Anda di halaman 1dari 80

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menurut World Helath Organization (WHO), 1999 jumlah pasien
Tuberkulosis (TB) di Indonesia sekitar 10% jumlah pasien TB di dunia dan
merupakan ke 3 terbanyak di dunia setelah India dan China. Diperkirakan
saat ini jumlah pasien TB di Indonesia sekitar 5,8% dari total jumlah pasien
TB dunia dan setiap tahun terdapat 539.000 kasus baru. Insidens kasus TB
BTA positif sekitar 107 per 100.000 penduduk. Data Survei Tuberkulosis
Nasional tahun 2004 masih mendapatkan bahwa kasus baru di Indonesia
rata-rata 110 per 100.000 penduduk dengan kematian 100.000 per tahun.
Hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2007 menyatakan penyakit TB
merupakan penyebab kematian nomor 2 setelah penyakit stroke, baik di
perkotaan maupun pedesaan. Berdasarkan data statitstik rumah sakit tahun
2007, TB menempati urutan pertama dalam proporsi penyakit menular
(27,8%), dan menempati urutan ke 14 sebagai penyakit terbanyak di rawat
inap, sedangkan tahun 2008 menempati urutan ke 7 sebagai penyakit
terbanyak di rawat jalan.
Penanggulangan Tuberkulosis (TB) di Indonesia sudah berlangsung
sejak zaman penjajahan Belanda namun terbatas pada kelompok tertentu
saja yang ditandai dengan berdirinya fasilitas diagnostik dan sanatorium di
kota-kota besar. Dengan dukungan dari pemerintah Belanda, diagnosis TB
dilakukan dengan pemeriksaan rontgen, diikuti dengan penanganan TB
melalui hospitalisasi.
Studi prevalensi TB pertama kali dilakukan pada tahun 1964 di
karesidenan Malang dan kota Yogyakarta. Lima tahun kemudian (1969),
program pengendalian TB nasional dengan pedoman penatalaksanaan TB
secara baku dimulai di Indonesia. Pada periode 1972-1995 penanganan TB
tidak lagi berbasis hospitalisasi, akan tetapi melalui diagnosis dan pelayanan
TB di fasilitas kesehatan primer, yaitu di puskesmas. Pengobatan TB
menggunakan dua rejimen pengobatan menggantikan pengobatan
konvensional (2HSZ/10H2S2) dan strategi penemuan kasus secara aktif
secara bertahap.
Pada tahun 1993, The Royal Netherlands TB Association melakukan
ujicoba strategi Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) di empat
kabupaten di Sulawesi Tahun 1994, bekerja sama dengan World Helath
Organization (WHO) melakukan uji coba implementasi DOTS di provinsi

1
Jambi dan Jawa Timur.
Setelah keberhasilan uji coba di dua provinsi ini, akhirnya Kementerian
Kesehatan mengadopsi strategi DOTS untuk diterapkan secara nasional
pada tahun 1995. Pada tahun 1995-2000, pedoman nasional disusun dan
strategi DOTS mulai diterapkan di Puskesmas. Seperti halnya dalam
implementasi sebuah strategi baru, terdapat berbagai tantangan di lapangan
dalam melaksanakan kelima strategi DOTS. Untuk mendorong peningkatan
cakupan strategi DOTS dan pencapaian targetnya dilakukan dua Joint
Eksternal Monitoring Mission oleh tim pakar internasional.
Rencana strategi nasional Pengendalian TB disusun pertama kali pada
periode tahun 2000 - 2005 sebagai pedoman bagi provinsi dan kabupaten
untuk merencanakan dan melaksanakan program pengendalian TB.
Pencapaian utama selama periode ini adalah:
1. Pengembangan rencana strategis 2002-2006
2. Penguatan kapasitas manajerial dengan penambahan staf di tingkat pusat
dan provinsi.
3. Pelatihan berjenjang dan berkelanjutan sebagai bagian dari
pengembangan sumber daya manusia.
4. Kerja sama internasional dalam memberikan dukungan teknis dan
pendanaan dari pemerintah Belanda dan World Health Organizatio( WHO)
5. Pelatihan perencanaan dan anggaran di tingkat daerah.
6. Perbaikan supervisi dan monitoring dari tingkat pusat dan provinsi.
7. Keterlibatan Balai Pengobatan Penyakit Paru Paru (BP4) dan rumah sakit
pemerintah dan swasta dalam melaksanakan strategi DOTS melalui
ujicoba Hospital DOTS Linkage (HDL) di Yogjakarta.
Keberhasilan target global tingkat deteksi dini dan kesembuhan dapat
dicapai pada periode tahun 2006 - 2010. Selain itu, berbagai tantangan baru
dalam implementasi strategi DOTS muncul periode ini. Tantangan terumah
sakitebut antara lain penyebaran ko-infeksi Tuberkulosis – Human Imunologi
Virus (TB-HIV), peningkatan resistensi obat TB, jenis penyedia pelayanan TB
yang sangat beragam, kurangnya pengendalian infeksi TB di fasilitas
kesehatan, serta penatalaksanaan TB yang bervariasi. Mitra baru yang aktif
berperan dalam pengendalian TB pada periode ini antara lain Direktorat
Jenderal Bina Upaya Kesehatan di Kementerian Kesehatan, Ikatan Dokter
Indonesia ( IDI ), dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Hasil survei prevalensi TB Tahun 2004 menunjukkan bahwa pasien TB
juga menggunakan pelayanan rumah sakit, (BP4) dan praktik swasta untuk
tempat berobat. Ujicoba, implementasi dan akselerasi pelibatan Fasilitas
Pelayanan Kesehatan (Fasyankes) selain puskesmas sebagai bagian dari

2
inisiatif Public-Private Mix telah dimulai pada tahun 1999-2000. Pada tahun
2007, seluruh BP4 dan sekitar 30% rumah sakit telah menerapkan strategi
DOTS. Untuk praktik swasta, strategi DOTS belum diimplementasi secara
sistematik, meskipun telah dilakukan ujicoba model pelibatan praktisi swasta
di Palembang pada tahun 2002 serta di provinsi Yogyakarta dan Bali pada
tahun 2004-2005. Untuk akselerasi DOTS di rumah sakit, sekitar 750 dari
1645 rumah sakit telah dilatih. Koordinasi di tingkat pusat dengan direktorat
jenderal bina upaya kesehatan semakin intensif. Selain itu direktorat jenderal
bina upaya kesehatan juga melakukan penilaian kebeberapa rumah sakit
yang telah menerapkan DOTS. Penguatan aspek regulasi dalam
implementasi strategi DOTS di rumah sakit akan diintegrasikan dengan
kegiatan akreditasi rumah sakit.

B. Tujuan Pedoman pelayanan TB dengan Strategi DOTS.


1. Tujuan Umum.
Sebagai pedoman manajerial pelayanan Tuberkulosis dengan TB-
DOTS di rumah sakit, disusun dengan tujuan untuk meningkatkan mutu
pelayanan medis TB di rumah sakit dr. Sayidiman Magetan melalui
penerapan strategi DOTS secara optimal dengan mengupayakan
kesembuhan dan pemulihan pasien melalui prosedur dan tindakan yang
dapat dipertanggung jawabkan serta memenuhi etika kedokteran.
2. Tujuan Khusus
1. Sebagai pedoman manajerial dalam program penanggulangan TB di
rumah sakit dengan strategi DOTS.
2. Sebagai indikator mutu penerapan standar pelayanan rumah sakit
dalam program penanggulangan TB melalui akreditasi.
3. Sebagai salah satu alat ukur kinerja rumah sakit dalam penanggulangan
TB melalui indikator Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit ( SPM-
RS ).

C. Ruang Lingkup Pelayanan.


Ruang lingkup pelayanan Tuberkulosis dengan strategi DOTS meliputi:
1. Pelayanan pasien dengan suspek TB
Pelayanan yang diberikan kepada pasien yang datang dengan keluhan
batuk produktif selama 2 minggu/lebih.
2. Pelayanan pasien dengan TB Paru dan TB ekstra paru
Pelayanan yang diberikan kepada pasien yang telah didiagnosis TB paru
maupun TB ekstra paru baik oleh dokter umum maupun dokter spesialis.
3. Pelayanan TB di IGD, berfungsi menjaring tersangka pasien TB,

3
menegakkan diagnosis dan mengirim pasien ke poli TB-DOTS .
4. Pelayanan TB rawat jalan
Pelayanan yang dilakukan terhadap pasien TB rawat jalan.
5. Pelayanan TB rawat inap
Pelayanan yang dilakukan terhadap pasien TB rawat inap. Rawat inap
berfungsi sebagai pendukung tim TB-DOTS dalam melakukan
penjaringan tersangka serta perawatan dan pengobatan.
6. Poli TB-DOTS berfungsi sebagai tempat penanganan seluruh pasien TB
di rumah sakit dan pusat informasi tentang TB. Kegiatannya meliputi
konseling, penentuan klasifikasi dan tipe, kategori pengobatan,
pemberian Obat Anti Tuberkulosis (OAT), penentuan Pengawas Minum
Obat (PMO), follow up hasil pengobatan dan pencatatan.
7. Laboratorium berfungsi sebagai sarana diagnostik.
8. Radiologi berfungsi sebagai sarana penunjang diagnostik.
9. Farmasi berfungsi sebagai unit yang bertanggung jawab terhadap
ketersediaan OAT.
10. Rekam medis berfungsi sebagai pendukung tim TB-DOTS dalam
pencatatan dan pelaporan semua kegiatan TB-DOTS.
11. Promosi Kesehatan Rumah Sakit ( PKRS ) berfungsi sebagai pendukung
tim TB-DOTS dalam kegiatan penyuluhan.

D. Batasan Operasional
Batasan operasional dari pedoman pelayanan Tuberkulosis dengan strategi
DOTS di RSUD dr. Sayidiman Magetan antara lain:
1. Pedoman di susun menurut undang-undang, peraturan, pedoman dan
kebijakan yang berlaku.
2. Isi pedoman disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan rumah
sakit.
3. Pedoman diberlakukan di lingkungan di RSUD dr. Sayidiman
Magetan.
4. Semua petugas yang memberikan pelayanan terhadap pasien
Tuberkulosis secara langsung maupun tidak langsung harus
berpedoman kepada buku pedoman ini.
5. Dapat dilakukan perubahan pada buku pedoman apabila diperlukan
dikemudian hari.

Batasan operasional dari Pelayanan Tuberkulosis dengan Strategi DOTS di


rumah sakit Dr.Sayidiman Magetan, adalah sebagai berikut :

4
1. Tuberkulosis (TB) : penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
kuman TB (Mycobacterium tuberculosis).
2. Suspek TB : pasien dengan gejala batuk produktif selama 2 minggu/lebih.
3. TB paru : Tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru. Tidak
termasuk pleura (selaput paru) ataupun kelenjar pada hilus.
4. TB ekstra paru : Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain
paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar
lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin,
dan lain-lain.
5. Tim TB-DOTS : Tim yang dibentuk sebagai wadah khusus dalam
pengelolaan pasien TB di rumah sakit. Ketua dan anggota tim memiliki
kualifikasi dan kompetensi dalam melakukan pengelolaan terhadap pasien
TB.
6. Jejaring internal : Jejaring internal adalah jejaring yang dibuat di dalam
rumah sakit yang meliputi seluruh unit yang menangani pasien
Tuberkulosis.
7. Jejaring eksternal : Jejaring yang dibangun antara dinas kesehatan, rumah
sakit, puskesmas, dan Unit Pelayanan Kesehatan ( UPK ) lainnya dalam
penanggulangan Tuberkulosis dengan strategi DOTS.

E. Landasan Hukum
Dasar hukum terbentuknya tim TB-DOTS di rumah sakit Dr.Sayidiman
Magetan adalah :
1. Undang - undang Republik Indonesia nomor 36 tahun 2009 tentang
kesehatan.
2. Undang - undang Republik Indonesia nomor 44 tahun 2009 tentang
rumah sakit.
3. Undang - undang Republik Indonesia nomor 29 tahun 2004 tentang
praktik kedokteran.
4. Undang – undang Republik Indonesia nomor 32 tahun 2004 tentang
pemerintahan daerah.
5. Peraturan pemerintah Republik Indonesia nomor 65 tahun 2005
tentang pedoman penyusunan dan penerapan standar pelayanan
minimal.
6. Peraturanmenteri kesehatan Republik Indonesia nomor
1575/Menkes/Per/XI/2005 tentang organisasi dan tata kerja kementerian
kesehatan.
7. Keputusan menteri kesehatan nomor 364/Menkes/SK/V/2009 tentang
pedoman nasional penanggulangan Tuberkulosis.

5
8. Keputusan menteri kesehatan nomor 1333/Menkes/SK/II/2008 tentang
standar pelayanan rumah sakit.
9. Peraturan menteri dalam negeri nomor 6 tahun 2007 tentang petunjuk
teknis penyusunan dan penetapan standar pelayanan minimal.
10. Surat edaran menteri kesehatan nomor 884/Menkes/VII/2007 tentang
ekspansi TB strategi DOTS di rumah sakit dan balai kesehatan /
pengobatan penyakit paru.
11. Surat edaran direktur jenderal bina pelayanan medik nomor
YM.02.08/III/673/07 tentang penatalaksanaan Tuberkulosis di rumah
sakit.
12. Surat keputusan tim TB-DOTS rumah sakit.

