buang semua gangguan itu.�
0odwo0
Erwin berniat untuk menyelesaikan urusannya malam itu juga.
Supaya ia bisa meninggalkan Lubuklinggau atau berkubur di buminya, la tahu bahwa
Maribun tentu
bersiap menantikan
kedatangannya. Dukun itu memandang Erwin hanya menyempitkan dan mengotori daerah
yang
selama ini dikuasainya.
Sampai menjelang tengah malam Erwin men doa dan membaca
berbagai mantra. Yang begitu di lakukan juga oleh Maribun dengan caranya. Tidak
sama dengan
Erwin karena ia mempergunakan ilmu hitam yang amat tangguh, mengandalkan berbagai
urunan yang
terdiri atas jin, setan, iblis, dan ular.
Sampai tengah malam Maribun sia-sia menantikan kedatangan Erwin. la tak dapat lagi
melihat apa
yang sedang dikerjakan Erwin.
Rupanya lawannya itu mematahkan kemampuannya untuk melihat dan membaca dari jauh.
Maribun merasa dirinya dalam bahaya. Jangan-jangan musuh
sudah berada di pekarangan ataukah sudah di dalam rumah?
Apakah Erwin mempunyai ilmu perabun yang dapat mengalahkan keampuhannya terhadap
kekuatan
gaib semacam itu? Kegelisahan Maribun meningkat ketika ia mulai merasa kantuk
menyerang dirinya.
Dia membaca-baca, lalu minta dibuatkan kopi kental. Tentu musuh sedang mengerjai
dia dengan
sepenuh kemampuan yang ida padanya. Dan dugaan Maribun tidak keliru. Erwin
mengerahkan semua
kekuatan batinnya untuk menaklukkan lawan, la ingin pembalasan dapat dilakukan
tanpa
menimbulkan kehebohan atau kegaduhan.
Pukul 01.30 tengah malam Erwin berkata kepada Datuk, bahwa ia akan pergi sebentar,
la akan kembali
menjelang subuh, katanya.
�Aku ikut,� kata Datuk.
�Jangan, biar aku saja yang menyelesaikan.�
�Perkenankan sekali ini, Erwin. Aku tak mau membiarkan kau
pergi seorang diri sementara aku tinggal sendirian pula di sini. Aku tak mau lagi
berpisah denganmu,
kecuali dipisahkan oleh maut.�
�Baiklah kalau Datuk tak mau dilarang! Aku mau memohon dulu,�
lalu ia duduk bersila dengan kedua belah tangan di atas kedua lututnya, la memohon
restu dan bantuan
dari jauh kepada Raja Tigor, Dja Lubuk, Tuan Syekh Ibrahim Bantani, Datuk nan
Kuniang dan semua
gurunya dalam ilmu pengobatan dan menangkis
serangan dari orang orang jahil. Hanya dari orang jahil, la sendiri tidak akan
pernah melakukan
kejahatan, hanya melawan kejahatan guna menegakkan pihak yang benar
0odwo0
Permohonan Erwin terkabul, la telah mempunyai tubuh dan
kekuatan harimau. Ditambah lagi dengan ilmu-ilmu gaib di dalam dirinya sebagai
manusia. Dengan
kekuatan gabungan itu mereka berangkat. Begitu mereka telah mencapai setengah
perjalanan turunlah
hujan yang amat lebat, tetapi tidak dihiraukan oleh kedua sahabat yang akan
melaksanakan missi
penuh bahaya. Dan hujan ini menyebabkan tanah jadi becek dan meninggalkan jejak-
jejak kaki Erwin
yang sudah jadi harimau itu. Disebelahnya kaki Datuk.
�Kita akan meninggalkan jejak,� kata Datuk, yang dijawab oleh Erwin, bahwa hal itu
seperti di atur
agar besok orang tahu, bahwa seorang manusiai perkasa telah berjalan berdampingan
di dalam kota
dengan harimau piaraannya. �Akan menghebohkan! kota besok Datuk,� kata Erwin. Datuk
terhibur
oleh kelakar itu.
Kedua sahabat itu memasuki pekarangan Maribun dalam curahan hujan yang kian lebat,
menidurkan
hampir seluruh penduduk kota, termasuk dukun kawakan yang diserang kantuk tak
terlawan itu.
�Datuk menunggu di luar. Bersembunyi jugalah. Mana tahu ada patroli lewat,� kata
Erwin, �Aku akan
naik mengambilnya?�
�Dia tentu akan melawan, biarlah aku ikut, walaupun kehadiranku tidak berarti,�
kata Datuk
merendahkan diri. Tetapi Erwin
memberinya alasan-lasan, mengapa harus dia sendiri yang naik.
Erwin heran tetapi juga merasa senang, karena pintu yang harus dibukanya ternyata
tidak dikunci.
Rupanya disengaja atau terlupa oleh Maribun yang tahu bahwa lawannya itu akan
datang. Sesudah di
dalam, terasa oleh Erwin kakinya sangat berat untuk melangkah.
Tentu karena telah di �pasang� oleh Maribun. Tetapi ia juga tahu, bahwa dukun
kawakan itu telah
terbius oleh kekuatan gaibnya.
0odwo0
DUAPULUH DUA
TIDAK mampunya ia melangkah untuk mengambil Maribun,
membuat Erwin menyadari, bahwa walaupun Maribun terbius, ia tidak dapat melakukan
rencana yang
sudah dipikirkan dan diyakini nya akan dapat berjalan dengan lancar. Ataukah
penglihatannya dari
jauh bahwa dukun besar itu telah terlena, pun suatu kekeliruan oleh tabir gaib yang
dipasang oleh
lawannya itu? Jika begitu, Maribun tidak berhasil dibiusnya dan besar kemungkinan
ia tertawa melihat
hambatan yang dihadapi Erwin. Sudah sampai di dalam rumah, tetapi tidak dapat
melangkah maju.
Barangkali lebih pula dari itu. Akan dapatkah ia melangkah ke luar dari rumah itu,
kalau ia gagal
membawa Maribun? Jikalau begitu halnya, apakah ia akan tertangkap di sana. Apakah
untuk kedua
kalinya ia akan dikepung oleh alat-alat bersenjata? Usaha Maribun yang pertama
menghasilkan kedatangan satu pasukan Polisi ke rumah Kapten Kahar untuk mengepung
dan
menangkap atau membinasakannya, tetapi gagal. Karena ia dilindungi oleh Tuan rumah.
Di sini tidak
akan ada yang melindunginya. Apakah dalam keadaan manusia biasa, atau lebih-lebih
lagi dalam
wujudnya yang seperti sekarang, ia tidak punya alasan untuk menolak kesalahan dan
maksud jahat
yang ditimpakan atas dirinya.
Erwin mengerahkan tenaga dalam dengan mantra pemecah
benteng, tetapi sia-sia. Kakinya tak dapat maju, kemudian diangkat saja pun tak
bisa lagi.
Keringat mulai membasahi muka. Apakah Maribun tidak ada di rumah karena mengintai
dari
pekarangan, kemudian melapor
kepada Polisi setelah ia masuk ke dalam rumah? Kalau itu yang telah dilakukannya,
memang ia akan
berhasil.
Setelah hampir putus asa, manusia harimau yang sedang
terjebak itu memanggil-manggil Tuan Syekh Ibrahim Bantani. Dan orang berilmu tinggi
yang
bermakam di dekat Muara Sipongi itu memperlihatkan diri. Walaupun ia sudah
mempunyai banyak
pengalaman tetapi dalam situasi seperti ini ia benar-benar sangat takut. Pertama-
tama karena malu
kalau sampai tertangkap dalam keadaan begitu, kedua ia masih ingin hidup
menyelesaikan
beberapa urusan yang belum beres. Termasuk janjinya untuk bertemu dengan Mei Lan.
Tanpa bicara agak sepatah kata pun. Tuan Syekh kembali dan bersamaan dengan itu
Erwin dapat
mengangkat kaki. Kemudian ia melangkah, udah tiada rintangan. Erwin tahu bahwa
terhindarnya tabir
gaib yang tak tertembus berbagai mantranya, hanya berkat pertolongan Tuan Syekh
Ibrahim Bantani.
Erwin berjalan pelan, supaya jangan terdengar oleh orang-orang yang barangkali tak
turut terbius oleh
jampi-jampinya. Tetapi kaki-kakinya yami memikul badan harimau yang berat itu
meninggalkan
bekas berlumpur dalam bentuk telapak hari mau.
la sampai pada suatu ruangan yang lumayan luas dengan satu stel kursi dan
perlengkapan lain yang
membuat suasana di sana dalam keadaan normal, tentu cukup menyenangkan. Alat
pendingin tetap
bekerja, tidak dimatikan, walaupun di luar hujan turun dengan amat lebat. Manusia
harimau itu tak
membutuhkan waktu lama untuk melihat seseorang sedang duduk bersandar di sebuah
kursi goyang.
Santai, seperti orang yang sedang melenakan lelah atau mengenang masa lalu yang
indali. Ataukah
yang amat pahit?
Kedatangan Erwin dalam bentuknya yang ngeri menjijikkannya itu seperti tidak
dihiraukan nya.
Persetan amat sama makhluk yang cuma begitu. Berbadan harimau menandakan
ketidaksempunaannya.
Derajat monster yang begitu, berada janji di bawah
manusia yang utuh. Ataukah dia tidak melihatnya? Tertidur? Pintu yang terbuka
samp�l jauh malam
itu, apakah maknanya. Bukankah bita ditafsirkan sebagai suatu undangan bagi siapa
tam yang mau
datang. Setidak-tidaknya maling yang tidak akan membuang
kesempatan sebaik itu. Maribun terkenal orang berada. Umumnya masyarakat sekitar
tahu, bahwa dia
punya usaha dagang dan punya beberapa bidang kebun. Juga kedermawanannya diketahui
orang.
Beberapa bulan yang lalu ia mewakafkan sebuah mesjid kecil tetapi lengkap dengan
semua fasilitas.
Bukan terbatas pada lantai yang dikarpet seluruhnya, tetapi juga dengan AC. la
ingin jemaah
melaksanakan ibadahnya dalam lingkungan yang nyaman. Supaya bisa khusuk, barangkali
itulah yang
menjadi tujuannya.
0odwo0
Beberapa menit Erwin berdiri memandangi orang yang seperti tidur atau benar-benar
tidur itu. Tak
salah lagi, inilah orang yang pernah datang di dalam mimpinya. Tetapi menurut
ingatannya, ini bukan
orang yang berbisik kepadanya saat mengebumikan Koto.
Apakah ada dua orang? Orang di makam itu yang suruhan ataukah yang bersandar santai
ini yang
sedang melaksanakan tugas yang dibebankan sang majikan atas dirinya.
Erwin ragu-ragu. Orang keliru, kalau menyangka, bahwa makhluk sehebat ini tak
mungkin ragu-ragu
dalam menentukan langkah yang akan diambil. Barangkali orang ini menunggu dia
datang mendekat,
kemudian dengan suatu gerak kilat menyerang dirinya. Entah dengan senjata atau
kekuatan apa. Bukan
mustahil orang ini akan merobohkannya di sana, lalu datanglah para suruhannya untuk
melumpuhkan
dirinya. Kalau tak dibunuh, maka ia akan diserahkan kepada Polisi. Besar
kemungkinan, ia akan
melakukan yang tersebut belakangan. Jika itu yang terjadi, maka pasti penduduk kota
yang cukup
ramai itu akan gempar dan nama Maribun akan semakin mengudara. Pak Maribun
menyergap
makhluk berbadan harimau, tetapi berkepala manusia. Orang akan melihat dengan cara
lain lagi
kepadanya. Lahiriah dan batiniah. Rasa segan dan hormat di luar
lalu rasa kagum di dalam hati. Barangkali juga diam-diam takut kepadanya. Kalau
Maribun mampu
menangkap seekor atau seorang makhluk yang mestinya punya kekuatan luar biasa tentu
ia jauh lebih
hebat dari yang dikalahkannya. Dia punya ilmu gaib yang amat tinggi, di samping
kekayaan yang amat
banyak.
Tidak ada jalan lain bagi Erwin. la harus melangkah, mendekat.
Ataukah melemparnya dengan benda kecil untuk
membangunkannya, kalau benar ia tertidur. Supaya dia tahu, bahwa ada tamu datang
melalui pintu
yang sengaja disediakannya.
Ataukah lebih tepat dikatakan, bahwa tamu yang dinantikannya sudah tiba. Tetapi
melemparnya de
ngan benda kecil, sangat tidak sopan. Lebih tidak sopan dari masuk tanpa memberi
salam,
walaupun pintu terbuka.
Dengan menetapkan hati, karena yang dihadapi bukan orang
sembarangan, Erwin melangkah ke arah laki-laki itu duduk atau tidur santai.
Dia coba saja memanggilnya dengan Maribun, nama yang
didengarnya di rumah Kapten Polisi Kahar Nasution.
Karena lampu menyala setengah terang Erwin tidak keliru
dengan pandangan matanya. Tuan atau penunggu rumah sedang meram. Dan meram belum
berarti
tidur. Sebagaimana ada sejumlah orang ber ilmu yang tidur dengan mata terbuka
lebar, untuk
menyesatkan lawan yang mungkin punya maksud buruk terhadap dirinya.
Aneh, Erwin pun tidak segera mengatur rencana, bagaimana
membawa orang itu. Bukankah itu tujuannya ke rumah ini? la sudah berdiri di hadapan
si laki-laki.
Mudah mencekik atau menyerangnya, walaupun orang itu sebenarnya tidak tidur.
Manusia harimau itu
tidak melakukan apa yang sewajarnya dilakukan dalam keadaan seperti itu.
Dengan suara pelan, seolah-olah takut mengejutkan sahabat yang sedang tertidur,
Erwin berkata pelan,
�Tuan, aku sudah datang.�
Waktu mengatakan itu Erwin bersiap untuk menangkis serangan yang mungkin datang
mendadak.
Ternyata ia tidak diserang.
Tetapi apa yang kemudian terjadi lebih mengejutkan Erwin dari serangan yang
bagaimanapun
kerasnya. Sebab serangan memang sudah diperhitungkan sebagai sesuatu yang mungkin
terjadi.
Dengan tenang, tanpa membukakan matanya Maribun, �
memang dialah Tuan rumah yang bernama Maribun� menyahut,
�Duduklah, dari tadi kulihat Tuan berdiri saja!� Ya Tuhan, rupanya sejak tadi orang
yang tidur atau
disangka tidur itu melihat dia dan memperhatikan segala gerak-geriknya.
Sambutan yang sama sekali di luar dugaan itu membuat Erwin malu. Suatu cara yang
dapat
mematahkan lawan, lebih daripada kalau memukulnya dengan kekerasan. Maribun
menyerang
perasaan yang bisa mengendurkan moril Erwin. Bukan memukulnya dengan tenaga fisik.
�Jadi Tuan telah melihatku sejak tadi?� tanya Erwin.
�Ya, dan aku memang mengharapkan kunjunganmu, anak
muda,� kata Maribun tanpa nada sindiran.
Erwin jadi semakin tidak mengerti, apa maunya orang hebat ini.
Menyebutnya dengan �anak muda� padahal dia sudah berdaya upaya untuk menjerumuskan
dirinya ke
tangan Polisi.
�Apakah Tuan tadi tidak tidur?� tanya Erwin.
�Tidur! Menantikan kedatangan tamu sambil tidur lebih enak, jadi tak terasa.
Pekerjaan menung gu
termasuk pekerjaan yang sangat meletihkan, bukankah begitu, Tuan Erwin,� katanya
tenang.
�Jadi Tuan melihat dengan mata tertutup?� tanya Erwin menyesuaikan diri dengan
sikap dan ke
santaian Tuan rumah.
�Tidak, saya melihat dengan hati!�
�Tuan hebat sekali,� kata Erwin memuji. Yang seorang ini lain, benar-benar lain.
�Silakan duduk. Kalau kita menyebut hebat, sudah tentu Tuanlah yang hebat. Aku tak
bisa seperti
Tuan!�
Cepat Erwin yang beranjak beberapa langkah menyahut, �Aku tidak dapat melihat
dengan mata yang
meram. Aku hanya bisa memandang dengan mata terbuka. Dan aku tak dapat duduk
seperti Tuan.�
�Mau minum kopi panas?� tanya Tuan rumah setelah memperkenalkan diri dengan nama
aslinya,
Maribun.
�Terima kasih, tak usah!�
�Tidak kedinginan ditimpa hujan lebat?� tanya Maribun ramah.
Membuat Erwin semakin bingung dengan sikap dan gaya dukun besar yang kaya-raya itu.
�Tidak, sudah biasa dikuyupkan hujan, dikeringkan panas.�
Setelah itu keadaan jadi hening sepi, keduanya sama-sama diam, seolah-olah mencari
kata-kata apa
lagi yang pantas untuk
meneruskan bicara. Hati Erwin berperang. Akan meneruskan
rencananya, mengambil orang ini? Yang sama sekali tidak
menunjukkan sikap bermusuhan walaupun kedua-duanya tahu
benar, bahwa mereka hendak saling mematikan. Hanya satu saja yang boleh hidup,
kalau Lu
buklinggau tidak mau dijadikan terlalu sempit bagi mereka.
�Anak muda sedang ragu-ragu,� kata Maribun.
�Tuan tidak?� tanya Erwin berterus terang.
�Ya, sedikit,� jawab Maribun yang sama sekali tidak kaget menghadapi makhluk aneh
dari
Mandailing itu. Erwin menilai orang itu cukup terbuka. Mengatakan terus terang apa
yang tersimpan
di dalam hatinya.
�Aku juga kagum kepada Tuan, tidak langsung menerkamku tadi.
Padahal rencana Tuan sudah masak untuk membawaku!�
Mendengar ini, hati Erwin jadi mulai mantap kembali, la
bermaksud mengambil orang kuat ini. Ucapan Maribun yang
mengingatkan Erwin kepada rencananya ternyata menjadi suatu bumerang.
�Tidak jantan menyerang lawan yang sedang tidur. Apalagi dia sengaja membiarkan
pintu terbuka
untuk menerima tamunya,� kata Erwin, sudah bertekad kembali untuk melaksanakan apa
yang
menjadi tujuan, la juga teringat kepada Datuk yang menunggu di luar. Kawannya itu
tentu gelisah
tetapi tak berani masuk karena tidak ada mufakat begitu. Lebih-lebih memikirkan
Kapten Polisi
Kahar, yang sudah berhadapan langsung dengan Maribun, kalau Erwin tidak
menahaninya.
Kejahatannya mengirim jin ke dalam tubuh Dinar sehingga ia mau mencekik abang
kandungnya
sendiri, tidak dapat dimaafkan. Apalagi dia telah mengambil nyawa Koto yang menjadi
tamu Kahar
melalui seekor ular yang sebenarnya ditujukan untuk Erwin.
Maribun melihat perubahan pada wajah Erwin. la dengan mudah membacanya. Tamunya ini
sudah
kembali pada niatnya semula. Dia pun sadar bahwa kata-katanya jugalah yang telah
menyebabkan
manusia harimau itu kembali kepada niatnya semula.
Maribun diam memikirkan kekhilafan kata-katanya. Bukan
menyesal, sebab dia menganut filsafat sederhana, bahwa sesal kemudian tiada
berguna. Kalau sudah
terlanjur khilaf, orang harus menyesuaikan diri dengan situasi.
�Bagaimana sekarang?� tanya Maribun, ingin tahu dengan cara apa mereka membereskan
sengketa
yang menyala hebat di dalam dada masing-masing. Ilmu yang sangat tinggi jualah yang
menyebabkan mereka mampu berdialog seperti dua orang sahabat yang mencari kata
sepakat
melakukan sesuatu.
�Aku harus membawa Tuan dari sini guna mencegah kejadian-kejadian buruk yang tidak
kuingini.�
�Soal penyakit mereka? Itu profesi menyenangkan, di samping pekerjaan sehari-hari!�
�Menyenangkan, kata Tuan?�
�Ya, itulah yang kurasakan. Aku menikmati tiap hasil karyaku, juga menikmati mereka
yang coba
memperlihatkan keunggulannya di atas kemampuanku.�
Orang ini benar-benar sadis, tetapi juga berani berterus terang.
Menyakiti orang lain, harta pun bukan musuhnya merupakan suatu kenikmatan baginya.
�Kumohon agar kita tidak bikin onar di rumahku ini. Keluargaku tidak perlu
terbangun dan ketakutan
melihat kita berdua harus meniadakan valah satu nyawa. Aku punya usul, kalau anak
muda setuju.�
�Kupikir aku akan sangat setuju dan merupakan suatu
kesenangan memenuhi keinginan dari lawan yang bersikap sebagai sahabat terkarib,�
kata Trwin. Dia
memang menaruh respek terhadap dukun ini, walaupun sadis. �Sebutkan usul Tuan.�
0odwo0
DUAPULUH TIGA
MARIBUN memandang ramah kepada Erwin. Si manusia harimau
juga membalas dengan pandangan persahabatan, sehingga bagi orang yang tidak
mengetahui persoalan
akan menyangka, bahwa mereka itu tentu dua sahabat yang sedang merundingkan
sesuatu.
�Bagaimana kalau kita keluar dari rumahku ini lalu memilih tempat yang layak untuk
menentukan
nasib. Anak muda tahu kan, bahwa kita mempunyai tekad yang sama?� tanya Maribun.
�Tahu, salah seorang dari kita harus berhenti dari profesinya.
Tuan atau aku,� jawab Erwin.
�Tepat sekali. Disayangkan, kalau dapat bekerja sama, kita akan merupakan suatu tim
yang kuat
sekali.�
�Aku pun berpendapat begitu. Tuan. Tetapi kita mempunyai prinsip yang berlainan,
sangat berlainan
dan tak mungkin
dipertemukan,� kata Erwin.
�Apakah anak muda punya ancer-ancer di mana tempat itu?�
�Aku orang asing di sini, Tuan. Oleh karenanya aku akan menurut pilihan Tuan,�
jawab Erwin hormat.
�Tetapi aku punya sebuah permintaan,� kata Maribun.
�Katakanlah, kurasa aku akan memenuhinya kalau dapat.�
�Karena aku telah menyediakan pintu untuk anak muda agar dapat langsung masuk, maka
kini aku
ingin agar anak muda yang kuat dan gagah membawa diriku ke tempat yang akan kita
tentukan nanti.�
�Bagaimana mungkin, bukankah Tuan yang akan menunjukkan tempat penentuan itu?�
�Anak muda tak paham maksudku. Aku ingin agar anak muda menggendong aku dan aku
yang axan
menunjukkan jalan!�
Erwin merasa heran, karena permintaan Maribun sangat aneh.
Apakah ia punya muslihat di belakang permintaannya itu? Tetapi ia yang dikatakan
kuat dan gagah,
malu pula menolak permintaan Tuan rumah, la seakan-akan minta balas budi afas
kebaikan dan
keramahtamahannya. Maka Erwin pun menyatakan persetujuannya.
�Ingin tahu rasanya digendong harimau,� kata Maribun seperti seorang kawan yang
sedang bermanjamanja.
�Baiklah, kalau itu akan menyenangkan hati �Tuan,� kata Erwin.
la bergerak lebih dekat dengan berdiri atas kedua kaki
belakangnya. Tetapi kemudian ditanyanya sekali lagi, apakah benar-benar Maribun
menghendaki itu.
Setelah mendengar penegasan Maribun ia membungkuk untuk menggendong orang yar/g
akan
menjadi tandingannya dalam berebut dan mempertahankan nyawa.
Erwin yang sudah membungkuk untuk mengangkat Maribun
ternyata tak mampu melakukannya. Tubuh Maribun yang hanya berukuran sedang itu
terasa amat
berat. Kalau semula ia
menyangka, bahwa untuk itu ia tidak perlu sampai mempergj nakan tenaga, kini mulai
mengerahkan
tenaga. Tetapi ternyata sia-sia,
Maribun tetap tak dapat diangkat dari tempatnya duduk.
Mengertilah dia, bahwa dukun berilmu sihir itu mau memperlihatkan satu lagi
kemampuannya dan
mau menguji apakah Erwin sanggup mengalahkan kehebatannya yang la n ini.
�Tuan benar-benar terlalu hebat bagiku,� kata Erwin.
�Jangan berpura-pura, anak muda. Anda tak sudi menggendong saya.�
�Bukan, Tuanlah yang sebenarnya tak mau saya gendong, karena saya hanya harimau,
seperti kata
Tuan tadi.�
�Coba sekali lagi, kalau benar anak muda ini memanjakan aku yang tua dan barangkali
malam ini juga
akan berpisah dengan dunia yang sebenarnya menyediakan semua-muanya untuk
dinikmati.�
Erwin mencoba sekali lagi, tetapi tubuh Maribun tetap tak bergerak dari tempatnya.
�Kalau anak muda tak mau menggendongku sesuai dengan janji, pulang sajalah, sebab
aku tak-mau
pergi kalau harus berjalan.
Pergilah, kita tidaj usah bermusuhan walaupun tak dapat bersahabat Karena perbedaan
pandangan
hidup dan kayakinan.�
Erwin merasa bahwa perkataan orang kawakan itu benar juga.
Lebih baik pergi, karena ia tak sanggup menggendong, padahal itulah persyaratan
yang diajukan
Maribun.
�Baiklah Tuan, aku pergi dulu. Mencari tambahan ilmu, kalau sudah tiba waktunya aku
akan
kembali!�
�Itulah yang terbaik,� kata Maribun.
Erwin bergerak menuju pintu yang tadi begitu mudah
dimasukinya.
Tetapi setelah tiba di dekat pintu, kembali ia tak dapat bergerak sebagaimana ia
juga tak mampu
melangkahkan kaki, ketika ia tadi hendak mendekati Maribun yang tampak seperti
tertidur pulas.
Apakah ia akan mendapat bantuan, sebagaimana ia tadi juga mendapat bantuan dari
Tuan Syekh
Ibrahim Bantani? Tadi ia
menyebut nama orang sakti itu, tetapi kini ia malu berbuat begitu.
Tampak benar kelemahannya, la memandang ke arah Maribun.
�Mengapa? Ada yang ketinggalan?� tanya Maribun, jelas mengejek. Sambil berkata
Maribun berdiri,
tenang-tenang
melangkah ke arah tamunya yang mau pulang itu.
Erwin merasa terpojok. Malu bukan buatan. Tetapi tiada daya.
�Pulanglah, aku mau mengunci pintu. Mau tidur. Bukankah kita sepakat untuk tidak
bermusuhan?
Erwin memandang orang itu. Kini tidak lagi dengan mata
memancarkan rasa persahabatan. Sebab yang begitu akan
ditafsirkan sebagai minta dikasihani. Dan itu menjadi kepantangan besar baginya
�Tak anak muda dengar? Aku mau tidur. Perulah pulang!�
Erwin memandang dengan penuh dendam, tapi juga merasa
bahwa orang itu mempunyai terlalu banyak ilmu.
�Kalau anak muda tak mau pulang, aku terpaksa menelepon Polisi. Perbuatan Anda ini
sudah sa ngat
mengganggu!�
Erwin segera membayangkan, bahwa untuk kedua kalinya ia
akan dikepung Polisi dan sekali ini tidak akan lolos lagi. Memang itulah rupanya
maksud Maribun. la
mau mempergunakan alat-alat penegak hukum untuk menyingkirkan musuh yang telah
menyusahkan dirinya itu.
Dalam keadaannya seperti itu, kalau sampai dikepung oleh
orang-orang bersenjata, dia pasti akan ditembak. Mungkin
diberondong dengan senapan mesin. Betapa aibnya. Apakah ia jauh-jauh merantau,
sudah menjelajahi
sekian banyak kota besar, akhirnya akan mati terkapar di Lubuklinggau? Itu lah
tujuan Maribun dan
itulah yang sangat ditakuti nya. la harus dapat menghindar.
�Anak muda lihat itu,� kata Maribun sambil , menunjuk ke sebuah meja di mana ada
sebuah telepon.
�Aku akan menelepon Polisi sekarang.�
Betapapun malunya Erwin tidak dapat berbuat lain daripada memanggil-manggil nama
Tuan Syekh
Ibrahim Bantani.
�Hindari aku dari dikepung dan diburu mereka, Tuan Syekh,�
pintanya hampir menangis karena putus asa. Betapa akan sedih hati Ayah, dan
kakeknya kalau ia
sampai ditewaskan Polisi di sana.
Tiba-tiba ia dapat mengangkat kakinya kembali. �Segala puji dan syukur bagimu
Tuhan,� kata Erwin
di dalam hati.
la melangkah ke arah Maribun yang sudah mengangkat gagang telepon.
