Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kematian jantung mendadak (SCD) adalah kematian akibat kehilangan fungsi jantung.
Korban mungkin atau mungkin tidak memiliki didiagnosa penyakit jantung. Waktu dan cara
kematian yang tak terduga. Hal ini terjadi dalam beberapa menit setelah gejala muncul. Alasan
yang mendasari paling umum untuk pasien mati mendadak dari serangan jantung adalah penyakit
jantung koroner (buildups lemak dalam arteri yang memasok darah ke otot jantung). Sehingga
pembuluh darah sempit, otot jantung bisa berhenti karena kekurangan suplai darah.
Dari 90 % korban dewasa sudden cardiac death (SCD), dua atau lebih dari korban
disebabkan karena arteri koroner utama menyempit oleh lemak. Sedangkan dua-pertiga dari
korban ditemukan bekas luka dari serangan jantung sebelumnya. Ketika kematian mendadak
terjadi pada orang dewasa muda, kelainan jantung lainnya merupakan penyebab yang lebih
mungkin. Adrenalin dilepaskan selama aktivitas fisik atau olahraga yang sering menjadi pemicu
munculnya SCD. Dalam kondisi tertentu, berbagai obat jantung dan obat lainnya, serta
penyalahgunaan obat terlarang dapat menyebabkan irama jantung abnormal yang juga dapat
menyebabkan kematian SDC.
Serangan tiba-tiba jantung (SCA) adalah suatu kondisi dimana jantung tiba-tiba dan tak
terduga berhenti berdetak. Ketika ini terjadi, darah berhenti mengalir ke otak dan organ vital
lainnya. SCA biasanya menyebabkan kematian jika tidak dirawat dalam beberapa menit.
SCA tidak sama dengan serangan jantung . Serangan jantung terjadi ketika darah
mengalir ke bagian dari otot jantung tersumbat. Selama serangan jantung, jantung biasanya tidak
tiba-tiba berhenti berdetak. SCA, bagaimanapun mungkin dapat terjadi setelah atau selama
pemulihan dari serangan jantung.
Penangkapan mendadak Jantung (SCA) adalah penyebab utama kematian di Amerika
Serikat, mengklaim sebuah 325.000 kematian setiap tahun. SCA membunuh 1.000 orang per hari
atau satu orang setiap dua menit. Dan paling sering terjadi pada pasien dengan penyakit jantung,
terutama mereka yang telah gagal jantung kongestif.
Sebanyak 75 persen orang yang meninggal karena tanda-tanda menunjukkan SCA
serangan jantung sebelumnya. Delapan puluh persen memiliki tanda-tanda penyakit arteri
koroner.
SCA dicatat 10.460 (75,4 persen) dari seluruh 13.873 kematian penyakit jantung pada
orang berusia 35-44 tahun, dan proporsi penangkapan jantung yang terjadi out-of-rumah sakit
meningkat dengan usia, dari 5,8 persen pada orang usia 0-4 tahun 61,0 persen pada orang usia
lebih dari 85 years.
Orang yang memiliki penyakit jantung akan meningkatkan risiko untuk SCA. Namun,
kebanyakan SCA terjadi pada orang yang tampak sehat dan tidak memiliki penyakit jantung atau
faktor risiko lain untuk SCA. Seorang yang memiliki riwayat keluarga dengan penyakit jantung
atau ada anggota keluarga yang pernah meninggal mendadak perlu mewaspadai terjadinya
B. Rumusan Masalah
Bagaimanakah asuhan keperawatan kegawatdaruratan sistem kardiovaskuler
pada Cardiac Arrest?
C. Tujuan
1. Mahasiswa mampu mensintesa pengetahuan anatomi, fisiologi, dan
patofisiologi untuk dapat menjelaskan adanya perubahan-perubahan/
gangguan dalam fungsi sistem tubuh pada pasien Cardiac Arrest.
2. Mahasiswa mampu melakukan pengkajian pasien gawat darurat pada
pasien Cardiac Arrest..
3. Mahasiswa mampu merumuskan diagnosis keperawatan pada pasien
gawat darurat.
4. Mahasiswa mampu membuat rencana keperawatan berdasarkan prioritas
masalah.
5. Mahasiswa mampu melaksanakan tindakan keperawatan berdasarkan
prioritas masalah.
6. Mahasiswa mampu melakukan prosedur keperawatan khusus pada pasien
yang mengalami kegawatdaruratan.
7. Mahasiswa mampu mengevaluasi tindakan keperawatan.
8. Mahasiswa mampu mendokumentasikan proses keperawatan.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Pengertian
Kematian jantung mendadak merupakan kematian yang tidak terduga
atau proses kematian yang terjadi cepat, yaitu dalam waktu 1 jam sejak
timbulnya gejala. Sekitar 93 persen SCD adalah suatu kematian aritmik. Artinya,
kematian terjadi akibat timbulnya gangguan irama jantung yang menyebabkan
kegagalan sirkulasi darah. Jantung tiba-tiba mati (juga disebut Sudden Cardiac
Arrest) adalah kematian yang tiba-tiba akibat hilangnya fungsi hati (perhentian
jantung). Korban mungkin atau tidak ada diagnosis penyakit jantung. Waktu dan
cara kematian yang tidak terduga. Itu terjadi beberapa menit setelah gejala
muncul. Yang paling umum yang alasan pasien mati mendadak dari perhentian
jantung adalah penyakit jantung koroner (fatty buildups dalam arteries bahwa
pasokan darah ke otot jantung).
Mati jantung mendadak harus didefinisikan dengan hati-hati. Dalam
konteks waktu, kata “mendadak” batasan dahulu adalah kematian dalam waktu
24 jam setelah timbulnya kejadian klinis yang menyebabkan henti jantung
(cardiac arrest) yang fatal; batas waktu ini untuk kepentingan klinis dan
epidemiologic dipersingkat menjadi 1 jam atau kurang yang terdapat di antara
saat timbulnya keadaansakit terminal dan kematian.
Serangan jantung mendadak adalah hilangnya fungsi jantung secara
mendadak pada orang yang didiagnosis mungkin atau tidak mengidap penyakit
jantung. Waktu dan cara kematian yang tak terduga. Hal ini terjadi segera atau
segera setelah gejala muncul (AHA Guidelines For CPR and ECC, 2010).

