Anda di halaman 1dari 22

PRAKTIKUM I

TERAPI ANTIDOT KERACUNAN AKUT PAEASETAMOL


A. TUJUAN
Mengetahui daya terapi antidot N-Acetylsistein pada keracunan akut parasetamol terhadap
hewan uji.
B. DASAR TEORI
Ketoksikan akut adalah derajat efek toksik suatu senyawa yang terjadi dalam waktu singkat
setelah pemberiannya dalam dosis tunggal. Batasan waktu singkat disini ialah rentang waktu
selama 24 jam selama pemberian senyawa. Bila demikian, uji ketoksikan akut dapat ditakrifkan
sebagai uji ketoksikan suatu senyawa yang diberikan atau dipejankan dengan dosis tunggal pada
hewan uji tertentu, dan pengamatannya dilakukan selama masa 24 jam. Tujuan utama uji
ketoksikan akut suatu obat ialah untuk menetapkan potensi ketoksikan akut, yakni kisaran dosis
letal atau dosis toksik obat terkait pada satu jenis hewan uji atau lebih. Selain itu, uji ini juga
ditujukan untuk menilai berbagai gejala klinis yang timbul, adanya efek toksik yang khas, dan
mekanisme yang memerantarai terjadinya kematian hewan uji. Jadi, dalam uji ketoksikan akut,
data yang dikumpulkan berupa tolok ukur ketoksikan kuantitatif (kisaran dosis letal/toksik) dan
tolok ukur ketoksikan kualitatif (gejala klinis, wujud, dan mekanisme efek toksik). Tolok ukur
kuantitatif yang paling sering digunakam untuk menyatakan kisaran dosis letal atau toksik,
berturut-turut adalah dosis letal tengah (LD50) atau dosis toksik tengah (TD50).Yakni, suatu
besaran yang diturunkan secara statistik, guna menyatakan dosis tunggal suatu senyawa yang
diperkirakan dapat mematikan atau menimbulkan efek toksik yang berarti pada 50% hewan uji.
Pada umumnya, para pakar sependapat bahwa tindakan pertama yang sebaiknya dilakukan
atas penderita keracunan akut zat kimia ialah terapi suportif, yakni memelihara fungsi vital
seperti pernafasan dan sirkulasi. Tindakan selanjutnya yang umum dilakukan meliputi upaya
membatasi penyebaran racun dan meningkatkan pengakhiran aksi racun (Donatus, 2001).
Ketoksikan racun sebagian besar ditentukan oleh keberadaan (lama dan kadar) racun
(bentuk senyawa utuh atau metabolitnya) di tempat aksi tertentu di dalam tubuh. Keberadaan
racun tersebut ditentukan oleh keefektifan absorpsi, distribusi dan eliminasinya. Jadi, pada
umumnya intensitas efek toksik pada efektor berhubungan erat dengan keberadaan racun di
tempat aksi dan takaran pemejanannya (Donatus, 2001).
Takrif terapi antidot yang dinyatakan oleh Loomis (1978). Tujuan terapi antidot ialah untuk
membatasi intensitas efek toksik racun, sehingga bermanfaat untuk mencegah timbulnya efek
berbahaya selanjutnya. Dengan demikian, jelas bahwa sasaran terapi antidot ialah intensitas efek
toksik racun (Donatus, 2001). Pada dasarnya dalam praktek toksikologi klinik, terapi antidot
dapat dikerjakan dengan metode yang tak khas atau yang khas. Dimaksud dengan metode tak
khas ialah metode umum yang dapat diterapkan terhadap sebagian besar racun. Metode khas,
ialah metode yang hanya digunakan bila senyawa yang kemungkinan bertindak sebagai
penyebab keracunan telah tersidik, serta zat antidotnya ada (Donatus, 2001).
Asas umum yang mendasari terapi antidot tersebut meliputi sasaran, strategi dasar, cara,
dan pilihan terapi antidot. Sasaran terapi antidot ialah penurunan atau penghilangan intensitas
efek toksik racun. Intensitas efek ini ditunjukkan oleh tingginya jarak antara nilai ambang toksik
(KTM) dan kadar puncak racun dalam plasma atau tempat aksi tertentu. Strategi dasar terapi
antidote meliputi penghambatan absorpsi dan distribusi (translokasi), peningkatan eliminasi, dan
atau penaikkan ambang toksik racun dalam tubuh (Donatus, 2001).
Acetylcysteine
Acetylcysteine , juga disebut N-acetylcysteine atau NAC, bekerja untuk mengurangi
toksisitas parasetamol dengan mengisi toko tubuh antioksidan glutathione . Glutathione bereaksi
dengan NAPQI metabolit beracun sehingga tidak merusak sel dan dapat dengan aman
diekskresikan. Cysteamine dan metionin juga telah digunakan untuk mencegah hepatotoksisitas,
meskipun studi menunjukkan bahwa keduanya berhubungan dengan lebih buruk efek dari
asetilsistein. Selain itu, asetilsistein telah terbukti menjadi penawar yang lebih efektif, terutama
pada pasien yang lebih besar dari 8 jam pasca-konsumsi.
Jika pasien menyajikan kurang dari delapan jam setelah overdosis parasetamol, kemudian
asetilsistein secara signifikan mengurangi risiko hepatotoksisitas serius dan menjamin
kelangsungan hidup. Jika asetilsistein dimulai lebih dari 8 jam setelah konsumsi, terjadi
penurunan tajam dalam efektivitas karena kaskade peristiwa beracun dalam hati telah dimulai,
dan risiko nekrosis hati akut dan kematian meningkat secara dramatis. Meskipun asetilsistein
yang paling efektif jika diberikan lebih awal, masih memiliki efek menguntungkan jika diberikan
sebagai sebagai akhir 48 jam setelah konsumsi. Dalam praktek klinis, jika pasien menyajikan
lebih dari delapan jam setelah overdosis parasetamol, arang aktif kemudian tidak berguna , dan
asetilsistein dimulai segera. Pada presentasi sebelumnya, arang dapat diberikan bila pasien
datang dan asetilsistein dimulai sambil menunggu hasil tingkat parasetamol untuk kembali dari
laboratorium.

