PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut World Helath Organization (WHO), 1999 jumlah pasien
Tuberkulosis (TB) di Indonesia sekitar 10% jumlah pasien TB di dunia dan
merupakan ke 3 terbanyak di dunia setelah India dan China. Diperkirakan
saat ini jumlah pasien TB di Indonesia sekitar 5,8% dari total jumlah pasien
TB dunia dan setiap tahun terdapat 539.000 kasus baru. Insidens kasus TB
BTA positif sekitar 107 per 100.000 penduduk. Data Survei Tuberkulosis
Nasional tahun 2004 masih mendapatkan bahwa kasus baru di Indonesia
rata-rata 110 per 100.000 penduduk dengan kematian 100.000 per tahun.
Hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2007 menyatakan penyakit TB
merupakan penyebab kematian nomor 2 setelah penyakit stroke, baik di
perkotaan maupun pedesaan. Berdasarkan data statitstik rumah sakit tahun
2007, TB menempati urutan pertama dalam proporsi penyakit menular
(27,8%), dan menempati urutan ke 14 sebagai penyakit terbanyak di rawat
inap, sedangkan tahun 2008 menempati urutan ke 7 sebagai penyakit
terbanyak di rawat jalan.
Penanggulangan Tuberkulosis (TB) di Indonesia sudah berlangsung
sejak zaman penjajahan Belanda namun terbatas pada kelompok tertentu
saja yang ditandai dengan berdirinya fasilitas diagnostik dan sanatorium di
kota-kota besar. Dengan dukungan dari pemerintah Belanda, diagnosis TB
dilakukan dengan pemeriksaan rontgen, diikuti dengan penanganan TB
melalui hospitalisasi.
Studi prevalensi TB pertama kali dilakukan pada tahun 1964 di
karesidenan Malang dan kota Yogyakarta. Lima tahun kemudian (1969),
program pengendalian TB nasional dengan pedoman penatalaksanaan TB
secara baku dimulai di Indonesia. Pada periode 1972-1995 penanganan TB
tidak lagi berbasis hospitalisasi, akan tetapi melalui diagnosis dan pelayanan
TB di fasilitas kesehatan primer, yaitu di puskesmas. Pengobatan TB
menggunakan dua rejimen pengobatan menggantikan pengobatan
konvensional (2HSZ/10H2S2) dan strategi penemuan kasus secara aktif
secara bertahap.
Pada tahun 1993, The Royal Netherlands TB Association melakukan
ujicoba strategi Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) di empat
kabupaten di Sulawesi Tahun 1994, bekerja sama dengan World Helath
Organization (WHO) melakukan uji coba implementasi DOTS di provinsi
1
Jambi dan Jawa Timur.
Setelah keberhasilan uji coba di dua provinsi ini, akhirnya Kementerian
Kesehatan mengadopsi strategi DOTS untuk diterapkan secara nasional
pada tahun 1995. Pada tahun 1995-2000, pedoman nasional disusun dan
strategi DOTS mulai diterapkan di Puskesmas. Seperti halnya dalam
implementasi sebuah strategi baru, terdapat berbagai tantangan di lapangan
dalam melaksanakan kelima strategi DOTS. Untuk mendorong peningkatan
cakupan strategi DOTS dan pencapaian targetnya dilakukan dua Joint
Eksternal Monitoring Mission oleh tim pakar internasional.
Rencana strategi nasional Pengendalian TB disusun pertama kali pada
periode tahun 2000 - 2005 sebagai pedoman bagi provinsi dan kabupaten
untuk merencanakan dan melaksanakan program pengendalian TB.
Pencapaian utama selama periode ini adalah:
1. Pengembangan rencana strategis 2002-2006
2. Penguatan kapasitas manajerial dengan penambahan staf di tingkat pusat
dan provinsi.
3. Pelatihan berjenjang dan berkelanjutan sebagai bagian dari
pengembangan sumber daya manusia.
4. Kerja sama internasional dalam memberikan dukungan teknis dan
pendanaan dari pemerintah Belanda dan World Health Organizatio( WHO)
5. Pelatihan perencanaan dan anggaran di tingkat daerah.
6. Perbaikan supervisi dan monitoring dari tingkat pusat dan provinsi.
7. Keterlibatan Balai Pengobatan Penyakit Paru Paru (BP4) dan rumah sakit
pemerintah dan swasta dalam melaksanakan strategi DOTS melalui
ujicoba Hospital DOTS Linkage (HDL) di Yogjakarta.
Keberhasilan target global tingkat deteksi dini dan kesembuhan dapat
dicapai pada periode tahun 2006 - 2010. Selain itu, berbagai tantangan baru
dalam implementasi strategi DOTS muncul periode ini. Tantangan terumah
sakitebut antara lain penyebaran ko-infeksi Tuberkulosis – Human Imunologi
Virus (TB-HIV), peningkatan resistensi obat TB, jenis penyedia pelayanan TB
yang sangat beragam, kurangnya pengendalian infeksi TB di fasilitas
kesehatan, serta penatalaksanaan TB yang bervariasi. Mitra baru yang aktif
berperan dalam pengendalian TB pada periode ini antara lain Direktorat
Jenderal Bina Upaya Kesehatan di Kementerian Kesehatan, Ikatan Dokter
Indonesia ( IDI ), dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Hasil survei prevalensi TB Tahun 2004 menunjukkan bahwa pasien TB
juga menggunakan pelayanan rumah sakit, (BP4) dan praktik swasta untuk
tempat berobat. Ujicoba, implementasi dan akselerasi pelibatan Fasilitas
Pelayanan Kesehatan (Fasyankes) selain puskesmas sebagai bagian dari
2
inisiatif Public-Private Mix telah dimulai pada tahun 1999-2000. Pada tahun
2007, seluruh BP4 dan sekitar 30% rumah sakit telah menerapkan strategi
DOTS. Untuk praktik swasta, strategi DOTS belum diimplementasi secara
sistematik, meskipun telah dilakukan ujicoba model pelibatan praktisi swasta
di Palembang pada tahun 2002 serta di provinsi Yogyakarta dan Bali pada
tahun 2004-2005. Untuk akselerasi DOTS di rumah sakit, sekitar 750 dari
1645 rumah sakit telah dilatih. Koordinasi di tingkat pusat dengan direktorat
jenderal bina upaya kesehatan semakin intensif. Selain itu direktorat jenderal
bina upaya kesehatan juga melakukan penilaian kebeberapa rumah sakit
yang telah menerapkan DOTS. Penguatan aspek regulasi dalam
implementasi strategi DOTS di rumah sakit akan diintegrasikan dengan
kegiatan akreditasi rumah sakit.
3
menegakkan diagnosis dan mengirim pasien ke poli TB-DOTS .
4. Pelayanan TB rawat jalan
Pelayanan yang dilakukan terhadap pasien TB rawat jalan.
5. Pelayanan TB rawat inap
Pelayanan yang dilakukan terhadap pasien TB rawat inap. Rawat inap
berfungsi sebagai pendukung tim TB-DOTS dalam melakukan
penjaringan tersangka serta perawatan dan pengobatan.
6. Poli TB-DOTS berfungsi sebagai tempat penanganan seluruh pasien TB
di rumah sakit dan pusat informasi tentang TB. Kegiatannya meliputi
konseling, penentuan klasifikasi dan tipe, kategori pengobatan,
pemberian Obat Anti Tuberkulosis (OAT), penentuan Pengawas Minum
Obat (PMO), follow up hasil pengobatan dan pencatatan.
7. Laboratorium berfungsi sebagai sarana diagnostik.
8. Radiologi berfungsi sebagai sarana penunjang diagnostik.
9. Farmasi berfungsi sebagai unit yang bertanggung jawab terhadap
ketersediaan OAT.
10. Rekam medis berfungsi sebagai pendukung tim TB-DOTS dalam
pencatatan dan pelaporan semua kegiatan TB-DOTS.
11. Promosi Kesehatan Rumah Sakit ( PKRS ) berfungsi sebagai pendukung
tim TB-DOTS dalam kegiatan penyuluhan.
D. Batasan Operasional
Batasan operasional dari pedoman pelayanan Tuberkulosis dengan strategi
DOTS di RSUD dr. Sayidiman Magetan antara lain:
1. Pedoman di susun menurut undang-undang, peraturan, pedoman dan
kebijakan yang berlaku.
2. Isi pedoman disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan rumah
sakit.
3. Pedoman diberlakukan di lingkungan di RSUD dr. Sayidiman
Magetan.
4. Semua petugas yang memberikan pelayanan terhadap pasien
Tuberkulosis secara langsung maupun tidak langsung harus
berpedoman kepada buku pedoman ini.
5. Dapat dilakukan perubahan pada buku pedoman apabila diperlukan
dikemudian hari.
4
1. Tuberkulosis (TB) : penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
kuman TB (Mycobacterium tuberculosis).
2. Suspek TB : pasien dengan gejala batuk produktif selama 2 minggu/lebih.
3. TB paru : Tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru. Tidak
termasuk pleura (selaput paru) ataupun kelenjar pada hilus.
4. TB ekstra paru : Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain
paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar
lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin,
dan lain-lain.
5. Tim TB-DOTS : Tim yang dibentuk sebagai wadah khusus dalam
pengelolaan pasien TB di rumah sakit. Ketua dan anggota tim memiliki
kualifikasi dan kompetensi dalam melakukan pengelolaan terhadap pasien
TB.
6. Jejaring internal : Jejaring internal adalah jejaring yang dibuat di dalam
rumah sakit yang meliputi seluruh unit yang menangani pasien
Tuberkulosis.
7. Jejaring eksternal : Jejaring yang dibangun antara dinas kesehatan, rumah
sakit, puskesmas, dan Unit Pelayanan Kesehatan ( UPK ) lainnya dalam
penanggulangan Tuberkulosis dengan strategi DOTS.