6
BAB II
STANDAR KETENAGAAN

A. PEMBENTUKAN TIM TB DOTS RUMAH SAKIT


Mengingat pelaksanaan pelayanan TB di rumah sakit sangat rumit
dengan keterlibatan berbagai bidang disiplin ilmu kedokteran serta penunjang
medik, baik di poliklinik, maupun bangsal bagi pasien rawat jalan dan rawat
inap serta rujukan pasien dan spesimen, maka dalam pengelolaan TB di
rumah sakit dibutuhkan manajemen tersendiri dengan dibentuknya tim TB-
DOTS di RSUD dr. Sayidiman Magetan.
Nama
No Pendidikan Pelatihan Kebutuhan Tersedia
Jabatan
1 Konsultan Spesialis Bersertifika 2 2
TIM TB- Paru t
DOTS
2 Ketua TIM Spesialis Bersertifika 1 2
TB-DOTS Paru t
3 Koordinator DIII Rekam Belum 1 -
Pencatatan Medis Bersertifika
dan t
Pelaporan
4 Koordinator S1 Bersertifika 1 1
Jejaring Keperawata t
Internal n
5 Koordinator S1 Bersertifika 1 1
Jejaring Keperawata t
Eksternal n
6 Koordinator S1 Bersertifika 1 1
Rawat Jalan Keperawata t
n
7 Koordinator S1 Bersertifika 9 1
Rawat Inap Keperawata t
n
8 Koordinator DIII Analis Bersertifika 3 3
Laboratoriu t
m
9 Koordinator DIII Farmasi Belum 2 2
Farmasi Bersertifika
t

7
10 Koordinator DIII Belum 1 1
Radiologi Radiologi Bersertifika
t
11 Koordinator S1 Belum 1 1
PKRS Keperawata Bersertifika
n t

1. Uraian Jabatan:
a. Pelindung Tim TB-DOTS
Pelindung tim TB-DOTS adalah direktur rumah sakit
Tugas pokok:
1) Menetapkan Tim TB-DOTS dan surat keputusan.
2) Menetapkan kebijakan dalam srategi program TB-DOTS di rumah
sakit.
b. Penanggung jawab Tim TB-DOTS
Penanggung jawab Tim TB-DOTS adalah kepala bidang pelayanan
rumah sakit
1) Tugas pokok :
Bertanggung jawab dalam semua kegiatan pelayanan TB- DOTS
2) Uraian Tugas:
a)Merupakan penanggung jawab utama dalam pelayanan TB- DOTS
b)Berkoordinasi dengan dinas kesehatan (propinsi / kabupaten / Kota)
dan organisasi profesi untuk kegiatan yang berkaitan dengan
pelayanan TB.

c. Ketua Tim TB-DOTS


Ketua tim adalah seorang dokter spesialis paru yang bersertifikat
Pelatihan Pelayanan Tuberkulosis dengan Strategi DOTS di Rumah
Sakit (PPTS DOTS).
1) Tanggung jawab:
Secara administratif dan fungsional bertanggung jawab seluruhnya
terhadap pelaksanaan program TB-DOTS di rumah sakit.
2) Tugas pokok :
a) Mengkoordinasi semua pelaksanaan kegiatan program TB-DOTS di
rumah sakit.
b) Bertanggung jawab atas semua kegiatan TB-DOTS di rumah sakit.
c) Membagi tugas pelaksanaan program TB-DOTS kepada seluruh
anggota.
3) Uraian tugas :
a) Menyusun dan merencanakan pelaksanaan kegiatan program
8
kerja TB-DOTS.
b) Memimpin, mengkoordinir dan mengevaluasi pelaksanaan
operasional TB-DOTS secara efektif, efisien dan bermutu.
c) Bertanggung jawab terhadap koordinasi dengan bagian unit kerja
terkait.
d) Memberikan pembinaan terhadap anggota TB-DOTS
e) Memimpin pertemuan rutin setiap bulan dengan anggota TB-DOTS
untuk membahas dan menginformasikan hal - hal penting yang
berkaitan dengan TB-DOTS.
f) Menghadiri pertemuan manajemen, bila dibutuhkan.
g) Menjalin Kerjasama antar unit terkait.
h) Meningkatkan pengetahuan anggota, membuat dan memperbaiki
cara kerja dan pedoman kerja yang aman dan efektif
4) Wewenang:
a) Memberikan penilaian kinerja anggota TB-DOTS.
b) Membuat prosedur TB-DOTS.
5) Hasil Kerja:
a) Daftar kerja untuk anggota TB-DOTS
b) Usulan perencanaan ketenagaan dan fasilitas yang dibutuhkan di
tim TB-DOTS
c) Standar Operating Prosedur TB-DOTS
d) Laporan Program TB-DOTS
d. Konsultan TIM TB-DOTS
Konsultan tim adalah seorang dokter spesialis paru yang bersertifikat
Pelatihan Pelayanan Tuberkulosis dengan Strategi DOTS di Rumah
Sakit (PPTS DOTS).
1) Kualifikasi :
Memiliki sertifikat Pelatihan Pelayanan Tuberkulosis dengan strategi
DOTS di rumah sakit.
2) Tugas Pokok :
Memberi bimbingan dan arahan ke semua petugas pelaksana
pelayanan dan atau Tim TB-DOTS.
3) Uraian Tugas
a) Menjadi mitra ketua tim TB-DOTS untuk memimpin, mengkoordinir
dan mengevaluasi pelaksanaan operasional tim TB-DOTS secara
efektif, efisien dan bermutu.
b) Menjadi mitra ketua tim TB-DOTS untuk bertanggung jawab
terhadap koordinasi dengan bagian unit kerja terkait.

c) Menjadi mitra ketua tim TB-DOTS untuk memberikan pembinaan


9
terhadap anggota tim TB-DOTS.
d) Menjadi mitra ketua tim TB-DOTS untuk meningkatkan
pengetahuan anggota, membuat dan memperbaiki cara kerja dan
pedoman kerja yang aman dan efektif.
e) Memberikan pertimbangan / saran pada perencanaan,
pengembangan program dan fasilitasinya.

f) Membuat analisa kinerja tim TB-DOTS.


4) Uraian Wewenang :
Menjadi mitra ketua tim TB-DOTS.
5) Hasil Kerja :
a) Analisa TB-DOTS.
b) Pelaporan TB-DOTS.
c) Usulan perencanaan ketenagaan dan fasilitas yang dibutuhkan
d) Standar Operasional Prosedur (SOP) TB-DOTS
e) Laporan program TB-DOTS
e. Anggota Tim TB-DOTS
Anggota Tim TB-DOTS adalah dokter / perawat / tenaga laboratorium /
tenaga medis lainnya yang bersertifikat PPTS DOTS atau yang telah
mendapatkan pelatihan tentang pelayanan Tuberkulosis dengan strategi
DOTS baik pelatihan secara internal maupun eksternal.
1) Kualifikasi :
Sebagian memiliki sertifikat pelatihan pelayanan Tuberkulosis dengan
strategi DOTS di rumah sakit.
2) Tanggung Jawab :
Secara administratif dan fungsional bertanggung jawab kepada ketua
dan wakil tim TB-DOTS dalam pelaksanaan program kerja TB-DOTS
disetiap unitnya masing-masing.
3) Tugas Pokok :
Membantu pelaksanaan semua kegiatan di program TB-DOTS.
4) Uraian Tugas :
a) Mencatat dan melaporkan formulir TB-DOTS
01,02,03,04,05,06,09,10 dan buku registrasi pasien Tuberkulosis di
rumah sakit.
b) Melakukan program kerja TB-DOTS.
5) Uraian Wewenang :
Berdiri secara mandiri dan aktif untuk memberikan saran perencanaan
dan pengembangan pelayanan TB-DOTS.
6) Hasil Kerja
a) Pelaksanaan program kerja TB-DOTS.
10
b) Penerapan regulasi TB-DOTS
c) Laporan evaluasi kerja.

B. STRUKTUR ORGANISASI KETENAGAAN Tim TB-DOTS

KONSULTAN

KETUA
Koordinator
Pencatatan Dan
Pelaporan

Koordinator Koordinator
Jejaring Internal Jejaring Eksternal

Rwt Jalan Rwt Inap Laboratorium Farmasi Radiologi PKRS

C. DISTRIBUSI KETENAGAAN
Pola pengaturan ketenagaan di ruang inap penyakit paru yaitu
1.Untuk Dinas Pagi
Petugas yang ada berjumlah 2 ( dua ) orang dengan kategori :
1 (satu) orang Ka ru
1 (satu) orang waka ru
1 (satu) orang pelaksana
2. Untuk Dinas Sore
Petugas yang ada berjumlah 2 ( dua ) orang dengan kategori :
1 (satu) orang PJ Shift
1 (satu) orang pelaksana
3. Untuk Dinas Malam
Petugas yang ada berjumlah 2 ( dua ) orang dengan kategori :
1 (satu) orang PJ Shift
1 (satu) orang pelaksana
4. Pola pengaturan ketenagaan di Poli TB-DOTS yaitu
1 (satu) orang dokter spesialis/ umum
1 (satu) orang pelaksana
1 (satu) orang administrasi

11
D. PENGATURAN JAGA
1. Di rawat inap
a. Pengaturan jadwal dinas perawat dibuat dan dipertanggung jawabkan
oleh Kepala Ruang (Ka Ru) dan disetujui oleh kepala bidang pelayanan
medis dan keperawatan.
b. Jadwal dinas dibuat untuk jangka waktu satu bulan dan direalisasikan ke
perawat pelaksana
c. Untuk tenaga perawat yang memiliki keperluan penting pada hari
tertentu, maka perawat rumah sakit tersebut dapat mengajukan
permintaan dinas pada buku permintaan. Permintaan akan disesuaikan
dengan kebutuhan tenaga yang ada (apabila tenaga mencukupi dan
berimbang serta tidak mengganggu pelayanan, maka permintaan
disetujui).
d. Setiap tugas jaga / shift harus ada perawat penanggung jawab shift (PJ
Shift) dengan syarat pendidikan S1 Keperawatan / D3 keperawatan
pengalaman minimal pengalaman 2 tahun, serta memiliki sertifikat.
e. Jadwal dinas terbagi atas dinas pagi, dinas sore, dinas malam, lepas
malam, libur dan cuti.
f. Apabila ada tenaga perawat jaga karena sesuatu hal sehingga tidak
dapat jaga sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan (terencana),
maka perawat yang bersangkutan harus memberitahu Ka Ru : 2 jam
sebelum dinas pagi, 4 jam sebelum dinas sore dan dinas malam.
Sebelum memberitahu Ka Ru, diharapkan perawat yang bersangkutan
sudah mencari pengganti maka Ka Ru akan mencari tenaga perawat
pengganti yaitu perawat yang pada hari itu libur atau perawat yang
tinggal di asrama.
2. Di Poli Paru-TB-DOTS
a. Semua petugas dinas pagi jam 07.00 wib sampai dengan jam 13.30 wib.
b. Hari buka senin sampai Sabtu.

E. PELATIHAN
Untuk meningkatkan mutu pelayanan, keterampilan dan pengetahuan perawat
yang bekerja di ruang paru maka diperlukan, pelatihan - pelatihan yang
mendukung profesialisme agar senantiasa dapat memberikan pelayanan yang
bermutu seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan kedokteran dan
keperawatan. Pelatihan yang diperlukan yaitu :
1. Pelatihan TB-DOTS untuk petugas kesehatan yang merawat pasien TB.
2. Pelatihan kolaborasi TB –HIV untuk petugas kesehatan yang merawat
pasien TB.

12
3. Pelatihan PITC (Provider Inisiasi Test and Counseling HIV ) untuk petugas
yang merawat pasien TB.

13
BAB III
STANDAR FASILITAS

A.FASILITAS DAN PERALATAN

Fasilitas yang cukup harus tersedia bagi staf medis sehingga dapat
tercapai tujuan dan fungsi pelayanan TB-DOTS yang optimal bagi pasien
TB.
Kriteria :
1. Tersedia ruangan khusus pelayanan pasien TB (Poli TB-DOTS) yang
berfungsi sebagai pusat pelayanan TB di rumah sakit meliputi kegiatan
diagnostik, pengobatan, pencatatan dan pelaporan, serta menjadi
pusat jejaring internal / eksternal TB-DOTS.
2. Ruangan telah memenuhi persyaratan Pencegahan dan Pengendalian
Infeksi TB (PPI-TB) di rumah sakit.
3. Tersedia peralatan untuk melakukan pelayanan medis TB.
4. Tersedia ruangan bagi penyelenggaraan KIE terhadap pasien TB dan
keluarga.
5. Tersedia ruangan laboratorium yang mampu melakukan pemeriksaan
mikroskopis dahak.

B. DENAH RUANGAN POLI TB-DOTS


Denah ruangan poli TB-DOTS di RSUD dr. Sayidiman Magetan

9 11

1
8 3

7 6
10

14
Keterangan :
1. Pintu masuk.
2. Jendela.
3. Kipas angin.
4. Meja perawat.
5. Lemari berkas.
6. Meja dokter.
7. Exhaust fan.
8. Tempat tidur pasien.
9. Exhaust fan.
10. Wastafel.
11. Kursi pasien.

C. DAFTAR INVENTARIS POLI TB-DOTS

Tabel 3.1 Inventaris alat di poli TB-DOTS RSUD dr. Sayidiman Magetan
No Daftar Alat Jumlah
1 Tempat tidur periksa 1 unit
2 Meja Tulis 2 unit
3 Kursi 5 unit
4 Rak penyimpanan formulir TB 1 unit
5 Tensimeter 1 unit
6 Stetoskop 1 unit
7 Handschoen 1 box
8 Masker Disposible 2 box
9 Masker N 95 1 box
10 Timbangan 1 unit
11 Exhaust Fan 2 unit
12 AC 1 unit
13 Telepon 1 unit
14 Wastafel 1 unit
15 Tempat sampah infeksius & non infeksius @ 1 unit

15
BAB IV
TATA LAKSANA PELAYANAN

A. DEFINISI
Strategi pelayanan TB-DOTS (Directly Observed Treatment
Shourtcourse) adalah strategi yang digunakan untuk pengobatan TB yang
mempunyai tujuan utama pengobatan pasien TB adalah menurunkan angka
kematian dan kesakitan serta mencegah penularan dengan cara
menyembuhkan pasien.

B. VISI
Memberikan akses terhadap pelayanan yang bermutu bagi setiap
pasien TB di RSUD dr. Sayidiman Magetan.

C. MISI
Menurunkan angka kesakitan dan angka kematian TB, memutuskan
rantai penularan, serta mencegah terjadinya Multi Drug Resistent ( MDR
TB ).

D. FALSAFAH
Pelayanan TB menggunakan strategi DOTS disediakan dan diberikan
kepada pasien sesuai dengan ilmu pengetahuan kedokteran mutakhir dan
standar yang telah disepakati oleh seluruh organisasi profesi di dunia, serta
memanfaatkan RSUD dr. Sayidiman Magetan secara optimal.

E. TUJUAN
Untuk meningkatkan mutu pelayanan medis TB di RSUD dr.
Sayidiman Magetan melalui penerapan strategi DOTS secara optimal
dengan mengupayakan kesembuhan dan pemulihan pasien melalui
prosedur dan tindakan yang dapat dipertanggungjawabkan serta memenuhi
etika kedokteran.

F. SASARAN
Sasaran program pelayanan Tuberkulosis dengan strategi DOTS adalah:
1. Direktur rumah sakit.
2. Para pasien TB.
3. Keluarga pasien.
4. Tim TB-DOTS rumah sakit Dr.Sayidiman Magetan.

16
Dukungan administrasi dan operasional penerapan strategi DOTS di
rumah sakit salah satu unsur penting dalam penerapan TB-DOTS di rumah
sakit adalah komitmen yang kuat antara pimpinan rumah sakit, komite
medik dan profesi lain yang terkait termasuk administrasi dan
operasionalnya. Untuk itu perlu dipenuhi kebutuhan sumber daya manusia,
sarana dan prasarana penunjang, antara lain :
1. Dibentuk Tim TB-DOTS rumah sakit yang terdiri dari seluruh komponen
yang terkait dalam penanganan pasien Tuberkulosis (dokter, perawat,
petugas laboratorium, petugas farmasi, petugas radiologi, rekam medik
dan PKRS).
2. Disediakan ruangan untuk kegiatan Tim TB-DOTS yang melakukan
pelayanan TB-DOTS.
3. Pendanaan untuk pengadaan sarana, prasarana dan kegiatan disepakati
dalam Memorandum of Understanding (MoU) antara rumah sakit dan
dinas kesehatan setempat.
4. Sumber pendanaan diperoleh dari rumah sakit dan dinas kesehatan
propinsi.
5. Program nasional penanggulangan TB memberikan kontribusi dalam
hal pelatihan, OAT, mikroskop dan bahan-bahan laboratorium.
6. Formulir pencatatan dan pelaporan yang digunakan pada penerapan
TB-DOTS ada 2 yaitu :
a. manual dengan kartu TB 01,02,03 04,05,06,09, dan 10
b. Melalui SITT baik online maupun ofline

G. STRATEGI TB-DOTS DI RUMAH SAKIT


Untuk menanggulangi masalah TB, strategi DOTS harus diekspansi dan
diakselerasi pada seluruh unit pelayanan kesehatan dan berbgai institusi
terkait termasuk rumah sakit pemerintah dan swasta, dengan mengikut
sertakan secara aktif semua pihak dalam kemitraan yang bersinergi untuk
penanggulangan TB.
Langkah - langkah kemitraan :
1. Melakukan penilaian dan analisa situasi untuk mendapatkan gambaran
kesiapan rumah sakit dan dinas kesehatan setempat.
2. Mendapatkan komitmen yang kuat dari pihak manajemen rumah sakit
dan tenaga medis serta paramedis dan seluruh petugas terkait.
3. Penyusunan nota kesepahaman antara rumah sakit dan dinas
kesehatan.
4. Menyiapkan tenaga medis, paramedis, laboratorium, rekam medis,

17
farmasi dan PKRS untuk dilatih TB-DOTS.
5. Membentuk Tim TB-DOTS di rumah sakit yang meliputi unit-unit terkait
dalam penerapan strategi DOTS di rumah sakit.
6. Menyediakan tempat untuk Tim TB-DOTS di dalam rumah sakit sebagai
tempat koordinasi dan pelayanan terhadap pasien Tuberkulosis secara
komprehensif (melibatkan semua unit di rumah sakit yang menangani
pasien Tuberkulosis ).
7. Menyiapkan laboratorium untuk pemeriksaan mikrobiologis dahak sesuai
standar.
8. Menggunakan format pencatatan sesuai program Tuberkulosis nasional
untuk memantau pelaksanaan pasien.
9. Menyediakan biaya operasional.
10. Menyediakan OAT apabila ada kekosongan dari dinkes.
11. Menyiapkan radiologi sebagai sarana penunjang diagnostik sesuai
standar.

