Anda di halaman 1dari 11

ISTIHSAN DAN ISTISHAB

A. PENDAHULUAN
Islam adalah agama yang menghendaki kemudahan bagi setiap pemeluknya.
Syariat Islam sejatinya tidaklah memberikan kesulitan kepada umat selagi mereka
mau berfikir dan mengembalikan segalanya hanya kepada Allah, bertawakal serta
meresapi hikmah-hikmah yang terkandung dalam penetapan sebuah syari’at. Konsep
Islam yang rahmatan lil alamin jelas menunjukkan kehujjahan Islam yang bersifat
universal dan pada hakekatnya bisa menjadi logis berdasar pandangan seorang
orientalis maupun misionaris sekalipun.
Pensyariatan hukum Islam tertinggi adalah al Quran dan al Hadits. Kemudian
menyusul di bawahnya yakni ijma’ dan qiyas. Istihsan dan Istishab sendiri merupakan
akhir dalil syara’ yang dijadikan tempat kembali oleh para mujtahid untuk
mengetahui hukum suatu peristiwa yang dihadapkan kepadanya.
Dalam tulisan kami kali ini, akan berusaha kami rinci mengenai pengertian
istihsan dan istishab itu sendiri, kehujahannya termasuk tokoh yang kontra terhadap
keduanya hingga macam-macamnya. Kesemuanya kami rinci dalam rumusan
masalah tersendiri sehingga memudahkan dalam hal pemilahan kedua inti masalah
tadi yakni istihsan dan istishab.
Kami berharap semoga setelah membaca tulisan ini para pembaca bisa lapang
pengetahuan terutama tentang sandaran hukum Islam yang tergolong jarang
dibicarakan ini. Akhirnya penulis ucapkan selamat menikmati karya kami.
B. RUMUSAN MASALAH
Dalam rumusan masalah makalah Istihsan dan Istishab ini, kami mengangkat
beberapa topik bahasan, antara lain:
1. Pengertian Istihsan dan pendapat beberapa ulama’ ushul tentan Istihsan
2. Kehujahan Istihsan
3. Pembagian Istihsan beserta contoh-contohnya
4. Pengertian Istishab dan pendapat beberapa ulama tentang Istishhab
5. Kehujjahan Istishab
6. Pembagian Istishab beserta dalil ashl dan contoh-contohnya

1
C. PEMBAHASAN
ISTIHSAN
1. Pengertian Istihsan
Dari segi bahasa, istishan berasal dari bahasa Arab yang musytaq dari
lafadh hasana yang berarti baik atau indah, kemudian dalam otak-atik ilmu
shorof meranah pada wazan istaf’ala: istihsana – yastahsinu – istihsanan
(mashdar) yang berfaidah tholabiyah, jadi istihsanan dapat diartikan mencari
kebaikan, menganggap baik sesuatu1.
Sedang menurut istilah Ulama’ Ushul, istihsan adalah berpindahnya
seorang mujtahid dari tuntutan qiyas jail (nyata) kepada qiyas khafi (samar)
atau dari hukum kulli (umum) kepada hukum pengecualian karena ada dalil
dan dimenangkan olehnya perpindahan ini (hukum juz’i).2
Pendapat beberapa tokoh ushul terntang pengertian istihsan,
diantaranya:
a. Imam al Bazdawi (400-482 H/1010-1079 M ), seorang hanafiyyah.
Istihsan adalah berpaling dari kehendak qiyas kepada yang lebih
kuat atau pengkhususan qiyas berdasarkan dalil yang lebih kuat serta lebih
sesuai dengan kemashlahatan umat manusia.
b. Imam Malik (hasil nukilan dari Imam Syatibi, w. 790 H, malikiyyah
Istihsan adalah memberlakukan kemaslahatan juz’i ketika
berhadapan dengan kaidah umum.
c. Imam Ibn Qudamah (541-620 H/1147-1223 H ), ahli ushul Hanabillah
Berpaling dari hukum dalam suatu masalah disebabkan adanya dalil
khusus yang menyebabkan pemalingan ini, baik dari ayat al Quran
maupun dari Sunah Rasul3.
Sedang dari pihak Syafi’iyah, tidak ditemukan definisi dari istihsan
karena sejak semula mereka tidak menerima istihsan sebagai satu dalil
dalam menetapkan hukum syara’. “Barang siapa menggunakan istihsan,
sesungguhnya ia telah membuat-buat syara’ ”. Akan tetapi secara

1
Chaerul Umam, Ushul Fiqih I, Pustaka Setia, Bandung, 2000, hal 117.
2
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta 1996, hal. 120.
3
Chaerul Umam, Ushul Fiqih I, hal 120.