�Letakkan itu kembali Tuan Maribun,� katanya masih hormat.
Maribun yang kaget oleh kehancuran ilmu pemberat kaki dan tubuh, tidak segera
meletakkan telepon,
tetapi juga tidak bicara.
Bagaimana mau bicara, nomor pun belum diputarnya.
�Anak muda mempermainkan diriku yang tua,� kata Maribun.
�Aku tak tahu bahwa sejak tadi anak muda berpura-pura.
Memang hebat, pada detik terakhir baru anak muda
memperlihatkan kartu yang ada di tangan anak muda.�
�Aku tadi tidak berpura-pura Tuan, aku memang tak mampu bergerak sebagaimana aku
tadi tak
mampu mengangkat tubuh
Tuan. Aku merasa hormat. Ilmu-ilmu Tuan itu tidak ada padaku!�
�Anak muda masih merendahkan diri. Memang begitulah sifat orang yang benar-benar
hebat. Anak
muda pun rupanya memakai ilmu padi!�
Maribun meletakkan telepon.
Dalam hati Erwin memohon kepada Tuan Syekh agar ia diberi kekuatan untuk
menggendong Maribun.
Yakin, bahwa pintanya didengar, ia ambil badan Maribun dalam posisi menggendong.
Dan kini
memang tiada rintangan. Giliran Maribun yang merasa takut.
Tadi ia sengaja mempermainkan Erwin, apakah ia pun kini akan dipermainkan?
�Aku tidak akan mempermainkan Tuan, karena aku tidak punya
cara-cara yang Tuan jalankan sebelum Tuan menamatkan riwayat orang yang jadi
sasaran Tuan.
Kesadisan dengan gaya lain. Tuan tadi hendak menelepon Mayor Buang, bukan?�
Maribun tidak menjawab.
�Biar aku yang bicara. Akan kukatakan apa yang hendak Tuan katakan. Tetapi aku
tidak
mempermainkan Tuan. Sebab tadi Tuan benar-benar seorang Tuan rumah yang amat baik,�
kata Erwin
sambil meletakkan Maribun kembali dan meminta dengan hormat, agar ia memutarkan
nomor telepon
Mayor Polisi Buang. Karena manusia harimau itu memintanya dengan baik, maka ahli
sihir itu
menuruti, sebagaimana Erwin tadi juga patuh ketika disuruhnya pulang dan kemudian
dibuatnya tak
berdaya untuk melangkah sampai ke pintu.
Setelah mendapat sambungan, Maribun menyerahkan telepon
kepada makhluk yang harimau berkepala manusia itu. Dikatakannya kepada Mayor Polisi
Buang,
bahwa si harimau piaraan yang
mengancam keselamatan penduduk sedang berusaha masuk ke
rumah Maribun. Kalau segera membawa pasukan tentu akan dapat mengepung dan
menangkap atau
membinasakannya. Selesai
mengatakan itu, Erwin menutup telepon.
Mayor Polisi yang ingin naik pangkat dan menjadi buah bibir masyarakat Lubuklinggau
itu segera
bertindak, walaupun hari telah sangat larut malam, sudah mendekati jam 03.00.
Menjelang subuh,
tatkala semua makhluk yang bernama manusia sedang enak-enaknya tidur.
�Mari kita berangkat,� kata Erwin sambil menggendong Maribun, sesuai dengan yang
disanggupinya
ketika tadi Maribun
mengajukannya sebagai persyaratan. Maribun membiarkan, karena tidak melihat peluang
baik untuk
melawan.
�Aku dapat berjalan ke tempat yang akan kita pilih jadi medan penentuan. Tak usah
gendong aku,�
kata Maribun kemudian.
Katanya ia mengajukan permintaan itu tadi hanya sebagai iseng-iseng tanda
persahabatan. Alasan itu
dijegal Erwin dengan berkata,
�Karena merasa bersahabat, atau sekurang-kurangnya tidak bermusuhan, maka Tuan buat
aku tadi
sampai tak kuat mengangkat tubuh Tuan dan kemudian tak mampu keluar dari rumah Tuan
ini.
Dan karena kebaikan hati Tuan pula maka Tuan tadi hendak
menelepon Polisi agar mengepung dan menangkap atau
menewaskan diriku!�
Maribun tidak sanggup membantah kata-kata Erwin yang secara langsung menyindir
dirinya.
Erwin keluar dari rumah yang hampir menjerat dirinya, membuat Datuk heran melihat
sahabatnya
menggendong si dukun sihir, la berjalan di samping Erwin tanpa mengajukan
pertanyaan. Untunglah
Maribun berkata, bahwa ia merasa sangat aneh digendong, yang oleh Erwin dijawab,
�Aneh ataupun
tidak, bukankah Tuan yang meminta untuk digendong.� Jawaban ini membuat Datuk
tambah tak
mengerti, apakah sebenarnya yang telah terjadi.
Hujan sudah reda, tetapi jalan yang berlumpur menyebabkan dua kaki belakang Erwin
dan kaki Datuk
meninggalkan jejak yang sangat nyata. Setelah merasa cukup jauh dari rumah Maribun
dan keadaan
sekitar juga sepi, Erwin berhenti tanpa menurunkan Maribun. la hanya bertanya,
apakah tempat itu
cukup baik untuk menanggalkan satu di an tara dua nyawa mereka. Si dukun sihir
setuju. Erwin
menurunkannya dan mempersilakan untuk bersiap. Di situlah baru Maribun, yang selama
perjalanan
telah memikirkan bagaimana ia akan meng hadapi si manusia harimau, jadi sangat
terkejut, karena
merasa dirinya tidak berdaya. Dia tak mengerti mengapa bisa jadi begitu. Apakah dia
yang akan
tersingkir dari dunia yang katanya memberi ba nyak kenikmatan ini. la baca berbagai
ilmu dalam
bahasa Tamil, tetapi tak satu pun dari binatang suruhannya yang datang. Dibacanya
dalam bahasa
Sakai, juga tidak menolong. Dia lalu berkata, bahwa dia tidak siap untuk bertarung
dan minta supaya
diurungkan untuk lain waktu
�Menyesal sekali Tuan, aku harus meneruskan perjalanan besok, kalau aku tak tewas
sekarang,� jawab
Erwin tenang, tetapi tegas.
Karena Maribun sudah beberapa kali menunjukkan kepalsuan dan
kelicikan, si manusia harimau kurang yakin akan pengakuannya.
Dicobanya membaca pikiran penyihir itu. Menurut penglihatannya memang sedang tak
berdaya.
Tetapi apakah benar begitu? Mungkin Maribun punya ilmu lain untuk membuat Erwin
salah baca. la
segera mengujinya. Dipukulnya badan Maribun, terjatuh ke lumpur. Tidak memberi
perlawanan.
Walaupun begitu Erwin belum yakin. Orang ini mempunyai akal dan ilmu terlalu
banyak. Barangkali
dia berbuat begitu untuk mengulur waktu sehingga Mayor Polisi Buang sampai di rumah
Maribun,
kemudian mengikuti jejak si harimau. Tentu akan bertemu, kalau Erwin membuang
waktu.
Dan memanglah begitu yang terjadi. Mayor polisi Buang yang mempergunakan dua
kendaraan telah
tiba di rumah Maribun
dengan sepuluh anak buah bersenjata lengkap untuk suatu
pengepungan dan mungkin pertarungan dengan seekor harimau yang dikatakan hewan
piaraan.
Mengetahui Maribun tidak ada dan kemudian melihat pula jejak harimau dan satu
manusia. Polisi jadi
sangat heran. Hanya ada jejak dua kaki belakang dan bekas telapak kaki manusia
tanpa sepatu. Mayor
Polisi Buang dan anak buahnya tidak mengerti. Penghuni rumah pun tidak dapat
memberi
keterangan.
0odwo0
DUAPULUH EMPAT
JEJAK manusia tanpa sepatu menimbulkan tanda tanya, siapakah yang punya kaki.
Maribun? la tidak
biasa bepergian tanpa sepatu, la seorang penyihir modern dan pedagang yang lumayan
bonafide.
Lalu, siapakah orang itu. Dan si harimau, mengapa jalan atas kaki belakang saja?
Beginikah semua
harimau piaraan?
Mayor Polisi Buang yang tadinya begitu ingin jadi terkenal dan naik pangkat jadi
berpikir lagi
sebelum mengikuti jejak harimau yang sangat aneh itu. Sama sekali tidak terlintas
dalam khayalannya
bahwa Maribun telah digendong oleh si harimau aneh dan hewan itu juga merasa
senang, karena
dengan menggendong dukun itu ia
menyesatkan jalan pikiran siapa pun yang akan memburunya.
Ternyata Maribun memang kehilangan daya untuk melakukan
perlawanan. Segala kekuatan gaib yang selalu ada pada dirinya bagaikan sirna secara
mendadak dan
bagaikan tanpa sebab. Tidak disadarinya bahwa seluruh kekuatannya telah direnggut
dari dirinya oleh
Tuan Syekh Ibrahim yang tidak menyukai ilmu digunakan untuk kejahatan. Erwin
sendiri pun tidak
mengerti, mengapa mendadak dukun kenamaan dan tadi masih memperlihatkan
kesadisannya
mendadak tidak melawan.
�Lawanlah aku,� kata Erwin.
�Aku tidak siap untuk hari ini. Kalau Anda harimau yang jujur dan satria tentu Anda
menunda sampai
hari yang akan kita tentukan kemudian. Anak muda semacam Anda tentu punya
kemanusiaan
tinggi,� ujar Maribun. Apakah kesalahannya maka ia kehilangan seluruh tenaga?
�Aku sudah tidak dapat menunda. Tuan. Dan aku tidak punya apa yang Tuan sebutkan
itu, karena aku
bukan manusia. Begitu kata Tuan. Karena aku hanya harimau maka keharimauanlah yang
ada pada
diriku. Terserah kepada Tuan kalau menganggap aku sangat hina.�
�Itu tidak adil� seru Maribun.
�Bagaimana pendapat Datuk? Tuan ini mengajak aku
menyelesaikan urusan. Salah satu di antara kami harus mati. Itulah makanya kita
sampai di sini. Aku
menggendong beliau pun karena begitu kemauannya. Apakah aku jahat kalau tidak mau
mengundurkan waktu lagi?� tanya Erwin. Untuk pertama kali Datuk dibawa serta.
Legalah hatinya.
Tadi dirinya dianggap sebagai tidak ada saja. Disapa pun tidak.
�Saya rasa tidak perlu ditunda!� jawab Datuk. Penyihir itu masih coba mengemukakan
berbagai alasan
agar pertarungan ditunda, sekaligus ia berharap Mayor Polisi Buang akan sampai di
sana.
Penegak hukum itu pasti akan menangkap Erwin atau
membunuhnya di tempat.
�Aku tidak dapat mengulur waktu Tuan� kata Erwin. �Sambutlah seranganku ini!�
Maribun tidak
bersiap untuk menangkis atau melawan, sehingga Erwin pun belum jadi melancarkan
pukulan.
Tetapi Erwin juga tahu, bahwa jika tidak sekarang dilakukannya, maka besar
kemungkinan, dia-lah
yang akan jadi konyol.
�Maafkan aku,� kata Erwin dan bersamaan dengan itu ia mencekik leher Maribun sambil
menanamkan
kukunya dalam-dalam.
Menyedihkan juga, karena Maribun sama sekali tidak melawan.
Seperti berserah saja kepada ketentuan yang sudah diperuntukkan bagi dirinya.
Melihat kenyataan itu, hati Erwin berperang, antara meneruskan pembunuhan atau
membiarkannya
hidup. Sungguh tak layak
mematikan manusia yang tidak memberi perlawanan, la bukan bertarung mempertaruhkan
nyawa,
tetapi tak lebih daripada melakukan pembunuhan dengan darah dingin. Bukan suatu
perbuatan terpuji. Dia masih berharap agar Maribun mendadak berontak dan memberi
perlawanan
sengit. Ataukah dia tidak merasakan sakit oleh tikaman kuku yang tajam dan cekikan
yang kian
mengetat?
�Apa lagi yang Tuan tunggu!� kata Erwin, melihat darah mengalir dari luka-lukanya,
la mengendurkan
tekanan untuk memberi
kesempatan bicara kepada Maribun, tetapi penyihir itu tetap bungkam. Tiada sepatah
kata pun keluar
dari mulutnya.
Datuk buka suara. �Aku tidak ingin mencampuri, sahabat. Aku dapat turut merasakan
kebimbangan
hati sahabat. Bertentangan dengan hati sahabat menewaskan orang yang tiada
melawan.�
�Memang itulah yang kurasakan Datuk! Aku bukan bertarung, tetapi hanya membunuh.
Betapa
hinanya!�
�Memang benar begitu. Tetapi mungkin dia sendiri sudah rela dilenyapkan dari dunia
ini, karena
hidupnya dengan ilmu-ilmu besarnya banyak menebarkan penyakit dan maut. Kematian
bagi yang jadi
sasaran dan penderitaan hati yang tak akan pernah berkesudahan bagi keluarga yang
ditinggal. Sahabat
bukan sedang
membunuh, tetapi hanya meniadakan ancaman yang sangat
berbahaya bagi masyarakat. Bagaimanapun pasti ada sesuatu yang menyebabkan ia tidak
melawan.
Mungkin tekadnya sendiri, mungkin Ayah sahabat atau orang-orang yang amat mencintai
diri sahabat.
Ingatlah beliau-beliau yang tidak ingin ilmu digunakan bagi melakukan kejahatan.
Apa yang dikatakan Datuk mungkin benar. Maribun sendiri minta ditiadakan atau
orang-orang yang
amat sayang kepadanya minta agar turun tangan membinasakan penyihir itu. Boleh jadi
Ayah,
mungkin Kakek dan barangkali Tuan Syekh Ibrahim Bantani. Yang dalam jarak waktu
yang amat
singkat telah dua kali melepaskan dia dari rencana jahat Maribun untuk
mempergunakan alat-alat
negara mengepung dan menangkap lalu membinasakan dirinya.
Erwin menguatkan hati. Bukankah sudah diputuskan tadi, bahwa salah seorang dari
mereka berdua
harus bercerai dengan nyawanya.
Keputusan itu harus dilaksanakan. Tidak diatur bagaimana caranya dan apa-apa yang
jadi larangan.
Kemudian terpikir oleh Erwin, bahwa kalau Maribun masih di biarkan hidup, ia akan
mempergunakan segala cara untuk membinasakan dirinya. Kalau dia meniada kan Maribun
sekarang,
maka tak lain maksudnya agar ia tidak dibunuh. Selain itu juga untuk kepentingan
masyarakat.
Nasihat Datuk dan jalan pikirannya membuat Erwin mengambil keputusan untuk
menamatkan
kehidupan Maribun.
Erwin dengan mudah mengetatkan cekikan, sehingga Maribun
meninggal tanpa perlawanan sedikit pun, seolah-olah semua kekuatan dan kepandaian
yang
dimilikinya sudah lenyap sama sekali.
�Dia sudah tiada, Datuk. Aku menyesal harus melakukannya.
Tetapi aku juga tidak melihat jalan lain!� kata Erwin.
�Memang tiada jalan lain sahabat. Tentu ada sebab-sebab yang mengharuskan dia tewas
tanpa
melawan,� sambut Datuk
meringankan perasaan Erwin.
�Boleh aku minta bantuan Datuk?� tanya Erwin setelah berpikir
sejenak.
�Tentu, sejak tadi aku ingin supaya diajak serta walaupun hanya peranan yang tidak
ada artinya,� kata
Datuk. Dia benar-benar girang. Sejak berang kat dari rumah, dia seakan-akan
penonton saja. Tidak
berguna sama sekali.
�Tolonglah gendong mayat ini. Akan kita antarkan ke satu tempat,� kata Erwin.
Pendekar Minang tidak bertanya ke tempat mana. la sangat
membatasi diri dalam bertanya, takut kalau-kalau tidak berkenan di hati si manusia
harimau.
Merekaperjalanan tanpa bicara lagi, sehingga di suatu tempat Erwin merasa bahwa ia
akan berubah
lagi jadi manusia biasa.
Perubahan itu berjalan secara bertahap, disaksikan oleh Datuk yang sangat bangga
karena mempunyai
sahabat lain daripada yang biasa dipunyainya. Sejak Datuk menggendong mayat Maribun
tadi, Erwin
berjalan atas empat kaki, sehingga jejak-jejaknya sama dengan harimau biasa.
Kini mereka meneruskan perjalanan menuju jalan raya yang tak jauh dari sana.
Sebelum memulai
jalan di atas aspal, Erwin mencuci kaki di selokan, begitu pula Datuk.
Yang dituju sudah tak jauh dari sana. Rumah kediaman Mayor Polisi Buang yang pada
waktu itu
masih menyelusuri jejak-jejak yang ditinggalkan seekor harimau berkaki dua dan
seorang laki-laki
yang diperkirakan pasti bukan Maribun.
Mayor dengan pasukannya sangat berhati-hati, kuatir harimau aneh itu bersembunyi
dan mendadak
melancarkan serangan yang mematikan. Kalau Maribun yang terkenal punya ilmu tinggi
bisa hilang
dari rumahnya sendiri dan sejak pekarangan hanya
meninggalkan bekas dua kaki belakang harimau serta seorang manusia tanpa alas kaki,
yang belum
dapat diketahui mengapa bisa terjadi begitu, maka makhluk itu pasti dapat melakukan
sesuatu yang di
luar dugaan.
Sampai di tempat Erwin menghabisi nyawa Maribun dan
mayatnya kemudian dibawa oleh Datuk, sementara sang manusia harimau berjalan atas
keempat
kakinya. Mayor Polisi Buang semakin takjub dan tak bisa mengerti atau bahkan
menebak, bagaimana
tiba-tiba ada jejak empat kaki harimau sedang jejak si manusia tetap seperti tadi.
�Apakah artinya ini Pardede?� tanya si Perwii kepada Walter Pardede yang baru
berpangkat Sersan
Polisi.
Dengan suara perlahan, seolah-olah takut didengar orang ia menjawab, bahwa ia
banyak mende ngar
cerita-cerita aneh tentang harimau, terutama ketika ia bertugas di Penyabungan,
Tapanuli Selatan
sebelum dipindahkan ke Lubuklinggau, tetapi berubahnya dua kaki harimau menjadi
empat tidak
pernah didengarnya.
Sekarang yang tidak pernah didengar dan di luar kemampuan otaknya untuk memikir dan
memecahkan misteri semacam itu, telah disaksikannya dengan mata sendiri. Dia tidak
mungkin ditipu
oleh pandangan yang keliru, karena Komandannya dan anggota Polisi yang lain juga
melihat.
�Adakah di antara kalian yang mengerti?� tanya si Perwira.
Semua berdiam diri atau menggelengkan kepala.
Sebenarnya Ujang sudah enggan meneruskan, tetapi untuk
menjaga wibawa diri, mereka melanjutkan penyelidikan. Belum berapa jauh berjalan,
mereka terkejut
heran lagi, karena bekas kaki harimau tidak ada lagi, hilang. Bagaimanapun mampunya
Mayor Polisi
Buang mempertahankan wibawa dan harga diri, tetapi melihat kenyataan itu ia tidak
dapat melawan
getaran yang menjelajahi seluruh tubuhnya. Agak lama ia tidak berkata-kata,
memandangi jejak-jejak
harimau yang hanya sampai di tempat itu. Tidak ada lanjutannya. Kalau ada pasti
kelihatan karena
tanah di sekitar situ semua sama.
Becek oleh hujan yang turun cukup lama dan deras pula. Jejak-jejak itu seperti
ditelan bumi. Ataukah
terbang ke angkasa?
Tetapi jejak sang manusia yang berjalan bersama harimau itu
masih ada dan tidak hanya sampai di situ. Yang juga sangat mempengaruhi diri Mayor
Polisi Buang
adalah jejak manusia lain lagi. Orang baru tentu. Berjalan bersama jejak kaki
manusia yang sudah ada
sejak dari rumah Maribun. Dari manakah datangnya orang baru ini? Dia seakan-akan
menggantikan
atau meneruskan perjalanan si harimau, yang semula hanya berkaki dua, tetapi
kemudian menjadi
empat.
Anak buah Perwira itu saling pandang dan memandang
Komandannya.
Dengan suara pelan dan kedengaran lesu Mayor Polisi itu kini mengikuti jejak dua
manusia. Apakah
salah seorang dari kedua orang itu dukun Maribun yang pedagang merangkap ahli
sihir?
Mayor Buang dengan anak buahnya tadi ke rumah Maribun untuk mengepung dan menangkap
harimau
yang konon dinamakan
harimau piaraan. Yang mereka ikuti kini jejak dua manusia. Yang hendak dikepung dan
ditangkap atau
dibunuh kalau terpaksa adalah harimau. Tidak perduli apakah itu harimau piaraan
atau jadijadian.
Tak lama kemudian mereka pun tiba di jalan raya yang beraspal.
Tidak ada bekas jejak berlumpur di aspal. Sehingga tidak
meninggalkan petunjuk ke arah mana mereka pergi. Mayor Polisi itu benar-benar
bingung, tidak
mampu menduga atau mengkhayalkan saja pun, apa sesungguhnya yang sedang terjadi.
Sudah sekian
lama dia di Kepolisian, baru kali ini menghadapi keanehan yang di dalam buku pun
belum pernah
dibacanya. Lebih mudah meng
hadapi residivis yang sudah dikenal sangat sadis <m ripada kenyataan semacam ini.
Bisa membangkit
kan syarat atau perasaan gila. Mungkin lebih dar pada itu. Membuat orang jadi gila.
Mereka tidak segera meneruskan langkah. Kar na tidak tahu arah mana yang akan
diambil. Akhir nya
Mayor Polisi itu memutuskan untuk kembali ke kendaraan yang mengangkut mereka tadi.
Yang parkir
tak jauh dari rumah Maribun.
0odwo0
Erwin dengan Datuk yang menyangga mayat Maribun dengan
kedua belah tangannya berjalan tenang-tenang. Ada dua tiga kali berpapasan dengan
kendaraan
bermotor dan pengendara sepeda, tetapi tidak ada satu pun yang menghiraukan mereka.
Erwin telah
berdoa agar mata mereka dirabunkan, tidak melihat dia dan sahabatnya yang membawa
mayat
Maribun.
Akhirnya mereka berhenti di seberang sebuah rumah.
�Kita telah sampai di tempat tujuan, Datuk. Letih juga membawa mayat sejauh itu,
ya!� kata Erwin.
Datuk mengatakan, bahwa ia sama sekali tidak merasa capek, seperti membawa manusia
dari kapan
saja, katanya. Erwin memandang Datuk dengan rasa terima kasih. Yang dipandang
tunduk Dia merasa
bahagia dapat berbuat sesuatu. Tubuh Maribun memang hanya seperti kapas. Oleh
bantu}
an orang-orang berilmu sangat tinggi yang menyayangi Erwin.
�Kita akan letakkan mayat Maribun di pintu masuk pekarangan.
Mayor Buang akan senang melihatnya,� kata Erwin.
Semula Erwin hendak mengeluarkan semua isi perutnya
sebagaimana telah beberapa kali dilakukannya terhadap orang-orang tak manusiawi,
tetapi kemudian
mengurungkan maksudnya itu. Luka-luka bekas kuku harimau di lehernya itu sudah
memadai.
0odwo0
DUAPULUH LIMA
MAYAT Maribun diletakkan membelintang di pintu masuk
pekarangan rumah Mayor Polisi Buang yang sebelum meninggalkan penyihir itu meminta
keterangan
lagi dari istri dan keluarga lainnya.
Mereka semua tidak ada yang mendengar Maribun pergi. Biasanya dia berpesan kepada
istri atau yang
lain di rumah itu, manakala ia hendak pergi. Dan biasanya dia pergi dengan
mengendarai mobil.
Kecuali kalau ia dijemput atau sekedar bertandang ke rumah tetangga yang rata-rata
menghormati dia.
Menjelang waktu tidur Maribun hanya berkata kepada istrinya
bahwa dia akan kedatangan tamu untuk tukar-menukar ilmu.
Dianjurkannya supaya semua keluarga dan pembantu tidur, karena dia mau berduaan
saja dengan
tamunya.
Tak ada yang mendengar kedatangan si tamu yang dinantikan dan tidak pula terdengar
suara Maribun
pergi. Tetapi di lantai ruangan tempat Maribun duduk di kursi goyang tampak lumpur.
Bentuknya seperti tapak kaki harimau dewasa. Setelah diperiksa dengan teliti,
kelihatan juga bekas
jejak manusia menghadap ke rumah, jadi jelas orang itu salah satu dari tamu yang
ditunggu.
Tamu lainnya adalah si harimau. Baru itu yang mereka duga. Hanya dugaan. Anehnya,
kalau Maribun
turut bersama orang dan harimau yang datang itu, mestinya ada dua pasang jejak
manusia dan dua
kaki harimau. Harimau ini datang dengan dua kaki belakang dan perginya pun dengan
dua kaki
belakang juga. Sehingga sampai di tempat tewasnya Maribun, yang tidak diduga oleh
Polisi.
Istri Maribun dan penghuni rumah lainnya tidak tahu siapa nama tamu yang akan
tukar-menukar ilmu
itu.
Menemui jalan buntu begitu. Mayor Polisi itu berpendapat lebih baik pulang dulu,
memikirkan
tenang-tenang, bagaimanakah kira-kira duduk peristiwa yang sebenarnya. Kemanakah
Maribun?
Apakah dia sama sekali tidak pernah bertemu dengan harimau berkaki dua itu, ketika
harimau masuk
rumah. Jika begitu, Maribun telah pergi bersama orang tinggi ilmu yang
dinantikannya. Tetapi ke
mana perginya. Mengapa tidak berkendaraan? Apakah tamu itu membawa kendaraan?
Begitulah yang
terlintas di dalam otak Mayor Polisi Buang dalam perjalanan ke rumahnya.
Dia mau membuang dulu masalah Maribun dan jejak-jejak yang aneh itu, ketika Polisi
yang
mengemudikan mobil mendadak berkata gugup, bahwa di depan pintu pagar ada orang
tidur. Ataukah
mayat menggeletak? Sang Perwira tentu saja sangat terkejut. Dia menyuruh besarkan
lampu mobil
lalu turun bersama tiga Polisi yang sekendaraan dengan nya sementara anggota
pasukan yang lainnya
sudan langsung ke Markas Polri. Jantung Pak Mayor Polisi berdebar.
Apa pula ini? Dia belum dapat memecah kan masalah gila yang
dihadapinya, sekarang sudah ada pula orang kurang ajar yang tidur atau tewas di
depan pintu
pagarnya. Apakah orang punya maksud tertentu terhadap dirinya?
Segala pikiran itu menjadi lebih menimbulkan rasa ngeri di dalam hatinya, karena
yang tergeletak itu
bukan lain dari Pak Maribun yang pergi tanpa pamit dan sangat misterius dari
rumahnya Mampunya
mata Polisi yang sangat terlatih, Mayor Polisi Buang juga segera melihat luka-luka
di lehernya, la
memperhatikan lebih dekat dengan mempergunakan lampu senter, karena luka itu pasti
bukan bekas
disembelih. Itu jelas bekas tusukan. Tusukan lazimnya dilakukan di dada atau di
rusuk. Kalau perut
biasanya di dodet.
Ditusuk sebelah kanan lalu ditarik ke kiri. Karena bagian tubuh tidak mengeluarkan
darah, berarti
tiada tusukan, maka Mayor Buang memeriksa �tusukan-tusukan� di leher itu lebih
teliti. Bukan
tusukan pisau. Di pipi juga ada luka-luka berupa garis berdarah yang juga bukan
bekas tarikan dengan
pisau. Jalurnya lebih lebar dan bukan hanya satu, tetapi ada dua paralel. Bahkan
ada yang ketiga, tetapi
sudah mengenai kuping.
�Apakah mungkin?� terlempar pertanyaan di dalam hatinya.
�Apakah kalian pikir mungkin?� tanyanya pula kepada Pardede yang ikut di dalam
mobilnya.
�Apanya yang mungkin. Pak?� tanya Pardede.
�Dicekik harimau!�
�Harimau tidak biasa mencekik,� sahut Pardede.
�Coba periksa ini baik-baik. Saya juga tadinya berpikir, harimau tidak dapat
mencekik!�
�Memang tidak Pak. Harimau hanya menerkam. Biasanya
menerkam kuduk. Yang dimakan duluan adalah isi perutnya! Orang ini tidak dilukai
atau digigit. Perut
atau dadanya tidak dikoyak-koyak. Tapi benar, luka di leher dan goresan di pipi ini
bukan bekas pisau.