Parasetamol (asetaminofen) merupakan obat analgetik non narkotik dengan cara kerja
menghambat sintesis prostaglandin terutama di Sistem Syaraf Pusat (SSP) . Parasetamol
digunakan secara luas di berbagai negara baik dalam bentuk sediaan tunggal sebagai analgetik-
antipiretik maupun kombinasi dengan obat lain dalam sediaan obat flu, melalui resep dokter atau
yang dijual bebas. (Lusiana Darsono 2002)
Parasetamol adalah paraaminofenol yang merupakan metabolit fenasetin dan telah
digunakan sejak tahun 1893 (Wilmana, 1995). Parasetamol (asetaminofen) mempunyai daya
kerja analgetik, antipiretik, tidak mempunyai daya kerja anti radang dan tidak menyebabkan
iritasi serta peradangan lambung (Sartono,1993).
Hal ini disebabkan Parasetamol bekerja pada tempat yang tidak terdapat peroksid
sedangkan pada tempat inflamasi terdapat lekosit yang melepaskan peroksid sehingga efek anti
inflamasinya tidak bermakna. Parasetamol berguna untuk nyeri ringan sampai sedang, seperti
nyeri kepala, mialgia, nyeri paska melahirkan dan keadaan lain (Katzung, 2011)
Parasetamol, mempunyai daya kerja analgetik dan antipiretik sama dengan asetosal,
meskipun secara kimia tidak berkaitan. Tidak seperti Asetosal, Parasetamol tidak mempunyai
daya kerja antiradang, dan tidak menimbulkan iritasi dan pendarahan lambung. Sebagai obat
antipiretika, dapat digunakan baik Asetosal, Salsilamid maupun Parasetamol.
Diantara ketiga obat tersebut, Parasetamol mempunyai efek samping yang paling ringan
dan aman untuk anak-anak. Untuk anak-anak di bawah umur dua tahun sebaiknya digunakan
Parasetamol, kecuali ada pertimbangan khusus lainnya dari dokter. Dari penelitian pada anak-
anak dapat diketahui bahawa kombinasi Asetosal dengan Parasetamol bekerja lebih efektif
terhadap demam daripada jika diberikan sendiri-sendiri. (Sartono 1996)
Selama bertahun-tahun digunakan, informasi tentang cara kerja parasetamol dalam tubuh belum
sepenuhnya diketahui dengan jelas hingga pada tahun 2006 dipublikasikan dalam salah satu
jurnal Bertolini A, et. al dengan topik Parasetamaol : New Vistas of An Old Drug, mengenai aksi
pereda nyeri dari parasetamol ini.
Mekanisme kerja yang sebenarnya dari parasetamol masih menjadi bahan perdebatan.
Parasetamol menghambat produksi prostaglandin (senyawa penyebab inflamasi), namun
parasetamol hanya sedikit memiliki khasiat anti inflamasi. Telah dibuktikan bahwa parasetamol
mampu mengurangi bentuk teroksidasi enzim siklooksigenase (COX), sehingga menghambatnya
untuk membentuk senyawa penyebab inflamasi. Paracetamol juga bekerja pada pusat pengaturan
suhu pada otak. Tetapi mekanisme secara spesifik belum diketahui.
Parasetamol berikatan dengan sulfat dan glukuronida terjadi di hati. Metabolisme
utamanya meliputi senyawa sulfat yang tidak aktif dan konjugat glukoronida yang dikeluarkan
lewat ginjal. Sedangkan sebagian kecil, dimetabolismekan dengan bantuan enzim sitokrom P450.
Hanya sedikit jumlah parasetamol yang bertanggung jawab terhadap efek toksik (racun) yang
diakibatkan oleh metabolit NAPQI (N-asetil-p- benzo-kuinon imina). Bila pasien mengkonsumsi
parasetamol pada dosis normal, metabolit toksik NAPQI ini segera didetoksifikasi menjadi
konjugat yang tidak toksik dan segera dikeluarkan melalui ginjal. Perlu diketahui bahwa
sebagian kecil dimetabolisme cytochrome P450 (CYP) atau N-acetyl-p-benzo-quinone-imine
(NAPQI) bereaksi dengan sulfidril.
Namun apabila pasien mengkonsumsi parasetamol pada dosis tinggi, konsentrasi metabolit
beracun ini menjadi jenuh sehingga menyebabkan kerusakan hati. Pada dosis normal bereaksi
dengan sulfhidril pada glutation metabolit non-toxic diekskresi oleh ginjal
BAHAYA PARASETAMOL
Dalam dosis normal, parasetamol tidak menyakiti permukaan dalam perut atau