B. Etiologi
1. Usia
Insiden CD meningkat dengan bertambahnya usia bahkan pada pasien yang
bebas dari CAD simtomatik.

2. Jenis kelamin
Tampak bahwa pria mempunyai insiden SCD yang lebih tinggi dibandingkan
wanita yang bebas dari CAD yang mendasari.

3. Merokok
Merokok telah dilibatkan sebagai suatu factor yang meningkatkan insiden
SCD (ada efek aritmogenik langsung dari merokok sigaret atas miokardium
ventrikel). Tetapi menurut pengertian Framingham, peningkatan resiko akibat
merokok hanya terlihat pada pria. Yang menarik, peningkatan resiko ini
menurun pada pasien yang berhenti merokok. Merokok juga meningkatkan
insiden CAD yang tampil pada kebanyakan pasien yang menderita henti
jantung.

4. Penyakit jantung yang mendasari


a. Penyakit arteri koronaria (CAD)
Data dari penelutian Framingham telah memperlihatkan pasien CAD
mempunyai frekuensi SCD Sembilan kali pasien dengan usia yang sama
tanpa CAD yang jelas. The Multicenter Post Infarction Research Group
mengevaluasi beberapa variable pada pasien yang menderita MI.
Kelompok ini berkesimpulan bahwa pasien pasca MI dengan fraksi ejeksi
ventrikel kiri yang kurang dari 40%, 10 atau lebih kontraksi premature
ventrikel (VPC) per jam, sebelum MI dan ronki dalam masa periinfark
mempunyai peningkatan mortalitas (1-2 tahun) dibandingkan dengan
pasien tanpa masalah ini. Jelas pasien CAD (terutama yang menderita MI)
dengan resiko SCD yang lebih besar.

b. Sindrom prolaps katup mitral (MVPS)


Tes elektrofisiologi (EP) pada pasien MVPS telah memperlihatkan
tingginya insiden aritmia ventrikel yang dapat di induksi, terutama pada
pasien dengan riwayat sinkop atau prasinkop. Terapi anti aritmia pada
pasien ini biasanya akan mengembalikan gejalanya.

c. Hipertrofi septum yang asimetrik (ASH)


Pasien ASH mempunyai peningkatan insiden aritmia atrium dan ventrikel
yang bisa menyebabkan kematian listrik atau hemodinamik (peningkatan
obstruksi aliran keluar). Riwayat VT atau bahkan denyut kelompok
ventrikel akan meningkatkan risiko SCD.

d. Sindrom Wolff-Parkinson-White (WPW)


Perkembangan flutter atrium dengan hantaran AV 1:1 melalui suatu jalur
tambahan atau AF dengan respon ventrikel sangat cepat (juga karena
hantaran jalur tambahan antegrad) menimbulkan frekuensi ventrikel yang
cepat, yang dapat menyebabkan VF dan bahkan kematian mendadak.

e. Sindrom Q-T yang memanjang


Pasien dengan pemanjangan Q-T yang kongenital atau idiopatik
mempunyai peningktan resiko SCD. Kematian sering timbul selama masa
kanak-kanak. Mekanisme ini bisa berhubungan dengan kelainan dalam
pernafasan simpatis jantung yang memprodisposisi ke VF.

5. Lain-lainnya
a. Hipertensi: peningkatan tekanan darah sistolik dan diastolic merupakan
predisposisi SCD
b. Hiperkolesteremia: tidak ada hubungan jelas antara kadar kolesterol
serum dan SCD yang telah ditemukan
c. Diabetes mellitus: dalam penelitian Framingham hanya pada wanita
ditemukan peningkatan insiden SCD yang menyertai intoleransi glukosa.
d. Ketidakaktifan fisik: gerak badan mempunyai manfaat tidak jelas dalam
mengurangi insiden SCD.
e. Obesitas: menurut data Framingham, obesitas meninggkatkan resiko SCD
pada pria, bukan wanita.
f. Riwayat aritmia
- Aritmia supraventrikel
Pada pasien sindrom WPW dan ASH, perkembangan aritmia
supraventrikel disertai dengan peningkatan insiden SCD. Pasien CAD
yang kritis juga beresiko, jika aritmia supraventrikel menimbulkan
iskemia miokardium. Tampak bahwa iskemia dapat menyebabkan tidak
stabilnya listrik, yang mengubah sifat elektrofisiologi jantung yang
menyebabkan VT terus-menerus atau VF. Tetapi sering episode iskemik
ini asimtomatik.
- Aritmia ventrikelPasien dengan penyakit jantung yang mendasari dan VT
tidak terus-menerus menpunyai peningkatan insiden SCD dibandingkan
pasien dengan VPC tersendiri. Kombinasi VT yang tidak terus-menerus
dan disfungsi ventrikel kiri disertai tingginya resiko SCD. Pasien CAD
dan VT spontan mempunyai ambang VT yang lebih rendah dibandingkan
pasien CAD dan tanpa riwayat VT. Sehingga pasien CAD dengan fraksi
ejeksi ventrikel kiri yang rendah dan VF atau VT terus- menerus yang
spontan mempunyai insiden SCD tertinggi.