2
substansial syafi’iyah menerima penghujaha istihsan asalkan tidak
menyentuh ranah istihsan dengan dalih meninggalkan qiyas karena adat
kebiasaan (urf). Sebagaimana diketahui bahwasanya istihsan ada empat
bentuk yakni; meninggalkan qiyas jalli guna mengambil qiyas khofi,
meninggalkan qiyas karena mengikuti pendapat sahabat, meninggalkan
qiyas karena ada hadits yang lebih tepat dan meninggalkan qiyas karena
urf4.
Bentuk keempat itulah yang diharamkan oleh syafi’iyah. Seandainya
istihsan itu diperbincangkan dengan baik kemudian ditetapkan pengertian
yang disepakati, tentulah perbedaan itu dapat dikurangi5.
2. Kehujjahan Istihsan
Istihsan sebenarnya semacam qiyas yaitu memenangkan qiyas khafi
atas jali atau mengubah hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa
atau kejadian yang telah ditetapkan berdasar ketentuan karena ada suatu
kepentingan yang membolehkannya6. Keduanya adalah istidlal yang shahih.
Alasan kehujjahannya:
a. Surah al Baqarah 185 yang artinya:
“.... Allah menghendaki ke kemudahan bagi kamudan tidak
menghendaki kesukaran bagi kamu .....”
b. Surah az Zumar ayat 55:
“Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dan
Tuhanmu ...”
c. Hadits riwayat Abdullah bin Mas’ud:
“Sesuatu yang dipandang baik oleh umat Islam, maka ia juga baik di
hadapan Allah”7.
3. Pembagian Istihsan beserta contoh-contohnya
Berdasarkan pengertiannya, istihsan dirinci menjadi dua:
a. Istihsan berupa perpindahan dari qiyas jalli ke qiyas khafi.

4
Chaerul Umam, Ushul Fiqih I, hal 121.
5
Muin Umar dkk, Ushul Fiqih I, Depag RI, Jakarta,1985, hal.144.
6
Muin Umar dkk, Ushul Fiqih I, hal.143.
7
Chaerul Umam, Ushul Fiqih I, hal 147-148.

3
Untuk lebih mudah dalam memahaminya, kami sajikan aplikasi nyata
dengan contoh rincian yang pertama ini:
1) Seorang mewakafkan sebidang tanah. Menurut qiyas jalli, waqaf
diqiyaskan dengan jual beli sehingga hak-hak pengairan, membuat
saluran diatas tanah itu dan sebagainya tidak dapat dipenuhi karena jual
beli yaitu hanya berupa pemindahan hak milik dari penjual kepada
pembeli sedang tujuan utama wakaf adalah agar barang yang
diwakafkan dapat dimanfaatkan. Maka berdasar istihsan, permasalanan
itu diqiyaskan menurut qiyas khofi yakni dinisbatkan dengan sewa-
menyewa. Inti dari sewa-menyewa adalah sama dengan wakaf yakni
kemafaatannya. Karena suatu kepentingan (irigasi dsb) maka
diberlakukanlah perpindahan dari qiyas jalli ke qiyas khafi, dari nisbat
jual beli ke sewa-menyewa.
2) Madzhab hanafi menetapkan hukum bahwa sisa minuman burung buas
seperti elang, gagak adalah suci untuk diminum manusia berdasarkan
istihsan. Berdasar qiyas jalli, sisa minuman binatang buas seperti
anjing, darang burung buas adalah haram diminum karena sisa
minumannya telah bercampur dengan air liur dan diqiyaskan dengan
keharaman dagingnya. Teyapi dari qiyas khafi, burung buas memiliki
mulut berbeda dengan binatang buas. Mulut binatang buas dari daging
yang jelas keharamannya akan tetapi burung buas berupa paruh yang
terdiri dari tulang dan zat tanduk yang hukumnya tidak najis. Karena
itu, sisa minuman burung buas tidak bertemu degan dagingnya karena
perantara paruh tersebut. Jadi, berdasarkan qiyas khafi ini, bekas
minuman burung buas dihukumi halal.
b. Istihsan perpindahan dari hukum kulli (umum) pada hukum pengecualian.
1) Syara’ telah melarang menjual atau mengadakan kontrak (akad) barang
yang tidak ada ditempat akad, ini dinamakan hukum kulli. Akan tetapi
terdapat pengecualian yang kemudian dimenangkan yakni akad sewa
menyewa, pemesanan (salm), akad muzara’ah yang kesemuanya tidak
berlangsung pada saat aqad. Alasan dari istihdan hulum kulli ke