E. Landasan Hukum
Dasar hukum terbentuknya tim TB-DOTS di rumah sakit Dr.Sayidiman
Magetan adalah :
1. Undang - undang Republik Indonesia nomor 36 tahun 2009 tentang
kesehatan.
2. Undang - undang Republik Indonesia nomor 44 tahun 2009 tentang
rumah sakit.
3. Undang - undang Republik Indonesia nomor 29 tahun 2004 tentang
praktik kedokteran.
4. Undang – undang Republik Indonesia nomor 32 tahun 2004 tentang
pemerintahan daerah.
5. Peraturan pemerintah Republik Indonesia nomor 65 tahun 2005
tentang pedoman penyusunan dan penerapan standar pelayanan
minimal.
6. Peraturanmenteri kesehatan Republik Indonesia nomor
1575/Menkes/Per/XI/2005 tentang organisasi dan tata kerja kementerian
kesehatan.
7. Keputusan menteri kesehatan nomor 364/Menkes/SK/V/2009 tentang
pedoman nasional penanggulangan Tuberkulosis.
5
8. Keputusan menteri kesehatan nomor 1333/Menkes/SK/II/2008 tentang
standar pelayanan rumah sakit.
9. Peraturan menteri dalam negeri nomor 6 tahun 2007 tentang petunjuk
teknis penyusunan dan penetapan standar pelayanan minimal.
10. Surat edaran menteri kesehatan nomor 884/Menkes/VII/2007 tentang
ekspansi TB strategi DOTS di rumah sakit dan balai kesehatan /
pengobatan penyakit paru.
11. Surat edaran direktur jenderal bina pelayanan medik nomor
YM.02.08/III/673/07 tentang penatalaksanaan Tuberkulosis di rumah
sakit.
12. Surat keputusan tim TB-DOTS rumah sakit.
6
BAB II
STANDAR KETENAGAAN
7
10 Koordinator DIII Belum 1 1
Radiologi Radiologi Bersertifika
t
11 Koordinator S1 Belum 1 1
PKRS Keperawata Bersertifika
n t
1. Uraian Jabatan:
a. Pelindung Tim TB-DOTS
Pelindung tim TB-DOTS adalah direktur rumah sakit
Tugas pokok:
1) Menetapkan Tim TB-DOTS dan surat keputusan.
2) Menetapkan kebijakan dalam srategi program TB-DOTS di rumah
sakit.
b. Penanggung jawab Tim TB-DOTS
Penanggung jawab Tim TB-DOTS adalah kepala bidang pelayanan
rumah sakit
1) Tugas pokok :
Bertanggung jawab dalam semua kegiatan pelayanan TB- DOTS
2) Uraian Tugas:
a)Merupakan penanggung jawab utama dalam pelayanan TB- DOTS
b)Berkoordinasi dengan dinas kesehatan (propinsi / kabupaten / Kota)
dan organisasi profesi untuk kegiatan yang berkaitan dengan
pelayanan TB.
KONSULTAN
KETUA
Koordinator
Pencatatan Dan
Pelaporan
Koordinator Koordinator
Jejaring Internal Jejaring Eksternal
C. DISTRIBUSI KETENAGAAN
Pola pengaturan ketenagaan di ruang inap penyakit paru yaitu
1.Untuk Dinas Pagi
Petugas yang ada berjumlah 2 ( dua ) orang dengan kategori :
1 (satu) orang Ka ru
1 (satu) orang waka ru
1 (satu) orang pelaksana
2. Untuk Dinas Sore
Petugas yang ada berjumlah 2 ( dua ) orang dengan kategori :
1 (satu) orang PJ Shift
1 (satu) orang pelaksana
3. Untuk Dinas Malam
Petugas yang ada berjumlah 2 ( dua ) orang dengan kategori :
1 (satu) orang PJ Shift
1 (satu) orang pelaksana
4. Pola pengaturan ketenagaan di Poli TB-DOTS yaitu
1 (satu) orang dokter spesialis/ umum
1 (satu) orang pelaksana
1 (satu) orang administrasi
11
D. PENGATURAN JAGA
1. Di rawat inap
a. Pengaturan jadwal dinas perawat dibuat dan dipertanggung jawabkan
oleh Kepala Ruang (Ka Ru) dan disetujui oleh kepala bidang pelayanan
medis dan keperawatan.
b. Jadwal dinas dibuat untuk jangka waktu satu bulan dan direalisasikan ke
perawat pelaksana
c. Untuk tenaga perawat yang memiliki keperluan penting pada hari
tertentu, maka perawat rumah sakit tersebut dapat mengajukan
permintaan dinas pada buku permintaan. Permintaan akan disesuaikan
dengan kebutuhan tenaga yang ada (apabila tenaga mencukupi dan
berimbang serta tidak mengganggu pelayanan, maka permintaan
disetujui).
d. Setiap tugas jaga / shift harus ada perawat penanggung jawab shift (PJ
Shift) dengan syarat pendidikan S1 Keperawatan / D3 keperawatan
pengalaman minimal pengalaman 2 tahun, serta memiliki sertifikat.
e. Jadwal dinas terbagi atas dinas pagi, dinas sore, dinas malam, lepas
malam, libur dan cuti.
f. Apabila ada tenaga perawat jaga karena sesuatu hal sehingga tidak
dapat jaga sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan (terencana),
maka perawat yang bersangkutan harus memberitahu Ka Ru : 2 jam
sebelum dinas pagi, 4 jam sebelum dinas sore dan dinas malam.
Sebelum memberitahu Ka Ru, diharapkan perawat yang bersangkutan
sudah mencari pengganti maka Ka Ru akan mencari tenaga perawat
pengganti yaitu perawat yang pada hari itu libur atau perawat yang
tinggal di asrama.
2. Di Poli Paru-TB-DOTS
a. Semua petugas dinas pagi jam 07.00 wib sampai dengan jam 13.30 wib.
b. Hari buka senin sampai Sabtu.
E. PELATIHAN
Untuk meningkatkan mutu pelayanan, keterampilan dan pengetahuan perawat
yang bekerja di ruang paru maka diperlukan, pelatihan - pelatihan yang
mendukung profesialisme agar senantiasa dapat memberikan pelayanan yang
bermutu seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan kedokteran dan
keperawatan. Pelatihan yang diperlukan yaitu :
1. Pelatihan TB-DOTS untuk petugas kesehatan yang merawat pasien TB.
2. Pelatihan kolaborasi TB –HIV untuk petugas kesehatan yang merawat
pasien TB.
12
3. Pelatihan PITC (Provider Inisiasi Test and Counseling HIV ) untuk petugas
yang merawat pasien TB.
13
BAB III
STANDAR FASILITAS
Fasilitas yang cukup harus tersedia bagi staf medis sehingga dapat
tercapai tujuan dan fungsi pelayanan TB-DOTS yang optimal bagi pasien
TB.
Kriteria :
1. Tersedia ruangan khusus pelayanan pasien TB (Poli TB-DOTS) yang
berfungsi sebagai pusat pelayanan TB di rumah sakit meliputi kegiatan
diagnostik, pengobatan, pencatatan dan pelaporan, serta menjadi
pusat jejaring internal / eksternal TB-DOTS.
2. Ruangan telah memenuhi persyaratan Pencegahan dan Pengendalian
Infeksi TB (PPI-TB) di rumah sakit.
3. Tersedia peralatan untuk melakukan pelayanan medis TB.
4. Tersedia ruangan bagi penyelenggaraan KIE terhadap pasien TB dan
keluarga.
5. Tersedia ruangan laboratorium yang mampu melakukan pemeriksaan
mikroskopis dahak.
9 11
1
8 3
7 6
10
14
Keterangan :
1. Pintu masuk.
2. Jendela.
3. Kipas angin.
4. Meja perawat.
5. Lemari berkas.
6. Meja dokter.
7. Exhaust fan.
8. Tempat tidur pasien.
9. Exhaust fan.
10. Wastafel.
11. Kursi pasien.
Tabel 3.1 Inventaris alat di poli TB-DOTS RSUD dr. Sayidiman Magetan
No Daftar Alat Jumlah
1 Tempat tidur periksa 1 unit
2 Meja Tulis 2 unit
3 Kursi 5 unit
4 Rak penyimpanan formulir TB 1 unit
5 Tensimeter 1 unit
6 Stetoskop 1 unit
7 Handschoen 1 box
8 Masker Disposible 2 box
9 Masker N 95 1 box
10 Timbangan 1 unit
11 Exhaust Fan 2 unit
12 AC 1 unit
13 Telepon 1 unit
14 Wastafel 1 unit
15 Tempat sampah infeksius & non infeksius @ 1 unit
15
BAB IV
TATA LAKSANA PELAYANAN
A. DEFINISI
Strategi pelayanan TB-DOTS (Directly Observed Treatment
Shourtcourse) adalah strategi yang digunakan untuk pengobatan TB yang
mempunyai tujuan utama pengobatan pasien TB adalah menurunkan angka
kematian dan kesakitan serta mencegah penularan dengan cara
menyembuhkan pasien.
B. VISI
Memberikan akses terhadap pelayanan yang bermutu bagi setiap
pasien TB di RSUD dr. Sayidiman Magetan.
C. MISI
Menurunkan angka kesakitan dan angka kematian TB, memutuskan
rantai penularan, serta mencegah terjadinya Multi Drug Resistent ( MDR
TB ).
D. FALSAFAH
Pelayanan TB menggunakan strategi DOTS disediakan dan diberikan
kepada pasien sesuai dengan ilmu pengetahuan kedokteran mutakhir dan
standar yang telah disepakati oleh seluruh organisasi profesi di dunia, serta
memanfaatkan RSUD dr. Sayidiman Magetan secara optimal.
E. TUJUAN
Untuk meningkatkan mutu pelayanan medis TB di RSUD dr.
Sayidiman Magetan melalui penerapan strategi DOTS secara optimal
dengan mengupayakan kesembuhan dan pemulihan pasien melalui
prosedur dan tindakan yang dapat dipertanggungjawabkan serta memenuhi
etika kedokteran.