C. Patofisiologi
Patofisiologi cardiac arrest tergantung dari etiologi yang mendasarinya.
Namun, umumnya mekanisme terjadinya kematian adalah sama. Sebagai akibat
dari henti jantung, peredaran darah akan berhenti. Berhentinya peredaran darah
mencegah aliran oksigen untuk semua organ tubuh. Organ-organ tubuh akan
mulai berhenti berfungsi akibat tidak adanya suplai oksigen, termasuk otak.
Hypoxia cerebral atau ketiadaan oksigen ke otak, menyebabkan korban
kehilangan kesadaran dan berhenti bernapas normal. Kerusakan otak mungkin
terjadi jika cardiac arrest tidak ditangani dalam 5 menit dan selanjutnya akan
terjadi kematian dalam 10 menit (Sudden cardiac death).
Berikut akan dibahas bagaimana patofisiologi dari masing-masing etiologi
yang mendasari terjadinya cardiac arrest.
1. Penyakit Jantung Koroner
Penyakit jantung koroner menyebabkan Infark miokard atau yang umumnya
dikenal sebagai serangan jantung. Infark miokard merupakan salah satu
penyebab dari cardiac arrest. Infark miokard terjadi akibat arteri koroner
yang menyuplai oksigen ke otot-otot jantung menjadi keras dan menyempit
akibat sebuah materia(plak) yang terbentuk di dinding dalam arteri. Semakin
meningkat ukuran plak, semakin buruk sirkulasi ke jantung. Pada akhirnya,
otot-otot jantung tidak lagi memperoleh suplai oksigen yang mencukupi
untuk melakukan fungsinya, sehingga
dapat terjadi infark. Ketika terjadi infark, beberapa jaringan jantung mati
dan menjadi jaringan parut. Jaringan parut ini dapat menghambat sistem
konduksi langsung dari jantung, meningkatkan terjadinya aritmia dan
cardiac arrest.

2. Stress Fisik
Stress fisik tertentu dapat menyebabkan sistem konduksi jantung gagal
berfungsi, diantaranya:
a. listrik
b. kekurangan oksigen akibat tersedak, penjeratan, tenggelam ataupun
serangan asma yang berat
c. Kadar Kalium dan Magnesium yang rendah
d. Latihan yang berlebih. Adrenalin dapat memicu SCA pada pasien yang
memiliki gangguan jantung.
e. perdarahan yang banyak akibat luka trauma atau perdarahan dalam
f. sengatan

3. Kelainan Bawaan
Ada sebuah kecenderungan bahwa aritmia diturunkan dalam keluarga.
Kecenderungan ini diturunkan dari orang tua ke anak mereka. Anggota
keluarga ini mungkin memiliki peningkatan resiko terkena cardiac arrest.
Beberapa orang lahir dengan defek di jantung mereka yang dapat
mengganggu bentuk(struktur) jantung dan dapat meningkatkan
kemungkinan terkena SCA.

4. Perubahan struktur jantung


Perubahan struktur jantung akibat penyakit katup atau otot jantung dapat
menyebabkan perubahan dari ukuran atau struktur yang pada akhirnrya
dapat mengganggu impuls listrik. Perubahan-perubahan ini meliputi
pembesaran jantung akibat tekanan darah tinggi atau penyakit jantung
kronik. Infeksi dari jantung juga dapat menyebabkan perubahan struktur dari
jantung.

5. Obat-obatan
Antidepresan trisiklik, fenotiazin, beta bloker, calcium channel blocker,
kokain, digoxin, aspirin, asetominophen dapat menyebabkan aritmia.
Penemuan adanya materi yang ditemukan pada pasien, riwayat medis pasien
yang diperoleh dari keluarga atau teman pasien, memeriksa medical record
untuk memastikan tidak adanya interaksi obat, atau mengirim sampel urin
dan darah pada laboratorium toksikologi dapat membantu menegakkan
diagnosis.

6. Tamponade jantung
yang yang terdapat dalam perikardium dapat mendesak jantung sehingga
tidak mampu untuk berdetak, mencegah sirkulasi berjalan sehingga
mengakibatkan kematian.

7. Tension pneumothorax
Terdapatnya luka sehingga udara akan masuk ke salah satu cavum pleura.
Udara akan terus masuk akibat perbedaan tekanan antara udara luar dan
tekanan dalam paru. Hal ini akan menyebabkan pergeseran mediastinum.
Ketika keadaan ini terjadi, jantung akan terdesak dan pembuluh darah besar
PATHWAY

Penyakit Jantung Kelainan Bawaan (Perubahan Struktur) Obat-Obatan

Aritmia

MK : Penurunan
Curah Jantung Cardiac Arrest

MK : Gangguan
Suplai O2  Perfusi Jaringan

Hipoksia Serebral

MK: Resiko
Ketidakefektifan
Jalan Nafas Penurunan Kesadaran

MK :
Upnue (Henti Nafas) Ketidakefektifan
Pola Nafas

Jantung Mati mendadak


( Sudden Cardiac Death)
Kematian jika tidak
ditangani selama 10 menit

D. Manifestasi Klinis
Manifestasi Klinis Cardiac Arrest :
1. Organ-organ tubuh akan mulai berhenti berfungsi akibat tidak adanya
suplai oksigen, termasuk otak.
2. Hypoxia cerebral atau ketiadaan oksigen ke otak, menyebabkan korban
kehilangan kesadaran (collapse).
3. Kerusakan otak mungkin terjadi jika cardiac arrest tidak ditangani dalam
5 menit, selanjutnya akan terjadi kematian dalam 10 menit.
4. Napas dangkal dan cepat bahkan bisa terjadi apnea (tidak bernafas).
5. Tekanan darah sangat rendah (hipotensi) dengan tidak ada denyut nadi
yang dapat terasa pada arteri.
6. Tidak ada denyut jantung.

