Disusun Oleh:
Aulia Salsadilla
H0719028
1
II. PEMBAHASAN
Indonesia secara geografis membentang dari 6oLU hingga 11oLS dan 92o
sampai 142oBT. Indonesia terdiri dari beberapa pulau yang jumlahnya mencapai
17.504 pulau. Negara ini memiliki wilayah yang tiga perempatnya adalah laut
dengan luas 5,9 juta km2, dengan demikian Indonesia memiliki garis pantai yang
cukup panjang yaitu 95.161 km. Panjang garis pantai Indonesia ini menduduki garis
pantai terpanjang kedua setelah Kanada. Luasnya wilayah perairan Indonesia dan
panjang garis pantai ini memyebabkan Indonesia memiliki tanah garam yang cukup
luas.
Tanah garam terjadi karena beberapa penyebab, seperti penyusupan air laut,
luapan air laut, proses salinasi, dan juga proses alkalinasi. Proses alkalinasi dan
salinasi didukung pada kondisi lingkungan yang kering, di mana evaporasi lebih
tinggi dibandingkan curah hujan. Pada lingkungan sedemikian rupa, akumulasi
garam di lapisan tanah akan lebih besar dan menyebabkan tanah garaman.
Rachman et al (2008) berpendapat bahwa salinitas tanah merupakan faktor
pembatas penting pertumbuhan tanaman. Kadar garam yang tinggi dalam larutan
tanah akan menyebabkan osmotik potensial larutan tanah berkurang. Kondisi
sedemikian rupa akan menyebabkan akar tanaman kesulitan menyerap air dan
kekeringan fisiologis dapat terjadi.
A. Sifat dan Ciri Tanah Garaman
Tanah garam pada dasarnya dibedakan menjadi tiga jenis. Jenis-jenis
tersebut di antaranya adalah tanah salin, tanah alkali (sodik), tanah salin-alkali
(saline-sodik). Shiddieq et al (2018) beranggapan bahwa salin, sodik, dan salin-
sodik adalah istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan salinitas tanah.
Salinitas disebabkan oleh akumulasi garam terlarut, baik itu natrium, kalsium,
maupun magnesium dalam air.
Shiddieq et al (2018) juga mengatakan bahwa garam terbentuk sebagai
suatu hasil reaksi kimiawi antara suatu asam dan suatu basa. Garam tanah
terbanyak adalah sulfat (SO4) dan klorida (CL2). Tanah salin merupakan tanah
yang memiliki kadar garam larut yang tinggi dan disertai dengan daya hantar
2
3
listrik yang tinggi pula. Menurut Shiddieq et al (2018), tanah salin biasanya
dijumpai pada daerah kering beririgasi, yang laju evaporasinya melebihi laju
pelindian garam masuk ke dalam tanah melalui hujan.
Tanah alkali memiliki kadar garam natrium yang tinggi. Tanah jenis ini juga
memiliki pH atau derajat keasaman yang juga tinggi. Akibat kadar natrium
yang tinggi, tanah alkali dapat menyebabkan tanah keracunan Na dan Cl. Hal
tersebut disebabkan karena ketersediaan unsur K, Ca, dan Mg terganggu.
Sama seperti tanah salin dan alkali, tanah salin-alkali atau salin-sodik ini
memiliki karakteristik yang merupakan gabungan dari keduanya. Tanah salin
alkali ini memiliki kadar larut garam yang tinggi disertai kadar garam natrium
yang juga tinggi. Selain itu, tanah salin-sodik memiliki daya hantar listrik,
derajat keasaman, dan juga nilai SAR yang cukup tinggi.
B. Kendala Tanah Garaman
Tanah garaman memiliki banyak kendala dalam budidaya tanaman.
Pada dasarnya dengan kadar garam yang tinggi, tanah ini dapat
menyebabkan potensial larutan tanah berkurang. Beberapa kendala tanah
garaman adalah sebagai berikut:
a. Hipertonik terhadap sel
Suswati et al (2012) berpendapat bahwa tanah salin dipengaruhi oleh
konsentrasi garam natrium yang tinggi. Kandungan natrium ini dapat
menghambat pertumbuhan tanaman. Pada beberapa kasus, tanah salin
bahkan dapat mengakibatkan kematian pada tanaman. Pertumbuhan
tanaman pada kondisi salin akan terhambat karena konsentrasi garam
Na larut tinggi ke dalam tanah, konsentrasi ini akan mengakibatkan
plasmolisis pada sel tanaman, yaitu proses bergerak keluarnya H2O dari
tanaman ke larutan tanah sehingga menghambat pertumbuhan tanaman.
FAO (2005) berasumsi bahwa pada kondisi garam dalam larutan
tanah sangat tinggi, maka air dari dalam sel tanaman akan bergerak
keluar, dinding protoplasma mengkerut dan sel rusak karena terjadi
plasmolisis. Selain tanaman harus mengatasi tekanan osmotik tinggi,
pada beberapa tanaman dapat terjadi ketidakseimbangan hara
4
8
DAFTAR PUSTAKA
Adji, S. S. (2008). Pengaruh Pencucian Pada Tanah Tercemar Natrium
Terhadap Pertumbuhan Tanaman. Jurnal Matematika Sains dan
Teknologi, 9(1), 21-30.
Djuwansah, M. (2013). Status Natrium pada Tanah Tercemar Limbah lndustri
Tekstil di Rancaekek, Kabupaten Bandung. Jurnal Tanah dan
Iklim, 37(1), 25-34.
FAO. 2005. Final Report for SPFS-Emergency Study on Rural Reconstruction
Along the Eastern Coast of NAD Province. Government of the Republic
of Indonesia, Ministry of Agriculture, Food and Agriculture Organization
of the United Nations. Nippon Koei Co. Ltd.
Lubis, M. M. R., Mawarni, L., & Husni, Y. (2015). Respons Pertumbuhan Tebu
(Sacharum officinarum L.) terhadap Pengolahan Tanah pada Dua Kondisi
Drainase. Jurnal Agroekoteknologi Universitas Sumatera Utara, 3(1),
102999.
Nasyirah, N., Kalsim, D. K., & Saptomo, S. K. (2015). Analisis laju pencucian
tanah salin dengan menggunakan drainase bawah permukaan. Jurnal
Keteknikan Pertanian, 3(2).
Novidiantoko, Dwi. 2019. Buku Ajar Irigasi Pedesaan. Yogyakarta:
DeePublish
Rachman, A., Erfandi, D. E. D. D. Y., & Ali, M. N. (2008). Dampak tsunami
terhadap sifat-sifat tanah pertanian di NAD dan strategi
rehabilitasinya. Jurnal tanah dan iklim, 28, 27-38.
Shiddieq, D., Sudira, P., Tohari. 2018. Aspek Dasar Agronomi Berkelanjutan.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sipayung, R. (2003). Stres garam dan mekanisme toleransi tanaman. USU
digital library.
Suswati, S., Sumarsono, S., & Kusmiyati, F. (2012). Pertumbuhan dan
Produksi Rumput Benggala (Panicum Maximum) pada Berbagai Upaya
Perbaikan Tanah Salin. Animal Agriculture Journal, 1(1), 297-306.
Tehubijuluw, H., Sutapa, I. W., & Patty, P. (2014). Analisis Kandungan Unsur
Hara Ca, Mg, P, dan S Pada Kompos Limbah Ikan. Arika, 8(1), 43-52.