F. SASARAN
Sasaran program pelayanan Tuberkulosis dengan strategi DOTS adalah:
1. Direktur rumah sakit.
2. Para pasien TB.
3. Keluarga pasien.
4. Tim TB-DOTS rumah sakit Dr.Sayidiman Magetan.
16
Dukungan administrasi dan operasional penerapan strategi DOTS di
rumah sakit salah satu unsur penting dalam penerapan TB-DOTS di rumah
sakit adalah komitmen yang kuat antara pimpinan rumah sakit, komite
medik dan profesi lain yang terkait termasuk administrasi dan
operasionalnya. Untuk itu perlu dipenuhi kebutuhan sumber daya manusia,
sarana dan prasarana penunjang, antara lain :
1. Dibentuk Tim TB-DOTS rumah sakit yang terdiri dari seluruh komponen
yang terkait dalam penanganan pasien Tuberkulosis (dokter, perawat,
petugas laboratorium, petugas farmasi, petugas radiologi, rekam medik
dan PKRS).
2. Disediakan ruangan untuk kegiatan Tim TB-DOTS yang melakukan
pelayanan TB-DOTS.
3. Pendanaan untuk pengadaan sarana, prasarana dan kegiatan disepakati
dalam Memorandum of Understanding (MoU) antara rumah sakit dan
dinas kesehatan setempat.
4. Sumber pendanaan diperoleh dari rumah sakit dan dinas kesehatan
propinsi.
5. Program nasional penanggulangan TB memberikan kontribusi dalam
hal pelatihan, OAT, mikroskop dan bahan-bahan laboratorium.
6. Formulir pencatatan dan pelaporan yang digunakan pada penerapan
TB-DOTS ada 2 yaitu :
a. manual dengan kartu TB 01,02,03 04,05,06,09, dan 10
b. Melalui SITT baik online maupun ofline
17
farmasi dan PKRS untuk dilatih TB-DOTS.
5. Membentuk Tim TB-DOTS di rumah sakit yang meliputi unit-unit terkait
dalam penerapan strategi DOTS di rumah sakit.
6. Menyediakan tempat untuk Tim TB-DOTS di dalam rumah sakit sebagai
tempat koordinasi dan pelayanan terhadap pasien Tuberkulosis secara
komprehensif (melibatkan semua unit di rumah sakit yang menangani
pasien Tuberkulosis ).
7. Menyiapkan laboratorium untuk pemeriksaan mikrobiologis dahak sesuai
standar.
8. Menggunakan format pencatatan sesuai program Tuberkulosis nasional
untuk memantau pelaksanaan pasien.
9. Menyediakan biaya operasional.
10. Menyediakan OAT apabila ada kekosongan dari dinkes.
11. Menyiapkan radiologi sebagai sarana penunjang diagnostik sesuai
standar.
H. PEMBENTUKAN JEJARING
Rumah sakit memiliki potensi besar dalam penemuan pasien
Tuberkulosis (case finding), namun memiliki keterbatasan dalam menjaga
keteraturan dan keberlangsungan pengobatan pasien (case holding) jika
dibandingkan dengan puskesmas. Karena itu perlu dikembangkan jejaring
rumah sakit baik internal maupun eksternal. Suatu sistem jejaring dapat
dikatakan berfungsi secara baik pabila angka default rate <5% pada tiap
rumah sakit.
1. Jejaring Internal Rumah Sakit
Jejaring internal adalah jejaring yang dibuat di dalam rumah sakit
yang meliputi seluruh unit yang menangani pasien Tuberkulosis.
Koordinasi kegiatan dilaksanaan oleh Tim TB-DOTS rumah sakit. Tim
TB-DOTS rumah sakit mempunyai tugas perencanaan, pelaksanaan,
monitoring serta evaluasi kegiatan TB-DOTS di rumah sakit. Tim TB-
DOTS berada di bawah komite medik atau direktur pelayanan medik
rumah sakit dan dikukuhkan dengan surat keputusan direktur rumah
sakit.
18
a.Alur jejaring internal
Komite Medik
TIM TB-DOTS
POLI TB-DOTS
Laboratorium
PKRS
19
dikirim ke dokter yang bersangkutan. Diagnosis dan dan klasifikasi
dilakukan oleh dokter poliklinik masing- masing.
3) Setelah diagnosis TB ditegakkan pasien dikirim ke Tim TB-DOTS
untuk registrasi (bila pasien meneruskan pengobatan di rumah
Sakit), penentuan PMO, penyuluhan dan pengambilan obat ke
farmasi melalui poli TB-DOTS, pengisian kartu pengobatan TB (TB-
01). Bila pasien tidak menggunakan obat paket, pencatatan dan
pelaporan tetap dilakukan di poli TB-DOTS. Pasien diberi TB 02
untuk pengambilan obat.
4) Bila ada pasien TB yang dirawat di rawat inap, petugas rawat inap
menghubungi Tim TB-DOTS untuk registrasi pasien (bila pasien
meneruskan pengobatan di rumah sakit). Paket OAT dapat diambil
di farmasi melalui poli TB-DOTS.
5) Pasien TB yang dirawat inap, saat akan keluar dari rumah sakit
harus melalui Tim TB-DOTS untuk konseling dan penanganan lebih
lanjut dalam pengobatannya.
6) Rujuk atau pindah dari/ ke Unit Pelayanan Kesehatan (UPK) lain
dengan membawa TB 09, berkoordinasi dengan tim TB-DOTS
2. Jejaring Eksternal
a. Definisi
Jejaring eksternal adalah jejaring yang dibangun antara instansi / unit
dinas kesehatan, rumah sakit, puskesmas dan fasyankes lainnya
dalam layanan pasien TB dengan strategi DOTS dan dalam program
pengendalian TB.
b. Tujuan jejaring eksternal :
1) Memastikan semua pasien TB mendapatkan akses pelayanan TB-
Dots yang bermutu, mulai dari diagnosis, pengobatan, pemantauan
sampai akhir pengobatan.
2) Menjamin kelangsungan dan keteraturan pengobatan pasien
sehingga mengurangi jumlah pasien yang putus berobat.
c. Ruang Lingkup
1) Dinas kesehatan.
2) Tim TB-DOTS.
3) Puskesmas yang dituju.
4) Rumah sakit yang di tuju
20
d. Tatalaksana Alur Pelayanan Pasien TB yang pindah atau rujuk balik
ke fasyankes lain
Untuk menjaga kelancaran proses pelayanan kesehatan,
khususnya pelayanan terhadap pasien TB di RSUD dr. Sayidiman
Magetan, diperlukan suatu alur pelayanan yang meliputi pasien rawat
jalan dan rawat inap agar pelayan dapat berjalan dengan lancar. Alur
pelayanan pasien TB yang meliputi pasien rawat jalan dan rawat inap
dapat dilihat pada skema berikut ini :
Pengawas program
(Wasor) TB/
koordinator HDL
kabupaten
informasi konfirmasi
Pasien, OAT,TB01,TB09
Rumah sakit Puskesmas
21
e. Dokumentasi
1) Buku bantu daftar pasien rujuk / pindah berobat.
2) Form TB 01 fotocopy ( bila sudah di obati )
3) Form TB 09.
4) Form TB 05
J. TATALAKSANA PASIEN TB
Penatalaksanaan TB meliputi penemuan pasien dan pengobatan yang
dikelola dengan menggunakan strategi DOTS. Tujuan utama pengobatan
pasien TB adalah menurunkan angka kematian dan kesakitan serta
mencegah penularan dengan cara menyembuhkan pasien.
Penatalaksanaan penyakit TB merupakan bagian dari surveilans penyakit;
tidak sekedar memastikan pasien menelan obat sampai dinyatakan
sembuh, tetapi juga berkaitan dengan pengelolaan sarana bantu yang
dibutuhkan, petugas yang terkait, pencatatan, pelaporan, evaluasi kegiatan
dan rencana tindak lanjutnya.
1. Penemuan Pasien TB
Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan suspek,
diagnosis, penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien. Penemuan
pasien merupakan langkah pertama dalam kegiatan program
penanggulangan TB. Penemuan dan penyembuhan pasien TB menular,
secara bermakna akan dapat menurunkan kesakitan dan kematian akibat
TB, penularan TB di masyarakat dan sekaligus merupakan kegiatan 14
22
a. Strategi penemuan
Penemuan pasien TB dilakukan secara pasif dengan promosi
aktif. Penjaringan tersangka pasien dilakukan di rumah sakit didukung
dengan penyuluhan secara aktif. Pemeriksaan terhadap kontak pasien
TB.
b. Gejala klinis pasien TB
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3
minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu
dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas,
nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat
malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan.
Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru
selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru,
dan lain-lain.
Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka
setiap orang yang datang ke UPK dengan gejala tersebut diatas,
dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu
dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.
2. Diagnosis pasien TB
a. Diagnosis TB paru
1) Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari,
yaitu sewaktu - pagi - sewaktu (SPS).
2) Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan
ditemukannya kuman TB (BTA). Penemuan BTA melalui
pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama.
Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat
digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan
indikasinya.
3) Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan
pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan
gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi
overdiagnosis.
4) Gambaran kelainan radiologik paru tidak selalu menunjukkan
aktifitas penyakit.
5) Untuk lebih jelasnya lihat alur prosedur diagnostik untuk suspek TB
paru.
23
Gambar 4.3. Alur Diagnosis TB Paru
24
ketersediaan alat-alat diagnostik, misalnya uji mikrobiologi, patologi
anatomi, serologi, foto toraks dan lain-lain.
Catatan : Pada keadaan-keadaan tertentu dengan pertimbangan
kegawatan dan medis spesialistik, alur tersebut dapat digunakan
secara lebih fleksibel.
25
b. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis (TB
Paru):
1) Tuberkulosis paru BTA positif
Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya
BTA positif.
