Anda di halaman 1dari 9

PERLINDUNGAN KONSUMEN

Perlindungan hukum yang diberikan oleh pemerintah dengan diterbitkannya UU


Perlindungan Konsumen, kiranya kurang diketahui oleh konsumen. Sehinggga diperlukannya
penjelasan dan sosialisasi tentang pentingnya hukum perlindungan konsumen, sehingga para
produsen ataupun konsumen tidak ada yang dirugikan.
Berkaitan dengan hal ini sering kali konsumen hanya diam tidak tahu
mempertahankan atau memperjuangkan hak-haknya dengan melakukan gugatan ataupun
penuntutan secara hukum. Upaya yang diberikan oleh pemerintah terkait dengan
perlindungan konsumen dalam penggunaan klausula baku yang bersifat menghilangkan
tanggung jawab pelaku usaha adalah dalam bentuk memberikan pengawasan terhadap pelaku
usaha dan pembinaan terhadap konsumen, agar apabila terjadi sengketa konsumen dapat
mengajukan gugatan ataupun tuntutan sesuai dengan hak dan kepentingan yang dirugikan.
Berdasarkan pembahasan dan diskusi kelompok 2 mengenai waralaba dan lisensi, maka
dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Konsumen Mandiri yaitu konsumen yang mengerti hak dan kewajibannya dan dapat
menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari selaku konsumen. Ciri Konsumen Mandiri
adalah :

1. Sadar akan harkat dan martabat konsumen, mampu untuk melindungi diri sendiri
dan keluarganya;

2. Mampu menentukan pilihan barang dan jasa sesuai kepentingan, kebutuhan,


kemampuan dan keadaan yang menjamin keamanan, keselamatan, kesehatan
konsumen sendiri;

3. Jujur dan bertanggungjawab

4. Berani dan mampu mengemukakan pendapat, serta berani memperjuangkan dan


mempertahankan hak- haknya.

5. Berbudaya dan sadar hukum perlindungan konsumen;

sebagai salah satu ukuran kinerja pelaksanaan kebijakan Pemerintah, yaitu


Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Kemandirian
konsumen atau konsumen mandiri tersebut, dilihat dari 2 pendekatan, yaitu pertama,
faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kemandiran konsumen; kedua, kondisi
kemandirian yang dilihat dari rata-rata tingkat kemandirian (%) dan klasiflkasi
kemandirian. Kondisi tersebut, membawa implikasi kepada analisis lebih lanjut, yaitu
upaya apa saja yang dapat dilakukan untuk lebih meningkatkan kemandirian konsumen
sesuai dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya.

Dalam pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen tepatnya Undang-


Undang Nomor 8 Tahun 1999 pasal 3 yang berbunyi “ Meningkatkan pemberdayaan
konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen”

Yang menyatakan bahwa tujuan diterbitkannya Undang- Undang ini antara lain
adalah untuk meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk
melindungi diri; mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan jasa; meningkatkan
pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai
konsumen. Tujuan ini terkait erat dengan upaya membentuk konsumen yang mandiri.
Dalam Undang-Undang ini terdapat 9 hak dan 4 kewajiban konsumen, yang bila
diterapkan dapat diindikasikan sebagai bentuk kemandirian seorang konsumen.

2. Hukum perlindungan konsumen saat ini efektif untuk melindungi konsumen, khususnya
untuk jual beli online mengingat banyaknya kasus penipuan yang terjadi karena jual beli
online dasar-dasar hukumnya.

Perlindungan hukum bagi pembeli atau konsumen yang mengalami kerugian akibat
jual beli electronic commerce dalam UU ITE telah diatur dalam Pasal 28 ayat 1
mengenai kerugian konsumen dalam e-commerce. Sebagaimana dimaksudkan pada
pasal 19 UUPK yang dimaksud mengatur tanggung jawab ganti rugi. Tanggung jawab
pelaku usaha terhadap pembeli dalam jual beli online melalui dunia maya internet
memang secara umum belum diatur baik dalam undang-undang perlindungan
konsumen maupun undang-undang informasi dan transaksi elektronik Dalam UUPK
itu sendiri hanya mengatur jual-beli secara tradisional sedangkan UU ITE mengatur
tentang transaksi elektronik pada umumnya. Pemerintah sebagai regulator sekaligus
penyelenggara sistem pengadaan e-commerce wajib membuat dan mensosialisasikan
peraturan hukum yang mengikat bagi pelaku usaha dan konsumen guna
menghindari dari ketidakpastian hukum yang ada. Hal ini juga berlaku pada proses
pertanggungjawaban pelaku usaha apabila melakukan wanprestasi terhadap perjanjian
jual-beli yang telah disepakati bersama konsumen.