H. PEMBENTUKAN JEJARING
Rumah sakit memiliki potensi besar dalam penemuan pasien
Tuberkulosis (case finding), namun memiliki keterbatasan dalam menjaga
keteraturan dan keberlangsungan pengobatan pasien (case holding) jika
dibandingkan dengan puskesmas. Karena itu perlu dikembangkan jejaring
rumah sakit baik internal maupun eksternal. Suatu sistem jejaring dapat
dikatakan berfungsi secara baik pabila angka default rate <5% pada tiap
rumah sakit.
1. Jejaring Internal Rumah Sakit
Jejaring internal adalah jejaring yang dibuat di dalam rumah sakit
yang meliputi seluruh unit yang menangani pasien Tuberkulosis.
Koordinasi kegiatan dilaksanaan oleh Tim TB-DOTS rumah sakit. Tim
TB-DOTS rumah sakit mempunyai tugas perencanaan, pelaksanaan,
monitoring serta evaluasi kegiatan TB-DOTS di rumah sakit. Tim TB-
DOTS berada di bawah komite medik atau direktur pelayanan medik
rumah sakit dan dikukuhkan dengan surat keputusan direktur rumah
sakit.

18
a.Alur jejaring internal

Komite Medik

TIM TB-DOTS
POLI TB-DOTS

Laboratorium

Rawat jalan Radiologi

Rawat Inap Farmasi

IGD Rekam Medis

PKRS

b. Fungsi masing-masing unit dalam jejaring internal rumah sakit


1) Poli TB-DOTS berfungsi sebagai tempat penanganan seluruh
pasien TB di rumah sakit dan pusat informasi tentang TB.
Kegiatannya meliputi konseling, penentuan klasifikasi dan tipe,
kategori pengobatan, pemberian OAT, penentuan PMO, followup
hasil pengobatan dan pencatatan.
2) IGD, rawat inap dan rawat jalan berfungsi menjaring tersangka
pasien TB, menegakkan diagnosis dan mengirim pasien ke Tim TB-
DOTS rumah sakit.
3) Rawat inap berfungsi sebagai pendukung Tim TB-DOTS dalam
melakukan penjaringan terumah sakitangka serta perawatan dan
pengobatan.
4) Laboratorium berfungsi sebagai sarana diagnostik.
5) Radiologi berfungsi sebagai sarana penunjang diagnostik.
6) Farmasi berfungsi sebagai unit yang bertanggung jawab terhadap
ketersediaan OAT.
7) Rekam medis berfungsi sebagai pendukung Tim TB-DOTS dalam
pencatatan dan pelaporan.
8) PKRS berfungsi sebagai pendukung Tim TB-DOTS dalam kegiatan
penyuluhan.
c. Pelaksanaan :
1) Suspek TB atau pasien TB dapat datang ke IGD atau langsung ke
poli spesialis (penyakit dalam, paru, anak, syaraf, kulit, bedah,
obsgyn, THT, mata, bedah, urologi) .
2) Suspek TB dikirim untuk dilakukan pemeriksaan penunjang
(laboratorium, PK, PA dan radiologi). Hasil pemeriksaan penunjang

19
dikirim ke dokter yang bersangkutan. Diagnosis dan dan klasifikasi
dilakukan oleh dokter poliklinik masing- masing.
3) Setelah diagnosis TB ditegakkan pasien dikirim ke Tim TB-DOTS
untuk registrasi (bila pasien meneruskan pengobatan di rumah
Sakit), penentuan PMO, penyuluhan dan pengambilan obat ke
farmasi melalui poli TB-DOTS, pengisian kartu pengobatan TB (TB-
01). Bila pasien tidak menggunakan obat paket, pencatatan dan
pelaporan tetap dilakukan di poli TB-DOTS. Pasien diberi TB 02
untuk pengambilan obat.
4) Bila ada pasien TB yang dirawat di rawat inap, petugas rawat inap
menghubungi Tim TB-DOTS untuk registrasi pasien (bila pasien
meneruskan pengobatan di rumah sakit). Paket OAT dapat diambil
di farmasi melalui poli TB-DOTS.
5) Pasien TB yang dirawat inap, saat akan keluar dari rumah sakit
harus melalui Tim TB-DOTS untuk konseling dan penanganan lebih
lanjut dalam pengobatannya.
6) Rujuk atau pindah dari/ ke Unit Pelayanan Kesehatan (UPK) lain
dengan membawa TB 09, berkoordinasi dengan tim TB-DOTS
2. Jejaring Eksternal
a. Definisi
Jejaring eksternal adalah jejaring yang dibangun antara instansi / unit
dinas kesehatan, rumah sakit, puskesmas dan fasyankes lainnya
dalam layanan pasien TB dengan strategi DOTS dan dalam program
pengendalian TB.
b. Tujuan jejaring eksternal :
1) Memastikan semua pasien TB mendapatkan akses pelayanan TB-
Dots yang bermutu, mulai dari diagnosis, pengobatan, pemantauan
sampai akhir pengobatan.
2) Menjamin kelangsungan dan keteraturan pengobatan pasien
sehingga mengurangi jumlah pasien yang putus berobat.
c. Ruang Lingkup
1) Dinas kesehatan.
2) Tim TB-DOTS.
3) Puskesmas yang dituju.
4) Rumah sakit yang di tuju

20
d. Tatalaksana Alur Pelayanan Pasien TB yang pindah atau rujuk balik
ke fasyankes lain
Untuk menjaga kelancaran proses pelayanan kesehatan,
khususnya pelayanan terhadap pasien TB di RSUD dr. Sayidiman
Magetan, diperlukan suatu alur pelayanan yang meliputi pasien rawat
jalan dan rawat inap agar pelayan dapat berjalan dengan lancar. Alur
pelayanan pasien TB yang meliputi pasien rawat jalan dan rawat inap
dapat dilihat pada skema berikut ini :

Pengawas program
(Wasor) TB/
koordinator HDL
kabupaten

informasi konfirmasi

Pasien, OAT,TB01,TB09
Rumah sakit Puskesmas

Keterangan gambar skema :


1) Apabila pasien sudah mendapatkan pengobatan di rumah sakit,
maka harus dibuatkan kartu pengobatan TB (TB-01) di rumah sakit.
2) Untuk pasien yang dirujuk dari rumah sakit surat pengantar atau
formulir (TB- 09) dengan menyertakan TB-01 dan OAT (bila telah
dimulai dibuat pengobatan).
3) Formulir TB-09 diberikan kepada pasien beserta sisa OAT untuk
diserahkan kepada UPK yang dituju.
4) Rumah sakit memberikan informasi langsung (telepon atau SMS) ke
pengawas program (Wasor) Kabupaten tentang pasien yang dirujuk.
5) UPK yang telah menerima pasien rujukan segera mengisi dan
mengirimkan kembali TB-09 (lembar bagian bawah) ke UPK asal.
6) Wasor Kabupaten memastikan semua pasien yang dirujuk
melanjutkan pengobatan di UPK yang dituju (dilakukan konfirmasi
melalui telepon atau SMS ).
7) Bila pasien tidak ditemukan di UPK yang dituju, petugas TB UPK
yag dituju melacak sesuai alamat pasien.
8) Wasor Kabupaten memberikan umpan balik kepada UPK asal
tentang pasien yang dirujuk.

21
e. Dokumentasi
1) Buku bantu daftar pasien rujuk / pindah berobat.
2) Form TB 01 fotocopy ( bila sudah di obati )
3) Form TB 09.
4) Form TB 05

I. PELACAKAN KASUS MANGKIR DI RUMAH SAKIT


Pasien dikatakan mangkir berobat bila yang bersangkutan tidak datang
untuk periksa ulang / mengambil obat pada waktu yang telah ditentukan.
Bila keadaan ini masih berlanjut hingga 2 hari pada fase awal atau 7 hari
pada fase lanjutan, maka Tim TB-DOTS rumah sakit segera melakukan
tindakan di bawah ini :
1. Menghubungi pasien langsung/ PMO
2. Menginformasikan identitas dan alamat lengkap pasien mangkir ke
pengawas program (wasor) Kab / Kota atau langsung ke puskesmas
agar segera dilakukan pelacakan.
3. Hasil dari pelacakan yang dilakukan oleh petugas puskesmas segera
diinformasikan kepada rumah sakit. Bila proses ini menemui hambatan,
harus diberitahukan ke koordinator jejaring TB-DOTS rumah sakit. Pilihan
penanganan pasien berdasarkan kesepakatan antara pasien dan dokter

J. TATALAKSANA PASIEN TB
Penatalaksanaan TB meliputi penemuan pasien dan pengobatan yang
dikelola dengan menggunakan strategi DOTS. Tujuan utama pengobatan
pasien TB adalah menurunkan angka kematian dan kesakitan serta
mencegah penularan dengan cara menyembuhkan pasien.
Penatalaksanaan penyakit TB merupakan bagian dari surveilans penyakit;
tidak sekedar memastikan pasien menelan obat sampai dinyatakan
sembuh, tetapi juga berkaitan dengan pengelolaan sarana bantu yang
dibutuhkan, petugas yang terkait, pencatatan, pelaporan, evaluasi kegiatan
dan rencana tindak lanjutnya.
1. Penemuan Pasien TB
Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan suspek,
diagnosis, penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien. Penemuan
pasien merupakan langkah pertama dalam kegiatan program
penanggulangan TB. Penemuan dan penyembuhan pasien TB menular,
secara bermakna akan dapat menurunkan kesakitan dan kematian akibat
TB, penularan TB di masyarakat dan sekaligus merupakan kegiatan 14

22
a. Strategi penemuan
Penemuan pasien TB dilakukan secara pasif dengan promosi
aktif. Penjaringan tersangka pasien dilakukan di rumah sakit didukung
dengan penyuluhan secara aktif. Pemeriksaan terhadap kontak pasien
TB.
b. Gejala klinis pasien TB
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3
minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu
dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas,
nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat
malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan.
Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru
selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru,
dan lain-lain.
Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka
setiap orang yang datang ke UPK dengan gejala tersebut diatas,
dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu
dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.

2. Diagnosis pasien TB
a. Diagnosis TB paru
1) Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari,
yaitu sewaktu - pagi - sewaktu (SPS).
2) Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan
ditemukannya kuman TB (BTA). Penemuan BTA melalui
pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama.
Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat
digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan
indikasinya.
3) Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan
pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan
gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi
overdiagnosis.
4) Gambaran kelainan radiologik paru tidak selalu menunjukkan
aktifitas penyakit.
5) Untuk lebih jelasnya lihat alur prosedur diagnostik untuk suspek TB
paru.

23
Gambar 4.3. Alur Diagnosis TB Paru

b. . Diagnosis TB ekstra paru


1) Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku
kuduk pada Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis),
pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB dan
deformitas tulang belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lain-
lainnya.
2) Diagnosis pasti sering sulit ditegakkan sedangkan diagnosis kerja
dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis TB yang kuat (presumtif)
dengan menyingkirkan kemungkinan penyakit lain. Ketepatan diagnosis
tergantung pada metode pengambilan bahan pemeriksaan dan

24
ketersediaan alat-alat diagnostik, misalnya uji mikrobiologi, patologi
anatomi, serologi, foto toraks dan lain-lain.
Catatan : Pada keadaan-keadaan tertentu dengan pertimbangan
kegawatan dan medis spesialistik, alur tersebut dapat digunakan
secara lebih fleksibel.

3. Klasifikasi Penyakit Dan Tipe Pasien


Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien Tuberkulosis memerlukan
suatu “definisi kasus” yang meliputi empat hal , yaitu:
 Lokasi atau organ tubuh yang sakit: paru atau ekstra paru.
 Bakteriologi (hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis):
BTA positif atau BTA negatif.
 Tingkat keparahan penyakit: ringan atau berat.
 Riwayat pengobatan TB sebelumnya: baru atau sudah pernah diobati.
Manfaat dan tujuan menentukan klasifikasi dan tipe adalah:
 Menentukan paduan pengobatan yang sesuai.
 Registrasi kasus secara benar.
 Menentukan prioritas pengobatan TB BTA positif.
 Analisis kohort hasil pengobatan.
Kesesuaian paduan dan dosis pengobatan dengan kategori diagnostik
sangat diperlukan untuk:
 Menghindari terapi yang tidak adekuat (undertreatment) sehingga
mencegah timbulnya resistensi.
 Menghindari pengobatan yang tidak perlu (overtreatment) sehingga
meningkatkan pemakaian sumber daya lebih biaya efektif (cost-
effective).
 Mengurangi efek samping.
a. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena:
1) Tuberkulosis paru. Tuberkulosis paru adalah Tuberkulosis yang
menyerang jaringan (parenkim) paru. tidak termasuk pleura (selaput
paru) dan kelenjar pada hilus.

2) Tuberkulosis ekstra paru. Tuberkulosis yang menyerang organ


tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung
(pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal,
saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain

25
b. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis (TB
Paru):
1) Tuberkulosis paru BTA positif
 Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya
BTA positif.
 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks
dada menunjukkan gambaran Tuberkulosis.
 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman
TB positif.
 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen
dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif
dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
2) Tuberkulosis paru BTA negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif.
Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:
 Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif
 Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran Tuberkulosis.
 Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika nonOAT.
 Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi
pengobatan.
c. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit
1) TB paru BTA negatif foto toraks positif dibagi berdasarkan tingkat
keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat
bila gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran kerusakan
paru yang luas (misalnya proses “far advanced”), dan atau keadaan
umum pasien buruk.
2) TB ekstra paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan
penyakitnya, yaitu:
 TB ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis
eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan
kelenjar adrenal.
 TB ekstra-paru berat, misalnya : meningitis, milier, perikarditis,
peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB
usus, TB saluran kemih dan alat kelamin.
Catatan:
 Bila seorang pasien TB paru juga mempunyai TB ekstra paru,
maka untuk kepentingan pencatatan, pasien tersebut harus dicatat
sebagai pasien TB paru.