1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks
dada menunjukkan gambaran Tuberkulosis.
1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman
TB positif.
1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen
dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif
dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
2) Tuberkulosis paru BTA negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif.
Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:
Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif
Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran Tuberkulosis.
Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika nonOAT.
Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi
pengobatan.
c. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit
1) TB paru BTA negatif foto toraks positif dibagi berdasarkan tingkat
keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat
bila gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran kerusakan
paru yang luas (misalnya proses “far advanced”), dan atau keadaan
umum pasien buruk.
2) TB ekstra paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan
penyakitnya, yaitu:
TB ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis
eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan
kelenjar adrenal.
TB ekstra-paru berat, misalnya : meningitis, milier, perikarditis,
peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB
usus, TB saluran kemih dan alat kelamin.
Catatan:
Bila seorang pasien TB paru juga mempunyai TB ekstra paru,
maka untuk kepentingan pencatatan, pasien tersebut harus dicatat
sebagai pasien TB paru.
26
Bila seorang pasien dengan TB ekstra paru pada beberapa organ,
maka dicatat sebagai TB ekstra paru pada organ yang penyakitnya
paling berat.
d. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya
Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi
menjadi beberapa tipe pasien, yaitu:
1) Kasus baru : Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan
OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4
minggu).
2) Kasus kambuh (Relaps) : Adalah pasien Tuberkulosis yang
sebelumnya pernah mendapat pengobatan Tuberkulosis dan telah
dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali
dengan BTA positif (apusan atau kultur).
3) Kasus setelah putus berobat (Default) : Adalah pasien yang telah
berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.
4) Kasus setelah gagal (Failure): Adalah pasien yang hasil
pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif
pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
5) Kasus Pindahan (Transfer In): Adalah pasien yang dipindahkan
dari UPK yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan
pengobatannya.
6) Kasus lain : Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan
diatas. Dalam kelompok ini termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien
dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai
pengobatan ulangan.
Catatan:
TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru, dapat juga mengalami
kambuh, gagal, default maupun menjadi kasus kronik. Meskipun
sangat jarang, harus dibuktikan secara patologik, bakteriologik
(biakan).
4. PENGOBATAN TB
a. Tujuan pengobatan
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien,
mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai
penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT.
Dalam pengobatan TB digunakan OAT dengan jenis, sifat dan dosis
sebagaimana pada tabel 4.1: 21
27
b. Prinsip pengobatan
Pengobatan Tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai
berikut:
1) OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat,
dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori
pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi).
Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih
menguntungkan dan sangat dianjurkan.
2) Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan
pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh
seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
3) Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan
lanjutan.
c. Tahapan pengobatan
Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu:
1) Tahap awal (intensif)
Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan
perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya
resistensi obat.
Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat,
biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun
waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi
BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.
2) Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit,
namun dalam jangka waktu yang lebih lama
Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister
sehingga mencegah terjadinya kekambuhan
d. Paduan OAT yang digunakan
Paduan OAT yang digunakan sesuai dengan Program Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia, yaitu:
Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3
Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3
Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE)
dan OAT anak: 2HRZ/4HR
1) Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk
paket berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT), sedangkan
kategori anak sementara ini disediakan dalam bentuk OAT
28
kombipak. Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis
obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan
pasien.
2) Paket Kombipak.
Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin,
Pirazinamid, dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister.
Paduan OAT ini disediakan untuk digunakan dalam pengobatan
pasien yang mengalami efek samping OAT KDT. Paduan OAT
disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk memudahkan
pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas)
pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien
dalam satu (1) masa pengobatan. KDT mempunyai beberapa
keuntungan dalam pengobatan TB:
a) Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga
menjamin efektifitas obat dan mengurangi efek samping.
b) Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko
terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan
penulisan resep
c) Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian
obat menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien.
29
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah
diobati sebelumnya:
Pasien kambuh
Pasien gagal
Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)
Pasien untuk kategori 2 di kirim ke Unit Pelayanan Kesehatan lain.
3) OAT Sisipan (HRZE)
Paduan OAT ini diberikan kepada pasien BTA positif yang pada
akhir pengobatan intensif masih tetap BTA positif. Paket sisipan
KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif
kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari)
30
tetapi pasien kembali ke rumah sakit untuk konsultasi keadaan
klinis / periksa ulang.
Pilihan 2: Rumah sakit menjaring suspek TB dan menentukan diagnosis
dan klasifikasi, kemudian merujuk ke puskesmas.
31
3. Pelayanan pasien TB dirawat inap
Pelaksanaan :
a. Pasien dirawat di ruang rawat inap paru diberi masker disposible
untuk dipakai pada saat itu juga.
b. Pasien diperiksa dahak Sewaktu 1, dahak Pagi, Sewaktu 2(SPS),
pemeriksaan penunjang (foto rontgen dan hasil dahak) dikirim ke
dokter yang bersangkutan untuk ditegakkan diagnosa.
c. Setelah diagnosa ditegakkan, pasien mendapatkan pengobatan OAT
sesuai dengan rejimen nasional.
d. Petugas rawat inap melaporkan ke poli TB-DOTS untuk registrasi
pasien (bila pasien meneruskan pengobatan di rumah sakit).
e. Bila pasien tidak meneruskan pengobatan di rumah sakit, apabila
pasien akan keluar dari rumah sakit harus melalui poli TB-DOTS dan
akan dibuatkan TB 09 untuk di rujuk ke UPK lain/ terdekat dengan
rumah pasien.
4. Pelayanan Isolasi Pasien TB
a. Memindahkan pasien ke ruang isolasi TB apabila ditemukan pasien
dengan diagnose TB yang belum pernah mendapatkan pengobatan
dan atau pasien dengan diagnose TB yang sudah mendapatkan
pengobatan TB kurang dari dua minggu.
b. Diberikan masker untuk Pasien TB saat itu juga
c. Petugas menggunakan Alat Pelindung Diri ( APD ) / masker
d. Petugas yang merawat cuci tangan.
e. Mengidentifikasi pasien.
f. Inform concent pasien.
5. Pelayanan pasien TB di Instalasi Gawat Darurat.
Pelaksanaan :
a. Pasien dianjurkan foto rhontgen thorax.
b. Bila hasil foto rontgen mengarah kediagnosa TB pasien dianjurkan
untuk rawat inap bila terdapat indikasi untuk rawat inap atau dianjurkan
ke rawat jalan bila tidak ada indikasi untuk rawat inap.
c. Pasien di rawat inap di ruang yang merawat pasien TB.
6. Pengelolaan pasien TB dengan HIV
Pelaksanaan kolaborasi TB-HIV di Indonesia sesuai kebijakan nasional
meliputi:
a. Pembentukan mekanisme kolaborasi,
b. Menurunkan beban TB pada Orang Dengan HIV/ AIDS (ODHA),
32
c. Menurunkan beban HIV pada pasien TB. Kegiatan kolaborasi TB-HIV
dimulai sebagai bagian dari upaya pengendalian TB dan upaya
meningkatkan keberhasilan program AIDS.
Pelaksanaan :
a. Di Rawat Jalan
1) Pasien TB dianjurkan untuk tes HIV dengan mengisi surat
persetujuan untuk di lakukan pemeriksaan.
2) Dibuatkan surat pengantar pemeriksaan HIV ke laboratorium.
3) Hasil tes dibuka di pelayanan rawat jalan yang mengirim.
4) Apabila hasil tes positif pasien dirujuk ke poli VCT.
5) Apabila pasien TB sudah dinyatakan HIV pasien masih tetap
dalam pengobatan TB.
6) Selanjutnya pengobatan TB berdampingan dengan pengobatan
HIV/ sesuai advis dokter.
b. Di rawat Inap
1) Pasien TB rawat inap dianjurkan tes HIV dengan mengisi surat
persetujuan.
2) Dibuatkan surat pengantar pemeriksaan HIV ke laboratorium.
3) Hasil tes di buka di pelayanan rawat inap yang mengirim.
4) Apabila pasien sudah dinyatakan HIV pasien mendapatkan
pengobatan berdampingan dengan pengobatan TB/ sesuai advis
dokter.
L. PENGELOLAAN PASIEN TB DENGAN MDR (MUTI DRUG
RESISTENT)
Pasien TB –MDR adalah pasien TB yang mengalami kekebalan
terhadap obat anti Tuberkulosis.
Pelaksanaan :
1. Pasien yang diduga TB-MDR dari rawat jalan maupun rawat inap
dianamnesa.
2. Apabila sesuai dengan kriteria suspek TB MDR dilaporkan ke poli TB-
DOTS, oleh petugas dilaporkan ke pengawas program (Wasor) Dinas
Kesehatan (Dinkes) Magetan dan dirujuk ke poli TB- MDR rumah sakit
Dr. Sayidiman Magetan.
33
1. Menghubungi pasien langsung lewat telepon.
2. Menghubungi langsung ke PMO
3. Menginformasikan identitas dan alamat lengkap pasien mangkir ke
Wasor kabupaten/ kota atau langsung puskesmas agar segera
dilakukan pelacakan.
Hasil dari pelacakan yang dilakukan oleh petugas puskesmas segera
di informasikan kepada rumah sakit. Bila proses ini mengalami hambatan
harus diberitahukan oleh Koordinator jejaring DOTS rumah sakit.
34
1) Diberi pentunjuk pada pasien untuk menegeluarkan spesimen
dahak sesuai standart prosedur operasional.
2) Beri label yang jelas pada dinding pot dahak sesuai dengan
nomor identitas TB 06.
3) Label ditempelkan pada dinding pot tidak pada tutup pot.
4) Pot dahak sekali pakai dengan diameter ≥ 6 cm.
5) Pasien kumur dulu sebelum mengeluarkan dahak.
6) Bila memakai gigi palsu, lepas dulu sebelum kumur.
7) Tarik nafas dalam 2-3 kali dan setiap kali hembusan nafas
dengan kuat.