Resusitasi Jantung Paru / Cardio Pulmonary Resusitation


A. Pengertian
Menurut Wong, yang dikutip dalam (Krisanty.dkk, 2009), Resusitasi Jantung-
Paru (RJP) adalah suatu cara untuk memfungsikan kembali jantung dan paru. Cardio
Pulmonary Resusitation (CPR) adalah suatu teknik bantuan dasar yang bertujuan
untuk memberikan oksigen ke otak dan hidup jantung sampai ke kondisi layak, dan
mengembalikan fungsi jantung dan pernafasan ke kondisi normal (Nettina, 2006).
B. Prosedur Cardio Pulmonary Resusitation
Penanganan korban cardiac arrest dikenal istilah rantai untuk bertahan hidup
(chin of survival); cara untuk menggambarkan penanganan ideal yang harus
diberikan ketika ada kejadian cardiac arrest. Jika salah satu dari rangkaian ini
terputus, maka kesempatan korban untuk bertahan hidup menjadi berkurang,
sebaliknya jika rangkaian ini kuat maka korban mempunyai kesempatan besar untuk
bisa bertahan hidup.
Menurut (Thygerson,2006), dia berpendapat bahwa chin of survival terdiri dari 4
rangkaian: early acces, early CPR, early defibrillator,dan early advance care.
a. Early acces: kemampuan untuk mengenali/mengidentifikasi gejala dan tanda awal
serta segera memanggil pertolongan untuk mengaktifasi EMS.
b. Early CPR: CPR akan mensuplai sejumlah minimal darah ke jantung dan otak,
sampai defibrilator dan petugas yang terlatih tersedia/datang.
c. Early defibrillator: pada beberapa korban, pemberian defibrilasi segera ke jantung
korban bisa mengembalikan denyut jantung.
d. Early advance care: pemberian terapi IV, obat-obatan, dan ketersediaan peralatan
bantuan pernafasan.
Ketika jantung seseorang berhenti berdenyut, maka dia memerlukan tindakan
CPR segera. CPR adalah suatu tindakan untuk memberikan oksigen ke paru-paru dan
mengalirkan darah ke jantung dan otak dengan cara kompresi dada. Pemberian CPR
hampir sama antara bayi (0-1 tahun), anak(1-8 tahun), dan dewasa (8 tahun/lebih),
hanya dengan sedikit variasi (Thygerson,2006). Sebelum pelaksanaan prosedur, nilai
kondisi pasien secara berturut-turut: pastikan pasien tidak sadar, pastikan tidak bernafas,
pastikan nadi tidak berdenyut, dan interaksi yang konstan dengan pasien (Krisanty.
dkk,2009). Prosedur CPR menurut (Nettina,2006;Thygerson,2006), adalah terdiri dari
airway, breathing dan circulation:
a) Menentukan ketiadaan respon/Kebersihan Jalan Nafas (airway):
1) Yakinkan lingkungan telah aman, periksa ketiadaan respon dengan menepuk atau
menggoyangkan pasien sambil bersuara keras “Apakah anda baik-baik saja?”
Rasionalisasi: hal ini akan mencegah timbulnya injury pada korban yang sebenarnya
masih dalam keadaan sadar.
2) Apabila pasien tidak berespon, minta seseorang yang saat itu bersama kita untuk
minta tolong (telp:118). Apabila kita sendirian, korbannya dewasa dan di tempat itu
tersedia telepon, panggil 118. Apabila kita sendiri, dan korbannya bayi/anakanak,
lakukan CPR untuk 5 siklus (2 menit), kemudian panggil118.