Masyarakat sekaligus berperan sebagai konsumen e-commerce jangan hanya


tergiur harga murah namun juga harus lebih jeli, teliti dan paham bagaimana sistem jual-
beli melalui e-commerce . Ini berhubungan pula dengan hak yang dimiliki konsumen
guna mempertahankan dan menegakkan haknya sebagai pengguna produk

Di Indonesia saat ini belum ada undang-undang khusus yang mengatur mengenai
transaksi online. Begitu pula dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik yang belum dapat digunakan sebagai dasar
menangani kasus penipuan dalam transaksi online di Indonesia. Undang-undang di
Indonesia saat ini yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam hal ini adalah Undang-
undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) karena bertujuan
untuk menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian
hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi, meskipun di
dalamnya tidak secara khusus mengatur transaksi online. Beberapa pasal yang dapat
dijadikan pedoman dalam menyelesaikan kasus penipuan pada transaksi online adalah
sebagai berikut:

1. Pasal 8 ayat (1) huruf d, e, dan f yang menyebutkan bahwa pelaku usaha dilarang
memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak sesuai
dengan mutu, kondisi maupun janji sebagaimana dinyatakan dalam label, keterangan,
iklan maupun promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut.
2. Pasal 16 huruf a dan b yang menyebutkan bahwa pelaku usaha dalam menawarkan
barang dan/atau jasa melalui pesanan dilarang untuk tidak menepati pesanan dan/atau
kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang dijanjikan serta dilarang untuk
tidak menepati janji atas suatu pelayananan dan/atau prestasi.

Jadi misalkan ada konsumen yang membeli barang namun ternyata barang itu tidak
sesuai dengan informasi online yang tercantum, atau konsumen mengalami penipuan. Hal
ini dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap hak konsumen dalam Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Jadi  konsumen bisa
menuntut kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian karena pada dasarnya konsumen
berhak mendapatkan barang yang sesuai dengan apa yang telah diperjanjikan.

3. Apabila dalam transaksi lintas batas yang menggunakan e-commerce pelaku usaha
melanggar hak konsumen. Bagaimana mekanisme penyelesaiannya? dasar hukum terkait
pernyataan tersebut.
Sebagai konsumen tentunya kita ingin mendapat pelayanan terbaik dari pelaku
usaha. Namun seringkali perbuatan pelaku usaha malah merugikan konsumen. Padahal
konsumen mimiliki hak yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha, yaitu hak atas
kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa, hak
atas informasi yang benar tentang kondisi barang dan jasa, hak untuk mendapat
perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut dan
hak lainnya yang diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Terkait hal ini, konsumen dapat melaporkannya ke pihak berwajib atau ke BPSK
jika memang dianggap perlu. Ini diatur oleh Keputusan Menperindag No.
350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK, yaitu:
a. Konsumen melakukan pengaduan kepada BPSK baik secara tertulis atau lisan tentang
terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
b. Terkait pengaduan ini, BPSK melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa
perlindungan konsumen
c. Penyelesaian sengketa konsumen wajib diselesaikan dalam waktu 21 hari kerja sejak
permohonan diterima oleh Sekretariat BPSK. Penyelesaian sengketa melalui BPSK
dilakukan melalui persidangan dengan cara konsiliasi, mediasi atau arbitrase.

Kemudian nanti akan diperoleh putusan arbitrase Majelis BPSK yang dapat berupa
perdamaian, gugatan ditolak, atau gugatan dikabulkan serta dapat memuat sanksi
administratif.