Ini bekas kuku. Dan pasti kuku harimau Pak! Apakah harimau yang kita ikuti jejaknya
tadi?� tanya
Pardede.
�Mungkin,� dan Mayor Polisi itu teringat akan kata-kata orang yang menamakan
dirinya Bujang di
rumah Kapten Kahar Nasution pada kemarinnya. Maribun yang memanggil Polisi untuk
mengepung
dan menangkap atau membunuh si harimau yang katanya ada di rumah Kapten Kahar.
Orang yang
bernama Bujang itu mendapatkan dia dan mengatakan, bahwa harimau piaraan itu tidak
ada di sana,
tetapi dia tentu marah kepada Pak Maribun dan bukan tidak boleh jadi akan melakukan
pembalasan.
Siapakah orang itu sebenarnya?
Bagaimanapun ia tentu punya suatu ilmu. Barangkali peramal berpengalaman. Atau dia
orangnya yang
biasa dikatakan punya
�ludah masin�. Apa yang dikatakannya, menjadi kenyataan. Siapa pun dia, Mayor Buang
ingin
bertemu lagi dengannya.
�Barangkali dia dibunuh harimau piaraan Pak,� kata Perwira Polisi itu. �Yang
kemarin bersembunyi di
rumah Kapten Kahar.�
�Mana ada harimau piaraan di sini, Pak. Kalau pun ada, saya rasa tidak mungkin
bersembunyi di
rumah Pak Kapten Kahar. Siapa yang mengatakan begitu?�
�Pak Maribun ini.�
Walter Pardede tidak memberi tanggapan lagi. Dia pun mulai berpikir bahwa harimau
piaraan itu
memang ada dan dialah juga yang membunuh Maribun karena sakit hati. Tetapi harimau
piaraan pun
sepanjang tahunya mempunyai kaki empat.
Pada waktu subuh itu juga ambulans diminta datang untuk
membawa mayat Maribun ke rumah sakit guna pemeriksaan dan penentuan sebab musabab
kematian.
Memang benar, tusukan-tusukan di leher Maribun disebabkan oleh kuku-kuku harimau.
Adanya bulu-bulu si belang di sekitar daerah yang luka
menyebabkan tidak ada lagi keraguan.
Sekarang merupakan tugas bagi Mayor Polisi Buang untuk
menyelidiki dan mengetahui, siapakah yang mengajak Maribun ke luar rumah dan di
mana dia
dibunuh harimau. Menurut Walter Pardede yang pernah bertugas di Tapanuli Selatan,
harimau tidak
biasa mencekik, la menggigit di tengkuk mangsanya, baik ternak
maupun manusia. Melalui gigitan di tengkuk, ia melukai atau memutuskan urat besar
yang berarti
fatal bagi yang diterkam.
Mengapa harimau yang seekor ini mencekik dan sama sekali tidak menggigit, padahal
gigi giginyalah
yang menjadi andalan utama, sementara kuku hanya berfungsi untuk mencengkam dan
merobek?
Dari menjelang subuh sampai pagi Mayor Polisi itu sudah tidak dapat tidur, walaupun
ia berusaha
melupakan peristiwa aneh dan menakutkan itu agar tenaganya pulih semula untuk
digunakan pada
keesokan harinya.
Keesokan paginya Perwira Polisi itu minum kopi tubruk dan sebutir Captagon agar
jangan sampai
mengantuk, la ingin
memecahkan pembunuhan yang tidak sesuai dengan kebiasaan itu.
Ditugas-kannya seorang Letnan Polisi mengundang dua orang pemburu dan seorang
pawang harimau
untuk diminta bantuan.
Ketiga-tiganya menerangkan, bahwa mereka belum pernah
mendengar harimau mencekik mangsanya. Dan mereka sama-sama menerangkan, bahwa walau
harimau piaraan dan jadijadian pun tidak lazim mencekik korbannya. Harimau piaraan
adalah harimau
biasa yang tunduk kepada yang menguasai dirinya. Harimau jadijadian berjalan atas
empat kaki kalau
ia sedang menjadi harimau.
Kalau dia tidak sedang mengharimau, maka ia tak banyak beda dengan manusia biasa
dan berjalan
atas dua kaki, karena ia pun hanya memiliki dua kaki.
�Jadi harimau apakah ini?� tanya Mayor Polisi Buang.
Mereka tidak sanggup memberi jawaban yang pasti. Hanya si pawang yang mengatakan,
bahwa ia
pernah mendengar tentang manusia harimau yang belum lama yang lalu pernah singgah
di Palembang.
�Mengapa Bapak katakan singgah?� tanya si Perwira kepada Pak Dahlan pawang yang
cukup terkenal.
�Sebab dia tidak betah tinggal lama di sebuah tempat.
Kesenangannya mengembara. Dan menu rut kata orang yang
pernah melihat manusia harimau, makhluk itu tidak pernah berbuat
jahat terhadap manusia, kalau ia tidak disakiti atau keluarganya dijahili, la malah
suka membantu
manusia yang dianiaya!� jawab pawang Dahlan.
�Pawang sudah pernah bertemu dengan manusia harimau?�
�Belum dan lebih baik juga jangan. Mungkin saya akan takut.
Ilmu yang ada pada saya hanyalah untuk menundukkan harimau liar. Itu pun terbatas
kepada yang
berdosa saja.�
�Tetapi barangkali Pak Dahlan tahu ciri-ciri manusia harimau, saya amat
membutuhkannya.�
�Saya rasa dalam keadaan biasa, dia sama saja dengan manusia lainnya. Kata yang
pernah melihat, ia
juga punya istri dan dapat melakukan persetu-buhan yang melahirkan anak. Seperti
anak-anak
manusia biasa,� kata pawang Dahlan.
�Apakah di sekitar atau di kota ini ada pemelihara harimau?�
�Saya tak tahu Pak, tetapi andaikata saya tahu, saya juga tidak akan mengatakannya.
Saya bukan takut,
tetapi tidak ingin mencari perselisihan yang bisa sampai pada bunuh-membunuh di
antara kami yang
lebih kurang mempunyai pekerjaan yang hampir sama,�
kata pawang Dahlan.
�Kalau untuk kepentingan keamanan dan ketenangan
masyarakat?�
�Juga tidak. Saya perlu menjaga keamanan dan ketenangan keluarga saya sendiri. Lagi
pula, sampai
saat ini saya tidak mendengar adanya keresahan atau ketakutan di antara
masyarakat!�
�Kata orang di Lubuklinggau ini ada harimau piaraan. Dan barangkali dia yang
membunuh Pak
Maribun?�
Pawang Dahlan terkejut, baru saat itu didengarnya pedagang dan penyihir Maribun
mati dibunuh
harimau. Diam-diam di lubuk hatinya Pak Dahlan menganggap pembunuhan itu bukan hal
yang luar
biasa, kalau betul ia dibunuh harimau piaraan, seperti kata Mayor
Polisi Buang. Dia lebih berhati-hati, tidak akan menimbulkan sengketa dengan orang
yang memiliki
harimau piaraan. Dan
sebenarnya dia tahu bahwa di Lubuklinggau ada dua orang yang mempunyai harimau.
Bukan
dikandangkan atau ditambat di
rumahnya. Piaraan itu berkeliaran di hutan, seperti harimau-harimau lainnya. Tetapi
tiap waktu ia
memerlukan, sang harimau dapat dipanggil dan diberi tugas. Pemelihara itu, �kalau
punya ilmu
perabun� bisa melepas harimaunya tanpa dilihat oleh orang lain yang berpapasan
dengannya. Dia
tidak akan mengatakan itu kepada Mayor Polisi Buang.
Mayor Polisi Buang bertanya bagaimana pendapat Dahlan
tentang pembunuhan atas diri Maribun oleh seekor harimau. Atas pertanyaan Dahlan di
mana
pembunuhan itu terjadi, Pak Mayor tidak dapat memberi jawaban. Memang dia tidak
tahu di mana
sang harimau mencekik mangsanya.
�Boleh saya berterus terang, Pak?� tanya Dahlan, sementara kedua pemburu harimau
yang ada di sana
mendengarkan dengan penuh perhatian �Menurut pendapat saya Pak Maribun punya banyak
kawan,
tetapi juga punya banyak musuh. Yang musuh ini mungkin pula selalu bersikap seperti
sahabat.
Barangkali Bapak juga mendengar, bahwa kata orang Pak Maribun itu pandai sihir.
Barangkali suatu kesenangan baginya. Kalau untuk cari uang kurang masuk akal,
karena ia punya
penghasilan cukup dari usaha
dagangnya yang berhasil.�
Pawang harimau itu lalu menerangkan, bahwa mungkin salah
satu dari musuhnya punya harimau piaraan. Disuruhnya membunuh Pak Maribun. Tetapi
seorang
penyihir punya ilmu untuk menjaga diri terhadap serangan bagaimanapun. Atas
pertanyaan Mayor
Polisi Buang, bagaimana ia sebagai penyihir dapat dibinasakan harimau, pawang
Dahlan terus terang
mengatakan, bahwa di antara pemilik ilmu tinggi di dunia ini ada yang mempunyai
kekuatan di atas
pandai sihir. Mungkin orang yang memiliki harimau itu termasuk salah seorang dari
mereka.
Mayor Polisi itu menyatakan keheranannya, kalau ada manusia
yang punya kemampuan lebih daripada penyihir, kematian Maribun dapat diterima kalau
yang
melakukannya seorang manusia yang punya kepintaran lebih dari dia. Tetapi dalam
kasus ini Maribun
dibinasakan dengan cekikan oleh seekor harimau.
Pawang Dahlan merasa terpojok oleh kata-kata Pak Mayor yang memang masuk akal. Yang
punya
ilmu kuat dari pesihir adalah manusia, sedang yang membunuh Maribun jelas bukan
manusia.
Setelah agak lama diam tak kuasa memberi jawaban, barulah pawang Dahlan mengatakan,
bahwa
mungkin manusialah yang
mencekik dan menewaskan Maribun. Dikatakannya, bahwa dalam hal begitu, si manusia
itu dapat
mengubah dirinya jadi harimau tetapi tetap mempunyai sifat-sifat manusia. Dan
kebiasaan manusia.
Itulah makanya ia berjalan atas dua kaki, sama dengan manusia dan itulah makanya ia
membunuh
dengan mencekik leher
musuhnya, yaitu sama juga dengan manusia.
Mayor Buang pun dapat menerima jalan uraian pawang Dahlan.
Oleh karena itu dia berkata, �Kalau manusia yang mengubah dirinya jadi harimau
dengan sifat dan
kebiasaan manusia, siapakah orang di Lubuklmggau yang punya kemampuan seperti itu?�
0odwo0
DUAPULUH ENAM
PAWANG DAHLAN hanya dapat menggelengkan kepala. Dan dia
memang sesungguhnya tidak tahu, kalau ada orang yang punya kemampuan seperti itu.
Melihat Mayor
Polisi Buang sangat kecewa dan tidak melihat jalan untuk mencari jawaban, pawang
harimau itu
berkata, �Andaikata ada orang pintar yang punya kepandaian setingkat itu, rasanya
saya mengetahui,
setidak-tidaknya
mendengar. Jadi saya rasa orang semacam itu tidak ada di Lubuklinggau. Entahlah
kalau pendatang
dari luar kota!�
Mendengar ini pikiran Mayor Buang agak terbuka. Pendatang dari kota! Tiap hari
banyak pendatang,
ada yang segera meneruskan
perjalanan dan ada pula yang menginap. Semalam atau lebih. Bisa dipenginapan,
mungkin pula di
rumah kaum kerabat atau kenalan.
Tidak mudah mengecek siapa-siapa saja pendatang dari luar kota.
Yang dipenginapan mungkin masih dapat dilihat dari buku
pendaftaran tamu. Tetapi yang bermalam di sahabat atau keluarga sangat ulit karena
pada umumnya
yang datang dan yang mtnarima mereka tidak mematuhi ketentuan. Tidak melaporkannya
kepada
ketua lingkungan setempat
Setelah agak lama, Mayor Buang teringat juga kepada Bujang yang menemui dia dengan
cara aneh di
rumah Kapten Polisi Kahar Nasution. Diakah? Tidak mungkin. Tetapi mengapa pula
tidak mungkin?
Dia yang mengatakan tidak mungkin harimau piaraan bersembunyi di rumah Kapten
Kahar. Dia juga
yang mengatakan, bahwa pelapor bernama Maribun itu mungkin mendapat
pembalasan dari si harimau. Dia menganalisa lebih jauh harimau yang menewaskan
Maribun bukan
harimau biasa. Dia tidak
mempergunakan taring-taringnya. Tetapi apakah betul ada harimau yang punya silat
sifat manusia?
Tidakkah pembunuhan itu dilakukan oleh seorang yang sangat lihay, yang
mempergunakan sarung
tangan berkuku harimau di ujung jari Alat pembunuh yang begitu dapat dibuat. Kalau
itu yang
sebenarnya terjadi, maka pembunuh itu bukan sembarangan. la pasti punya pengalaman
dan punya
perhitungan bagaimana melakukan pembunuhan dengan risiko
sekecil mungkin. Dengan alat itu ia sudah pasti dapat menyesatkan pikiran si
pelacak dan penyelidik.
Pada saat itu Buang berpikir, tak kan ada harimau yang punya sifat manusia. Harimau
piaraan adalah
harimau biasa yang diperintah oleh Tuannya dan membunuh
sasaran yang dimaksud sang majikan, la akan membunuh dongan terkaman, gigitan
sekuat tenaga di
kuduk sehingga tulang leher patah dan kemudian mengoyak ngoyak tubuhnya dengan
kuku-kukunya.
�Pawang tak dapat memanggil harimau yang membunuh Pak Maribun?� tanya Mayor Polisi
itu. Sang
pawang menyatakan tidak sanggup, karena ilmunya seperti sudah dikatakannya hanya
untuk
memanggil harimau biasa yang berdosa. Telah mencuri ternak besar
atau membunuh manusia. Tidak untuk memanggil harimau aneh yang meletakkan mangsanya
di depan
pagar pekarangan seorang Mayor Polisi. Ini pasti bukan harimau biasa. Sang Perwira
masih bertanya
apakah pawang Dahlan tak mau mencoba. Dia menolak, tidak mau ambil risiko, la
meninggalkan
Mayor, Dahlan dengan dibekali ongkos selayaknya.
Kedua pemburu yang diundang masih tinggal. Kepada mereka
Perwira Polisi itu meminta bantuan untuk berjaga-jaga dan menembak mati si harimau
pada peluang
pertama. Mungkin
binatang ini memang benar punya kekuatan melebihi harimau biasa, tetapi dengan
tembakan beruntun
diperkirakan ia akan roboh juga.
Meskipun harimau termasuk binatang yang dilindungi karena dikhawatirkan akan punah,
namun
karena ia masuk kota dan bisa membahayakan masyarakat, layak ditembak mati.
Pembunuhan
satwa liar dan ganas untuk kepentingan masyarakat tentu saja dibenarkan.
Kedua pemburu itu saling pandang tanpa memberi jawaban.
Melihat kedua orang itu diam saja, Perwira itu bertanya apakah mereka khawatir.
Mereka berterus
terang tentang kekhawatiran mereka. Setelah mendengar kisah tentang pembunuh Pak
Maribun,
mereka yakin, bahwa yang membunuh itu bukan harimau biasa.
Dan harimau liar tidak kan berani sejauh itu meninggalkan tempat kediama n mereka.
�Anda berdua mau menolong kami, bukan?� tanya Mayor Polisi itu.
Kedua pemburu tidak sogera menjawab. Setelah pertanyaan
diulangi barulah mereka menjawab, bahwa mereka akan waspada dan memberi bantuan
sejuah
mungkin.
Pawang harimau dan kedua pemburu tidak tahu, bahwa
kunjungan mereka ke Perwira Menengah Polisi itu diperhatikan oleh tak lain daripada
Erwin sendiri
yang dengan bantuan Datuk kemudian mengetahui di mana alamat mereka.
Mula pertama Erwin mendatangi sang pawang dan mengatakan
kepadanya bahwa sebaiknya ia tidak usah berbuat apa-apa dalam masalah pembunuhan
Maribun. la
dibunuh karena itulah yang terbaik bagi masyarakat Lubuklinggau. Dan harimau yang
membunuhnya sebenarnya sahabat bagi masyarakat setempat.
Bukan musuh seperti yang mungkin dikatakan oleh Pak Mayor.
Pawang yang sebenarnya cukup terkenal itu tak sempat bertanya banyak kepada Erwin
karena ia
segera mohon diri dan meminta kepada si pawang supaya kedatangannya yang maksudnya
menyelamatkan Pak Dahlan jangan sampai diketahui orang lain.
Yang perlu mengetahui, hanyalah Dahlan sendiri karena jiwanya lah yang terancam
kalau dia sampai
berbuat keliru di dalam hal ini.
Pemberitahuan ini membuat Dahlan semakin tidak berani
mencampuri urusan kematian Maribun.
Begitu pula halnya dengan kedua pemburu yang didatangi Datuk ketika mereka masih
dalam
perjalanan pulang ke rumah. Oleh Datuk yang kelihatan rada seram dengan pakaian
seragamnya
berwarna hitam diperingatkan untuk jangan sekali-kali mencoba petualangan terhadap
siapa atau apa
pun yang menyudahi hidup Maribun.
�Makhluk itu hanya membunuh orang yang jahil dan berbahaya bagi masyarakat. Maribun
bukan
orang baik walaupun sehari-harinya ia berdagang,� kata Datuk. Setelah menceritakan
kejahatan apa
yang telah dilakukan oleh penyihir itu ia berkata, �Jangan Tuan-tuan halangi dia
dalam menjalankan
tugas kemanusiaannya.� Kedua pemburu itu heran bagaimana Datuk tahu bahwa mereka
pemburu dan
Mayor Polisi Buang minta bantuan. Dari itu saja cukup untuk membuat mereka
bergidik. Kalau
mereka macam-macam bukan
tidak mungkin akan mengalami nasib seperti Maribun. Dicekik oleh makhluk yang
diperkirakan
harimau dengan mayat dibujurkan di depan pagar pekarangan Pak Mayor.
Meskipun sang Perwira Polisi berpesan kepada anak buahnya untuk merahasiakan
peristiwa yang
belum dapat dipecahkan itu dan permintaan yang sama juga disampaikan kepada para
petugas rumah
sakit, namun berita itu segera meluas. Baik petugas keamanan maupun rumah sakit
tidak bisa tutup
mulut. Semula
hanya dibisikkan kepada kawan dekat sebagai suatu berita yang menakutkan supaya
berhati-hati,
tetapi dalam tempo singkat sudah jadi pembicaraan hampir se Lubuklinggau.
Di antara yang sangat terkejut mendengar berita itu adalah Kapten Polisi Kahar,
yang mengetahuinya
langsung dari Mayor Polisi Buang.
�Mayatnya dibawa lalu diletakkan di depan pintu pagar saya, Kapten. Itu
keterlaluan. Ya, boleh jadi
juga ia dibunuh di situ. Tetapi tidak ada tanda terjadinya pergulatan Saya rasa
dibawa ke sana.
Tentu ada maksudnya,� kata Perwira Menengah itu. Tidak mendapat tanggapan dari yang
di beri tahu,
ia berkata, �Mengapa Anda diam saja?�
Barulah Kahar menjawab. �Saya terlalu terkejut. Hampir tidak masuk akal!�
�Bagaimana tidak masuk akal Itu sudah jadi suatu kenyataan.
Dan di lehernya terdapat bekas kuku-kuku harimau. Tidak ada gigitan sebagaimana
lazimnya
terkaman harimau. Apa makssudnya itu. Kap?� tanya Pak Mayor seolah-olah orang yang
setingkat di
bawah pangkatnya layak mengetahui nya.
�Wah, itu harus diselidiki. Pada saat ini mana saya tahu. Ataukah Pak Mayor sudah
punya dugaan.
Bukankah Pak Mayor yang
menemukan mayatnya dan diletakkan atau dibunuh di depan pagar Pak Mayor pula.
Barangkali Pak
Mayorlah yang dapat mengira-ngira mengapa sampai terjadi pembunuhan yang begitu
aneh. Saya rasa
Pak Mayor lebih banyak tahu?�
�Mengapa harus saya yang lebih banyak tahu?�
�Ee barangkali saja. Bukankah Pak Mayor yang kenal dekat
dengan Pak Maribun yang bernasib malang itu!� kata Kahar, la menjawab begitu,
karena kata-kata
sang Mayor kurang enak bagi telinganya. Jika tidak karena itu, ia juga tidak akan
berkata demikian
kepada atasan yang diyakininya tentu dalam kebingungan.
�Memang saya kenal baik dengan dia. Kapten. Tetapi
kematiannya itu sangat aneh. Saya teringat tentang ceritanya kemarin, bahwa ia
mengetahui adanya
harimau piaraan di sekitar tempat kediaman Kapten. Barangkali Kapten dapat
membantu. Saya ingin
supaya harimau aneh atau makhluk berbahaya itu dapat segera dibekuk!� kata sang
Perwira
Menengah. Kini dengan nada menurun.
�Itu sudah kewajiban kita. Saya segera melakukan penyelidikan kemudian saya menemui
Bapak,
oke?�
�Ya, tolonglah. Kita malu kalau tidak dapat memecahkan ini.�
�Tentu Mayor, tentu. Kita harus dapat memecahkannya,� kata Kapten Kahar, la
teringat kepada Erwin.
Apakah dia yang
melakukan? Ketika ia baru saja meletakkan telepon, pesawat itu berdering lagi dan
yang memulai
bicara bukan lain dari Mayor Polisi Buang juga. la bertanya, apakah ia dapat
bertemu dengan laki-laki
yang bernama Bujang yang menegurnya pada hari kemarinnya.
Kahar agak terkejut, tetapi dia sudah menduga juga bahwa sang Mayor tentu ingin
menanyakan
dirinya. Sebenarnya ia heran, mengapa tadi atasannya itu tidak menyinggung-
nyinggung Erwin yang
dikenal Perwira Menengah itu sebagai Bujang. Karena sudah siap untuk mendengar
permintaan atau
pertanyaan demikian, maka Kahar langsung saja menjawab, bahwa Bujang sedang ada di
rumahnya dan mempersilakan sang Mayor untuk datang. Buang mengatakan, bahwa dia
akan datang
sekitar setengah jam lagi.
Berita itu disampaikan Kahar kepada Erwin yang sedang
mengobati adiknya. Dinar sudah hampir pulih sepenuhnya, rupanya karena dukun yang
menjahilmya
sudah tiada.
Pada pagi itu Dinar menyatakan keinginannya untuk turut
bertualang dengan Erwin, yang dijawab dengan tawa oleh manusia harimau itu
Erwin menduga, bahwa Kahar akan bertanya kan kisah kematian Maribun kepadanya,
tetapi ternyata
tidak. Malah dialah yang bertanya kepada Kahar ketika kepadanya disampaikan tentang
maksud
kedatangan Mayor Polisi Buang, �Mau menanyakan
kematian Pak Maribun?�
�Entah, aku tidak tahu. Dia tidak mengatakan begitu. Hanya ingin bertemu dan
bercakap-cakap
barangkali,� kata Kahar.
�Dia tidak menyebut-nyebut tentang Pak Maribun?�
�Dia menceritakannya. Dia tidak dapat mengerti dan mengatakan tidak sanggup
memecahkannya,�
kata Kahar.
�Dan dia meminta Kapten untuk membantu dia?�
�Ya, aku bawahannya?�
�Dan Kapten tidak ingin bertanya apa-apa kepadaku?�
�Tidak,� jawab Kahar.
�Dia memanggil seorang pawang harimau dan dua pemburu ke rumahnya tadi. Minta
bantuan mereka
agaknya!� Kapten Kahar agak terkejut dan memandang Erwin. Yang mungkin akan
diselidiki sudah
lebih banyak tahu dari yang akan melakukan penyelidikan.
�Saudara Erwin mau mengatakan sesuatu kepadaku?�
�Tidak. Tak ada yang mau saya katakan,� jawab Erwin.
Kedua orang dari satu daerah itu bagaikan tahu bahwa lebih baik tidak usah saling
tanya atau saling
cerita. Suatu sopan santun yang amat halus dari dua manusia yang saling tahu dan
saling
menghargai. Erwin amat senang dengan sikap Perwira Polisi itu.
Kahar menyambut kedatangan Buang dengan ramah dan merasa
kasihan melihat atasannya yang berwajah muram itu.
�Pernahkah Anda mendengar harimau berjalan dengan hanya dua kakinya, Kapten?
Barangkali Anda
tidak percaya,� kata Buang.
�Kalau bukan Pak Mayor yang mengatakan, pasti saya tidak percaya. Tetapi apakah Pak
Mayor tidak
keliru lihat. Bukan ��
Kahar tidak meneruskan.
�Maksud Kapten? Hanya khayalan oleh dorongan rasa takut?�
�Tidak, barangkali hanya pembunuh yang cerdik dan
mempergunakan sarung kaki atau katakanlah sepatu harimau dan sarung tangan harimau
pula.�
�Ah, penjahat kita belum sampai menjalankan muslihat seperti itu. Semula aku ada
juga memikirkan
kemungkinan itu, terlalu sulit mau bikin sarung tangan dan sepatu yang mengesankan
jejak harimau
asli. Lagi pula, bekas kuku dan kaki buatan tidak akan mungkin seperti itu! Tubuh
manusia tidak
seberat badan harimau,�
kata Pak Mayor, la lalu minta dipertemukan dengan Bujang. Orang itu tak lama
kemudian datang
sambil mengucapkan �selamat pagi�
dengan sopan Mayor Polisi itu memandangi mukanya seperti ingin membaca sesuatu,
kalau ada yang
dapat dibaca. Ternyata tidak ada
�tulisan� apa-apa pada wajahnya, la biasa-biasa saja, bersikap wajar kemudian
bertanya, apakah
pembunuh itu sudah ditangkap.
�Pembunuh siapa?� tanya Buang mau coba memancing.
�Wah, se-Lubuklinggau telah mengetahuinya. Pembunuhan atas diri Pak Maribun yang
mayatnya
dijumpai di muka pintu pagar Pak Mayor.�
Sang Perwira merasa sedikit malu, pancingannya ternyata tidak mengena sama sekali.
�Kemarin Anda mengatakan tentang kemungkinan pembalasan si harimau piaraan atas
diri Pak
Maribun yang melapor kepada saya!�
�Benar. Dugaan saya tepat kan. Pak Maribun mati dibunuh harimau. Barangkali harimau
piaraan yang
diceritakan almarhum,�
kata Erwin tenang-tenang.
0odwo0
DUAPULUH TUJUH
MAYOR Polisi Buang tak menyangka, bahwa Erwin yang
dikenalnya sebagai Bujang, berani memberi jawaban secara itu.
Orang yang kelihatan kampungan ini tidak penyegan atau penakut
seperti halnya masih banyak orang kampung terhadap orang yang berseragam Polisi,
apalagi seragam
Perwira pula. Sebetulnya orang kampung juga tahu, bahwa Polisi itu tempat
berlindung, bernaung dan
mengadu, tetapi mereka juga banyak menemukan fakta yang bertentangan dengan apa
yang mereka
ketahui semula. Sehingga rasa hormat berubah jadi rasa takut atau rasa benci.
Mereka �
kebanyakan� jadi lebih suka untuk tidak berurusan dengan Polisi.
Padahal yang berbuat lain dari mestinya hanya seorang dua saja.
Yang lainnya pasti dapat dikatakan baik. Atau lumayan lah!
Tapi yang sebiji ini memang benar-benar lain. Dia berterus terang saja. Mengatakan
apa yang dia pikir
atau dia sangka.
�Saudara percaya ada orang memelihara harimau di daerah ini?�
tanya sang Mayor kini menggunakan perkataan �Saudara�.
�Saya percaya, bahwa di sini pun mungkin saja ada orang yang punya harimau piaraan.
Tetapi saya
tidak mengatakan, bahwa di sekitar sini ada yang punya!� jawab Erwin.
Mayor Buang tambah tahu, bahwa orang ini bukan hanya suka berterus terang tetapi
juga menguasai
bahasa Indonesia dengan baik. Tidak banyak orang mampu merangkai kalimat seperti
itu.
Yang hampir sama bunyinya, tetapi sangat berlainan maknanya.
�Bahasa Indonesia Saudara bagus sekali,� kata Mayor Buang dengan nada yang kini
agak bersahabat.