mengganggu gumpalan darah, ginjal atau duktus arteriosus pada janin. Parasetamol relatif aman
digunakan, namun pada dosis tinggi dapat menyebabkan kerusakan hati. Risiko kerusakan hati
ini diperparah apabila pasien juga meminum alkohol.
Setelah berpuluh tahun digunakan, parasetamol terbukti sebagai obat yang aman dan
efektif. Tetapi, jika diminum dalam dosis berlebihan (overdosis), parasetamol dapat
menimbulkan kematian. Parasetamol dapat dijumpai di dalam berbagai macam obat, baik
sebagai bentuk tunggal atau berkombinasi dengan obat lain, seperti misalnya obat flu dan batuk.
Antidotum overdosis parasetamol adalah N-asetilsistein (N-acetylcysteine, NAC). Antidotum ini
efektif jika diberikan dalam 8 jam setelah mengkonsumsi parasetamol dalam jumlah besar. NAC
juga dapat mencegah kerusakan hati jika diberikan lebih dini
Hal yang jarang terjadi, antara lain reaksi hipersensitifitas dan kelainan darah. Pada
penggunaan kronis dari 3-4 g sehari dapat terjadi kerusakan hati, pada dosis di atas 6 g
mengakibatkan nekrose hati yang reversible. Hepatotoksisitas ini disebabkan oleh metabolit-
metabolitnya, yang pada dosis normal dapat ditangkal oleh glutation (suatu tripeptida dengan
SH). Pada dosis diatas 10 g, persediaan peptida tersebut habis dan metabolit-metabolit mengikat
pada protein dengan SH di sel-sel hati, dan terjadilah kerusakan irreversible. Parasetamol
dengan dosis diatas 20 g sudah berefek fatal. Over dosis bisa menimbulkan antara lain mual,
muntah, dan anorexia. Penanggulanganya dengan cuci lambung, juga perlu diberikan zat-zat
penawar (asam amino N-asetilsisten atau metionin) sedini mungkin, sebaiknya dalam 8-10 jam
setelah intoksikasi (Tjay dan Rahardja, 2002) Wanita hamil dapat menggunakan parasetamol
dengan aman, juga selama laktasi walaupun mencapai air susu ibu
Overdosis bisa menimbulkan mual, muntah dan anoreksia. Penanggulangannya dengan
cuci lambung, juga perlu diberikan zat-zat penawar (asam amino N-asetilsistein atau metionin)
sedini mungkin, sebaiknya dalam 8-10 jam setelah intoksikasi. Wanita hamil dapat menggunakan
Parasetamol dengan aman, juga selama laktasi walaupun mencapai air susu ibu. Interaksi pada
dosis tinggi memperkuat efek antikoagulansia, dan pada dosis biasa tidak interaktif.(Tjay, 2002)
Mekanisme Toksisitas
Pada dosis terapi, salah satu metabolit Parasetamol bersifat hepatotoksik, didetoksifikasi
oleh glutation membentuk asam merkapturi yang bersifat non toksik dan diekskresikan melalui
urin, tetapi pada dosis berlebih produksi metabolit hepatotoksik meningkat melebihi kemampuan
glutation untuk mendetoksifikasi, sehingga metabolit tersebut bereaksi dengan sel-sel hepar dan
timbulah nekrosis sentro-lobuler. Oleh karena itu pada penanggulangan keracunan Parasetamol
terapi ditujukan untuk menstimulasi sintesa glutation. Dengan proses yang sama Parasetamol
juga bersifat nefrotoksik
Gambaran Klinis
Gejala keracunan parasetamol dapat dibedakan atas 4 stadium :
1. Stadium I (0-24 jam)
Asimptomatis atau gangguan sistem pencernaan berupa mual, muntah, pucat, berkeringat. Pada
anak-anak lebih sering terjadi muntah-muntah tanpa berkeringat.
2. Stadium II (24-48 jam)
Peningkatan SGOT-SGPT. Gejala sistim pencernaan menghilang dan muncul ikterus, nyeri perut
kanan atas, meningkatnya bilirubin dan waktu protombin. Terjadi pula gangguan faal ginjal
berupa oliguria, disuria, hematuria atau proteinuria.
3. Stadium III ( 72 - 96 jam )
Merupakan puncak gangguan faal hati, mual dan muntah muncul kembali, ikterus dan terjadi
penurunan kesadaran, ensefalopati hepatikum.
4. Stadium IV ( 7- 10 hari)
Terjadi proses penyembuhan, tetapi jika kerusakan hati luas dan progresif dapat terjadi sepsis,
Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) dan kematian. (Lusiana Darsono 2002)