3) Posisikan pasien supine pada alas yang datar dan keras, ambil posisi sejajar dengan
bahu pasien. Jika pasien mempunyai trauma leher dan kepala, jangan gerakkan
pasien, kecuali bila sangat perlu saja. Rasionalisasi: posisi ini memungkinkan
pemberi bantuan dapat memberikan bantuan nafas dan kompresi dada tanpa berubah
posisi.
4) Buka jalan nafas
i. Head-tilt/chin-lift maneuver: letakkan salah satu tangan di kening pasien, tekan
kening ke arah belakang dengan menggunakan telapak tangan untuk
mendongakkan kepala pasien. Kemudian letakkan jari-jari dari tangan yang
lainnya di dagu korban pada bagian yang bertulang, dan angkat rahang ke depan
sampai gigi mengatub. Rasionalisasi: tindakan ini akan membebaskan jalan
nafas dari sumbatan oleh lidah.
ii. Jaw-thrust maneuver: pegang sudut dari rahang bawah pasien pada masing
masing sisinya dengan kedua tangan, angkat mandibula ke atas sehingga kepala
mendongak. Rasionalisasi: teknik ini adalah metode yang paling aman untuk
membuka jalan nafas pada korban yang dicurigai mengalami trauma leher.
b) Pernafasan (Breathing)
1) Dekatkan telinga ke mulut dan hidung pasien, sementara pandangan kita arahkan
ke dada pasien, perhatikan apakah ada pergerakan naik turun dada dan rasakan
adanya udara yang berhembus selama expirasi. (Lakukan 5-10 detik). Jika pasien
bernafas, posisikan korban ke posisi recovery (posisi tengkurap, kepala menoleh
ke samping). Rasionalisasi: untuk memastikan ada atau tidaknya pernafasan
spontan.
2) Jika ternyata tidak ada, berikan bantuan pernafasan mouth to mouth atau dengan
menggunakan amfubag. Selama memberikan bantuan pernafasan pastikan jalan
nafas pasien terbuka dan tidak ada udara yang terbuang keluar. Berikan bantuan
pernafasan sebanyak dua kali (masing-masing selama 2-4 detik). Rasionalisasi:
pemberian bantuan pernafasan yang adekuat diindikasikan dengan dada terlihat
mengembang dan mengempis, terasa adanya udara yang keluar dari jalan nafas
dan terdengar adanya udara yang keluar saat expirasi.
c) Circulation
Pastikan ada atau tidaknya denyut nadi, sementara tetap mempertahankan
terbukanya jalan nafas dengan head tilt-chin lift yaitu satu tangan pada dahi pasien,
tangan yang lain meraba denyut nadi pada arteri carotis dan femoral selama 5 sampai 10
detik. Jika denyut nadi tidak teraba, mulai dengan kompresi dada.
1) Berlutut sedekat mungkin dengan dada pasien. Letakkan bagian pangkal dari salah
satu tangan pada daerah tengah bawah dari sternum (2 jari ke arah cranial dari
procecus xyphoideus). Jari jari bisa saling menjalin atau dikeataskan menjauhi dada.
Rasionalisasi: tumpuan tangan penolong harus berada di sternum, sehingga tekanan
yang diberikan akan terpusat di sternum, yang mana akan mengurangi resiko patah
tulang rusuk.
2) Jaga kedua lengan lurus dengan siku dan terkunci, posisi pundak berada tegak lurus
dengan kedua tangan, dengan cepat dan bertenaga tekan bagian tengah bawah dari
sternum pasien ke bawah, 1 - 1,5 inch (3,8 - 5 cm)
3) Lepaskan tekanan ke dada dan biarkan dada kembali ke posisi normal. Lamanya
pelepasan tekanan harus sama dengan lamanya pemberian tekanan. Tangan jangan
diangkat dari dada pasien atau berubah posisi. Rasionalisasi: pelepasan tekanan ke
dada akan memberikan kesempatan darah mengalir ke jantung.
4) Lakukan CPR dengan dua kali nafas buatan dan 30 kali kompresi dada. Ulangi siklus
ini sebanyak 5 kali (2 menit). Kemudian periksa nadi dan pernafasan pasien.
Pemberian kompresi dada dihentikan jika: a) telah tersedia AED (Automated
External Defibrillator). b) korban menunjukkan tanda kehidupan. c) tugas diambil
alih oleh tenaga terlatih. d) penolong terlalu lelah untuk melanjutkan pemberian
kompresi. Rasionalisasi: bantuan nafas harus dikombinasi dengan kompresi dada.
Periksa nadi di arteri carotis, jika belum teraba lanjutkan pemberian bantuan nafas
dan kompresi dada.
5) Sementara melakukan resusitasi, secara simultan kita juga menyiapkan perlengkapan
khusus resusitasi untuk memberikan perawatan definitive. Rasionalisasi; perawatan
definitive yaitu termasuk di dalamnya pemberian defibrilasi, terapi obat-obatan,
cairan untuk mengembalikan keseimbangan asam-basa, monitoring dan perawatan
oleh tenaga terlatih di ICU.
6) Siapkan defibrillator atau AED (Automated External Defibrillator) segera. CPR
yang diberikan pada anak hanya menggunakan satu tangan, sedangkan untuk bayi
hanya menggunakan jari telunjuk dan tengah. Ventrikelbayi dan anak terletak lebih
tinggi dalam rongga dada, jadi tekanan harus dilakukan di bagian tengah tulang
dada.
C. Pemeriksaan Diagnosis
a. Elektrokardiogram
Biasanya tes yang diberikan ialah dengan elektrokardiogram (EKG). Ketika
dipasang EKG, sensor dipasang pada dada atau kadang-kadang di bagian tubuh lainnya
missal tangan dan kaki. EKG mengukur waktu dan durasi dari tiap fase listrik jantung
dan dapat menggambarkan gangguan pada irama jantung. Karena cedera otot jantung
tidak melakukan impuls listrik normal, EKG bisa menunjukkan bahwa serangan jantung
telah terjadi. ECG dapat mendeteksi pola listrik abnormal, seperti interval QT
berkepanjangan, yang meningkatkan risiko kematian mendadak.
b. Tes darah
1.      Pemeriksaan Enzim Jantung
Enzim-enzim jantung tertentu akan masuk ke dalam darah jika jantung terkena
serangan jantung. Karena serangan jantung dapat memicu sudden cardiac arrest.
Pengujian sampel darah untuk mengetahui enzim-enzim ini sangat penting apakah
benar-benar terjadi serangan jantung.
2.      Elektrolit Jantung
Melalui sampel darah, kita juga dapat mengetahui elektrolit-elektrolit yang ada
pada jantung, di antaranya kalium, kalsium, magnesium. Elektrolit adalah mineral
dalam darah kita dan cairan tubuh yang membantu menghasilkan impuls listrik. Ketidak
seimbangan pada elektrolit dapat memicu terjadinya aritmia dan sudden cardiac arrest.
3.      Test Obat
Pemeriksaan darah untuk bukti obat yang memiliki potensi untuk menginduksi
aritmia, termasuk resep tertentu dan obat-obatan tersebut merupakan obat-obatan
terlarang.
4.      Test Hormon
Pengujian untuk hipertiroidisme dapat menunjukkan kondisi ini sebagai pemicu
cardiac arrest.
a.      Imaging tes
1.      Pemeriksaan Foto
Torak Foto thorax menggambarkan bentuk dan ukuran dada serta pembuluh
darah. Hal ini juga dapat menunjukkan apakah seseorang terkena gagal jantung.
2.      Pemeriksaan nuklir
Biasanya dilakukan bersama dengan tes stres, membantu mengidentifikasi
masalah aliran darah ke jantung. Radioaktif yang dalam jumlah yang kecil, seperti
thallium disuntikkan ke dalam aliran darah. Dengan kamera khusus dapat mendeteksi
bahan radioaktif mengalir melalui jantung dan paru-paru.
3.      Ekokardiogram
Tes ini menggunakan gelombang suara untuk menghasilkan gambaran jantung.
Echocardiogram dapat membantu mengidentifikasi apakah daerah jantung  telah rusak
oleh cardiac arrest dan tidak memompa secara normal atau pada kapasitas puncak
(fraksi ejeksi), atau apakah ada kelainan katup.
b.      Electrical system (electrophysiological) testing and mapping
Tes ini, jika diperlukan, biasanya dilakukan nanti, setelah seseorang sudah
sembuh dan jika penjelasan yang mendasari serangan jantung Anda belum ditemukan.
Dengan jenis tes ini, dokter mungkin mencoba untuk menyebabkan aritmia, sementara
dokter memonitor jantung Anda. Tes ini dapat membantu menemukan tempat aritmia
dimulai. Selama tes, kemudian kateter dihubungkan denga electrode yang menjulur
melalui pembuluh darah ke berbagai tempat di area jantung. Setelah di tempat, elektroda
dapat memetakan penyebaran impuls listrik melalui jantung pasien. Selain itu, ahli
jantung dapat menggunakan elektroda untuk merangsang jantung pasien untuk
mengalahkan penyebab yang mungkin memicu - atau menghentikan – aritmia. Hal ini
memungkinkan dokter untuk mengamati lokasi aritmia.
c.       Ejection fraction testing
Salah satu prediksi yang paling penting dari risiko sudden cardiac arrest adalah
seberapa baik jantung Anda mampu memompa darah. Dokter dapat menentukan
kapasitas pompa jantung dengan mengukur apa yang dinamakan fraksi ejeksi. Hal ini
mengacu pada persentase darah yang dipompa keluar dari ventrikel  setiap detak
jantung. Sebuah fraksi ejeksi normal adalah 55 sampai 70 persen. Fraksi ejeksi kurang
dari 40 persen meningkatkan risiko sudden cardiac arrest. Dokter Anda dapat mengukur
fraksi ejeksi dalam beberapa cara, seperti dengan ekokardiogram, Magnetic Resonance
Imaging (MRI) dari jantung Anda, pengobatan nuklir scan dari jantung Anda atau
computerized tomography (CT) scan jantung.
d.      Coronary catheterization (angiogram)
Pengujian ini dapat menunjukkan jika arteri koroner Anda terjadi penyempitan
atau penyumbatan. Seiring dengan fraksi ejeksi, jumlah pembuluh darah yang tersumbat
merupakan prediktor penting sudden cardiac arrest. Selama prosedur, pewarna cair
disuntikkan ke dalam arteri hati Anda melalui tabung panjang dan tipis (kateter) yang
melalui arteri, biasanya melalui kaki, untuk arteri di dalam jantung. Sebagai pewarna
mengisi arteri, arteri menjadi terlihat pada X-ray dan rekaman video, menunjukkan
daerah penyumbatan. Selain itu, sementara kateter diposisikan, dokter mungkin
mengobati penyumbatan dengan melakukan angioplasti dan memasukkan stent untuk
menahan arteri terbuka.