4. Bagaimana untuk melakukan perlindungan konsumen dari bisnis online seperti pada
kondisi pandemi yang ada saat ini
Beragam insiden perlindungan konsumen diberbagai sektor yang terjadi  di masa
pandemi COVID-19, diantaranya yaitu  pangan, kesehatan, e-commerce, listrik,
telekomunikasi, dan masih banyak yang lainnya sehingga perlu upaya pencegahan dan
juga pemulihan atas insiden yang terjadi.
1) Jaminan keamanan Keselamatan dan Kenyamanan dalam Konsumsi Produk
Peningkatan kegiatan online dimasa pandemik ini juga telah menimbulkan
kekhawatiran atas perlindungan dan penyalahgunaan data pribadi konsumen baik
ketika transaksi online maupun pada saat melakukan videoconferencing. Ada kasus,
dimana konsumen yang sudah menyelesaikan transaksi alat kesehatan disalah satu
platform, dengan permintaan login akun dan berbagai interaksi lainnya akhirnya pihak
penjual (penipu)berhasil mengambil alih akun dan membajaknya (phishing).
Konsumen sudah melaporkan ke pihak platformnamun tindakan yang diambil pihak
platform hanya melakukan pemulihan akun konsumen dan tidak bertanggungjawab
atas kerugian materiil dan immaterial yang dialami konsumen. Konsumen butuh
Jaminan Keamanan, Keselamatan dan Kenyamanan dalam mengkonsumsi barang
dan/atau jasa. Maknanya konsumen berhak untuk mendapatkan jaminan dalam
mengkonsumsi produk maupun jasa secara aman, nyaman dan bebas dari ancaman
segala aspek bahaya baik ketika melakukan transaksi maupun disaat mengkonsumsi
barang atau jasa yang dimaksud.
2) Jaminan Informasi yang Benar, Jelas dan Jujur
Dalam masa pandemi COVID-19 ini kebutuhan informasi yang akurat meliputi
penanganan konsumen sebagai pasien, informasi produk, baik yang tersedia dilabel
produk maupun iklan, serta ketersediaan bahan pokok sehingga konsumen dapat
mengambil keputusan akurat untuk membeli barang dan jasa apa dan dimana. Sejak
merebaknya COVID-19, akses terhadap jasa dan informasi online yang bisa dipercaya
menjadi semakin penting dibandingkan dengan sebelum  masa pandemi, dalam
kenyataanya di media online sekarang banyak ditemukan laman-laman yang
menawarkan barang dan jasa yang diragukan kesahihannya, dimana banyak kasus
konsumen yang membeli barang/jasa dari laman yang dimaksud tidak pernah
menerima barang/jasa yang mereka beli. Hal ini sangat riskan
bagi konsumen online yang baru, dimana mereka akan dengan mudah terjebak iming-
iming menggiurkan yang dicantumkan dilaman yang bersangkutan. Juga telah muncul
berbagai laporan dan komplain konsumen mengenai produk yang menyatakan
berkhasiat mencegah COVID-19, padahal kita tahu saat ini banyak perusahaan obat-
obatan yang masih berkutat untuk menghasilkan vaksin penawar.
3) Penanganan keluhan
Konsumen mengalami berbagai tekanan ekonomi ditengah pandemik. Pengemudi
ojek online mengalamipenurunan pesanan. Pegawai dirumahkan bahkan di PHK.
Kemampuan daya beli dan membayar cicilanmenurun. Jangankan untuk membayar
pinjaman, makan sehari-hari pun sulit. Konsumen memiliki itikad baikuntuk mencicil
dan membayar kewajiban sebagai debitur. Tanpa pembayaran cicilan, debtcollector
fintech legaldan terdaftar di OJKpun tega menagih dengan cara kasar dan tidak
manusiawi. Disaat konsumen menghubungi pelaku usaha untuk menyampaikan
keluhannya, namun tidak mendapat tanggapan Perlu disiapkan ketersediaan jalur
komunikasi untuk menyampaikan keluhan atau komplain. Untuk itu konsumen
memerlukan pihak ketiga sebagai sarana untuk mengadukan kasus dan keluhannya.
4) Kompensasi dan ganti rugi
Berbagai pembatasan pergerakan sosial yang yang diberlakukan telah
mengakibatkan terjadinya banyak pembatalan atau tidak terpenuhinya transaksi atau
kontrak, penurunan mutu serta dampak lain yang merugikan konsumen. Sebagai
contoh pada transportasi darat seperti kereta api, PT Kereta Api Indonesia(Persero)
atau KAI akan mengembalikan biaya tiket 100 persen atas pembatalan
keberangkatanselama masa darurat bencana wabah virus corona, Namun situasinya
berbeda dengan transportasi udara.Badan usaha angkutan udara wajib mengembalikan
biaya tiket secara penuh atau 100% (seratus persen)kepada calon penumpang yang
telah membeli tiket dengan melakukan jadwal ulang, reroute, kompensasi poin,hingga
pemberian voucher tiket. Hal ini menjadi permasalahan karena konsumen ingin
mendapatkan pengembalian biaya tiket dalam bentuk uang tunai karena keperluan
untuk berangkat ke suatu tempat terkaitdengan even khusus yang harus dihadirinya,
yang dibatalkan karena COVID-19, tidak dibutuhkan lagi sehingga bentuk kompensasi
lain yang ditawarkan pihak maskapai penerbangan tidak berguna. Konsumen
menganggapada diskriminasi kebijakan antara transportasi darat dengan transportasi
udara oleh pemerintah.

