1
TIM PENYUSUN
i
DAFTAR ISI
Cover
Tim Penyusun …………………………………………………………………………………i
Daftar Isi ……………………………………………………………………………………….ii
Peraturan Direktur ………………………………………………………………………….iii
Bab I Pendahuluan ………………………………………………………………….1
BAB II Ruang Lingkup ……………………………………………………………….3
BAB III Kebijakan ………………………………………………………………………4
BAB IV Tata Laksana ………………………………………………………………….5
BAB V Dokumentasi …………………………………………………….………….12
ii
PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI BARAT
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
Jalan : R.E Martadinata Simboro Mamuju 91512
Website : http://rsud.sulbarprov.go.id Email : www.rsud.provinsi.sulbar@gmail.com
iii
4. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 417/Menkes/Per/II/2011
tentang Komisi Akreditasi Rumah Sakit ;
MEMUTUSKAN:
PASAL 1
Panduan Pelayanan Pasien Resiko Tinggi di Rumah Sakit Umum Daerah Provinsi
Sulawesi Barat menjadi acuan pemberian pelayanan pada pasien di RSUD Provinsi
Sulawesi Barat
PASAL 2
Peraturan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dan apabila dikemudian hari
ternyata terdapat kekeliruan akan diadakan perbaikan sebagaimana mestinya
Ditetapkan di Mamuju
Pada Tanggal 29 Juli 2019
Plt. DIREKTUR
iv
LAMPIRAN
PERATURAN DIREKTUR RSUD
PROVINSI SULAWESI BARAT
NOMOR 2673 TAHUN 2019
TENTANG
PANDUAN PELAYANAN PASIEN
RISIKO TINGGI DAN
PENYEDIAAN PELAYANAN
RISIKO TINGGI
A. DEFENISI
Pasien risiko tinggi adalah pasien yang digolongkan risiko tinggi karena
umur, kondisi, atau kebutuhan yang bersifat kritis. Identifikasi adalah
suatu kegiatan dalam rangka menentukan dan menetapkan pasien dengan
risiko tinggi pada populasi pasien di RSUD Provinsi Sulawesi Barat.
Anak dan lanjut usia termasuk dalam kelompok pasien risiko tinggi,
karena pada pasien anak dan lanjut usia sering tidak dapat menyampaikan
pendapatnya, tidak mengerti proses pelayanan dan tidak dapat ikut
memberi keputusan tentang pelayanannya. Demikian pula pasien yang
ketakutan, bingung atau koma, tidak dapat mengerti tentang proses
pelayanan sewaktu pelayanan harus diberikan cepat dan efisien.
Selain itu juga ada pasien berisiko tinggi karena memerlukan peralatan
yang kompleks, yang diperlukan untuk pengobatan penyakit yang
mengancam jiwa (misalnya pasien dialisis), risiko bahaya pengobatan
(penggunaan darah atau produk darah), potensi yang membahayakan
pasien atau efek toksik dari obat berisiko tinggi (misalnya kemoterapi).
Rumah sakit dapat pula melakukan identifikasi risiko sampingan sebagai
akibat dari suatu prosedur atau rencana pelayanan (misalnya : perlunya
pencegahan trombosis vena dalam, ulkus dekubitus dan jatuh).
B. TUJUAN
1. Sebagai upaya RSUD Provinsi Sulawesi Barat membangun suatu
kontinuitas pelayanan, yaitu menyelaraskan kebutuhan asuhan
pasien dengan pelayanan yang tersedia di rumah sakit,
mengkoordinasikan pelayanan, pemberian pelayanan yang efisien
kepada pasien.
1
2. Meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dan keselamatan pasien
dengan memberikan asuhan pelayanan resiko tinggi di RSUD Provinsi
Sulawesi Barat.
2
BAB II
RUANG LINGKUP
3
BAB III
KEBIJAKAN
4
BAB IV
TATA LAKSANA
5
B. Berdasarkan hal tersebut diatas, maka dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Pasien anak
1. Asesmen dilakukan dengan memperhatikan bahwa kondisi anak
berbeda dengan dewasa, termasuk dalam membuat rencana
pelayanannya, misalnya pengobatan menggunakan dosis anak, dan
lain-lain.