�Bahasa saya itu belum bahasa yang benar-benar baik. Saya baru melatih diri untuk
tidak turut turutan
bahasa persatuan dan nasional kita.�
Perasaan segan mulai bangkit di dalam hati Buang. Si Bujang ini orang baik dan
pintar, pikirnya.
Rupanya saja yang kampungan.
Mungkin karena keadaan. Tidak seharusnya ia menaruh buruk sangka atas orang yang
belum
dikenalnya dari dekat. Salah satu sifat buruk pada banyak Polisi kita ialah menilai
orang secara
lahiriah. Orang yang berpakaian mentereng, apalagi bermobil bagus selalu disegani
dan dilayani lain
daripada menghadapi orang yang hanya biasa-biasa saja, Padahal bukan mustahil,
bahwa orang yang
kelihatan hebat dan kaya itu sebenarnya seorang pembunuh atau penipu atau pencuri.
Jangan-jangan
perampok uang negara dan rakyat melalui kedudukan yang diberikan kepadanya.
�Di negeri Saudara Bujang banyak harimau piaraan?� tanya Pak Mayor menaruh minat.
�Ada, tidak sangat banyak!�
�Dapat disuruh apa saja?�
�Tidak semua. Ada yang tugasnya hanya menjaga kebun dari gangguan babi hutan. Ada
juga yang
dapat melaksanakan semua tugas dari sang majikan.�
�Apakah harimau piaraan itu sama dengan harimau liar?�
�Hampir semuanya sama.�
�Mengapa hampir? Jadi tidak semua sama?�
�Memang tidak semuanya sama. Ada yang dapat menghilang karena yang memeliharanya
itu orang
pandai. Pemelihara dirinya itulah yang membuat dia tidak tampak oleh manusia biasa!

�Manusia biasa? Jadi ada juga manusia yang dapat melihatnya?�
�Ada. Yaitu manusia yang punya ilmu melawan perabun!�
Mayor Polisi Buang kian tertarik. Banyak pengetahuan manusia Bujang ini mengenai
harimau. Orang
begini agaknya tak baik untuk dibuat jadi lawan.
�Memang tak baik mencari lawan. Saya pun takut sekali kalau sampai orang membenci
saya. Karena
saya hanya perantau yang tidak punya apa-apa,� katanya merendahkan diri, membuat
Pak Mayor jadi
kian menghargai dirinya. Dia menyesal telah mencurigai orang itu.
�Sebagai penegak hukum memang layak Tuan mencurigai orang yang belum dikenal.
Misalnya saya
dan kawan saya yang berbaju hitam itu.� Mayor Polisi itu jadi tambah malu. Apa yang
dipikirnya
dapat dibaca oleh laki-laki muda yang amat sederhana itu.
�Saudara Bujang mengenal almarhum Maribun?�
�Tidak dari dekat. Tetapi ada mendengar namanya yang besar dan terkenal. Konon,
almarhum pandai
sihir!�
�Saudara baru beberapa hari di sini tetapi sudah mengetahui begitu banyak. Apakah
Saudara dukun?
Maaf, saya hanya bertanya.
Saudara tidak kecil hati atau tersinggung?�
�Tidak, sebab Tuan Mayor juga tidak mencurigai saya lagi.�
Dengan muka memerah padam Mayor Polisi menyatakan
kekagumannya atas diri Bujang.
�Yang sebenarnya nama saya bukan Bujang.�
�Bolehkah saya bertanya mengapa Saudara kemarin mengaku bernama Bujang dan siapakah
nama
Saudara yang sebenarnya?�
�Saya mengaku bernama Bujang, karena Tuan mencurigai saya dan Tuan bernama Buang.
Jadi saya
tambah saja dengan satu huruf, jadi Bujang. Tuan Buang mencurigai dan si Bujang
juga mencurigai
Tuan Buang!� kata Erwin tanpa merubah nada suara.
�Nama saya yang sebenarnya hanya Erwin. Hanya itu!�
�Saudara Erwin hebat sekali. Saya terus terang jadi malu. Apa yang Saudara katakan
itu memang
benar. Saya kemarin sangat mencurigai Saudara. Rupanya Saudara juga jadi sangat
mencurigai saya!�
�Ya, begitulah rupanya. Mungkin ada harimau piaraan nenek keluarga Pak Kapten Kahar
yang
melindungi keluarga Nasution ini, adik Pak Kapten sakit karena buatan iblis yang
dikirim almarhum
Maribun. Mungkin harimau piaraan itulah yang melakukan
pembalasan atas diri orang yang menjahili Nona Dinar Nasution. Ini hanya suatu
kemungkinan, saya
tidak tahu. Saya cuma berusaha mengobati adik Pak Kapten ini. Tetapi saya bukan
dukun. Cuma ada
sedikit bekal dari kampung untuk pelenyap pening-kepala.�
�Kata Saudara tadi, adiknya Kapten Kahar sakit karena dijahili oleh almarhum
Maribun. Siapa yang
mengatakan begitu?� tanya
Mayor Buang.
Oleh Erwin dijawab, bahwa yang menceritakan adalah iblis yang disuruhnya itu
sendiri. Kalau iblis
sudah mau disuruh mengatakan yang benar, maka ia tidak akan berdusta.
Mendengar jawaban ini. Mayor Polisi Buang tidak lagi
meneruskan pertanyaan. Sudah jelas baginya, bahwa yang
mengobati Dinar tentulah bukan sekedar bawa bekal untuk
pengobat pening kepala. Sudah jelas Erwin yang dapat menyuruh iblis bicara, seorang
dukun yang
punya ilmu tinggi. Hanya saja ia punya sifat untuk selalu merendahkan diri. Inilah
manusia yang
punya isi lain dari yang dikesankan oleh pembawaan dan
penampilannya. Tidak banyak seperti Erwin. Dan tidak banyak manusia harimau.
Apalagi yang sampai
mengembara ke kota.
Biasanya lebih suka tinggal di kampung.
Setelah cukup lama bercerita. Pak Mayor bertanya kepada Erwin apakah ia dapat
menolong untuk
melihat siapakah gerangan yang punya harimau piaraan. Benarkah kakek atau salah
seorang keluar ga
Dinar dan harimau piaraan itu yang membunuh Maribun ataukah orang lain yang
memusuhi Maribun
dan membunuhnya melalui
harimau.
Erwin menolak dengan halus, bahwa ia tidak berani mencampuri urusan itu, karena ia
tidak punya
ilmu sampai setinggi itu.
�Mungkinkah harimau itu mengambil korban lain?� tanya Mayor Buang.
Erwin tidak mampu memberi jawaban, karena ia tidak tahu
apakah ada lagi orang lain yang diincar oleh harimau piaraan itu.
Dan yang diterkam oleh harimau piaraan hanyalah orang yang memusuhi pemiliknya
tanpa alasan.
Merasa kehabisan bahan untuk ditanyakan kepada Erwin, barulah Mayor Polisi itu
bertanya kepada
Kapten Kahar apakah adiknya sudah sembuh. Bawahannya itu mengatakan bahwa ia semula
sudah kehilangan harapan, la bersyukur kepada Tuhan dan
berterima kasih kepada Erwin, karena Dinar sudah boleh dikatakan
bebas dari cengkeraman iblis yang tadi memasuki dan menguasai dirinya untuk
dibinasakan.
Karena masih menyangkut dipikirannya tentang harimau yang berjalan hanya dengan dua
kaki
belakang dan menyangka, bahwa Erwin mungkin dapat memberi penjelasan, maka ia
menanyakan
keanehan yang dialaminya pada malam kemarinnya. Diceritakannya, bagaimana ia
melakukan
pelacakan sejak dari rumah almarhum Maribun sampai ke suatu tempat di mana terlihat
telapak kaki
dua manusia dan seekor harimau berkaki empat. Kemudian yang ada hanya dua kaki
manusia dan
empat kaki harimau atau seekor harimau.
�Saya masih tetap heran, apakah ada harimau yang berjalan hanya atas dua kakinya,�
kata Mayor
Buang kepada Erwin.
�Saya sendiri tak pernah melihat sirkus, tetapi saya dengar di sirkus ada gajah dan
harimau yang dapat
berjalan atas dua kaki.
Berkat latihan. Kalau gajah yang bertubuh begitu besar dapat berjalan atas dua
kaki, ditonton pula oleh
ratusan atau ribuan orang, saya rasa harimau yang dilatih juga dapat berbuat
begitu.
Karena harimau piaraan yang terlatih bisa jalan atas dua kaki, mungkin harimau yang
Tuan Mayor
ikuti jejaknya kemarin sedang iseng berjalan hanya dua kaki. Saya rasa ada juga
harimau yang suka
iseng seperti manusia.�
Kapten Kahar Nasution merasa senang dan geli, tak menyangka, bahwa Erwin dapat
bersandiwara
sebagai pemain watak, la begitu mahir menimbulkan kesan seolah-olah ia tidak tahu
menahu tentang
pembunuhan Maribun, tetapi punya pengetahuan sekedarnya
tentang jenis dan sifat-sifat harimau.
�Apakah kira-kira kegiatan harimau piaraan itu sampai di situ saja?� tanya Mayor
Buang.
�Mungkin, kalau sudah tak ada musuhnya. Tetapi barangkali ia masih marah kepada
orang yang
mengatur pengepungannya
kemarin. Ini hanya pikiran saya. Barangkali juga dia sudah kembali ke hutan!�
�Apakah kalau yang punya orang di sekitar sini misalnya, ia tidak tinggal di sini?�
�Saya rasa tidak. Tempat harimau bermukim di hutan, maka di hutanlah dia tinggal.
Kalau yang punya
memerlukan dirinya, ia dipanggil.�
Pada waktu itu Dinar yang sudah sembuh juga turut keluar
bersama Ibunya. Ikut duduk setelah memberi hormat kepada Pak Mayor.
�Sudah sembuh?� tanya Pak Mayor.
�Ya, hampir. Berkat bantuan Bang Erwin,� jawab gadis cakep itu.
Muka Erwin memerah padam, la senang atas kata-kata Dinar
yang tiada berlebih-lebihan.
�Berkat ijin Tuhan Yang Maha Pengasih, saya sekedar berusaha.
Ketentuan hanya pada Allah!� kata Erwin melengkapi.
�Saudara taat beragama, ya?� puji Mayor Buang.
�Itu pun hanya sejauh kemampuan yang ada pada diri saya. Dan tentu tak luput dari
berbagai macam
kesalahan dan kekurangan!�
Undangan untuk makan bersama di rumah Pak Mayor ditolak
Erwin dengan halus. Kelihatan perwira Polisi itu kecewa, karena mungkin ada
tujuannya dengan
undangan makan itu. Barangkali hendak coba-coba menuntut ilmu dari Erwin atau
tujuan lain yang
tidak dapat diduga. Umpamanya mengundang juga seorang dukun yang dikenalnya sangat
kawakan
untuk bertemu dengan Erwin.
Barangkali, ia sebagai orang yang ingin banyak tahu, mau melihat bagaimana kalau
dua dukun
dipertentangkan.
Walaupun ia tidak mencurigai Erwin lagi, ia punya persangkaan, bahwa Erwin dapat
bercerita lebih
banyak mengenai jejak-jejak kaki manusia dan harimau aneh yang dilihatnya malam
kemarin dan
bersamaan dengan itu pula Maribun hilang, lalu tewas. Semua itu tetap merupakan
misteri yang tidak
selesai dengan pendapat serta dugaan Erwin saja. Sebagai perwira penegak keamanan
dan
keadilan, seyogianya ia dapat memberi keterangan yang masuk akal kepada wartawan
yang pasti akan
berdatangan dari Palembang menanyakan duduk kasus yang sangat menarik itu. Oleh
kelemahannya dalam menghadapi perkara ini dan karena penolakan Erwin atas
undangannya, sang
Mayor jadi penasaran kembali, la permisi pulang dengan mengucapkan terima kasih
kepada Erwin dan
Tuan rumah.
Dalam perjalanan ke kantornya, Mayor Polisi Buang memikirkan keterangan dan jawaban
Erwin yang
kemudian ditafsirkannya sebagian sebagai mempermainkan dirinya, la memperbandingkan
harimau
yang berjalan dengan dua kaki dari rumah Maribun dengan gajah yang juga pandai
berjalan atas dua
kaki di sirkus. Semuanya berkat latihan, kata Erwin. Tak masuk akal, bahwa pemilik
harimau itu
melatih harimau piaraannya untuk jalan atas dua kaki, karena hewan itu tidak akan
dipekerjakan di
sirkus. Oleh pikiran itu. Mayor Polisi Buang tak jadi langsung ke kantornya, tetapi
kembali ke rumah
Maribun dan bertanya kepada keluarganya siapakah guru almarhum. Setelah mendapat
keterangan ia
langsung pergi ke alamat yang disebutkan dan di sana bertemu dengan orang yang
sudah umur tujuh
puluh tahun dan oleh penduduk. Memang dikenal sebagai orang yang aneh serta
mempunyai banyak
ilmu.
Dukun besar itu diundang Mayor Buang ke rumahnya dan orang pandai yang bernama
Raden Sulaiman
itu menyanggupi untuk
datang pada malam hari.
Ketika Mayor Polisi Buang menceritakan maksudnya, Raden
Sulaiman menanggapi, bahwa pembunuhan atas diri muridnya itu memang bukan
pembunuhan biasa
dan menurut pandangannya
juga bukan oleh makhluk biasa. Pada saat ia mengatakan, bahwa ia akan melakukan
pembalasan,
mendadak rumah sang Perwira yang terbuat dari batu dan bahan-bahan kelas satu
bergoncanggoncang.
0odwo0
DUAPULUH DELAPAN
BIARPUN Perwira Polisi dan tidak gentar menghadapi gerombolan bandit, tetapi
merasakan rumah
tergoyang-goyang. Mayor Buang sangat terkejut dan tak dapat mencegah pucat, karena
muka pucat
bukan buatan melainkan reaksi.
�Lawan ini hebat juga Pak Mayor,� kata Raden Sulaiman. �Tapi saya akan patahkan
dia!�
Raden Sulaiman mengeluarkan sebuah batu kecil berwarna
merah lalu meremas remasnya. Rumah Pak Mayor tidak bergoyang-goyang lagi.
Raden Sulaiman tersenyum menang. Jelas kekuatan batu merah itu melebihi ilmu
lawannya. Dan dia
ketahui, bahwa lawannya akan mengeluarkan kepandaian yang lebih tinggi, kalau dia
memilikinya.
Kalau tidak, orang itu akan menggelupur di rumahnya.
Erwin yang tahu bahwa dirinya akan mendapat lawan lain, telah bersiap tetapi segera
pula mengetahui,
bahwa yang hendak
menjatuhkannya ini lebih kuat lagi dari seorang Maribun. Sebab yang ini adalah guru
dari penyihir itu.
Ia mengerahkan tenaga yang lebih tinggi ketika merasa bahwa lawannya telah
mematahkan ilmunya
yang pertama. Digunakannya mangkuk putih berisi air untuk melihat apa yang sedang
dikerjakan oleh
lawannya, sehingga tampak jelas bahwa Raden Sulaiman juga sedang minta
diambilkan mangkuk berisi air.
Ketika Raden Sulaiman memasukkan batu merahnya ke dalam
air, seluruh isi mangkuk menjadi hitam pekat, la terkejut, sebab baru sekali selama
prakteknya air jadi
hitam. Mestinya ia melihat apa yang sedang dikerjakan lawannya di air yang putih
bersih. Dan
memanglah Erwin yang membuat air di mangkuk itu tidak dapat menjalankan tugas
seperti biasa.
Ilmu ini didapat Erwin ketika ia ke Penyabungan beberapa waktu yang lalu.
Mayor Buang yang sengaja dibolehkan melihat apa yang terjadi, memandang kepada
Raden Sulaiman
yang bermerah padam karena malu.
�Ada apa?� tanya Pak Mayor.
�Bangsat ini memakai ilmu jahanam,� jawab Raden Sulaiman sekedar menutupi malunya.
Tetapi
begitu dia selesai dengan kalimatnya yang memaki Erwin, ia terbatuk-batuk sampai
mengeluarkan air mata.
Erwin memandangi kejadian di rumah Mayor Buang melalui air di mangkuknya. Datuk dan
Kahar
Nasution yang diperkenankan turut melihat merasa sangat takjub. Sudah seringkali
mereka mendengar
bahwa melalui air dukun yang pandai mampu melihat kejadian di tempat lain, tetapi
baru kali itulah
mereka melihat secara langsung dan begitu jelas. Tetapi apa yang mereka perkatakan,
harus dibaca
melalui gerak mulut di air itu saja, sebab tak dapat didengar. Dapat dikatakan,
bahwa air itu berfungsi
sebagai layar televisi tanpa suara.
Dalam hati Datuk sangat berharap agar Erwin mau mengajarkan kepandaian itu
kepadanya kelak. Dia
berjanji kepada diri untuk berbuat sebaik-baiknya, supaya dinilai layak menerima
ilmu itu.
Raden Sulaiman bangkit sambil membawa mangkuk berisi air
berwarna hitam itu untuk dibuang dan digantinya sendiri dengan yang baru. la jadi
tambah kaget
karena ketika dicurahkan, air hitam itu berwarna biasa, la berhenti sebelum seluruh
isinya dibuang.
Sisa yang ada di dalam mangkuk tetap berwarna hitam, la belum pernah menemukan
lawan yang
punya kemampuan tersendiri ini, tetapi ia pun masih punya banyak simpanan untuk
dilaga dengan apa
yang dimiliki lawannya. Karena ia tak dapat melihat apa yang hendak dilihatnya,
maka ia pun tidak
dapat mengetahui, bagaimanakah rupa lawannya itu. Tetapi ia menduga, bahwa orangnya
tentu paling
sedikit setengah baya atau pun sudah tua dengan segudang garam yang sudah pernah
dihabiskannya
selama ia hidup.
Mayor Polisi Buang yang punya cukup banyak pengalaman
selama melaksanakan tugas kepolisian jadi kian tertarik. Kekuatan yang di masa lalu
hanya dibaca
dalam buku atau didengar dari cerita, sekarang diketahuinya benar-benar ada. Inilah
dia barangkali
yang menyebabkan ada pelarian yang tak jatuh walaupun dilanggar peluru berkali-
kali. Inilah juga
yang membuat ada tahanan yang bisa meloloskan diri dengan cara yang tidak masuk
akal, karena
kepergiannya dari sel tahanan tidak kelihatan dan sama sekali tidak meninggalkan
bekas.
Penasaran atas kegagalan melihat lawannya melalui air, karena menghitam pekat,
Raden Sulaiman
sekali lagi mengambil air putih dengan membaca jampi-jampi agar itu tidak dapat
dirusak oleh siapa
pun. Air yang pertama tadi bukan dia sendiri yang mengambil.
�Mari,� kata Raden Sulaiman kepada Mayor Polisi Buang,
�mudah-mudahan permainan orang itu tidak akan terulang lagi.
Bagaimanapun ia pasti mempunyai kepandaian yang lumayan.
Apakah Pak Mayor Buang mempunyai sangkaan terhadap seseorang yang diperkirakan
melawan kita.
Kalau kita ketahui, siapa yang melawan kita sekarang, maka kita pun akan tahu siapa
atau harimau
siapa yang membunuh almarhum Maribun,�
Pak Mayor tidak langsung menjawab. Khawatir kalau-kalau
terjadi sesuatu yang tidak disangka-sangka seperti bergoyangnya rumahnya tadi. Yang
itu dapat
dijinakkan oleh Raden Sulaiman, tetapi air yang menghitam itu, bagaimana itu bisa
terjadi?
Raden Sulaiman mulai membaca-baca lagi. Air itu tetap putih tidak berubah warna, la
mengeluarkan
sebilah pisau lipat kecil, mencelupkan matanya ke dalam air. Warnanya tidak
berubah.
Setelah itu ia memasukkan batunya yang berwarna merah tadi. Air tidak juga berubah,
la mulai yakin,
bahwa lawannya tidak kuat melawan tenaga yang dimasukkan melalui pisau lipatnya
tadi ke dalam air.
Raden Sulaiman membaca-baca lagi.
la berbisik dengan penekanan di sana sini �Kata jin yang kukatakan. Siapa atau apa
pun engkau,
engkau tak akan punya daya merendahkan martabatku. Engkau hanya hambaku. Akulah
yang kau
pertuan.� la tunduk mengkhusukkan diri, memusatkan segala kekuatan batin menentang
lawannya.
Setelah merasa cukup ia mengangkatkan kepala untuk melihat keadaan lawannya. Di
luar dugaan air
putih itu berubah warna lagi. Sekarang merah seperti darah.
Rupanya selain daripada terkejut heran, warna merah itu juga merupakan pertanda
bahwa akan ada
darah yang tumpah. Darah siapa?
Pak Mayor juga terkejut, karena merasa turut punya gawe. Ilmu milik Raden Sulaiman,
tetapi yang
menyuruh adalah dirinya. Dan ia pun sebenarnya tidak punya niat jahat, hanya
penasaran, ingin tahu,
siapakah yang telah membunuh Pak Maribun. Akan
menimbulkan semacam kegelisahan, kalau hanya dikatakan, bahwa korban benar dibunuh
oleh seekor
harimau.
�Bagaimana Pak Sulaiman?� tanya Mayor Buang.
�Biasa saja, usaha perlawanan dari pihak yang mau ditaklukkan.
Lebih enak menghadapi lawan yang melawan daripada yang
menyerah kalah tanpa bertanding,� kata Raden Sulaiman menjaga gengsi. Warna merah
itu bukan
hanya menandakan akan ada darah mengalir, tetapi juga membuat dia lagi-lagi tak
dapat melihat
siapakah sebenarnya yang jadi lawannya.
�Siapakah kira-kira lawan Pak Sulaiman, orang sini ataukah pendatang?� tanya Pak
Mayor lagi.
�Kedua-duanya mungkin. Saya belum tahu.� Sekali lagi ia bertanya, apakah ada yang
patut dicurigai.
Tetapi Pak Mayor tetap tidak mau menyebut nama. Belum tentu Datuk yang berpakaian
serba hitam
itu dan belum tentu pula Erwin yang punya banyak pengetahuan tentang harimau.
Hebatnya kenyataan
yang telah dilihatnya dengan mata sendiri membuat Mayor Buang sangat berhati-hati.
Sungguh, lebih
baik menghadapi sepuluh bandit atau garong yang mempergunakan senjata api atau
tajam daripada
lawan yang tidak diketahui siapa orangnya, tetapi mempergunakan senjata gaib yang
tidak dapat
dikalahkan dengan senjata api yang menjadi andalan penegak hukum. Sekurang-
kurangnya belum
tentu dapat dihadapi dengan senjata biasa.
Raden Sulaiman mohon diri dengan alasan, bahwa alat-alat
lengkap guna melawan musuh tidak semuanya dibawa. Dan dia berkata benar. Memang ada
yang tak
dapat dibawa-bawa.
Dalam perjalanan ke kantor, Mayor Buang masih dibayangi oleh apa yang dilihatnya.
Air yang
menghitam dan kemudian memerah, semacam asap tebal dan darah kental yang membuat
Raden
Sulaiman dan dia tidak dapat melihat siapakah sebenarnya yang membunuh Maribun atau
jadi dalang
kematiannya.
la juga bertanya pada diri sendiri, apakah Erwin tahu bahwa ia mempergunakan dukun
untuk
mengetahui siapa sebenarnya yang pegang peranan dan pembunuhan amat misterius itu.
Erwin itu
banyak tahu, barangkali dia juga mengetahui segala apa yang dilakukannya. Hanya
sampai situ yang
dipikir dan ditanyanya kepada diri sendiri. Tak berani lebih dari itu, tiada
tuduhan terhadap siapa pun.
Dia akan jadi bahan pembicaraan atau bahkan
tertawaan, kalau sampai diketahui masyarakat bahwa seorang Mayor Polisi coba-coba
mempergunakan kekuatan gaib seorang dukun dalam usaha melaksanakan tugas.
Kematian Maribun kian menyebar luas dalam cerita dan duga-duga, sehingga merupakan
tantangan
yang kian berat bagi penegak hukum untuk menyiasati dan memecahkannya. Ada juga di
antara
penduduk yang berkata, bahwa akhirnya si hebat ketemu imbang.
Yang amat menarik bagi mereka adalah cerita tentang harimau yang berjalan atas dua
kaki saja. Ada
juga di antara mereka yang sampai bertanya apakah ini yang namanya manusia mati
lalu hidup
kembali sebagai harimau, jalan sebagai manusia biasa tetapi rupanya sudah seperti
harimau.
0odwo0
Erwin sudah merasa bahwa lawannya ini mempunyai kepandaian lebih daripada Maribun.
Mungkin
inilah gurunya. Untunglah Erwin telah mendapat tambahan bekal sejak ia kembali ke
kampungnya.
Kalau tidak begitu, tentulah ia telah binasa oleh Maribun yang sangat kawakan itu.
Kepada Kahar Nasution diterangkannya, bahwa mestinya ia
sudah meninggalkan Lubuklinggau, tetapi hadangan baru ini
membuat ia harus bertahan. Mungkin juga untuk berkubur di kota itu. Kematian adalah
sesuatu yang
pasti bagi tiap makhluk, hanya tak dapat menentukan di mana ia akan menyelesaikan
perjalanannya di dunia.
Berkata ia kepada Kahar dan Datuk, semisal ia mati di kota ini, ia mohon mayatnya
dikuburkan di
pinggir kota, umpamanya di hutan tak jauh dari pinggir jalan raya. la khawatir
kalau-kalau ada
lanjutan kisah setelah ia mati, yang akan menyebabkan dirinya jadi pembicaraan dan
ditakuti, la ingin
sekali, kalau ia mati, tamatlah riwayatnya, jangan sampai membawa lanjutan yang
tidak disukai
masyarakat.
Mendengar itu Datuk menangis, karena ia tidak mau kehilangan Erwin. Dia memang
sudah sangat
sayang kepada sahabatnya itu.
Punya kelainan yang menakutkan, tetapi juga punya hati lebih mulia dari sebagian
besar manusia.
�Daripada Saudara, lebih baik aku yang pergi duluan,� kata Datuk. �Saudara lebih
berguna bagi dunia
ini daripada aku.�
Mendengar itu Erwin juga jadi tambah sayang kepada sahabat seperjalanan yang
tinggal seorang itu
dan akan mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menghadapi guru Maribun. la
menyadari, bahwa pertarungan dengan lawan yang sekuat itu mungkin makan tempo
berhari-hari.
Sukar akan menumbangkan salah satu daripada dua orang tinggi ilmu, karena kedua-
duanya punya
daya bela diri dan pertahanan yang sangat ampuh.
Pada malam itu Erwin mengurung diri dan mohon kepada semua orang dan harimau yang
pernah jadi
gurunya, begitu pula kepada leluhurnya supaya ia diberi kekuatan yang cukup tinggi
untuk dapat
merobohkan lawan yang sama sekali tidak dicarinya itu. la tadinya mengharapkan
pertarungan di
Lubuklinggau cukup sampai dengan kematian Maribun saja. Setelah menyembuhkan Dinar
ia akan
berangkat ke Palembang guna memenuhi janjinya kepada Nona Mei Lan yang pernah
mencarinya
sampai ke Mandailing dan Medan.
Erwin sangat merasa bahwa di luar keinginannya ia telah menyebar banyak penderitaan
dan yang
demikian lazimnya akan diimbangi
oleh balasan yang setimpal atas dirinya. Walaupun jatuh cintanya mereka atas
dirinya bukan oleh
suatu sebab yang tidak wajar.
Bahkan Erwin selalu mengelakkan. Dirinyalah, walaupun jelas manusia harimau, yang
selalu diburu
oleh wanita-wanita yang ditolongnya.
Dalam ia berkhusuk mengumpulkan seluruh kekuatan agar
pertarungan kekuatan mahagaib itu segera selesai, ia mendengar suara yang sudah
sangat lama tidak
didengarnya. Yaitu suara dengkur Ki Ampuh, yang telah menjadi babi karena dimakan
oleh
sumpahnya sendiri. Erwin terkejut heran tetapi juga girang, karena si terkutuk itu
pada waktu yang
belakangan telah ingin menebus dosa-dosanya bahkan pernah mendampingi dia dalam
pertempuran
berat.
Bukan hanya itu, Erwin juga mendengar suara Sabrina, wanita cantik yang kadang-
kadang
mengharimau atau dalam
penampilannya yang amat meyakinkan, mengisap darah bayi guna melepaskan dahaganya.
Kedatangan dua orang yang pernah jadi sahabat terdekat tetapi juga musuh amat
berbahaya ini di luar
dugaan, menimbulkan tanda tanya, tetapi bagaimanapun melegakan hati Erwin.