C. ALAT DAN BAHAN


Alat :
- Spuit dan Jarum injeksi
- Sonde oral
- Stopwatch
- Alat gelas
- Sarung tangan tebal
- Kandang metabolit
Bahan
- Tikus putih
- N-Acetylsistein
- Sirup paracetamol

D. PERHITUNGAN DOSIS BAHAN


1. Pada kelompok 2
Dosis
Parasetamol 150 mg /200 gr BB
N-Acetylsistein : 176 mg/200 gr BB
- Tikus 1
BB : 50 gr
Parasetamol : 150 mg/200 BB gr x 50gr : 37,5 mg
Yang diambil 37,5 mg x 5 ml/120 mg : 1,5625ml ~ 1,6 ml
- Tikus 2
BB : 100 gr
a. Parasetamol :
150 mg/200 gr BB x 100gr : 75 mg
Yang diambil 75 mg x 5 ml/120 mg : 3,125 ml ~ 3,1 ml
b. N-Acetylsistein
176 mg/200 gr BB x 100 gr : 88 mg
Yang diambil 88 mg x 1 ml/200 mg : 0,44 ml ~0,4 ml

- Tikus 3
BB : 90 gr
a. Parasetamol :
150 mg/200 gr BB x 90 gr : 67,5 mg
Yang diambil 67,5 mg x 5 ml/120 mg : 2,8125 ml ~ 3 ml
b. N-Acetylsistein
176 mg/200 gr BB x 90 gr : 79,2 mg
Yang diambil 79,2 mg x 1 ml/200 mg : 0,395 ml ~0,4 ml
Dosis
Paracetamol : 300 mg/200 gr BB
N-Acetylsistein : 176 mg/200 mg
- Tikus 4
BB : 80 gr
a. Parasetamol :
300 mg/200 gr BB x 80 gr : 120 mg
Yang diambil 120 mg x 5 ml/120 mg : 5 ml
- Tikus 5
BB : 50 gr
a. Parasetamol :
300 mg/200 gr BB x 50 gr : 75 mg
Yang diambil 75 mg x 5 ml/120 mg : 3,125 ml ~ 3,1 ml
b. N-Acetylsistein
176 mg/200 gr BB x 50 gr : 44 mg
Yang diambil 44 mg x 1 ml/200 mg : 0,22 ml ~0,2 ml
- Tikus 6
BB : 100 gr
a. Parasetamol :
300 mg/200 gr BB x 100 gr : 150 mg
Yang diambil 150 mg x 5 ml/120 mg : 6,25 ml ~ 6,3 ml
b. N-Acetylsistein
176 mg/200 gr BB x 100 gr : 88 mg
Yang diambil 88 mg x 1 ml/200 mg : 0,44 ml ~0,4 ml

