Anda di halaman 1dari 81

No.

Panggil

Per
187

PEDOMAN
PELAYANAN
TB-DOTs

| Pedoman Pelayanan TB DOTS 1


PEDOMAN PELAYANAN TB-DOTS

LEMBAR PENGESAHAN

PENGESAHAN DOKUMEN RUMAH SAKIT GRAHA SEHAT


PEDOMAN PELAYANAN TB-DOTs
KETERANGAN TANDA
TANGGAL
TANGAN
dr. Vikky Satrio PembuatDokumen 28/03/2020

Wibowo
Andreas S. Sos Authorized Person 30/03/2020

dr. Susanti Sugianto Direktur 01/04/2020

| Pedoman Pelayanan TB DOTS 2


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat, karunia, taufik serta hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan Pedoman
Pelayanan TB-DOTs.
Penyusunan pedoman ini sebagai upaya penanggulangan dan penanganan
kasusu tuberkulosis di rumah sakit, agar dapat menberikan nformasi yang terukur
tentang upaya pelayanan dan pengendalian TB-DOT untuk perbaikan
berkesinambungan bagi Rumah Sakit meningkatkan kinerja.
Kami sangat berharap laporan ini dapat memenuhi tujuan tersebut diatas,
sehingga masukan berbagai pihak guna akan sangat dihargai guna melengkapi
laporan ini, Selain itu semoga dengan selesainya laporan ini dapat memberikan
gambaran tentang hasil kinerja pelayanan di TIM TB –DOTS. Untuk itu perlu di
susun Pedoman Pelayanan TB DOTs di rumah sakit Graha Sehat.
Diharapkan adanya masukan untuk penyempurnaan Pedoman Pelayanan TB
DOTs ini di kemudian hari. Untuk itu tim penyusun mengucapkan terima kasih
dan harapan agar Pedoman Pelayanan TB DOTs ini dapat dipergunakan sebagai
acuan di Rumah Sakit Graha Sehat.
Akhirnya kami sampaikan terima kasih dan penghargaan kepada semua
pihak yang telah bekerja keras dalam penyusunan Pedoman Pelayanan TB-DOTs
ini dan semoga Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa memberikan petunjuk serta
memberikan kekuatan kepada kita semua dalam melaksanakan tugas pelayanan
kesehatan.

Kraksaan, 21 Maret 2022

Tim Penyusun

| Pedoman Pelayanan TB DOTS 3


TIM PENYUSUN

Tim Penyusun Pedoman Pelayanan tim TB-DOT :


1. dr. Faujizah Sri Rahmawati, Sp.P
2. dr. Vikky Satriyo Wibowo
3. Faid Mursyid Madani.S,Kep.Ns
4. Erik Nurus Salis, Amd. Kep
5. Dwi Retno Haryanti, S,Kep.Ns
6. Nadyatun Nazihah, S. Tr. Kes
7. Apt. Himawan Gus Wantoro, S. Farm
8. Shofiatul Fawaidah, Amd. Kep

| Pedoman Pelayanan TB DOTS 4


DAFTAR ISI

PEDOMAN PELAYANAN TIM TB-DOTs


PEDOMAN PELAYANAN TIM TB-DOTs ...................................................1
KATA PENGANTAR .......................................................................................3
TIM PENYUSUN ..............................................................................................4
DAFTAR ISI ......................................................................................................5
DAFTAR TABEL .............................................................................................6
DAFTAR GAMBAR .........................................................................................7
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................10
BAB II STANDAR KETENAGAAN ..............................................................15
BAB III STANDAR FASILITAS ....................................................................16
BAB IV TATA LAKSANA PELAYANAN ....................................................18
BAB V LOGISTIK............................................................................................46
BAB VI KESELAMATAN PASIEN ...............................................................51
BAB VII KESELAMATAN KERJA ...............................................................62
BAB VIII PENGENDALIAN MUTU .............................................................71
BAB IX PENUTUP ...........................................................................................81

| Pedoman Pelayanan TB DOTS 5


DAFTAR TABEL

Tabel 1. Kualifikasi Sumber Daya Manusia ......................................................... 15


Tabel 2. Distribusi Ketenagaan ............................................................................. 15
Tabel 3. Alat keperawatan diruang klinik TB DOTs RS Graha Sehat.................. 17
Tabel 4. Lima langkah penatalaksanaan pasien untuk mencegah infeksi TB pada
tempat pelayanan ................................................................................................... 27
Tabel 5. Dosis untuk panduan OAT KDT untuk kategori 1 ................................. 35
Tabel 6. Dosis untuk panduan OAT KDT kategori 2 ........................................... 36
Tabel 7.Skoring penentuan diagosis anak ............................................................. 38
Tabel 8. Tabel Dosis OAT untuk anak ................................................................. 39
Tabel 9. Pilihan Penanganan Pasien TB-DOTs .................................................... 42
Tabel 10. Indikator ................................................................................................ 72

| Pedoman Pelayanan TB DOTS 6


DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Denah Ruangan ................................................................................... 16


Gambar 2. Jejaring Internal ................................................................................... 29
Gambar 3. Tata Laksana TB pada Pasien Dewasa ................................................ 32
Gambar 4. Tata Laksana Pengobatan pada Anak.................................................. 37
Gambar 5. Alur Rujuk Pasien Tuberkulosis ......................................................... 41
Gambar 6. Prosedure Cuci Tangan ....................................................................... 56
Gambar 7. Rumus Angka Penjaringan SUSPEK .................................................. 73
Gambar 8. Rumus Proporsi Pasien TB BTA Positif diantara SUSPEK ............... 73

| Pedoman Pelayanan TB DOTS 7


RUMAH SAKIT
GRAHA SEHAT
Jl. Panglima Sudirman No. 2
Telp. (0335) 846500, 846354, 844200 Fax. (0335) 846500
KRAKSAAN – PROBOLINGGO
PERATURAN DIREKTUR
RUMAH SAKIT GRAHA SEHAT
NOMOR: 168/RSGS/Per/III/2022

TENTANG

PEDOMAN PELAYANAN TB-DOTS


RUMAH SAKIT GRAHA SEHAT

DIREKTUR RUMAH SAKIT GRAHA SEHAT,


Menimbang : a. bahwa dalam pelayanan pasien dengan penyakit tuberkulosis
di Rumah Sakit Graha Sehat perlu disusun suatu pedoman
pelayanan;
b. bahwa Pedoman Pelayanan TB-DOTS sebagaimana
dimaksud dalam butir a, perlu ditetapkan dengan Peraturan
Direktur Rumah Sakit Graha Sehat.
Mengingat : 1. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 29 tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran;
2. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009
tentang Kesehatan;
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2009
tentang Rumah Sakit;
4. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
269/Menkes/Per/III/2008 tentang Rekam Medis;
5. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
290/Menkes/Per/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan
Kedokteran;
6. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
856/Menkes/SK/IX/2009 tentang Standar TB DOTS Rumah
Sakit;

| Pedoman Pelayanan TB DOTS 8


7. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 67
tahun 2016 tentang Penanggulangan Tuberkulosis;
8. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2012
tentang Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi
Tuberkulosis di Fasilitas Pelayanan Kesehatan;
9. Peraturan Direktur nomor 231/RSGS/Per/VIII/2022 tentang
Pedoman Pencegahan dan Pengendalin Infeksi di Rumah
Sakit Graha Sehat;
10. Peraturan Direktur Rumah Sakit Graha Sehat Nomor
01/Per/Dirut/GSLK/I/2020 Tentang Peraturan Internal
Rumah Sakit Graha Sehat;
11. Peraturan Direktur Utama PT Graha Sehat Lestari Kraksaan
Nomor 01/Per/Dirut/GSLK/I/2020 Tentang Penetapan
Struktur Organisasi Rumah Sakit Graha Sehat.

MEMUTUSKAN
Menetapkan :
KESATU : PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT GRAHA SEHAT
TENTANG PEDOMAN PELAYANAN TB-DOTs DI
LINGKUNGAN RUMAH SAKIT GRAHA SEHAT
KEDUA : Pedoman Pelayanan TB-DOTs di lingkungan Rumah Sakit
Graha Sehat sebagaimana terlampir dalam Peraturan ini.
KETIGA : Pedoman Pelayanan TB-DOTs Rumah Sakit Graha Sehat wajib
digunakan dalam penanganan dan pelayanan pasien tuberkulosis.

KEEMPAT : Peraturan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dan apabila


dikemudian hari ternyata terdapat kekeliruan dalam ketetapan ini
akan diadakan perbaikan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di : Kraksaan
Pada tanggal : 21 Maret 2022
Direktur
Rumah Sakit Graha Sehat,

| Pedoman Pelayanan TB DOTS 9


dr. Susanti Sugianto
NIP. 67012013

| Pedoman Pelayanan TB DOTS 10


BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Tuberkulosis (TB) sampai dengan saat ini masih merupakan salah satu
masalah kesehatan masyarakat di dunia walaupun upaya penanggulangan TB
telah dilaksanakan di banyak negara sejak tahun 1995. Meskipun obat anti
tuberculosis (OAT) sudah ditemukan dan vaksinasi Bacillus Calmette-Guérin
(BCG) telah dilaksanakan, TB tetap belum bisa diberantas habis. Insidens TB
yang terus meningkat menjadi penyakit re-emerging sehingga Organisasi
Kesehatan Sedunia/WHO pada tahun 1995 mendeklarasikan TB sebagai
suatu global health emergency. Laporan WHO (2010) memperkirakan ada 8,8
juta pasien TB baru dan 2,6 juta diantaranya adalah pasien dengan Basil
Tahan Asam (BTA) positif dengan 1,1 juta angka kematian pasien pertahun
di seluruh dunia. Kondisi ini diperberat oleh penyakit HIV yang semakin
meningkat dan bertambahnya jumlah kasus kekebalan ganda kuman TB
terhadap OAT lini pertama atau disebut Multidrug Resistance TB (MDR)
bahkan Extensively atau Extremely Drug Resistance (XDR), yaitu resistensi
terhadap OAT lini kedua. Keadaan ini akan memicu epidemi TB dan terus
menjadi masalah kesehatan masyarakat yang utama. Maka perlu
meminimalkan resiko terjadinya infeksi TB di fasilitas pelayanan kesehatan
melalui tindakan pencegahan dan pengendalian infeksi yang efektif.
Penyebab utama meningkatnya masalah tuberkulosis antara lain adalah:
1. Komitmen politik khususnya pendanaan yang tidak memadai
2. Organisasi pelayanan tuberkulosis yang belum memadai (kurangnya akses
ke pelayanan, obat tidak selalu terjamin ketersediaannya, keterbatasan
jumlah pengawas menelan obat, pencatatan dan pelaporan yang belum
standar, dsb.)
3. Tatalaksana kasus yang belum memadai (penemuan kasus dan pengobatan
yang tidak standar)
4. Dampak pandemi HIV dan berkembangnya masalah MDR-TB
Menyikapi hal tersebut, pada tahun 1993, WHO mencanangkan

| Pedoman Pelayanan TB DOTS 11


tuberkulosis sebagai kedaruratan dunia(global emergency). WHO dan
IUATLD telah mengembangkan strategi penanggulangan tuberkulosis yang
dikenal sebagai strategi DOTs (Directly Observed Treatment Short-course)
dan telah terbukti sebagai strategi penanggulangan yang efektif (cost-
efective).
Global Plan untuk tahun 2006-2015 WHO merekomendasikan 6
elemen kunci Strategi Stop Tuberkulosis, yang terdiri dari :
1. Meningkatkan dan memperluas Ekspansi DOTs yang berkualitas
2. Komitmen Politik
3. Penemuan kasus menggunakan pemeriksaan bakteriologi
4. Pengobatan standard dengan supervisi dan dukungan pasien
5. Sistem distribusi OAT yang efektif
6. Sistem monitoring dan evaluasi
Komponen-komponen tambahan
7. Memperhatikan masalah.TB/HIV and MDR-TB
8. Berkontribusi dalam penguatan sistem kesehatan
9. Melibatkan seluruh penyedia pelayanan
10. Memberdayakan pasien tuberkulosis dan masyarakat
11. Memberdayakan dan meningkatkan penelitian

B. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Melindungi kesehatan masyarakat dari penularan TB agar tidak terjadi
kesakitan, kematian dan kecacatan.
2. Tujuan Khusus
a. Menurunkan angka kesakitan (prevalensi dan insidensi) dan angka
kematian tuberkulosis
b. Menurunkan resistensi terhadap OAT

| Pedoman Pelayanan TB DOTS 12


C. RUANG LINGKUP
Pedoman ini memberi panduan bagi petugas di Rumah Sakit dalam
melaksanakan pelayanan tuberculosis, pencegahan dan pengendalian infeksi
tuberkulosis pada pelayanan terhadap semua pasien, pengunjung, petugas dan
keluarga pasien.

D. BATASAN OPERASIONAL
1. TB adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB
(Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru,
tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.
2. Cara penularan
a. Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif.
b. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara
dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat
menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak.
c. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak
berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah
percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman.
d. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang
gelap dan lembab.
e. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman
yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil
pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut.
f. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan
oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara
tersebut.
3. Risiko penularan
a. Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak.
Pasien TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko
penularan lebih besar dari pasien TB paru dengan BTA negatif.

| Pedoman Pelayanan TB DOTS 13


b. Risiko penularan setiap tahunnya di tunjukkan dengan Annual Risk of
Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko
terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10
(sepuluh) orang di antara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun.
c. ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%.
d. Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negatif
menjadi positif.
4. Risiko menjadi sakit TB
a. Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB.
b. Dengan ARTI 1%, diperkirakan di antara 100.000 penduduk rata-rata
terjadi 1000 terinfeksi TB dan 10% di antaranya (100 orang) akan
menjadi sakit TB setiap tahun. Sekitar 50 di antaranya adalah pasien
TB BTA positif.
c. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien
TB adalah daya tahan tubuh yang rendah, di antaranya infeksi
HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk).

