Anda di halaman 1dari 9

LAPORAN PRAKTIKUM

BIOFARMASETIKA DAN FARMAKOKINETIKA

Nama : Putri Pajariana

NIM : 08061181823020

Kelas/Kelompok : B/3

Dosen Pembimbing : 1. apt.Herlina, M. KeS.

2. apt.Dina Permata Wijaya, M.Si.

PERCOBAAN I : EKSKRESI PARACETAMOL MELALUI URINE DAN SALIVA

LABORATORIUM BIOFARMASETIKA DAN FARMAKOKINETIKA


JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2020
LAPORAN PRAKTIKUM
BIOFARMASETIKA-FARMAKOKINETIKA
EKSKRESI PARACETAMOL MELALUI URINE DAN SALIVA
I. TUJUAN
1. Mahasiswa mengetahui dan memahami proses metabolisme dan eksresi
paracetamol.
2. Mahasiswa mengetahui dan memahami hasil metabolisme paracetamol di
dalam urin.
3. Mahasiswa mengetahui dan memahami serta mampu menganalisis kandungan
paracetamol didalam urin.
II. DASAR TEORI
Obat merupakan suatu bahan atau perpaduan campuran bahan yang termasuk
produk biologi dan digunakan untuk mempengaruhi atau memberikan efek pada
suatu sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka pemeriksaan, penetapan
diagnosis, pencegahan, pengobatan, pemulihan serta upaya peningkatan kesehatan
untuk manusia (Depkes RI, 2014). Obat analgesik merupakan zat-zat yang
digunakan sebagai pengahalau atau penghilang nyeri tanpa menghilangkan
kesadaran (Tjay, 2007). Analgesik merupakan senyawa yang dapat menekan
fungsi Sistem Saraf Pusat (SSP) secara tidak selektif dan digunakan untuk
mengurangi rasa sakit tanpa mempengaruhi kesadaran dengan bekerja
menurunkan nilai ambang persepsi rasa sakit (Siswandono, 2008).
Paracetamol merupakan obat yang sering digunakan untuk mengobati demam
dan nyeri ringan seperti sakit kepala dan nyeri otot. Meskipun aman dikonsumsi
pada dosis terapeutik, namun overdosis obat yang disebabkan oleh pemakaian
jangka panjang ataupun penyalahgunaan masih sering terjadi. Overdosis
paracetamol akan mengakibatkan terjadinya nekrosis sel hepar daerah
sentrolobuler yang dapat menyebabkan gagal hepar akut. Ketika terjadi overdosis,
kadar glutathion-SH dalam sel hati menjadi sangat berkurang yang berakibat
kerentanan sel-sel hati terhadap cedera oleh oksidan dan juga memungkinkan N-
asetil-p-benzokuinon berikatan secara kovalen pada makromolekul sel yang
menyebabkan disfungsi berbagai sistem enzim (Goodman & Gilman, 2008).
Parasetamol atau asetaminofen telah ditemukan sebagai obat analgesik yang
efektif lebih dari satu abad yang lalu tepatnya pada tahun 1893, tetapi hingga
sekarang para ahli tidak henti-hentinya meneliti mekanisme kerja dari obat
tersebut. Parasetamol adalah obat analgesik dan antipiretik yang populer di
masyarakat luas, bahkan mungkin dapat dikategorikan sangat terkenal.
Parasetamol sangat mudah didapatkan secara bebas di warung-warung, apotek,
rumah sakit dan semua sarana pelayanan kesehatan lainnya. Obat ini terkenal
dimasyarakat sebagai pelega sakit kepala, sakit ringan, serta demam (Louis dan
Alfred, 2003).
Parasetamol bekerja secara non selektif dengan menghambat enzim
siklooksigenase (cox-1 dan cox-2). Pada cox-1 memiliki efek cytoprotektif yaitu
melindungi mukosa lambung, apabila dihambat akan terjadi efek samping pada