Perhitungan dosis dari tiap kelompok tikus


No.
Perlakuan Kelompok BB Tikus dosis dan Volume
PCT 150 Mg/200 N.Acetyl 176/200 PCT 300
gr BB gr BB Mg/200grBB
I 1 100 75 / 3
2 50 37,5 / 1,6
3 100 75/3,125
4 140 105 / 4,5
5 140 105/ 4,4
II 1 100 75 / 3 88 / 0,5
2 100 75 / 3,1 88 /0,44
3 100 75/ 3,125 88 / 0,44
4 110 82,5 / 3,4 96,8/0,5
5 100 75 / 3,2 88 / 0,44
III 1 100 75 /3 88 /0,5
2 90 67,5 / 2,8 79,2 /0,4
3 100 75 / 3,125 88 / 0,44
4 100 75 / 3 88 /0,4
5 100 75/ 3,2 88/0,44
IV 1 100 150 / 6
2 80 110 / 5
3 100 150 / 6,25
4 120 180 / 7,5
5 60 90/ 3,8
V 1 100 88/0,5 150/6
2 50 44/0,2 75/3,1
3 90 79,2/0,3 135/5,63
4 110 96,8/0,5 165/6,9
5 90 79,2/0,4 135/5,6
VI 1 100 88/0,5 150/6
2 100 88/0,44 150/6,3
3 80 70,2/0,3 120/5
4 120 105,6/0,5 180/7,5
5 60 52,8/0,26 90/3,8

E. CARA KERJA
- Tikus 1
- Tikus 2

Tikus 4
Tikus 5

Tikus 3
Tikus 6
HASIL PERCOBAAN
No.
Perlakuan Kelompok BB Tikus dosis dan Volume
PCT 150 Mg/200 N.Acetyl 176/200 PCT 300
gr BB gr BB Mg/200grBB
I 1 100 75 / 3
2 50 37,5 / 1,6
3 100 75/3,125
4 140 105 / 4,5
5 140 105/ 4,4
II 1 100 75 / 3 88 / 0,5
2 100 75 / 3,1 88 /0,44
3 100 75/ 3,125 88 / 0,44
4 110 82,5 / 3,4 96,8/0,5
5 100 75 / 3,2 88 / 0,44
III 1 100 75 /3 88 /0,5
2 90 67,5 / 2,8 79,2 /0,4
3 100 75 / 3,125 88 / 0,44
4 100 75 / 3 88 /0,4
5 100 75/ 3,2 88/0,44
IV 1 100 150 / 6
2 80 110 / 5
3 100 150 / 6,25
4 120 180 / 7,5
5 60 90/ 3,8
V 1 100 88/0,5 150/6
2 50 44/0,2 75/3,1
3 90 79,2/0,3 135/5,63
4 110 96,8/0,5 165/6,9
5 90 79,2/0,4 135/5,6
VI 1 100 88/0,5 150/6
2 100 88/0,44 150/6,3
3 80 70,2/0,3 120/5
4 120 105,6/0,5 180/7,5
5 60 52,8/0,26 90/3,8

Gejala/menit ke Tikus 1
Sianosis 35 menit
Hilangnya kesadaran
Kejang
Kegagalan pernafasan
kematian
Gejala lain Gatalga

perlakuan
Tikus I II III IV V VI
1 60 1140 540 120 360 540
2 240 360 180 360 540 360
3 360 240 480 600 360
4 360 300 360 480
5 300 360 180 300 420

Uji ANOVA 1 Jalan


Tikus 1 Tikus 2 Tikus 3 Tikus 4 Tikus 5 Tikus 6
n=5 n=4 n=4 n=5 n=5 n=3
X=264 X=525 X=300 X=324 X=480 X=420
x=1.320 x=2.100 x=1.200 x=1.620 x=2.400 x=1.260
x2=410.400 x2=1.616.400 x2=446.400 x2=594.000 x2=1.118.000 x2=550.800

x total=x1+x2+x3+x4+x5+x6
=1.320+2.100+1.200+1.620+2.400+1.260
=9.900
x2 total=x21+x22+x23+x24+x25+x26
=410.400+1.616.400+446.400+594.000+1.118.000+550.800
=4.806.000
x2 t =x2 total - (x total)2
N
=4.845.600 (9.900)2
26
=4.845.600 3.769.615,39
=1.036.384,61
x2 ak = (1.320)2 + (2.100)2+ (1.200) 2+ (1620) 2+ (2.400) 2+ (1.260) 2- (9.900) 2
5 4 4 5 5 3 26
= 348.480+1.102.500+360.00+524.880+1.152.000+529.200-3.815.446,154
=247.444,61
x2 dlkl = x2 t - x2 ak
= 1.036.384,61 - 247.444,61
=788.940

Rerata
RJKt = x2 t = 1.036.384,61 =39.860,95
N 26
RJKak = x2 ak = 247.444,61 =49488,92
K-1 6-1