E. LANDASAN HUKUM
1. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesian nomor 67 tahun 2016
tentang Penanggulangan Tuberkulosis;
2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2012 tentang Pedoman
Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Tuberkulosis Di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan;
3. Peraturan Direktur nomor 231/RSGS/Per/VIII/2022 tentang Pedomana
Pencegahn dan Pengendalian Infeksi Rumah Sakit Graha Sehat.

| Pedoman Pelayanan TB DOTS 14


BAB II STANDAR KETENAGAAN

A. KUALIFIKASI SUMBER DAYA MANUSIA


Pola ketenagaan dan kualifikasi SDM Tim TB-DOTS adalah :
Tabel 1. Kualifikasi Sumber Daya Manusia
No Nama Jabatan Kualifikasi Formal Keterangan

1 Ketua Tim TB-DOTS Dokter Umum Tersertifikasi

2 Dokter Poli TB-DOTS Dokter Umum Tersertifikasi

3 Perawat Poli TB-DOTS Perawat Tersertifikasi

4 Analis Laboratorium Analis Belum Tersertifikasi

5 Administrasi Administrasi Belum Tersertifikasi

B. DISTRIBUSI KETENAGAAN
Pola pengaturan ketenagaan Tim TB-DOTs (MINIMAL) yaitu:
Tabel 2. Distribusi Ketenagaan
NO JENIS TENAGA PAGI SIANG MALAM LIBUR JUMLAH
1. Ketua Tim TB-
1 - - - 1
DOTS
2. Dokter Poli TB-
1 - - - 1
DOTS
3. Perawat Poli TB-
1 1 - 1 3
DOTS
4. Analis Laboratorium 1 - - - 1
5. Administrasi 1 - - - 1
JUMLAH 5 1 - 1 7

| Pedoman Pelayanan TB DOTS 15


BAB III STANDAR FASILITAS

A. DENAH RUANGAN
Ruangan Poli TB-DOTS terletak di dalam area Rumah Sakit Graha Sehat.
Denah ruangan Poli TB-DOTS sebagai berikut:
Gambar 1. Denah Ruangan

B. STANDAR FASILITAS
Kriteria umum ruangan
1. Struktur Fisik
Lantai perselen dan dinding dicat atau dilapisi keramik agar mudah dicuci
2. Kebersihan
Cat dan lantai berwarna terang dan sehingga kotoran terlihat dengan
mudah. Ruangan bersih dan bebas dari debu dan kotoran sampah atau
limbah rumah sakit. Hal ini berlaku pula untuk mebel, perlengkapan
instrumen, pintu jendela, steker listrik, dan langit-langit.

| Pedoman Pelayanan TB DOTS 16


3. Pencahayaan
Listrik berfungsi baik, kabel dan steker tidak membahayakan dan semua
lampu berfungsi baik dan kokoh. Pencahayaan terang dari cahaya alami
atau listrik
4. Ventilasi
Suhu ruang jaga 24-26 oc dan pendingin ruangan berfungsi dengan baik
5. Pencucian tangan
Westafel dilengkapi dengan dispenser sabun, serta tissu untuk
mengeringkan tangan

Tabel 3. Alat keperawatan diruang klinik TB DOTs RS Graha Sehat

NO NAMA JUMLAH

1 MEJA 1

2 KURSI 3

4 LEMARI ARSIP 1

6 STETOSKOP 1

7 TENSIMETER 1

8 TIMBANGAN BADAN 1

9 MASKER 2

10 BUKU PELAPORAN TB 1

| Pedoman Pelayanan TB DOTS 17


BAB IV TATA LAKSANA PELAYANAN

Strategi penanggulangan TB dalam pencapaian eliminasi nasional TB


meliputi :
a. Penguatan kepemimpinan program TB di kabupaten/kota
1. Promosi: Advokasi, Komunikasi dan Mobilisasi Sosial
2. Regulasi dan peningkatan pembiayaan
3. Koordinasi dan sinergi program
b. Peningkatan akses layanan TB yang bermutu
1. Peningkatan jejaring layanan TB melalui PPM (public-private mix)
2. Penemuan aktif berbasis keluarga dan masyarakat
3. Peningkatan kolaborasi layanan melalui TB-HIV, TB-DM, MTBS, PAL,
dan lain sebagainya
4. Inovasi diagnosis TB sesuai dengan alat/saran diagnostik yang baru
5. Kepatuhan dan Kelangsungan pengobatan pasien atau Case holding
6. Bekerja sama dengan asuransi kesehatan dalam rangka Cakupan Layanan
Semesta (health universal coverage)
c. Pengendalian faktor risiko
1. Promosi lingkungan dan hidup sehat.
2. Penerapan pencegahan dan pengendalian infeksi TB
3. Pengobatan pencegahan dan imunisasi TB
4. Memaksimalkan penemuan TB secara dini, mempertahankan cakupan dan
keberhasilan pengobatan yang tinggi.
d. Peningkatan kemitraan TB melalui Forum Koordinasi TB
1. Peningkatan kemitraan melalui forum koordinasi TB di pusat
2. Peningkatan kemitraan melalui forum koordinasi TB di daerah
e. Peningkatan kemandirian masyarakat dalam penanggulangan TB
1. Peningkatan partisipasi pasien, mantan pasien, keluarga dan masyarakat
2. Pelibatan peran masyarakat dalam promosi, penemuan kasus, dan
dukungan pengobatan TB

| Pedoman Pelayanan TB DOTS 18


3. Pemberdayan masyarakat melalui integrasi TB di upaya kesehatan berbasis
keluarga dan masyarakat
f. Penguatan manajemen program (health system strenghtening)
1. SDM
2. Logistik
3. Regulasi dan pembiayaan
4. Sistem Informasi, termasuk mandatory notification
5. Penelitian dan pengembangan inovasi program

A. PROMOSI KESEHATAN
Promosi kesehatan adalah berbagai upaya yang dilakukan terhadap
masyarakat sehingga mereka mau dan mampu untuk meningkatkan dan
memelihara kesehatan mereka sendiri. Dalam promosi kesehatan dalam
penanggulangan TB diarahkan untuk meningkatkan pengetahuan yang benar
dan komprehensif mengenai pencegahan penularan, pengobatan, pola hidup
bersih dan sehat (PHBS), sehingga terjadi perubahan sikap dan perilaku
sasaran program TB terkait dengan hal tersebut serta menghilangkan stigma
serta diskriminasi masyakarat serta petugas kesehatan terhadap pasien TB.
1. Sasaran
Sasaran promosi kesehatan penanggulangan TB adalah :
a. Pasien, individu sehat (masyarakat) dan keluarga sebagai komponen
dari masyarakat.
b. Tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, petugas kesehatan,
pejabat pemerintahan, organisasi kemasyarakatan dan media massa.
c. Pembuat kebijakan publik yang menerbitkan peraturan perundang-
undangan dibidang kesehatan dan bidang lain yang terkait serta
mereka yang dapat memfasilitasi atau menyediakan sumber daya.
2. Strategi Promosi Kesehatan dalam Penanggulangan TB
Promosi kesehatan dalam penanggulangan TB diselenggarakan dengan
strategi pemberdayaan masyarakat, advokasi dan kemitraan.
a. Pemberdayaan masyarakat

| Pedoman Pelayanan TB DOTS 19


Proses pemberian informasi tentang TB secara terus menerus serta
berkesinambungan untuk menciptakan kesadaran, kemauan dan
kemampuan pasien TB, keluarga dan kelompok masyarakat. Metode
yang dilakukan adalah melalui komunikasi efektif, demontrasi
(praktek), konseling dan bimbingan yang dilakukan baik di dalam
layanan kesehatan ataupun saat kunjungan rumah dengan
memanfaatkan media komunikasi seperti lembar balik, leaflet, poster
atau media lainnya.
b. Advokasi
Advokasi adalah upaya atau proses terencana untuk memperoleh
komitmen dan dukungan dari pemangku kebijakan yang dilakukan
secara persuasif, dengan menggunakan informasi yang akurat dan
tepat. Advokasi Program Penanggulangan TB adalah suatu
perangkat kegiatan yang terencana, terkoordinasi.
c. Kemitraan
Kemitraan merupakan kerjasama antara program penanggulangan
TB dengan institusi pemerintah terkait, pemangku kepentingan,
penyedia layanan, organisasi kemasyarakatan yang berdasar atas 3
prinsip yaitu kesetaraan, keterbukaan dan saling menguntungkan
3. Pelaksanaan
Promosi kesehatan untuk Penanggulangan TB dilakukan disemua
tingkatan administrasi baik pusat, provinsi, kabupaten/kota sampai
dengan fasilitas pelayanan kesehatan. Promosi TB selain dapat
dilakukan oleh petugas khusus jugandapat dilakukan oleh kader
organisasi kemasyarakatan yang menjadibmitra penanggulangan TB.
Dalam pelaksanaaannya promosi kesehatan harus mempertimbangkan
metode komunikasi, media komunikasa dan sumber daya.
Promosi kesehatan untuk penanggulan TB di rumah sakit
dilakukan bersama tim PKRS, melalui informasi berupa leaflet,
informasi langsung oleh petugas baik informasi verbal maupun
informasi digital, penyuluhan kepada masyarakat diluar rumah sakit.

| Pedoman Pelayanan TB DOTS 20


B. SURVEILANS DAN SISTEM INFORMASI TB
Surveilans TB merupakan salah satu kegiatan untuk memperoleh data
epidemiologi yang diperlukan dalam sistem informasi program
penanggulangan TB. Informasi kesehatan adalah data kesehatan yang telah
diolah atau diproses menjadi bentuk yang mengandung nilai dan makna yang
berguna untuk meningkatkan pengetahuan dalam mendukung pembangunan
kesehatan. Informasi kesehatan untuk program pengendalian TB adalah
informasi dan pengetahuan yang memandu dalam melakukan penentuan
strategi, perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi program TB.
1. Surveilans TB
Terdapat 2 jenis surveilans TB, yaitu :
a. Surveilans berbasis indikator (berdasarkan data pelaporan)
Surveilans berbasis indikator dilaksanakan dengan menggunakan data
layanan rutin yang dilakukan pada pasien TB. Sistem surveilans ini
merupakan sistem yang mudah, murah dan masih bisa dipercaya
untuk memperoleh informasi tentang TB. Hasil surveilans
berdasarkan data rutin ini perlu divalidasi dengan hasil dari surveilans
periodik atau surveilans sentinel. Data yang dikumpulkan harus
memenuhi standar yang meliputi :
1) Lengkap, tepat waktu dan akurat.
2) Data sesuai dengan indikator program.
3) Jenis, sifat, format, basis data yang dapat dengan mudah
diintegrasikan dengan sistim informasi kesehatan yang generik.
Data untuk program Penanggulangan TB diperoleh dari sistem
pencatatan-pelaporan TB. Pencatatan menggunakan formulir baku
secara manual didukung dengan sistem informasi secara elektronik,
sedangkan pelaporan TB menggunakan system informasi elektronik.
Penerapan sistem informasi TB secara elektronik disemua faskes
dilaksanakan secara bertahap dengan memperhatikan ketersediaan
sumber daya di wilayah tersebut.

| Pedoman Pelayanan TB DOTS 21


Sistem pencatatan-pelaporan TB secara elektronik
menggunakan Sistem Informasi TB yang berbasis web dan
diintegrasikan dengan sistem informasi kesehatan secara nasional dan
sistem informasi publik yang lain. Pencatatan dan pelaporan TB
diatur berdasarkan fungsi masing-masing tingkatan pelaksana.
b. Surveilans Berbasis Kejadian Luar Biasa
Surveilans Berbasis Kejadian Luar Biasa
Meliputi surveilans untuk kasus-kasus TB lintas negara
terutama bagi warga negara Indonesia yang akan berangkat
maupun yang akan kembali ke Indonesia (haji dan TKI). Hal
ini dilakukan karena mobilisasi penduduk yang sangat cepat
dalam jumlah besar setiap tahunnya tidak menguntungkan
ditinjau dari penanggulangan penyakit tuberkulosis. Hal ini
bisa menyebabkan terjadinya penyebaran penyakit dari satu
wilayah ke wilayah lain dan/atau dari satu negara ke negara
lain dalam waktu yang cepat; juga penyebaran internal dalam
rombongan tersebut. Upaya pengawasan pasien TB yang akan
menunaikan ibadah haji atau TKI yang akan berangkat keluar negeri
maupun kembali ke Indonesia memerlukan sistem surveilans
yang tepat.
2. Notifikasi wajib
TB adalah penyakit menular yang wajib dilaporkan. Setiap fasilitas
kesehatan yang memberikan pelayanan TB wajib mencatat dan
melaporkan kasus TB yang ditemukan dan/atau diobati sesuai dengan
format pencatatan dan pelaporan yang ditentukan. Pelanggaran atas
kewajiban ini bisa mengakibatkan sanksi administratif sampai
pencabutan izin operasional fasilitas kesehatan yang bersangkutan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sistem notifikasi wajib dapat dilakukan secara manual atau melalui
sistem elektronik sesuai dengan tata cara dan sistem yang ditentukan
oleh program penanggulangan TB. Dalam pelaksanaan notifikasi,

| Pedoman Pelayanan TB DOTS 22


digunakan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai identitas pasien
TB. Notifikasi wajib pasien TB untuk FKTP (klinik dan dokter praktik
mandiri) disampaikan kepada Puskesmas setempat. Puskesmas akan
mengkompilasi laporan kasus TB dari semua FKTP di wilayah kerjanya
dan melaporkan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat.
Mengingat keterbatasan sumber daya di FKTP (klinik dan dokter praktik
mandiri) maka harus disiapkan sistem informasi TB yang lebih
sederhana dan mudah dilaksanakan. Notifikasi wajib pasien TB dari
FKRTL (Rumah Sakit, BP4, Klinik Madya dan Utama) disampaikan
kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/kota setempat menggunakan sistem
informasi TB yang baku.
Dinas Kabupaten/Kota bertanggungjawab untuk mengawasi dan
membina pelaksanaan sistem notifikasi wajib di wilayahnya masing-
masing sebagai bagian rutin kegiatan tim PPM.
3. Monitoring dan Evaluasi (Monev)
Monitoring dan evaluasi program TB merupakan salah satu fungsi
manajemen untuk menilai keberhasilan pelaksanaan program TB.
Monitoring dilakukan secara rutin dan berkala sebagai deteksi awal
masalah dalam pelaksanaan kegiatan program sehingga dapat segera
dilakukan tindakan perbaikan. Monitoring dapat dilakukan dengan
membaca dan menilai laporan rutin maupun laporan tidak rutin, serta
kunjungan lapangan. Evaluasi dilakukan untuk menilai sejauh
manapencapaian tujuan, indikator, dan target yang telah ditetapkan.
Evaluasi dilakukan dalam rentang waktu lebih lama, biasanya setiap 6
bulan s/d 1 tahun.

C. PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI TUBERKULOSIS


Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan
oleh kuman Mycobacterium tuberculosis (M tb). Tuberkulosis dapat
mengenai semua organ tubuh dan semua kelompok usia. Meskipun demikian
paru adalah organ yang paling sering terjangkit TB.

| Pedoman Pelayanan TB DOTS 23


Penularan M tb terjadi melalui udara (airborne) yang menyebar
melalui partikel percik renik (droplet nuclei) saat seseorang batuk, bersin,
berbicara, berteriak atau bernyanyi. Percik renik ini berukuran 1- 5 mikron
dan dapat bertahan di udara selama beberapa jam. Infeksi terjadi bila
seseorang menghirup percik renik yang mengandung M tb dan akhirnya
sampai di alveoli. Umumnya respons imun terbentuk 2-10 minggu setelah
infeksi. Sejumlah kuman tetap dorman bertahun - tahun yang disebut infeksi
laten.
Kemungkinan seseorang terinfeksi TB dipengaruhi oleh beberapa
faktor seperti konsentrasi percik renik di udara dan jumlah kuman yang
terhirup, ventilasi udara, serta lamanya pajanan. Makin dekat dengan sumber
infeksi dan makin lama waktu pajanan (dalam hari atau minggu) akan
meningkatkan risiko seseorang terinfeksi. Beberapa keadaan TB paru yang
dapat meningkatkan risiko penularan :
1. Batuk produktif
2. BTA positif
3. Kavitas
4. Tidak menerapkan etika batuk (tidak menutup hidung atau mulut saat
batuk dan bersin)
5. Tidak mendapat OAT
6. Dilakukan tindakan intervensi ( induksi sputum,bronkoskopi, suction)
Risiko penularan TB di fasyankes dapat diturunkan dengan PPI TB,
diagnosis dini, dan pengobatan secepatnya
1. Pencegahan Administratif
Pengendalian administratif adalah upaya yang dilakukan untuk
mencegah/mengurangi pajanan M.Tb kepada petugas kesehatan, pasien,
pengunjung dan lingkungan dengan menyediakan, mensosialisasikan dan
memantau pelaksanaan standar prosedur dan alur pelayanan. Upaya ini
mencakup :
a. Melaksanakan triase dan pemisahan pasien batuk, mulai dari “pintu
masuk” pendaftaran fasyankes.

| Pedoman Pelayanan TB DOTS 24


b. Mendidik pasien mengenai etika batuk.
c. Menempatkan semua suspek dan pasien TB di ruang tunggu yang
mempunyai ventilasi baik, diupayakan ≥12 ACH dan terpisah dengan
pasien umum.
d. Menyediaan tisu dan masker, tempat pembuangan tisu serta
pembuangan dahak yang benar.
e. Memasang poster, spanduk dan bahan untuk KIE
f. Mempercepat proses penatalaksanaan pelayanan bagi pasien suspek
dan TB, termasuk diagnostik, terapi dan rujukan sehingga waktu
berada pasien di fasyankes dapat sesingkat mungkin.
g. Melaksanakan skrining bagi petugas yang merawat pasien TB.
h. Menerapkan SPO bagi petugas yang tertular TB.
i. Melaksanakan pelatihan dan pendidikan mengenai PPI TB bagi
semua petugas kesehatan.
2. Pengendalian Lingkungan
Pengendalian lingkungan adalah upaya peningkatan dan
pengaturan aliran udara/ventilasi dengan menggunakan teknologi untuk
mencegah penyebaran dan mengurangi/menurunkan kadar percik renik di
udara. Upaya pengendalian dilakukan dengan menyalurkan percik renik
kearah tertentu (directional airflow) dan atau ditambah dengan radiasi
utraviolet sebagai germisida.
Pengendalian lingkungan pelayanan TB harus berdasarkan
pedoman PPI rumah sakit untuk mencegah terjadinya penularan infeksi.
Pengendalian ini meliputi : sistem ventilasi, pengaturan gedung,
pembersihan dan disinfeksi, dan lain – lain.
3. Penggunaan APD pada saat melayani pasien TB sesuai aturan PPI yaitu
berdasarkan transmisi pasien dan tetap menerapkan kewaspadaan standar.
4. Penempatan pasien di ruang isolasi atau tersendiri sesuai peraturan PPI
dan menerapkan prinsip PPI saat transfer pasien. Penempatan pasien
tersendiri atau sidtem kohorting bila tidak memungkinkan, namun tetap
memperhatikan kualitas ventilasi.

| Pedoman Pelayanan TB DOTS 25


D. PENEMUAN KASUS
Penemuan pasien bertujuan untuk mendapatkan pasien TB melalui
serangkaian kegiatan mulai dari penjaringan terhadap terduga pasien TB,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang diperlukan, menentukan
diagnosis, menentukan klasifikasi penyakit serta tipe pasien TB. Setelah
diagnosis ditetapkan dilanjutkan pengobatan yang adekuat sampai sembuh,
sehingga tidak menularkan penyakitnya kepada orang lain.
1. Strategi Penemuan
Strategi penemuan pasien TB dapat dilakukan secara pasif, intensif, aktif,
dan masif.Upaya penemuan pasien TB harus didukung dengan kegiatan
promosi yang aktif, sehingga semua terduga TB dapat ditemukan secara
dini.
2. Diagnosis dan Pengobatan
Seseorang dicurigai sebagai TB paru apabila dijumpai gejala batuk
lebih dari 2-3 minggu. Gejala lain yang dapat dijumpai yaitu batuk darah,
sesak napas, nyeri dada. Gejala sistemik yang dapat menyertai seperti
penurunan napsu makan, berat badan menurun, demam, keringat malam
tanpa disertai aktivitas, letih, lesu dan lemah. Pasien dengan gejala diatas
harus menjalani pemeriksaan dahak secara mikroskopis untuk
menegakkan diagnosis TB paru. Pemeriksaan dahak untuk penegakan
diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang
dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu-
Pagi-Sewaktu (SPS). Bila BTA tidak ditemukan, dapat dikonfirmasi
dengan pemeriksaan foto toraks dan dianjurkan melakukan pemeriksaan
biakan M tb.
Pengobatan TB terdiri dari dua fase yaitu fase awal dan lanjutan.
Paduan obat anti tuberkulosis (OAT) pada fase awal terdiri dari minimal
4 jenis obat yaitu Rifampisin, Isoniazid, Pirazinamid dan Etambutol.
Paduan OAT fase lanjutan terdiri dari dua jenis obat yaitu Rifampisin dan
isoniazid. Pastikan melakukan evaluasi pengobatan dengan melakukan

| Pedoman Pelayanan TB DOTS 26


pemeriksaan dahak pada akhir fase awal, satu bulan sebelum akhir
pengobatan dan pada akhir pengobatan. Bila tidak terjadi konversi atau
gagal terapi pasien tersebut patut dicurigai resistensi OAT dan perlu
dilakukan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan obat.

E. ALUR PELAYANAN PASIEN TUBERKULOSIS


Konsep pelayanan secara umun yaitu penatalaksanaan TB meliputi
penemuan pasien dan pengobatan yang dikelola dengan menggunakan
strategi TB – DOTs. Tujuan utama pengobatan pasien TB adalah
menurunkan angka kematian dan kesakitan serta mencegah penularan dengan
cara menyembuhkan pasien.
1. Diagnosis dan langkah penatalaksanaan pasien TB
Diagnosis TB ditetapkan berdasarkan keluhan, hasil anamnesis,
pemeriksaan klinis, pemeriksaan labotarorium dan pemeriksaan penunjang
lainnya.
Tabel 4. Lima langkah penatalaksanaan pasien untuk mencegah infeksi TB
pada tempat pelayanan
Langkah Kegiatan Keterangan
1 Triase  Pengenalan segera pasien suspek atau konfirm
TB adalah langkah pertama.
 Hal ini bisa dilakukan dengan menempatkan
petugas untuk menyaring pasien dengan batuk
lama segera pada saat datang di fasilitas. Pasien
dengan batuk ≥ 2 minggu, atau yang sedang
dalam investigasi TB tidak dibolehkan meng-
antri dengan pasien lain untuk mendaftar atau
mendapatkan kartu. Mereka harus segera
dilayani mengikuti langkah-langkah.
 Pengisian skrining pada pelayanan IGD yang
dapat menentukan kategori pasien dengan risiko

| Pedoman Pelayanan TB DOTS 27


TB atau tidak. Skrining ini juga berfungsi
sebagai langkah awal untuk menentukan ruang
isolasi pasien.
2 Penyuluhan Meng-instruksi-kan pasien yang tersaring diatas
untuk melakukan etika batuk. Yaitu untuk menutup
hidung dan mulut ketika batuk atau bersin. Kalau
perlu berikan masker atau tisu untuk menutup
mulut dan mencegah terjadinya aerosol.
3 Pemisahan Pasien yang suspek atau kasus TB melalui
pertanyaan penyaringan harus dipisahkan dari
pasien lain, dan diminta menunggu di ruang
terpisah dengan ventilasi baik serta diberi masker
bedah atau tisu untuk menutup mulut dan hidung
pada saat menunggu.
4 Pemberian  Pasien dengan gejala batuk segera
pelayanan mendapatkan pelayanan untuk mengurangi
segera waktu tunggu sehingga orang lain tidak
terpajan lebih lama.
 Ditempat pelayanan terpadu TB - HIV,
usahakan agar jadwal pelayanan HIV
dibedakan jam atau harinya dengan pelayanan
TB atau TB-HIV
5 Rujuk Untuk mempercepat pelayanan, pemeriksaan
untuk diagnostik TB sebaiknya dilakukan ditempat
investigasi/ pelayanan itu, tetapi bila layanan ini tidak tersedia,
pengobatan fasilitas perlu membina kerjasama baik dengan
TB sentra diagnostik TB untuk merujuk/melayani
pasien dengan gejala TB secepat mungkin. Selain
itu, fasilitas perlu mempunyai kerjasama dengan
sentra pengobatan TB untuk menerima rujukan

| Pedoman Pelayanan TB DOTS 28


pengobatan bagi pasien terdiagnosa TB.

2. Jejaring Internal
Konsep pelayanan secara umum yaitu linkup jejaring internal
rumah sakit dalam menemukan dan pelayanan pasien tuberkulosis sampai
mendapatkan pengobatan yang sesuai.
Gambar 2. Jejaring Internal

a. Suspek tuberkulosis atau pasien tuberkulosis dapat datang ke Poli


Umum, IGD atau langsung ke poli spesialis (Penyakit Dalam. Paru,
Anak, Bedah, Obsgyn, THT, Mata).
b. Suspek tuberkulosis dikirim untuk dilakukan pemeriksaan penunjang
(Laboratorium Mikrobiologi, PK, PA dan Radiologi).
c. Hasil pemeriksaan penunjang dikirim ke Dokter yang bersangkutan.
diagnosis dan klasifikasi dilakukan oleh dokter poliklinik masing-
masing atau Unit DOTs.
d. Setelah diagnosis tuberkulosis ditegakkan pasien dikirim ke Unit
DOTs untuk registrasi (bila pasien meneruskan pengobatan di rumah
sakit tersebut), penentuan PMO, penyuluhan dan pengambilan obat,
pengisian Kartu Pengobatan Tuberkulosis (TB-01). Bila pasien tidak

| Pedoman Pelayanan TB DOTS 29


menggunakan obat paket, pencatatan dan pelaporan dilakukan di
Poliklinik masing-masing dan kemudian dilaporkan ke Unit DOTs.
e. Bila ada pasien tuberkulosis yang dirawat dibangsal, petugas bangsal
menghubungi unit DOTs untuk registrasi pasien(bila pasien
meneruskan pengobatan di rumah sakit tersebut). Paket OAT dapat
diambil di Unit DOTs.
f. Pasien tuberkulosis yang dirawat inap, saat akan keluar dari RS harus
melalui Unit DOTs untuk konseling dan penanganan lebih lanjut dalam
pengobatannya
g. Rujukan (pindah) dari/ ke UPH lain, berkoordinasi dengan unit DOTs
(lihat gambar alur rujukan)
3. Jejaring eksternal
Jejaring eksternal adalah jejaring yang dibangun antara Dinas Kesehatan,
RS, puskesmas dan unit pelayanan TB lainnya dalam penanggulangan
tuberkulosis dengan strategi DOTs.
a. Tujuan jejaring eksternal :
1) Semua pasien tuberkulosis mendapatkan akses pelayanan DOTs
yang berkualitas, mulai dari diagnosis, follow up sampai akhir
pengobatan
2) Menjamin kelangsungan dan keteraturan pengobatan pasien
sehingga mengurangi jumlah pasien yang putus berobat .
b. Dinas Kesehatan berfungsi :
1) Koordinasi antara rumah sakit dan UPK lain
2) Menyusun protap jejaring penanganan pasien tuberkulosis.
3) Koordinasi sistem surveilens
4) Menyusun perencanaan, memantau, melakukan supervisi dan
mengevaluasi penerapan strategi DOTs di rumah sakit.
5) Menyediakan tenaga/ petugas untuk mengumpulkan laporan
c. Tim TB-DOTs
Untuk melaksanakan fungsi tersebut di atas bila perlu dapat dibentuk
Tim TB-DOTs.

| Pedoman Pelayanan TB DOTS 30


Agar jejaring dapat berjalan baik diperlukan
1) Seorang koordinator jejaring DOTs rumah sakit di tingkat propinsi
atau kabupaten kota yang bekerja penuh waktu.
2) Peran aktif Wasor Propinsi/Kabupaten/kota
3) Mekanisme jejaring antar institusi yang jelas
4) Tersedianya alat bantu kelancaran proses rujukan antara lain
berupa
a) formulir rujukan
b) daftar nama dan alamat lengkap pasien yang dirujuk
c) daftar nama dan nomor telepon petugas
5) Dukungan & kerjasama antara UPK pengirim pasien tuberkulosis
dengan UPK penerima rujukan
6) Pertemuan koordinasi secara berkala minimal setiap 3 bulan antara
Komite DOTs dengan UPK yang dikoordinasi oleh Dinkes
Kabupaten/kota setempat dengan melibatkan semua pihak lain
yang terkait.
d. Tugas Koordinator Jejaring DOTs Rumah Sakit
1) Memastikan mekanisme jejaring seperti yang tersebut diatas
berjalan dengan baik.
2) Memfasilitasi rujukan antar UPK dan antar prop/kab/kota
3) Memastikan pasien yang dirujuk melanjutkan pengobatan ke UPK
yang dituju dan menyelesaikan pengobatannya.
4) Memastikan setiap pasien mangkir dilacak dan ditindaklanjuti
5) Supervisi pelaksanaan kegiatan di Unit DOTs
6) Validasi data pasien di rumah sakit
7) Monitoring dan evaluasi kemajuan ekspansi Hospital DOTs

F. TATA LAKSANA PENGOBATAN TB DI RUMAH SAKIT


Tata laksana pengobatan pasien TB harus mengikuti hasil
pemeriksaan dan penentuan klasifikasi diagnose TB dan juga kondisi
penunjang pasien.

| Pedoman Pelayanan TB DOTS 31


Tata laksana untuk pasien TB dirumah sakit dibagi menjadi 2
kelompok yaitu penanganan TB pada pasien dewasa dan penanganan TB
pada pasien anak (<14 tahun).
1. Tata Laksana TB pada pasien Dewasa
Gambar 3. Tata Laksana TB pada Pasien Dewasa

a. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis


1) Tuberkulosis paru BTA positif
a) Sekurang-kurangnya 2 dan 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA
positif
b) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks
dada menunjukkan gambaran tuberkulosis
c) Spesimen dahak SPS hasilnya Bta positif dan biakan kuman TB
positif

| Pedoman Pelayanan TB DOTS 32


d) 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen
dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif
dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT
2) Tuberkulosis paru BTA negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif.
Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi :
a) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif
b) Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis
c) Tidak ada perbaikan setelah pemberian anti biotika non OAT
d) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi
pengobatan.
b. Indikasi pemeriksaan foto toraks
Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakkan
dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis dan tidak memerlukan
foto toraks. Namun kondisi tertentu pemeriksaan foto toraks perlu
dilakukan sesuai dengan indikasi sebagai berikut :
1) Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari,
yaitu sewaktu - pagi – sewaktu (SPS)
2) Diagnosis paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya
kuman TB (BTA). Pada program TB Nasional, penemuan BTA
melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis
utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan
dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai
dengan indikasinya.
3) Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan
foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang
khas pada TB paru, sehingga sering terjadi Overdiagnosis.
4) Gambaran kelainan radiologik paru tidak selalu menunjukkan
aktifitas penyakit.
5) Untuk lebih jelasnya lihat alur prosedur diagnostik untuk suspek TB
paru.

| Pedoman Pelayanan TB DOTS 33


6) Untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah
kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah
terjadinya resistensi kuman terhadap OAT.
c. Prinsip Pengobatan
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai
berikut :
1) OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat,
dalm jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori
pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian
OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan
dan sangat dianjurkan.
2) Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan
pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh
seorang pengawas Menelan Obat (PMO).
3) Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan
lanjutan.
a) Tahap awal (Intensif)
(1) Pada tahap intensif (awal) mendapat obat setiap hari dan
perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya
resistensi obat.
(2) Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara
tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam
kurun waktu 2 minggu.
(3) Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif
(konversi) dalam 2 bulan.
b) Tahap lanjutan
(1) Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih
sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama.
(2) Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister
sehingga mencegah terjadinya kekambuhan

| Pedoman Pelayanan TB DOTS 34


4) Paduan OAT yang digunakan di Indonesia
a) Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia :
(1) Kategori 1 : 2 (HRZE)/4(HR)3.
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
(a) Pasien baru TB paru BTA positif.
(b) Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
(c) Pasien TB ekstra paru
Tabel 5. Dosis untuk panduan OAT KDT untuk kategori 1
Tahap intensif Tahap Lanjutan
Berat Badan
tiap hari selama 56 hari Setiap hari selama 16
RHZF minggu
(150/75/400/275) RH (150/150)
30-37 kg 2 tablet 4 KDT 2 tablet 2 KDT
38-42 kg 3 tablet 4 KDT 3 tablet 2 KDT
55-70 kg 4 tablet 4 KDT 4 tablet 2 KDT
≥71 kg 5 tablet 4 KDT 5 tablet 2 KDT

(2) Kategori 2 : 2 (HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.


Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat
sisipan (HRZE)
Pada OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang
telah diobati sebelumnya:
(a) Pasien kambuh
(b) Pasien gagal
(c) Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat
(default)

| Pedoman Pelayanan TB DOTS 35


Tabel 6. Dosis untuk panduan OAT KDT kategori 2
Tahap lanjutan
Tahap intensif tiap hari
Berat 3 kali seminggu
RHZE (150/75/400/275) + S
Badan RH (150/150) + E 400
Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu
2 tab 4KDT 2 tab 2KDT
30-37 kg 2 tab 4 KDT
+500mg Streptomisin inj. +2 tab Etambutol
3 tab 4KDT 3 tab 2KDT
38-42 kg 3 tab 4 KDT
+750mg Streptomisin inj. +3 tab Etambutol
4 tab 4KDT 4 tab 2KDT
55-70 kg 4 tab 4 KDT
+1000mg Streptomisin inj. +4 tab Etambutol
5 tab 4KDT 5 tab 2KDT
≥71 kg 5 tab 4 KDT
+1000mg Streptomisin inj. +5 tab Etambutol

b) Paduan OAT kategori -1 dan kategori -2 disediakan dalam


bentuk paket berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT),
sedangkan kategori anak sementara ini disediakan dalam bentuk
OAT Kombipak. Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2
atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan
berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk
satu pasien.
KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB :
(1) Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga
menjamin efektifitas obat dan mengurangi efek samping.
(2) Mencegah penggunaan obat tunggal sehingga menurunkan
resiko terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi
kesalahan penulisan resep.
(3) Jumlah tablet yang di telan jauh lebih sedikit sehingga
pemberian obat menjadi sedarhana dan meningkatkan
kepatuhan pasien.
c) Paket Kombipak

| Pedoman Pelayanan TB DOTS 36


Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifanfisin,
Piramzinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk
blister.Paduan OAT ini disediakan program untuk digunakan
dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT
KDT. Paduan obat anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam
bentuk paket, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat
dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai
selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1) masa
pengobatan.

2. Tata Laksana Pengobatan pada anak


Gambar 4. Tata Laksana Pengobatan pada Anak

PenatalaksanaanTB pada penderita anak dimulai dar idiagnosis


dan pengobatannya. Penderita anak adalah penderita yang berumur
dibawah 15 tahun melakukan tatalaksana TB pada pasien anak sesuai
tatalaksana TB DOTS, yaitu :
a. Tegakkan diagnosis TB pada anak berdasarkan skoring.

| Pedoman Pelayanan TB DOTS 37


Tabel 7.Skoring penentuan diagosis anak
Parameter 0 1 2 3 Jumlah
Kontak TB Tidak laporan BTA positif
jelas keluarga,
BTA negatif
atau tidak
tahu,
BTA tidak
jelas
Uji negatif positif
tuberculin (≥10mm atau
≥5mm pada
keadaan
imunosupresi)
Berat bawah garis klinis gizi
badan/keadaa merah buruk
n gizi (KMS) BB/U <
atau 60%
BB/U< 80%
Demam ≥ 2 minggu
tanpa sebab
jelas
Batuk* ≥ 3 minggu
Pembesaran ≥ 1cm,
kelenjar jumlah >1,
limfe coli, tidak nyeri
aksila,
inguinal
Pembengkak ada
an pembengkak

| Pedoman Pelayanan TB DOTS 38


Parameter 0 1 2 3 Jumlah
tulang/sendi an
panggul,
lutut, falang
Foto toraks normal/ kesanTB
tidak jelas
Jumlah

1) Diagnosis dengan systemscoring ditegakkan oleh dokter.


2) Batuk dimasukkan dalam skor setelah disingkirkanpenyebab batuk
kronis lainnya seperti asma, sinusitis dan lain-lain
3) Jika dijumpai skrofuloderma (TB padakelenjar dan kulit), pasien
dapat langsung didiagnosis tuberculosis.
Interpretasi :
≥ 6 : dapat ditatalaksana sebagai pasienTB
<6 tetapi klinis sangat mencurigakan TB maka perlu dilakukan
pemeriksaan diagnostik lainnya sesuai Indikasi

b. Beri OAT selama 2 bulan kemudian lakukan evaluasi


Tabel 8. Tabel Dosis OAT untuk anak
Jenis Obat Dosis Harian Dosis Maksimal
(mg/ kg BB/ hari) (mg per hari)
Isoniasid 5-15 300
Rifampisin 10-20 600
Pirasinamid 15-30 2000
Etambutol 15-20 1250
Streptomisin 15-40 1000

| Pedoman Pelayanan TB DOTS 39


Pengobatan Pencegahan (Profilaksis) Tuberkolusis pada Anak
Pada semua anak, terutama balita yang tinggal serumah atau kontak
langsung erat dengan penderita TB BTA positif, perlu dilakukan
pemeriksaan menggunakan skoring. Bila hasil evaluasi dengan system
scoring di dapat skor <5, kepada anak tersebut di berikan isoniaziad
(INH) dengan dosisi 10mg/kgBB/ hari selama 6 bulan. Bila anak
tersebut belum pernah mendapatkan imunisasi BCG, imunisasi
dilakukan setelah pengobatan pencegahan selesai.
c. Bilahasil evaluasi :
1) Ada perbaikan klinis (keluhan berkurang dan Berat badan
bertambah) terapi TB diteruskan sampai 6 bulan
2) Tidak ada perbaikan klinis ( keluhan tetap atau memburuk, berat
badan tidak bertambah) maka terapi diteruskan sambil mencari
penyebabnya atau rujuk penderita kerumah sakit lain yang memiliki
fasilitas lebih lengkap.

G. PELACAKAN KASUS MANGKIR DI RUMAH SAKIT


Pasien dikatakan mangkir berobat bila yang bersangkutan tidak
datang untuk periksa ulang / mengambil obat pada waktu yang telah
ditentukan.
Bila keadaan ini masih berlanjut hingga 2 hari pada fase awal atau 7 hari pada
fase lanjutan, maka petugas di unit DOTS RS harus segera melakukan
tindakan di bawah ini:
1. Menghubungi pasien langsung / PMO
2. Menginformasikan identitas dan alamat lengkap pasien mangkir ke wasor
kabupaten/ Kota atau langsung ke puskesmas agar segera dilakukan
pelacakan.
3. Hasil dari pelacakan yang dilakukan oleh petugas puskesmas segera
diinforrnasikan kepada rumah sakit. Bila proses ini di menemui hambatan
harus diberi tahu ke koordinatornya jejaring DOTS rumah sakit

| Pedoman Pelayanan TB DOTS 40


H. MEKANISME RUJUKAN DAN PINDAH
1. Prinsip : memastikan pasien tuberkulosis yang dirujuk/pindah akan
menyelesaikan pengobatannya dengan benar di tempat lain
2. Mekanisme rujukan dan pindah pasien ke UPK lain (dalam satu Kab/Kota)
a. Apabila pasien sudah mendapatkan pengobatan di rumah sakit, maka
harus dibuatkan Kartu Pengobatan TB (TB.01) di rumah sakit
b. Untuk pasien yang dirujuk dari rumah sakit surat pengantar atau
formulir TB.09 dengan menyertakan TB.01 dan OAT (bila telah
dimulai dibuat pengobatan)
c. Formulir TB.09 diberikan kepada pasien beserta sisa OAT untuk
diserahkan kepada UPK yang dituju
d. Rumah sakit memberikan informasi langsung (telepon atau SMS) ke
Koordinator HDL tentang pasien yang dirujuk
e. UPK yang telah menerima pasien rujukan segera mengisi dan
mengirimkan kembali TB.09 (lembar bagian bawah) ke UPK asal.
f. Koordinator HDL memastikan semua pasien yang dirujuk melanjutkan
pengobatan di UPK yg dituju (dilakukan konfirmasi melalui telepon
atau SMS)
g. Bila pasien tidak ditemukan di UPK yang dituju, petugas tuberkulosis
UPK yang dituju melacak sesuai dengan alamat pasien
h. Koordinator HDL memberikan umpan balik kepada UPK asal dan
wasor tentang pasien yang dirujuk.

Gambar 5. Alur Rujuk Pasien Tuberkulosis

| Pedoman Pelayanan TB DOTS 41


3. Mekanisme merujuk pasien dari rumah sakit ke UPK Kab/Kota lain :
Mekanisme rujukan sama dengan di atas, dengan tambahan :
a. Informasi rujukan diteruskan ke Koordinator HDL Propinsi yang akan
menginformasikan ke Koordinator Kab/ Kota yang menerima rujukan,
secara telepon langsung atau dengan SMS
b. Koordinator HDL propinsi memastikan bahwa pasien yang dirujuk
telah melanjutkan pengobatan ke tempat rujukan yang dituju.
c. Bila pasien tidak ditemukan maka Koordinator HDL propinsi harus
menginformasikan kepada Wasor atau Koordinator HDL Kabupaten/
Kota untuk melakukan pelacakan pasien.

I. PILIHAN PENANGANAN PASIEN BERDASARKAN


KESEPAKATAN ANTARA PASIEN DAN DOKTER
Rumah sakit mempunyai beberapa pilihan dalam penanganan pasien
tuberkulosis sesuai dengan kemampuan masing-masing seperti terlihat pada
bagan di bawah

Tabel 9. Pilihan Penanganan Pasien TB-DOTs

| Pedoman Pelayanan TB DOTS 42


Semua unit pelayanan yang menemukan suspek tuberkulosis,
memberikan informasi kepada yang bersangkutan untuk membantu
menentukan pilihan (informed decision) dalam mendapatkan pelayanan
(diagnosis dan pengobatan), serta menawarkan pilihan yang sesuai dengan
beberapa pertimbangan :
1. Tingkat sosial ekonomi pasien
2. Biaya konsultasi Lokasi tempat tinggal (jarak dan keadaan geografis)
3. Biaya transportasi
4. Kemampuan rumah sakit
Pilihan 1 :Rumah sakit menjaring suspek tuberkulosis, menentukan diagnosa
dan klasifikasi pasien serta melakukan pengobatan, kemudin merjukan ke
puskesmas/UPK lain untuk melanjutkan pengobatan tetapi pasien kembali ke
rumah sakit untuk konsultasi keadaan klinis/ periksa ulang
Pilihan 2 : Rumah sakit menjaring suspek tuberkulosis dan menentukan
diagnosis dan klasifikasi pasien , kemudian merujuk ke puskesmas
Pilihan 3 : Rumah sakit menjaring suspek tuberkulosis dan menentukan
diagnosis dan klasifikasi pasien serta memulai pengobatan , kemudian
merujuk ke puskesmas
Pilihan 4 : Rumah sakit melakukan seluruh kegiatan pelayanan DOTS

Hal yang penting diktahui :


Plihan 3 : hanya disarankan untuk rumah sakit yang telah mencapai
angka konversi telah mencapai Iebih dari 80%
Pilihan 4 : hanya disarankan untuk rumahsakit yang telah mencapai
angka sukses rate telah mencapai Iebih dari 85%

J. TATA LAKSANA PENERIMAAN BARANG LOGISTIK OBAT &


ALAT KESEHATAN
1. Petugas Penanggung Jawab
a. Manajer logistik
b. Staf pembelian medis dan non medis

| Pedoman Pelayanan TB DOTS 43


c. Staf gudang umum
2. Perangkat Kerja
a. Sistem informasi manajemen logistik
b. Surat pemesanan sementara
c. Faktur pembelian
d. Lembar berita acara penerimaan barang
3. Tata Laksana
a. System penerimaan barang kebutuhan logistik obat dan alat kesehatan
dengan menggunakan system informasi manajemen logistik
b. Proses penerimaan barang dari supplier ke logistik harus melalui
bagian logistik / staf pembelian medis atau non medis. Petugas akan
memeriksan kesesuaian surat pemesanan dan faktur pengiriman barang
(SPO Penerimaan Barang Logistik Obat & Alat Kesehatan)
c. Setiap penerimaan barang staf pembelian dilakukan input data ke SIM
Logistik sebagai laporan dan barang disimpan sampai diterimanya
barang oleh unit peminta.

