Anda di halaman 1dari 4

Definisi Kecerdasan

E. G. Boring (1923) mendefinisikan kecerdasan sebagai kapasitas untuk melakukan


tes kecerdasan dengan baik. Terman (1916), menyatakan bahwa tidak ada definisi yang
memadai yang mungkin bisa di frame yang tidak didasari gejala empiris. Kembali ke
Spencer (1855), beliau mendefinisikan kecerdasan sebagai penyesuaian antara relasi luar
dan dalam.
Setelah beberapa pertemuan formal, terdapat beberapa definisi kecerdasan. Pada
symposium I (1910) mengenai “instinct and Intelligence”. Di symposium selanjutnya
mengenai “The Nature of General Intelligence and Ability”. Stenberd dan Berg (1986)
mentabulasikan definisi kecerdasan dengan ururtan frekuensi atribut kecerdasan, yaitu:
Higher level cognitive function, yang diberi nilai oleh budaya, executive process, elementary
process (perception, sensation, and/or attention), knowledge, dan perilaku tampak.
Beberapa definisi kecerdasan antara lain: Hebert Spencer (1885) mendefinisikan
kecerdasan kecerdasan adalah insting, penalaran, persepsi, konsepsi, memori, imajinasi,
perasaan, kemauan..”; Alexander Bain (1868

G or not to g?
Topik yang masih tidak terselesaikan mengenai kecedasan adalah psikometri g.
Pada tahun 1904, Charles E. Spearman (1863-1945) menerbitkan paper mengenai
penemuan factor dari general intelligence. Analisis korelasinya menunjukan semua cabang
aktivitas kecerdasan memiliki satu fungsi fundamental yang umum (atau beberapa grup
fungsi), yang digambarkan sebagai “jumlah dari general mental energy”.
Kritik general intelligence muncul dari Edward L. Thorndike, yang menemukan
korealsi yang lemah antara sensory discrimination dan general intelligence, dan mengatakan
bahwa tidak ada apa pun yang umum untuk semua fungsi mental, atau setengahnya.
Alfred Binet pada akhirnya menerima general factor. Di bukunya yang berjudul Les
Idees Modernes les Enfants, beliau menuliskan : “Pikiran adalah kesatuan, terlepas dari
banyaknya fasilitasnya. . . ia memiliki satu fungsi penting di mana semua yang lain berada di
bawahnya ”. Pada 1916, Stanford-Binet, Lewis M. Terman menerima konsep general
intelligence dan mengakui bahwa skor IQ dapat mengukur g. David Weschler pun terkesan
dengan konsep spearman.
Status g terbaru adalah bahwa g adalah detrminan penting, signifikan untuk
outcomes di dunia nyata dan tidak ada subtitusi lain untuk g bahkan ketika perfoma
ditentukan bukan hanya dari g sendiri.

Recent Books On Intelligence


1990s
Tahun 1990an memiliki beberapa penerbitan penting mengenai kecerdasan.
Beberapanya antara lain: Caroll (1993) Human Cognitive Abilitis yang mensitesikan
perbedaan kognitif manusia menjadi 3 level hirarki psikomeri; Jensen (1998) The g Factor;
Brand (1996); Hernstein & Murray (1994) The Bell Curve yang menhasilkan reaksi
permusuhan yang muncul hngga abad 20.

Intelligence Books from the Past Decade


Terdapat beberapa buku yang memiliki pembahasan yang menarik dan berguna
mengenai aspek aspek kecerdasan. Diantaranya: Deary
Struktur Psikometris Kecerdasan
Mengikuti struktur psikometri kecerdasan Carroll’s(1993), terdapat consensus luas
yang bervariasi diantara orang-orang pada tiga level: Level ketig adalah kemampuan kognitif
general, level kedua adalah domain luas fungsi kognitif, dan level pertma adalah variasi tes
spesifik. Hampir setengah dari varians dijelaskan oleh General cognitive ability (g) untuk tes
yang merepresentasikan populasi orang dewasa.
Data tes mental dari Minnesota Study of Twins Apart juga menggunakan teori
Carroll’s (1993) dengan mengajukan factor level kedua disebut dengan crystalized, fluency
(kelancara), fluid, memory, perseptual speed, dan visualisasi. Johnson dan Bouchand’s
mengajukan factor level tiga yang baru yaitu fluid dan crystalized factors oleh Cattel-Horn
dan Vernon’s verbal education (ved), dan perceptual factors (spatial, mechanical). Faktor
Verbal, perceptual, dan image rotation dimuat dalam g. Faktor verbal dan perceptual, dan
perceptual dan image rotation berkorlasi sangat tinggi, sedangkan verbal dan image lebih
kurang.
Kemudian, ada juga yang mencoba untuk mengoperasionalisasi teori multiple
intelligence oleh Gardner(1983, 1993) untuk menilai interkorelasi dan korelasi dengan tes
psikometri kecerdasan. Didapatkan hasil yang jelas bahwa hamper semua mental skill
berkorelasi secara substansial dengan psikometri kecerdasan; membentuk g factors yang
substansial; dan musical and body kinesthetic intelligence lebih terpisah dan interpersonal
intelligence lebih sulit untuk diukur.
Primary Mental Ability (PMA) oleh Thurstone juga mengandung g factor dan tidak
independen. Mungkin tantangan psikometrik terkuat untuk akun Spearman tentang
perbedaan kecerdasan adalah dari Godfrey Thomson (Bartholomew et al. 2009). Thomson
menemukan korelasi positif yang universal antar tes juga dapat muncul dari setiap tes
sampel subset dari banyak ikatan mental independen; dengan demikian teori "ikatan" atau
"pengambilan sampel" tentang kecerdasan.