RJKdlkl = x2 dlkl = 788.940 = 39.447


N-K 26-6
F.Hitung = RJKak = 49488,92 = 1,25
RJKdlkl 39.447
F Hitung F Tabel
1,25 2,71
Rerata dosis ke 6 kelompok tidak berbeda
UJI SCHEEFE
KONTRAS F.HIT FHIT KETERANGAN
1 vs 2 3,84 13,55 Tidak signifikan
1vs 3 0,07 13,55 Tidak signifikan
1 vs 4 0,23 13,55 Tidak signifikan
1 vs 5 2,96 13,55 Tidak signifikan
1 vs 6 1,16 13,55 Tidak signifikan
2 vs 3 2,57 13,55 Tidak signifikan
2 vs 4 2,28 13,55 Tidak signifikan
2 vs 5 0,11 13,55 Tidak signifikan
2 vs 6 0,48 13,55 Tidak signifikan
3 vs 4 0,03 13,55 Tidak signifikan
3 vs 5 1,83 13,55 Tidak signifikan
3 vs 6 0,63 13,55 Tidak signifikan
4 vs 5 1,54 13,55 Tidak signifikan
4 vs 6 0,44 13,55 Tidak signifikan
5 vs 6 0,17 13,55 Tidak signifikan
F Hit F Hit ada perbedaan yang signifikan
1 vs 2F.Hit = (264-525) 2
39.447/5 + 39447/4
=68.121 = 3,84
17.751,15
1 vs 3 F.Hit = (264-300)2
39.447 + 39.447
5 4
= 1.296 = 0,07
17.751,15

1 vs 4 F.Hit = (264-324)2
39.447 + 39.447
5 5
= 3600 = 0,23
15.778,8
1 vs 5 F.Hit = (264-480)2
39.447 + 39.447
5 5
= 46.656/15.778,8=2,96
1 vs 6F.Hit= (264-420) 2
39.447 + 39.447
5 3
= 24.336 = 1,16
21.038,4
2 vs 3F.Hit = (525-300) 2
39.447 + 39.447
4 4
= 50.625 = 2,57
19.723,5
2 vs 4F.Hit = (525-324) 2
39.447 + 39.447
4 5
= 40401 = 2,28
17.751,15
2 vs 5F.Hit = (525-480)2
39.447 + 39.447
4 5
= 2.025 = 0,11
17.751,15
2 vs 6F.Hit = (525-420)2
39.447 + 39.447
4 3
= 11.025 = 0,48
23.010,75
3 vs 4F.Hit = (300-324)2
39.447 + 39.447
4 5
=576 = 0,03
17.751,15
3 vs 5F.Hit = (300-480)2
39.447 + 39.447
4 5
= 32.400 = 1,83
17.751,15
3 vs 6F.Hit= (300-420)2
39.447 + 39.447
4 3
=14.400 =0,63
23.010,75
4 vs 5F.Hit= (324-480)2
39.447 + 39.447
5 5
=24.336/15.778,8=1,54
4 vs 6 F.Hit = (324-420)2
39.447 + 39.447
5 3
=9216 = 0,44
21.038,4
5 vs 6 F.Hit = (480-420)2
39.447 + 39.447
5 3
=3.600 =0,17
21.038,4
FHit = (K-1)xF.Tabel
= 5x2,71 = 13,55
F. PEMBAHASAN
Pada praktikum toksikologi kali ini kami melakukan percobaan uji daya terapi antidotum
menggunakan antidotum N-Acetylsistein dengan paracetamol sebagai zat racun penyebab
ketoksikan.
Peningkatan dosis parasetamol berarti meningkatkan keberadaan zat beracun parasetamol di
sel sasaran, Pada dosis terapi, salah satu metabolit Parasetamol bersifat hepatotoksik,
didetoksifikasi oleh glutation membentuk asam merkapturi yang bersifat non toksik dan
diekskresikan melalui urin, tetapi pada dosis berlebih produksi metabolit hepatotoksik meningkat
melebihi kemampuan glutation untuk mendetoksifikasi, sehingga metabolit tersebut bereaksi
dengan sel-sel hepar dan timbulah nekrosis sentro-lobuler. Oleh karena itu pada penanggulangan
keracunan Parasetamol terapi ditujukan untuk menstimulasi sintesa glutation. Dengan proses
yang sama Parasetamol juga bersifat nefrotoksik.
Parasetamol dosis 140 mg/kg pada anak-anak dan 6 gram pada orang dewasa berpotensi
hepatotoksik. Dosis 4g pada anak-anak dan 15g pada dewasa dapat menyebabkan hepatotoksitas
berat sehingga terjadi nekrosis sentrolobuler hati. Dosis lebih dari 20g bersifat fatal. Pada
alkoholisme, penderita yang mengkonsumsi obat-obat yang menginduksi enzim hati, kerusakan
hati lebih berat, hepatotoksik meningkat karena produksi metabolit meningkat.
MEKANISME TOKSISITAS
Sulfat dan glukuronida pada liver tersaturasi

paracetamol lebih banyak ke CYP -> NAPQI bertambah -> suplai glutation tidak mencukupi