G. TATA LAKSANA DISTRIBUSI LOGISTIK OBAT DAN ALAT


KESEHATAN
1. Petugas Penanggung Jawab
Staf gudang umum
2. Perangkat Kerja
a. Sistem informasi manajemen logistik
b. Lembar permintaan barang ke gudang
c. Lembar penyerahan barang ke unit peminta
3. Tata Laksana
a. Sistem pengambilan barang kebutuhan logistik obat dan alat kesehatan
dengan menggunakan system informasi manajemen logistik (SPO
Pengunaan SIM Logistik)
b. Penerimaan dan penyimpanan barang non sediaan sementara dapat
dilakukan di Logistik sampai diterimanya barang oleh unit peminta.

| Pedoman Pelayanan TB DOTS 44


c. Penerimaan dan penyimpanan barang sediaan dilakukan oleh gudang
umum, setelah barang di lakukan penerimaan, maka unit peminta dapat
melakukan pengambilan sesuai dengan lembar permintaan barang
yang diinginkan. (SPO Distribusi Logistik Obat & ALat Kesehatan –
SPO)
d. Unit gudang umum akan segera melakukan input data penyerahan
barang dan dicetak di lembar kertas saat barang yang diinginkan oleh
unit peminta diambil.
e. Dalam hal ketidaktersediaan barang medis, unit gudang umum dapat
melakukan permintaan pengadaan barang medis sementara ke Kepala
Instalasi Farmasi.

| Pedoman Pelayanan TB DOTS 45


BAB V LOGISTIK

Pengelolaan logistik penanggulangan TB merupakan serangkaian kegiatan yang


meliputi perencanaan kebutuhan, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian,
monitoring dan evaluasi.
A. Jenis Logistik Program Penanggulangan TB
Logistik penanggulangan TB terdiri dari 2 bagian besar yaitu logistik Obat
Anti TB (OAT) dan logistik lainnya.
1. Logistik OAT
Paket OAT anak dan dewasa terdapat 2 macam jenis dan kemasan yaitu :
a. OAT dalam bentuk obat kombinasi dosis tetap (KDT) atau Fixed Dose
Combination (FDC) yang dikemas dalam blister, dan tiap blister berisi
28 tablet.
b. OAT dalam bentuk Kombipak yang dikemas dalam blister untuk satu
dosis, kombipak ini disediakan khusus untuk pengatasi efek samping
KDT. Khusus untuk dewasa terdiri dari kategori 1, kategori 2 dan
sisipan 40
2. Logistik non OAT
a. Alat Laboratorium terdiri dari :
Mikroskop, slide box, pot sputum, kaca sediaan, rak pewarna dan
pengering, lampu spiritus, ose, botol plastik bercorong pipet, kertas
pembersih lensa mikroskop, kertas saring, dan lain lain.
b. Bahan diagnostik terdiri dari :
Reagensia Ziehl; Neelsen, eter alkohol, minyak imersi, lysol,
tuberkulin PPD RT 23 dan lain lain.
c. Barang cetakan seperti
Buku pedoman, formulir pencatatan dan pelaporan serta bahan KIE.

B. Pengelolaan Obat Anti TB


1. Perencanaan Kebutuhan Obat

| Pedoman Pelayanan TB DOTS 46


Perencanaan kebutuhan OAT dilaksanakan dengan pendekatan
perencanaan dari bawah (bottom up planning), dan dilakukan terpadu
dengan perencanaan obat lainnya.
Perencanaan kebutuhan OAT memperhatikan :
a. Jumlah penemuan pasien pada tahun sebelumnya,
b. Perkiraan jumlah penemuan pasien yang direncanakan,
c. Buffer-stock (tiap kategori OAT),
d. Sisa stock OAT yang ada,
e. Perkiraan waktu perencanaan dan waktu distribusi (untuk mengetahui
estimasi kebutuhan dalam kurun waktu perencanaan) Perencanaan
kebutuhan OAT dimulai dari:
1) Tingkat sarana pelayanan kesehatan
Setiap sarana pelayanan kesehatan menghitung kebutuhan tahunan,
triwulan dan bulanan sebagai dasar permintaan ke Kabupaten/Kota.
2) Tingkat Kabupaten/Kota
Perencanaan kebutuhan OAT di kabupaten/kota dilakukan oleh
Tim Perencanaan Obat Terpadu daerah kabupaten/kota yang
dibentuk oleh Kepala Dinas Kesehatan Kab/Kota yang anggotanya
minimal terdiri dari unsur program, Farmasi, Bagian Perencanaan
Dinas Kesehatan dan Instalasi Farmasi Kab/Kota (IFK). Disamping
rencana kebutuhan OAT KDT, perlu juga direncanakan OAT
dalam bentuk paket kombipak atau lepas untuk antisipasi efek
samping KDT sebanyak 2-5 % dari perkiraan pasien yang akan
diobati.
3) Tingkat Provinsi
Provinsi merekapitulasi seluruh usulan kebutuhan masing-masing
Kabupaten/Kota dan menghitung kebutuhan buffer stok untuk
tingkat provinsi, perencanaan ini diteruskan ke pusat. Perencanaan
yang disampaikan provinsi ke pusat, sudah memperhitungkan
kebutuhan kabupaten/kota yang dapat dipenuhi melalui buffer stok
yang tersisa di provinsi.

| Pedoman Pelayanan TB DOTS 47


4) Tingkat Pusat
Pusat menyusun perencanaan kebutuhan OAT berdasarkan usulan
dan rencana : kebutuhan kabupaten/kota, buffer stok provinsi, dan
buffer stok di tingkat pusat.
2. Pengadaan OAT
Kabupaten/Kota maupun Provinsi yang akan mengadakan OAT perlu
berkoordinasi dengan pusat (Dirjen PPM dan PL Depkes) sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
3. Penyimpanan dan pendistribusian OAT
OAT yang telah diadakan, dikirim langsung oleh pusat sesuai dengan
rencana kebutuhan masing-masing daerah, penerimaan OAT dilakukan
oleh Panitia Penerima Obat tingkat kabupaten/kota maupun tingkat
provinsi.
OAT disimpan di IFK maupun Gudang Obat Provinsi sesuai persyaratan
penyimpanan obat. Penyimpanan obat harus disusun berdasarkan FEFO
(First Expired First Out), artinya, obat yang kadaluarsanya lebih awal
harus diletakkan didepan agar dapat didistribusikan lebih awal.
Pendistribusian buffer stock OAT yang tersisa di provinsi dilakukan untuk
menjamin berjalannya system distribusi yang baik. Distribusi OAT dari
Departemen Farmasi ke sarana pelayanan kesehatan dilakukan sesuai
permintaan yang telah disetujui oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
Pengiriman OAT disertai dengan dokumen yang memuat jenis, jumlah,
kemasan, nomor batch dan bulan serta tahun kadaluarsa.
4. Monitoring dan Evaluasi
Pemantauan OAT dilakukan dengan menggunakan Laporan Pemakaian
dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO) yang berfungsi ganda, untuk
menggambarkan dinamika logistik dan merupakan alat pencatatan/
pelaporan. Dinas Kesehatan kabupaten/kota bersama IFK mencatat
persediaan OAT yang ada dan melaporkannya ke provinsi setiap triwulan
dengan menggunakan formulir TB. Pengelola program bersama
Farmakmin Provinsi, melaporkan stock yang ada di Provinsi termasuk

| Pedoman Pelayanan TB DOTS 48


yang ada di gudang IFK ke pusat setiap triwulan. Pembinaan teknis
dilaksanakan oleh Tim Pembina Obat Provinsi. Secara fungsional
pelaksana program TB provinsi dan Kabupaten/Kota juga melakukan
pembinaan pada saat supervisi.
5. Pengawasan Mutu
Pengawasan dan pengujian mutu OAT mulai dengan pemeriksaan
sertifikat analisis pada saat pengadaan. Setelah OAT sampai di Provinsi,
Kabupaten/Kota dan sarana pelayanan kesehatan, pengawasan dan
pengujian mutu OAT dilakukan secara rutin oleh Badan/Balai POM dan
Ditjen Binfar
6. Pemantauan Mutu OAT
Mutu OAT diperiksa melalui pemeriksaan pengamatan fisik obat yang
meliputi:
a. Keutuhan kemasan dan wadah
b. Penandaan/label termasuk persyaratan penyimpanan
c. Leaflet dalam bahasa Indonesia
d. Nomor batch dan tanggal kadaluarsa baik di kemasan terkecil seperti
vial, box dan master box
e. Mencantumkan nomor registrasi pada kemasan
f. Pengambilan sampel di gudang pemasok dan gudang milik Dinkes/
Gudang Farmasi. Pengambilan sampel dimaksudkan untuk
pemeriksaan fisik dan pengujian laboratorium. Pengujian laboratorium
dilaksanakan oleh Balai POM dan meliputi aspek-aspek sebagai
berikut:
1) Identitas obat
2) Pemberian
3) Keseragaman bobot/ keseragaman kandungan
4) Waktu hancur atau disolusi
5) Kemurnian/ kadar cemaran
6) Kadar zat aktif
7) Uji potensi

| Pedoman Pelayanan TB DOTS 49


8) Uji sterilitas
7. Laporan hasil pemeriksaan dan pengujian disampaikan kepada :
a. Tim Pemantauan Laporan hasil pengujian BPOM;
b. Direktur Jenderal PP dan PL, cq Direktur P2ML;
c. Direktur Jenderal Binfar dan Alkes, cq Direktorat Bina Obat Publik
dan Perbekalan Kesehatan;
d. Kepala Badan POM cq Direktur Inspeksi dan Sertifikasi Produk
Terapeutik;
e. Khusus untuk OAT yang tidak memenuhi syarat, harus segera
dilaporkan kepada Direktur Inspeksi dan Sertifikasi Produk Terapeutik
untuk kemudian ditindak lanjuti; dan Pihak lain yang terkait.
8. Tindak lanjut dapat berupa :
a. Bila OAT tersebut rusak bukan karena penyimpanan dan distribusi,
maka akan dilakukan bacth re-call (ditarik dari peredaran).
b. Dilakukan tindakan sesuai kontrak
c. Dimusnahkan sesuai aturan yang berlaku.

C. Pengelolaan Logistik Non OAT


Secara umum siklusnya sama dengan manajemen OAT.
1. Kebutuhan Logistik Non OAT
a. Bahan laboratorium dan formulir pencatatan dan pelaporan:
perhitungan berdasarkan pada perkiraan pasien BTA positif yang akan
diobati dalam 1 tahun.
2. Logistik penunjang lainnya (seperti: buku Pedoman TB, Modul Pelatihan,
Materi KIE) dihitung berdasarkan kebutuhan.

| Pedoman Pelayanan TB DOTS 50


BAB VI KESELAMATAN PASIEN

A. PENGERTIAN
1. Keselamatan Pasien (Patient Safety)
adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih
aman.
Sistem tersebut meliputi:
a. Asesmen risiko
b. Identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko
pasien
c. Pelaporan dan analisis insiden
d. Kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya
e. Implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko
Sistem ini mencegah terjadinya cidera yang disebabkan oleh:
a. Kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan
b. Tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil
2. Kejadian Tidak Diharapkan (KTD)/Adverse Event
Adalah suatu kejadian yang tidak diharapkan, yang mengakibatkan cidera
pasien akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan
yang seharusnya diambil, dan bukan karena penyakit dasarnya atau
kondisi pasien. Cidera dapat diakibatkan oleh kesalahan medis atau bukan
kesalahan medis karena tidak dapat dicegah
3. KTD Yang Tidak Dapat Dicegah/Unpreventable Adverse Event
Suatu KTD yang terjadi akibat komplikasi yang tidak dapat dicegah
dengan pengetahuan mutakhir
4. Kejadian Nyaris Cidera (KNC)/Near Miss
Adalah suatu kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan (commission)
atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil (omission), yang
dapat menciderai pasien, tetapi cidera serius tidak terjadi :
a. Karena “ keberuntungan”
b. Karena “ pencegahan ”

| Pedoman Pelayanan TB DOTS 51


c. Karena “ peringanan ”
5. Kesalahan Medis/Medical Errors
Adalah kesalahan yang terjadi dalam proses asuhan medis yang
mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan cidera pada pasien
6. Kejadian Sentinel/Sentinel Event
Adalah suatu KTD yang mengakibatkan kematian atau cidera yang serius;
biasanya dipakai untuk kejadian yang sangat tidak diharapkan atau tidak
dapat diterima, seperti : operasi pada bagian tubuh yang salah.
Pemilihan kata “sentinel” terkait dengan keseriusan cidera yang terjadi
(seperti, amputasi pada kaki yang salah) sehingga pencarian fakta terhadap
kejadian ini mengungkapkan adanya masalah yang serius pada kebijakan
dan prosedur yang berlaku.

B. TUJUAN
1. Terciptanya budaya keselamatan pasien di rumah sakit
2. Meningkatnya akuntabilitas rumah sakit terhadap pasien dan masyarakat
3. Menurunkan Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) di rumah sakit
4. Terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak terjadi
pengulangan Kejadian Tidak Diharapkan (KTD)

C. STANDAR KESELAMATAN PASIEN


1. Hak pasien
2. Mendidik pasien dan keluarga
3. Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan
4. Penggunaan metoda-metoda peningkatan kinerja untuk melakukan
evaluasi dan program peningkatan keselamatan pasien
5. Mendidik staf tentang keselamatan pasien
6. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien
7. Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan
pasien

| Pedoman Pelayanan TB DOTS 52


D. TATA LAKSANA PENANGANAN KEJADIAN KESELAMATAN
PASIEN
1. Memberikan pertolongan pertama sesuai dengan kondisi yang terjadi pada
pasien
2. Melaporkan pada dokter jaga IGD
3. Memberikan tindakan sesuai dengan instruksi dokter jaga
4. Mengobservasi keadaan umum pasien
5. Mendokumentasikan kejadian tersebut pada formulir “Pelaporan Insiden
Keselamatan”

E. TATA LAKSANA SASARAN KESELAMATAN PASIEN


1. Ketepatan Identifikasi Pasien
Kegiatan untuk melakukan verifikasi atas kebenaran atau
kesesuaian sosok orang yang akan mendapatkan pelayanan kesehatan
diagnosis dan/atau pengobatan dengan identitas orang tersebut
sebagaimana tercantum dalam file rekam medis pasien atau dokumen lain
yang berkaitan dengan sosok orang tersebut.
Kegiatan identifikasi pasien dilakukan sebelum melakukan
pemberian obat-obatan, prosedur pemeriksaan penunjang medis
radiologi (rontgen, MRI, CT-Scan), Laboratorium, endoskopi, treadmill,
EEG ; pengambilan sampel (misalnya darah, tinja, urin, dan
sebagainya; intervensi pembedahan dan prosedur invasif lainnya; transfusi
darah; transfer pasien; konfirmasi kematian.
Para staf IGD harus mengkonfirmasi identifikasi pasien dengan
benar dengan menanyakan nama dan tanggal lahir/ umur pasien,
kemudian membandingkannya dengan yang tercantum di rekam
medis dan gelang pengenal. Jangan menyebutkan nama, tanggal lahir,
dan alamat pasien dan meminta pasien untuk mengkonfirmasi dengan
jawaban ya / tidak.
Identifikasi pasien yang dalam keadaan tidak sadar dapat dilakukan
melalui keluarga dan atau pengantar yang mengetahui identitas pasien.