D. Komplikasi
Komplikasi Cardiac Arrest adalah:
a. Hipoksia jaringan ferifer
b. Hipoksia Cerebral
c. Kematian
E. Penatalaksanaan cardiac Arrest
1. RJP (Resusitasi Jantung Paru)
Adalah suatu tindakan darurat, sebagai usaha untuk mengembalikan keadaan henti
nafas/ henti jantung atau (yang dikenal dengan istilah kematian klinis) ke fungsi
optimal, guna mencegah kematian biologis.
a. Kontraindikasi
Orang yang diketahui berpenyakit terminal dan yang telah secara klinis mati lebih
dari 5 menit.
b.      Tahap-tahap resusitasi
Resusitasi jantung paru pada dasarnya dibagi dalam 3 tahap dan pada setiap tahap
dilakukan tindakan-tindakan pokok yang disusun menurut abjad:
1.      Pertolongan dasar (basic life support)
- Airway control, yaitu membebaskan jalan nafas agar tetap terbuka dan bersih.
- Breathing support, yaitu mempertahankan ventilasi dan oksigenasi paru secara
adekuat.
- Circulation support, yaitu mempertahankan sirkulasi darah dengan cara memijat
jantung.
2.      Pertolongan lanjut (advanced life support)
- Drug & fluid, yaitu pemberian obat-obat dan cairan
- Elektrocardiography, yaitu penentuan irama jantung
- Fibrillation treatment, yaitu mengatasi fibrilasi ventrikel
3.      pertolongan jangka panjang (prolonged life support)
- Gauging, yaitu memantau dan mengevaluasi resusitasi jantung paru, pemeriksaan
dan penentuan penyebab dasar serta penilaian dapat tidaknya penderita
diselamatkan dan diteruskan pengobatannya.
- Human mentation, yaitu penentuan kerusakan otak dan resusitasi cerebral.
- Intensive care, yaitu perawatan intensif jangka panjang.
Penanganan henti jantung dilakukan untuk membantu menyelamatkan pasien /
mengembalikan fungsi cardiovascular. Adapun prinsip-prinsipnya yaitu sebagai berikut:

Tahap I:
o   Berikan bantuan hidup dasar
o   Bebaskan jalan nafas, seterusnya angkat leher / topang dagu.
o   Bantuan nafas, mulut ke mulut, mulut ke hidung, mulut ke alat bantuan nafas. Jika
nadi tidak teraba:
Satu penolong: tiup paru kali diselingi kompres dada 30 kali.
Dua penolong: tiup paru setiap 2 kali kompresi dada 30 kali.
Tahap II:
o   Bantuan hidup lanjut.
o   Jangan hentikan kompresi jantung dan Venulasi paru.
Langkah berikutnya:
o   Berikan adrenalin 0,5 – 1 mg (IV), ulangi dengan dosis yang lebih besar jika
diperlukan. Dapat diberikan Bic – Nat 1 mg/kg BB (IV) jika perlu. Jika henti jantung
lebih dari 2 menit, ulangi dosis ini setiap 10 menit sampai timbul denyut nadi.
o   Pasang monitor EKG, apakah ada fibrilasi, asistol komplek yang aneh : Defibrilasi :
DC Shock.
o   Pada fibrilasi ventrikel diberikan obat lodikain / xilokain 1-2 mg/kg BB.
 Jika Asistol berikan vasopresor kaliumklorida 10% 3-5 cc selama 3 menit.
Petugas IGD mencatat hasil kegiatan dalam buku catatan pasien. Pasien yang
tidak dapat ditangani di IGD akan di rujuk ke Rumah Sakit yang mempunyai
fasilitas lebih lengkap.

ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Pengkajian subjektif
Saat memerlukan data subyektif perlu di pertimbangkan budaya
pasien,kemampuankognitif dan tingkat pertumbuhaan. Pengkajian tentang keluhan
nyeri termasuk tingkat keparahan, lokasi durasi, dan intensitas nyeri dengan
menggunakan mnemonic PQRST. Mnemonic PQRST untuk pengkajian nyeri.
P :    Provokativ/Palliative
Apa yang menjadi penyebab,apakah ada hal yang menyebabkan kondisi
memburuk/membaik.apa yang di lakukan jika sakit/nyeri timbul. Apakah nyeri ini
sampai mengganggu tidur.
Q : Quallity/kualitas.
Seberapa berat keluhan di rasa, atau bagaimana rasanya.
R : Segion/radiasi.
Apakah sakitnya menyebar,seperti apa penyebarannya.
S : Skala severity
Skala kegawatan dapat di gunakan GCS untuk gangguan kesadaranskala nyeri atau
ukuran lain yang berkaitan dengan ukuran.
T : Time/waktu
Kapan keuhan tersebut mulai di rasakan/di temukan atau seberapa sering keluhan
tersebut di rasakan.
Pada unit gawat darurat riwayat kesehatan lengkap dan pengkajian subjektif secara
detail jarang di lakukan atau di butuhkan.pengkajian di unit gawat darurat lebih di
fokuskan pada keluhan utama yamg di rasakan pasien.
2. Pengkajian objektif
Pengkajian objektif adalah sekumpulan data yang dapat dilihat da di ukur meliputi
TTV, BB dan TB pasien, pemeriksaan fisik, hasil perekaman EKG,serta tes
diagnostik.
3. Pemeriksaan fisik
a. Inspeksi adalah pemeriksaan di mulai dari status keseluruha pasien.Apakah
pasien sadar atau tidak, penampilan secara umum pasien (general apperance)
Rapi atau berantakan, melihat apakah pasien bernapas dengan tersengal-
sengal, bagaimana warna kulit dan mukosa, apakah ada memar, perdarahan, atau
bengkak. Perhatiakan postur dan pergerakan tuuh apakah ada nyeri, gangguan
neurologis,orthopedi, dan status mental.
b. Auskultasi adalah di gunakan untuk pemeriksaan paru-paru, jantungdan suara
peristaltik. Periksa kualitas suara, intensitas, dan durasi.Lakukan pemeriksaan
auskultasi sebelum di lakukan palpasi dan perkusi.
c. Palpasi adalah di periksa untuk karasteristik permukaan seperti, tekstur
kulit,sensitifitas, tugor dan suhu tubuh. Gunakan palpasi ringan untuk
memeriksa denyut nadi, deformitas, kekuatan otot, sedangkan palpasi dalam
dapat di gunakan untuk mengidentifikasi adanya massa, nyeri,ukuran, organ dan
adanya kekakuan.
d. Perkusi adalah dapat di lakukan untuk mengevaluasi organ atau kepadatan
tulang dan dapat di gunakan untuk membedakan struktur padat, berongga, atau
adanya cairan.
4. Pengkajian neurologis
Indikator utama dalam pengkajian neurologis adalah tingkat kesadaran pasien.untuk
mengetahui status neurologis dan mencatat perubahan setiap saat maka dapat di
gunakan Glasgow Coma Scale (GCS) untuk dewasa dan pediatrik glasgow coma
scale pada anak-anak yang belum bisa bicara.
5. Pengkajian kardiovaskuler
Gunakan EKG 12 lead untk mengetahui atau menilai adanya abnormalitas irama.
a.       Suara jantung.
b.      Murmur.
c.       Efusi perikat/tamponade.
d.      Perfusi.
6.      Pernapasan
Suara napas di kelompokan menjadi, trakheal, bronkhiale, vesikuler, dan
bronkovesikuler. Suara napas abnormal (berat) termasuk stridor, ronkhi,
rales, terputus-putus, dan sulit bernapas.