26
 Bila seorang pasien dengan TB ekstra paru pada beberapa organ,
maka dicatat sebagai TB ekstra paru pada organ yang penyakitnya
paling berat.
d. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya
Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi
menjadi beberapa tipe pasien, yaitu:
1) Kasus baru : Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan
OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4
minggu).
2) Kasus kambuh (Relaps) : Adalah pasien Tuberkulosis yang
sebelumnya pernah mendapat pengobatan Tuberkulosis dan telah
dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali
dengan BTA positif (apusan atau kultur).
3) Kasus setelah putus berobat (Default) : Adalah pasien yang telah
berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.
4) Kasus setelah gagal (Failure): Adalah pasien yang hasil
pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif
pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
5) Kasus Pindahan (Transfer In): Adalah pasien yang dipindahkan
dari UPK yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan
pengobatannya.
6) Kasus lain : Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan
diatas. Dalam kelompok ini termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien
dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai
pengobatan ulangan.
Catatan:
TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru, dapat juga mengalami
kambuh, gagal, default maupun menjadi kasus kronik. Meskipun
sangat jarang, harus dibuktikan secara patologik, bakteriologik
(biakan).

4. PENGOBATAN TB
a. Tujuan pengobatan
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien,
mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai
penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT.
Dalam pengobatan TB digunakan OAT dengan jenis, sifat dan dosis
sebagaimana pada tabel 4.1: 21

27
b. Prinsip pengobatan
Pengobatan Tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai
berikut:
1) OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat,
dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori
pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi).
Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih
menguntungkan dan sangat dianjurkan.
2) Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan
pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh
seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
3) Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan
lanjutan.
c. Tahapan pengobatan
Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu:
1) Tahap awal (intensif)
 Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan
perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya
resistensi obat.
 Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat,
biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun
waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi
BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.
2) Tahap Lanjutan
 Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit,
namun dalam jangka waktu yang lebih lama
 Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister
sehingga mencegah terjadinya kekambuhan
d. Paduan OAT yang digunakan
Paduan OAT yang digunakan sesuai dengan Program Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia, yaitu:
 Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3
 Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3
Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE)
dan OAT anak: 2HRZ/4HR
1) Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk
paket berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT), sedangkan
kategori anak sementara ini disediakan dalam bentuk OAT

28
kombipak. Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis
obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan
pasien.
2) Paket Kombipak.
Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin,
Pirazinamid, dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister.
Paduan OAT ini disediakan untuk digunakan dalam pengobatan
pasien yang mengalami efek samping OAT KDT. Paduan OAT
disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk memudahkan
pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas)
pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien
dalam satu (1) masa pengobatan. KDT mempunyai beberapa
keuntungan dalam pengobatan TB:
a) Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga
menjamin efektifitas obat dan mengurangi efek samping.
b) Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko
terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan
penulisan resep
c) Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian
obat menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien.

e. Paduan OAT dan peruntukannya


1) Kategori-1(2HRZE/4H3R3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru, yaitu:
 Pasien baru TB paru BTA positif,
 Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif,
 Pasien TB ekstra paru.
Dosis yang digunakan untuk paduan OAT KDT kategori 1:
2(HRZE)/4(HR)3 Dosis yang digunakan untuk paduan OAT
Kombipak kategori 1: 2HRZE/4H3R3

2) Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)

29
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah
diobati sebelumnya:
 Pasien kambuh
 Pasien gagal
 Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)
 Pasien untuk kategori 2 di kirim ke Unit Pelayanan Kesehatan lain.
3) OAT Sisipan (HRZE)
Paduan OAT ini diberikan kepada pasien BTA positif yang pada
akhir pengobatan intensif masih tetap BTA positif. Paket sisipan
KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif
kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari)

Penggunaan OAT lapis kedua misalnya golongan aminoglikosida


(misalnya kanamisin) dan golongan kuinolon tidak dianjurkan
diberikan kepada pasien baru tanpa indikasi yang jelas karena
potensi obat tersebut jauh lebih rendah daripada OAT lapis
pertama. Disamping itu dapat juga meningkatkan terjadinya risiko
resistensi pada OAT lapis kedua.

K. Rumah sakit mempunyai beberapa pilihan dalam penanganan pasien


TB sesuai dengan kemampuan masing-masing seperti terlihat di
bawah ini :

Semua unit pelayanan yang menemukan suspek TB, memberikan


informasi kepada yang bersangkutan untuk membantu menentukan
pilihan dalam mendapatkan pelayanan (diagnosis dan pengobatan), serta
menawarkan pilihan yang sesuai dengan beberapa pertimbangan :

1. Tingkat sosial ekonomi pasien


2. Biaya konsultasi
3. Lokasi tempat tinggal
4. Biaya transportasi
5. Kemampuan rumah sakit
Pilihan 1 : Rumah sakit menjaring suspek TB, menentukan diagnosis dan
klasifikasi pasien serta melakukan pengobatan, kemudian
merujuk ke puskesmas/ UPK lain untuk melanjutkan pengobatan

30
tetapi pasien kembali ke rumah sakit untuk konsultasi keadaan
klinis / periksa ulang.
Pilihan 2: Rumah sakit menjaring suspek TB dan menentukan diagnosis
dan klasifikasi, kemudian merujuk ke puskesmas.

Pilihan 3: Rumah sakit menjaring suspek TB dan menentukan diagnosis


dan klasifikasi pasien serta memulai pengobatan, kemudian
merujuk ke puskesmas.

Pilihan 4: Rumah sakit melakukan seluruh kegiatan pelayanan TB-DOTS.


1. Pelayanan pasien miskin
Rumah sakit menyediakan dana untuk pelayanan pasien yang
kurang mampu.
Pelaksanaan :
Pasien TB rawat inap maupun rawat jalan.
a. Pasien miskin membawa surat keterangan dari desa.
b. Di konfirmasi oleh tim pengendali rumah sakit.
c. Bila pasien sudah dinyatakan tidak mampu dari rumah sakit akan
mendapatkan pelayanan dan pengobatan TB gratis dari rumah sakit
seperti pasien TB lainnya.

2. Pelayanan pasien TB di rawat jalan.


Pelaksanaan :
a. Pasien ke loket pendaftaran, selanjutnya pasien ke poli yang dituju.
b. Pasien yang batuk dan dicurigai TB diberi masker disposible untuk
dipakai pada saat itu juga.
c. Diperiksa dahak Sewaktu 1, dahak Pagi, dahak Sewaktu 2 (SPS).
d. Bila sudah ditegakkan diagnosa TB pasien di anjurkan ke poli TB-
DOTS (ke loket pendaftaran lagi untuk karcis daftar Poli TB-DOTS)
untuk mendapatkan pengobatan TB.
e. Di poli TB-DOTS pasien diperiksa oleh dokter, registrasi dan
ditentukan jenis klasifikasi TB.
f. Pasien diberi buku bantu pengambilan OAT untuk mengambil OAT di
farmasi rumah sakit, setelah mendapatkan OAT pasien kembali ke poli
TB-DOTS untuk mendapatkan Komunikasi Informasi Edukasi (KIE)
dan perjanjian datang kembali.
g. Setelah pelayanan di poli TB-DOTS selesai pasien di perbolehkan
pulang dan datang kembali sesuai dengan tanggal kembalinya.

31
3. Pelayanan pasien TB dirawat inap
Pelaksanaan :
a. Pasien dirawat di ruang rawat inap paru diberi masker disposible
untuk dipakai pada saat itu juga.
b. Pasien diperiksa dahak Sewaktu 1, dahak Pagi, Sewaktu 2(SPS),
pemeriksaan penunjang (foto rontgen dan hasil dahak) dikirim ke
dokter yang bersangkutan untuk ditegakkan diagnosa.
c. Setelah diagnosa ditegakkan, pasien mendapatkan pengobatan OAT
sesuai dengan rejimen nasional.
d. Petugas rawat inap melaporkan ke poli TB-DOTS untuk registrasi
pasien (bila pasien meneruskan pengobatan di rumah sakit).
e. Bila pasien tidak meneruskan pengobatan di rumah sakit, apabila
pasien akan keluar dari rumah sakit harus melalui poli TB-DOTS dan
akan dibuatkan TB 09 untuk di rujuk ke UPK lain/ terdekat dengan
rumah pasien.
4. Pelayanan Isolasi Pasien TB
a. Memindahkan pasien ke ruang isolasi TB apabila ditemukan pasien
dengan diagnose TB yang belum pernah mendapatkan pengobatan
dan atau pasien dengan diagnose TB yang sudah mendapatkan
pengobatan TB kurang dari dua minggu.
b. Diberikan masker untuk Pasien TB saat itu juga
c. Petugas menggunakan Alat Pelindung Diri ( APD ) / masker
d. Petugas yang merawat cuci tangan.
e. Mengidentifikasi pasien.
f. Inform concent pasien.
5. Pelayanan pasien TB di Instalasi Gawat Darurat.
Pelaksanaan :
a. Pasien dianjurkan foto rhontgen thorax.
b. Bila hasil foto rontgen mengarah kediagnosa TB pasien dianjurkan
untuk rawat inap bila terdapat indikasi untuk rawat inap atau dianjurkan
ke rawat jalan bila tidak ada indikasi untuk rawat inap.
c. Pasien di rawat inap di ruang yang merawat pasien TB.
6. Pengelolaan pasien TB dengan HIV
Pelaksanaan kolaborasi TB-HIV di Indonesia sesuai kebijakan nasional
meliputi:
a. Pembentukan mekanisme kolaborasi,
b. Menurunkan beban TB pada Orang Dengan HIV/ AIDS (ODHA),

32
c. Menurunkan beban HIV pada pasien TB. Kegiatan kolaborasi TB-HIV
dimulai sebagai bagian dari upaya pengendalian TB dan upaya
meningkatkan keberhasilan program AIDS.
Pelaksanaan :
a. Di Rawat Jalan
1) Pasien TB dianjurkan untuk tes HIV dengan mengisi surat
persetujuan untuk di lakukan pemeriksaan.
2) Dibuatkan surat pengantar pemeriksaan HIV ke laboratorium.
3) Hasil tes dibuka di pelayanan rawat jalan yang mengirim.
4) Apabila hasil tes positif pasien dirujuk ke poli VCT.
5) Apabila pasien TB sudah dinyatakan HIV pasien masih tetap
dalam pengobatan TB.
6) Selanjutnya pengobatan TB berdampingan dengan pengobatan
HIV/ sesuai advis dokter.
b. Di rawat Inap
1) Pasien TB rawat inap dianjurkan tes HIV dengan mengisi surat
persetujuan.
2) Dibuatkan surat pengantar pemeriksaan HIV ke laboratorium.
3) Hasil tes di buka di pelayanan rawat inap yang mengirim.
4) Apabila pasien sudah dinyatakan HIV pasien mendapatkan
pengobatan berdampingan dengan pengobatan TB/ sesuai advis
dokter.
L. PENGELOLAAN PASIEN TB DENGAN MDR (MUTI DRUG
RESISTENT)
Pasien TB –MDR adalah pasien TB yang mengalami kekebalan
terhadap obat anti Tuberkulosis.
Pelaksanaan :
1. Pasien yang diduga TB-MDR dari rawat jalan maupun rawat inap
dianamnesa.
2. Apabila sesuai dengan kriteria suspek TB MDR dilaporkan ke poli TB-
DOTS, oleh petugas dilaporkan ke pengawas program (Wasor) Dinas
Kesehatan (Dinkes) Magetan dan dirujuk ke poli TB- MDR rumah sakit
Dr. Sayidiman Magetan.

M. PELAYANAN PASIEN MANGKIR


Pasien mangkir adalah pasien yang tidak datang berobat setelah 5
atau 7 hari dari tanggal perjanjian datang kembali berobat.
Pelaksanaan :

33
1. Menghubungi pasien langsung lewat telepon.
2. Menghubungi langsung ke PMO
3. Menginformasikan identitas dan alamat lengkap pasien mangkir ke
Wasor kabupaten/ kota atau langsung puskesmas agar segera
dilakukan pelacakan.
Hasil dari pelacakan yang dilakukan oleh petugas puskesmas segera
di informasikan kepada rumah sakit. Bila proses ini mengalami hambatan
harus diberitahukan oleh Koordinator jejaring DOTS rumah sakit.

N. LABORATORIUM MIKROSKOPIS TB.


Untuk mendukung kinerja penanggulangan TB, diperlukan
ketersediaan laboratorium TB dengan manajemen yang baik agar terjamin
mutu laboratorium terumah sakit terebut. Manajemen laboratorium TB
meliputi beberapa aspek yaitu; organisasi pelayanan laboratorium TB,
sumber daya laboratorium, kegiatan laboratorium, pemantapan mutu
laboratorium TB, keamanan dan kebersihan laboratorium, dan monitoring
(pemantauan) dan evaluasi.
1. FASILITAS
a. Pot sampel dahak sebagai wadah untuk menampung sampel dahak
b. Slaide (obyek glass) untuk pembuatan sediaan mikroskopis TB
c. Ose / lidi tusuk sate sebagai aplikator pembuatan sediaan dahak
d. Box Bio safety Cabinet sebagai tempat pot sampel dahak atau
tempat pembuatan sediaan dahak.
e. Bilik Cabinet sebagai tempat pasiean unruk mengeluarkan sampel
dahak.
f. Reagen pewarna ziel neelsen sebagai pewarna sediaan pada
pemeriksaan mikroskopis TB.
g. Rak pengecatan sebagai tempat slaide dalam proses pewarnaan
sediaan dahak.
h. Box sample sebagai tempat pot sampel dahak pasien dari bilik
kabinet ke laboratorium.
i. Box slaide, tempat menyimpan slaide sediaan dahak yang sudah
proses pewarnanan atau sudah dilakukan kegiatan pemeriksaa
mikroskopis TB.
j. Mikroskop binokuler sebagai alat pemeriksaa mikroskopis TB.
2. TATA LAKSANA
a. Cara Pengambilan Dahak SPS

34
1) Diberi pentunjuk pada pasien untuk menegeluarkan spesimen
dahak sesuai standart prosedur operasional.
2) Beri label yang jelas pada dinding pot dahak sesuai dengan
nomor identitas TB 06.
3) Label ditempelkan pada dinding pot tidak pada tutup pot.
4) Pot dahak sekali pakai dengan diameter ≥ 6 cm.
5) Pasien kumur dulu sebelum mengeluarkan dahak.
6) Bila memakai gigi palsu, lepas dulu sebelum kumur.
7) Tarik nafas dalam 2-3 kali dan setiap kali hembusan nafas
dengan kuat.
8) Letakkan pot yang sudah dibuka dekat dengan mulut dan
keluarkan dahak kedalam pot.
9) Batukkan dengan keras dari dalam dada.
10)Tutup pot dengan rapat dengan cara memutar tutupnya.
11)Setelah mengeluarkan dahak, berumah sakitihkan mulut dengan
tissue, kemudian buang tissue di tempat sampah yang ditutup,
kemudian cuci tangan.
b. Waktu pengumpulan spesimen dahak
Dibutuhkan spesimen dahak untuk menegakkan diagnosis TB
secara mikroskopi spesimen dahak paling baik diambil pada pagi hari
selama 3 hari berturut-turut (pagi-pagi-pagi), tetapi untuk
kenyamanan penderita pengumpulan dahak dilakukan : Sewaktu
Pagi Sewaktu (SPS) dalam waktu 2 hari. Sebelum pengumpulan
dahak periksa dulu permohonan laboraoratorium TB 05 lengkapi isian
formulir dengan mencontreng untuk Diagnosis atau follow-up. Beri
label yang jelas pada dinding pot dahak sesuai dengan nomot
identitas sediaan dahak (TB 06), label ditempatkan pada dinding pot,
tidak pada tutup pot, pot dahak sekali pakai(tidak harus steril)
diameter pot ≥ 6cm.