| Pedoman Pelayanan TB DOTS 53


Apabila pasien datang dalam keadaan tidak sadar dan tidak ada keluarga
dan atau pengantar yang mengetahui identitas pasien, maka pasien
sementara akan diidentifikasi sebagai Mr. X atau Ms. X, sampai identitas
yang sesungguhnya diketahui lebih lanjut.
2. Peningkatan Komunikasi yang Efektif
Komunikasi efektif adalah tepat waktu, akurat, jelas, dan mudah
dipahami oleh penerima, sehingga dapat mengurangi tingkat kesalahan
(kesalahpahaman).
Prosesnya adalah pemberi pesan secara lisan memberikan pesan,
setelah itu dituliskan secara lengkap isi pesan tersebut oleh si penerima
pesan ; isi pesan dibacakan kembali (read back) secara lengkap oleh
penerima pesan ; dan penerima pesan mengkonfirmasi isi pesan kepada
pemberi pesan.
Komunikasi dilakukan sedemikian sehingga isi pesan yang hendak
disampaikan benar-benar diterima oleh penerima sesuai dengan maksud
pemberi pesan. Komunikasi per lisan dengan menggunakan telepon
dilaksanakan sedemikian sehingga sebelum pembicaraan diakhiri,
penerima informasi/ instruksi mengulang kembali informasi/ instruksi
yang diberikan dan pemberi informasi/ instruksi mengecek kebenaran
informasi/ instruksi yang diberikan. (lihat SPO Konsultasi dengan Dokter
per Telepon). Informasi/ instruksi lisan yang telah diterima segera dicatat
pada status rekam medis pasien, untuk selanjutnya pada kesempatan
pertama dimintakan tanda tangan dari pemberi instruksi.
3. Peningkatan Keamanan Obat yang Perlu Diwaspadai (High Alert
Medication)
Sasaran high alert medication ditujukan pada identifikasi, pengelolaan,
pelaporan serta dokumentasi obat–obat yang mempunyai risiko tinggi
menyebabkan cidera pada pasien bila digunakan secara salah. Obat–obat
yang perlu diwaspadai (High Alert Medications) adalah obat–obat yang
mempunyai risiko tinggi menyebabkan cidera pada pasien bila digunakan
secara salah yang daftarnya diperoleh dari hasil inventarisasi unit

| Pedoman Pelayanan TB DOTS 54


pelayanan. Obat-obatan yang perlu diwaspadai diberi label khusus dengan
menggunakan stiker berwarna (lihat SPO Pemberian Label Obat yang
Perlu Diwaspadai).
LASA (nama obat, rupa dan ucapan mirip) adalah obat–obat yang
memiliki nama, rupa dan ucapan mirip yang perlu diwaspadai khusus agar
tidak terjadi kesalahan pengobatan (dispensing error) yang bisa
menimbulkan cidera pada pasien. Pemberian obat-obatan tersebut
diberikan kepada pasien dengan melakukan pengecakan ulang atas obat
dan pasien yang akan diberi.
Contoh rupa mirip: Dextrose 40% dan Magnesium Sulfat, Oxytocin dan
Lidocaine. Contoh ucapan mirip: Phenobarbital dan Phentobarbital.
4. Kepastian Tepat-Lokasi, Tepat-Prosedur dan Tepat-Pasien Operasi
Tindakan Pembedahan yang dilakukan oleh dokter IGD harus menjamin
ketepatan pada pasien dan pada Lokasi yang tepat, dan menggunakan metode
yang sesuai untuk mencegah komplikasi anestesi dan melindungi pasien dari
rasa nyeri. Dokter IGD mengidentifikasi dan mengantisipasi secara efektif
ancaman hilangnya fungsi pernapasan, risiko kehilangan darah, menghindari
penggunaan obat yang dapat menimbulkan reaksi alergi atau reaksi obat
yang tidak dikehendaki pada pasien yang diketahui berisiko, secara konsisten
menggunakan metode pencegahan terjadinya infeksi luka operasi, mencegah
tertinggalnya instrumen bedah dan/atau kasa pada luka/tempat operasi,
mengidentifikasi secara akurat dan mengamankan spesimen bedah, dan
melakukan komunikasi dan konsultasi atas informasi penting atas jalannya
tindakan pembedahan yang aman. Formulir Persetujuan Tindakan Medis
(informed consent) harus sudah ditandatangani oleh yang berkepentingan,
segera setelah penjelasan/ informasi yang diperlukan disampaikan kepada
pasien dan/ atau keluarganya (lihat SPO Persetujuan Tindakan Medis).
5. Pengurangan Risiko Infeksi Terkait Pelayanan Kesehatan
Semua bahan/material yang terkontaminasi darah dan komponen cairan
tubuh pasien harus dianggap berpotensi terhadap penularan infeksi, oleh
karena itu perlu dilakukan penggunaan alat pelindung diri (APD) dan

| Pedoman Pelayanan TB DOTS 55


dilakukan prosedur dekontaminasi terlebih dahulu (lihat SPO Penggunaan
APD dan SPO Dekontaminasi)
Semua peralatan medis yang akan dipergunakan untuk melakukan
prosedur invasif terhadap pasien harus terjamin sterilitasnya (lihat SPO
Sterilisasi Alat)
Semua tenaga medis/ keperawatan/ paramedis lain harus melakukan cuci
tangan sebelum dan setelah melakukan tindakan terhadap pasien (lihat
SPO Cuci Tangan). Pasien perlu diberi informasi mengenai maksud dan
tujuan tindakan cuci tangan serta setiap prosedur septik dan antiseptik
yang dilakukan terhadapnya
Mencuci tangan adalah prosedur tindakan membersihkan tangan dengan
menggunakan sabun/ anti septic di bawah air bersih yang mengalir atau
cairan lainnya. Lima momen cuci tangan, meliputi: sebelum kontak
dengan pasien; sebelum tindakan aseptik ; setelah kontak pasien ; setelah
kontak cairan tubuh pasien ; setelah kontak lingkungan.
Prosedur cuci tangan:
Gambar 6. Prosedure Cuci Tangan

| Pedoman Pelayanan TB DOTS 56


F. Pengurangan Risiko Pasien Jatuh
Jatuh dapat diartikan sebagai hilangnya posisi tegak yang berakibat pada
berakhirnya posisi tubuh di lantai, tanah atau obyek lain seperti mebeler atau
tangga ; atau dapat diartikan perpindahan tubuh ke bawah dan mencapai
lantai/tanah atau membentur obyek lain (kursi, tangga, dsb.) secara tiba-tiba,
tidak terkontrol, tidak disengaja, dan tanpa tujuan.
Dokter/ perawat/ paramedis wajib melakukan asesmen terhadap pasien dengan
risiko jatuh dan memberikan identifikasi berupa gelang dan papan petunjuk
mengenai hal tersebut (lihat Panduan Pencegahan Pasien Jatuh).
Pasien yang telah diidentifikasi berpotensi atas risiko jatuh wajib dimonitor
dan dilakukan tindakan pencegahan (lihat SPO Pencegahan Pasien dengan
Risiko Jatuh).
Asesmen harus sudah ditetapkan dalam waktu selambat-lambatnya 24 jam
sejak pasien dirawat di Rumah Sakit. Asesmen dilakukan oleh dokter
penanggung jawab pasien (DPJP) dan / atau perawat (minimal penanggung
jawab shift / kepala tim) dengan menentukan skore risiko jatuh berdasarkan
Morse Fall Scale.
Terhadap semua pasien baru dilakukan penilaian atau asesmen atas potensi
risiko jatuh dan penilaian diulang jika diindikasikan adanya perubahan kondisi
pasien atau pengobatan yang menimbulkan adanya risiko jatuh. Hasil
penilaian dimonitor dan ditindaklanjuti sesuai level risiko jatuh. Seluruh
pasien rawat inap dinilai risiko jatuh dengan menggunakan lembar penilaian
risiko jatuh. Penilaian memakai formulir Morse Fall Scale (MFS).
1. Kriteria Pasien dengan risiko jatuh (label Kuning – Morse Fall)
2. Upaya pencegahan risiko pasien jatuh : railing, restraint, ...................
3. Indikasi restraint : gaduh gelisah, kejang, ..........

G. PELAPORAN INSIDEN KESELAMATAN PASIEN


Pelaporan secara anonym dan tertulis kepada Tim KPRS setiap kejadian
nyaris cidera (KNC) atau kejadian tidak diharapkan (KTD) yang menimpa
pasien atau kejadian lain yang terjadi di rumah sakit.

| Pedoman Pelayanan TB DOTS 57


1. Alur Pelaporan Insiden ke Tim Keselamatan Pasien di RS (Internal)
a. Apabila terjadi suatu insiden (KNC/KTD) di rumah sakit, wajib segera
ditindaklanjuti (dicegah/ditangani) untuk mengurangi dampak/akibat
yang tidak diharapkan.
b. Setelah ditindaklanjuti, segera buat laporan insidennya dengan mengisi
Formulir Laporan Insiden pada akhir jam kerja/shift kepada atasan
langsung. Paling lambat 2x24 jam, jangan menunda laporan.
c. Setelah selesai mengisi laporan, segera serahkan kepada atasan
langsung pelapor. (Atasan langsung disepakati sesuai Peraturan
Manajemen : Supervisor/Kepala Bagian/Instalasi/Departemen/Unit,
Ketua Komite Medis/ Ketua KSMF)
d. Atasan langsung akan memeriksa laporan dan melakukan grading
risiko terhadap insiden yang dilaporkan
e. Hasil grading akan memeriksa laporan dan melakukan grading risiko
terhadap insiden yang dilakukan sebagai berikut : (Pembahasan lebih
lanjut lihat BAB III)
1) Grade biru: investigasi sederhana oleh atasan langsung, waktu
maksimal 1 minggu
2) Grade hijau: investigasi sederhana oleh Atasan langsung, waktu
maksimal 2 minggu
3) Grade kuning: investigasi komprehensif/Analisis akar
masalah/RCA oleh Tim KP di RS, waktu maksimal 45 hari.
4) Grade merah: investigasi komprehensif/Analisis akar
masalah/RCA oleh Tim KP di RS, waktu maksimal 45 hari.
f. Setelah selesai melakukan investigasi sederhana, laporan hasil
investigasi dan laporan insiden dilaporkan ke Tim KP di RS.
g. Tim KP di RS akan menganalisa kembali hasil investigasi dan laporan
insiden untuk menentukan apakah perlu dilakukan investigasi lanjutan
(RCA) dengan melakukan Regrading.
h. Untuk grade Kuning/Merah, Tim KP di RS akan melakukan Analisa
akar masalah/Root Cause Analysis (RSC).

| Pedoman Pelayanan TB DOTS 58


i. Setelah melakukan RCA, Tim KP di RS akan membuat laporan dan
Rekomendasi untuk perbaikan serta “Pembelajaran” berupa :
Petunjuk/”Safety Alert” untuk mencegah kejadian yang sama terulang
kembali.
j. Hasil RCA, rekomendasi dan rencana kerja dilaporkan kepada Direksi.
k. Rekomendasi untuk “Perbaikan dan Pembelajaran” diberikan umpan
balik kepada unit kerja terkait.
l. Unit Kerja membuat analisa dan trend kejadian di satuan kerjanya
masing-masing.
m. Monitoring dan Evaluasi Perbaikan oleh Tim KP di RS. (Alur : Lihat
Lampiran 4)
2. Alur Pelaporan Insiden Ke Tim Keselamatan Pasien di RS (Internal)
a. Faktor Kontributor
Adalah keadaan, tindakan atau faktor yang mempengaruhi dan
berperan dalam mengembangkan dan atau meningkatkan risiko suatu
kejadian (misalnya pembagian tugas yang tidak sesuai kebutuhan).
Contoh:
1) Faktor kontributor di luar organisasi (eksternal)
2) Faktor kontributor dalam organisasi (internal), misal : tidak adanya
prosedur
3) Faktor kontributor yang berhubungan dengan petugas (kognitif
atau perilaku petugas yang kurang, lemahnya supervisi, kurangnya
teamwork atau komunikasi).
4) Faktor kontributor yang berhubungan dengan keadaan pasien.
b. Analisa akar masalah/ Root cause analysis (RCA)
Adalah suatu proses berulang yang sistematik dimana faktor-faktor
yang berkontribusi dalam suatu insiden diidentifikasi dengan
merekonstruksi kronologis kejadian menggunakan pertanyaan
“kenapa” yang diulang hingga menemukan akar penyebabnya dan
penjelasannya. Pertanyaan “kenapa” harus ditanyakan hingga tim
investigator mendapatkan fakta, bukan hasil spekulasi.

| Pedoman Pelayanan TB DOTS 59


Banyak metode yang digunakan untuk mengidentifikasi risiko, salah
satu caranya adalah dengan mengembangkan sistem pelaporan dan
sistem analisis. Dapat dipastikan bahwa sistem pelaporan akan
mengajak semua orang dalam organisasi untuk peduli akan bahaya/
potensi bahaya yang dapat terjadi kepada pasien. Pelaporan juga
penting digunakan untuk memonitor upaya pencegahan terjadinya
error sehingga diharapkan dapat mendorong dilakukannya investigasi
selanjutnya.
Mengapa pelaporan insiden penting?
1) Karena pelaporan akan menjadi awal proses pembelajaran untuk
mencegah kejadian yang sama terulang kembali.
Bagaimana memulainya?
1) Dibuat suatu sistem pelaporan insiden di rumah sakit meliputi
kebijakan, alur pelaporan, formulir pelaporan dan prosedur
pelaporan yang harus disosialisasikan pada semua karyawan.
Apa yang harus dilaporkan?
1) Insiden yang dilaporkan adalah kejadian yang sudah terjadi,
potensial terjadi ataupun yang nyaris terjadi.
Siapa yang membuat Laporan Insiden?
1) Siapa saja atau semua staf RS yang menemukan kejadian
2) Siapa saja atau semua staf yang terlibat dalam kejadian.
Masalah yang dihadapi dalam Laporan Insiden
1) Laporan dipersepsikan sebagai “pekerjaan perawat”
2) Laporan sering disembunyikan, karena takut disalahkan.
3) Laporan sering terlambat
4) Bentuk laporan miskin data karena adanya budaya blame culture.
Bagaimana cara membuat Laporan Insiden?
Karyawan diberikan pelatihan mengenai sistem pelaporan insiden
mulai dari maksud, tujuan dan manfaat laporan, alur pelaporan,
bagaimana cara mengisi formulir laporan insiden, kapan harus

| Pedoman Pelayanan TB DOTS 60


melaporkan, pengertian-pengertian yang digunakan dalam sistem
pelaporan dan cara menganalisis laporan.

| Pedoman Pelayanan TB DOTS 61


BAB VII KESELAMATAN KERJA

Upaya untuk memberikan jaminan keselamatan dan meningkatkan derajat


kesehatan para karyawan rumah sakit dilakukan dengan cara pencegahan
kecelakaan dan penyakit akibat kerja, pengendalian bahaya di tempat kerja,
promosi kesehatan, pengobatan dan rehabilitasi.