0odwo0
DUAPULUH SEMBILAN
BERKATA seperti bertanya pada diri sendiri dengan suara pelan Erwin menoleh ke
samping dengan
ucapan, apakah ia bermimpi.
�Benarkah engkau Ki Ampuh?� tanya Erwin. Terpancar sinar gembira dari matanya dalam
suasana
yang remang-remang itu.
�Rasanya aku seperti mimpi,� katanya melanjutkan karena tiada jawaban dari makhluk
yang jelas
duduk di sampingnya.
�Kau senang dengan kedatanganku ini, sahabat?� tanya babi hutan besar yang memang
tak lain dari Ki
Ampuh.
�Apa yang membawa kau kemari?� Erwin baru setengah percaya.
Oleh lamanya tak berjumpa dan tak mendengar berita tentang diri Ki Ampuh, ia selalu
menyangka,
bahwa mereka tak kan pernah bertemu lagi, karena masing-masing membawa nasibnya.
Teringat
Erwin akan permohonan Ki Ampuh, dengan air mata dan penyesalan yang seperti keluar
dari lubuk
hatinya, agar ia dijadikan manusia kembali. la bertaubat, bersumpah, tak akan
pernah melakukan
kejahatan lagi. Apalagi pengkhianatan yang telah disadarinya sebagai kejahatan
diatas dari segala
macam kejahatan. Tetapi Erwin memang tidak punya kemampuan untuk mengembalikan
seekor
babi kembali kepada asalnya, la tidak pernah belajar ilmu merubah hewan menjadi
manusia, walaupun
tadinya hewan itu memang
manusia juga. Dan dia selalu berpendapat, bahwa tak kan ada ilmu untuk itu.
Entahlah kalau Tuhan
menghendakinya, karena hanya DIA yang punya kekuasaan dan kemampuan yang tiada
batas.
Kalau IA menghendaki gunung dapat berubah menjadi lautan dan lautan dengan mudah
menjadi
padang pasir. Semut menjadi seekor gajah dan gajah menjadi seekor ular cobra.
Pernah juga Erwin mendengar, bahwa seorang penyihir yang
benar-benar sudah kawakan, memang dapat merubah ujud satu makhluk menjadi makhluk
lain. Tetapi
ia belum pernah melihat hal itu dengan matanya sendiri. Baru dalam cerita orang-
orang tua atau
diceritakan dalam buku dongeng. Ilmu hitam yang mereka anut setelah tuntutan dengan
segala syarat
dan pengorbanan selama bertahun-tahun, membuat mereka punya kemampuan yang tak
masuk akal, tetapi konon memang benar-benar telah terbukti menjadi kenyataan. Sama
halnya dengan
universitas yang terdiri atas berbagai macam fakultas, maka ilmu hitam pun
mempunyai banyak
cabang. Mungkin almarhum Maribun yang juga penyihir mengambil fakultas pengiriman
jin syaitan
ke sasarannya, membuat orang jadi gila dan sebagainya, tetapi tidak mengambil pe
lajaran merubah
manusia jadi hewan. Kalau ia memiliki ilmu itu, agaknya Nona Dinar yang cantik
telah dirubahnya
menjadi seekor ular. Ilmu ini dimiliki oleh Mbah Panasaran di Banten, yang pernah
mengadakan hubungan dengan Ki Ampuh dan Erwin, sebagaimana
telah diuraikan secara terperinci pada bagian awal dari kisah Manusia Harimau.
Wanita penyihir yang
sudah lanjut usia itu selalu kelihatan muda dan cantik, seperti mojang geulis
belasan tahun.
Untuk mempertahankan kemudaannya Mbah Panasaran selalu
memakan anak-anak muda. Diisapnya daya seks pemuda-pemuda tanpa pengalaman itu
sehingga
kering dalam waktu hanya dua tiga bulan yang kemudian dibunuh karena sudah tiada
guna. Paling
beruntung dijadikan hamba yang harus menurut perintahnya tanpa reserve.
Diperintahkannya untuk
membawa kawan-kawan mereka agar menemui nasib seperti mereka.
Ki Ampuh seperti membiarkan Erwin teringat masa lalu. Agak lama kemudian baru
dijawabnya
pertanyaan sahabat yang
kemudian jadi musuh besar tetapi pada waktu belakangan telah jadi sahabat kembali.
Katanya, �Aku
rindu padamu. Itulah yang membawa aku kemari!�
�Bersama Sabrina?� tanya Erwin.
�Ya, aku rindu padanya?�
�Aku tadi mendengar suaranya.�
�Hanya pendengaran. Dia juga ingin bertemu denganmu. Tetapi katanya dia ada urusan
lain dulu.�
Erwin tidak segera menanggapi. Dia pernah suka, kemudian
bermusuh dengan wanita cantik berhati kejam itu. Tetapi kemudian ia selalu teringat
kepadanya,
karena bagaimanapun dia tahu bahwa Sabrina pernah sangat mencintai dirinya, dialah
yang mengelak.
�Ada urusan di Lubuklinggau? Apa dia punya keluarga di sini?�
tanya Erwin.
�Entah. Dia mau bertemu dengan Mayor Polisi Buang dulu,� kata Ki Ampuh. Erwin
seperti tersentak.
Menemui Pak Mayor, ada urusan apa? Tetapi tak ditanyakannya kepada Ki Ampuh.
�Aku ingin kembali ke Jakarta, Ki Ampuh.�
�Untuk apa di sana? Sudah terlalu banyak manusia. Kata orang
udara dan air pun sudah tercemar. Kota itu bukan tempat untuk kita. Juga tidak
untuk banyak manusia
yang semula menyangka akan menemukan syorga di sana. Bagi kita kota-kota kecil yang
tentram
lebih baik,� ujar Ki Ampuh.
�Mungkin betul begitu,� kata Erwin menghentikan usaha pengkhusukan diri dalam
menghadapi
lawannya. �Dari mana kau tahu aku ada di sini?�
Harian di Padang memberitakan tentang makhluk ajaib dengan perangai aneh.
Mengembara dari Jawa
ke Tapanuli, lalu ke Medan dan Minangkabau. Punya sifat seperti harimau, tetapi
sangat baik budi.
Berita lain menceritakan hilangnya dua penduduk sebuah kampung di sekitar
Bukittinggi seorang di
antaranya Datuk yang dituakan di kampungnya. Rentetan berita itu meyakinkan kami,
Sabrina dan
aku, bahwa orang yang bisa berbudi baik seperti itu hanya kau.�
Erwin tidak memberi reaksi. Selama perjalanan ia tidak membaca koran, tidak tahu,
bahwa
kegiatannya sudah membuat wartawan bisa menarik hasil.
Ki Ampuh menceritakan lagi, bahwa setelah mendengar kejadian-kejadian di
Lubuklinggau, ia dan
Sabrina yakin, bahwa Erwin dan kedua pesilat dari Minang itu tentu masih ada di
kota itu.
Mereka juga sudah mendengar tentang penyihir yang tewas
dibinasakan harimau secara aneh. Sabrina lantas berkata, bahwa harimau aneh yang
membinasakan
lawannya dengan cara yang
tidak pernah mereka dengar itu tentulah Erwin.
Bagi Sabrina yang betul-betul termasuk wanita memenuhi segala persyaratan untuk
dikatakan cantik,
pintu selalu terbuka. Itulah salah satu keuntungan orang cakep yang tidak dimiliki
oleh wanita yang
sedang-sedang saja. Walaupun sebagai imbangannya, wanita cantik lebih disukai maut
daripada
wanita yang biasa-biasa saja.
Tidak sukar bagi Sabrina untuk bertemu dengan Mayor Polisi Buang di kantornya.
Bukan terutama
karena kecantikan wajahnya, melainkan budi bahasa yang baik dan keagungan yang
dipancarkan
wajah dan pembawaannya jualah yang membuat Perwira itu
menaruh simpati dan kepercayaan atas dirinya. Kepercayaan pada seseorang yang baru
saja dikenal
perlu digarisbawahi, karena di masa ini wajar kalau kita tidak buru-buru percaya
kepada
seseorang, bahkan ada baiknya kalau diam-diam kita menaruh curiga guna
membangkitkan
kewaspadaan terhadap semua orang baru. Tidak jarang kita baca di koran-koran
mengenai masyarakat
yang tertipu oleh seorang yang mengaku Perwira Angkatan
Bersenjata yang datang lengkap dengan seragam dengan tanda pangkatnya tetapi
kemudian sesudah
terlambat, ternyata ia hanya seorang penipu yang licik saja. Yang menampilkan diri
sebagai saudagar
besar, tetapi kemudian ternyata juga seorang penipu belaka, setelah ia hilang
dengan menggaet
kadang-kadang ratusan juta.
Sabrina mengaku datang dari Surabaya karena mendengar dari seorang sahabatnya,
bahwa di
Lubuklinggau ada seorang yang amat pintar dengan ilmu sihir yang amat tinggi. Telah
banyak bantuan
dipinta dari berbagai dukun, tetapi tak ada seorang pun yang berhasil.
Pak Mayor yang baik hati menyatakan suka menolong kalau ia dapat. Lalu
diceritakannya tentang
Raden Sulaiman yang telah banyak membantu orang-orang yang dalam kesulitan atau
sakit keras oleh
perbuatan orang-orang yang jahil, la menerangkan kemampuan Raden Sulaiman setelah
Sabrina
menceritakan, bahwa ayahnya tewas oleh terkaman seekor harimau piaraan. Dalang dari
kejahatan itu
tak lain daripada seorang sahabatnya sendiri yang merasa sangat terpukul dalam
bersaing dagang.
Setelah bercerita panjang dan Pak Mayor percaya, bahwa Sabrina menceritakan yang
sebenarnya,
maka dibawanyalah wanita itu ke rumah Raden Sulaiman.
Kepada Raden Sulaiman, dihadiri oleh Mayor Buang, diceritakan oleh Sabrina bahwa
dukun yang
dipakai oleh saingan dagang almarhum ayahnya masih muda, bernama Erwin. Orang
itulah yang
mempunyai harimau, bukan hanya satu tetapi menurut
pendengarannya sampai tiga ekor dan semua menurut segala
perintahnya. Pak Mayor lantas yakin bahwa yang membunuh
Maribun tentulah harimau piaraan Erwin. Patutlah dia bisa bicara begitu banyak
tentang harimau.
Betapa liciknya orang itu dengan permainan sandiwaranya. Tentulah dia yang membuat
air di dalam
mangkuk putih Raden Sulaiman jadi hitam dan yang kedua kalinya jadi merah darah.
Raden Sulaiman yang juga serta merta percaya kepada Sabrina karena Pak Mayor juga
tidak ragu-ragu
kepadanya, langsung saja menceritakan apa yang telah dialaminya, la berharap,
Sabrina akan bercerita
lebih banyak tentang Erwin. Siapa tahu dia akan mengetahui di mana letak kelemahan
orang muda itu,
supaya mudah ia merobohkannya.
Dan Sabrina dengan meyakinkan menceritakan bahwa Erwin
memang punya segudang ilmu, tetapi takkan mampu melawan
Raden Sulaiman yang ketenaran namanya sudah sampai ke Jakarta, bahkan hingga ke
Surabaya yang
letaknya di Jawa Timur sana.
Kalau tidak betul-betul hebat, tak kan dukun besar di Lubuklinggau saja sampai
dikenal di Jawa.
Kebanyakan orang di Jawa apa lagi di pulau lain, di luar Sumatera, bahkan tidak
tahu di mana letaknya
tempat yang menyandang nama Lubuklinggau itu. Pak Raden jadi semakin bangga pada
dirinya dan
kalau diperhatikan baik-baik akan kelihatan bahwa lubang hidungnya agak mengembang.
Rupanya
Sabrina bukan hanya wanita keturunan harimau jadijadian yang senang darah bayi,
tetapi juga seorang
yang amat licik dalam bertanya dan berbicara.
Baik Mayor Polisi Buang maupun penyihir Raden Sulaiman
merasa, seolah-olah kedatangan Sabrina ke Lubuklinggau atas suruhan kekuatan gaib
pula untuk
membantu pihak penegak hukum dan penyihir dalam menegakkan keadilan. Yang seorang
sesuai
dengan tugasnya, yang lain untuk membalas dendam atas
kematian muridnya.
Semua keterangan yang didapat Raden Sulaiman dari Sabrina membuat dia mengurungkan
pukulan
atas diri musuh yang sudah
jelas baginya sampai pada keesokan malamnya supaya ia dapat mengadakan persiapan
yang lebih
baik.
Pada keesokan harinya Erwin sudah mengetahui dari Ki Ampuh bahwa penentuan nasib
akan jatuh
pada malam itu.
�Tetapi aku punya satu permintaan Erwin dan kuharap kau mengabulkannya. Dari jauh
aku datang
untuk menyampaikan
permintaan ini,� kata Ki Ampuh. Erwin terharu sekali mendengar apa yang dipinta Ki
Ampuh, dan ia
menyetujui setelah mengatakan bahwa rencananya itu dihadang risiko yang cukup besar
dan
berbahaya.
Sama halnya dengan apa yang pernah diucapkan oleh Datuk,
maka Ki Ampuh pun berkata, bahwa kalau ada yang harus tewas, baiklah dia yang
tewas, karena dia
hanya seorang manusia kutukan, sementara kelanjutan hidup Erwin masih akan banyak
gunanya bagi
orang-orang yang membutuhkan pertolongannya.
Pada petang hari Sabrina sendiri datang ke tempat Erwin yang oleh Kapten Kahar dan
Ibunya telah
diminta untuk tinggal kembali bersama mereka menjelang keberangkatan. Dalam
kunjungan itu
Sabrina mengenakan pakaian nasional, sehelai baju Kebaya yang harmonis dengan kain
panjangnya ha
sil batik tulis dari Jogya dengan sanggul yang terletak santai di atas kuduk.
Pada saat bertemu kembali itu, kenangan indah yang pernah ada membuat Erwin serta
merta
terpesona, la tak kuasa menahan pujian, �Kau cantik sekali Sab. Lebih cantik dari
biasa!� Wanita itu
tersenyum, senang, walaupun ia pernah sangat membenci.
Erwin merasa malu, ketika Sabrina menjawab, �Bagaimanapun aku tetap si Sabrina yang
malang.
Bang Erwin. Yang benar-benar beruntung adalah Abang. Kudengar digilai oleh beberapa
wanita di
daerah Palembang ini, termasuk seorang yang keturunan
Tionghoa.�
�Entahlah Sab, aku tak tahu apakah itu suatu keberuntungan.
Yang jelas aku seperti orang buruan!�
�Risiko lelaki yang digilai banyak wanita,� kata Sabrina.
Mereka menceritakan pengalaman masing-masing. Diatur
rencana untuk malam itu tetapi memerlukan bantuan Kapten Polisi Kahar Nasution.
Sesuai mufakat. Pak Mayor diundang makan malam di rumah
Kahar.
Semacam syukuran atas kesembuhan Dinar.
Tatkala Erwin memperkenalkan Sabrina kepada Kahar dan
adiknya, mereka pun sangat memuji kecakepan Sabrina, walaupun tidak diucapkan
dengan kata-kata.
Dinar yang menaruh hati pada Erwin langsung saja menganggap pendatang ini tentu
saingannya.
Jauh-jauh dari Jawa ke Lubuklinggau sekedar mencari seorang Erwin.
0odwo0
Sebelum memenuhi undangan makan. Mayor Polisi Buang
terlebih dulu mengatur rencana kerja dengan Raden Sulaiman, la juga mengatur siasat
dengan
mempergunakan sejumlah anggota Polisi. Mengepung rumah Kahar kembali guna bertindak
kalau
perlu.
Si harimau akan datang ke situ dan bila tampak harus segera ditangkap hidup. Hanya
ditembak kalau
ia memberi perlawanan, itu pun jangan tembak mati. Tidak diceritakannya tentang
Raden Sulaiman
yang akan bekerja dari rumahnya pada saat yang sama.
0odwo0
TIGAPULUH
MAYOR Polisi Buang memasuki rumah Kapten Kahar Nasution
dengan wajah ceria, seolah-olah bukan dia yang belum lama berselang menaruh
kecurigaan besar atas
rekan yang setingkat di bawah pangkatnya itu. Sang Kapten juga menyambutnya dengan
gembira,
walaupun ia bertanya pada dirinya apakah yang
menyebabkan Pak Mayor ini jadi begitu senang.
Sebagai basa basi Kahar langsung saja berkata, �Saya senang melihat Pak Mayor
sangat girang. Tentu
ada sebabnya. Tetapi aku tidak bertanya, kalau hal itu merupakan rahasia!�
�Tidak ada rahasia apa-apa. Hidup kan memang diselang-seling oleh tawa dan air
mata,� sahut Pak
Mayor.
�Filsafat hidup yang baik sekali, kalau air mata bisa merubah keadaan yang
menyebabkan deraiannya.
Mayor Polisi Buang tidak menanggapi, walaupun di dalam hati ia mengakui kebenaran
kata-kata
Kahar.
�Aku berharap malam ini kita akan bebas dari misteri yang belum berjawab itu.�
�Apakah itu suatu misteri Pak Mayor?� tanya Kahar.
�Bagiku, ya. Tetapi malam ini akan kita pecahkan. Sang pembunuh akan kita tangkap
atau binasakan!�
�Harimau yang berjalan atas dua kaki itu?�
�Atas dua dan empat kaki,� kata Mayor Buang menyempurnakan.
�Sudah dapat cara menangkap atau membunuhnya?�
�Tentu saja. Di dunia ini tidak ada manusia yang begitu pandainya, sehingga tidak
ada lagi orang lain
yang mengatasinya.
Dan orang yang mengalahkannya itu pasti masih dapat pula
dikalahkan oleh orang lain. Jadi, di dunia tidak ada yang tak terkalahkan!�
�Lagi sebuah pandangan dan pegangan yang amat tinggi nilainya.�
Pak Mayor senang mendengar sanjungan Kapten Polisi Kahar. Dia pun merasa dirinya
pandai dan
hebat.
�Rupanya pembunuh Pak Maribun itu pengembara yang sudah berkelana sampai ke Jawa.�
�Dari mana Pak Mayor ketahui?�
�Itu masih rahasia. Orang benar selalu akan menang.�
�Kadang-kadang,� kata Kapten Kahar melemahkan pendapat atasannya.
�Mengapa kadang-kadang?�
�Ada orang yang merasa dirinya benar, tetapi sebenarnya tidak benar. Ada orang yang
memang benar,
tetapi dia kalah juga.
Banyak pepatah indah sudah tidak berlaku lagi sekarang!�
�Mengapa begitu?� tanya Mayor Polisi Buang yang yakin bahwa pada malam itu ia pasti
akan
menang.
�Karena pepatah-pepatah itu buatan orang zaman dulu, yang dalam banyak hal lain
dari kita yang
hidup di zaman ini. Kita umpamanya, kita penegak kebenaran. Coba kita bicara jujur.
Apakah selalu yang benar keluar sebagai yang menang? Apakah bukan yang kuat yang
selalu keluar
sebagai pemenang? Coba jawab dengan jujur, berdasar kenyataan di sekitar kita.
Tanpa mendustai diri
sendiri karena seperti sudah membudaya, bahwa dalam banyak hal, dusta, tipu, curi
dan rampok bukan
apa-apa!�
Mayor Polisi Buang memandangi bawahannya yang diakui telah berkata benar. Banyak
sekali
peristiwa yang bukan hanya
menyentuh, tetapi bahkan menerjang perasaan keadilan dan
kebenaran.
Meskipun percakapan mengenai kebenaran dan keadilan yang
belum kunjung tegak itu sangat menarik, tetapi Pak Mayor tidak lupa, bahwa dia ada
pekerjaan yang
jauh lebih bermakna daripada sekedar ngomong-ngomong mengenai hal yang masih
merupakan
mimpi belaka, la ingin sekali mengetahui, dengan cara yang manakah harimau itu akan
tertangkap
atau terbunuh. Melalui Raden Sulaiman atau oleh anak buahnya yang melakukan
pengepungan dengan
senjata api.
Ketika tak kurang dari Dinar sendiri yang kemudian keluar mengatakan bahwa santap
sederhana telah
tersedia, mereka mulai makan. Jangan dikira bahwa hanya Mayor Polisi Buang yang
makan
dengan pikiran bercabang! Kapten Kahar sendiri pun tertanya-tanya apakah gerangan
yang sedang
terjadi dengan Erwin. Lalu dengan Sabrina yang cantik itu. Kapten yang cukup
ganteng dan belum
punya istri itu tertarik oleh pertemuan pertama. Dan wanita cakep dari Sungai Penuh
itu bukan pula
hanya dikhayalkan oleh seorang Kapten Polisi, tetapi juga oleh Pak Mayor yang
ditinggal mati istrinya
beberapa tahun yang lalu tanpa anak. la tadi melihat sesuatu yang lain pada wajah
wanita, suatu
kelainan menyenangkan yang jarang tersua pada wajah wanita lain. Atau barangkali
sama sekali tidak
ada pada wanita lain mana pun. Kalau dia berjasa menangkap Erwin yang menurut
Sabrina telah
membinasakan ayahnya, dia akan punya peluang yang besar sekali untuk disenangi oleh
Sabrina.
Wanita itu tentu sakit hati pada Erwin yang diketahuinya telah menjahili ayahnya
tetapi tidak dapat
dilaporkan kepada Polisi karena caranya membunuh tidak meninggalkan bukti. Tetapi
kalau harimau
piaraan Erwin dapat ditangkap lalu kekuatan sihir Raden Sulaiman dapat memaksa dia
untuk berkata
benar, maka dukun muda yang pandai bersandiwara itu tentu terpaksa mengakui bahwa
harimau itu
memang miliknya dan bahwa harimau piaraannya pulalah yang telah membunuh Maribun.
Semua akan berjalan lancar kalau di dunia ini ada satu kekuatan hendak menangkap
atau
membinasakan pihak lain, lalu pihak yang akan dilumpuhkan itu pun pasrah saja pada
nasib. Tetapi
yang jadi kenyataan sama sekali tidak begitu. Pihak yang akan ditangkap atau
ditewaskan juga
mempersiapkan diri untuk mengelak atau bahkan melawan.
Mendadak terdengar suara harimau mengaum. Mayor Polisi
Buang tersentak seperti disengat kalajengking. Suara itu sangat dekat. Kapten
Polisi Kahar tak
meneruskan suap yang sedang menuju mulut, la memandang sang Mayor yang juga sedang
melihat ke arah dirinya. Mayor mengangguk ditiru oleh Kapten.
Kedua-duanya menggerakkan bibir dengan gaya yang sama.
Tandanya berpikir sama dan dibahasakan melalui pandang dan gerak bibir. Tanpa kata.
Dinar dan
Ibunya memandang kedua laki-laki itu tanpa memberi komentar.
Kemudian mereka meneruskan makan. Tidak selezat semula.
Terutama bagi Mayor Polisi Buang. Harimau itu begitu dekat. Tak kan salah lagi,
tentu inilah
binatangnya yang menyerang dan membunuh Maribun. Yang meletakkan mayatnya di
hadapan pagar
pekarangan Buang, agaknya si Erwin yang sangat pandai
bersandiwara itu. Tetapi siapa pun yang punya harimau dan siapa-siapa pula yang
ikut bersekongkol,
semuanya pasti akan digulung oleh Raden Sulaiman. Tak kan ada yang melebihi Raden
Sulaiman di
kota Lubuklinggau, begitu pikirnya.
Mayor Polisi Buang telah berpesan kepada anak buahnya yang melakukan pengepungan
agar benarbenar
pasang mata. Jangan sampai kedatangan atau keberadaan harimau piaraan itu tidak
kelihatan.
Dia pun menjanjikan hadiah lumayan kepada mereka kalau harimau itu sampai
tertangkap. Penduduk
pasti senang dan memuji polisinya yang memang punya tugas untuk keamanan dan
ketertiban. Kini
keberhasilan itu jadi kian mutlak, sebab ada faktor lain yang harus dipenuhi.
Tuntutan Sabrina dan
tertariknya Pak Mayor Polisi Buang kepadanya.
Sekali lagi harimau itu mengaum. Lebih kuat dari tadi dan terdengar lebih dekat.
Kini jantung Buang
agak berdebar. Ada sesuatu yang mengganggu keyakinan dan kegirangannya, la melihat
ke sekeliling
dengan gaya seperti tidak sengaja dan tidak ada kaitan dengan auman harimau itu. la
memuji
keindahan gambar-gambar penghias dinding. Kalau harimau itu benar-benar sangat
dekat dan punya
ilmu perabun seperti diceritakan Erwin, maka itu tentu tidak kelihatan. Perasaannya
kian tidak enak
oleh khayalannya sendiri.
Kalau sang harimau sebenarnya sudah duduk di belakangnya, kemudian mencekik dia
sebagaimana ia
mencekik Maribun, maka ia akan tewas di meja makan itu. Hii, betapa buruk dan
ngerinya.
Disiksa oleh pikirannya sendiri, Mayor Polisi Buang tidak menambah nasi, walaupun
semula semua
lauk sangat enak, sesuai benar dengan tuntutan lidahnya. Kini semua jadi tidak
sedap lagi. Dari
teramat enak ke sama sekali tidak enak, hanya dipisahkan oleh khayalan seseorang.
Dalam hal begitu,
betapa jahatnya berkhayal.
Celakanya, kalau hati sudah takut, maka khayalan yang menakutkan
pun tak dapat ditolak.
�Sedikit sekali makannya Pak,� kata Kapten Polisi Kahar. �Kurang enak masakannya?�
�Oh tidak, tidak,� buru-buru Buang menjawab, �semuanya sangat enak. Habis dari sini
nanti, masih
ada satu undangan yang perlu dipenuhi. Supaya jangan mereka sampai berpikir bahwa
saya sombong.
Untuk itu saya mesti menyediakan tempat sedikjt,� kata Buang dengan tawa yang
kentara sangat
dipaksakan. Tetapi
lumayanlah. Masih dapat dia berdalih. Kalau lidah seakan beku sehingga tak dapat
berkata lagi, itu
baru betul-betul parah.
Raden Sulaiman yang hendak memperlihatkan, bahwa tiada
manusia melebihi ilmu sihirnya di Lubuklinggau dan merasa wajib membalaskan
kematian muridnya
Maribun, mengerahkan seluruh kepandaiannya. Patung-patung dari kayu dan batu yang
mewakili
dewa-dewa yang turut jadi sumber kekuatannya dimandikan dengan air tujuh macam
bunga dan tujuh
warna benang. Asap kemenyan putih yang pernah ditanam tujuh kali tujuh malam di
bumi
pekuburan non Islam menggantung di dalam ruangan kerjanya yang tidak terlalu besar.
Dengan penuh
hormat dan khidmat ia
menyembah patung-patung yang dipertuannya itu, mohon kekuatan yang dapat
mengalahkan segala
kekuatan yang mungkin dimiliki oleh seorang anak manusia.
Selesai melakukan upacara sembah. Raden Sulaiman
menghadapi sebuah boneka dari kain-kain perca buatan sendiri, sangat sederhana.
Baginya boneka ini
tak lain dari orang yang akan jadi sasarannya. Erwin, si pendatang yang tak tahu
diri dengan membawa
harimaunya, la tak dapat dikenakan hukuman karena tak dapat dibuktikan bahwa ia
melanggar hukum.
Selesai menghadapi boneka kain yang dipegangnya dengan
kedua belah tangan di hadapan mukanya, ia meludahi sang boneka lalu melemparkannya
ke atas untuk
kemudian jatuh kembali di atas tikar tempatnya bekerja.
Kalau kita melihat Erwin di kamarnya, akan tampak bahwa ia
mengaduh lalu mengerang-ngerang di lantai. Badannya sama sekali tidak terangkat,
tetapi ia merasa
seperti dibanting dengan seluruh kekuatan. Kira-kira seperti dibanting gajah yang
murka atas
penduduk, karena hutannya dibabati sehingga ia tak punya
makanan lagi.
Datuk yang duduk di luar kamar karena tidak dibenarkan masuk, kalau Erwin sedang
bekerja, tidak
mengetahui apa yang sedang terjadi atas diri sahabatnya yang manusia harimau itu,
tetapi seakan-akan
tanpa sebab, pikirannya jadi kacau. Seolah-olah terjadi sesuatu atas diri
sahabatnya.