1) Sewaktu hari 1(dahak sewaktu pertama=A)


 Kumpulkan dahak spesimen pertama pada pasien berkunjung
ke laboratorium
 Beri pot dahak pada saat pasien pulang utuk keperluan
pengumpulan dahak pada hari berikutnya.
2) Pagi hari -2 (dahak =B)
 Pasien mengeluarkan dahak spesiem kedua pada hari kedua
setelah bangun tidur dan membawa spesimen ke laboratorium.

35
3) Sewaktu hari_2 (dahak sewaktu kedua C)
 Kumpulkan dahak spesimen ketiga di laboratorium pada saat
pasien kembali ke laboratorium hari kedua saat membawa
dahak pagi (B)
c. Tempat pengumpulan dahak
Pengumpulan dahak dilakukan di ruang dengan ventilasi yang
baik dan mendapatkan sinar matahari langsung untuk meguragi
kemungkinan penularan akibat percikan dahak yang infeksius tidak
dibolehkan mengambil dahak diruang tertutup dengan ventilasi yang
buruk seperti toilet/ kamar kecil, ruang pengumpulan sampel ruang
tunggu atau ruang umum.
d. Registrasi spesimen
Identitas spesimen harus dicatat lebih dahulu pada formulir TB
04 sebelum diproses pemeriksaan:

1) Periksa data pasien (nomer sediaan dahak) di pot dahak dan


dicocokkan dengan yang ada di formulir permohonan laboratorium
TB (formulir TB 05)
2) Pindahkan data nomer sediaan dahak pasien dari formulir
permohonan TB (TB 05) ke register laboratorium TB (formulir TB
04)
3) Pindahkan data lengkap pasien (nama,umur alamat) dari formulir
permohonan laboratorium TB (TB 05) ke register laboratorium TB
( formulir 04)
4) Pidahkan data alasan pemeriksaa dari formulir perohonanTB (TB
05) ke register laboratorium TB (TB 04)
5) Tulis nomor register laboratorium pada formulir TB 04 dan pada
formulir laboratorium TB 05
6) Berilah tanda pada kolom yang sesuai di register laboratotium
alasan pemeriksaan dahak sesuai formulir permohonan
laboratorium TB.
Untuk setiap pasien, gunakan identitas sediaan yang sama dan beri
huruf untuk identifikasi spesimen sesuai dengan pemeriksaan :
1) Pada waktu penegakan diagnosis
 Sewaktu (A)
 Pagi (B)
 Sewaktu (C)
2) Follow uo akir fase intensif

36
 Sewaktu D
 Pagi E
3) Follow up bila 1 bulan sebelum AP
 Sewaktru (F)
 Pagi (G)
4) Follow up AP
 Sewaktu (H)
 Pagi (I)
5) Pemeriksaan setelah pemberian sisipan
 Sewaktu (J)
 Pagi (K)
e. Pembuatan sediaaan apus
1) Alat-alat yang dibutuhkan
a) Kaca sediaan yang baru, bersih jangan memakai kaca sediaan
yang telah digunakan
b) Aplikator dari bambu/ lidi ujung tidak rata atau ose, botol berisi
pasir dan desinfektan (alkohol 70%/ lisol),
c) Wadah pembuangan pot sputum berisi desinfektan (lisol 5%),
wadah pembuangan untuk aplikator.
2) Cara pembuatan sediaan apus
a) Nomor identitas pasien ditulis pada bagian ujung kaca, kode
kabupaten/kota, kode UPK, nomor sediaan, dan waktu
pengumpulan dahak.
b) Pembuatan harus sesuai sop dengan metode jaring laba- laba
dengan ukuran lebar 2 cm dan panjang 3 cm.

f. Pewarnaan hapusan
1) Alat - alat yang digunakan
a) Rak sediaan untuk meletakkan sediaan. Rak diletakkan diatas
bak cuci atau baskom.
b) Pinset atau penjepit kayu
c) Air mengalir atau botol semprot
d) Lampu spiritus
e) Rak untuk sediaan yang sudah diwarnai
f) Pengatur waktu
g) Sulut api
h) Reagen cat Methylene blue 0.3%, Carbol fucshin 0.3%, Asam
alkohol 3%.

37
2) Pewarnaan metode zieh-neelsen
Pewarnaan dilakukan untuk melihat dan membedakan
bakteri tahan asam yang berwara merah dan bakteri tidak tahan
dengan asam berwarna biru. Pemanasan pada cat warna carbol
fuchsin tidak boleh berlebih hanya sampaii dengan mengeluarkan
asap.
3) Pembacaan sediaan apus
Sediaan apus harus diperiksa secara sistematis untuk
memastikan bahwa hasil yang dilaporkan telah mewakili seluruh
bagian sediaan. Minimal dalam pembacaan dalam 100 lapang
pandang dengan penyebaran sel leukosit /sel epitel minimal 25
dalam satu lapang padang.
4) Pelaporan
Bakteri Tahan Asam (BTA) yang ditemukan menentukan
diagnosis TB dan jumlah BTA yang ditemukan menunjukkan
beratnya penyakit. Oleh karena itu sangat penting mencatat
gradasi dengan benar.
Kemudian:
a) Periksa nomor register laboratorium, cocokkkan dengan formulir
permintaan laboratorium (TB 05)
b) Catat hasil pemeriksaan pada Register laboratorium (TB 04)
c) Catat hasil pemeriksaan pada Formulir permintaan laboratorium
(TB 05)
d) Beri Tanggal dan tanda tangan formulir permintaan laboratoroim
(TB05)
e) Kembalikan formulir permintaan laboratorium TB 05 kepada dokter
atau UPK yang mengirim.

Sekma pelaporan ini mnebgacu pada skala Internasonal Union Against


Tuberkulosis and lung Diseases (IUATLD) dan World Health Organization (WHO).

Apa yang ditemukan Apa yang dilaporkan


Tidak ditemukan BTA minimal dalam BTA negatif
100 lapang pandang

1-9 BTA dalam 100 lapang pandang Tulis jumlah BTA yang
ditemuka /100 lapang
pandnag.

38
10-99BTA dalam 100 lapang 1+
pandang, periksa

1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, 2+


periksa minimal 50 lapang pandang

Lebih dari 10 BTA dalam 1 lapang 3+


pandang, periksa minimal 20 lapang
pandang

5) Penyimpanan
Hapus dengan hati-hati minyak imersi pada sediaan denga
menggunakan ujung kertas tissue yang bersih untuk setiap sediaan
digunakan satu kertas tissue. Simpan sediaan dalam kotak sediaain
secara berurutan menurut nomor register laboratorium untuk
keperluan pemantapan mutu/uji silang (cross chek) minimal 3 bulan
3. Keamanan keselamatan Kerja
Penularan TB terjadi karena percikan dahak infeksius diudara
terhirup orang lain. Pemeriksaan dahak yang dilakukan sesuai prosedur
standar oleh petugas laboratorium menjamin tidak akan beresiko
penularan TB.

a. Keamanan Kerja Laboratorium

1) Selain petugas laboratorium tidak diperkanankan masuk kedalam


ruangan pemeriksaan laboratorium (petugas kebersihan dan
teknisi alat hanya diperkenanka masuk setelah mempelajari
keamanan kerja laboratorium dan mendapat ijin dari pimpinan unit
laboratorium).
2) Setiap petugas laboratorium hendaknya menyadari bahwa sedang
bekerja dengan bahan-bahan yang berbahaya, karena itu harus
mengenakan APD ( jas lab, masker, sarung tangan )
3) Dilarang makan, minum atau merokok didalam ruangan
laboratorium.
4) Dilarang menggunakan pipet dengan mulut.

39
5) Setelah seesai bekerja berumah sakitihkan meja kerja peralatan
dan lantai dengan desinfektan.
6) Bersihkan tangan setelah melakukan setiap kegiatan. Setelah
menyelsaikan semua pekerjaan, cucilah tangan dengan sabun
sampai bersih.
7) Tanggalkan jas lab sebelum meninggalkan ruangan laboratorium
dan cuci tangan kembali.
8) Pekerjaan administrasi sebaiknya dikerjakan diluar ruangan
laboratorium.
9) Ruangan harus mempunyai ventilasi yang baik bila ruang ber AC,
exhaust fan harus dipasang setiap 6 jam selama 30 menit.
10) Setiap orang yang bekerja dilaboratorium dianjurkan melakukan
pemeriksaan kesehatan secara berkala.
11)Penggunaan masker tidak menjamin keamanan kerja dan tidak
diharuskan.
b. Pengolahan Limbah
1) Buang aplikator, lidi lancip bekas pakai, kaca sediaan yang sudah
tidak dipakai kedalam ember yang telah dilapisi kantung plastik
dan diisi desinfektan.
2) Buka tutup pot dahak bekas, isi dengan desinfektan sama banyak
dengan sisa dahak tutup kembali lalu masukkan kedalam ember
yang telah dilapisi plastik yang telah diisi desinfektan untuk
dibuang.
3) Untuk limbah cair (bekas pewarnaan) ditampung dalam wadah
yang deberi desinfektan sebelum dibuang
4) Semua bahan bekas pakai derendam dalam desinfektan selama
minimla 12 jam, kemudian bakar ditempat pembakaran khusus
atau kubur kantung plastik dan isinya dalam lubang sedalam 15
meter.
c. Pemantapan Mutu
Untuk menjamin ketepatan hasil pemeriksaan dahak
mikroskopis, harus dilakukan kegiata pemantapan mutu yang
meliputi:

1) Pendidikan dan pelatihan


2) Pelaksanaan pemantapan mutu internal
 Persiapan penderita.
 Pengumpulan dan penangan spesimen

40
 Pemeliharaan alat/ mikroskop
 Uji kualitas reagent/ larutan pewarna
 Penyusuan prosedur tetap , dan pencatan serta pelaporan
3) Pelaksanaan pemantapan mutu ekternal :
 Melakukan uji silang/ cross check
 Mengikuti uji profisiensi/ uji panel
 Supervisi
4) Melaksanakan praktek laboratorium yang benar.
5) Menindak lanjuti pemantapan mutu interal dan eksternal dengan
kegiatan peningkatan mutu.
d. Perawatan Mikroskop
1) Untuk membersihkan lensa sebaiknya gunakan ethyil ether atau
pembersih lensa yang sesuai anjuran pabrik. Beberapa bahan
pembersih dapat merusak permukaan lensa atau melarutkan
perekat lensa setelah digunakan beberapa waktu
2) Okuler harus tetap pada tempatnya, jaur atau debu dapat masuk
melalui lubang kosong tempat obyektif bila lensa tidak terpasang.
Bila lensa ada yang hilang tutup rapat dengan penutup yang
tersedia.
3) Debu pada lensa dapat dihilangkan dengan menggunakan sikat
halus atau dengan udara dengan penghembus udara diatas
permukaan lensa.
4) Harus ada ventilasi yang cukup agar panas yang dihasilkan lampu
dapat diatasi. Sebelum menyalakan lampu, putarlah regulator
voltase ke minimum.
5) Untuk mencegah timbulnya jamur di lensa tabung okuler dan
prisma pada mikroskop, mikroskop harus disimpan dalam
kotaknya yang tidak lembab dengan meletakkan lampu 5 wat
yang menyala atau bahan pengering (gel silika garam atau beras
100gram).

O. LABORATORIUM INTERMEDIATE
1. Definisi
Laboratorium intermediate adalah laboratorium yang menerima
rujukan uji silang dari semua Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Fasyankes)
kabupaten setempat dan fasyankes kabupaten daerah lain serta
mengirim rujukan sediaan kegiatan TB laboratorium intermediate ke
laboratorium propinsi atau laboratorium rujukan uji silang 2.

41
Penunjukan laboratorium rujukan uji silang 1/ laboratorium
intermediate ditetapkan melalui Surat Keputusan (SK) kepala dinas
kabupaten/ kota terkait. Apabila laboratorium RUS 1 melaksanakan
rujukan uji silang untuk beberapa Kabupaten/ Kota, maka penetapan
laboratorium RUS 1 melalui SK kepala dinas kesehata provinsi.

2. Fungsi Laboratorium Intermediate.


a. Melaksanakan pelayan pemeriksaan mikroskopis TB.
b. Melakuka uji silang sediaan TB dari laboratorium fasyankes di wilayah
kerjanya.
c. Melaporkan hasil pembacaan sediaan uji silang dengan Dinas
Kesehatan kabupaten /kota.
d. Melakukan koordinasi dengan dinas kesehatan kabupaten/kota untuk
menindaklanjuti hasil uji silang dan pengelolahan jejaring laboratorium
mikroskopis TB di wilayahnya.
e. Melakukan permbinaan teknis laboratorium mikroskopis TB wilayah
kerjanya.
3. Tugas Laboratorium Intermediate.
a. Mendata semua laboratorium TB fayankes yang ada wilyahnya
(Puskesmas, laboratorium mandiri, laboratorium klinik swasta, dll)
b. melakukan analisis data laboratorium TB untuk menilai kinerja
laboratorium TB di wilayahnya.
c. Melakukan penilain laboratorium TB untuk menentukan status dalam
jenjang jejaring laboratorium TB yang sesuai.
d. Melakukan koordinasi dengan program Pemberantasan Penyakit
Tuberkulosis (P2TB) dinkes kabupaten/ kota untuk informasi indikator
pencapaian kinerja laboratorium mikroskopis TB
4. Syarat standar pembentukan Laboratorium Intermediate
a. Melakukan pelayanan pemeriksaan mikroskopis TB minimal 15-20
sediaan / minggu. Apabila pemeriksaan kurang 15 sediaan perminggu,
dapat dilakukan tes panel mikroskopis TB.
b. Memiliki minimal 2 tenaga analis kesehatan D III, terlatih laboratorium
mikroskopis TB dan 1 tenaga administrasi.
c. Memiliki minimal 2 buah mikroskop binokuler
d. Memiliki ruangan dan fasilitas yang memenui standart laboratorium
mikroskopis TB.
e. Melakukan Pemantauan Mutu Internal (PMI).
f. Mengikuti Pemantauan Mutu Eksternal (PME) mikroskopis TB uji
silang dengan hasil baik atau lulus tes panel 3(tiga) kali berturut-turut.
42
g. Melakukan pencatatan dan pelaporan dengan baik
h. Komitmen dari kepala Laboratorium sebagai laboratorium
intermediate.
5. Ruang Lingkup
a. Dinas Kesehatan.
b. Fasyankes kabupaten Magetan.
c. Dinas kesehatan propinsi Jawa Timur.
d. Rumah Sakit BP4 (Balai Pemberantasan dan Pencegahan Penyakit
Paru) Madiun.
6. Tata Laksana
Dalam pelaksanaan kegiatan melibatkan 3 (tiga) komponen uji
silang yang masing-masing saling terkait, memiliki tugas dan fungsi
khusus serta harus berkordinasi secara erat.
7. Pengelola Program Tb (Wasor) Kabupaten / Kota
1. Mendata jumlah sediaan dahak, sediaan positif, sediaan negatif, dan
Slide Posistif Rate (SPR) selama tahun yang lalu, dari setiap
laboratorium mikroskopis TB di wilayah kerja.
2. Menentukan jumlah sediaan uji silang dari laboratorium fasyankes dan
laboratorium intermediate.
3. Menerima seluruh sediaan selam triwulan terkait untuk uji silang
kemudian memilih sediaan untuk uji silang dengan metode (Loat
Quality Ansurance System).
4. Atau mengambil dan kemudian memilih sediaan untuk uji silang
sesuai dengan metode ( LQAS ) di laboratorium mikroskopis TB.
a. Mengisi Formulir TB 12 dengan lengkap. Lembar pertama untuk
RUS 1 tanpa menuliskan hasil pada kolom 5.
b. lembar kedua untuk analisis oleh Wasor Kab/Kota dengan
menuliskan hasil pembacaan laboratorium mikroskopis TB pada
kolom 5.
5. Mengirimkan sediaan uji silang triwulan terkait dan form TB 12 lembar
pertama ke laboratorium RUS pada bulan pertama triwulan berjalan
atau berdasarkan jadwal yang disepakati bersama laboratorium RUS 1
dan laboratorium fasyankes.
6. Menerima hasil pembacaan sediaan uji silang dari laboratorium RUS1,
kemudian menganalisis hasil pembacaan laboratorium mikroskopis TB
terhadap hasil pembacaan laboratorium RUS 1.
7. Mengirim sediaan yang diskordance untuk diperiksa ulang di
labotratorium RUS 2.