6. Gastrointestinal
Pengkajian subjektif perlu di kaji/pemeriksaan sistem gastrointestinal.Apakah ada
riwayat gastritis, sirosis hepatis, appendisitis, dan pankreatitis,dll. apakah ada gaya
hidup yang mempengaruhi masalah gastrointestinal. 

B. Diagnosa keperawatan
1.      Ketidakefektifan pola napas b/d inspirasi dan /atau ekspirasi yang tidak adekuat.
Tujuan/kriteria evaluasi menurut NOC: 
1)      Menunjukan pola pernapasan yang efektif,dibuktikan dengan status yang
tidak berbahaya: ventilasi dan status tanda vital.
2)      Mempunyai kecepatan dan irama respirasi dalam batas normal.
3)      Menunjukan status pernapasan, ventilasi tidak terganggu seperti:
a.       Kedalaman inspirasi dan kemudahan bernapas.
b.      Ekspansi dad simentris.
c.       Tidak ada penggunaan otot bantu.
d.      Bunyi napas tambahan tidak ada.
e.       Napas pendek tidak ada.
Intervensi prioritas NIC:
Aktivitas keperwatan
1.      Pantau adanya pucat dan sianosis.
2.      Pantau efek obat pada waktu respirasi.
3.      Kaji kebutuhan insersi jalan napas.
4.      Observasi dan dokumentasikan ekspansi dada bilateral pada pasien dengan
ventilator.
Pendidikan untuk pasien dan keluarga
1.      Informasikan kepada pasien dan keluarga tentang teknik relaksasi untuk
meningkatkan pola napas.
2.      Instruksikan kepada pasien /keluarga bahwa mereka harus memberi tahu
perawat pada saat terjadi ketidakefektifan pola napas.
3.      Informasikan kepada keluarga untuk tidak merokok di ruangan.
4.      Diskusikan perencanaan untuk perawatan di rumah, meliputi
pengobatan, peralatan pendukung, tanda dan gejala komplikasi, dan sumber-
sumber komunitas.

Aktivitas kolaborasi
a. Rujuk kepada ahli therapy pernapasan untuk memastikan keadekuatan
fungsi ventilator mekanis.
b. Laporkan perubahan sensori ,bunyi napas, pola pernapasan, nilai
GDA, sputum dan seterusnya, sesuai dengan kebutuhan atau protokol.
c. Berikan tindakan nebulizer ultrasonik dan udara pelembab atau oksigen
sesuai kebutuhan.
d. Berikan obat nyeri untuk pengoptimalan pola pernapasan.
2.      Penurunan curah jantung b/d perubahan preload, afterload,dan kontraktilitas.
Tujuan /kriteria evaluasi menurut NOC :
1)      Menunjukan curah jantung yang memuaskan di buktikan dengan keefektifan
pompa jantung,status sirkulasi,perfusi jaringan (organ abdomen),dan perfusi
jaringan (perifer).
2)      Menunjukan status sirkulasi di buktikan dengan indikator kegawatan
sbb:
a.       Tekanan darah sistilik,diastolik dalam batas normal.
b.      Denyut jantung dalam batas normal.
c.       Tekanan vena sentral dan tekanan dala paru dbn.
d.      Hipotensi ortostatis tidak ada
Intervensi prioritas NIC:
Aktivitas keperawatan
1.      Kaji dan dokumentasikan tekanan darah, adanya sianosis, status
pernapasan, dan status mental.
2.      Pantau tanda kelebihan cairan,misalnya: edema pada bagian tubuh yang
tergantug/bawah.
3.      Kaji toleransi aktivitas pasien dengan memperhatikan awal napas
pendek, nyeri, palpitasi, atau pusing.
Pendidikan untuk pasien/keluarga
1.      Jelaskan tujuan pemberian oksigen pernasal kanula /masker.
2.      Instruksikan tenteng mempertahankan keakuratan asupan dan
haluaran.
3.      Ajarkan untuk melaporkan dan menggambarkan awitan palpitasi dan
nyeri,durasi,faktor yang menyebabkan,daerah kualitas,dan intensitas.
4.      Berikan informasi untuk teknik penurunan stress sepeti boifeed back
,relaksasi otot progresif,meditasi dan latihan.
Aktivitas kolaborasi
1.      Rujuk pada dokter menyagkut parameter pemberian/penghentian obat
tekanan darah.
2.      Tingkatkan penurunan afterload.
3.      Berikan anti kogulan untuk mencegah pembetukan trombus perifer,sesuai
dengan program atau potokol.
DAFTAR PUSTAKA

American Heart Association (AHA). 2010. Metabolic risk for cardiovascular disease
edited by Robert H. Eckel. Wiley - Blackwell Publishing.
Doenges Marilynn E .2002. Rencana Asuhan Keperawatan (Pedoman Untuk   dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien) Edisi 3. Jakarta: EGC. 
Emergency  nurse assosiation. 2005. sheehy’s of emergency care. Edisi ke 6.
Philadelphia: mosby Elsevier.
Nettina, Sandra M. 2002. Pedoman Praktik Keperawatan. Jakarta: EGC. 
Smeltzer, S. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner Suddarth.  Volume
2 Edisi 8. Jakarta: EGC. 
Mackway, Kevin. et al. 2006. Emergency Triage. USA: Blackwell Publishing.
American Heart Association (AHA). 2011. Metabolic risk for cardiovascular disease
edited by Robert H. Eckel. Wiley - Blackwell Publishing.

Anda mungkin juga menyukai