4
pengecualian ini yaitu karena kebutuhan manusia dan agar mereka
saling kenal mengenal.
2) Menurut hukum kulli, seorang pemboros (safh) yang memiliki harta di
bawah perwalian seseorang, karena itu, ia tidak dapat membelanjakan
hartanya tanpa seijin walinya. Dalam hal ini, dikecualikan transaksi
berupa wakaf. Pemboros tadi boleh melakukan atas namanya sendiri
karena dengan wakaf itu, hartanya terpelihara dari kehancuran dan
sesuai dengan tujuan diadakannya perwalian yaitu untuk memelihara
hartanya. Pengecualian transaksi wakaf itulah yang dinamakan istihsan.

ISTISHHAB
4. Pengertian Istishab
Dari segi bahasa, Isishhab berasal dari kata suhbah yang berarti menemani
atau menyertai (tidak berpisah)8, mengakui adanya hubungan perkawinan9,
mencari sesuatu yang ada hubungannya10.
Sedang menurut istilah istishhab adalah menetapkan sesuatu menurut
keadaan sebelumnya sehingga terdapat dalil yang menunujukkan perubahan
keadaan atau menjadikan hukum yang telah ditetapkan pada masa lampau secara
kekal menurut keadaan hingga terdapat dalil yang menunjukkan atas
perubahannya.
Pandangan beberapa tokoh ushul tetang Istishhab :
a. Ibn Qayyim : Ishtishhab adalah menetapkan berlakunya hukum yang telah ada
atau meniadakan apa yang memang tiada sampai adanya dalil yang mengubah
kedudukan berlakunya hukum itu.
b. Imam Asnawi : Istishhab adalah melanjutkan berlakunya hukum yang telah
ada yang telah ditetapkan karena suatu dalil sampai ada dalil lain yang
mengubah hukum-hukum tersebut.

8
Chaerul Umam, Ushul Fiqih I, hal 143.
9
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, hal. 137.
10
Muin Umar dkk, Ushul Fiqih I, hal.155.

5
c. Imam al Ghazali : Istishhab adalah berpegang pada suatu dalil atau dalil syar’i
bukan karena tiadanya adail bahkan hanya karena tidak ada dalil lain yang
mengubah hukum tersebut.
Sehingga terang bahwasanya apabila ada suatu perkara sudah ditetapkan
pada suatu waktu maka ketentuan hukumnya tetap seperti itu sebelum ada dalil
baru yang mengubahnya. Sebaliknya apabila ada suatu perkara ditolak pada suatu
waktu, maka penolakan tersebut tetap berlaku sampai akhir masa sebelum
terdapat dalil yang menerima (mentsabitkan) perkara itu.
5. Kehujjahan Istishab
Ishtishab adalah akhir dalil syara’yang dijadikan tempat kembali seorang
mujtahid untuk mengetahui hukum suatu peristiwa yang dihadapkan kepadanya
karena para ulama ushul telah berkata : “Sesungguhnya Istishhab adalah tempat
terakhir beredar fatwa11”. Istishhab sebenarnya bukanlah suatu cara menetapkan
hukum (thuruqul isthimbath) tetapi pada hakikatnya ia adalah menguatkan atau
menyatakan tetap berlaku suatu hukum yang pernah ditetapkan karena tidak ada
yang mengubah atau yang mengecualikannya12.
Ada tiga pendapat ulama ushul tentang kehujjahan istishhab:
a. Mayoritas pengikut Malik, Syafi’i, Ahmad bin Hanbal dan sebagian Hanafi,
berpendapat bahwa istishhab dapat menjadi hujjah dalam menetapkan hukum
syara’ sebelum ada dalil yang mengubahnya.
b. Sebagian besar dari ulama’ mutaakhirin, Hanafi berpendapat bahwa istishhab
dapat menjadi hujjah dalam menetapkan hukum syara’ bukan untuk
menetapkan hukum baru.
c. Segolongan ulama mutakallimin seperti Hasan al Bashri dan yang sependapat
dengannya berpendapat bahwa istishhab secara mutlak tidak dapat
dipakai/dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum syara’ karena hukum yang
ditetapkan adalah hukum yang sama pada masa lampau yang menghendaki
adanya dalil. Istishhab menurut mereka bukan dalil oleh karena itu,
menetapkan hukum yang telah ada di masa lampau dan berlangsung untuk