8) Letakkan pot yang sudah dibuka dekat dengan mulut dan
keluarkan dahak kedalam pot.
9) Batukkan dengan keras dari dalam dada.
10)Tutup pot dengan rapat dengan cara memutar tutupnya.
11)Setelah mengeluarkan dahak, berumah sakitihkan mulut dengan
tissue, kemudian buang tissue di tempat sampah yang ditutup,
kemudian cuci tangan.
b. Waktu pengumpulan spesimen dahak
Dibutuhkan spesimen dahak untuk menegakkan diagnosis TB
secara mikroskopi spesimen dahak paling baik diambil pada pagi hari
selama 3 hari berturut-turut (pagi-pagi-pagi), tetapi untuk
kenyamanan penderita pengumpulan dahak dilakukan : Sewaktu
Pagi Sewaktu (SPS) dalam waktu 2 hari. Sebelum pengumpulan
dahak periksa dulu permohonan laboraoratorium TB 05 lengkapi isian
formulir dengan mencontreng untuk Diagnosis atau follow-up. Beri
label yang jelas pada dinding pot dahak sesuai dengan nomot
identitas sediaan dahak (TB 06), label ditempatkan pada dinding pot,
tidak pada tutup pot, pot dahak sekali pakai(tidak harus steril)
diameter pot ≥ 6cm.
35
3) Sewaktu hari_2 (dahak sewaktu kedua C)
Kumpulkan dahak spesimen ketiga di laboratorium pada saat
pasien kembali ke laboratorium hari kedua saat membawa
dahak pagi (B)
c. Tempat pengumpulan dahak
Pengumpulan dahak dilakukan di ruang dengan ventilasi yang
baik dan mendapatkan sinar matahari langsung untuk meguragi
kemungkinan penularan akibat percikan dahak yang infeksius tidak
dibolehkan mengambil dahak diruang tertutup dengan ventilasi yang
buruk seperti toilet/ kamar kecil, ruang pengumpulan sampel ruang
tunggu atau ruang umum.
d. Registrasi spesimen
Identitas spesimen harus dicatat lebih dahulu pada formulir TB
04 sebelum diproses pemeriksaan:
36
Sewaktu D
Pagi E
3) Follow up bila 1 bulan sebelum AP
Sewaktru (F)
Pagi (G)
4) Follow up AP
Sewaktu (H)
Pagi (I)
5) Pemeriksaan setelah pemberian sisipan
Sewaktu (J)
Pagi (K)
e. Pembuatan sediaaan apus
1) Alat-alat yang dibutuhkan
a) Kaca sediaan yang baru, bersih jangan memakai kaca sediaan
yang telah digunakan
b) Aplikator dari bambu/ lidi ujung tidak rata atau ose, botol berisi
pasir dan desinfektan (alkohol 70%/ lisol),
c) Wadah pembuangan pot sputum berisi desinfektan (lisol 5%),
wadah pembuangan untuk aplikator.
2) Cara pembuatan sediaan apus
a) Nomor identitas pasien ditulis pada bagian ujung kaca, kode
kabupaten/kota, kode UPK, nomor sediaan, dan waktu
pengumpulan dahak.
b) Pembuatan harus sesuai sop dengan metode jaring laba- laba
dengan ukuran lebar 2 cm dan panjang 3 cm.
f. Pewarnaan hapusan
1) Alat - alat yang digunakan
a) Rak sediaan untuk meletakkan sediaan. Rak diletakkan diatas
bak cuci atau baskom.
b) Pinset atau penjepit kayu
c) Air mengalir atau botol semprot
d) Lampu spiritus
e) Rak untuk sediaan yang sudah diwarnai
f) Pengatur waktu
g) Sulut api
h) Reagen cat Methylene blue 0.3%, Carbol fucshin 0.3%, Asam
alkohol 3%.
37
2) Pewarnaan metode zieh-neelsen
Pewarnaan dilakukan untuk melihat dan membedakan
bakteri tahan asam yang berwara merah dan bakteri tidak tahan
dengan asam berwarna biru. Pemanasan pada cat warna carbol
fuchsin tidak boleh berlebih hanya sampaii dengan mengeluarkan
asap.
3) Pembacaan sediaan apus
Sediaan apus harus diperiksa secara sistematis untuk
memastikan bahwa hasil yang dilaporkan telah mewakili seluruh
bagian sediaan. Minimal dalam pembacaan dalam 100 lapang
pandang dengan penyebaran sel leukosit /sel epitel minimal 25
dalam satu lapang padang.
4) Pelaporan
Bakteri Tahan Asam (BTA) yang ditemukan menentukan
diagnosis TB dan jumlah BTA yang ditemukan menunjukkan
beratnya penyakit. Oleh karena itu sangat penting mencatat
gradasi dengan benar.
Kemudian:
a) Periksa nomor register laboratorium, cocokkkan dengan formulir
permintaan laboratorium (TB 05)
b) Catat hasil pemeriksaan pada Register laboratorium (TB 04)
c) Catat hasil pemeriksaan pada Formulir permintaan laboratorium
(TB 05)
d) Beri Tanggal dan tanda tangan formulir permintaan laboratoroim
(TB05)
e) Kembalikan formulir permintaan laboratorium TB 05 kepada dokter
atau UPK yang mengirim.
1-9 BTA dalam 100 lapang pandang Tulis jumlah BTA yang
ditemuka /100 lapang
pandnag.
38
10-99BTA dalam 100 lapang 1+
pandang, periksa
5) Penyimpanan
Hapus dengan hati-hati minyak imersi pada sediaan denga
menggunakan ujung kertas tissue yang bersih untuk setiap sediaan
digunakan satu kertas tissue. Simpan sediaan dalam kotak sediaain
secara berurutan menurut nomor register laboratorium untuk
keperluan pemantapan mutu/uji silang (cross chek) minimal 3 bulan
3. Keamanan keselamatan Kerja
Penularan TB terjadi karena percikan dahak infeksius diudara
terhirup orang lain. Pemeriksaan dahak yang dilakukan sesuai prosedur
standar oleh petugas laboratorium menjamin tidak akan beresiko
penularan TB.
39
5) Setelah seesai bekerja berumah sakitihkan meja kerja peralatan
dan lantai dengan desinfektan.
6) Bersihkan tangan setelah melakukan setiap kegiatan. Setelah
menyelsaikan semua pekerjaan, cucilah tangan dengan sabun
sampai bersih.
7) Tanggalkan jas lab sebelum meninggalkan ruangan laboratorium
dan cuci tangan kembali.
8) Pekerjaan administrasi sebaiknya dikerjakan diluar ruangan
laboratorium.
9) Ruangan harus mempunyai ventilasi yang baik bila ruang ber AC,
exhaust fan harus dipasang setiap 6 jam selama 30 menit.
10) Setiap orang yang bekerja dilaboratorium dianjurkan melakukan
pemeriksaan kesehatan secara berkala.
11)Penggunaan masker tidak menjamin keamanan kerja dan tidak
diharuskan.
b. Pengolahan Limbah
1) Buang aplikator, lidi lancip bekas pakai, kaca sediaan yang sudah
tidak dipakai kedalam ember yang telah dilapisi kantung plastik
dan diisi desinfektan.
2) Buka tutup pot dahak bekas, isi dengan desinfektan sama banyak
dengan sisa dahak tutup kembali lalu masukkan kedalam ember
yang telah dilapisi plastik yang telah diisi desinfektan untuk
dibuang.
3) Untuk limbah cair (bekas pewarnaan) ditampung dalam wadah
yang deberi desinfektan sebelum dibuang
4) Semua bahan bekas pakai derendam dalam desinfektan selama
minimla 12 jam, kemudian bakar ditempat pembakaran khusus
atau kubur kantung plastik dan isinya dalam lubang sedalam 15
meter.
c. Pemantapan Mutu
Untuk menjamin ketepatan hasil pemeriksaan dahak
mikroskopis, harus dilakukan kegiata pemantapan mutu yang
meliputi:
40
Pemeliharaan alat/ mikroskop
Uji kualitas reagent/ larutan pewarna
Penyusuan prosedur tetap , dan pencatan serta pelaporan
3) Pelaksanaan pemantapan mutu ekternal :
Melakukan uji silang/ cross check
Mengikuti uji profisiensi/ uji panel
Supervisi
4) Melaksanakan praktek laboratorium yang benar.
5) Menindak lanjuti pemantapan mutu interal dan eksternal dengan
kegiatan peningkatan mutu.
d. Perawatan Mikroskop
1) Untuk membersihkan lensa sebaiknya gunakan ethyil ether atau
pembersih lensa yang sesuai anjuran pabrik. Beberapa bahan
pembersih dapat merusak permukaan lensa atau melarutkan
perekat lensa setelah digunakan beberapa waktu
2) Okuler harus tetap pada tempatnya, jaur atau debu dapat masuk
melalui lubang kosong tempat obyektif bila lensa tidak terpasang.
Bila lensa ada yang hilang tutup rapat dengan penutup yang
tersedia.
3) Debu pada lensa dapat dihilangkan dengan menggunakan sikat
halus atau dengan udara dengan penghembus udara diatas
permukaan lensa.
4) Harus ada ventilasi yang cukup agar panas yang dihasilkan lampu
dapat diatasi. Sebelum menyalakan lampu, putarlah regulator
voltase ke minimum.
5) Untuk mencegah timbulnya jamur di lensa tabung okuler dan
prisma pada mikroskop, mikroskop harus disimpan dalam
kotaknya yang tidak lembab dengan meletakkan lampu 5 wat
yang menyala atau bahan pengering (gel silika garam atau beras
100gram).
O. LABORATORIUM INTERMEDIATE
1. Definisi
Laboratorium intermediate adalah laboratorium yang menerima
rujukan uji silang dari semua Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Fasyankes)
kabupaten setempat dan fasyankes kabupaten daerah lain serta
mengirim rujukan sediaan kegiatan TB laboratorium intermediate ke
laboratorium propinsi atau laboratorium rujukan uji silang 2.