Erwin yang sudah tahu dengan siapa ia berhadapan,
mengeluarkan segenap kepandaiannya, tetapi tak urung ia merasa seperti sedang
dicambuk dengan
cemeti, la merasa sangat sakit, padahal ia punya ilmu untuk tidak merasakan sakit
walaupun dipukul
beramai-ramai. Erwin tahu bahwa lawannya sedang
mencambuk dirinya dan ia tak kuat melawan akibat dari cambukan itu. Dan
sebenarnyalah Erwin tidak
keliru. Tatkala ia merasa dirinya di-cemeti. Raden Sulaiman memang sedang melecut
boneka
kainnya dengan tujuh batang lidi daun aren (enau) yang diikat menjadi satu. la
sudah siap untuk
menenggelamkan boneka itu ke dalam ember berisi air cabai, ketika ia mendadak
terkejut karena
mendengar dengkur keras yang dikenalnya sebagai dengkur babi.
Ketika Raden Sulaiman menoleh, memanglah ia melihat seekor babi hutan dengan
taring-taring
panjang, menandakan ia sudah sangat dewasa. Karena kedatangan seekor babi ke dalam
kamarnya
yang tertutup sama sekali diluar dugaan atau khayalan ia mengetahui, bahwa lawannya
yang
barangkali sedang sekarat telah mengirim babi hutan piaraannya. Bangsat busuk itu
rupanya bukan
hanya memelihara harimau tetapi juga celeng hutan yang terkenal ganas.
Para peladang yang terbiasa pulang lewat senja, lebih mungkin akan diserang oleh
babi hutan daripada
diterkam oleh harimau. Walaupun di mana ada babi hutan boleh dipastikan ada
harimau, karena babi
sangat disenangi oleh nenek belang untuk jadi santapannya.
�Pergi kau jahanam,� bentak Raden Sulaiman sambil membaca-baca doanya yang biasanya
sangat
ampuh.
�Anda bukan Tuan-rumah yang baik. Aku baru tiba sudah diusir.
Tak menghargai tamu!� kata Ki Ampuh dengan nada kelakar.
Mendengar babi bicara. Raden Sulaiman segera mengerti, bahwa yang punya sangat
tinggi dalam ilmu
atau babi ini binatang siluman yang setelah selesai dengan maksudnya akan menjadi
manusia kembali.
Dan Raden Sulaiman bertekad untuk merubah babi ini jadi tikus yang tak punya daya
apa pun.
�Jangan, sia-sia maksud Anda mau menikuskan aku!� ujar Ki Ampuh.
�Siapa majikanmu?� tanya Raden Sulaiman. �Si bangsat Erwin itu?�
�Anda terlalu sombong penyihir. Mula-mula mengusir aku, kemudian hendak membuat aku
jadi tikus
dan barusan kau
menganggap aku sebagai budak seseorang!�
Melihat kepandaian si pendatang aneh yang tak diundang dan sangat tidak disukainya
itu, Raden
Sulaiman berusaha menahan diri.
Yang begini lebih baik dilemahlembuti daripada dihina dengan kata-kata kasar.
�Bagaimana kalau kita bersahabat, sebab tak ada sebab bagi kita untuk bermusuhan.
Bertemu pun kita
baru sekali ini. Anda dari mana? Tinggal di sekitar sini juga?� tanya Raden
Sulaiman.
Ki Ampuh mengecilkan matanya yang memang sudah kecil itu
untuk mengejek Raden Sulaiman yang diketahuinya sedang
menjalankan muslihat.
�Siapa bilang tidak ada urusan di antara kita. Memusuhi Erwin sama artinya
menantang aku. Karena
dia saudaraku,� kata Ki Ampuh, la bangga mengucapkan kata-kata itu, karena Erwin
punya nama dan
wibawa.
�Aku mengusulkan persahabatan. Tetapi walaupun begitu tentu terserah kepadamu.�
�Aku senang dengan kalimat Anda itu. Kita sudah tak mungkin bersahabat. Aku datang
untuk
bertarung denganmu Raden. Kuharap dapat mene-waskanmu yang tak berguna bagi
masyarakat.�
0odwo0
TIGAPULUH SATU
BERBEDA dengan Maribun yang muridnya. Raden Sulaiman
mempunyai ilmu untuk menghadapi harimau, yang belum
diturunkannya kepada Maribun. Oleh tenaganya inilah maka Erwin merasa dirinya
seperti dibantingbanting,
ketika penyihir kawakan itu membanting boneka kain yang telah diludahinya. Dengan
peludahan ia menanggalkan ilmu Erwin. Pembantingan dihentikan karena kedatangan
babi hutan yang
diluar dugaannya. Jiwa Raden Sulaiman tergetar, karena baru kali ini ia menghadapi
babi yang
tampaknya bertekad untuk bertanding dengan dirinya. �Engkau Raden Sulaiman,�
katanya kepada
dirinya, �takkan engkau akan sudi digertak atau ditundukkan oleh seekor siluman
hina yang babi ini.
Kalau hanya babi biasa, dengan memandanginya saja ia akan memperoleh kemenangan. Si
babi takkan
mampu menghadapinya.
Tetapi yang ini pasti bukan babi biasa, la tahu semua maksud dan apa yang sedang
dikerjakan oleh
sang penyihir yang tak mau diajak berkompromi itu. Belum pernah menghadapi babi
siluman tidak
berarti ia pasti kalah, tetapi bagaimanapun ia tidak dapat meramalkan kesudahan
dari suatu
pertempuran.
�Mana rantai keramatmu?� tanya Raden Sulaiman, karena ia tahu bahwa kekuatan babi
siluman
biasanya terletak pada rantai yang selalu dibawanya ke mana-mana. Tanpa rantai,
seekor babi hutan
yang bukan babi biasa tidak akan mempunyai tenaga gaib.
�Tertinggal di rumah,� sahut Ki Ampuh. �Tetapi baiklah kukatakan terus terang,
bahwa aku tidak
memerlukannya. Aku tidak
mengandalkan rantai yang hanya benda mati, kawan. Aku mau mem-binasakanmu dalam
suatu
perkelahian yang spor-tip. Sama-sama bertangan kosong. Aku sekarang mengharapkan
hujan dan
kita bertarung di pekarangan rumahmu, supaya meninggalkan bekas yang akan jadi
pembicaraan
masyarakat selama berhari-hari. Kau usahakanlah membunuh aku, supaya bangkaiku
tergeletak di
lumpur, difoto oleh para reporter yang ada di sini. Aku tahu kau kebal senjata
tajam dan peluru Raden.
Aku tak tahu apakah kau juga kebal terhadap taring-taringku!�
Raden Sulaiman geram mendengar kesombongan sang babi,
tetapi disamping itu ia juga agak lega. Kesombongan bicara biasanya hanya
dilontarkan mereka yang
tak seberapa ilmunya.
Kira-kira si penantang ini pun semacam itulah. Hanya besar mulut!
Pemilik ilmu tinggi biasanya merendahkan diri.
�Siapa namamu binatang haram!� tanya Raden Sulaiman.
�Ki Ampuh, Raden. Bisa berjalan di atas air,� katanya menyombongkan diri. Padahal
ia berjalan di
atas air karena kebolehan Datuk nan Kuniang ketika ia bersama Dja Lubuk dan Erwin
dulu dibawa
merantau ke Sumatera. Bagi pembaca yang telah mengikuti kisah Ki Ampuh dengan
berbagai
petualangannya,
keangkuhan makhluk berilmu ini bukan hal yang baru.
Kesombongan itu telah berkali-kali harus ditebusnya dengan kekalahan, tetapi dasar
dia memang tebal
muka, sifat buruknya tidak pernah hilang dari dirinya, walaupun dia telah berubah
jadi binatang
berderajat sangat hina setelah dimakan oleh sumpahnya sendiri.
�Dari siapa Anda mengetahui namaku?� tanya Raden Sulaiman.
�Nama penyihir terkenal sampai ke Jawa. Lagi pula aku tidak akan mendatangi
seseorang sebelum aku
melakukan penyelidikan tentang dirinya. Dan aku tidak akan melangkahkan kaki ke
mari, kalau Anda
tidak berniat mau menjahili sahabat yang sudah menjadi saudaraku itu!�
Hati Raden Sulaiman yang semula senang sekali karena
dikatakan terkenal sampai ke Jawa, kemudian jengkel lagi
mendengar keangkuhan Ki Ampuh yang senang menunjukkan
kehebatannya.
Tanpa disangka oleh Raden Sulaiman, cuaca yang tadi begitu bagus telah berubah
dengan runtuhnya
hujan yang berangsur-angsur jadi lebat. Apakah karena Ki Ampuh mengharapkannya,
pikir Raden
Sulaiman. Timbul kekaguman di dalam hatinya. Barangkali babi ini memang punya
kekuatan luar
biasa gaib yang dapat membuat hujan, la tahu akan adanya orang-orang pandai yang
mampu
mendatangkan dan menghentikan hujan.
�Anda hebat, pandai memanggil hujan,� kata Raden Sulaiman.
�Ya begitulah. Hanya ilmu kecil,� kata Ki Ampuh, tanpa malu-malu, walaupun dia tahu
bahwa hujan
itu bukan turun karena ilmunya. Raden Sulaiman heran juga mendengar Ki Ampuh pandai
juga
merendahkan diri dengan mengatakan, bahwa ilmunya itu hanya kepandaian kecil saya.
Dia lebih
heran ketika babi itu berkata,
�Aku tahu Raden pu nya kepandaian yang jauh di atasku. Hujan itu turun karena Anda
tidak
membendung ilmuku. Kalau Anda pasang penangkal ilmuku yang hanya secuil itu pasti
hujan itu tak
kan turun. Babi ini menyindir, atau betul-betul menyangka bahwa Ki Ampuh sanggup
menggagalkan
ilmunya kalau ia mau.
Bagaimanapun ada juga perasaan enak sedikit.
�Bagaimana, kita turun sekarang. Supaya Anda lekas
membinasakan aku, atau aku yang menewaskan Raden. Sama-sama keluar hidup dalam
keadaan lukaluka
takkan mungkin. Apalagi di Lubuklinggau yang amat kecil ini. Sudah tentu tidak
cukup ruangan
untuk kita berdua,� ajak Ki Ampuh.
�Sayang, salah satu di antara kita harus tewas. Padahal kita mempunyai kelebihan
dari makhluk lain,�
kata Raden Sulaiman.
�Hendaknya Andalah yang menang, sebab Anda manusia yang dapat bergaul dengan sesama
manusia.
Dapat menikmati hidup.
Sedangkan aku, hanya babi yang tak kan bisa bermasyarakat dengan manusia. Sayang,
kalau Anda tak
dapat membunuhku,
karena aku akan terpaksa menamatkan riwayat Anda, demi
sahabatku si manusia harimau. Anda harus melihatnya waktu dia mengharimau.
Raden Sulaiman bertanya, apakah dia berjalan atas dua kaki tatkala menjadi harimau?
�Berapa banyak
harimau yang dikuasainya?� tanyanya.
�Dia sendiri sudah manusia harimau. Semua harimau di rimba takluk di bawah
kekuasaannya. Dia
dapat memanggil mereka dan memerintahkan apa saja. Dia lah manusia yang harimau,
yang raja dari
seluruh harimau.� Ki Ampuh senang menghebat kan diri sahabatnya itu.
�Aku ingin bertemu dengannya ketika ia meng harimau!�
�Aku kuatir, sudah tidak ada tempo Anda untuk itu,� kata Ki Ampuh sambil tertawa
mengejek. Babi
siluman ini mempunyai multi-sifat, pikir Raden Sulaiman. Angkuh, sinis, tahu diri,
takbur tetapi juga
punya kesetiaan besar terhadap kawan.
0odwo0
Ketika hujan turun. Mayor Polisi Buang menjadi gugup, la
teringat kepada Maribun yang pergi dari rumahnya dalam keadaan hujan bersama
seorang manusia
dan satu makhluk berkaki dua, kaki harimau. Erwin tidak turut hadir makan bersama
mereka. Pada
hari syukuran begitu sepantasnya Erwin turut hadir. Bukankah dia yang telah
mengobati dan
menyembuhkan Dinar. Oleh hal itu Mayor Buang yang menaruh curiga kian besar
terhadap diri Erwin
bertanya pada dirinya, apakah di waktu hujan ini ia ke rumah Raden Sulaiman dan
melakukan apa
yang mungkin dilakukannya pada malam hujan serupa ini terhadap diri Maribun.
Tak kuat menahan keinginan tahu. Mayor itu bertanya, ke mana Erwin, mengapa tidak
diajak serta.
Oleh Kahar diterangkan, bahwa ia memang sengaja tidak mengajaknya dalam pemanjatan
doa
syukur itu, karena hendak membuka kesempatan kepada atasannya itu dalam menjalankan
usahanya
menangkap pembunuh Maribun.
�Apakah aku boleh bertemu dengannya, kalau ia ada di rumah sekarang?� tanya Mayor
Buang. Kapten
Polisi Kahar terkejut tak menyangka akan dapat permintaan seperti itu. Tetapi dia
menyatakan bahwa Erwin tentu akan senang sekali bila merasa
diperhatikan oleh seorang berpangkat seperti Pak Mayor.
Kahar segera pergi ke kamar Erwin yang terletak di luar
bangunan utama. Yang demikian atas permintaannya sendiri.
Menolak tinggal di sebuah kamar yang letaknya di sebelah kamar tidur Erwin yang
tersedia untuk
tamu-tamu yang masih keluarga atau tamu yang dihormati.
Melihat Datuk duduk di sebuah kursi di luar kamar. Kahar
menduga dengan benar, bahwa orang kelihatan kampungan tetapi berilmu tinggi itu
sedang
mengerjakan sesuatu.
Datuk menceritakan, bahwa tadi ia mendengar suatu suara agak kuat, tidak tahu suara
apa, tetapi
kemudian keadaan terus senyap, la meminta agar Kahar mengetuk pintu, karena ia
curiga. Erwin tentu
sedang bertarung dengan lawannya. Bagaimanapun kuatnya seseorang kita tidak dapat
memastikan
bahwa ia menang, karena selalu saja ada seseorang yang kemudian ternyata mempunyai
kelebihan.
Kalau tidak dalam semua, maka di dalam satu atau dua hal. Dan kelebihan yang
sedikit itu justru yang
kadang-kadang tidak bisa dihadapi oleh seseorang yang punya banyak ilmu. Dalam
dunia ilmu gaib
dan mistik tidak ada juara. Mungkin ada dukun atau penyihir yang terkenal sebagai
yang paling hebat
di kampungnya atau di daerah yang terbatas. Tetapi pasti tidak dapat dikatakan
begitu, kalau sudah
meliputi sebuah kawasan luas. Kabupaten, Propinsi apalagi sebuah pulau besar atau
negara.
Kapten Kahar mengetuk pintu pelan-pelan, karena dia punya kekhawatiran seperti yang
dirasakan
Datuk. Tidak ada sahutan Kapten Kahar mengetuk lagi pelan-pelan yang disambut oleh
suara lemah
dari dalam. Setelah menyebutkan nama, Erwin memintanya supaya masuk. Lampu yang
terpasang
terang, membuat Kahar
segera melihat Erwin sedang terbujur di lantai. Datuk ikut masuk.
�Mengapa?� tanya Kahar.
�Aku dibantingnya,� kata Erwin meringis. �Hebat guru Pak Maribun itu. Tetapi tidak
apa. Malah baik
bagiku.� Erwin tersenyum, mengaku kalah tetapi tidak ada rasa takut pada wajahnya.
�Siapa yang membanting?� tanya Datuk. Erwin menjawab, lawannya.
�Apa yang dapat kulakukan?� tanya Datuk yang ingin berbuat sesuatu bagi sahabatnya.
�Tenang-tenang dan kita lihat perkembangan. Ada Pak Mayor ya Pak Kapten?� tanya
Erwin. Perwira
itu menyampaikan keinginan sang Mayor Polisi, tetapi juga mengatakan bahwa
bagaimana mungkin,
karena Erwin pun kelihatannya agak sakit. Tetapi Kahar juga yang kemudian
mengatakan, bahwa ia
akan mengajak Pak Mayor ke kamar Erwin, kalau disetujui. Erwin mengatakan, bahwa
itulah yang
terbaik. Kapten Kahar dan Datuk tidak mengerti mengapa Erwin mengatakan, bahwa
itulah yang
terbaik.
Pak Mayor senang mendengar Erwin sakit. Suatu kemenangan, pikirnya. Memang tepat,
la juga
senang, karena akan bisa melihat keadaan lingkungan Erwin. Apakah di sana ada
pemandangan dan
keadaan yang lain, yang aneh, yang menyeramkan.
Kamar Erwin biasa saja. la sengaja tidak naik ke ranjang, walaupun ia sudah mampu.
Rasa sakitnya
sudah hilang, sebab Raden Sulaiman tidak meneruskan tembakannya setelah Ki Ampuh
berada di
sampingnya.
�O, Pak Mayor. Terima kasih atas kedatangan Bapak!� kata Erwin ramah, tetapi tidak
menyembunyikan sisa sakit yang masih
dirasakannya.
�Sakit apa?� tanya Pak Mayor, la ingin dengar jawaban dukun yang banyak tahu
tentang harimau itu.
�Kena banting!� jawab Erwin. Senang tetapi juga perasaan aneh menyergap sang Mayor.
�Banting bagaimana, siapa yang banting. Ada penjahat masuk?�
�Tidak Pak Mayor. Dibanting orang pandai itu. Guru Pak Maribun, yang mungkin punya
sangkaan atas
diri saya.� Mendengar jawaban polos tetapi juga memperlihatkan bahwa Erwin
mengetahui banyak
tentang apa yang tidak diduga Mayor Buang, Perwira yang sedang
mengatur pengepungan di seputar rumah Erwin, terdiam. Dia terperanjat dan merasa
mukanya pucat,
ketika Erwin bertanya, apakah Mayor Buang sedang melakukan pengepungan atas rumah
Kapten
Kahar untuk menangkap si harimau, la sengaja
menyebutkan �rumah Kapten Kahar� untuk menimbulkan reaksi yang lebih baik atas diri
orang itu.
�Saudara Erwin mau menolong?� tanya Mayor Polisi Buang.
�Menolong bagaimana, badan saya masih sakit-sakit oleh bantingan Raden Sulaiman.�
Kapten Kahar
sesekali mengerling ke arah Buang untuk melihat bagaimana sikapnya. Sesekali mata
mereka
bertemu, sehingga Mayor Polisi Buang merasa kurang enak.
Tetapi ia coba menyembunyikan dengan pernyataan ingin kenal lebih dekat dan kalau
boleh belajar
dari Erwin. Dikatakannya, bahwa ilmu itu pada waktu-waktu tertentu mungkin perlu
bagi seorang
Perwira Polisi. Sekurang-kurangnya tidak ada ruginya, kata Mayor Polisi Buang.
Dengan ngomong-ngomong itu. Mayor Polisi Buang dan Kapten Kahar jadi lumayan lama
di kamar
Erwin. Pikiran sang Mayor tidak seluruhnya tertumpah pada masalah Erwin yang sudah
dipukul
hingga terkapar oleh Raden Sulaiman, la ingin tahu apakah harimau piaraan Erwin
masih juga mampu
mendatangi atau bertarung
dengan Raden Sulaiman setelah majikannya tidak berdaya. Kalau Erwin yang jadi
harimau, maka
sudah pasti tidak bisa keluar. Dia ada di depan Buang.
Oleh perkiraan inilah, maka Mayor Polisi Buang terkejut tidak kepalang tanggung,
ketika ia
mendengar beberapa letusan yang keluar dari senapan anak buahnya. Jika begitu
harimau itu toh ada.
Matikah dia?
�Apa itu?� tanya Pak Mayor yang agak bingung.
�Anak buah Bapak barangkali. Bukankah mereka diperintahkan mengintai dan menangkap
sang
harimau?� kata Erwin lemah.
Sesakit itu dia, masih juga mampu menyindir seorang Perwira Menengah Polisi.
Mulai bertanya Mayor Polisi itu kepada dirinya, apakah mungkin Erwin sama sekali
tidak terlibat.
Dan bahwa dia sebenarnya tidak punya pertahanan hebat, sehingga dapat dibanting
dari jauh oleh
Raden Sulaiman. Lalu yang menghitam dan kemudian
memerahdarahkan air dalam mangkuk Raden Sulaiman siapa?
Mayor Polisi itu bangkit, karena tahu bahwa anak buahnya tentu akan melapor, la
sangat ingin tahu,
tewaskah harimau itu?
0odwo0
TIGAPULUH DUA
SEORANG Pembantu Letnan yang mengepalai regu itu sudah
berada di luar pintu rumah Kapten Kahar. Melihat Komandannya datang, ia yang
bernama Mat Amin
memberi hormat, siap melapor.
Tetapi baru saja ia memulai. Pak Mayor sudah lebih dulu bertanya, apakah harimau
itu tertangkap
mati hanya luka-luka ataukah sempat melarikan diri.
Dia juga berkata, �Kalau ia lari, katakan saja lebih dulu, jangan belakangan baru
dikatakan, bahwa
harimau itu melarikan diri.�
�Bagaimana!� kata Mayor Polisi itu setengah bertanya setengah menghardik.
�Tidak ada harimau yang lari. Pak!� kata Mat Amin.
�Bagus. Jadi tertangkap. Hidup atau mati!�
�Rupanya Pembantu Letnan itu jadi gugup, terdengar dari kalimatnya yang terbata-
bata, �Tidak ada
harimau. Pak!�
Tampak jelas muka Pak Mayor memerah dan hampir gemetar dia berkata, �Tidak ada
harimau?
Jadi apa yang kalian tembak? Hanya maling?�
�Bukan Pak. Babi!� kata Mat Amin.
Pak Mayor tak percaya pada pendengarannya dan dengan suara
berang ia berkata, �Babi! Babi?�
�Iya, Pak,� sahut Mat Amin menegaskan.
�Kapten dengar itu,� katanya kepada Kapten Kahar seperti orang cari teman untuk
memihak pendapat
dan pendiriannya. �Mereka menembak babi.� Dan kepada Mat Amin dia berkata, �Mata
kalian sudah
buta. Mana ada babi di dalam kota ini. Babi mak mu!� Dia naik pitam merasa seperti
anak buahnya
tidak becus. Ataukah mereka sepakat mempermainkan dia. Mungkin! Hari hujan lebat,
dia senangsenang
makan di dalam rumah, anak buah berhujan-hujan menantikan harimau yang mendebarkan
jantung, tetapi tidak pernah muncul.
Setelah agak hening dan Mayor itu belum juga menyuruh Mat Amin berkata �Maaf, Pak.
Yang kami
lihat dan tembak itu benar-benar babi. Kelihatan badannya besar dan taringnya
panjang. Babi hutan,
jelas babi hutan. Barangkali juga babi berantai!�
�Kapten percaya itu?� tanyanya kepada sang Kapten.
�Kalau kemarin ada harimau membunuh Pak Maribun, menurut hemat saya babi juga
mungkin masuk
kemari. Jangan-jangan
harimau kemarin mengejar babi besar itu, tetapi karena tak bersua maka dia
mengambil Pak Maribun
sebagai gantinya!� kata-kata Kahar tak enak didengar. Jangan-jangan dia ini pun
mengejek dirinya.
Mayor Polisi itu coba menurunkan kadar panasnya. Katanya,
�Babi itu pasti mati, kalau betul kalian menembak babi?�
�Menembak babi itu jelas. Pak, tetapi ia lari!�
�Babi saja pun tidak dapat kalian robohkan!� Mat Amin diam.
�Barangkali babi siluman,� kata Mat Amin.
Dalam pada itu Erwin sudah datang menyertai mereka, ingin tahu apa atau siapa yang
ditembak dan
bagaimana nasib korban. Setelah diketahui bahwa yang ditembak para polisi itu babi
hutan besar
tetapi tidak sampai tewas, jelaslah bahwa yang pegang peran utama
itu tak lain daripada Ki Ampuh yang menggalangkan nyawanya untuk keselamatan Erwin.
�Barangkah orang pandai itu melepas babi hutannya. Untuk memberi tahu kepada yang
berkepentingan bahwa dia bukan hanya memiliki harimau. Barangkali dia juga
mempunyai gajah
suruhan yang dapat diperintahnya untuk merobohkan beberapa rumah untuk menimbulkan
kepanikan
lebih besar di kota ini.� Cerita tentang gajah itu jadi menarik hati Mayor Polisi
Buang, karena
beberapa hari yang lalu memang kelihatan serombongan gajah termasuk tiga ekor anak,
menyeberang
jalan. Daerah luar Lubuklinggau terus ke Jambi dan Bengkulu memang terkenal sebagai
tempat
pemukiman gajah dan harimau. Sebelum ada penebangan kayu secara serampangan, mereka
tentram
di sana. Gangguan terhadap penduduk jarang terdengar. Sekarang sudah lain. Dibanyak
tempat dalam
kawasan Sumatera Selatan sampai ke Lampung gajah dan harimau banyak yang marah
karena tempat
mereka telah digusur oleh manusia-manusia yang mereka ketahui punya otak, tetapi
sekarang tidak
lagi selalu baik mempergunakannya karena sudah terlalu dirajai oleh nafsu loba dan
tamak yang pada
beberapa banyak orang sudah tidak lagi mengenal batas. Walaupun mereka sangat tahu,
bahwa yang
mereka bawa pada waktu mati hanya lima meter kain putih dan beberapa keping papan
untuk
dibenamkan ke dalam lubang yang bagi si kaya dan miskin sama saja, sekitar satu
kali dua meter.
Perbedaan hanya terletak pada cara penguburan, ramainya yang mengantarkan untuk
kemudian pulang
ke rumah masing-masing.
Tidak dapat mengawani atau membantu si mati yang akan
menerima siksa kubur. Orang ber-Tuhan tahu ini, tetapi kita pun sudah tidak berani
menaksir berapa
persen lagi orang yang benar-benar ber-Tuhan Yang Maha Esa. Dalam praktek, dalam
amalan!
Kalau sekedar ngomong sih gampang, semua juga ngaku berke-Tuhan-an Yang Maha Esa.
Setelah memerintahkan para pengepung untuk kembali ke
Markas, Mayor Polisi itu bertanya kepada Kapten Kahar apakah ia tidak ingin
berkenalan dengan
orang yang kata Erwin tadi telah membantingnya. Kapten itu sangat menerima baik
ajakan itu,
karena dia juga ingin mendengar suara dan kata-kata orang sangat hebat itu. Kalau
seorang pandai
dapat membanting musuhnya dari jauh yang hasilnya sama saja kalau dia membanting
secara yang
biasa, tentunya orang itu hebat sekali.
Hujan hanya tinggal gerimis. Kedua Perwira itu berangkat
menuju rumah Raden Sulaiman dengan menumpang jeep yang
digunakan Pak Mayor.
�Hebat sekali kawan Pak Mayor itu,� kata Kapten Kahar.
�Mengapa Erwin tadi tidak diajak, supaya minta damai dengan orang yang sudah terang
punya
kepandaian jauh di atas dirinya?�
�Betul juga, aku tadi tidak ingat.�
Setelah dekat dengan rumah Raden Sulaiman, terdengar suara tangis seperti meratap.
Tangis khas
terhadap orang kesayangan yang mendahului, meninggal. Di depan rumah ada beberapa
orang
memandangi sesuatu yang belum jelas.
Jantung Mayor Buang berdebar. Siapa yang dapat kecelakaan?
Tak mungkin Raden Sulaiman. Mungkin anaknya atau salah seorang anggota keluarga
yang lain.
Tetapi setelah turun dari jeep dan mendekati orang-orang itu jelaslah, bahwa yang
mati bukan lain
daripada Raden Sulaiman.
Mayatnya belum diangkat atas nasihat beberapa orang agar
diperiksa oleh Polisi lebih dulu. Kejadian ini mirip dengan apa yang telah menimpa
diri Maribun.
Bedanya hanya yang memangsa. Kalau Maribun dibunuh harimau dengan cekikan, maka
yang gurunya
ini ditewaskan dengan serudukan taring. Jelas benar kelihatan. Ada beberapa luka
yang sampai
mengoyak dagingnya. Di paha, di perut, di rusuk. Juga di dada. Rupanya mereka
bergelut. Yang paling
aneh adalah tusukan taring pada lehernya. Kuku harimau yang
menyebabkan kematian Maribun. Sekarang tampaknya taring yang membawa maut bagi
Raden
Sulaiman. Melihat jejak-jejak yang kelihatan jelas di tanah yang becek itu, lawan
Raden Sulaiman
adalah seekor babi hutan. Kalau bertaring sekuat dan sepanjang itu pastilah babi
hutan yang sangat
besar. Semua ini sedikit pun tidak
diduga oleh Mayor Polisi Buang. Dia hanya memperhitungkan harimau, entah harimau
apa. Bisa
harimau liar, bisa harimau piaraan, bisa juga harimau manusia atau manusia harimau.