2. Anak sering tidak dapat menyampaikan pendapatnya, tidak
mengerti proses pelayanan dan tidak dapat ikut memberi keputusan
tentang pelayanannya. Jadi pasien anak termasuk pasien yang
belum kompeten sehingga membutuhkan wali sah, terutama dalam
membuat keputusan persetujuan atau penolakan tindakan
medis/operasi, termasuk tindakan Do Not Attempt Resuscitation
(DNAR).
3. Jika dalam kondisi gawat darurat, tindakan resusitasinya juga
dibedakan dengan resusitasi pada pasien dewasa. Termasuk
penggunaan alat bantuan hidup, disesuaikan dengan kebutuhan
pasien anak.
4. Ruang perawatan anak dibedakan dengan ruang perawatan pasien
dewasa.
5. Pada pasien anak harus menggunakan bedrail untuk mencegah
risiko jatuh.
6. Pemantauan pasien anak dibedakan dengan pasien dewasa.
7. Pemasangan CCTV diruang bayi dan anak
8. Kualifikasi dan kemampuan yang khusus untuk staf yang terlibat
dalam proses asuhan contohnya untuk perawat harus yang
memiliki kompetensi PK 1 dan 2.
b. Pasien berusia lanjut ( lansia )
1. Assesmen dilakukan dengan memperhatikan bahwa kondisi usia
lanjut berbeda dengan dewasa, termasuk dalam membuat rencana
pelayanannya, misalnya pemilihan obat harus lebih hati-hati karena
usia lanjut mengalami penurunan fungsi dan ginjal.
2. Pada umumnya pasien usia lanjut mengalami hambatan komunikasi
sehingga dibutuhkan keluarga pasien untuk mendampingi pasien
tersebut, misalnya penyampaian edukasi, membuat keputusan
persetujuan atau penolakan tindakan medis/operasi, termasuk
tindakan Do Not Attempt Resuscitation (DNAR).
3. Jika dalam kondisi gawat darurat, tindakan resusitasinya juga
dibedakan dengan resusitasi pada pasien dewasa. Termasuk
6
penggunaan alat bantuan hidup, disesuaikan dengan kebutuhan
pasien usia lanjut.
4. Ruang perawatan pasien usia lanjut di RSUD Provinsi Sulawesi Barat
sama dengan ruang perawatan pasien dewasa.
5. Penggunaan alat Bantu khusus, misalnya kursi roda atau Pegangan
yang berada disepanjang koridor maupun di dalam ruang
perawatan, ataupun yang lainnya disesuaikan dengan kebutuhan
pasien.
5. Penggunaan side rails dianggap berisiko, terutama untuk pasien
geriatri dan disorientasi. Pasien geriatri yang rentan berisiko terjebak
antara kasur dan side rails. Pasien disorientasi dapat menganggap
side rails sebagai penghalang untuk dipanjati dan dapat bergerak ke
ujung tempat tidur untuk turun dari tempat tidur. Saat pasien
berusaha turun dari tempat tidur dengan menggunakan segala cara,
pasien berisiko terjebak, tersangkut, atau jatuh dengan kemungkinan
mengalami cedera yang lebih berat dibandingkan tanpa
menggunakan side rails. Namun, jika pasien secara fisik mampu
turun dari tempat tidur dan tidak mengalami disorientasi maka
penggunaan side rails tidak berdampak pada kebebasan bergerak
pasien, peran perawat untuk mengkondisikan keadaan pasien.
6. Pemantauan pasien usia lanjut dibedakan dengan pasien dewasa,
karena secara fisiologis sudah mengalami perubahan.
7. Untuk pasien rawat jalan dilakukan pendampingan oleh petugas
penerimaan pasien dan mengantarkan sampai ketempat periksa dan
pasien wajib didampingi sampai pemeriksaan selesai.