41
Penunjukan laboratorium rujukan uji silang 1/ laboratorium
intermediate ditetapkan melalui Surat Keputusan (SK) kepala dinas
kabupaten/ kota terkait. Apabila laboratorium RUS 1 melaksanakan
rujukan uji silang untuk beberapa Kabupaten/ Kota, maka penetapan
laboratorium RUS 1 melalui SK kepala dinas kesehata provinsi.
43
8. Menganalisi hasil uji silang final.
9. Mengirim TB 12 sebagai umpan balik uji silang ke laboratorium
mikroskopis TB fasyankes RUS 1 dan RUS 2.
10. Mencatat presentase lab fasyankes yang kinerjanya baik dan jelek.
11. Mencatat keikutsertaaan uji silang laboratorium fasyankes dan
cakupan silang setiap triwulan.
12. Mengirimkan rekapitulasi TB 12 ke Wasor propinsi sesuai jadwal yang
sudah disepakati.
8. Tim Laboratorium Rus 1 (Intermediate) Dan Rus 2 (Rujukan Tb Propinsi).
1. Laboratorium Intermediate
a. Menerima sediaan uji silang, memeriksa kesesuaian jumlah dan
nomor identitas sediaan.
b. Menerima sediaan uji silang.
c. Mencatat hasil pemeriksaan uji silang pada formulir TB 12( kolom
67,9 sampai 23)
d. Mengirimkan form TB 12 kepada pengelola program TB Kab/ Kota
segera setelah selesai pemeriksaan pada waktu yang telah
disepakati.
e. Menerima umpan balik uji silang dari wasor Kabupaten /Kota.
f. Melaporkan absensi (data keikutsertaan uji silang fasyankes) ke
dinas kesehastan Kabupaten /Kota dan laboratorium RUS 2 setelah
menerima umpan balik dari wasor kabupaten/ kota.
g. Berkordinasi dengan dinas kabupaten/ kota untuk menindak lanjuti
hasil uji silang RUS Propinsi
h. Membawa semua sediaan diskordance ke fasyankes terkait pada
saat supervisi untuk dibaca bersama.
2. Laboratorium RUS 2 (Rujukan TB Propinsi).
a. Memriksa sediaan uji silang dari kegiaatn pelayanan laboratorium
mikroskopis TB intermediate? RUS 1.
b. Memeriksa ulang sediaan yang diskordance yang dikirim wasor.
Hasil pembacaan ulang oleh RUS 2 merupakan keputusan akhir
dan dilaporkan kepada Wasor dinkes kabupaten/ kota terkait.
c. Membawa semua sediaan diskordance dari sediaan uji silang dari
laboratorium RUS 1 terkait, pada saat supervisi ke RUS 1 untuk
dibaca bersama.
3. Laboratorium TB Fasyankes
a. Mencatat pelaksanaan pemeriksaan sediaan TB dalam buku
register laboratorium (TB 04) sesuai pedoman.
44
b. Menyimpan sediaan dengan nomor urut buku register laboratorium
(TB 04) berdsarkan kesepakatan dinkes Kabupaten/ Kota dan
laboratorium fasyankes.
4. Wasor memilih sediaan untuk uji silang di laboratorium fasyankes.
a. Seluruh sediaan selama satu triwulan dan TB 04 dikirim ke Dikes
Kabupaten/Kota untuk dipilih oleh wasor Kabupaten/ Kota.
b. Seluruh sediaan selama satu tribulan dan TB 04 dikirim ke dinkes
kabupaten/kota untuk dipilh oleh wasor kabupaten/kota.
c. Menerima umpan balik dari wasor kabupaten/kota.
d. Mempelajari umpan balik untuk melakukan tindak lanjut peningkata
mutu.
45
Jumlah seluruh suspek TB yg diperiksa
menggambarkan mutu dari proses penemuan sampai diagnosis
pasien, serta kepekaan menetapkan kriteria suspek. Angka ini sekitar 5
- 15%. Bila angka ini terlalu kecil ( < 5 % ) kemungkinan disebabkan
karena Penjaringan suspek terlalu longgar. Banyak orang yang tidak
memenuhi kriteria suspek, atau ada masalah dalam pemeriksaan
laboratorium ( negatif palsu ).
Bila angka ini terlalu besar ( > 15 % ) kemungkinan disebabkan
penjaringan terlalu ketat atau ada masalah dalam pemeriksaan
laboratorium (positif palsu).
Jangan kurang dari 65%. Bila angka ini jauh lebih rendah, itu berarti
mutu diagnosis rendah, dan kurang memberikan prioritas untuk
menemukan pasien yang menular (pasien BTA Positif).
46
Jumlah pasien baru TB paru BTA positif yg konverumah sakiti
X 100 %
Jumlah pasien baru TB paru BTA positif yg diobati
47
Q. PENGOBATAN TUBERKULOSIS PARU PADA ORANG
DEWASA
48
1.Tujuan pengobatan TB adalah:
a. Menyembuhkan, mempertahankan kualitas hidup dan
produktivitas pasien.
b. Mencegah kematian akibat TB aktif atau efek lanjutan
c. Mencegah kekambuhan TB
d. Mengurangi penularan TB kepada orang lain
e. Mencegah perkembangan dan penularan resisten obat.
49
Pasien dengan kasus baru diasumsikan peka terhadap
OAT kecuali:
a. Tinggal di daerah dengan prevalens tinggi resisten isoniazid ,
Atau
b. Riwayat kontak dengan pasien TB resisten obat. Pasien
kasus baru seperti ini cenderung memiliki pola resistensi obat
yang sama dengan kasus sumber.
Pada kasus ini sebaiknya dilakukan uji resistensi obat sejak
awal pengobatan dan sementara menunggu hasil uji resistensi
obat maka paduan obat yang berdasarkan uji resistensi obat
kasus sumber sebaiknya dimulai.
Paduan 2RHZE/6HE didapatkan lebih banyak
menyebabkan kasus kambuh dan kematian dibandingkan
paduan 2RHZE/4RH. Berdasarkan hasil penelitian metaanalisis
ini maka WHO merekomendasikan paduan 2RHZE/4RH.
Pasien yang menerima OAT tiga kali seminggu memiliki
angka resistensi obat yang lebih tinggi dibandingkan dengan
yang menerima pengobatan harian. Oleh sebab itu WHO
merekomendasikan pengobatan dengan paduan harian
sepanjang periode pengobatan OAT (2RHZE/4RH) pada pasien
dengan TB paru kasus baru dengan alternatif paduan
2RHZE/4R3H3. yang harus disertai pengawasan ketat secara
langsung oleh pengawas menelan obat (PMO). Obat program
yang berasal dari pemerintah Indonesia memilih menggunakan
paduan 2RHZE/4R3H3 dengan pengawasan ketat secara
langsung oleh PMO
2. Paduan obat standar pasien TB kasus baru.
Fase intensif : RHZE 2 bulan.
Fase lanjutan : RH 4 bulan
3. Menilai Respons Pengobatan Pada Pasien TB Kasus Baru
Pemeriksaan dahak tambahan ( pada akhir bulan ketiga fase
intensif sisipan ) diperlukan untuk pasien TB kasus baru dengan
50
apusan dahak Bakteri Tahan Asam ( BTA ) positif pada akhir
fase intensif.
Pemeriksaan biakan Micobacterium Tuberkulosis dan uji
resistensi obat sebaiknya dilakukan pada pasien TB kasus baru
dengan apusan dahak BTA masih positif pada akhir bulan ketiga.
Tujuan utamanya adalah mendeteksi kuman resisten obat tanpa
harus menunggu bulan kelima untuk mendapatkan terapi yang
tepat.
Bila hasil apusan dahak BTA positif pada bulan kelima atau
pada akhir pengobatan berarti pengobatan gagal dan kartu
berobat TB ditutup dengan hasil “gagal” dan kartu berobat TB
yang baru dibuka dengan tipe pasien “pengobatan setelah gagal.”
Bila seorang pasien didapatkan TB dengan strain resisten
obat maka pengobatan dinyatakan gagal kapanpun waktunya.
Pada pasien dengan apusan dahak BTA negatif (atau tidak
dilakukan) pada awal pengobatan dan tetap negatif pada akhir
bulan kedua pengobatan maka tidak diperlukan lagi pemantauan
dahak lebih lanjut. Pemantauan dilakukan secara klinis dan berat
badan merupakan indikator yang sangat berguna.
51
4. Definisi hasil pengobatan
a. Sembuh adalah Pasien TB paru dengan konfirmasi
bakteriologis pada awal pengobatan dan apusan dahak BTA
negatif atau biakan negatif pada akhir pengobatan dan / atau
sebelumnya.
b. Pengobatan lengkap adalah Pasien TB yang telah
menyelesaikan pengobatan tetapi tidak memiliki bukti gagal
tetapi tidak memiliki rekam medis yang menunjukkan apusan
dahak BTA atau biakan negatif akhir pengobatan dan satu
kesempatan sebelumnya, baik karena tidak dilakukan atau
karena hasilnya tidak ada.
c. Pengobatan gagal adalah Pasien TB dengan apusan dahak
atau biakan positif pada bulan kelima atau setelahnya selama
pengobatan. Termasuk juga dalam definisi ini adalah pasien
dengan strain kuman resisten obat yang didapatkan selama
pengobatan baik apusan dahak BTA negatif atau positif.
d. Meninggal adalah Pasien TB yang meninggal dengan alasan
apapun sebelum dan selama pengobatan.
e. Putus obat adalah Pasien TB yang tidak memulai pengobatan
atau menghentikan pengobatan selama 2 bulan berturut-turut
atau lebih.
f. Dipindahkan adalah pasien yang dipindahkan ke rekam medis
atau pelaporan lain dan hasil pengobatannya tidak diketahui
g. Pengobatan sukses adalah jumlah pasien TB dengan status
hasil pengobatan sembuh dan lengkap
52
penelitian oleh para ahli yang ada. Kemenkes dan didukung oleh
WHO dan disepakati sebagai salah satu cara untuk mempermudah
penegakan diagnosis TB anak terutama di fasilitas pelayanan
kesehatan dasar. Sistem scoring ini membantu tenaga kesehatan
agar tidak terlewat dalam mengumpulkan data klinis maupun
pemeriksaan penunjang sederhana sehingga diharapkan dapat
mengurangi terjadinya underdiagnosis maupun overdiagnosis TB.