43
8. Menganalisi hasil uji silang final.
9. Mengirim TB 12 sebagai umpan balik uji silang ke laboratorium
mikroskopis TB fasyankes RUS 1 dan RUS 2.
10. Mencatat presentase lab fasyankes yang kinerjanya baik dan jelek.
11. Mencatat keikutsertaaan uji silang laboratorium fasyankes dan
cakupan silang setiap triwulan.
12. Mengirimkan rekapitulasi TB 12 ke Wasor propinsi sesuai jadwal yang
sudah disepakati.
8. Tim Laboratorium Rus 1 (Intermediate) Dan Rus 2 (Rujukan Tb Propinsi).
1. Laboratorium Intermediate
a. Menerima sediaan uji silang, memeriksa kesesuaian jumlah dan
nomor identitas sediaan.
b. Menerima sediaan uji silang.
c. Mencatat hasil pemeriksaan uji silang pada formulir TB 12( kolom
67,9 sampai 23)
d. Mengirimkan form TB 12 kepada pengelola program TB Kab/ Kota
segera setelah selesai pemeriksaan pada waktu yang telah
disepakati.
e. Menerima umpan balik uji silang dari wasor Kabupaten /Kota.
f. Melaporkan absensi (data keikutsertaan uji silang fasyankes) ke
dinas kesehastan Kabupaten /Kota dan laboratorium RUS 2 setelah
menerima umpan balik dari wasor kabupaten/ kota.
g. Berkordinasi dengan dinas kabupaten/ kota untuk menindak lanjuti
hasil uji silang RUS Propinsi
h. Membawa semua sediaan diskordance ke fasyankes terkait pada
saat supervisi untuk dibaca bersama.
2. Laboratorium RUS 2 (Rujukan TB Propinsi).
a. Memriksa sediaan uji silang dari kegiaatn pelayanan laboratorium
mikroskopis TB intermediate? RUS 1.
b. Memeriksa ulang sediaan yang diskordance yang dikirim wasor.
Hasil pembacaan ulang oleh RUS 2 merupakan keputusan akhir
dan dilaporkan kepada Wasor dinkes kabupaten/ kota terkait.
c. Membawa semua sediaan diskordance dari sediaan uji silang dari
laboratorium RUS 1 terkait, pada saat supervisi ke RUS 1 untuk
dibaca bersama.
3. Laboratorium TB Fasyankes
a. Mencatat pelaksanaan pemeriksaan sediaan TB dalam buku
register laboratorium (TB 04) sesuai pedoman.

44
b. Menyimpan sediaan dengan nomor urut buku register laboratorium
(TB 04) berdsarkan kesepakatan dinkes Kabupaten/ Kota dan
laboratorium fasyankes.
4. Wasor memilih sediaan untuk uji silang di laboratorium fasyankes.
a. Seluruh sediaan selama satu triwulan dan TB 04 dikirim ke Dikes
Kabupaten/Kota untuk dipilih oleh wasor Kabupaten/ Kota.
b. Seluruh sediaan selama satu tribulan dan TB 04 dikirim ke dinkes
kabupaten/kota untuk dipilh oleh wasor kabupaten/kota.
c. Menerima umpan balik dari wasor kabupaten/kota.
d. Mempelajari umpan balik untuk melakukan tindak lanjut peningkata
mutu.

5. Alur uji silang mikroskopis TB Rumah Sakit Dr. Sayidiman magetan

LABORATORIUM RUJUKAN TB PROPINSI


LABORATORIUM UJI SILANG 2
( LABORATORIUM RUMAH SAKIT BP4
MADIUN )
2

LABORATORIUM RUJUKAN UJI SILANG


PERTAMA (RUS1) / LABORATORIMUM
INTERMEDIATE
(LABORATORIUM RUMAH 1
SAKITUDdr.ISKAK TULUGAGUNG)
LABORATORIUM MIKROSKOPIS TB
( FASYANKES KABUPATEN SETEMPAT DAN
FASYANKES KABUPATEN LAIN )
a. Uji silang laboratorium mikroskopis TB fasyankes oleh laboratorium
RSUD dr. Sayidiman Magetan sebagian oleh laboratorium
Intermediate /RUS 1.
b. Bila terjadi ketidak sesuaian (discordance), dilakukan pemeriksaan
ulang oleh laboiratorium rumah sakit BP4 Madiun sebagai tempat
rujukan propinsi. Dalam hal ini rumah sakit BP4 Madiun sebagai
laboratorium rujukan uji silang 2 /RUS 2.
6. Dokumentasi
a. Form TB 04.
b. Form TB 12.
c. Buku bantu pengisian hasil dahak pemeriksaan mikroskopis.
d. Form TB 05.

P. INDIKATOR KEBERHASILAN PELAYANAN TB DI RUMAH SAKIT.


1. Proporti rumah sakiti Pasien TB BTA Positif diantara Suspek =
Jumlah pasien TB BTA positif yg ditemukan
X 100%

45
Jumlah seluruh suspek TB yg diperiksa
menggambarkan mutu dari proses penemuan sampai diagnosis
pasien, serta kepekaan menetapkan kriteria suspek. Angka ini sekitar 5
- 15%. Bila angka ini terlalu kecil ( < 5 % ) kemungkinan disebabkan
karena Penjaringan suspek terlalu longgar. Banyak orang yang tidak
memenuhi kriteria suspek, atau ada masalah dalam pemeriksaan
laboratorium ( negatif palsu ).
Bila angka ini terlalu besar ( > 15 % ) kemungkinan disebabkan
penjaringan terlalu ketat atau ada masalah dalam pemeriksaan
laboratorium (positif palsu).

2. Proporti Pasien TB Paru BTA Positif Diantara Semua Pasien TB


Paru Tercatat/ diobati
Jumlah pasien TB BTA positif (baru + kambuh)
X 100%
Jumlah seluruh pasien TB (semua tipe)

Jangan kurang dari 65%. Bila angka ini jauh lebih rendah, itu berarti
mutu diagnosis rendah, dan kurang memberikan prioritas untuk
menemukan pasien yang menular (pasien BTA Positif).

3. Proporti pasien TB Anak diantara seluruh pasien TB

Jumlah pasien TB Anak (<15 thn) yg ditemukan


x 100 %
Jumlah seluruh pasien TB yg tercatat

untuk menggambarkan ketepatan dalam mendiagnosis TB pada


anak. Angka ini berkisar 15%. Bila angka ini terlalu besar dari 15%,
kemungkinan terjadi overdiagnosis.

4. Angka Konversi (Convertion Rate)


Angka konversi adalah prosentase pasien baru TB paru BTA positif
yang mengalami perubahan menjadi BTA negatif setelah menjalani
masa pengobatan intensif. Indikator ini berguna untuk mengetahui
secara cepat hasil pengobatan dan untuk mengetahui apakah
pengawasan langsung menelan obat dilakukan dengan benar. Angka ini
berkisar > 90 %. .

46
Jumlah pasien baru TB paru BTA positif yg konverumah sakiti
X 100 %
Jumlah pasien baru TB paru BTA positif yg diobati

5. Angka Kesembuhan (Cure Rate)


Angka kesembuhan untuk pasien baru BTA positif :

Jumlah pasien baru TB BTA positif yg sembuh


X 100 %
Jumlah pasien baru TB BTA positif yg diobati

Angka kesembuhan dihitung juga untuk pasien BTA positif pengobatan


ulang dengan tujuan:
a. Untuk mengetahui seberapa besar kemungkinan kekebalan
Terhadap obat terjadi di komunitas, hal ini harus dipastikan dengan
surveilans kekebalan obat.
b. Untuk mengambil keputusan program pada pengobatan
menggunakan obat baris kedua (second-line drugs).
Angka diatas berkisar > 90 %.

6. Angka Keberhasilan Pengobatan (Success Rate)


Juml px baru TB BTA pos (sembuh + pengobatan lengkap)
X 100 %
Jumlah pasien baru TB BTA positif yg diobati

Nilai standart diatas adalah > 90%

7. Angka keberhasilan rujukan (Success referral rate)


Jumlah pasien dirujuk yang sampai di UPK Tujuan
x 100 %
Jumlah semua pasien yang
Nilai standart diatas adalah < 2%

47
Q. PENGOBATAN TUBERKULOSIS PARU PADA ORANG
DEWASA

48
1.Tujuan pengobatan TB adalah:
a. Menyembuhkan, mempertahankan kualitas hidup dan
produktivitas pasien.
b. Mencegah kematian akibat TB aktif atau efek lanjutan
c. Mencegah kekambuhan TB
d. Mengurangi penularan TB kepada orang lain
e. Mencegah perkembangan dan penularan resisten obat.

World Health Organization ( WHO ) merekomendasikan


obat Kombinasi Dosis Tetap (KDT) untuk mengurangi risiko
terjadinya TB resisten obat akibat monoterapi. Dengan KDT
pasien tidak dapat memilih obat yang diminum, jumlah butir obat
yang harus diminum lebih sedikit sehingga dapat meningkatkan
ketaatan pasien dan kesalahan resep oleh dokter juga diperkecil
karena berdasarkan berat badan.
Dosis harian KDT di Indonesia distandarisasi menjadi
empat kelompok berat badan 30-37 kg BB, 38-54 kg BB, 55-70
kg BB dan lebih dari 70 kg BB.

49
Pasien dengan kasus baru diasumsikan peka terhadap
OAT kecuali:
a. Tinggal di daerah dengan prevalens tinggi resisten isoniazid ,
Atau
b. Riwayat kontak dengan pasien TB resisten obat. Pasien
kasus baru seperti ini cenderung memiliki pola resistensi obat
yang sama dengan kasus sumber.
Pada kasus ini sebaiknya dilakukan uji resistensi obat sejak
awal pengobatan dan sementara menunggu hasil uji resistensi
obat maka paduan obat yang berdasarkan uji resistensi obat
kasus sumber sebaiknya dimulai.
Paduan 2RHZE/6HE didapatkan lebih banyak
menyebabkan kasus kambuh dan kematian dibandingkan
paduan 2RHZE/4RH. Berdasarkan hasil penelitian metaanalisis
ini maka WHO merekomendasikan paduan 2RHZE/4RH.
Pasien yang menerima OAT tiga kali seminggu memiliki
angka resistensi obat yang lebih tinggi dibandingkan dengan
yang menerima pengobatan harian. Oleh sebab itu WHO
merekomendasikan pengobatan dengan paduan harian
sepanjang periode pengobatan OAT (2RHZE/4RH) pada pasien
dengan TB paru kasus baru dengan alternatif paduan
2RHZE/4R3H3. yang harus disertai pengawasan ketat secara
langsung oleh pengawas menelan obat (PMO). Obat program
yang berasal dari pemerintah Indonesia memilih menggunakan
paduan 2RHZE/4R3H3 dengan pengawasan ketat secara
langsung oleh PMO
2. Paduan obat standar pasien TB kasus baru.
Fase intensif : RHZE 2 bulan.
Fase lanjutan : RH 4 bulan
3. Menilai Respons Pengobatan Pada Pasien TB Kasus Baru
Pemeriksaan dahak tambahan ( pada akhir bulan ketiga fase
intensif sisipan ) diperlukan untuk pasien TB kasus baru dengan

50
apusan dahak Bakteri Tahan Asam ( BTA ) positif pada akhir
fase intensif.
Pemeriksaan biakan Micobacterium Tuberkulosis dan uji
resistensi obat sebaiknya dilakukan pada pasien TB kasus baru
dengan apusan dahak BTA masih positif pada akhir bulan ketiga.
Tujuan utamanya adalah mendeteksi kuman resisten obat tanpa
harus menunggu bulan kelima untuk mendapatkan terapi yang
tepat.
Bila hasil apusan dahak BTA positif pada bulan kelima atau
pada akhir pengobatan berarti pengobatan gagal dan kartu
berobat TB ditutup dengan hasil “gagal” dan kartu berobat TB
yang baru dibuka dengan tipe pasien “pengobatan setelah gagal.”
Bila seorang pasien didapatkan TB dengan strain resisten
obat maka pengobatan dinyatakan gagal kapanpun waktunya.
Pada pasien dengan apusan dahak BTA negatif (atau tidak
dilakukan) pada awal pengobatan dan tetap negatif pada akhir
bulan kedua pengobatan maka tidak diperlukan lagi pemantauan
dahak lebih lanjut. Pemantauan dilakukan secara klinis dan berat
badan merupakan indikator yang sangat berguna.