8. Untuk pasien rawat inap penempatan pasien dikamar rawat inap
sedekat mungkin dengan kamar perawat dan perawat selalu
memasang pengaman tempat tidur serta mengingatkan keluarga
untuk menjaga pasien
9. Kualifikasi dan kemampuan yang khusus untuk staf yang terlibat
dalam proses asuhan contohnya untuk perawat harus yang memiliki
kompetensi PK 1 dan 2.
c. Pasien cacat fisik
a. Asesmen dilakukan dengan memperhatikan bahwa kondisi cacat fisik
berbeda dengan pasien tidak cacat fisik, termasuk dalam membuat
rencana pelayanannya.
b. Pada umumnya pasien cacat fisik mengalami hambatan komunikasi
contohnya tuna rungu, sehingga dibutuhkan penggunaan bahasa
7
isyarat dan keluarga pasien untuk mendampingi pasien tersebut,
misalnya : penyampaian edukasi, membuat keputusan persetujuan
atau penolakan tindakan medis/operasi, termasuk dtindakan Do Not
Attempt Resuscitation (DNAR).
c. Jika dalam kondisi gawat darurat, tindakan resusitasinya harus
memperhatikan kondisi cacat fisik pasien tersebut. Termasuk
penggunaan alat bantuan hidup, jika diperlukan.
d. Ruang perawatan pasien disesuaikan apakah pasien anak atau pasien
dewasa/usia lanjut.
d. Pasien gawat darurat
1. Asesmen yang dilakukan merupakan asesmen gawat darurat
contohnya penilaian CABDE (circulation, airway, breathing, disability
and exposure).
2. Pada umumnya hambatan pelayanan pada kondisi gawat darurat
adalah tidak adanya keluarga sedangkan pasien membutuhkan
tindakan emergensi segera.
3. Lakukan tindakan sesuai hasil identifikasi, tindakan resusitasi
menyesuaikan apakah pasien dewasa, anak-anak atau neonatus.
4. Ruang perawatan pasien disesuaikan dengan kondisi kegawatan
pasien, apakah pasien membutuhkan ruang perawatan intensif pasca
resusitasi atau ruang perawatan biasa atau ruang isolasi.
5. Penggunaan dan pemilihan alat bantuan hidup dasar disesuaikan
dengan kondisi pasien.
6. Penggunaan bedrails untuk mencegah risiko jatuh pada pasien yang
beresiko jatuh.
7. Pemantauan pasien dengan kegawatan disesuaikan dengan kondisi
pasien yang tentunya membutuhkan proses pemantauan yang lebih
intensif dengan memperhatikan kondisi kegawatannya.
8. Kualifikasi dan kemampuan untuk dokter dan perawat yaitu
tersertifikasi Cardiac Life Support, Trauma Life Support dan Critical
Care.
e. Pasien koma
1. Menentukan pasien dengan kondisi koma, sekurangnya 3 (tiga) orang
dokter kompeten (2 orang dokter diantaranya adalah 1 dokter spesialis
anestesi/intensifies dan 1 dokter spesialis syaraf).
2. Pasien koma termasuk pasien yang tidak dapat menyampaikan
pendapatnya, tidak mengerti proses pelayanan dan tidak dapat ikut
memberi keputusan tentang pelayanannya. Jadi pasien koma
8
membutuhkan wali sah terutama dalam membuat keputusan
persetujuan atau penolakan tindakan medis/operasi, termasuk
tindakan Do Not Attempt Resuscitation (DNAR) kecuali jika ada
keputusan dini tentang DNAR.
3. Ruang perawatan pasien koma disesuaikan dengan kondisi pasien
apakah ditempatkan di ruang ICU terbuka atau ruang ICU tertutup.
4. Penggunaan side rails bukan merupakan restrain karena penggunaan
side rails tidak berdampak pada kebebasan gerak pasien.
5. Pada pasien koma, membutuhkan asuhan keperawatan dasar yang
tergantung pada bantuan perawat atau keluarga pasien atau sering jg
disebut total care.
5. Kualifikasi dan kemampuan untuk dokter dan perawat yaitu
tersertifikasi Cardiac Life Support, Trauma Life Support dan Critical
Care untuk perawat harus yang memiliki kompetensi PK 2 dan 3.
f. Pasien dengan penyakit infeksi atau menular dan immune-supressed
1. Berdasarkan hasil asesmen dapat diidentifikasikan pasien dengan
penyakit infeksi atau menular dan immune-suppressed.
2. Jika diperlukan maka perlu pemeriksaan penunjang saat asesmen
ulang untuk menunjang penegakan diagnosis.
3. Berikan informed consent pada pasien atau keluarga tentang
perawatan pasien yang membutuhkan perawatan khusus.