Penilaian/ pembobotan pada sistem scoring dengan ketentuan
sebagai berikut:
1. Parameter uji tuberkulin dan kontak erat dengan pasien TB
menular mempunyai nilai tertinggi yaitu 3.
2. Uji tuberkulin bukan merupakan uji penentu utama untuk
menegakkan diagnosis TB pada anak dengan menggunakan
sistem scoring.
3. Pasien dengan jumlah skor ≥6 harus ditatalaksana sebagai
pasien TB dan mendapat OAT.
Setelah dinyatakan sebagai pasien TB anak dan diberikan
pengobatan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) harus dilakukan
pemantauan hasil pengobatan secara cermat terhadap respon klinis
pasien. Apabila respon klinis terhadap pengobatan baik, maka OAT
dapat dilanjutkan sedangkan apabila didapatkan respons klinis tidak
baik maka sebaiknya pasien segera dirujuk ke fasilitas pelayanan
kesehatan rujukan untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.
53
54
55
56
S. PASIEN PINDAH RUJUK BALIK
Ruang lingkup dalam panduan rujukan dan pindah pasien TB ini
adalah :
1. Pasien TB Paru dan TB ekstra paru
pasien yang telah di diagnosis TB paru maupun TB ekstra paru
baik oleh dokter umum maupun dokter spesialis.
2. Pasien TB rawat jalan dan rawat inap
pasien TB yang datang berobat jalan maupun yang dirawat di
Rumah Sakit Umum Daerah dr. Sayidiman Magetan yang
memerelukan perawatan intensif
seperti TB MDR, TB resistan Obat,TB kategori II
3. Pasien TB pindah/rujukan
pasien TB yang pindah/dirujuk ke fasilitas kesehatan lainnya
dikarenakan alasan tertentu.
Pengawas program
(Wasor) TB/
koordinator HDL
kabupaten
informasi konfirmasi
Pasien, OAT,TB01,TB09
Rumah sakit Puskesmas
TB09
57
Alur Rujukan Pasien Tuberkulosis antar UPK dalam Satu Unit
Registrasi (dalam 1 Kab/Kota)
Penjelasan skema :
Apabila pasien sudah mendapatkan pengobatan di rumah sakit,
maka harus dibuatkan kartu Pengobatan (TB 01) di rumah sakit.
Untuk pasien yang dirujuk dari rumah sakit, diberikan surat
pengantar (TB 09) dengan menyertakan TB 01 dan OAT (bila
telah dimulai pengobatan).
Formulir TB 09 diberikan kepada pasien.
Rumah sakit memberikan informasi langsung (telepon atau sms)
ke koordinator HDL / Wasor tentang pasien yang dirujuk.
UPK yang telah menerima pasien rujukan segera mengisi dan
mengirimkan kembali TB 09 (lembar bagian bawah) ke UPK
asal.
Koordinator HDL/ wasor memastikan semua pasien yang dirujuk
melanjutkan pengobatan di UPK yang dituju (dilakukan
konfirmasi melalui telepon/sms).
58
BAB V
LOGISTIK
A. LOGISTIK OAT.
Paket OAT anak dan dewasa terdapat 2 macam jenis dan kemasan
yaitu
1. OAT dalam bentuk obat kombinasi dosis tetap (KDT) atau
Fixed Dose Combination (FDC) yang dikemas dalam blister, dan
tiap blister berisi 28 tablet.
2. OAT dalam bentuk Kombipak yang dikemas dalam blister
untuk satu dosis, kombipak ini disediakan khusus untuk
pengatasi efek samping KDT. Khusus untuk dewasa terdiri dari
kategori 1, kategori 2 dan sisipan.
59
C. PENGELOLAAN OBAT ANTI TB
Perencanaan Kebutuhan Obat
Perencanaan kebutuhan OAT dilaksanakan dengan
pendekatan perencanaan dari bawah ( bottom up planning ), dan
dilakukan terpadu dengan perencanaan obat lainnya.
Perencanaan kebutuhan OAT memperhatikan :
1. Jumlah penemuan pasien pada tahun sebelumnya, 23
2. Perkiraan jumlah penemuan pasien yang direncanakan,
3. Buffer-stock ( tiap kategori OAT ),
4. Sisa stock OAT yang ada,
5. Perkiraan waktu perencanaan dan waktu distribusi (untuk
mengetahui estimasi kebutuhan dalam kurun waktu
perencanaan).
60
4. Monitoring dan Evaluasi
Pemantauan OAT dilakukan dengan menggunakan laporan
pemakaian dan lembar permintaan obat yang berfungsi ganda,
untuk menggambarkan dinamika logistik dan merupakan alat
pencatatan / pelaporan.
5. Pemantauan Mutu OAT
Mutu OAT diperiksa melalui pemeriksaan pengamatan fisik obat
yang meliputi:
a. Penandaan/ label termasuk persyaratan penyimpanan
b. Leaflet dalam bahasa Indonesia.
c. Keutuhan kemasan dan wadah.
d. Nomor batch dan tanggal kadaluarsa baik di kemasan
terkecil.
seperti vial, box dan master box.
e. Mencantumkan nomor registrasi pada kemasan 24.
61
F. PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI TB
Pencegahan dan pengendalian infeksi TB di fasilitas pelayanan
kesehatan terdiri dari 4 pilar yaitu:
1. Manajerial
2. Pengendalian administratif
3. Pengendalian lingkungan
4. Pengendalian dengan Alat Perlindungan Diri ( APD )
1. Manajerial
Pihak manajerial adalah pimpinan fasilitas pelayanan
kesehatan, kepala dinas kesehatan propinsi dan kabupaten / kota
dan / atau atasan dari institusi terkait. Komitmen, kepemimpinan
dan dukungan manajemen yang efektif berupa penguatan dari
upaya manajerial bagi program PPI TB meliputi:
a. Membuat kebijakan pelaksanaan PPI TB yang merupakan
bagian dari program PPI fasyankes dengan mengeluarkan SK
penunjukkan tim / penanggung jawab .
b. Membuat kebijakan dan Standar Prosedur Operasional
( SPO ) mengenai alur pasien untuk semua pasien batuk, alur
pelaporan dan surveilans .
c. Memberi pelatihan PPI TB bagi petugas yang terlibat dalam
program PPI TB .
d. Membuat perencanaan program PPI TB secara
komprehensif .
e. Membuat dan memastikan desain, konstruksi dan persyaratan
bangunan serta pemeliharaannya sesuai PPI TB.
f. Menyediakan sumber daya untuk terlaksananya program PPI
TB meliputi tenaga, anggaran, sarana dan prasarana yang
dibutuhkan termasuk aspek kesehatan kerja.
g. Monitoring dan Evaluasi.
62
h. Melaksanakan advokasi, komunikasi, mobilisasi dan
sosialisasi terkait PPI TB .
i. Surveilans petugas (kepatuhan menjalankan SPO dan
kejadian infeksi) .
j. Memfasilitasi kegiatan riset operasional
2. Pengendalian Administratif
Pengendalian Administratif adalah upaya yang dilakukan
untuk mencegah / mengurangi pajanan Mikobacterium
Tuberkulosis kepada petugas kesehatan, pasien, pengunjung dan
lingkungan dengan menyediakan, mensosialisasikan dan
memantau pelaksanaan standar prosedur dan alur pelayanan.
Upaya ini mencakup:
a. Mendidik pasien mengenai etika batuk.
b. Menempatkan semua suspek dan pasien TB di ruang tunggu
yang mempunyai ventilasi baik
c. Menyediaan tisu dan masker, tempat pembuangan tisu serta
pembuangan dahak yang benar.
d. Memasang poster, spanduk dan bahan untuk KIE .
e. Mempercepat proses penatalaksanaan pelayanan bagi pasien
suspek dan TB, termasuk diagnostik, terapi dan rujukan
sehingga waktu berada pasien di fasyankes dapat sesingkat
mungkin.
f. Melaksanakan pelatihan dan pendidikan mengenai PPI TB
bagi semua petugas kesehatan.
Secara ringkas, upaya pengendalian administratif ini dapat dicapai
dengan melaksanakan lima langkah penatalaksanaan pasien
sebagai berikut:
5 (Lima) Langkah Penatalaksanaan pasien Untuk Mencegah
Infeksi TB Pada Tempat
Langka Kegiatan Keterangan
h
1. Triase Pengenalan segera pasien suspek atau
63
konfirm TB adalah langkah pertama.
Hal ini bisa dilakukan dengan menempatkan
petugas untuk menyaring pasien dengan
batuk lama segera pada saat datang di
fasilitas. Pasien dengan batuk ≥ 2 minggu,
atau yang sedang dalam investigasi TB tidak
dibolehkan meng-antri dengan pasien lain
untuk mendaftar atau mendapatkan kartu.
Mereka harus segera dilayani mengikuti
langkah-langkah dibawah ini.
Meng-instruksi-kan pasien yang tersaring
diatas untuk melakukan etika batuk. Yaitu
untuk menutup hidung dan mulut ketika batuk
2. Penyuluhan
atau bersin. Kalau perlu berikan masker atau
tisu untuk menutup mulut dan mencegah
terjadinya aerosol.
Pasien yang suspek atau kasus TB melalui
pertanyaan penyaringan harus dipisahkan dari
pasien lain, dan diminta menunggu di ruang
3. Pemisahan
terpisah dengan ventilasi baik serta diberi
masker bedah atau tisu untuk menutup mulut
dan hidung pada saat menunggu.