A. Pengendalian Bahaya di Tempat Kerja


1. Pengendalian Barang Berbahaya dan Beracun (B-3)
a. Tata Laksana Inventarisasi B-3
1) Melakukan pencatatan penggunaan, penyimpanan bahan dan
limbah berbahaya yang ada di lingkungan Rumah Sakit
2) Pencatatan/inventarisasi berdasarkan unit kerja terkait yang
menggunakan, menyimpan dan mengelola berdasarkan jenis,
spesifikasi dan kategori bahan.
3) Mapping lingkungan tempat kerja (area atau tempat kerja yang
dianggap berisiko dan berbahaya)
4) Melakukan pemantauan secara berkala oleh unit berwenang, akan
pengunaannya
5) Menyusun prosedur pencatatan, pelaporan, penanggulangan dan
tindak lanjutnya
b. Tata Laksana Penanganan B-3
Dalam penanganan B-3 (menyimpan, memindahkan, menangani
tumpahan, menggunakan, dsb.) setiap staf wajib mengetahui betul
jenis bahan dan cara penanganannya dengan melihat standar prosedur
dan MSDS (material safety data sheet) yang telah ditetapkan.
1) Penanganan untuk personil
a) Kenali dengan seksama jenis bahan yang akan digunakan atau
disimpan
b) Baca petunjuk yang tertera pada kemasan
c) Letakkan bahan sesuai ketentuan

| Pedoman Pelayanan TB DOTS 62


d) Tempatkan bahan pada ruang penyimpanan yang sesuai dengan
petunjuk
e) Perhatikan batas waktu pemakaian bahan yang disimpan
f) Jangan menyimpan bahan yang mudah bereaksi di lokasi yang
sama
g) Jangan menyimpan bahan melebihi pandangan mata
h) Pastikan kerja aman sesuai prosedur dalam pengambilan dan
penempatan bahan, hindari terjadinya tumpahan/kebocoran
i) Laporkan segera bila terjadi kebocoran bahan kimia atau gas.
j) Laporkan setiap kejadian atau kemungkinan kejadian yang
menimbulkan bahaya/kecelakaan atau nyaris celaka (accident
atau near miss) melalui formulir yang telah disediakan dan alur
yang telah ditetapkan.
2. Pengendalian dan Penanggulangan Kebakaran
a. Tata laksana identifikasi area berisiko kebakaran
1) Melakukan identifikasi area/lokasi yang berisiko
2) Melakukan inventarisasi bahan dan sumber yang berisiko
terjadinya kebakaran dimasing-masing unit Rumah Sakit.
3) Melakukan mapping (denah) area berdasarkan kategori dan
jenis/tingkat risiko bahaya kebakaran.
4) Memberikan tanda dan symbol tempat serta bahan yang
mengandung risiko kebakaran
5) Melakukan sosialisasi ke staf dan pengunjung tentang sumber
risiko bila terjadi kebakaran
b. Tata laksana pencegahan kebakaran
1) Memberikan informasi dan edukasi kepada staf, pasien,
pengunjung tentang bahaya kebakaran.
2) Memberikan pendidikan, pelatihan dan aplikasi/uji coba yang
nyata kepada staf tentang kebakaran secara berkala
3) Mengidentifikasi pemakaian, penggunaan dan penempatan bahan-
bahan/sumber-sumber/peralatan yang mengakibatkan kebakaran.

| Pedoman Pelayanan TB DOTS 63


4) Menetapkan lokasi-lokasi yang dapat menyebabkan risiko
kebakaran, baik risiko kebakaran kecil maupun besar
5) Melakukan kontrol/inspeksi, perbaikan dan penggantian secara
berkala peralatan/fasilitas yang rusak atau sudah waktunya
dilakukan pembaharuan.
6) Menjauhkan peralatan dan fasilitas yang berisiko terbakar dengan
sumber/bahan yang mudah terbakar.
7) Menempatkan alat pemadam kebakaran di area-area/titik-titik
tertentu yang dapat mudah dijangkau oleh semua orang.
8) Memasang label, symbol dan tanda peringatan pada lokasi-lokasi
yang berisiko terjadinya kebakaran.
9) Mengatur/mendesain bangunan, peralatan dan sumber-sumber
risiko kebakaran sesuai dengan jarak aman yang diperkenankan.
10) Melakukan pengawasan setiap pembangunan didalam atau
berdekatan dengan bangunan yang dihuni pasien
c. Tata laksana deteksi dini kebakaran
1) Deteksi asap (smoke detector) dan alarm kebakaran
a) Penempatan peralatan disesuaikan dengan fungsi dan area
berisiko (public area)
b) Pastikan terlebih dahulu lokasi/area alarm kebakaran atau
deteksi asap yang bunyi/mendeteksi kebakaran.
c) Lakukan penanganan secepatnya bila sistem deteksi
mengetahui adanya tanda-tanda kebakaran dengan menuju
lokasi terjadinya kebakaran.
d) Ambil peralatan kebakaran yang tersedia/terjangkau sekitar
area/lokasi kebakaran dan melakukan tindakan penyelamatan.
e) Pemeliharaan sistem/komponen deteksi kebakaran yang
dilakukan secara berkala
f) Dilakukan uji coba/simulasi terhadap peralatan dalam periode
tertentu untuk memastikan fungsi dan kegunaan alat.
2) Patroli kebakaran

| Pedoman Pelayanan TB DOTS 64


a) Penetapan/penunjukkan staf sebagai petugas patroli kebakaran
b) Adanya prosedur pengawasan yang menjadi prosedur baku
yang ditetapkan sebagai langkah control yang ada.
c) Adanya rute/jadwal ronda secara berkala untuk melakukan
pemantauan area/lokasi dan tempat/fasilitas yang berisiko
terjadinya kebakaran
d) Adanya sistem/kategori tingkat pengawasan lokasi/fasilitas dan
area public yang menimbulkan bahaya kebakaran besar, sedang
dan kecil.
d. Tata laksana penghentian/supresi atau pengendalian kebakaran
1) Memastikan sistem penghentian/supresi pemadam kebakaran dapat
berjalan dengan baik dengan melakukan inspeksi dan uji coba
secara berkala atas fungsi alat.
2) Penggunaan dan penempatan peralatan disesuaikan dengan jenis
bahan pada lokasi yang mudah terjadinya kebakaran dan besarnya
risiko yang terjadi (supresan kimia dan springkler)
3) Gunakan sistem pemadaman sesuai dengan jenis/bahan yang
terbakar, sistem isolasi, sistem pendinginan dan sistem urai untuk
mengurangi serta membatasi api.
4) Memastikan petugas patroli kebakaran, staf dan pengunjung dapat
menggunakan peralatan pemadam kebakaran dengan baik dan tepat
sasaran sebagai fungsi pengendalian tingkat pertama sebelum
terjadinya kebakaran yang lebih besar lagi.
5) Memastikan ketersediaan APAR dan hydrant pada area/lokasi
terdekat atau pada titik rawan risiko terjadinya kebakaran
e. Tata laksana evakuasi
1) Pasien
a) Informasikan terjadinya kebakaran dengan membunyikan
alarm/sirene tanda bahaya kebakaran
b) Kepala ruangan/kepala unit yang terkait dengan pelayanan
pasien melakukan instruksi untuk melakukan pengosongan

| Pedoman Pelayanan TB DOTS 65


ruangan dengan cara memindahkan pasien ke ruangan yang
lebih aman/titik kumpul.
c) Kepala ruangan/kepala unit bekerjasama dengan kepala unit
perawatan dan perawat yang ada untuk mengevakuasi pasien
dengan terlebih dahulu menginformasikan alasan dilakukannya
evakuasi.
d) Kepala ruangan/kepala unit dapat bekerjasama dengan keluarga
dan pengunjung yang berada dilokasi/ruangan untuk
mempercepat jalannya evakuasi pasien.
e) Lakukan evakuasi pada pasien yang mempunyai
kondisi/keadaan yang lebih stabil (dapat berjalan/menggunakan
kursi roda), selanjutnya evakuasi pasien yang berikutnya.
2) Karyawan & pengunjung/keluarga
a) Informasikan terjadinya kebakaran dengan membunyikan
alarm/sirene tanda bahaya kebakaran
b) melakukan evakuasi terhadap staf/tamu/pengunjung yang
berada dilokasi atau dekat dengan lokasi kebakaran
(pengosongan area atau gedung).
c) Mengarahkan dan memandu staf/tamu/pengunjung ke area
yang aman (titik kumpul) dari jangkauan kebakaran.
d) Mengamankan lokasi sekitar dari staf/tamu/pengunjung dan
bantu kelancaran jalur evakuasi petugas pemadam menuju area
kebakaran
e) Lakukan pemadaman listrik instalasi yang terdekat dengan
area/lokasi kebakaran atau bahan-bahan/sumber yang dapat
menimbulkan terjadinya kebakaran yang lebih hebat.
f. Tata laksana penanganan korban kebakaran
1) Proses penanganan korban dilakukan secepatnya untuk mencegah
risiko kecacatan dan atau kematian
2) Menentukan prioritas penanganan terhadap korban dan
penempatan korban sesuai hasil triage

| Pedoman Pelayanan TB DOTS 66


3) Evakuasi korban ke tempat yang lebih aman dan layak untuk dapat
dilakukan pertolongan
4) Melakukan stabilisasi atau tindakan dasar (basic live support) pada
korban
5) Tindakan definitive sesuai kondisi kegawatan dan bila diperlukan
6) Memberikan tindakan perawatan lanjutan

A. PROMOSI KESEHATAN
1. Melakukan pemeriksaan kesehatan sebelum bekerja bagi SDM
Rumah Sakit:
a. Pemeriksaan fisik lengkap
b. Kesegaran jasmani;
c. Rontgen paru-paru (bilamana mungkin);
d. Laboratorium rutin;
e. Pemeriksaan lain yang dianggap perlu;
f. Pemeriksaan yang sesuai kebutuhan guna mencegah bahaya
yang diperkirakan timbul, khususnya untuk pekerjaan-pekerjaan
tertentu.
g. Jika 3 (tiga) bulan sebelumnya telah dilakukan pemeriksaan
kesehatan oleh dokter (pemeriksaan berkala), tidak ada
keragu-raguan maka tidak perlu dilakukan pemeriksaan
kesehatan sebelum bekerja.
2. Melakukan pemeriksaan kesehatan berkala bagi SDM Rumah Sakit
a. Pemeriksaan berkala meliputi pemeriksaan fisik
lengkap, kesegaran jasmani, rontgen paru-paru (bilamana
mungkin) dan laboratorium rutin, serta pemeriksaanpemeriksaan
lain yang dianggap perlu;
b. Pemeriksaan kesehatan berkala bagi SDM Rumah Sakit
sekurang-kurangnya 1 tahun.
c. Melakukan pemeriksaan kesehatan khusus pada :
1) SDM Rumah Sakit yang telah mengalami kecelakaan

| Pedoman Pelayanan TB DOTS 67


atau penyakit yang memerlukan perawatan yang lebih dari 2
(dua) minggu;
2) SDM Rumah Sakit yang berusia di atas 40 (empat
puluh) tahun atau SDM Rumah Sakit yang wanita dan SDM
Rumah Sakit yang cacat serta SDM Rumah Sakit yang
berusia muda yang mana melakukan pekerjaan tertentu;
3) SDM Rumah Sakit yang terdapat dugaan-dugaan tertentu
mengenai gangguan-gangguan kesehatan perlu
dilakukan pemeriksaan khusus sesuai dengan kebutuhan;
4) Pemeriksaan kesehatan kesehatan khusus diadakan
pula apabila terdapat keluhan-keluhan diantara SDM
Rumah Sakit, atau atas pengamatan dari Organisasi
Pelaksana K3RS.
d. Melaksanakan pendidikan dan penyuluhan/pelatihan tentang
kesehatan kerja dan memberikan bantuan kepada SDM Rumah
Sakit dalam penyesuaian diri baik fisik maupun mental.
Yang diperlukan antara lain:
1) Informasi umum Rumah Sakit dan fasilitas atau sarana yang
terkait dengan K3;
2) Informasi tentang risiko dan bahaya khusus di tempat
kerjanya;
3) SOP kerja, SOP peralatan, SOP penggunaan alat
pelindung diri dan kewajibannya;
4) Orientasi K3 di tempat kerja;
5) Melaksanakan pendidikan, pelatihan ataupun
promosi/penyuluhan kesehatan kerja secara berkala dan
berkesinambungan sesuai kebutuhan dalam rangka
menciptakan budaya K3.
e. Meningkatkan kesehatan badan, kondisi mental (rohani) dan
kemampuan fisik SDM Rumah Sakit :
1) Pemberian makanan tambahan dengan gizi yang mencukupi

| Pedoman Pelayanan TB DOTS 68


untuk SDM Rumah Sakit yang dinas malam, petugas
radiologi, petugas lab, petugas kesling dll;
2) Pemberian imunisasi bagi SDM Rumah Sakit;
3) Olah raga, senam kesehatan dan rekreasi;
4) Pembinaan mental/rohani.

B. Pengobatan dan Rehabilitasi


1. Memberikan pengobatan dan perawatan serta rehabilitasi bagi
SDM Rumah Sakit yang menderita sakit :
a. Memberikan pengobatan dasar secara gratis kepada seiuruh
SDM Rumah Sakit;
b. Memberikan pengobatan dan menanggung biaya pengobatan
untuk SDM Rumah Sakit yang terkena Penyakit Akibat Kerja
(PAK);
c. Menindak lanjuti hasil pemeriksaan kesehatan berkala
dan pemeriksaan kesehatan khusus;
d. Melakukan upaya rehabilitasi sesuai penyakit terkait.
2. Penyakit Akibat Kerja
Penyakit akibat kerja adalah penyakit penyakit yang ditimbulkan
akibat karyawan melakukan aktivitas pekerjaannya atau sebagai
akibat/risiko yang diitimbulkan karena aktivitas yang dilakukan karyawan
selama melakukan pekerjaan tersebut. Penyakit akibat kerja yang
disebabkan oleh faktor-faktor biologi (virus, bakteri, jamur, parasit), faktor
kimia (antiseptik, reagen, gas anestesi), faktor ergonomis (lingkungan
kerja, cara kerja dan posisi kerja yang salah), faktor fisik (suhu, cahaya,
bising, listrik, getaran dan radiasi), faktor psikososial (kerja bergilir, beban
kerja, hubungan sesame pekerja/atasan) sehingga dapat mengakibatkan
penyakit dan kecelakaan akibat kerja. Faktor-faktor yang sangat
mempengaruhi dari Penyakit Akibat Kerja berupa :
a. Jenis pekerjaan (saat ini dan sebelumnya)
b. Gerakan dalam bekerja

| Pedoman Pelayanan TB DOTS 69


c. Tugas yang berat / berlebihan
d. Perubahan / pergeseran kerja
e. Iklim di tempat kerja

| Pedoman Pelayanan TB DOTS 70


BAB VIII PENGENDALIAN MUTU

A. INDIKATOR PROGRAM TB
Untuk menilai kemajuan atau keberhasilan penanggulangan TB digunakan
beberapa indikator. Indikator penanggulangan TB secara Nasional ada 2
yaitu:
1. Angka Penemuan Pasien Baru TB BTA positif (Case Detection Rate =
CDR) dan
2. Angka Keberhasilan Pengobatan (Success Rate = SR).
Selain itu ada beberapa indikator proses untuk mencapai indikator
Nasional tersebut di atas, yaitu:
a. Angka Penjaringan Suspek
b. Proporsi Pasien TB Paru BTA positif diantara Suspek yang diperiksa
dahaknya
c. Proporsi Pasien TB Paru BTA positif diantara seluruh pasien TB paru
d. Proporsi pasien TB anak diantara seluruh pasien
e. Angka Notifikasi Kasus (CNR)
f. Angka Konversi
g. Angka Kesembuhan
h. Angka Kesalahan Laboratorium
Untuk mempermudah analisis data diperlukan indikator sebagai alat ukur
kemajuan (marker of progress).
Indikator yang baik harus memenuhi syarat-syarat tertentu seperti:
1. Sahih (valid)
2. Sensitif dan Spesifik (sensitive and specific)
3. Dapat dipercaya (realiable)
4. Dapat diukur (measureable)
5. Dapat dicapai (achievable)
Analisa dapat dilakukan dengan :
1. Membandingkan data antara satu dengan yang lain untuk melihat
besarnya perbedaan.

| Pedoman Pelayanan TB DOTS 71


2. Melihat kecenderungan (trend) dari waktu ke waktu.
3. Untuk tiap tingkat administrasi memiliki indikator sebagaimana pada
tabel 19 berikut:
Tabel 10. Indikator

B. ANGKA PENJARINGAN SUSPEK


Adalah jumlah suspek yang diperiksa dahaknya diantara 100.000
penduduk pada suatu wilayah tertentu dalam 1 tahun. Angka ini digunakan

| Pedoman Pelayanan TB DOTS 72


untuk mengetahui upaya penemuan pasien dalam suatu wilayah tertentu,
dengan memperhatikan kecenderungannya dari waktu ke waktu
(triwulan/tahunan)
Gambar 7. Rumus Angka Penjaringan SUSPEK

Jumlah suspek yang diperiksa bisa didapatkan dari buku daftar suspek
(TB .06) sarana pelayanan kesehatan yang tidak mempunyai wilayah cakupan
penduduk, misalnya rumah sakit, BP4 atau dokter praktek swasta, indikator
ini tidak dapat dihitung.