4. Ruang perawatan pasien dengan penyakit infeksi atau menular dan
immune-suppressed ditempatkan di ruang isolasi yang bertekanan
negatif.
5. Batasi gerakan, transport pasien hanya kalau diperlukan saja dan
berikan masker bedah.
6. Memakai APD masker bedah saat melakukan pemeriksaan atau
tindakan.
7. Batasi jumlah pengunjung.
8. Berikan edukasi kepada keluarga pasien bahwa orang yang rentan
tidak diperbolehkan masuk ruangan pasien.
9. Berikan edukasi kepada keluarga pasien tentang cara pemakaian APD
masker bedah dan edukasi tentang etika batuk dan bersin.
10. Memakai Google (kaca mata) dipakaisaat melakukan tindakan dengan
kemungkinan timbul percikan.
11. Jika rumah sakit tidak mempunyai fasilitas dan sarana untuk
perawatan pasien infeksi atau menular dan immune-suppressed maka
9
dirujuk ke rumah sakit rujukan yang mempunyai fasilitas perawatan
pasien infeksi.
12. Dokter dan perawat harus mempunyai keilmuan dan keterampilan
tentang penyakit infeksi atau menular dan immune-suppressed,
terutama dalam hal cara penularan, penatalaksanaan, pencatatan dan
pelaporan dan lain-lain.
g. Pasien yang mendapatkan tranfusi darah
a. Berdasarkan hasil asesmen didapatkan bahwa pasien membutuhkan
tranfusi darah.
b. Pemberian tranfusi darah sesuai prosedur yang ada, terutama
identifikasi pasien, sehingga mencegah terjadinya insiden keselamatan
pasien, misalnya salah orang, salah jenis tranfusi, dan lain-lain.
c. Perlunya pemantauan atau monitoring selama pemberian tranfusi dan
setelahnya karena sering terjadi reaksi tranfusi.
d. Pemeriksaan hemoglobin post-tranfusi harus dilakukan untuk
merencanakan pelayanan selanjutnya.
e. Penatalaksanaan jika terjadi kesalahan tranfusi maupun reaksi
tranfusi harus dipahami oleh dokter dan perawat.
f. Formulir permintaan tranfusi darah dan informed consent transfuse
darah harus diisi dengan lengkap, setelah memberikan penjelasan
kepada pasien atau wali sah dan keluarga pasien.
g. Petugas bank darah di rumah sakit harus mempunyai keilmuan dan
ketrampilan khusus terkait bank darah.
h. Pasien dengan aplikasi restrain
1. Dari hasil asesmen dapat diidentifikasi pasien yang membutuhkan
aplikasi restrain.
2. Aplikasi restrain dipilih jika dengan intervensi alternative tidak
berhasil.
3. Indikasi dan pemilihan jenis restrain disesuaikan dengan kebutuhan
pasien.
4. Dibutuhkan informed consent aplikasi restrain dari pihak keluarga
setelah diberikan penjelasan.
5. Dilakukan pemantauan atau monitoring sesuai panduan yang berlaku.
6. Perawat yang mengaplikasikan restrain harus memiliki keilmuan dan
keterampilan tentang aplikasi restrain.
i. Pasien dengan risiko kekerasan
1. Dari hasil assesmen dapat diidentifikasi pasien dengan risiko
kekerasan.
10
2. Kriteria kekerasan fisik di lingkungan rumah sakit terdiri atas:
pelecehan seksual, pemukulan, dan penelantaran.
3. Jika pasien dirawat harus ada pendampingan baik dari keluarga
maupun perawat.
4. Jika pasien dirawat harus dimonitoring dengan ketat
5. Pasien ditempatkan ditempat yang berdekatan dengan ruang perawat.
6. Ruang perawatan harus dilengkapi CCTV atau diberikan security
khusus dan koordinasi dengan pihak berwajib bila diperlukan.
7. Pengunjung maupun penjaga pasien wajib lapor dan mencatat
identitas di ruang perawat, berikut dengan penjaga maupun
pengunjung pasien lain yang sekamar perawatan dengan pasien
beresiko
8. Kualifikasi dan kemampuan yang khusus untuk staf yang terlibat
dalam proses asuhan contohnya untuk perawat harus yang memiliki
kompetensi PK 1 dan 2.
11
BAB V
DOKUMENTASI
DIREKTUR,
12
13