Dalam Disrupsi Perlindungan Konsumen yang terjadi dimasa pandemik COVID-


19 ini menuntut adanya perubahan perilaku dan kerjasama tiga pelaku utama ekonomi
yaitu Konsumen, Pelak Usaha dan Pemerintah sebagai regulator sehingga kepercayaan
bertransaksi (confidence to transact) antara konsumen dan pelaku usaha tetap terjaga
selama terjadinya masa pandemi. Pelaku usaha dituntut untuk jujur dan tidak mengail
diair keruh dan senantiasa memperhatikan hak-hak konsumennya. Khusus untuk
pemerintah, peran tambahannya adalah membantu untuk meringankan beban keuangan
masyarakat sebagai konsumen yang berhak mendapatkan paket stimulus keuangan
khusus untuk menjaga daya beli konsumen.

Jai dalam menghadapi  pandemi COVID-19  ini diperlukan keterlibatan dan peran


semua pihak, konsumen harus pintar dalam bertransaksi, pelaku usaha menaati regulasi
yang sudah ada, pemerintah memperketat pengawasan.  "Di masa COVID-19  ini
konsumen beralih mengunakan media online untuk bertransaksi dan melakukan kegiatan
sehingga langkah ke depan yang harus segera diambil adalah percepatan perluasan
jangkauan platform online yang tangguh dalam menghadapi tantangan masa datang yang
didasarkan pada inovasi untuk dapat  menjangkau golongan konsumen yang lemah dan
kurang beruntung. Perluasan jangkauan dimaksud harus didasarkan pada prinsip dasar
keamanan, privasi dan peningkatan tanggung jawab platform untuk keamanan produk,
kesinambungan dan akuntabilitas. Selain itu aspek kebersihan dan Kesehatan dalam
bertransaksi juga akan menjadi hal yang penting dimasa yang akan datang, terutama
transaksi yang berkaitan dengan barang konsumsi. Perubahan tatanan ini
diperkirakanakan terus bertahan pasca COVID-19, Masa pandemi ini seharusnya
dijadikan pembelajaran yang luar biasa bagi kita dengan berbagai fenomena yang justru
berpotensi menjadi "New Normal" setelah masa pandemi ini berlalu ”.

5. Bagaimana penjaminan dari usaha pinjaman online dan apa yang harus dilakukan apabila
terjadi suatu penipuan terhadap konsumen
Di era ekonomi digital saat ini, banyak inovasi-inovasi pembiayaan yang
berkembang di masyarakat, salah satunya adalah pinjam - meminjam uang yang
dilakukan dengan mengandalkan teknologi digital. Hal ini ditandai dengan
berkembangnya Layanan Jasa Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi
(dikenal dengan Fintech) yang dinilai turut berkontribusi terhadap pertumbuhan
ekonomi. Melalui pinjam - meminjam uang berbasis teknologi informasi mempermudah
masyarakat dalam pemenuhan dana tunai secara cepat, mudah, dan efisien.
Dalam kegiatan penjimanan online, dasar hukumnya adalah Layanan Pinjam
Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi yang diatur sesuai Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 Tahun 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam
Uang Berbasis Teknologi Informasi (“POJK 77/2016”). Layanan Pinjam Meminjam
Uang Berbasis Teknologi Informasi adalah penyelenggaraan layanan jasa keuangan
untuk mempertemukan pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman dalam rangka
melakukan perjanjian pinjam meminjam dalam mata uang rupiah secara langsung melalui
sistem elektronik dengan menggunakan jaringan internet. Beberapa ketentuan penting
yang mengatur pinjaman online P2P adalah:
a. Badan hukum Penyelenggara Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi
Informasi (“Penyelenggara”) berbentuk: Perseroan Terbatas; atau Koperasi
b. Dapat didirikan dan dimiliki oleh: warga negara Indonesia dan/atau badan hukum
Indonesia; dan/atau warga negara asing dan/atau badan hukum asing.
c. Modal pendirian paling sedikit Rp 1 Miliar d. Batas maksimum total pemberian
pinjaman dana ditetapkan sebesar Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Disamping Peraturan dari OJK, pinjaman online P2P harus juga mematuhi peraturan
dari Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), yang antara lain menetapkan
bahwa:

1. Maksimum bunga per hari adalah 0.8%. Tidak boleh memberikan bunga lebih tinggi
dari ketentuan ini.
2. Total bunga dan biaya adalah 100% dari pokok pinjaman. Misalnya, pinjaman Rp 1
juta maka biaya dan bunga maksimum Rp 1 juta.

Pinjaman online dibuat berbasiskan P2P – Peer To Peer, yang artinya uang yang
dipinjamkan bersumber dari dana pemberi pinjaman. Pemberi pinjaman tentu saja
mengharapkan bahwa uang yang mereka salurkan melalui perusahaan P2P akan kembali
dengan bunga. Kalau ada pinjaman yang menunggak, pemberi pinjaman pasti menuntut.
Meminta uang mereka dikembalikkan.

Anda mungkin juga menyukai