NAPQI bereaksi dengan membran sel

Hepatosit rusak -> nekrosis


Acetylcysteine , juga disebut N-acetylcysteine atau NAC, bekerja untuk mengurangi
toksisitas parasetamol dengan mengisi tubuh antioksidan glutathione . Glutathione bereaksi
dengan NAPQI metabolit beracun sehingga tidak merusak sel dan dapat dengan aman
diekskresikan. Selain itu, asetilsistein telah terbukti menjadi penawar yang lebih efektif, terutama
pada pasien yang lebih besar dari 8 jam pasca-konsumsi.
Jika pasien menyajikan kurang dari delapan jam setelah overdosis parasetamol, kemudian
asetilsistein secara signifikan mengurangi risiko hepatotoksisitas serius dan menjamin
kelangsungan hidup. Jika asetilsistein dimulai lebih dari 8 jam setelah konsumsi, terjadi
penurunan tajam dalam efektivitas karena kaskade peristiwa beracun dalam hati telah dimulai,
dan risiko nekrosis hati akut dan kematian meningkat secara dramatis. Meskipun asetilsistein
yang paling efektif jika diberikan lebih awal, masih memiliki efek menguntungkan jika diberikan
sebagai sebagai akhir 48 jam setelah konsumsi. Dalam praktek klinis, jika pasien menyajikan
lebih dari delapan jam setelah overdosis parasetamol, arang aktif kemudian tidak berguna , dan
asetilsistein dimulai segera. Pada presentasi sebelumnya, arang dapat diberikan bila pasien
datang dan asetilsistein dimulai sambil menunggu hasil tingkat parasetamol untuk kembali dari
laboratorium.
Ada enam perlakuan terhadap hewan uji (tikus) dalam percobaan percobaan ini, antara lain :
1. kelompok I : kelompok kontrol dengan pemberian parasetamol secara per oral
2. kelompok II:di berikan perlakuan dengan pemberian parasetamol secara per oral dan
kemudian menyuntikan N-Acetylsistein dengan pemberian secara intra peritoneal yaitu pada
rongga perut setalah tikus tersebut terjadi sianosis
3. kelompok III : diberikan perlakuan dengan pemberian parasetamol secara per oral dan saat
tikus mengalami gejala sianosis kemudian menyuntikan N -Acetylsisitein secara peritonial
setelah tikus tersebut sudah mengalami kejang
4. Kelompok IV : kelompok kontrol dengan pemberian parasetamol secara per oral
5. Kelompok V: di berikan perlakuan dengan pemberian parasetamol secara per oral dan
kemudian menyuntikan N-Acetylsistein dengan pemberian secara intra peritoneal yaitu pada
rongga perut setalah tikus tersebut terjadi sianosis

6. kelompok VI : diberikan perlakuan dengan pemberian parasetamol secara per oral dan saat
tikus mengalami gejala sianosis kemudian menyuntikan N -Acetylsisitein secara peritonial
setelah tikus tersebut sudah mengalami kejang