Mengapa jadi babi yang menewaskan Raden Sulaiman.
la juga malu kepada dirinya sendiri, karena ia tadi tidak percaya kepada laporan
Pembantu Letnan
Polisi Mat Amin. Dia malah menghardiknya sebagai orang yang tidak punya mata.
Karena Polisi memang sudah dipanggil, maka tak lama kemudian mereka datang. Melihat
Mayor
Polisi Buang sudah ada di sana.
Begitu pula Kapten Kahar, la sendirilah yang yakin, bahwa Erwin tidak terlepas dari
kejadian ini.
Tetapi dari manakah datangnya babi itu? Apakah piaraan Erwin pula? Yang turun
langsung ke
lapangan untuk menyelamatkan majikannya yang dibanting dari jauh oleh orang pintar
itu?
�Sangat ajaib. Kapten. Selama saya jadi Polisi belum pernah mengalami yang begini.
Membaca cerita
begini pun saya tidak pernah. Andaikata ada buku yang berkisah begini saya tidak
akan percaya.
Sekarang saya sendiri mengalami. Rupanya segala macam mungkin saja terjadi diatas
dunia ini.
�Memang begitu. Mayor,� kata Kapten Kahar. �Bukankah IA Maha Kuasa dapat
menciptakan atau
melakukan apa saja dengan
kekuatan yang tiada terbatas. Sebetulnya saya sangat ingin tahu, dari manakah atau
milik siapakah
babi ini. Mengapa bukan harimau ajaib itu yang menghadapinya.
�Mungkinkah sahabat Kapten itu? Di belakang rupanya yang tidak meyakinkan apa-apa,
tersembunyi
berbagai ilmu yang kita tidak mengerti. Dalam tiga hari ini kita sudah melihat dua
kejadian yang amat
mengherankan. Apakah antara kedua kejadian ini ada kaitan?�
�Saya tidak membela. Tetapi saya rasa Erwin tidak mungkin.
Bukankah kita lihat dia di rumah dan dia sendiri mengakui, bahwa dia telah
dibanting oleh Raden
Sulaiman?� kata Kahar.
�Aku tidak menuduh dia, tetapi apakah tidak mungkin semua ceritanya tentang
dibanting itu hanya
suatu muslihat tinggi dari
orang sangat lihay!� kata Mayor Polisi Buang.
�Yah, bisa jadi. Apa pendapat Pak Mayor tentang jejak-jejak babi dan babi hutan
besar yang
dilaporkan oleh para pengepung yang dipimpin Mat Amin?� Buang diam. Kemudian
mengatakan juga,
tidak punya pendapat apa-apa tentang itu.
Setelah diperiksa di tempat kejadian, mayat .Raden Sulaiman dikirim ke rumah sakit.
Guna diperiksa
secara ilmiah, benarkah dia diseruduk babi hutan.
Pada keesokan paginya ada orang melihat kuburuan yang
dibongkar. Kebetulan kuburan Maribun yang baru beberapa malam di dalam perut bumi
dari mana dia
semula berasal. Masyarakat pun gemparlah. Termasuk Erwin dan Ki Ampuh, karena
mereka memang
benar-benar tidak tersangkut di dalam perbuatan ini. Untunglah bekas kaki di
sekitar tempat itu semua
telapak kaki manusia. Ada dua orang penggali. Mayat dikeluarkan. Ditinggalkan
berbaring di sana
dalam keadaan bugil. Kain pembungkus diambil. Rambutnya juga diambil, sehingga
mayat itu gundul.
Hampir semua mulut mengatakan, bahwa yang bongkar pasti orang-orang yang sedang
menuntut ilmu
dan kata putus harus dengan syarat rambut dan kain kafan mayat orang berilmu yang
masih baru.
Mungkin pembongkaran itu terjadi pada waktu Raden Sulaiman bertarung dengan Ki
Ampuh, yang
ternyata tak dapat
ditewaskannya. Sesuai dengan janji, maka Raden Sulaimanlah yang binasa. Keluarga
Raden Sulaiman
geger dan bingung setelah mengetahui makam Maribun dibongkar dan mayatnya
digunduli.
Mereka sangat khawatir. Raden Sulaiman akan menerima nasib yang sama, sebab yang
dibongkar para
penuntut ilmu hitam itu hanyalah kuburan orang-orang berkepandaian tinggi. Mayat
biasa ada juga
yang dibongkar. Hanya untuk ilmu pekasih. Tanpa
menyiksa mayat yang sudah dikubur pun orang dapat menuntut ilmu pekasih untuk
dikasihi oleh
hampir semua orang. Hanya orang yang mempunyai ilmu yang sama tak dapat
ditundukkannya.
Pada pagi itu juga Ki Ampuh mendatangi Erwin di kamarnya
tanpa dilihat oleh siapa pun. Untuk itu ia tidak usah khawatir ia tidak
akan tampak oleh mereka yang ingin dihindarinya.
�Kau hebat Ki Ampuh. Tanpa kau aku tentu sudah tiada, la punya kepintaran tinggi.�
Erwin lalu
menceritakan apa yang dialaminya pada malam yang lalu. Pada ujungnya ia bertanya di
mana Sabrina.
Ki Ampuh menggoda. Katanya Erwin masih cinta kepada Sabrina.
Dan Erwin tidak mengelak walaupun tidak mengiyakan. Ki Ampuh menceritakan, bahwa
menurut
Sabrina, Mayor Polisi Buang juga seperti ada perhatian lain terhadap dirinya.
�Apa kata Ina?� tanya Erwin.
Jawab Ki Ampuh,� Katanya Mayor itu ganteng juga. Semenjak ditinggalkan istri ia
menduda.� �Untuk
nanti dibunuhnya, kalau ia bosan atau benci!� kata Erwin.
�Lebih baik kau ambil dia. Kalian berdua pasti cocok,� kata Ki Ampuh yang
mengetahui cinta kasih
yang pernah ada di antara dua makhluk yang sama-sama punya harimau di dalam diri
mereka.
Erwin lalu bercerita tentang Mei Lan. Dia berjanji untuk kembali dan mengambilnya.
�Tetapi Sabrina kemari karena kau Erwin. la ingin kau selamat dan sudah mengatakan
bersedia tinggal
di kampung kecil saja meneruskan dan menamatkan hidup yang tidak seberapa panjang
ini.�
Erwin tidak memberi reaksi. Meskipun pada hari-hari pembuatan riwayat hidupnya di
Lubuklinggau
terjadi bencana-bencana yang menyangkut dirinya, pikirannya selalu dimasuki Mei
Lan. Kalau semula
ia hanya kasihan kepadanya, kini sudah tidak hanya itu saja lagi. la merasa adanya
alasan yang layak
untuk membahagiakan gadis itu dengan mengawininya. Memang rasa sayang itu tidak
mulus begitu
saja. la masih dihantui pula oleh tanda tanya, apakah benar ia dapat membahagiakan
anak bercampur
darah asing itu.
Apakah benar? Ataukah hanya kebahagiaan sementara untuk
kemudian di rusak oleh bencana yang tidak terbayangkan sekarang, tetapi selalu
menyelingi
hidupnya?
Lubuklinggau membawa lebih banyak bencana daripada kota-kota besar yang sudah
pernah
dikunjungi. Dijahili, dikepung dengan satu tujuan. Menangkap hidup atau menembak
mati dirinya. Dia
mengobat hati dengan adanya beberapa orang yang dengan izin Tuhan dapat
disembuhkannya.
la meninggalkan kota Lubuk petaka itu ke Palembang. Tidak seperjalanan dengan
Sabrina dan Ki
Ampuh, tetapi setujuan dan sesuai mufakat. Yang ditinggal antara lain dua keluarga
penyihir yang
berurai air mata dengan hati dendam, mayat sahabat
seperjalanan Sutan Mangkuto dan Dinar yang menanggung cinta tak bersambut.
la bertanya-tanya pada dirinya apa lagi yang menanti dirinya.
Apakah ia akan mati oleh kepungan?
0odwo0
TIGAPULUH TIGA
SEBAGIAN perjalanan ke Palembang ditempuh Erwin dan Datuk dengan jalan kaki. Bukan
karena
tiada biaya, tetapi untuk selalu mendekatkan diri dengan alam. Selama perjalanan
mereka makan di
warung-warung kecil. Beberapa kali bertemu dengan binatang rimba, tetapi tak ada
yang mengganggu.
Ada induk harimau yang menyeberang jalan dengan dua anaknya. Yang amat mengesankan
dan
menyenangkan adalah melihat persahabatan antar hewan. Dua ekor harimau dewasa jalan
seiring
dengan seekor gajah besar yang taringnya sedikitnya sudah satu meter panjangnya.
Ada gambargambar
di dalam buku memperlihatkan pertarungan antara gajah dengan harimau. Mati-matian.
Masing-masing punya senjata ampuh untuk menyerang dengan tujuan menewaskan
mangsanya. Tetapi
sepasang harimau dan gajah besar �mungkin gajah tunggal� ini jelas sangat
bersahabat dan akrab.
Mereka bukan sekedar berlainan suku. Mereka berlainan jenis, tetapi bermukim di
dalam satu
wawasan.
Persamaan tempat bisa juga membuat mereka bersahabat.
Tetapi persamaan tempat juga bisa membuat hewan saling
bermusuhan. Yang kuat selalu mengintai yang lemah, kalau si lemah merupakan makanan
bagi
penyambung hidup si kuat. Misalnya antara kijang, rusa atau babi dengan harimau.
Tidak akan pernah
bersahabat karena semua hewan makanan manusia itu juga
makanan harimau. Walaupun begitu jangan dikira bahwa
persahabatan antar mereka tak mungkin sama sekali. Ada anak harimau masih bayi yang
kehilangan
induk, dipelihara oleh rusa atau babi. Sampai dewasa si harimau bukan hanya tidak
akan menerkam
ibu angkatnya, tetapi akan selalu melindunginya. Dalam hal yang demikian harimau
yang anak angkat
rusa akan bertarung mati-matian dengan harimau lain yang hendak memangsa ibu atau
adik-adik
angkatnya. Mungkin tak masuk di akal Anda, tetapi begitulah kehidupan yang
sebenarnya di dalam
rimba.
Kalau Datuk bukan berjalan bersama Erwin yang tampaknya
disegani oleh hewan-hewan buas, ia pasti akan menggigil atau bahkan mati ketakutan.
Yang paling
mendebarkan hatinya ialah ketika berpapasan dengan harimau jantan besar yang sedang
keluar dari
belukar hendak menyeberang. Harimau besar tegap semacam inilah yang dengan mudah
memangsa
lembu. Kalau ia menerkam kerbau, ia masih akan mendapat perlawanan. Ada kemungkinan
si kerbau
akan tewas, karena urat besarnya diputuskan sang harimau tatkala dia menerkam dan
menggigit
tengkuknya. Harimau tahu betul di mana letak tempat yang paling vital pada tiap
mangsa yang
diserangnya. Dan dia selalu memutuskan urat itu sehingga darah mengalir deras dan
putuslah
hubungan antara otak dengan seluruh tubuhnya.
Harimau jantan itu berhenti, memandangi Erwin dan Datuk yang terus berjalan. Datuk
sudah dengan
kaki gemetaran. Tidak ada pandangan bersahabat. Tetapi Erwin berkata, �Aku anak Dja
Lubuk, cucu
Raja Tigor!�
Mendengar itu raja rimba itu berubah. Dari matanya terpancar sinar persahabatan.
Tetapi ia tetap
berdiri di sana, seolah-olah mempersilakan kedua manusia itu lewat dulu. Ini bukan
penyedap
cerita, walaupun barangkali sukar masuk akal Anda. Tetapi kalau Anda ingat dan coba
hayati, bahwa
di dalam diri Erwin ada unsur-unsur harimau dengan daya pikir manusia, kiranya
dapat Anda
maklumi, bahwa di antara mereka ada semacam hubungan batin, ada rasa kekeluargaan.
Penampilan
mereka jauh berlainan, tetapi hal itu tidak dapat menghilangkan adanya unsur yang
sama.
�Mendekatkan diri dengan alam banyak sekali faedahnya, Datuk.
Kita akan berpikir, berbuat dan berkeinginan sangat sederhana.
Sama halnya dengan harimau, gajah atau hewan lainnya di rimba ini. Orang yang jadi
manusia alam
tidak akan pernah punya nafsu berlebihan. Tetapi akalnya menuntut keadilan dan
tidak menyukai
adanya perkosaan atas hak-hak orang lain,� kata Erwin bertenang-tenang. Datuk
mendengarkan
dengan perasaan bahagia dan
berjanji pada dirinya akan mempraktekkan falsafah hidup seperti itu.
�Tentu saja sebagai manusia kita harus hidup bermasyarakat dan memberikan segala
yang mungkin
untuk kemajuan kehidupan
dunia. Kalau ummat manusia tidak punya nafsu buruk dan jauh dari sifat serakah,
maka ia akan
menjauhkan diri dari menyakiti sesamanya, tidak pandang suku, bahkan tidak pandang
bangsa.�
Indah untuk telinga. Tentu indah kalau dapat dilaksanakan.
�Tetapi yang begitu lebih baik dinamakan khayalan, sebab kalau dikatakan cita-cita,
maka ia
merupakan cita-cita yang tidak akan pernah terwujud,� sambung Erwin.
Ketika ia berkata demikian, dengan amat mengejutkan Datuk, di samping mereka telah
turut serta
seekor babi yang amat besar. Babi hutan liar yang bertaring panjang, la tak melihat
dari mana
datangnya hewan yang menakutkan ini.
Erwin pun heran, mengapa mendadak Ki Ampuh bergabung.
Semula berjanji akan bertemu di Palembang dan setelah Erwin selesai dengan niatnya
melamar Mei
Lan, mereka akan membuat rencana selanjutnya.
�Maafkan aku Er, aku gelisah. Ingin bersama kalian,� kata Ki Ampuh yang lalu
diperkenalkan Erwin
kepada Datuk.
Erwin tahu apa yang merisaukan hati Ki Ampuh. Orang yang
telah berubah jadi babi itu ingin ia memberi bantuan. Yang sudah berkali-kali
dipinta-nya tatkala di
Jawa, tetapi tak dapat dipenuhinya, karena ia tidak punya kekuatan atau ilmu untuk
itu.
�Aku berhutang nyawa kepadamu Ki Ampuh,� kata Erwin mengulangi rasa terima
kasihnya. Kepada
Datuk diceritakannya, bahwa kalau tidak oleh bantuan Ki Ampuh, ia tentu sudah
binasa dimakan
Raden Sulaiman.
Ki Ampuh juga menceritakan �karena kemarin belum
diceritakannya� bahwa Raden Sulaiman sebenarnya punya
kekuatan luar biasa oleh ilmunya yang sangat tinggi. Sebenarnya Raden itu sudah
menjadi satu dengan
ilmunya. Hanyalah suatu kebetulan saja, ia tidak mempunyai kekebalan terhadap
taring babi.
Begitulah sifat manusia yang bersandar kepada ilmu hitam semata-mata. Bagaimanapun
hebatnya,
pasti punya satu atau dua
kelemahan. Raden Sulaiman kebal hampir sempurna.
Jelaslah bahwa Raden Sulaiman dapat membinasakan Erwin
andaikata manusia harimau itu menghadapinya sebagaimana ia mendatangi Maribun
beberapa waktu
yang lalu. Penyihir itu punya ilmu yang jarang dimiliki orang pintar lain, melihat
dalam keadaan tidur.
Ada kepandaiannya yang tidak dimiliki Erwin. Dia sendiri pun tidak seperti Erwin,
sebab dia manusia
biasa, sementara Erwin bukan.
Untuk mempersingkat jalan dan menyatukan diri dengan rimba, Erwin mengajak Ki Ampuh
menempuh rimba raya. Datuk turut
karena tiada pilihan lain. Dihiburnya diri, bahwa melalui rimba mungkin ia akan
melihat lebih banyak
dan ia akan jadi manusia yang lebih tahan uji, kalau mereka keluar dengan selamat.
Bagaimanapun hebatnya Erwin dan Ki Ampuh, sudah jelas tidak dapat dipastikan, bahwa
tidak akan
mungkin ada bahaya
menghadang.
Sehari perjalanan tidak terjadi sesuatu yang luar biasa. Bertemu dengan beruang,
orang utan, harimau
dan gajah bukan lagi hal yang aneh, karena sebelum masuk hutan saja pun suaan
seiring
dengan hewan-hewan rimba itu. Tetapi pada hari kedua menjelang senja, Erwin dan
Datuk
menyaksikan apa yang belum pernah
mereka saksikan.
Semula mereka melihat seekor harimau besar mundar mandir di suatu tempat yang
terbuka, semacam
lapangan kecil. Bukan buatan manusia. Mungkin buatan alam ataukah buatan binatang
rimba untuk
keperluan mereka? Tidak biasanya harimau mundar mandir Apalagi di suatu tempat yang
seperti
disediakan. Binatang buas hanya mun-dar-mandir dalam kerangkeng, kesal karena tahu
bahwa dirinya
sudah terperangkap, sudah dikuasai manusia. Anda dapat melihatnya di kebun binatang
atau di
kandang-kandang harimau, singa, monyet-monyet ganas dan semacamnya yang dibawa oleh
sirkus.
Erwin menahan Datuk dan Ki Ampuh untuk melihat keanehan itu dari kejauhan saja
dulu. Rupanya si
harimau besar tidak menyadari kehadiran mereka. Ataukah dia mengetahui tetapi tidak
perduli, karena
tidak merasa punya urusan dengan mereka.
Mundar-mandir itu diselingi dengan duduk, kemudian bangkit lagi dan mundar-mandir
lagi. Seperti
ada yang dipikirkan atau
dinantikan. Yang dipikir tak terpecahkan atau yang ditunggu tak juga tiba. Menunggu
pacarnya?
Mungkin, sangat mungkin. Soal berpacaran bukan monopoli manusia. Ada hewan yang
berpacaran
dengan amat mengasyikan. Pandai bercumbu dalam menyatakan kasih sayang yang tidak
akan pernah
berakhir selama nyawa masih ada di dalam tubuh.
Pada suatu saat si raja rimba seperti memasang kuping.
Mendengar sesuatu. Yang dinantikannya mungkin. Dari pinggir lapangan kecil itu
keluar kepala
harimau. Berdiri seperti mengawasi atau melihat medan. Waspada. Yang ini juga
harimau jantan,
seperti yang sudah lebih dulu menanti di lapangan itu. Kini kedua raja itu saling
pandang. Yang baru
datang melangkah, pelan, seperti diatur. Setelah seluruh tubuhnya keluar dari
belukar, ia berhenti,
kemudian duduk.
Erwin dan Datuk, begitu pula Ki Ampuh semakin tegang. Apa
yang akan terjadi? Apa maksud kedua harimau itu? Segala sesuatu berlangsung seperti
mengikuti
ketentuan. Barangkali memang ada peraturan dan ketentuan di antara mereka.
Beberapa menit berlalu tanpa ada yang bergerak. Pun tidak ada yang mengaum. Apakah
mereka masih
menantikan kedatangan
yang lain? Apakah ini akan merupakan pertemuan keluarga ataukah pertemuan kelompok
yang �
kalau diibaratkan manusia� berlainan suku? Erwin semakin tertarik. Setelah menanti
agak lama,
belukar terkuak lagi dan seekor harimau lain langsung masuk lapangan.
Betina. Tidak ragu-ragu seperti harimau jantan yang kedua tadi.
Dari urutan kejadian, sebodoh-bodoh orang pun akan menarik kesimpulan, bahwa
kedatangan ketiga
harimau ini di sana bukan secara kebetulan. Cara dan gaya mereka itu tentu menurut
peraturan yang mereka mufakatkan dan setujui bersama.
Harimau betina kembali ke pinggir lapangan, duduk. Dua ekor yang jantan berdiri
pada jarak kira-kira
sepuluh meter. Mereka saling pandang, kemudian terjadilah peristiwa itu. Keduanya
bergerak saling
menerkam, kemudian seperti menjadi satu, gigit-menggigit dan cakar mencakar. Tambah
lama
pertarungan itu kian keras. Terdengar dengus dan geram mereka, sungguh sangat
mencekam. Tidak perlu disangsikan, bahwa mereka sedang duel, sama halnya dengan dua
manusia
berkelahi mati-matian.
Pertarungan itu mengerikan sekali.
Apa fungsi harimau betina itu di sana? Tidak mudah
memastikannya, tetapi jikalau hanya diduga maka orang akan menduga, bahwa mereka
bertarung
memperebutkan si harimau
betina. Kedua-duanya ingin memiliki. Tidak bisa kompromi untuk jadi kawan bersama.
Di antara
hewan pun berlaku cinta yang tidak dapat dibagi-bagi, kalau cinta itu mencapai
taraf �dia hanya
untukku�. Nyawa tantangannya kalau ada yang berani coba-coba.
Barangkali begitulah yang telah terjadi di antara ketiga harimau itu. Boleh jadi
yang betina tidak dapat
menentukan pilihan. Dia sayang kepada kedua-duanya, sementara dia tidak boleh untuk
kedua-duanya.
Maka diambillah jalan yang adil. Bertempur. Sang
putri untuk yang menang. Seperti yang banyak kita baca di dalam kisah-kisah
kerajaan masa lalu.
Untuk mendapatkan seorang wanita, seringkali anak bangsawan yang penguasa, para
peminat harus
membuktikan dirinya yang terkuat, tersakti.
Kedua raja telah sama-sama luka dan darah yang mengalir
membuat mereka tambah beringas. Kalau salah satu merasa kalah dan mau melarikan
diri, mungkin ia
tidak akan dikejar oleh yang menang. Ataukah akan terus diuber dan ditewaskan,
supaya ia jangan
merupakan ancaman bagi kehidupannya pada masa-masa seterusnya. Suatu jalan pikiran
yang benar.
Yang kalah pada hari itu mungkin akan menyiapkan diri untuk revanch. Kalau sudah
ditewaskan, selesai.
Tetapi pergumulan yang sangat menegangkan itu perlahan-lahan mengendur juga, sebab
kedua-duanya
kehilangan dan kehabisan tenaga.
Si macan betina menyaksikan tanpa berbuat apa-apa. Mungkin baginya tidak ada
pilihan lain daripada
menanti siapa yang menang, kalau memang dirinya jadi rebutan. Sebab, pertarungan
itu bisa juga oleh
sebab lain. Soal wilayah kekuasaan atau barangkali antar suku.
Pada suatu saat pertarungan maut itu berhenti. Walaupun tidak ada yang
menghentikan, tidak seperti
dua petinju atau pegulat di atas ring. Kedua harimau itu berhenti karena sudah
tidak punya tenaga lagi.
Hanya napas mereka yang kelihatan turun naik, yang kemudian juga terhenti. Tiada
lagi napas, karena
nyawa telah keluar dari tubuh mereka yang tadinya tegap kuat. Tiada yang menang.
Kedua-duanya kalah. Tewas.
Harimau betina itu bergerak perlahan-lahan, menciumi kedua raja yang telah mati.
Kemudian ia
berlalu dengan langkah gontai.
Walaupun begitu tidak dapat dipastikan apakah kedua raja rimba itu tewas
memperebutkan dia atau
ada sebab-sebab lain yang harus diselesaikan dengan duel gaya manusia itu.
Erwin, Datuk dan Ki Ampuh meneruskan perjalanan.
Beberapa hari kemudian baru tiba di kota Palembang. Ki Ampuh jalan bersama tanpa
terlihat oleh
siapa pun karena ia memakai ilmu perabun, yang juga dimiliki oleh sang manusia
harimau.
Setelah membersihkan diri dan mengenakan pakaian rapi, Erwin bersama Datuk
mengunjungi rumah
Mei Lan untuk menemui gadis itu, menyatakan penyesalan dan melangsungkan lamaran
resmi.
Tetapi rupanya ia terlambat. Mei Lan telah tiada. Meninggalkan dunia bersama
cintanya.
0odwo0
TIGAPULUH EMPAT
ERWIN kesal dan menyesal. Mengapa dia terlambat. Tidak sejak kembali dari
Mandailing dan Medan
melangsungkannya. Waktu itu Mei Lan yang cantik dan baik masih segar bugar.
Yang pertama-tama dikerjakan setelah mengetahui kematian Mei Lan adalah ziarah ke
makamnya. Di
sana manusia harimau itu menangis. Menyalahkan dirinya yang selalu menjauh dari
wanita yang cinta
kepadanya. Mei Lan merupakan salah seorang di
antaranya. Betapa kejam dia, pikirnya pada saat itu. la menangis setelah terlambat.
Air mata itu tidak
akan mengembalikan Mei Lan, tetapi agak meringankan rasa dosa yang menimpa seluruh
isi dadanya.
Dia bukan makhluk cengeng tetapi pada saat itu ia tidak kuasa menahan dan tidak
berusaha menahan.
Biarlah Mei Lan melihat bahwa ia yang selalu dipanggil dengan �Bang Erwin� merasa
sangat sedih
dan menyesal.
�Maafkan Abang, Mei,� katanya sambil memegang-megang makam gadis itu. Belum lama.
Baru lima
hari yang lalu.
Pada saat itu Sabrina telah berdiri di sampingnya. Rupanya ia mengikuti kegiatan si
manusia harimau.
Dipegangnya bahu Erwin.
�Relakanlah Er. la sudah mendapat ketenangan. Kalau kau benar-benar sayang
kepadanya tentu kau
mengharapkan yang baik
baginya. Yang baik itu sudah didapatnya. Yang belum tentu
diperolehnya, kalau ia masih hidup di dunia yang penuh kejahatan dan kezaliman
ini.�
�Aku salah satu yang zalim itu,� kata Erwin dan ia terisak-isak.
�Tidak, kau pun tahu bahwa kau baik hati. Kau takut tidak dapat memberi kebahagiaan
kepadanya.
Itulah sebabnya kau selalu menjauh dari mereka yang sebenarnya kau sayangi!� ujar
Sabrina.
Kata-kata itu agak meredakan Erwin.
�Aku telah menyelidiki Er! Mei Lan bukan mati wajar.�
Sabrina mengatakan yang benar. Kalau dulu ia pernah sakit hati karena buatan orang
kaya yang
ditampik cintanya, disembuhkan oleh Erwin, maka sekarang ia diterjang kejahilan
semacam itu lagi.
Juga oleh orang kaya yang hendak memetik, tetapi gagal. Sampai-sampai ia berkata
kepada ayah gadis
itu, �Apa maumu dan anakmu.
Aku dapat memberi semua. Semua, tanpa kecuali,� katanya mengulangi.
Karena pernah mengalami buatan orang, orang tua itu jadi takut, la berjanji akan
membujuk anaknya.
Dengan begitu setidak-tidaknya dia dapat mengulur waktu sampai Erwin datang. Kalau
orang yang
diingini Mei Lan sudah kembali, maka ia tidak akan khawatir lagi.
Sudah ada tempat mengadu dan berlindung. Tetapi apa yang
dikhawatirkannya terjadi juga. Mei Lan hanya sakit tiga hari, tewas.
Mengeluarkan jarum dan beling dalam darah segar yang
dimuntahkannya.
�Aku akan membalas untukmu Mei,� kata Erwin. �Walaupun aku harus berkubur di sini,�
tambahnya.
Dengan bantuan Sabrina tidak sulit mencari tahu siapakah yang telah membinasakan
gadis tak
bersalah itu. Ternyata seorang dukun wanita. Orang dari pesisir barat. Belum tua
benar. Baru
tigapuluhan.
Ibu dan neneknya pun dukun. Yang ibu masih ada. Masih praktek di kota itu juga.
Namanya bagus. Aini. Maknanya mata.
�Beri aku kesempatan,� pinta Sabrina.
Ki Ampuh yang hadir, menganjurkan kepada Erwin untuk
mengabulkan permintaan wanita yang keturunan harimau jadijadian dari Sungai Penuh
itu.
�Aku tak mau kau sampai mempertaruhkan nyawa, Sab,� kata Erwin. la akan menyesali
dirinya lagi,
kalau Sabrina menyusul Mei Lan dengan cara yang lain. Kalau Mei Lan jadi mangsa
buatan ilmu
jahat, maka Sabrina bisa jadi korban pertarungan dengan wanita iblis yang amat
pintar itu.
Dilihat sepintas, tidaklah masuk akal, bahwa Aini punya kekuatan yang luar biasa
melalui ilmu
pengobatan dan ilmu hitam, la yang sudah janda dengan seorang anak perempuan umur
lima tahun
diketahui punya hubungan erat sekali dengan seorang pejabat yang punya wewenang
lumayan besar.