gastrointestinal. Sedangkan ketika cox-2 dihambat akan menyebabkan
menurunnya produksi prostaglandin. Prostaglandin merupakan mediator nyeri,
demam dan anti inflamasi (Goodman and Gilman, 2008).
Obat nyeri yang dapat digunakan dalam swamedikasi merupakan obat-obat
golongan AINS (Anti Inflamatory Non Steroid) atau NSAID. Contohnya seperti
parasetamol (Depkes RI, 2007). Berdasarkan cara kerja farmakologisnya,
analgesik dibagi dua kelompok besar, yaitu, Analgesik Perifer atau NSAID (non
Narkotik), terdiri dari obat-obat yang tidak bersifat narkotik dan tidak bekerja
sentral. Contohnya adalah analgesik pada parasetamol. Analgesik Narkotik
Khusus, digunakan untuk menghalau rasa nyeri hebat. Contohmya seperti morfin
(Tjay dan Rahardja, 2010).
Parasetamol merupakan zat aktif pada obat yang banyak digunakan dan
dimanfaatkan sebagai analgesik dan antipiretik. Parasetamol dimetabolisir oleh
hati dan dikeluarkan melalui ginjal. Senyawa ini dikenal dengan nama lain
asetaminofen, merupakan senyawa metabolit aktif fenasetin, namun tidak
memiliki sifat karsinogenik seperti halnya fanesatin. Senyawa ini bila
dikombinasikan dengan obat anti inflamasi non steroid (NSAID) atau obat pereda
nyeri opioid, dapat digunakan untuk mengobati nyeri yang lebih parah (Ansel,
1989). Hal ini disebabkan Parasetamol bekerja pada tempat yang tidak terdapat
peroksid sedangkan pada tempat inflamasi terdapat lekosit yang melepaskan
peroksid sehingga efek anti inflamasinya tidak bermakna (Katzung, 2001).
Obat analgesik merupakan zat-zat yang digunakan sebagai pengahalau atau
penghilang nyeri tanpa menghilangkan kesadaran (Tjay, 2007). Analgesik
merupakan senyawa yang dapat menekan fungsi Sistem Saraf Pusat (SSP) secara
tidak selektif dan digunakan untuk mengurangi rasa sakit tanpa mempengaruhi
kesadaran dengan bekerja menurunkan nilai ambang persepsi rasa sakit. Obat
nyeri yang dapat digunakan dalam swamedikasi merupakan obat-obat golongan
AINS (Anti Inflamatory Non Steroid) atau NSAID (Siswandono, 2008).
NSAID memiliki efek samping serupa karena didasari oleh hambatan pada
system biosintesis prostaglandin. Secara umum NSAID dapat menyebabkan efek
samping pada tiga sistem organ, yaitu saluran cerna, ginjal dan hati (Katzung,
2011). Parasetamol dalam bentuk sediaan tunggal atau berisi Parasetamol murni,
berbentuk dalam sediaan tablet atau kaplet 500 mg. Dosis lazim Parasetamol
untuk dewasa adalah 300 mg-1 g setiap kali minum, dengan dosis maksimal 4
gram per hari. Dosis dewasa diberikan maksimal sebanyak 6 kali dalam sehari
(Wilmana, 2011).
Parasetamol mempunyai daya kerja analgetik dan antipiretik sama dengan
asetosal, meskipun secara kimia tidak berkaitan. Tidak seperti Asetosal,
Parasetamol tidak mempunyai daya kerja antiradang, dan tidak menimbulkan
iritasi dan pendarahan lambung. Sebagai obat antipiretika, dapat digunakan baik
asetosal, salsilamid maupun parasetamol. Karena itulah obat ini sering dianggap
aman oleh para konsumen (Samuel, 2009).
Semua obat mirip aspirin bersifat antipiretik, analgesik dan anti inflamasi.
Terdapat perbedaan aktifitas antara obat-obatan tersebut. Sebagai analgesik dan
