Anda di halaman 1dari 9

ANINDYA PUSPITA M

1102019020

5.1&5.4 TUBERKULOSIS PARU DI INDONESIA


Jumlah kasus baru TB di Indonesia sebanyak 420.994 kasus pada tahun 2017 (data per 17 Mei
2018). Berdasarkan jenis kelamin, jumlah kasus baru TBC tahun 2017 pada laki-laki 1,4 kali
lebih besar dibandingkan pada perempuan. Bahkan berdasarkan Survei Prevalensi Tuberkulosis
prevalensi pada laki-laki 3 kali lebih tinggi dibandingkan pada perempuan. Begitu juga yang
terjadi di negara-negara lain. Hal ini terjadi kemungkinan karena laki-laki lebih terpapar pada
fakto risiko TBC misalnya merokok dan kurangnya ketidakpatuhan minum obat. Survei ini
menemukan bahwa dari seluruh partisipan laki-laki yang merokok sebanyak 68,5% dan hanya
3,7% partisipan perempuan yang merokok.

Berdasarkan Survei Prevalensi Tuberkulosis tahun 2013-2014, prevalensi TBC dengan


konfirmasi bakteriologis di Indonesia sebesar 759 per 100.000 penduduk berumur 15 tahun ke
atas dan prevalensi TBC BTA positif sebesar 257 per 100.000 penduduk berumur 15 tahun ke
atas.

Berdasarkan survey Riskesdas 2013, semakin bertambah usia, prevalensinya semakin tinggi.
Kemungkinan terjadi re-aktivasi TBC dan durasi paparan TBC lebih lama dibandingkan
kelompok umur di bawahnya.

Sebaliknya, semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan (yang menggambarkan kemampuan sosial
ekonomi) semakin rendah prevalensi TBC seperti yang diperlihatkan pada gambar berikut ini.

Edukasi dan promosi kesehatan penyakit tuberkulosis paru (TB paru) dilakukan kepada pasien,
masyarakat dan keluarganya untuk mencegah penularan dan perkembangan penyakit.

5.2Upaya Pengendalian dan Penanggulangan TB


Rencana global penanggulangan TB didukung oleh 6 komponen oleh WHO (World Health
Organization), yaitu:

1. Mengejar peningkatan dan perluasan DOTS (Directly Observed Treatment, Short-course)


yang berkualitas tinggi
2. Menangani kasus ko-infeksi TB-HIV, kekebalan ganda terhadap obat anti TB dan
tantangan lainnya
3. Berkontribusi dalam penguatan sistem kesehatan
4. Menyamakan persepsi semua penyedia pelayanan
5. Memberdayakan pasien TB dan masyarakat
6. Mewujudkan dan mempromosikan penelitian

Strategi nasional pengendalian TB telah berjalan dengan petunjuk internasional WHO DOTS dan
strategi Stop TB sebelumnya. Kemudian program ini berlanjut dengan rencana global
penanggulangan ”End TB Strategy” di tahun 2020. Mengakhiri epidemik TB sebelum tahun
2030 adalah salah satu target kesehatan dari Sustainable Development Goals.

Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen yaitu komitmen pemerintah untuk mempertahankan
kontrol terhadap TB; deteksi kasus TB di antara orang-orang yang memiliki gejala-gejala melalui
pemeriksaan dahak; pengobatan teratur selama 6-8 bulan yang diawasi; persediaan obat TB yang
rutin dan tidak terputus; dan sistem laporan untuk monitoring dan evaluasi perkembangan
pengobatan dan program.

Strategi penanggulangan TB terus diperluas, termasuk pengelolaan kasus kekebalan obat anti
TB, TB terkait HIV, penguatan sistem kesehatan, keterlibatan seluruh penyedia layanan
kesehatan dan masyarakat, serta promosi penelitian. [1,2,14]

Upaya pencegahan dini

Imunisasi BCG dianjurkan diberikan pada bayi usia >2 bulan, sekitar 2-3 bulan. Booster tidak
dianjurkan. [27]

Upaya Edukasi dan Promosi Kesehatan pada Pasien dan Keluarganya


Program nasional yang berkolaborasi dengan donor organisasi internasional dalam upaya
pengendalian TB, juga memasukkan aspek edukasi dan promosi kesehatan kepada pasien,
keluarganya dan masyarakat. Profilaksis tuberkulosis, edukasi dan promosi kesehatan ini berupa
penerapan hidup sehat pada penderita TB dan keluarganya dalam ruang lingkup sehari-hari:

■ Mengupayakan posisi aliran udara ke kamar penderita TB tidak berhadapan dengan


posisi keberadaan seseorang
■ Mengupayakan ruangan masuk sinar matahari
■ Upayakan aliran udara yang masuk ruangan merupakan udara segar, berasal dari taman,
ruangan terbuka yang bebas polusi
■ Pisahkan ruang tidur untuk sementara waktu
■ Gunakan masker bila ingin bersama keluarga, untuk meminimalkan kemungkinan
tertularnya anggota keluarga lain
■ Bila ada anggota keluarga yang menderita batuk lebih dari 3 minggu, yang tidak sembuh
dengan pengobatan biasa, segera periksakan ke dokter
■ Edukasi dan promosikan pada pasien, keluarganya dan sebagai masyarakat secara
keseluruhan akan kepatuhan berobat, dan menerapkan pola hidup sehat [1,2]

Program Preventif Pemerintah:

Sejak 1995, program Pemberantasan Penyakit TBC di Indonesia mengalami perubahan


manajemen operasional, disesuaikan dengan strategi global yanng direkomendasikan oleh WHO.
Langkah ini dilakukan untuk menindaklanjutiIndonesia – WHO joint Evaluation dan National
Tuberkulosis Program in Indonesiapada April 1994. Dalam program ini, prioritas ditujukan pada
peningkatan mutu pelayanan dan penggunaan obat yang rasional untuk memutuskan rantai
penularan serta mencegah meluasnya resistensi kuman TBC di masyarakat. Program ini
dilakukan dengan cara mengawasi pasien dalam menelan obat setiap hari,terutama pada fase
awal pengobatan.

Strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-course) pertama kali diperkenalkan pada
tahun 1996 dan telah diimplementasikan secara meluas dalam sistem pelayanan kesehatan
masyarakat. Sampai dengan tahun 2001, 98% dari populasi penduduk dapat mengakses
pelayanan DOTS di puskesmas. Strategi ini diartikan sebagai "pengawasan langsung menelan
obat jangka pendek oleh pengawas pengobatan" setiap hari.

Indonesia adalah negara high burden, dan sedang memperluas strategi DOTS dengan cepat,
karenanya baseline drug susceptibility data (DST) akan menjadi alat pemantau dan indikator
program yang amat penting. Berdasarkan data dari beberapa wilayah, identifikasi dan
pengobatan TBC melalui Rumah Sakit mencapai 20-50% dari kasus BTA positif, dan lebih
banyak lagi untuk kasus BTA negatif. Jika tidak bekerja sama dengan Puskesmas, maka banyak
pasien yang didiagnosis oleh RS memiliki risiko tinggi dalam kegagalan pengobatan, dan
mungkin menimbulkan kekebalan obat.

Akibat kurang baiknya penanganan pengobatan penderita TBC dan lemahnya implementasi
strategi DOTS. Penderita yang mengidap BTA yang resisten terhadap OAT akan menyebarkan
infeksi TBC dengan kuman yang bersifat MDR(Multi-drugs Resistant). Untuk kasus MDR-TB
dibutuhkan obat lain selain obat standard pengobatan TBC yaitu obat fluorokuinolon seperti
siprofloksasin, ofloxacin, levofloxacin (hanya sangat disayangkan bahwa obat ini tidak
dianjurkan pada anak dalam masa pertumbuhan).

Dalam pencegahan penyakit TB paru dilakukan dengan cara sebagai berikut :

A. Cara pencegahan penularan penyakit TB adalah:

a. Mengobati pasien TB Paru BTA positif, sebagai sumber penularan hingga sembuh, untuk
memutuskan rantai penularan.

b. Menganjurkan kepada penderita untuk menutup hidung dan mulut bila batuk dan bersin.

c. Jika batuk berdahak, agar dahaknya ditampung dalam pot berisi lisol 5% atau dahaknya
ditimbun dengan tanah.

d. Tidak membuang dahak di lantai atau sembarang tempat.

e. Meningkatkan kondisi perumahan danlingkungan.

f. Penderita TB dianjurkan tidak satu kamar dengan keluarganya, terutama selama 2 bulan
pengobatan pertama.

B. Upaya untuk mencegah terjadinya penyakit TB:


a. Meningkatkan gizi.

b. Memberikan imunisasi BCG pada bayi.

c. Memberikan pengobatan pencegahan pada anak balita yang tidak mempunyai gejala TB tetapi
mempunyai anggota keluarga yang menderita TB Paru BTA positif.