Algoritme Pengobatan TB Dewasa

51
4. Definisi hasil pengobatan
a. Sembuh adalah Pasien TB paru dengan konfirmasi
bakteriologis pada awal pengobatan dan apusan dahak BTA
negatif atau biakan negatif pada akhir pengobatan dan / atau
sebelumnya.
b. Pengobatan lengkap adalah Pasien TB yang telah
menyelesaikan pengobatan tetapi tidak memiliki bukti gagal
tetapi tidak memiliki rekam medis yang menunjukkan apusan
dahak BTA atau biakan negatif akhir pengobatan dan satu
kesempatan sebelumnya, baik karena tidak dilakukan atau
karena hasilnya tidak ada.
c. Pengobatan gagal adalah Pasien TB dengan apusan dahak
atau biakan positif pada bulan kelima atau setelahnya selama
pengobatan. Termasuk juga dalam definisi ini adalah pasien
dengan strain kuman resisten obat yang didapatkan selama
pengobatan baik apusan dahak BTA negatif atau positif.
d. Meninggal adalah Pasien TB yang meninggal dengan alasan
apapun sebelum dan selama pengobatan.
e. Putus obat adalah Pasien TB yang tidak memulai pengobatan
atau menghentikan pengobatan selama 2 bulan berturut-turut
atau lebih.
f. Dipindahkan adalah pasien yang dipindahkan ke rekam medis
atau pelaporan lain dan hasil pengobatannya tidak diketahui
g. Pengobatan sukses adalah jumlah pasien TB dengan status
hasil pengobatan sembuh dan lengkap

R. PENGOBATAN TUBERKULOSIS PADA ANAK


Dalam menegakkan diagnosis TB anak, semua prosedur
diagnostik dapat dikerjakan, namun apabila dijumpai keterbatasan
sarana diagnostik yang tersedia, dapat menggunakan suatu
pendekatan lain yang dikenal sebagai sistem scoring. Sistem
scoring tersebut dikembangkan diuji coba melalui tiga tahap

52
penelitian oleh para ahli yang ada. Kemenkes dan didukung oleh
WHO dan disepakati sebagai salah satu cara untuk mempermudah
penegakan diagnosis TB anak terutama di fasilitas pelayanan
kesehatan dasar. Sistem scoring ini membantu tenaga kesehatan
agar tidak terlewat dalam mengumpulkan data klinis maupun
pemeriksaan penunjang sederhana sehingga diharapkan dapat
mengurangi terjadinya underdiagnosis maupun overdiagnosis TB.
Penilaian/ pembobotan pada sistem scoring dengan ketentuan
sebagai berikut:
1. Parameter uji tuberkulin dan kontak erat dengan pasien TB
menular mempunyai nilai tertinggi yaitu 3.
2. Uji tuberkulin bukan merupakan uji penentu utama untuk
menegakkan diagnosis TB pada anak dengan menggunakan
sistem scoring.
3. Pasien dengan jumlah skor ≥6 harus ditatalaksana sebagai
pasien TB dan mendapat OAT.
Setelah dinyatakan sebagai pasien TB anak dan diberikan
pengobatan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) harus dilakukan
pemantauan hasil pengobatan secara cermat terhadap respon klinis
pasien. Apabila respon klinis terhadap pengobatan baik, maka OAT
dapat dilanjutkan sedangkan apabila didapatkan respons klinis tidak
baik maka sebaiknya pasien segera dirujuk ke fasilitas pelayanan
kesehatan rujukan untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.

53
54
55
56
S. PASIEN PINDAH RUJUK BALIK
 Ruang lingkup dalam panduan rujukan dan pindah pasien TB ini
adalah :
1. Pasien TB Paru dan TB ekstra paru
pasien yang telah di diagnosis TB paru maupun TB ekstra paru
baik oleh dokter umum maupun dokter spesialis.
2. Pasien TB rawat jalan dan rawat inap
pasien TB yang datang berobat jalan maupun yang dirawat di
Rumah Sakit Umum Daerah dr. Sayidiman Magetan yang
memerelukan perawatan intensif
seperti TB MDR, TB resistan Obat,TB kategori II
3. Pasien TB pindah/rujukan
pasien TB yang pindah/dirujuk ke fasilitas kesehatan lainnya
dikarenakan alasan tertentu.

 Mekanisme rujukan dan pindah pasien TB dibagi atas 2 yaitu :


1. Mekanisme rujukan dan pindah pasien ke unit pelayanan
kesehatan (UPK) lain (dalam satu Kabupaten/kota).

Pengawas program
(Wasor) TB/
koordinator HDL
kabupaten

informasi konfirmasi

Pasien, OAT,TB01,TB09
Rumah sakit Puskesmas
TB09

57
Alur Rujukan Pasien Tuberkulosis antar UPK dalam Satu Unit
Registrasi (dalam 1 Kab/Kota)
Penjelasan skema :
 Apabila pasien sudah mendapatkan pengobatan di rumah sakit,
maka harus dibuatkan kartu Pengobatan (TB 01) di rumah sakit.
 Untuk pasien yang dirujuk dari rumah sakit, diberikan surat
pengantar (TB 09) dengan menyertakan TB 01 dan OAT (bila
telah dimulai pengobatan).
 Formulir TB 09 diberikan kepada pasien.
 Rumah sakit memberikan informasi langsung (telepon atau sms)
ke koordinator HDL / Wasor tentang pasien yang dirujuk.
 UPK yang telah menerima pasien rujukan segera mengisi dan
mengirimkan kembali TB 09 (lembar bagian bawah) ke UPK
asal.
 Koordinator HDL/ wasor memastikan semua pasien yang dirujuk
melanjutkan pengobatan di UPK yang dituju (dilakukan
konfirmasi melalui telepon/sms).

2. Mekanisme rujukan pasien dari rumah sakit ke UPK Kab/Kota


lain
Mekanisme rujukan sama dengan di atas, dengan tambahan:
 Informasi rujukan diteruskan ke Koordinator HDL Propinsi yang
akan menginformasikan ke Koordinator Kab/Kota yang
menerima rujukan, secara telepon langsung atau dengan sms.
 Koordinator HDL propinsi memastikan bahwa pasien yang
dirujuk telah melanjutkan pengobatan ke tempat rujukan yang
dituju.
 Bila pasien tidak ditemukan maka koordinator HDL propinsi
harus menginformasikan kepada Wasor atau Koordinator HDL
Kabupaten/Kota untuk melakukan pelacakan pasien.

58
BAB V
LOGISTIK

Pengelolaan logistik penanggulangan TB merupakan serangkaian


kegiatan yang meliputi perencanaan kebutuhan, pengadaan,
penyimpanan, pendistribusian, monitoring dan evaluasi. Logistik
penanggulangan TB terdiri dari 2 bagian besar yaitu logistik Obat Anti
Tuberkulosis (OAT) dan logistik lainnya.

A. LOGISTIK OAT.
Paket OAT anak dan dewasa terdapat 2 macam jenis dan kemasan
yaitu
1. OAT dalam bentuk obat kombinasi dosis tetap (KDT) atau
Fixed Dose Combination (FDC) yang dikemas dalam blister, dan
tiap blister berisi 28 tablet.
2. OAT dalam bentuk Kombipak yang dikemas dalam blister
untuk satu dosis, kombipak ini disediakan khusus untuk
pengatasi efek samping KDT. Khusus untuk dewasa terdiri dari
kategori 1, kategori 2 dan sisipan.

B. LOGISTIK NON OAT


Alat Laboratorium terdiri dari :
1. Mikroskop, slide box, pot sputum, kaca sediaan, rak pewarna
dan pengering, lampu spiritus, ose, botol plastik bercorong pipet,
kertas pembersih lensa mikroskop, kertas saring, dan lain lain.
2. Bahan diagnostik terdiri dari :
Reagensia Ziehl Neelsen, eter alkohol, minyak imersi, lysol,
tuberkulin PPD RT 23 dan lain lain.
3. Barang cetakan seperti buku pedoman, formulir pencatatan dan
pelaporan serta bahan KIE.

59
C. PENGELOLAAN OBAT ANTI TB
Perencanaan Kebutuhan Obat
Perencanaan kebutuhan OAT dilaksanakan dengan
pendekatan perencanaan dari bawah ( bottom up planning ), dan
dilakukan terpadu dengan perencanaan obat lainnya.
Perencanaan kebutuhan OAT memperhatikan :
1. Jumlah penemuan pasien pada tahun sebelumnya, 23
2. Perkiraan jumlah penemuan pasien yang direncanakan,
3. Buffer-stock ( tiap kategori OAT ),
4. Sisa stock OAT yang ada,
5. Perkiraan waktu perencanaan dan waktu distribusi (untuk
mengetahui estimasi kebutuhan dalam kurun waktu
perencanaan).

1. Tingkat Rumah Sakit


Rumah sakit menghitung kebutuhan tahunan, triwulan
dan bulanan sebagai dasar permintaan ke kabupaten.
2. Pengadaan OAT
Dalam pengadakan OAT, RSUD dr. Sayidiman Magetan
berkoordinasi dengan dinas kesehatan Magetan sesuai dengan
peraturan yang berlaku. Pengadaan OAT menjadi tanggung
jawab pusat mengingat OAT merupakan Obat yang sangat-
sangat esensial.
3. Penyimpanan dan Pendistribusian OAT
OAT disimpan di rak penyimpanan OAT sesuai persyaratan
penyimpanan obat. Penyimpanan obat harus disusun
berdasarkan First Expired First Out ( FEFO ), artinya, obat yang
kadaluarsanya lebih awal harus diletakkan didepan agar dapat
diberikan lebih awal. Pendistribusian OAT disertai dengan
dokumen yang memuat jenis, jumlah, kemasan, nomor batch dan
bulan serta tahun kadaluarsa.

60
4. Monitoring dan Evaluasi
Pemantauan OAT dilakukan dengan menggunakan laporan
pemakaian dan lembar permintaan obat yang berfungsi ganda,
untuk menggambarkan dinamika logistik dan merupakan alat
pencatatan / pelaporan.
5. Pemantauan Mutu OAT
Mutu OAT diperiksa melalui pemeriksaan pengamatan fisik obat
yang meliputi:
a. Penandaan/ label termasuk persyaratan penyimpanan
b. Leaflet dalam bahasa Indonesia.
c. Keutuhan kemasan dan wadah.
d. Nomor batch dan tanggal kadaluarsa baik di kemasan
terkecil.
seperti vial, box dan master box.
e. Mencantumkan nomor registrasi pada kemasan 24.

D. PENGELOLAAN LOGISTIK NON OAT


Secara umum siklusnya sama dengan manajemen OAT.
kebutuhan logistik non OAT
Bahan laboratorium dan formulir pencatatan dan pelaporan:
1. Perhitungan berdasarkan pada perkiraan pasien BTA positif yang
akan diobati dalam 1 tahun.
2. Logistik penunjang lainnya (seperti: buku pedoman TB, modul
pelatihan, materi KIE) dihitung berdasarkan kebutuhan.a
3. Semua formulir TB disediakan oleh rumah sakit, kecuali buku TB
03 UPK, TB 06, TB 04 disediakan oleh dinas kesehatan
kabupaten.
4. Formulir TB digandakan oleh bagian perlengkapan rumah sakit.
5. Penyimpanan formulir TB ada di poli TB-Dots.

61
F. PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI TB
Pencegahan dan pengendalian infeksi TB di fasilitas pelayanan
kesehatan terdiri dari 4 pilar yaitu:
1. Manajerial
2. Pengendalian administratif
3. Pengendalian lingkungan
4. Pengendalian dengan Alat Perlindungan Diri ( APD )

1. Manajerial
Pihak manajerial adalah pimpinan fasilitas pelayanan
kesehatan, kepala dinas kesehatan propinsi dan kabupaten / kota
dan / atau atasan dari institusi terkait. Komitmen, kepemimpinan
dan dukungan manajemen yang efektif berupa penguatan dari
upaya manajerial bagi program PPI TB meliputi:
a. Membuat kebijakan pelaksanaan PPI TB yang merupakan
bagian dari program PPI fasyankes dengan mengeluarkan SK
penunjukkan tim / penanggung jawab .
b. Membuat kebijakan dan Standar Prosedur Operasional
( SPO ) mengenai alur pasien untuk semua pasien batuk, alur
pelaporan dan surveilans .
c. Memberi pelatihan PPI TB bagi petugas yang terlibat dalam
program PPI TB .
d. Membuat perencanaan program PPI TB secara
komprehensif .
e. Membuat dan memastikan desain, konstruksi dan persyaratan
bangunan serta pemeliharaannya sesuai PPI TB.
f. Menyediakan sumber daya untuk terlaksananya program PPI
TB meliputi tenaga, anggaran, sarana dan prasarana yang
dibutuhkan termasuk aspek kesehatan kerja.
g. Monitoring dan Evaluasi.

62
h. Melaksanakan advokasi, komunikasi, mobilisasi dan
sosialisasi terkait PPI TB .
i. Surveilans petugas (kepatuhan menjalankan SPO dan
kejadian infeksi) .
j. Memfasilitasi kegiatan riset operasional
2. Pengendalian Administratif
Pengendalian Administratif adalah upaya yang dilakukan
untuk mencegah / mengurangi pajanan Mikobacterium
Tuberkulosis kepada petugas kesehatan, pasien, pengunjung dan
lingkungan dengan menyediakan, mensosialisasikan dan
memantau pelaksanaan standar prosedur dan alur pelayanan.
Upaya ini mencakup:
a. Mendidik pasien mengenai etika batuk.
b. Menempatkan semua suspek dan pasien TB di ruang tunggu
yang mempunyai ventilasi baik
c. Menyediaan tisu dan masker, tempat pembuangan tisu serta
pembuangan dahak yang benar.
d. Memasang poster, spanduk dan bahan untuk KIE .
e. Mempercepat proses penatalaksanaan pelayanan bagi pasien
suspek dan TB, termasuk diagnostik, terapi dan rujukan
sehingga waktu berada pasien di fasyankes dapat sesingkat
mungkin.
f. Melaksanakan pelatihan dan pendidikan mengenai PPI TB
bagi semua petugas kesehatan.
Secara ringkas, upaya pengendalian administratif ini dapat dicapai
dengan melaksanakan lima langkah penatalaksanaan pasien
sebagai berikut:
5 (Lima) Langkah Penatalaksanaan pasien Untuk Mencegah
Infeksi TB Pada Tempat
Langka Kegiatan Keterangan
h
1. Triase Pengenalan segera pasien suspek atau

63
konfirm TB adalah langkah pertama.
Hal ini bisa dilakukan dengan menempatkan
petugas untuk menyaring pasien dengan
batuk lama segera pada saat datang di
fasilitas. Pasien dengan batuk ≥ 2 minggu,
atau yang sedang dalam investigasi TB tidak
dibolehkan meng-antri dengan pasien lain
untuk mendaftar atau mendapatkan kartu.
Mereka harus segera dilayani mengikuti
langkah-langkah dibawah ini.
Meng-instruksi-kan pasien yang tersaring
diatas untuk melakukan etika batuk. Yaitu
untuk menutup hidung dan mulut ketika batuk
2. Penyuluhan
atau bersin. Kalau perlu berikan masker atau
tisu untuk menutup mulut dan mencegah
terjadinya aerosol.
Pasien yang suspek atau kasus TB melalui
pertanyaan penyaringan harus dipisahkan dari
pasien lain, dan diminta menunggu di ruang
3. Pemisahan
terpisah dengan ventilasi baik serta diberi
masker bedah atau tisu untuk menutup mulut
dan hidung pada saat menunggu.
Pasien dengan gejala batuk segera
mendapatkan pelayanan untuk mengurangi
waktu tunggu sehingga orang lain tidak
Pemberian
terpajan lebih lama.
4. pelayanan
Ditempat pelayanan terpadu TB - HIV,
segera
usahakan agar jadwal pelayanan HIV
dibedakan jam atau harinya dengan
pelayanan TB atau TB-HIV
5. Rujuk Untuk mempercepat pelayanan, pemeriksaan
untuk diagnostik TB sebaiknya dilakukan ditempat

64
pelayanan itu, tetapi bila layanan ini tidak
tersedia, fasilitas perlu membina kerjasama
baik dengan sentra diagnostik TB untuk
investigasi/
merujuk/melayani pasien dengan gejala TB
pengobatan
secepat mungkin. Selain itu, fasilitas perlu
TB
mempunyai kerjasama dengan sentra
pengobatan TB untuk menerima rujukan
pengobatan bagi pasien terdiagnosa TB.