antipiretik, obat parasetamol hanya efektif terhadap nyeri dengan intensitas rendah
sampai sedang. Namun memiliki efektifitas yang tinggi terhadap antipiretik. Hal
ini dikarenakan analgesik menghambat cox-2, sedangkan sebagai antipiretik
menghambat cox-3 yang langsung berada pada saraf sentral di hipotalamus atau
sawar otak (Katzung, 2011).
Parasetamol dapat menghambat prostaglandin yang akan menyebabkan
menurunnya rasa nyeri. Sebagai Antipiretik, parasetamol bekerja dengan
menghambat cox-3 pada hipotalamus. Parasetamol memiliki sifat yang lipofil
sehingga mampu menembus Blood Brain Barrier, sehingga menjadi first line pada
antipiretik. Pada obat golongan ini tidak menimbulkan ketergantungan dan tidak
menimbulkan efek samping sentral yang merugikan. Oleh karena itu parasetamol
aman diminum 30 menit -1 jam setelah makan atau dalam keadaaan perut kosong
untuk mengatasi efek samping tersebut. Setiap obat yang menghambat
siklooksigenase memiliki kekuatan dan selektivitas yang berbeda (Goodman &
Gilman, 2008).
Parasetamol relatif aman pada dosis terapetik, jika Parasetamol digunakan
bersamaan dengan obat-obatan lain (seperti antihistamin, dekongestan nasal,
agonis opiat) perhatian secara umum, pencegahan dan kontraindikasi terkait obat-
obatan ini harus diperhatikan. Penggunaan bersamaan dengan derivat p-
aminofenol, khususnya pada pemakaian jangka panjang dapat menyebabkan
trombositopenia, leukopenia dan pansitopenia. Agranulositosis jarang terjadi pada
pasien yang menerima penatalaksanaan menggunakan parasetamol (AHFS, 2005).
Toksisitas Parasetamol dikaitkan dengan metabolisme obat di dalam tubuh.
Pada dosis terapi, Parasetamol dimetabolisme oleh konjugasi sulfat dan
glukoronida. Dalam jumlah kecil, (5-10%) dioksidasi oleh cytochrome P-450
(CYP)-bergantung pada jalurnya (biasanya CYP2E1 dan CYP2A4) menjadi
metabolit yang toksik, yaitu N-acetyl-p-benzoquinoneimine (NAPQI). NAPQI
didetoksifikasi oleh glutathion melalui urin atau empedu, kemudian sisanya yang
merupakan metabolit toksik tersebut mengikat hepatosit dan menyebabkan
nekrosis sel hati. Karena metabolit toksik yang terbentuk relatif sedikit dan
persediaan glutathion yang cukup, Parasetamol relatif aman digunakan pada dosis
terapi (AHFS, 2005).
Parasetamol pada umumnya dimetabolis di hati dan diekskresikan di urin
sebagian besar dalam bentuk konjugat glukoronid dan sulfat, sedangkan kurang
dari 5% diekskresikan tetap dalam bentuk parasetamol. Tiga jalur metabolisme
parasetamol yang telah diketahui adalah sebagai berikut glukoronidasi, sulfatasi
dan N-hidroksilasi yang kemudian dikonjugasi gluthation sulfhydryl (GSH).
Ketiga jalur ini menghasilkan produk akhir yang inaktiv, non-toksik, dan
umumnya dieksresikan oleh ginjal. Produk metabolit N-acetyl-p-benzo-quinone
imine (NAPQI) dalam jumlah sedikit mampu diikat oleh glutation sehingga tidak
bersifat toksik. Saat parasetamol dikonsumsi secara berlebihan, glutation tubuh
tidak akan cukup untuk menginaktivasi racun dari NAPQI (Parfitt K. 1999).
Penggunaan parasetamol yang salah, dalam dosis tinggi dan waktu yang lama
dapat menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan, di antaranya adalah efek