Keberhasilan upaya penanggulangan TB diukur dengan kesembuhan penderita. Kesembuhan ini


selain dapat mengurangi jumlah penderita, juga mencegah terjadinya penularan. Oleh karena itu,
untuk menjamin kesembuhan, obat harus diminum dan penderita diawasi secara ketat oleh
keluarga maupun teman sekelilingnya dan jika memungkinkan dipantau oleh petugas kesehatan
agar terjamin kepatuhan penderita minum obat (Idris & Siregar, 2000).

Dewasa ini upaya penanggulangan TB dirumuskan lewat DOTS (Directly Observed Treatment
Shortcourse = pengobatan disertai pengamatan langsung). Strategi ini terbukti
keberhasilannyadiberbagai tempat. Di Indonesia, konsep strategi DOTS mulai diterapkan tahun
1995 (Depkes RI,1999). Pelaksanaan strategi DOTS dilakukan di sarana-sarana Kesehatan
Pemerintah dengan Puskesmas sebagai ujung tombak pelaksanaan program. Pengobatan ini
dilakukan secara gratis kepada golongan yang tidak mampu.

Secara garis besar srategi DOTS, terdiri dari lima komponen, yaitu (WHO, 1998) :

1. Komitmen

Komitmen bersama untuk mengibati penerita TB (terutama komitmen politik). Dalam hal ini
pemerintah membentuk gerakan terpadu nasional penanggulangan tuberculosis (Depkes RI,
2000).

Gerakan terpadu Nasional penanggulangan tuberculosis (Gerdunas TB) adalah gerakan multi
sektor dalam multi komponen dalam masyarakat yang terkait. Tujuan GerdunasTB adalah
mengkoordinasikan manajemen program pemberantasan tuberculosis (P2TB) secara lintas
bidang dan elibatkan sektor lain yang bersedia aktif dalam P2TB (Depkes RI, 2000).

2. Diagnosis dengan pemeriksaan sputum

Dalam program nasional penanggulangan tuberculosis, pemeriksaan diagnosis dengan sputum


untuk penemuan tersangka TB dilakukan secara pasif (passive casefinding), yaitu penjaringan
tersangka dilaksanakan pada penderita yang berobat keunit pelayanan kesehatan dengan
penyuluhan secara aktif oleh petugas kesehatan dan masyarakat. Semua yang kontak dengan
penderita TB Paru BTA positif dan memiliki gejala yang sama harus segera diperiksa sputumnya
(Depkes RI,2000).

3. Pengawas Menelan Obat

Permasalahan utama dalam program eliminasi TB adalah ketidak patuhan penderita untuk
minum obat. Untuk mengatasi permasalahan ini, WHO mengembangkan metode DOT (directly
observed treatment) atau pengawas menelan obat (Grange & Zumlah, 1999).

DOTS pada prinsipnya menekankan upaya mengawasi secara langsung penderita menelan obat
setiap harinya oleh DOT atau pengawasan menelan obat (PMO). PMO inilah yang
bertanggungjawab kelangsungan minum obat. PMO adalah orang pertama yang selalu
berhubungan dengan penderita sehubungan dengan pengobatannya. PMO yang mengingatkan
untuk minum obat, mengawasi sewaktu menelan obat, membawa kedokter untuk kontrol berkala,
dan menolong pada saat ada efek samping (Depkes RI,2000).

4. Jaminan Ketersediaan Obat

Panduan obat yang efektif merupakan elemen pokok dari strategi DOTS yang dapat menjamin
kesembuhan penderita TB dan mencegah MDR. Untuk itu diperlukan jaminan kelangsungan
ketersediaan obat (Nunn & Enarson, 1994). Panduan obat yang dorekomendasikan oleh WHO,
IULTD, The British Thoracic Assosiation End The American Thoracic Soceity adalah regimen
pengobatan jangka pendek (Chan et al., 1993; Manalo et al., 1990).