11
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, hal. 136.
12
Muin Umar dkk, Ushul Fiqih I, hal 156.

6
masa yang akan datang berarti menetapkan suatu hukum tanpa dalil. Hal ini
tidak dibenarkan syara’.
Yang benar, menganggap ishtishab itu sebuah dalil hukum adalah boleh,
karena dalil itu pada hakikatnya adalah dalil yan telah menetapkan hukum
tersebut. Pada dasarnya istiishhab adalah hujjah atas ketetapan sesuatu yang telah
ada menurut menurut keadaan semula dan juga mempertahankan sesuatu yang
berbeda dengannya sampai ada dalil yang menetapkan akan perbedaannya13.
6. Pembagian Istishab beserta ashl dan contoh-contohnya
a. Istishhab berdasarkan hukum syara’
Pada hakekatnya istishhab jenis ini adalah mengokohkan hukum
syara’ yang pernah ditetapkan. Kaidah-kaidah ashl dari istishhab hukum
syara’ diantaranya:
ِ ‫اَلْي ِقنْي ُ اَل يز ُال بِالش‬
‫َّك‬ َُ َ
“Keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan keraguan”.
Dari kaidah di atas beberapa permasalahan yang bisa dirumuskan
antara lain :
1) Barang siapa ragu-ragu dalam rakaat sholatnya, apakaah dia telah
melaksanakan tiga atau empat rakaat, maka berdasarkan istishhab
maka rakaat yang lebih terang baginya adalah tiga mengingat unsur
kehati-hatian di dalamnya.
2) Barang siapa yakin bahwa dia dalam keadaan suci akan tetapi
kemudian dia ragu-ragu tentang kehadasannya maka sesunguhnya dia
adalah suci karena keraguan yang muncul terhadap batalnya wudhu itu
tidak bisa mengalahkan keyakinan akan kesuciannya.
3) Barang siapa yakin bahwa dia sedang hadas dan ragu-ragu tentang
kesuciannya maka sebenarnya dia dalam keadaan berhadas14.
Contoh di atas kedua dan ketiga di atas sesuai dengan Hadits
riwayat Muslim dari Abi Hurairah : ”Jika seseorang merasakan sakit
perutnya lalu ia ragu apakah ada sesuatu yang keluar atau tidak maka

13
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, hal. 140.
14
Abdul Hamid Hakim, Mabadiul Awaliyah, Maktabah Sa’adiyah Putra, Jakarta, tt, hal. 25.

7
sekali-kali jangan ia keluar dari masjid sampai kamu mendengar suara
atau mencium bau15”.

ُ‫ت َما يُغَِّيُره‬


ُ ُ‫َص ُل َب َقاءُ َما َكا َن َعلَى َما َكا َن َحىَّت َيثْب‬
ْ ‫اَأْل‬
‫َص ُل َب َقاءُ َما َكا َن َعلَى َما َكا َن َحىَّت َي ُق ْو ُم الدَّلِْي ُل َعلَى ِخاَل فِ ِه‬
ْ ‫اَأْل‬
“Ashl (pokok) nya sebuah hukum adalah sebuah perkara dari
perkara lainnya sehingga terdapat dalil lain yang mengubahnya dan juga
disebut ashl adalah tetapnya sebuah hukum terhadap yang lainnya hingga
ada dalil yang berlawanan dengannya”.