Pasien dengan gejala batuk segera
mendapatkan pelayanan untuk mengurangi
waktu tunggu sehingga orang lain tidak
Pemberian
terpajan lebih lama.
4. pelayanan
Ditempat pelayanan terpadu TB - HIV,
segera
usahakan agar jadwal pelayanan HIV
dibedakan jam atau harinya dengan
pelayanan TB atau TB-HIV
5. Rujuk Untuk mempercepat pelayanan, pemeriksaan
untuk diagnostik TB sebaiknya dilakukan ditempat
64
pelayanan itu, tetapi bila layanan ini tidak
tersedia, fasilitas perlu membina kerjasama
baik dengan sentra diagnostik TB untuk
investigasi/
merujuk/melayani pasien dengan gejala TB
pengobatan
secepat mungkin. Selain itu, fasilitas perlu
TB
mempunyai kerjasama dengan sentra
pengobatan TB untuk menerima rujukan
pengobatan bagi pasien terdiagnosa TB.
65
3. Pengendalian Lingkungan
Pengendalian Lingkungan adalah upaya peningkatan dan
pengaturan aliran udara/ventilasi dengan menggunakan teknologi
untuk mencegah penyebaran dan mengurangi / menurunkan
kadar percik renik di udara. Upaya pengendalian dilakukan
dengan menyalurkan percik renik kearah tertentu 18 (directional
airflow) dan atau ditambah dengan radiasi utraviolet sebagai
germisida.
4. Pengendalian Dengan Alat Perlindungan Diri
Penggunaan alat pelindung diri pernapasan oleh petugas
kesehatan di tempat pelayanan sangat penting untuk menurunkan
risiko terpajan, sebab kadar percik renik tidak dapat dihilangkan
dengan upaya administratif dan lingkungan.
Petugas kesehatan perlu menggunakan respirator particulat
(respirator) pada saat melakukan prosedur yang berisiko tinggi,
misalnya bronkoskopi, intubasi, induksi sputum, aspirasi sekret
saluran napas, dan pembedahan paru. Selain itu, respirator ini
juga perlu digunakan saat memberikan perawatan kepada pasien
atau saat menghadapi/menangani pasien tersangka MDR-TB dan
XDR-TB di poliklinik.
Petugas kesehatan dan pengunjung perlu mengenakan
respirator jika berada berumah sakitama pasien TB di ruangan
tertutup. Pasien atau terumah sakitangka TB tidak perlu
menggunakan respirator tetapi cukup menggunakan masker
bedah untuk melindungi lingkungan sekitarnya dari droplet.
66
1. Ventilasi alamiah: adalah sistem ventilasi yang mengandalkan pada
pintu dan jendela terbuka, serta skylight (bagian atas ruangan yang
bisa dibuka/terbuka) untuk mengalirkan udara dari luar kedalam
gedung dan sebaliknya. Indonesia sebaiknya menggunakan
ventilasi alami dengan menciptakan aliran udara silang (cross
ventilation) dan perlu dipastikan arah angin yang tidak
membahayakan petugas atau pasien lain.
2. Ventilasi Mekanik : adalah sistem ventilasi yang menggunakan
peralatan mekanik untuk mengalirkan dan mensirkulasi udara di
dalam ruangan secara paksa untuk menyalurkan / menyedot udara
ke arah tertentu sehingga terjadi tekanan udara positif dan negatif.
Termasuk exhaust fan, kipas angin berdiri ( standing fan ) atau
duduk.
3. Ventilasi campuran ( hybrid ): adalah sistem ventilasi alamiah
ditambah dengan penggunaan peralatan mekanik untuk menambah
efektifitas penyaluran udara. Pemilihan jenis sistem ventilasi
tergantung pada jenis fasilitas dan keadaan setempat.
Pertimbangan pemilihan sistem ventilasi suatu fasyankes
berdasarkan kondisi lokal yaitu struktur bangunan, iklim – cuaca,
peraturan bangunan, budaya, dana dan kualitas udara luar ruangan
serta perlu dilakukan monitoring dan pemeliharaan secara periodik.
Pada RSUD dr. Sayidiman Magetan ini menggunakan ventilasi
campuran.
Pengaturan tata letak ruangan seperti antara ruangan infeksius
dan non infeksius, pembagian area ( zoning ) tempat pelayanan juga
perlu memperoleh perhatian untuk PPI TB. Pemantauan sistem
ventilasi harus memperhatikan 3 unsur dasar, yaitu:
1. Laju ventilasi ( ventilation rate ): Jumlah udara luar gedung yang
masuk ke dalam ruangan pada waktu tertentu .
2. Arah aliran udara ( airflow direction ): Arah aliran udara dalam
gedung dari area bersih ke area terkontaminasi .
67
3. Distribusi udara atau pola aliran udara ( airflow pattern ): Udara luar
perlu terdistribusi ke setiap bagian dari ruangan dengan cara yang
efisien dan udara yang terkontaminasi dialirkan keluar dengan cara
yang efisien.
Kebutuhan ventilasi yang baik, bervariasi tergantung pada
jenis ventilasi yang digunakan, seperti resirkulasi udara atau aliran
udara segar. Harus ada dua hasil pengukuran untuk mengukur laju
ventilasi, yaitu (1) dengan menghitung volume ruangan dan (2)
menghitung kecepatan angin Dari hasil perhitungan akan didapat
pertukaran udara per jam airchanges per hour ( ACH ). Pertukaran
udara yang memenuhi persyaratan PPI-TB minimal 12 x / jam.
68
BAB VI
KESELAMATAN PASIEN
69
BAB VII
KESELAMATAN KERJA
A. JENIS RESPIRATOR
70
dipakai menempel erat pada wajah tanpa ada kebocoran. Masker
ini membuat pernapasan pemakai menjadi lebih berat. Harganya
lebih mahal daripada masker bedah. Bila cara pemeliharaan dan
penyimpanan dilakukan dengan baik, maka respirator ini dapat
digunakan kembali, maksimal untuk 5 hari. Sebelum memakai
masker ini, petugas kesehatan perlu melakukan fit test.
Fungsi alat ini akan menjadi kurang efektif dan aman bila tidak
menempel erat pada wajah. Beberapa keadaan yang dapat
menimbulkan keadaan demikian, yaitu:
1. Adanya janggut atau rambut diwajah bagian bawah.
2. Adanya gagang kacamata .
3. Ketiadaan satu atau dua gigi pada kedua sisi yang dapat
mempengaruhi perlekatan bagian wajah masker.
71
Genggamlah respirator dengan satu tangan, posisikan sisi depan
bagian hidung pada ujung jari-jari anda, biarkan tali pengikat
respirator menjuntai bebas dibawah tangan anda
72
Tariklah tali pengikat respirator yang atas dan posisikan tali agak
tinggi dibelakang kepala anda diatas telinga. Tariklah tali pengikat
respirator yang bawah dan posisikan tali pada kepala bagian atas
(posisi tali menyilang)
73
Tutup bagian depan respirator dengan kedua tangan, dan hati-hati
agar posisi respirator tidak berubah.
74
Gambar 1: Contoh Poster Etik
75
E. KESELAMATAN DAN KEAMANAN LABORATORIUM TB
Konsep perlindungan diri petugas laboratorium tetap mengacu
pada kewaspadaan standar dan kewaspadaan berdasarkan
transmisi melalui udara (airborne) dan transmisi melalui kontak
apabila sedang memproses spesimen. Petugas lab yang
menangani pemeriksaan BTA dan kultur BTA berhak mendapatkan
pemeriksaan kesehatan rutin setiap tahun.
Kehati-hatian dalam melakukan prosedur laboratorium perlu
ditekankan terutama apabila kemungkinan menimbulkan aerosol.
Pekerjaan harus dilakukan dalam lemari biologic safety cabinet
kelas I atau IIA dengan keamanan tingkat 2 ( biosafety level 2 )
yang dilengkapi laminar - airflow dan filter HEPA. Sebelum bekerja,
meja kerja kabinet dialasi dengan bahan penyerap yang sudah
dibasahi larutan disinfektans. Setiap selesai bekerja, permukaan
kabinet harus diberumah sakitihkan dengan larutan disinfektan.
Lampu ultra violet harus selalu dinyalakan apabila kabinet dalam
keadaan tidak digunakan. Untuk pemeliharaan biosafety cabinet
perlu dilakukan pengecekan berkala minimal 1 (satu) kali dalam
setahun oleh teknisi yang kompeten dan tersertifikasi. Sistem
ventilasi udara laboratorium TB harus diatur sedemikian rupa
sehingga udara mengalir masuk sesuai area besih ke area
tercemar dan keluar ke udara bebas yang tidak dilalui lalu lintas
manusia. Ruang pemrosesan dianjurkan selalu terpasang dan
dinyalakan lampu ultra violet bila dalam keadaan tidak digunakan.
Lampu harus selalu dalam keadaan bersih dan efek germisidal
lampu diperiksa secara rutin setiap bulan menggunakan alat
pengukur.
76
BAB VIII
PENGENDALIAN MUTU
77
Salah satu komponen penting dari survailans yaitu pencatatan
dan pelaporan dengan maksud mendapatkan data untuk diolah,
dianalisis, diinterpretasi, disajikan dan disebarluaskan untuk
dimanfaatkan. Data yang dikumpulkan pada kegiatan survailans
harus valid ( akurat, lengkap dan tepat waktu ) sehingga
memudahkan dalam pengolahan dan analisis. Data program
Tuberkulosis dapat diperoleh dari pencatatan di semua unit
pelayanan kesehatan yang dilaksanakan dengan satu sistem yang
baku.
78
3. Laporan OAT (TB.13)
4. Data situasi ketenagaan program TB
BAB IX
PENUTUP
79
NIP. 19640104 199509 1 001
80