65
3. Pengendalian Lingkungan
Pengendalian Lingkungan adalah upaya peningkatan dan
pengaturan aliran udara/ventilasi dengan menggunakan teknologi
untuk mencegah penyebaran dan mengurangi / menurunkan
kadar percik renik di udara. Upaya pengendalian dilakukan
dengan menyalurkan percik renik kearah tertentu 18 (directional
airflow) dan atau ditambah dengan radiasi utraviolet sebagai
germisida.
4. Pengendalian Dengan Alat Perlindungan Diri
Penggunaan alat pelindung diri pernapasan oleh petugas
kesehatan di tempat pelayanan sangat penting untuk menurunkan
risiko terpajan, sebab kadar percik renik tidak dapat dihilangkan
dengan upaya administratif dan lingkungan.
Petugas kesehatan perlu menggunakan respirator particulat
(respirator) pada saat melakukan prosedur yang berisiko tinggi,
misalnya bronkoskopi, intubasi, induksi sputum, aspirasi sekret
saluran napas, dan pembedahan paru. Selain itu, respirator ini
juga perlu digunakan saat memberikan perawatan kepada pasien
atau saat menghadapi/menangani pasien tersangka MDR-TB dan
XDR-TB di poliklinik.
Petugas kesehatan dan pengunjung perlu mengenakan
respirator jika berada berumah sakitama pasien TB di ruangan
tertutup. Pasien atau terumah sakitangka TB tidak perlu
menggunakan respirator tetapi cukup menggunakan masker
bedah untuk melindungi lingkungan sekitarnya dari droplet.

F. Pemanfaatan Sistem Ventilasi:


Sistem ventilasi adalah sistem yang menjamin terjadinya
pertukaran udara di dalam gedung dan luar gedung yang memadai,
sehingga konsentrasi droplet nuklei menurun.
Secara garis besar ada dua jenis sistem ventilasi yaitu:

66
1. Ventilasi alamiah: adalah sistem ventilasi yang mengandalkan pada
pintu dan jendela terbuka, serta skylight (bagian atas ruangan yang
bisa dibuka/terbuka) untuk mengalirkan udara dari luar kedalam
gedung dan sebaliknya. Indonesia sebaiknya menggunakan
ventilasi alami dengan menciptakan aliran udara silang (cross
ventilation) dan perlu dipastikan arah angin yang tidak
membahayakan petugas atau pasien lain.
2. Ventilasi Mekanik : adalah sistem ventilasi yang menggunakan
peralatan mekanik untuk mengalirkan dan mensirkulasi udara di
dalam ruangan secara paksa untuk menyalurkan / menyedot udara
ke arah tertentu sehingga terjadi tekanan udara positif dan negatif.
Termasuk exhaust fan, kipas angin berdiri ( standing fan ) atau
duduk.
3. Ventilasi campuran ( hybrid ): adalah sistem ventilasi alamiah
ditambah dengan penggunaan peralatan mekanik untuk menambah
efektifitas penyaluran udara. Pemilihan jenis sistem ventilasi
tergantung pada jenis fasilitas dan keadaan setempat.
Pertimbangan pemilihan sistem ventilasi suatu fasyankes
berdasarkan kondisi lokal yaitu struktur bangunan, iklim – cuaca,
peraturan bangunan, budaya, dana dan kualitas udara luar ruangan
serta perlu dilakukan monitoring dan pemeliharaan secara periodik.
Pada RSUD dr. Sayidiman Magetan ini menggunakan ventilasi
campuran.
Pengaturan tata letak ruangan seperti antara ruangan infeksius
dan non infeksius, pembagian area ( zoning ) tempat pelayanan juga
perlu memperoleh perhatian untuk PPI TB. Pemantauan sistem
ventilasi harus memperhatikan 3 unsur dasar, yaitu:
1. Laju ventilasi ( ventilation rate ): Jumlah udara luar gedung yang
masuk ke dalam ruangan pada waktu tertentu .
2. Arah aliran udara ( airflow direction ): Arah aliran udara dalam
gedung dari area bersih ke area terkontaminasi .

67
3. Distribusi udara atau pola aliran udara ( airflow pattern ): Udara luar
perlu terdistribusi ke setiap bagian dari ruangan dengan cara yang
efisien dan udara yang terkontaminasi dialirkan keluar dengan cara
yang efisien.
Kebutuhan ventilasi yang baik, bervariasi tergantung pada
jenis ventilasi yang digunakan, seperti resirkulasi udara atau aliran
udara segar. Harus ada dua hasil pengukuran untuk mengukur laju
ventilasi, yaitu (1) dengan menghitung volume ruangan dan (2)
menghitung kecepatan angin Dari hasil perhitungan akan didapat
pertukaran udara per jam airchanges per hour ( ACH ). Pertukaran
udara yang memenuhi persyaratan PPI-TB minimal 12 x / jam.

68
BAB VI
KESELAMATAN PASIEN

Mengingat masalah keselamatan pasien merupakan masalah


yang perlu ditangani segera di rumah sakit di Indonesia maka
diperlukan standar keselamatan pasien rumah sakit yang merupakan
acuan bagi rumah sakit di Indonesia untuk melaksanakan kegiatannya.
Standar keselamatan pasien rumah sakit yang disusun ini mengacu
pada ”Hospital Patient Safety Standards” yang dikeluarkan oleh Joint
Commision on Accreditation of Health Organizations, Illinois, USA,
tahun 2002, yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi perumah
sakitan di Indonesia.
Standar keselamatan pasien tersebut terdiri dari tujuh standar
yaitu :
1. Hak pasien
2. Mendidik pasien dan keluarga
3. Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan
4. Penggunaan metoda-metoda peningkatan kinerja untuk melakukan
evaluasi dan program peningkatan keselamatan pasien
5. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien
6. Mendidik staf tentang keselamatan pasien
7. Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai
keselamatan pasien

69
BAB VII
KESELAMATAN KERJA

A. JENIS RESPIRATOR

B. PEMAKAIAN RESPIRATOR PARTIKULAT


Respirator partikulat untuk pelayanan kesehatan N95 atau
FFP2 ( health care particular respirato ), merupakan masker
khusus dengan efisiensi tinggi untuk melindungi seseorang dari
partikel berukuran < 5 mikron yang dibawa melalui udara.
Pelindung ini terdiri dari beberapa lapisan penyaring dan harus

70
dipakai menempel erat pada wajah tanpa ada kebocoran. Masker
ini membuat pernapasan pemakai menjadi lebih berat. Harganya
lebih mahal daripada masker bedah. Bila cara pemeliharaan dan
penyimpanan dilakukan dengan baik, maka respirator ini dapat
digunakan kembali, maksimal untuk 5 hari. Sebelum memakai
masker ini, petugas kesehatan perlu melakukan fit test.

Hal yang perlu diperhatikan saat melakukan fit test :


1. Memeriksa sisi masker yang menempel pada wajah untuk
melihat adanya cacat atau lapisan yang tidak utuh. Jika cacat
atau terdapat lapisan yang tidak utuh, maka tidak dapat
digunakan dan perlu diganti.
2. Memastikan tali masker tersambung dan menempel dengan baik
di semua titik sambungan.
3. Memastikan klip hidung yang terbuat dari logam dapat
disesuaikan bentuk hidung petugas

Fungsi alat ini akan menjadi kurang efektif dan aman bila tidak
menempel erat pada wajah. Beberapa keadaan yang dapat
menimbulkan keadaan demikian, yaitu:
1. Adanya janggut atau rambut diwajah bagian bawah.
2. Adanya gagang kacamata .
3. Ketiadaan satu atau dua gigi pada kedua sisi yang dapat
mempengaruhi perlekatan bagian wajah masker.

C. LANGKAH – LANGKAH MENGGUNAKAN RESPIRATOR.

71
Genggamlah respirator dengan satu tangan, posisikan sisi depan
bagian hidung pada ujung jari-jari anda, biarkan tali pengikat
respirator menjuntai bebas dibawah tangan anda

Posisikan respirator dibawah dagu anda dan sisi untuk hidung


berada diatas

72
Tariklah tali pengikat respirator yang atas dan posisikan tali agak
tinggi dibelakang kepala anda diatas telinga. Tariklah tali pengikat
respirator yang bawah dan posisikan tali pada kepala bagian atas
(posisi tali menyilang)

Letakan jari-jari kedua tangan anda diatas bagian hidung yang


terbuat dari logam. Tekan sisi logam terumah sakitebut (gunakan
dua jari dari masing-masing tangan) mengikuti bentuk hidung
anda.Jangan menekan respirator dengan satu tangan karena dapat
mengakibatkan respirator bekerja kurang efektif

73
Tutup bagian depan respirator dengan kedua tangan, dan hati-hati
agar posisi respirator tidak berubah.

D. EDUKASI DAN PENERAPAN ETIKA BATUK


Petugas harus mampu memberi edukasi yang adekuat
mengenai pentingnya menjalankan etika batuk kepada pasien
untuk mengurangi penularan. Pasien yang batuk / bersin
diinstruksikan untuk memalingkan kepala dan menutup mulut /
hidung dengan tisu. Kalau tidak memiliki tisu maka mulut dan
hidung ditutup dengan tangan atau pangkal lengan. Sesudah batuk,
tangan dibersihkan, dan tisu dibuang pada tempat sampah yang
khusus disediakan untuk ini.
Petugas yang sedang sakit sebaiknya tidak merawat pasien.
Apabila tetap merawat pasien, maka petugas harus mengenakan
masker bedah. Apabila petugas bersin atau batuk, maka etika
batuk dan kebersihan tangan seperti di atas harus diterapkan.

74
Gambar 1: Contoh Poster Etik

75
E. KESELAMATAN DAN KEAMANAN LABORATORIUM TB
Konsep perlindungan diri petugas laboratorium tetap mengacu
pada kewaspadaan standar dan kewaspadaan berdasarkan
transmisi melalui udara (airborne) dan transmisi melalui kontak
apabila sedang memproses spesimen. Petugas lab yang
menangani pemeriksaan BTA dan kultur BTA berhak mendapatkan
pemeriksaan kesehatan rutin setiap tahun.
Kehati-hatian dalam melakukan prosedur laboratorium perlu
ditekankan terutama apabila kemungkinan menimbulkan aerosol.
Pekerjaan harus dilakukan dalam lemari biologic safety cabinet
kelas I atau IIA dengan keamanan tingkat 2 ( biosafety level 2 )
yang dilengkapi laminar - airflow dan filter HEPA. Sebelum bekerja,
meja kerja kabinet dialasi dengan bahan penyerap yang sudah
dibasahi larutan disinfektans. Setiap selesai bekerja, permukaan
kabinet harus diberumah sakitihkan dengan larutan disinfektan.
Lampu ultra violet harus selalu dinyalakan apabila kabinet dalam
keadaan tidak digunakan. Untuk pemeliharaan biosafety cabinet
perlu dilakukan pengecekan berkala minimal 1 (satu) kali dalam
setahun oleh teknisi yang kompeten dan tersertifikasi. Sistem
ventilasi udara laboratorium TB harus diatur sedemikian rupa
sehingga udara mengalir masuk sesuai area besih ke area
tercemar dan keluar ke udara bebas yang tidak dilalui lalu lintas
manusia. Ruang pemrosesan dianjurkan selalu terpasang dan
dinyalakan lampu ultra violet bila dalam keadaan tidak digunakan.
Lampu harus selalu dalam keadaan bersih dan efek germisidal
lampu diperiksa secara rutin setiap bulan menggunakan alat
pengukur.

76
BAB VIII
PENGENDALIAN MUTU

Pengendalian mutu adalah upaya pemantauan dan evaluasi


yang merupakan salah satu fungsi manajemen untuk menilai
keberhasilan pelaksanaan program. Pemantaun dilaksanakan secara
berkala dan terus menerus, untuk dapat segera mendeteksi bila ada
masalah dalam pelaksanaan kegiatan yang telah direncanakan,
supaya dapat dilakukan tindakan perbaikan segera. Evaluasi dilakukan
setelah suatu jarak-waktu ( interval ) lebih lama, biasanya setiap 6
bulan s/d 1 tahun. Dengan evaluasi dapat dinilai sejauh mana tujuan
dan target yang telah ditetapkan sebelumnya dicapai. Dalam
mengukur keberhasilan tersebut diperlukan indikator. Hasil evaluasi
sangat berguna untuk kepentingan perencanaan program.

A. PENCATATAN DAN PELAPORAN UNTUK MANAJEMEN


RUMAH SAKIT
1. Petugas poli TB-DOTS memberikan laporan perbulan kepada
koordinator pelaporan dan pencatatan Tim TB-DOTS dengan
memakai TB 03 UPK, buku bantu rekapitulasi pasien dan form
dari pihak manajemen sendiri.
2. Laporan diolah dan dilaporkan pihak koordinator tim TB-DOTS
kepada direktur rumah sakit.

B. PENCATATAN DAN PELAPORAN PROGRAM NASIONAL


PENANGGULANGAN TUBERKULOSIS

77
Salah satu komponen penting dari survailans yaitu pencatatan
dan pelaporan dengan maksud mendapatkan data untuk diolah,
dianalisis, diinterpretasi, disajikan dan disebarluaskan untuk
dimanfaatkan. Data yang dikumpulkan pada kegiatan survailans
harus valid ( akurat, lengkap dan tepat waktu ) sehingga
memudahkan dalam pengolahan dan analisis. Data program
Tuberkulosis dapat diperoleh dari pencatatan di semua unit
pelayanan kesehatan yang dilaksanakan dengan satu sistem yang
baku.

C. FORMULIR - FORMULIR YANG DIPERGUNAKAN DALAM


PENCATATAN TB DI RSUD dr. SAYIDIMAN MAGETAN
Dalam melaksanakan pencatatan menggunakan formulir:
1. Daftar tersangka pasien ( suspek ) yang diperiksa dahak SPS
(TB.06).
2. Formulir permohonan laboratorium TB untuk pemeriksaan dahak
(TB.05).
3. Kartu pengobatan pasien TB (TB.01).
4. Kartu identitas pasien TB (TB.02).
5. Register TB UPK (TB.03 UPK)
6. Formulir rujukan / pindah pasien (TB.09).
7. Formulir hasil akhir pengobatan dari pasien TB pindahan
(TB.10).
8. Register laboratorium TB (TB.04).
9. Buku bantu laporan bulanan.

D. Pencatatan dan Pelaporan di Kabupaten


Dinas kesehatan kabupaten menggunakan formulir
pencatatan dan pelaporan sebagai berikut:
1. Register TB kabupaten (TB.03)
2. Formulir pemeriksaan sediaan untuk uji silang dan analisis hasil
uji silang kabupaten (TB.12)

78
3. Laporan OAT (TB.13)
4. Data situasi ketenagaan program TB

BAB IX
PENUTUP

Dengan tersusunnya pedoman pelayanan Tuberkulosis


dengan strategi DOTS di RSUD dr. Sayidiman Magetan ini, maka
upaya penanggulangan penyakit TB dapat di laksanakan secara
komprehensif, berkesinambungan dan sesuai standar yang berlaku,
serta di harapkan para petugas kesehatan dapat memberikan
pelayanan yang bermutu kepada masyarakat. Hal – hal yang bersifat
lebih teknis dan rinci akan di susun dalam bentuk panduan dan SPO
yang di perlukan sesuai dengan pokok kegiatan yang mendukung
pelaksanaan pelayanan TB. Setiap petugas kesehatan RSUD dr.
Sayidiman Magetan diwajibkan mengikuti pedoman ini secara utuh.
Bila di dalam pelaksanaannya terdapat perkembangan yang
baru, maka tidak menutup kemungkinan pedoman ini akan di lakukan
perubahan dan penyesuaian sesuai kebutuhan dan tuntutan.

DIREKTUR RUMAH SAKIT UMUM DAERAH


Dr. SAYIDIMAN MAGETAN

dr. YUNUS MAHATMA, Sp.PD


Pembina Tk.I

79
NIP. 19640104 199509 1 001

80

Anda mungkin juga menyukai