C. PROPORSI PASIEN TB BTA POSITIF DIANTARA SUSPEK


Adalah prosentase pasien BTA positif yang ditemukan diantara
seluruh suspek yang diperiksa dahaknya. Angka ini menggambarkan mutu
dari proses penemuan sampai diagnosis pasien, serta kepekaan menetapkan
kriteria suspek.

Gambar 8. Rumus Proporsi Pasien TB BTA Positif diantara SUSPEK

Angka ini sekitar 5 - 15%. Bila angka ini terlalu kecil (< 5%) kemungkinan
disebabkan:
1. Penjaringan suspek terlalu longgar. Banyak orang yang tidak memenuhi
kriteria suspek, atau Ada masalah dalam pemeriksaan laboratorium
(negatif palsu).
Bila angka ini terlalu besar (> 15%) kemungkinan disebabkan :
1. Penjaringan terlalu ketat atau
2. Ada masalah dalam pemeriksaan laboratorium (positif palsu).

| Pedoman Pelayanan TB DOTS 73


D. PROPORSI PASIEN TB PARU BTA POSITIF DIANTARA SEMUA
PASIEN TB PARU TERCATAT/DIOBATI
Adalah prosentase pasien TB paru BTA positif diantara semua pasien
TB paru tercatat. Indikator ini menggambarkan prioritas penemuan pasien TB
yang menular diantara seluruh pasien TB paru yang diobati.
Gambar 8. Rumus Proporsi Pasien TB Paru BTA Positif diantara semua Pasien

Angka ini sebaiknya jangan kurang dari 65%. Bila angka ini jauh lebih
rendah, itu berarti mutu diagnosis rendah, dan kurang memberikan prioritas
untuk menemukan pasien yang menular (pasien BTA Positif).

E. PROPORSI PASIEN TB ANAK DIANTARA SELURUH PASIEN TB


Adalah prosentase pasien TB anak (<15 tahun) diantara seluruh pasien TB
tercatat.
Gambar 9. Rumus Proporsi Pasien TB anak diantara seluruh Pasien

Angka ini sebagai salah satu indikator untuk menggambarkan ketepatan dalam
mendiagnosis TB pada anak. Angka ini berkisar 15%. Bila angka ini terlalu
besar dari 15%, kemungkinan terjadi overdiagnosis.

F. ANGKA PENEMUAN KASUS (CASE DETECTION RATE = CDR)


Adalah prosentase jumlah pasien baru BTA positif yang ditemukan dan
diobati dibanding jumlah pasien baru BTA positif yang diperkirakan ada
dalam wilayah tersebut. Case Detection Rate menggambarkan cakupan
penemuan pasien baru BTA positif pada wilayah tersebut.

| Pedoman Pelayanan TB DOTS 74


Gambar 10. Rumus Angka Penemuan Kasus

Angka ini sebagai salah satu indikator untuk menggambarkan ketepatan


dalam mendiagnosis TB pada anak. Angka ini berkisar 15%. Bila angka ini
terlalu besar dari 15%, kemungkinan terjadi overdiagnosis.

G. ANGKA PENEMUAN KASUS (CASE DETECTION RATE = CDR)


Adalah prosentase jumlah pasien baru BTA positif yang ditemukan
dan diobati dibanding jumlah pasien baru BTA positif yang diperkirakan ada
dalam wilayah tersebut. Case Detection Rate menggambarkan cakupan
penemuan pasien baru BTA positif pada wilayah tersebut.
Rumus :
Jumlah pasien TB (semua tipe) yg dilaporkan dlm TB.07 x 100.000
Jumlah penduduk
Angka ini berguna untuk menunjukkan kecenderungan (trend) meningkat atau
menurunnya penemuan pasien pada wilayah tersebut.

H. ANGKA KONVERSI (CONVERSION RATE)


Angka konversi adalah prosentase pasien baru TB paru BTA positif
yang mengalami perubahan menjadi BTA negatif setelah menjalani masa
pengobatan intensif. Indikator ini berguna untuk mengetahui secara cepat
hasil pengobatan dan untuk mengetahui apakah pengawasan langsung
menelan obat dilakukan dengan benar.
Contoh perhitungan angka konversi untuk pasien baru TB paru BTA positif
Jumlah pasien baru TB paru BTA positif yg konversi x 100%
Jumlah pasien baru TB paru BTA positif yg diobati
Di sarana pelayanan kesehatan, indikator ini dapat dihitung dari kartu
pasien TB.01, yaitu dengan cara mereview seluruh kartu pasien baru BTA

| Pedoman Pelayanan TB DOTS 75


Positif yang mulai berobat dalam 3-6 bulan sebelumnya, kemudian dihitung
berapa diantaranya yang hasil pemeriksaan dahak negatif, setelah pengobatan
intensif (2 bulan). Di tingkat kabupaten, provinsi dan pusat, angka ini dengan
mudah dapat dihitung dari laporan TB.11. Angka minimal yang harus dicapai
adalah 80%.

I. ANGKA KESEMBUHAN (CURE RATE)


Angka kesembuhan adalah angka yang menunjukkan prosentase pasien
baru TB paru BTA positif yang sembuh setelah selesai masa pengobatan,
diantara pasien baru TB paru BTA positif yang tercatat. Angka kesembuhan
dihitung juga untuk pasien BTA positif pengobatan ulang dengan tujuan:
1. Untuk mengetahui seberapa besar kemungkinan kekebalan terhadap obat
terjadi di komunitas, hal ini harus dipastikan dengan surveilans kekebalan
obat.
2. Untuk mengambil keputusan program pada pengobatan menggunakan obat
baris kedua (second-line drugs).
3. Menunjukan prevalens HIV, karena biasanya kasus pengobatan ulang
terjadi pada pasien dengan HIV.
Cara menghitung angka kesembuhan untuk pasien baru BTA positif.
Jumlah pasien baru TB BTA positif yg sembuh x 100%
Jumlah pasien baru TB BTA positif yg diobati
Di sarana pelayanan kesehatan, indikator ini dapat dihitung dari kartu
pasien TB.01, yaitu dengan cara mereview seluruh kartu pasien baru BTA
Positif yang mulai berobat dalam 9-12 bulan sebelumnya, kemudian dihitung
berapa diantaranya yang sembuh setelah selesai pengobatan.
Di tingkat kabupaten, provinsi dan pusat, angka ini dapat dihitung dari
laporan TB.08. Angka minimal yang harus dicapai adalah 85%. Angka
kesembuhan digunakan untuk mengetahui hasil pengobatan. Walaupun angka
kesembuhan telah mencapai 85%, hasil pengobatan lainnya tetap perlu
diperhatikan, yaitu berapa pasien dengan hasil pengobatan lengkap,
meninggal, gagal, default, dan pindah.

| Pedoman Pelayanan TB DOTS 76


1. Angka default tidak boleh lebih dari 10%, karena akan menghasilkan
proporsi kasus retreatment yang tinggi dimasa yang akan datang yang
disebabkan karena ketidak-efektifan dari pengendalian TB.
2. Menurunnya angka default karena peningkatan kualitas penanggulangan
TB akan menurunkan proporsi kasus pengobatan ulang antara 10-20 %
dalam beberapa tahun. Sedangkan angka gagal untuk pasien baru BTA
positif tidak boleh lebih dari 4% untuk daerah yang belum ada masalah
resistensi obat, dan tidak boleh lebih besar dari 10% untuk daerah yang
sudah ada masalah resistensi obat.

J. ANGKA KEBERHASILAN PENGOBATAN


Angka kesembuhan adalah angka yang menunjukkan prosentase
pasien baru TB paru BTA positif yang menyelesaikan pengobatan (baik yang
sembuh maupun pengobatan lengkap) diantara pasien baru TB paru BTA
positif yang tercatat. Dengan demikian angka ini merupakan penjumlahan
dari angka kesembuhan dan angka pengobatan lengkap. Cara perhitungan
untuk pasien baru BTA positif dengan pengobatan kategori1.
Rumus :
Jumlah pasien baru TB BTA positif (sembuh + pengobatan
lengkap) x 100%
Jumlah pasien baru TB BTA positif yg diobati

K. ANGKA KESALAHAN LABORATORIUM


Pada saat ini Penanggulangan TB sedang dalam uji coba untuk penerapan uji
silangpemeriksaan dahak (cross check) dengan metode Lot Sampling Quality
Assessment(LQAS) di beberapa provinsi. Untuk masa yang akan datang akan
diterapkan metodeLQAS di seluruh sarana pelayanan kesehatan.
1. Metode LQAS
Perhitungan angka kesalahan laboratorium metode ini digunakan oleh
provinsi uji coba. Untuk mengetahui klasifikasi kesalahan dapat dilihat
pada tabel.

| Pedoman Pelayanan TB DOTS 77


Klasifikasi kesalahan
(TABEL)
Betul : Tidak ada kesalahan
KH (Kesalahan Hitung) : Kesalahan kecil
NPR (Negatif Palsu Rendah) : Kesalahan kecil
PPR (Positif Palsu Rendah) : Kesalahan kecil
NPT (Negatif Palsu Tinggi) : Kesalahan besar
PPT (Positif Palsu Tinggi) : Kesalahan besar
Selain kesalahan besar dan kesalahan kecil, kesalahan juga dapat berupa
tidak memadainya kualitas sediaan, yaitu: terlalu tebal atau tipisnya
sediaan, pewarnaan, ukuran, kerataan, kebersihan dan kualitas spesimen.
Mengingat sistem penilaian yang berlaku sekarang berbeda dengan yang
terbaru, petugas pemeriksa slide harus mengikuti cara pembacaan dan
pelaporan sesuai buku Panduan bagi petugas laboratorium mikroskopis TB
Interpretasi dari suatu laboratorium berdasarkan hasil uji silang dinyatakan
terdapat kesalahan bila :
a. Terdapat PPT atau NPT
b. Laboratorium tersebut menunjukkan tren peningkatan kesalahan kecil
dibanding periode sebelumnya atau kesalahannya lebih tinggi dari rata-
rata semua sarana pelayanan kesehatan di kabupaten/kota tersebut, atau
bila kesalahan kecil terjadi beberapa kali dalam jumlah yang signifikan.
c. Bila terdapat 3 NPR
Penampilan setiap laboratorium harus terus dimonitor sampai diketemukan
penyebab kesalahan. Setiap sarana pelayanan kesehatan agar dapat menilai
dirinya sendiri dengan memantau tren hasil interpretasi setiap triwulan.
2. Metode 100 % BTA Positif & 10 % BTA Negatif
Sebagian besar provinsi masih menerapkan metode uji silang perhitungan
sebagai berikut :
a. Error Rate
Error rate atau angka kesalahan baca adalah angka kesalahan
laboratorium yang menyatakan prosentase kesalahan pembacaan slide/

| Pedoman Pelayanan TB DOTS 78


sediaan yang dilakukan oleh laboratorium pemeriksa pertama setelah
di uji silang (cross check) oleh BLK atau laboratorium rujukan lain.
Angka ini menggambarkan kualitas pembacaan slide secara
mikroskopis langsung laboratorium pemeriksa pertama.
Rumus :
Jumlah sediaan yang dibaca salah x 100%
Jumlah seluruh sediaan yang diperiksa
Angka kesalahan baca sediaan (error rate) ini hanya bisa
ditoleransi maksimal 5%. Apabila error rate ≤ 5 % dan positif palsu
serta negatif palsu keduanya ≤ 5% berartimutu pemeriksaan baik.
Error rate ini menjadi kurang berarti bila jumlah slide yang di
uji silang (cross check) relatif sedikit. Pada dasarnya error rate
dihitung pada masing-masing laboratorium pemeriksa, di tingkat
kabupaten/ kota.Kabupaten/kota harus menganalisa berapa persen
laboratorium pemeriksa yang adadi wilayahnya melaksanakan cross
check, di samping menganalisa error rate per PRM/PPM/RS/BP4,
supaya dapat mengetahui kualitas pemeriksaan slide dahak secara
mikroskopis langsung.

L. ANGKA KEBERHASILAN RUJUKAN


Angka keberhasilan rujukan adalah persentase pasien TB yang dirujuk dan
sampai di sarana pelayanan kesehatan rujukan diantara seluruh pasien TB
yang dirujuk.

M. ANGKA DEFAULT
Angka Default adalah persentase pasien TB yang default diantara seluruh
pasien TByang diobati dalam kurun waktu tertentu.
Angka ini dihitung untuk mengetahui kepatuhan pengobatan pasien TB.

| Pedoman Pelayanan TB DOTS 79


Rumus:

Angka Default sebaiknya <5% pada setiap rumah sakit

| Pedoman Pelayanan TB DOTS 80


BAB IX PENUTUP

Demikian Pedoman Pelayanan Tim TB-DOTs ini disusun agar semua


pihak yang terkait dalam penyelenggaraan pelayanan TB-DOTs dapat
melaksanakan semua ketentuan dan prosedur yang diatur dalam Pedoman ini,
sesuai dengan kebutuhan pelayanan medis kepada pasien.
Apabila di kemudian hari didapatkan kondisi yang tidak lagi
dimungkinkan menggunakan ketentuan dalam Pedoman ini, dapat dilakukan
pembicaraan dengan semua pihak terkait untuk dilakukan perubahan kebijakan
dan sistem pelayanan TB-DOTs sesuai dengan kondisi tersebut. Pedoman dapat
diperbaiki sesuai kebutuhan dan perkembangan di Rumah Sakit Graha Sehat.
Untuk itu diharapkan partisipasi semua pihak bagi penyempurnaannya. Harapan
kami semoga pedoman ini dapat menjadi salah satu sarana bagi Rumah Sakit
Graha Sehat dalam upaya meningkatkan kinerja layanan melalui kinerja Komite
PPI.
Semoga Tuhan senantiasa memberkati dan menyertai pelayanan kita,
Rumah Sakit Graha Sehat

Direktur
Rumah Sakit Graha Sehat,

dr. Susanti Sugianto


NIP. 67013013

| Pedoman Pelayanan TB DOTS 81

Anda mungkin juga menyukai