hepatotoksisitas yang merusak sel-sel hati. Kerusakan hepar terjadi karena pada
dosis yang berlebihan, hasil metabolisme parasetamol yang berupa NAPQI tidak
dapat dinetralisir semuanya oleh glutathion hepar. Senyawa NAPQI bersifat
toksik dan dapat menyebabkan terjadinya reaksi rantai radikal bebas (Correia &
Castagnoli, 1989).
Dua mekanisme iritasi lambung, ada iritasi yang bersifat lokal menimbulkan
difusi asam lambung ke mukosa dan menyebabkan kerusakan jaringan dan iritasi
secara sistemik akan melepaskan PGE2 dan PGI2 yang akan menghambat sekresi
asam lambung dan merangsang sekresi mukus usus halus pada beberapa orang
dapat terjadi hipersensitivitas. Namun dalam obat parasetamol, efek sampingnya
tidak begitu berbahaya. Akan tetapi apabila digunakan dalam jangka waktu yang
lama dapat menyebabkan kerusakan hati (Goodman and Gilman, 2008).
Parasetamol secara cepat diabsorbsi dari traktus gastro intestinal dengan
konsentrasi puncak di plasma terjadi 10 sampai 60 menit setelah pemberian
peroral. Parasetamol didistribusikan hampir ke semua jaringan tubuh. Pada
pemberian dosis terapeutik, parasetamol yang terikat di protein plasma dapat
dikatakan tidak ada, tetapi ikatan di protein plasma akan meningkat sejalan
dengan meningkatnya konsentrasi parasetamol yang diberikan. Waktu paruh
eliminasi parasetamol bervariasi dari 1 sampai 3 jam (Parfitt K, 1999).
Swamedikasi merupakan usaha pemilihan dan penggunaan obat bebas oleh
individu untuk mengatasi gejala atau sakit yang dialami (WHO, 1998). Masalah
yang sering muncul dalam penggunaan obat secara swamedikasi meliputi
penggunaan obat yang tidak tepat, tidak aman, tidak efektif dan tidak ekonomis,
atau dikenal dengan istilah tidak rasional. Pengobatan yang dikatakan tidak
rasional yaitu pemilihan obat tidak tepat, penggunaan obat yang tidak tepat,
Pemberian obat yang tidak disertai dengan penjelasan yang sesuai, dan pengaruh
pemberian obat (Departemen Kesehatan RI, 2007).
III. ALAT DAN BAHAN
A. Alat
1. Tabung Reaksi 6 Buah
2. Kertas pH 6 Lembar
3. Gelas Ukur 2 Buah
4. Pipet Tetes 2 Buah
5. Pot Salep 6 Buah
B. Bahan
1. Air Putih 2L
2. Urin 2 ml
3. Naftoresorsinol 4g
4. HCl Pekat 15 ml
5. Etil Asetat 42 ml
6. BaCl2 2% 1 ml
7. BaSO4 1 ml
8. FeCl3 2% 1 ml
9. Paracetamol 2 Tablet
10. Saliva 2 ml
IV. CARA KERJA
A. Pelaksanaan Percobaan

2 orang
diminum

2 gelas air 2 jam sebelum praktikum


ditampung

Urine
dianalisa kualitatif

Tiap orang minum 1 macam obat + 250 cc air


diambil sampel

Urine tiap 30 menit dan saliva tiap 15 menit


dianalisa kualitatif

Catat hasil pengamatan

B. Uji untuk Konjugat Glukoronida


0,5 mL Urine/saliva + 2 g naftoresorsinol padat + HCL pekat 1 mL
Dipanaskan
3 menit dan tunggu hingga dingin

ditambah
3 mL etil asetat

dikocok homogen
(+) warna ungu pada lapisan organik

C. Uji Barium Klorida untuk Konjugat Sulfat


0,5 mL Urine (pH 4-6) + BaCl2 2% + 0,5 mL HCl pekat
dididihkan
3 menit dalam lemari asam

diamati

(+)endapan kekrutan
D. Uji Besi (III) Klorida untuk Fenol
Urine/saliva pH 7 + 3 tetes FeCl3 2%
diamati
(+)warna kuning kecoklatan

Anda mungkin juga menyukai