Seorang duda dengan tiga anak.
Yang terkenal sebagai pejabat baik dan disegani oleh masyarakat.
la orang yang masih benar-benar ber-Tuhan Yang Maha Esa,
bukan ber-Tuhan kepada uang yang dianggap Maha Kuasa. Kata orang, sudah cukup
banyak orang
kaya yang ber-Tuhankan harta yang dipupuknya terus dengan berbagai cara tanpa
memikirkan segala
macam akibat dari perbuatannya. Terhadap lingkungan, terhadap bangsa dan negara.
Terparah, kalau
ia pejabat yang rakus, merusak wibawa Pemerintah yang sebenarnya sangat mutlak
dipelihara guna ketertiban dan kelancaran yang serba baik bagi bangsa pada umumnya.
Bukan bangsa
dalam arti kelompok yang amat kerdil.
Aini yang rupawan juga main gila dengan beberapa pemuda.
Sama pegangannya dengan Mbah Penasaran, wanita tak pernah tua di Banten itu, yang
harus selalu
bersenggama dengan orang muda, guna memperpanjang keadaan lahiriahnya. Selalu muda
dan cantik.
Yang amat diperlukan Aini hanya anak-anak muda. Tidak penting apakah mereka sudah
dapat
memberi kesenangan dalam perbuatan itu.
Setelah mendapat kata sepakat, Sabrina yang lebih muda dari Aini berkunjung ke
rumah dukun itu. la
menceritakan tentang seorang saudaranya yang sakit keras di Padang dan sudah tidak
terobati oleh dukun dan dokter mana pun. Setelah mendengar nama besar Aini maka ia
ke Palembang.
Perempuan muda yang ternyata sangat ramah itu mendengarkan dengan penuh perhatian
dan
wajahnya menunjukkan rasa simpati.
Aini menawarkan minuman dan makanan kecil kepada Sabrina
dan keduanya kelihatan menjadi akrab. Tetapi setelah Sabrina selesai dengan cerita
dan menjawab
semua pertanyaan Aini, wanita itu dengan lembut berkata, �Mestinya kita dapat jadi
sahabat. Aku
senang dengan Anda.�
�Itulah harapan saya,� kata Sabrina.
Dengan senyum Aini berkata, �Sayang maksud kedatangan Anda tidak sebersih itu.
Tidak ada
keluarga Anda yang sakit keras. Anda sedang mempelajari diriku untuk kepentingan
sahabat Anda
yang pernah Anda cintai. Tak tahu apakah terhadap dirinya harus dikatakan seorang
atau seekor
manusia harimau. Bukan hanya dia sendiri. Kalian bertiga, kalau yang seorang dari
Minang itu tidak
masuk hitungan. Nasihati si manusia harimau supaya meninggalkan kota ini. Yang
dicarinya sudah
tidak ada dan tidak akan ada. Aku tidak menyukai permusuhan, kecuali kalau
eksistensiku diancam,�
katanya. Ternyata ia seorang cukup terpelajar. Pandai
mempergunakan perkataan eksistensi. Kenyataan bahwa dia itu ada.
Sabrina terdiam. Dia bukan tidak memperhitungkan kepandaian semacam itu. Tetapi
mengapa tidak
sejak semula ia
memperlihatkan, bahwa ia tahu apa maksud kedatangan Sabrina. la begitu ramah. Tidak
kelihatan
dibuat-buat. Aktingnya sempurna.
Hanya pemain watak dapat melakukan sebaik itu.
Sabrina tidak bereaksi. Dia malu. Bagi sementara orang, malu lebih dari segala-
galanya. Orang
ekstrim akan berkata, lebih baik mati daripada malu.
�Saya tahu Anda malu, Sabrina. Tetapi dengan tulus kuminta supaya Anda buang malu
itu. Aku bisa
mengerti, kesetiaan
seseorang terhadap kawannya. Aku pun akan berbuat sama untuk
orang yang kucinta. Aku mencintai banyak orang Sabrina, yang satu cinta benar, yang
lainnya suatu
keharusan guna memelihara diri.
Anda mengerti? Aku minta bantuanmu, mengatakan kepadanya
supaya membuang jauh dendamnya itu. Waktu itu aku hanya
menjalankan tugas sebagai dukun. Tidak menyelidiki siapa yang akan dipasang. Anda
masih suka
mengisap darah bayi Sabrina?�
tanya Aini dengan suara bersahabat. Tiada nada menyindir atau mengejek.
�Anda tahu itu?�
�Itu makanya kutanyakan. Itu bukan keinginan hatimu Sabrina.
Jadi tak perlu merasa malu atau rendah diri. Itu dorongan nafsu yang menyimpang.
Mungkin juga
dorongan iblis yang kadangkala masuk ke dalam tubuh manusia. Kekuatan iblis itu
hebat. Bilamana
dia telah mendorong, seringkah manusia terjerumus. Memukul, mencuri, menipu,
membunuh. Anda
dengar? Membunuh. Semua
manusia normal tak kan mau membunuh. Sebab berat risikonya.
Yang membunuh itu bukan manusia Sabrina. Itu iblis, syaitan.
Tangan manusia yang digunakannya untuk melaksanakan. Dan si manusia yang bersalah
itulah yang
dihukum. Bukan si iblis. Dia sudah keluar lagi setelah maksudnya tercapai. Jahat
dan licik, bukan?�
kata Aini memberi kuliah.
Sabrina tak dapat lain daripada kagum atas kepintaran dan kecerdasan wanita itu.
Dan dia yang selalu
dapat menghadapi segala macam lawan, merasa ditundukkan. Dia ingin mengatakan,
bahwa
perempuan itulah yang selalu dirasuk iblis, tetapi mulutnya tak kuasa bicara.
Bagaikan dikunci.
�Pulanglah, katakan kepada si manusia harimau. Yang sudah terjadi, biarlah berlalu.
Apa yang
kukatakan itu semua benar, sama benarnya dengan apa yang Anda pikirkan sekarang.
Bahwa diriku
selalu dikuasai iblis. Aku tidak membantahnya.�
Sabrina tidak kuasa membantah. Perempuan itu hanya
mengatakan yang benar. Kemudian ia merasa haus. Bukan haus biasa, la ingin darah.
Sudah lama dia
tidak mendapat.
Bila kedatangan tuntutan nafsu semacam itu,, wajah Sabrina selalu berubah, tetapi
tidak terlihat, kalau
tidak benar-benar diperhatikan. Lain halnya dengan Aini, ia tidak memperhatikan,
tetapi langsung
tahu, bahwa Sabrina sedang mengalami proses haus yang tidak normal. Dan ia
mengatakan hal itu.
Berterung terang.
�Anda sedang kehausan. Di rumah ini ada seorang bayi, anak adikku. Jadi
kemenakanku. Anda tentu
tidak mengharapkan
darahnya dan juga tidak akan sampai hati mencoba-coba, karena kita bersahabat.
Bukankah begitu?�
kata Aini.
Sabrina bertambah malu, walaupun telah dikatakan oleh Aini, bahwa ia tidak perlu
merasa malu atau
rendah diri. la tetap tidak berkata apa-apa, tetapi dia terkejut ketika Aini
menyatakan akan
menolongnya dari tuntutan yang pasti akan kian memuncak itu.
�Akan kutolong buat sekali ini,� kata Aini. la permisi ke dalam sebentar dan tak
lama antaranya keluar
dengan membawa
pertolongannya. Dua butir lada putih, sebutir lada hitam dan jeruk nipis se-sayat.
�Telanlah lada ini,� kata Aini memberikan lada yang tiga butir.
Tanpa ragu-ragu, Sabrina menurut.
Lalu Aini memberikan jeruk nipis yang dimantrai nya sejenak.
�Untuk diisap-isap � ujarnya.
Sabrina heran. Serta merta rasa harus darah itu lenyap. Haus biasa saja pun tidak
lagi.
�Anda hebat sekali. Terima kasih,� ucap Sabrina. la mohon diri, benar-benar merasa
lega karena
terbebas dari tuntutan yang pasti akan meminta korban. Belum pernah Sabrina tidak
mendapatkan
darah, manakala nafsu jahat itu telah datang menerjang nerjang dirinya.
�Aku senang dapat bertemu dengan Anda. Baru sekali ini aku berkenalan sampai
bersahabat dengan
penyimpang nafsu secantik Anda. Selamat jalan. Pesankan kepadanya, supaya
meninggalkan
Palembang. Itulah yang terbaik bagi kita semua!�
Sabrina tidak berjanji apa-apa. la telah menemui kekalahan terbesar selama
hidupnya. Tak menyangka
ada wanita muda dan cantik dengan ilmu yang begitu luar biasa.
0odwo0
Mendengar kisah Sabrina, si manusia harimau yang tidak turut menyaksikan pun sangat
heran, tetapi
kenyataan itu tidak
membuatnya mengurungkan maksud untuk membalaskan dendam
atas kematian Mei Lan.
Karena sudah melihat sendiri kehebatan wanita yang dukun itu, dan tidak ingin
terjadi cidera atas diri
Erwin, maka Sabrina mengusulkan untuk menyambut sikap Aini yang bersahabat itu.
Tetapi Erwin tidak terbujuk. Dia ingat janjinya di makam Mei Lan, bahwa ia akan
membalas, wa
laupun karena itu ia harus mati di Palembang. Dan Ki Ampuh menyokong pendirian
Erwin. Harus
dibalas. Karena Erwin sudah berjanji kepada Mei Lan yang tentu mendengar, karena
yang mati
hanyalah jasadnya.
Peristiwa yang sangat menggemparkan itu tidak akan terjadi jikalau Erwin menuruti
nasihat Sabrina
sesuai dengan permintaan Aini. la memutuskan untuk mendatangi Aini dan mencabut
nyawa dukun
besar yang petualang seks itu di rumahnya sendiri. Benar di rumah sendiri,
sebagaimana ia telah
mendatangi Maribun di rumahnya dan kemudian menewaskannya, la akan melakukan yang
serupa,
karena orang sejahil Aini, walau bagaimanapun cantiknya, tidak punya hak untuk
dibiarkan hidup
lebih lama. Kelanjutan hidupnya hanya akan menambah jumlah manusia yang akan jadi
mangsanya.
Erwin memperkirakan juga, bahwa mungkin Aini mengetahui
segala maksudnya sebagaimana ia tahu apa maksudnya kedatangan Sabrina sebenarnya.
Pengetahuan
inilah yang lebih menguatkan Erwin dengan dorongan Ki Ampuh untuk adu kesaktian,
ketinggian ilmu
dan wibawa.
Erwin bukan hanya mengandalkan kepandaiannya yang tinggi, tetapi yakin bahwa wanita
itu akan
kaget oleh kedatangannya. Yang disangkanya akan meninggalkan Palembang guna
mencegah
bencana seperti yang dipesankannya melalui Sabrina.
Erwin dan Ki Ampuh bergerak pada petang hari. Datuk diminta untuk tidak turut,
tetapi ia tidak dapat
ditahan. Dia juga rela mati di Palembang, katanya.
Dan benar, Aini melihat kedatangan mereka, la minta kepada calon suaminya, orang
jujur yang
bernama Cek Kassim, agar mengatur penduduk sekitar untuk mengepung dan menangkap
atau
membinasakan para penjahat itu.
0odwo0
TIGAPULUH LIMA
KETIKA bergerak dari tempat mereka memondok, Erwin sudah
merasa tidak enak, seperti ada sesuatu yang akan menimpa. Sekali lagi Sabrina
menasihati supaya
membatalkan maksud itu. �Aku tidak akan pernah tentram kalau tidak membalas, Sab.
Gangguan itu
akan sangat menyiksa. Paling buruk pun, ya mati!� kata Erwin yang mempunyai tekad
bulat. Sabrina
setuju, bahwa orang harus tidak takut mati, tetapi sangat perlu dipikirkan, apakah
kematian akan lebih
baik daripada hidup? Bagi orang yang masih dapat berbuat kebaikan kalau ia masih
hidup. Apalagi
kalau ia masih sangat diperlukan oleh sesama manusia hidup. Erwin menerima pendapat
Sabrina,
tetapi tetap tidak mengurungkan maksudnya.
la berjalan berdua dengan Datuk. Sebagai orang biasa. Ki Ampuh turut bersama
mereka, tetapi tidak
memperlihatkan diri. Sabrina menanti di tempat mereka menyewa untuk beberapa malam.
Bila
pembalasan telah selesai mereka akan meninggalkan Palembang dan Erwin tidak punya
niat untuk
kembali ke sana. Teuku
Samalanga pun sudah tidak ada. Entah kapan ia akan bertemu lagi dengan orang pandai
dari Aceh
yang akhirnya dituduh sebagai pembunuh, tetapi telah diselamatkan Erwin ke Jambi.
Erwin merasa seperti diperhatikan banyak mata yang
bersembunyi tidak kelihatan, tetapi dirasakan mengepung dirinya.
Apakah yang tidak kelihatan, tetapi dirasakan mengepung dirinya.
Apakah yang hendak mereka lakukan? Tetapi baru saja ia selesai dengan pertanyaan
itu kepada
dirinya, datanglah perasaan yang senyampang disukai, tetapi kadang-kadang juga
sangat ditakuti.
Tetapi ia berjalan terus ke arah rumah Aini yang sudah kelihatan, la akan membuat
terkejut Aini,
karena bagaimanapun ia pasti belum pernah melihat manusia harimau dalam wujudnya
yang nyata.
Itulah pula yang diharapkan Aini untuk jadi alasan pengepungan dan penangkapan.
Dalam tempo sebentar saja, orang-orang yang tadinya tidak kelihatan itu,
bermunculan. Sebenarnya
mereka takut, tetapi karena banyak dan saling memberi semangat, mereka hadapi juga
makhluk yang
belum pernah mereka saksikan sepanjang umur. Anehnya harimau berkepala manusia itu
timbul
mendadak saja. Bukan kelihatan datang ke arah mereka. Ada yang sempat melihat,
bahwa tadinya
harimau ini manusia biasa yang berjalan dengan kawannya.
Tiba-tiba dia menjadi harimau.
Polisi yang diberitahu juga segera datang. Lebih dulu Hansip yang memelopori
pengepungan.
�Pergilah Datuk, sebelum terlambat!� kata Erwin.
�Tidak, aku mau turut menghadapi manusia-manusia jahat ini.�
�Mereka bukan jahat. Mereka takut dan ingin menyelamatkan diri.�
�Dengan jalan ini?� tanya Datuk. Ki Ampuh yang tidak kelihatan oleh para pengepung
mengatakan,
bahwa apa pun yang akan
terjadi harus dihadapi dengan sega\a konsekuensinya. Masih ditambahkannya, walaupun
keadaan
begitu gawat, mereka
hendaknya bisa ke luar hidup sebab dia masih ingin merasakan hidup sebagai manusia
kembali.
Pada saat itu juga Erwin berkata, bahwa ia akan membawa Ki Ampuh sekali lagi ke
negerinya, kalau
masih ada nyawa tersisa
untuk itu.
�Jadi ada kemungkinan, Er?� tanya Ki Ampuh.
�Kalau ke luar hidup, kita coba menghadap. Yang satu ini barangkali sanggup!� kata
Erwin.
�Kalau begitu, kita harus mengalahkan mereka,� kata Ki Ampuh bersemangat. Sementara
itu
kepungan tampak semakin rapat, meskipun masih tidak mungkin melakukan pertempuran
bersosoh
dalam jarak sangat dekat. Melihat para pengepung itu rata-rata bersenjata parang,
lembing dan
pentungan, sekali lagi Erwin meminta Datuk untuk menghindar. Dia tidak akan
diserang, karena hanya
dialah yang tampak sebagai manusia. Mereka akan
menganggap dia sebagai tameng si manusia harimau agar tidak diserang. Setelah
berdebat singkat dan
Erwin mengatakan, bahwa ia membutuhkan Datuk untuk masa mendatang, maka diaturlah
siasat
bagaimana Datuk menghindar tanpa dapat serangan. Dan siasat itu berhasil. Ketika si
manusia
harimau lengah. Datuk secara takut-takut melarikan diri. Nasib sangat baik baginya,
di antara para
pengepung ada yang meneriakkan �lekas, lekas� dan mereka memberi selamat kepadanya,
karena ia
bisa meloloskan diri.
Ketika pasukan Polisi datang, kelihatan mereka membawa
senjata cukup lengkap kalau sekedar menangkap atau membunuh satu manusia harimau.
Mereka itu
tentu tidak segan-segan
menembak, pikir Erwin dan Ki Ampuh. Bukan jarang terdengar berita tentang anggota
Polisi atau
orang bersenjata lainnya yang gatal tangan serta punya selera membunuh,
mempergunakan
senjatanya sampai menewaskan orang lain, yang seharusnya tidak sampai perlu. Ada
kalanya yang
roboh itu malah tidak punya dosa sama sekali. Tidak punya hubungan dengan penyebab
pencabutan
senjata api.
Setelah melihat Datuk selamat, Erwin merasa lebih leluasa. Satu kekhawatiran telah
tiada. Para
pengepung kian dekat. Aini yang jadi penyebab terjadinya bencana ini turut melihat,
bahkan mengatur
dari jarak yang agak jauh bersama kekasihnya Cek Kassim. Tetapi bukan hanya dia
wanita yang
berperan. Dari suatu rumah turut
menyaksikan dengan jantung berdebar Sabrina yang sangat
mengharapkan Erwin keluar dengan selamat. Betapa ia sangat mengharapkan Erwin
sebagai teman
hidup menjelang mati, karena itulah yang mestinya serasi dengan dia, karena kedua-
duanya mereka
mempunyai unsur harimau yang kuat. la menyuruh otaknya bekerja, bagaimana
mengendurkan dan
kalau bisa menghentikan pengepungan itu. la teringat pada bayi yang kemenakan Aini,
yang disebutsebut
dukun kawakan itu jangan diganggu, karena Sabrina juga tentu tidak sampai hati
melakukannya
terhadap orang yang sudah jadi sahabat, la ingat kata-kata Aini, tetapi dia juga
melihat kenyataan yang
dihadapi Erwin. Hatinya berperang.
Tiba-tiba terdengar suatu suara keras memberi komando. Untuk menyerbu. Tetapi tidak
ada yang
mematuhi. Hanya sejumlah
pengepung kian mendekat dengan hati-hati. Meskipun mereka banyak sedang yang
dihadapi hanya
satu. Mereka tidak mampu menduga bagaimana kekuatan dan perlawanan yang akan
dilancarkan si terkepung. Mereka hanya tahu satu kepastian, bahwa dalam keadaan
terjepit manusia
yang harimau atau harimau yang manusia itu akan melawan. Tidak akan ada menyerah
kalah saja.
Jadi, korban pasti jatuh atau berjatuhan, walaupun pada akhirnya makhluk itu
mungkin akan binasa di
sana.
Dan siapakah yang akan mati? Mereka bertanya pada diri.
Akukah barangkali? Ini tak dapat dijawab. Sudah bergantung pada nasib. Dan ini juga
yang membuat
kebanyakan dari mereka
bergerak ragu-ragu. Lebih suka di belakang. Tidak terlalu dekat.
Tetapi di samping mereka yang berhati-hati ini, tidak berani gegabah mengadu nyawa
yang benarbenar
cuma satu, ada juga yang nekad. Jumlah kecil ini menyerbu dan merekalah yang
pertama-tama bertarung dengan Erwin. Sudah tentu bagi Erwin tidak ada pilihan lain
daripada
merobohkan mereka. Hukum
mematikan atau dimatikan tidak dapat dielakkan. Dan perlawanan yang mereka terima,
di luar dugaan.
Manusia harimau itu memukul penyerangnya dengan kedua kaki depannya sambil
menancapkan kuku
ke dalam muka atau leher lawannya. Parang dan lembing yang dihantamkan ke tubuh
makhluk itu
ternyata tidak membuat dia luka.
Hanya menggeram dengan keras. Dan selalu saja orang yang
mematang atau melembing dia yang dihajar tanpa ampun. Dia tidak menggigit, jadi
berlainan dengan
harimau biasa, yang punya taring-taring kuat dan tajam Erwin tidak mempunyai itu.
Oleh serunya
pertarungan, beberapa banyak pengepung malah jadi penonton dari jarak yang lumayan
jauh. Itu lebih
aman. Tidak ada para penyerbu yang menghampiri Erwin bebas dari tamparan. Setelah
para
penyerbu yang tidak terlalu banyak itu roboh, ia punya waktu untuk merobek-robek
dada dan perut
mereka, membuat pengepung
lainnya tidak punya selera lagi untuk mendekat. Mereka tidak mau jantung dan hati
serta ususnya
diburaikan.
Tetapi seorang anggota Polisi yang cukup berani atau mungkin juga nekad mengajak
pengepung
menyerbu lagi. �Hayooo,�
teriaknya, �dia harus mati!� Dia pun lalu menyerbu diikuti oleh beberapa orang yang
jadi berani atau
malu oleh contoh yang diberikan sang Polisi.
Mungkin Polisi itu punya �simpanan serta pakaian� khusus, la menerjang Erwin yang
sedang
berhadapn dengan seorang
pemarang. Dia melompat ke udara menendang kepala Erwin
sehingga manusia harimau itu terjengkang. Dari jarak dua meter dilepaskannya
beberapa peluru dari
pistolnya. Semua mengenai tubuh si manusia harimau, tetapi tidak membuat dia
menjerit.
Hanya geramnya menunjukkan ia sangat marah, la bangkit lagi dan kini memusatkan
penyerangan
terhadap si Polisi yang hebat dan garang itu. Dua Polisi lain beserta dua anggota
Hansip jadi turut
menyerbu. Mungkin karena malu hati. Tetapi Hansip yang dua orang segera dibabat
oleh Erwin.
Senjata senapan panjang yang dipakai oleh seorang Polisi terlepas karena tangannya
dipukul dengan
keras oleh si manusia harimau. Polisi ini tidak sehebat Polisi pertama.
Rupanya Polisi pertama tadi memang benar punya ilmu silat tangguh, silat harimau.
Belakangan
ternyata dia pernah belajar silat harimau itu di Gunungtua, Padang Lawas, Tapanuli.
Namanya Radian,
marga Rangkuti.
�Menyerahlah,� kata Radian. Dia punya pengetahuan lumayan
tentang harimau, baik yang liar, piaraan, jadijadian maupun yang manusia harimau,
yang jumlahnya
sangat langka.
�Tak mungkin, dongan. Menyerah untuk mati tidak mungkin!�
jawab Erwin sambil menampar keras seorang penyerbu lain.
�Orang-orang yang bermatian ini tidak punya dosa,� kata Radian.
�Sama dengan aku. Aku juga tidak punya dosa. Tidak punya urusan dengan orang-orang
ini kalau
mereka tidak mau menangkap dan membunuhku. Apalagi Anda, yang kuyakin berasal dari
Tapanuli. Silatmu itu menunjukkan. Anda orang berani.�
Atas anjuran Cek Kassim yang menuruti keinginan Aini, beberapa orang lagi menyerbu.
Erwin,
bagaimana hebat dan berani pun mempertahankan nyawa, mulai kewalahan. Kini peranan
Ki Ampuh
baru tampak oleh para pengepung dan penonton. Sebenarnya sejak tadi sudah beberapa
orang jatuh dan
berteriak tanpa mendapat serangan si manusia harimau. Mereka diseruduk oleh Ki
Ampuh.
Dua orang di antara mereka tewas setelah jatuh dan terus saja ditusuk dengan
taring-taringnya yang
tajam dan berbisa.
Kini para pengepung terbelalak dan tahu, bahwa ada kawan si manusia harimau yang
tidak kelihatan.
Sudah delapan orang roboh, lima di antaranya tewas. Radian yang masih utuh dan
punya tenaga tidak
meneruskan penyerangan, mengherankan Polisi lainnya. Lebih mengherankan, si manusia
harimau
juga tidak lagi menaruh perhatian kepadanya. Pasti ada di antara para pengepung itu
yang berpikir
macam-macam.
Berkeluargakah mereka maka nya damai berdua?
Melihat Erwin sudah letih beberapa orang lagi maju. Ingin merobohkan si manusia
harimau. Tetapi
pada waktu itu pulalah Aini mendengar jerit dari rumahnya, la berlari ke rumah, ada
apa?
Ternyata bayi mungil yang anak adiknya telah tiada. Dan di atas bantalnya ada
secarik kertas. Hanya
mengatakan, bahwa bayi dikembalikan kalau penyerangan dihentikan segera. Kalau si
manusia
harimau tewas, maka bayi itu tidak akan kembali, tetapi akan selamat.
Kejam si Sabrina pengisap darah itu. Tetapi tidak terlalu kejam, karena tidak akan
membunuh sang
bayi yang tidak berdosa. Karena ia sudah menikmati kebaikan Aini yang menghilangkan
nafsu
jahatnya. Walaupun hanya untuk sekali itu saja.
Aini berlari kembali ke tempat Cek Kassim dan meminta
kepadanya supaya penyerangan dihentikan. Dan perintah segera dilaksanakan, walaupun
sudah tentu
menimbulkan tanda tanya bagi para pengepung.
Cek Kassim pandai memberi dalih. Si manusia harimau bukan hanya sendiri. Punya
kawan tidak
kelihatan yang tak kurang ganasnya dari dia. Mungkin jin, begitu pikir mereka.
Hari sudah senja. Para penyerang berhenti dan Erwin dengan kawannya yang tidak
kelihatan juga
berhenti, mengambil sikap menunggu.
�Pergilah,� kata Cek Kassim dengan suara keras supaya terdengar oleh Erwin.
�Rabunkanlah mata mereka terhadap dirimu,� kata Ki Ampuh dan Erwin segera memenuhi
nasihat ini.
la mendadak hilang dari pandangan para pengepung itu, meneruskan perjalanan melalui
orang banyak
tanpa dilihat oleh siapa pun. Tiba di rumah. Datuk dan Sabrina sedang menanti.
Erwin terkejut melihat
ada bayi digendong Sabrina. la bertanya, anak siapa. Kemudian ia
merebahkan diri. Dia tidak luka, tetapi letih. Letih sekali.
Pengeroyokan itu hampir menewaskan dirinya.
�Segala puji bagi Allah, kau selamat Erwin,� kata Datuk.
�Berkat bantuan Ki Ampuh. Sebenarnya dialah yang menaklukkan mereka!� kata Erwin.
Kini baru
diulanginya bertanya anak siapa yang digendong Sabrina.
Sabrina hanya menjawab, �Anak sahabatku!�
�Mengapa dititipkan padamu?�
�Aku senang anak,� sahut perempuan itu.
�Jangan yang bukan-bukan, Sab,� kata Erwin yang mengetahui., sifat dan nafsu
Sabrina. �Katakanlah
yang sebenarnya�
Setelah itu Sabrina mengatakan, bahwa anak itu hanya untuk sebentar padanya, nanti
diantarkan
kembali. Dan ia terpaksa menceritakan secara singkat apa yang telah dilakukannya,
tetapi sama sekali
tidak punya niat yang buruk, la khawatir sekali, Erwin ialah sangka. Tetapi Erwin
mempercayai
ceritanya
�Lekaslah antarkan,� pinta Erwin dan Ki Ampuh. Begitu pula Datuk.
�Aku cari dulu wanita yang mau membantu. Aku sendiri tidak mungkin ke rumahnya.
Malu, aku
malu!� kata Sabrina.
Wanita yang diperlukan segera didapat dan dengan upah
selayaknya pergi mengantarkan sang bayi. Ibunya menerima
dengan linangan air mata gembira, karena tadinya mereka
sekeluarga tidak yakin bahwa wanita jadijadian itu akan memenuhi janji. Aini
sendiri merasa senang,
karena kebaikannya telah dibalas oleh Sabrina. la menyesali dirinya yang telah
menyebabkan Erwin
dikepung dan diserang, yang akhirnya membuat lima orang tewas dan tiga orang luka
berat. Tetapi
kemudian ia memaafkan dirinya sendiri, karena ia merasa tidak diberi pilihan lain.
la sudah memberi
ingat melalui Sabrina, supaya tidak terjadi permusuhan.
Erwin khawatir akan terjadi lagi sergapan atas mereka. Maka diambil keputusan untuk
berangkat
malam itu juga. Menyelamatkan diri kalau tidak dikejar. Kematian sekian banyak
orang bisa
membangkitkan amarah yang tak mereka buru-buru berangkat.
TAMAT
Document Outline
Seri Manusia Harimau EBook: Dewi KZ
Sumber djvu : Syaugy_ar Hanaoki website

Anda mungkin juga menyukai