Pada kelompok I (1,6 ml ) dan kelompok IV (5 ml) (kelompok control) dengan pemberian
parasetamol secara peroral dimana kelompok control tersebut di gunakan untuk mengetahui
bagaimana aktifitas parasetamol dalam mematikan hewan uji tanpa adanya penambahan
antidotum N-Acetylsisitein dan dari hasil pengamatan tersebut kami dapat melihat bagaimana
lama parasetamol dalam mematikan hewan uji seharusnya hewan uji yang diberi paracetamol
tanpa pemberian Antidotum N-Acetylsitein mati, akan tetapi pada kelompok kami, tikus masih
hidup. Kemungkinan dikarenakan factor dosis yang kecil, kesalahan dalam penimbangan , dan
pada saat pemberian per oral terdapat parasetamol yang tidak tertelan tikus.
Pada kelompok II dan V Tikus diberikan perlakuan dengan diberikan parasetamol kelompok
II :dosis 3,1 ml dan kelompok V :Dosis parasetamol 3,1 ml secara peroral dan kemudian
disuntikan secara peritonial larutan antidotum N-Acetylsistein pada kelompok II 0,4 ml
kelompok V 0,2 ml setelah tikus tersebut sudah mengalami sianosis. Pada kelompok tikus
tersebut dapat dibandingkan bagaimana kerja dari antidotum dari kedua dosis sebagai penawar
racun dalam fase absorbsi.
Pada kelompok III ( 2,8 ml ) dan kelompok VI (6,3ml) tikus diberikan perlakuan dengan
diberikan parasetamol secara peroral dan kemudian disuntikan kembali secara peritonial larutan
antidotum N-Acetylsistein setelah tikus tersebut sudah mengalami kejang. Pada kelompok III
diberikan 0,4 ml dan pada kelompok VI diberikan 0,4 ml. Yang pada kelompok tikus tersebut
dapat dibandingkan bagaimana kerja dari antidotum sebagai penawar racun dalam fase distribusi.
Berdasarkan hasil pengamatan pada pada percobaan diperoleh bahwa pada pada pemberian
antidotum N-Acetylsistein di peroleh hasil bahwa pada semua 4 tikus hidup semua. Secara teori
tikus yang mati ada 2 yaitu di kelompok I dan kelompok IV,yang hanya diberi parasetamol dan
total tikus yang hidup ada 6 ekor. Hal ini menunjukan bahwa N-Acetylsistein dapat
menawarkanracunkan dalam fase distribusi dan absorbsi karena untuk menentukan perbedaan
antara sianosis dan kejang sangat tipis sekali, sehingga parasetamol yang diperkirakan masih
dalam tahap absobsi ternyata sudah memasuki tahap distribusi.

Berdasarkan hasil dari perhitungan perbandingan antar kelompok dan dilakukan perhitungan
dengan menggunakan uji statistik ANOVA 1 jalan dengan taraf kepercayaan 95% . pada hasil
perhitungan didapat nilai F Hit lebih kecil dari table daftar I yaitu 1,25<2,71 dinyatakan hasil
tidak ada perbedaan yang signifikan.
Hal hal kesalahan yang mungkin terjadi selama praktikum :
pada saat penyuntikan secara peritonial kemungkinan kesalahan yang mungkin terjadi.
Suntikan tersebut tidak masuk dalam rongga perut tapi masuk secara subkutan sehingga
antidotum tersebut pun menjadi kurang berarti. Kesalahan lain yang mengakibatkan data menjadi
kurang baik adalah kesalahan pada saat pemberian antidotum tersebut, karena perbedaan antara
sianosis dan kejang sangat tipis sehingga kemungkinan kesalahan pemberian sehingga pada
pemberian N-Acetilsistein tersebut menjadi tidak berarti karena parasetamol sudah masuk dalam
tahap distribusi. Kesalahan pencatatan waktu juga mungkin terjadi karena perbedaan tiap gejala
efek toksik sangan tipis sehingga pencatatan waktuyang kurang tepat juga dapat mengakibatkan
data yang di dapat menjadi kurang baik

H.Kesimpulan
Terapi antidotum bertujuan untuk terapi keracunan baik akut mapun kronik yang disebabkan oleh
suatu zat kimia dalam kadar yang tidak sesuai dengan penggunaan atau dosis, strategi dalam
terapi saat keracunan sudah masuk kedalam system absorbsi dan distribusi dilihat dari gejalanya.
N acetylsistein dapat bekerja dari antidotum dari kedua dosis tersebut sebagai penawar racun
dalam fase absorbsi. Serta kerja dari antidotum sebagai penawar racun dalam fase distribusi.
DAFTAR PUSTAKA
Donatus, I.A., 2001, Toksikologi Dasar, Laboratotium Farmakologi dan ToksikologiFakultas Farmasi
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Loomis, I.A., 1978, Essentiale of Toxycologi, diterjemahkan oleh Imono Argo Donatus,Toksikologi
Dasar, Edisi III, IKIP Semarang Press, Semarang

Lu, F.C., 1995, Toksikologi Dasar : Asas, Organ Sasaran dan Penilaian Resiko,diterjemahkan oleh Edi
Nugroho, Edisi II, UI Press, Jakarta
Farmakologi Dasar dan Klinik Buku 3 Edisi 8. Surabaya : Salemba Medika. Lusiana, Darsono 2002.
Diagnosis dan Terapi Intoksikasi Salisilat dan Parasetamol
Kartodirdjo, Sartono, 1993, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah,
Bertram G. Katzung - Basic Clinical Pharmacology 12th Edition 2011

Anda mungkin juga menyukai