Pemberantasan Tuberkulosis Paru (P2 TB-Paru), melaksanakan strategi baru secara bertahap.
Kebijaksanaan ini diambil berdasarkan Evaluasi program TB-Paru yangdilaksanakan bersama
oleh Indonesia dan WHO pada April 1994, Lokakarya NasionalProgram P2 TB-Paru pada
September 1994, Dokumen Perencanaan (Plan of Action) pada bulan September 1994. Dengan
strategi baru manajemen ditekankan di DaerahTingkat II. Untuk itu perlu diterbitkan petunjuk
pelaksanaan dan petunjuk teknisoperasional dan sasaran 5 tahun pada bulan Februari 1995
sebagai realisasi dokumen perencanaan
Pokok – pokok pencegahan TB Paru

a. Pelaksana program adalah Kelompok Puskesmas Pelaksana yang terdiri dariPuskesmas


Rujukan Mikroskopis (PRM) dan Puskesmas Satelit (PS). Diagnosis hanya dilakukan di PRM,
PS hanya membuat slide serta memfiksasi saja.

b. Pencarian penderita dilakukan secara pasif di sarana kesehatan. DiagnosisBTA secara


mikroskopis bila ditemukan kuman dengan 3 kali pemeriksaan dahak yang berbeda (dahak
sewaktu, pagi dan sewaktu) dan paling sedikit 2 kali positifdisebut kasus BTA(+)

c. Kasus BTA(–) bila 3 kali pemeriksaan dahak hasilnya semua Negative tapi pada pemeriksaan
Röntgen terdapat tanda TB aktif di parunya.

d. Pengecatan dengan Ziehl Neelsen dan pemeriksaan kuman dengan mikroskop binokuler.

e. Tipe kasus dibedakan kasus baru, kasus kambuh/gagal, kasus BTA(–) tapi Rontgen positif

f. Follow up pengobatan dilakukan secara ketat pada akhir fase intensif dan dua bulan sebelum
akhir pengobatan dan akhir pengobatan, setiap follow up pemeriksaan dahak dilakukan dua kali
(dahak sewaktu dari pagi).

g. Supervisi pelaksanaan program dilakukan oleh petugas tingkat II secara ketat(3 bulan sekali).

h. Pengawasan langsung keteraturan berobat (DOTS : Directly ObservedTreatment Short-


Course) oleh petugas kesehatan atau keluarganya.
5.5 PROGRAM P2M PUSKESMAS

Pencegahan dan Pengendalian Penyakit menular merupakan program pelayanan kesehatan


Puskesmas untuk mencegah dan mengendalikan penular penyakit menular/infeksi (misalnya TB,
DBD, Kusta dll). Tujuan dari program P2M ini yaitu untuk menurunkan angka kesakitan,
kematian, dan kecacatan akibat penyakit menular. Prioritas penyakit menular yang akan
ditanggulangi adalah Malaria, demam berdarah dengue, diare, polio, filaria, kusta tuberkulosis
paru, HIV/AIDS, pneumonia, dan penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi.
Uraian tugas umum untuk koordinator unit pencegahan dan pemberantasan penyakit menular
yaitu menyusun perencanaan dan evaluasi kegiatan di unit p2m, mengkoordinir dan berperan
aktif terhadap kegiatan di unitnya, dan kut serta aktif mencegah dan mengawasi terjadinya
peningkatan kasus penyakit menular serta menindaklanjuti terjadinya KLB. Banyak sekali upaya
yang dilakukan oleh puskesmas untuk memberantas penyakit menular, setelah puskemas bekerja,
kinerja p2m puskesmas langsung dilaporkan kepada kepala dinas kesehatan daerah tingkat II.

5.6 a. Persyaratan PMO

✓ Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun pasien,
selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien.

✓ Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.

✓ Bersedia membantu pasien dengan sukarela.

✓ Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan pasien.

b. Siapa yang bisa menjadi PMO


Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di Desa, Perawat, Pekarya Sanitarian,
Juru Immunisasi, dan lain lain. Bila tidak ada petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO
dapat berasal dari kader kesehatan, guru, anggota PPTI, PKK, atau tokoh masyarakat lainnya
atau anggota keluarga.

c. Tugas seorang PMO

✓ Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan.

✓ Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur.

✓ Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah ditentukan.

✓ Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang mempunyai gejala-gejala


mencurigakan TB untuk segera memeriksakan diri ke Unit Pelayanan

Kesehatan.

Tugas seorang PMO bukanlah untuk mengganti kewajiban pasien mengambil obat dari unit
pelayanan kesehatan.

d. Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan kepada pasien dan
keluarganya:

✓ TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur.

✓ TB bukan penyakit keturunan atau kutukan.

✓ Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara pencegahannya.

✓ Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan).

✓ Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur.

✓ Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera meminta pertolongan ke
UPK.

Anda mungkin juga menyukai