Cognitive Correlates of Intelligence


Spearman (1904) mengajukan yang disebut dengan koresponden fungsional antara
general intelligence dan sensory discrimination. Setelah 97 tahun, ditemukan bahwa general
intelligence berkorelasi 0.21 dengan pitch discrimination dan 0.31 dengan color
discrimination.
JIka melihat waktu reaksi, Sheppard (2008) menemukan korelasi yang sedikit rendah
daripada yang diteliti oleh Deary et a. (2001). Sheppard memperhatikan komponen kognitif,
yang mana kompoen kognitif di klaim dapat diisolasi dari model reaksi waktu, untuk
meningkatkan korealasi terhadap kecerdasn (Deary, 2000). Situasi terkini adalah tampaknya
lower level mental task, seperti sensory discrimination, visual processing dan reaction time
telah cukup kuat signifikan dan jauh dari korelasi yang sepele dengan kecerdasan.

The Biology of Intelligence


1. Genetik
a. Behavior Genetics
Penelitian behavior genetics masih terus menyaring apa yang kita ketahui
tentang kontribui lingkungan dan gen terhadap kecerdasan, seperti efek
moderasi usia dan lingkungan social, dan membagikan pengaruh gen
terhadap ecerdasan dengan ukuran otak, processing speed, dan berat badan
saat lahir.
b. Molecular Genetics
Dari sebuah studi disimpulkan bahwa hingga kini belum ada varian gen
individu yang secara meyakinkan berhubungan dengan kecerdasan atau
perubahannya dengan usia pada individu yang sehat. Terdapat pengecualian
terhadap gen untuk apoliprotein E (APOE). Orang dengan alel e4 memiliki,
pada rata-rata, memiliki fungsi kognisi general yang lebih rendah. Efek ini
ditemukan pada late middle dan old age. Gen Val66Metpolymorphism
memiliki efek kecil terhadap kecerdasan.
2. Brain Imaging
a. Structural brain imaging
Orang yang memiliki otak yang lebih besar cenderung memiliki skor
kecerdasarn yang lebih tinggi.
b. Functional Brain Imaging
Jika dilihat dari daerah otak tertentu, volume gray matter berkorelasi
signifikan terhadap kecerdasan. Pada anak anak dan usia dewasa, terdapat
korelasi positif antara general intelligence dan ketebalan cortical pada otak
yang terdistribusi melalui bagian otak frontal, parietal, temporal, dan oksipital.
3. Fluctuating Asymmetry
Korelasi antara kecerdasan dan fluctuating asymmetry adalah -0.12 hingga -0.20.
Dengan kata lain, semakin tinggi kecerdasan otak semakin simetris.
Predictive Validity of Intelligence
1. Education, Occupation, and Social Mobility
Kecerdasan memiliki koreasi rata-rata dengan total jumlah studi, jumlah edukasi,
okupasi, dan pendapatan. Korelasi kecerdsan dan edukasi juga terhitung tinggi.
Penemuan umum menggunakan model structural equation pada kelompok British,
menemukan bahwa edukasi cenderung memediasi kecerdasan masa anak-anak
pada status sosioekonomi dewasa. Juga, efek kecerdasan pada edukasi lebih kuat
daripada kelas social orang tua, dan kerusakan perilaku masa kecil berkorelasi
signifikan terhadap kecerdasan dan mengkontribusikan beberapa jumlah variasi
untuk edukasi atau kelas social dewasa.
2. Health, Ilness and Death
Pada awalnya kesehatan tidak termasuk determinan kecerdasan, namun tidak
sekarang. Telah ditemukan bahwa korelasi social seperti edukasi dan kelas social,
berasosiasi dengan ketimpangan kesehatan. Pada salah satu jurnal ditemukan orang
yang memiliki skor tes mental yang rendah akan lebih cenderung sudah mati. Pada
survey tahun 1932, ditemukan bahwa standar deviasi yang lemah pada kecerdasan
anak usia 11 tahun berasosiasi dengan 21% lower survival hingga usia 76 tahun.
Beberapa tahun kemudian muncullah terminology “cognitive epidemiology” yang
menggambarkan area penelitian ini.
Secara prospektf, outcomes kesehatan fisik dan mental berasosiasi dengan
kecerdasan masa anak dan dewasa, terutama penyakit cardiovascular. Konsep ini
digunakan pada banyak kategori psikiatric disorder, dan standar deviasi kerugian
terhadap kecerdasan pada usia 20 telah berasosiasi dengan hospitalisasi
schizophrenia, mood disorder, dan disorder yang berkaitan dengan alcohol.
Kecerdasan masa anak yang rendah ja berasosiasi pada distress psikologis di usia
dewasa awal dan dewasa tengahl dan juga berasosiasi dengan resiko vascular
dementia. Jika dilihat pada aspek mortalitas, kecerdasan berhubungan dengan
kesehatan di masa yang akan dating.
Intelligence and Aging
Kemampuan kognitif manusia akan berubah sejalan dengan perjalanan usia. Efek
terbesar dari penuaan adalah terhadap general intelligence, dengan tambahan, terdapat
efek lebih kecil terhadap memeori dan kecepatan memproses, Wilson et al., (2002) juga
menemukan ketika satu aspek dari kecerdasan menurun, maka begitu pula pada aspek
yang lain.
Masih terdapat kontroversi apakah individu yang masa kecilnya memiliki kecerdasan
yang tinggi akan terjadi penurunan kecerdasan yang lebih jinak pada usia pertengahan dan
old age. Juga, masih menjadi diskusi mengenai permasalahan bagaimana memisahkan
penuaan bagi individu yang memiliki kognitif normal dengan penuaan kognitif yang
patologis.

Anda mungkin juga menyukai