Permasalahan yang dapat diputuskan bedasar ashl di atas antara


lain:
1) Perkawinan antara laki-laki A dengan perempuan B kemudian mereka
berpisah dan berjauhan selama 15 tahun. Karena lama berpisah, B
ingin menikah dengan laki-laki C. Berdasarkan istishab ashl di atas,
maka B dan C belum dapat menikah karena masih terikat perkawinan
dengan A dah belum bercerai.
2) Dihalalkan memakan apa saja yang ada di muka bumi untuk
kemanfaatan manusia (QS. Al Baqarah: 29), kecuali ada yang
mengubah atau mengecualikan hukum itu. Oleh karena itu,
ditetapkanlah kehalalan memakan sayur-sayuran dan binatang-
binatang selama tidak ada dalil yang mengubah dan
mengecualikanya16.
3) Barang siapa makan pada akhirnya malam dan dia ragu apakah sudah
terbit fajar atau belum maka puasanya tetap sah mengingat dalil ashl
nya yaitu tetapnya malam.
4) Barang siapa makan pada akhirnya siang tanpa ijtihad terlebih dahulu
tentang berbukanya dan dia ragu akan tergelincirnya matahari maka
puasanya batal karena ashl nya adalah tetapnya siang17.

15
Chaerul Umam, Ushul Fiqih I, hal. 149.
16
Muin Umar dkk, Ushul Fiqih I, hal 156.
17
Abdul Hamid Hakim, Mabadiul Awaliyah, hal. 26.

8
b. Istishhab berdasarkan akal
ِ
َ َ‫َص ُل ىِف اأْل َ ْشيَاء اإْلِ ب‬
ُ‫احة‬ ْ ‫اَأْل‬
“Ashl dari semua perkarah adalah kebolehan”.
Permasalahan yang menaunginya diantaranya:
1) Seorang mujtahid ditanya tentang hukum binatang dan benda-benda
atau makanan dan minuman akan tetapi dia tidak menemukan dalil
syara’ mengenai hukumnya, maka dihukumi atas kebolehannya
mengingat pangkal dari setiap perkara adalah boleh.
2) Hukum minum khomr pada mulanya adalah mubah (boleh) sampai
turun ayat ke 90 dari surah al Maidah yang mengharamkannya.

‫الذ َّم ِة‬


ِّ ُ‫َصل َبراءَة‬
َ ُ ْ ‫اَأْل‬
“Pokok dari sesuatu adalah kebebasan dari sebuah tanggungan”.
Contoh dari kaidah ini adalah ketika sumpah dikenakan pada
seorang yang didakwa, maka berdasar istishhab sumpahnya tidak bisa
diterima karena pokonya adalah bebasnya dia dari tanggungan mengingat
yang wajib berikrar sumpah hanya orang yang mendakwa.

D. KESIMPULAN
Istihsan adalah berpindahnya seorang mujtahid dari tuntutan qiyas jail (nyata)
kepada qiyas khafi (samar) atau dari hukum kulli (umum) kepada hukum
pengecualian karena ada dalil dan dimenangkan olehnya perpindahan ini (hukum
juz’i).
Istihsan sebenarnya semacam qiyas yaitu memenangkan qiyas khafi atas jali
atau mengubah hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang
telah ditetapkan berdasar ketentuan karena ada suatu kepentingan yang
membolehkannya.
Istihsan dirinci menjadi dua macam yakni perpidahan dari qiyas jalli ke qiyas
khafi dan perpindahan dari hukum kulli ke hukum pengecualian.

9
Istishhab adalah menetapkan sesuatu menurut keadaan sebelumnya
sehingga terdapat dalil yang menunujukkan perubahan keadaan atau menjadikan
hukum yang telah ditetapkan pada masa lampau secara kekal menurut keadaan
hingga terdapat dalil yang menunjukkan atas perubahannya.
Istishhab sebenarnya bukanlah suatu cara menetapkan hukum (thuruqul
isthimbath) tetapi pada hakikatnya ia adalah menguatkan atau menyatakan tetap
berlaku suatu hukum yang pernah ditetapkan karena tidak ada yang mengubah
atau yang mengecualikannya.
Istishhab ada dua macam yakni istishhab dari dalil syara’ dan istishhab
berdasarkan akal pikiran.

10
DAFTAR PUSTAKA

Umam Chaerul, Ushul Fiqih I, Pustaka Setia, Bandung, 2000.


Khallaf Abdul Wahab, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, PT. RajaGrafindo Persada,
Jakarta 1996.
Umar Muin dkk, Ushul Fiqih I, Depag RI, Jakarta,1985.
Abdul Hamid Hakim, Mabadiul Awaliyah, Maktabah Sa’adiyah Putra, Jakarta, tt.

11

Anda mungkin juga menyukai