Anda di halaman 1dari 43

Case Report Session

Morbus Hansen

Oleh :

Alwis Asidiq 2040312152


Alysha Andini 2040312134

Preseptor:

Dr. dr. Satya Wydya Yenny, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV


dr. Gardenia Akhyar, SpKK(K) FINSDV

BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


RSUP. DR.M. DJAMIL PADANG
FK UNAND
2021

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT karena dengan nikmat dan karunia-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan diskusi Case Report Session yang
berjudul “Morbus Hansen” sebagai salah satu syarat dalam mengikuti kepaniteraan
klinik di bagian Kulit dan Kelamin RSUP Dr M Djamil Padang Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas.

Penyusunan diskusi Case Report Session ini merupakan salah satu syarat dalam
mengikuti kepaniteraan klinik senior di bagian Kulit dan Kelamin RSUP Dr M
Djamil Padang Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. Terima kasih penulis
ucapkan Dr. dr. Satya Wydya Yenny, SpKK(K) FINSDV, FAADV dan dr.
Gardenia Akhyar, SpKK(K) FINSDV sebagai preseptor dalam kepaniteraan klinik
senior ini beserta seluruh jajarannya dan semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan diskusi Case Report Session ini.
Penulis menyadari bahwa diskusi Case Report Session ini jauh dari
sempurna, maka dari itu sangat diperlukan saran dan kritik untuk kesempurnaan
diskusi Case Report Session ini. Penulis berharap agar diskusi Case Report Session
ini bermanfaat dalam meningkatkan pengetahuan terutama bagi penulis sendiri dan
bagi teman-teman dokter muda yang tengah menjalani kepaniteraan klinik. Akhir
kata, semoga diskusi Case Report Session ini bermanfaat bagi kita semua.

Padang, Januari 2021

Penulis

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Morbus Hansen (MH) atau yang disebut juga kusta atau lepra merupakan
penyakit infeksi kronik granulomatosa yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae
yang bersifat intraselular obligat. Kusta adalah salah satu penyakit tertua, dimana
nama kusta berasal dari bahasa India (kustha) yang sudah dikenal sejak 1400 tahun
sebelum Masehi.1 Kasus kusta pada tahun 2014 di dunia 213.899 orang pasien baru
yang tercatat oleh WHO. Penderita kusta baru tercatat sebanyak
210.578 orang pada tahun 2015.2
Indonesia berada di peringkat ketiga di dunia setelah India dan Brazil,
dengan jumlah Penderita Kusta baru pada tahun 2017 mencapai 15.910 Penderita
Kusta (angka penemuan Penderita Kusta baru 6,07 per 100.000 penduduk).3 Jumlah
kasus kusta yang tercatat permulaan tahun 2009 adalah 21.538 orang.4 Menurut data
Depkes, pada tahun 2017 jumlah angka kasus baru di Sumatera Barat adalah 53
kasus.5
Diagnosis kusta ditegakan berdasarkan ditemukannya satu dari tiga tanda
kardinal, diantaranya yaitu; hilangnya sensasi (hipoestesi) pada kulit yang
hipopigmentasi atau kemerahan, penebalan saraf tepi dengan hilangnya sensasi dan
atau kelemahan otot yang disarafi serta ditemukannya bakteri M.Leprae. Kusta
merupakan suatu penyakit yang bervariasi, mempengaruhi orang dengan cara yang
berbeda dan dipengaruhi oleh sistem imun selular pada orang tersebut.6
Obat antikusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS
(diaminodifenil sulfon) kemudian klofazimin dan rifampisin. Untuk mencegah
resistensi, pengobatan tuberkulosis telah menggunakan multidrug treatment
(MDT) sejak tahun 1951, sedangkan untuk kusta baru di mulai pada tahun 1971.1,6
Menurut WHO, komplikasi dari lepra adalah kecacatan, yaitu kehilangan fungsi
psikologik, fisiologik, atau anatomik, keterbatasan untuk melakukan kegiatan
dalam kehidupan sehari-hari, kemunduran yang membatasi atau menghalangi
menyelesaikan tugas, deformitas, serta kehilangan status sosial
karena terisolasi. Proses terjadina kecacatan terjadi karena kerusakan tiga

1
komponen, yaitu anestesia, kulit kering, dan paralisis otot. Dengan alasan inilah
maka sangat diperlukan pengetahuan mengenai etiologi, patogenesis, diagnosis,
dan pengobatan penyakit agar dapat mencegah terjadinya komplikasi jangka
panjang.7

1.1 BatasanMasalah
Penulisan case report session ini membahas tentang definisi,
epidemiologi, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis,
penatatalaksanaan, komplikasi dan prognosis Morbus Hansen.

1.2 TujuanPenulisan
Penulisan case report session ini bertujuan untuk mengetahui dan
memahami mengenai MorbusHansen.

1.3 Metode Penulisan


Penulisan case report session ini disusun berdasarkan studi kepustakaan
yang merujuk kepada berbagai literatur.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Morbus Hansen yang disebut kusta ataupun lepra adalah penyakit infeksi
kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular
obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus
respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf
pusat.1

2.2. Epidemiologi
Penyebaran penyakit kusta dari suatu tempat ke tempat lain sampai
tersebar diseluruh dunia disebabkan oleh perpindahan penduduk yang terinfeksi
penyakit tersebut. Kusta terdapat diseluruh dunia terutama Asia, Afrika,
Amerika latin daerah tropis dan subtropis serta sosial ekonominya rendah.1
Kusta terdapat di 120 negara di seluruh dunia, terutama di daerah tropis dan
subtropis dengan hotspot di Afrika Tengah, sebagian Asia dan Brasil.1 Jumlah
kasus kusta diseluruh dunia selama 12 tahun terakhir ini menurun disebagian
besar negara atau daerah endemis. Kasus yang terdaftar pada permulaan tahun
2009 tercatat 213.036 penderita yang berasal dari 121 negara sedangkan jumlah
kasus baru tahun 2008 tercatat 249.007.
Berdasarkan Global Leprosy Update tahun 2017 yang dikeluarkan oleh
WHO di dapatkan bahwa jumlah pasien baru yang di diagnosis kusta sebanyak
192.713 orang yang tersebar di 150 negara. Persebaran terbanyak pasien kusta
baru diketahui berada di daerah Asia Tenggara (119.055 kasus), kemudian
disusul dengan Amerika (31.527 kasus), Afrika (30.654 kasus), Pasifik Barat
(7.040 kasus), Timur Tengah (4.0405 kasus) dan Eropa (32 kasus).Terdapat
peningkatan kejadian di seluruh dunia kecuali Eropa. 1,2,4,6

3
Gambar 2.1 Trend in case detection and case detection rate, by WHO Region,
2006–2016.3

Di Indonesia jumlah kasus kusta yang tercatat permulaan tahun 2009 adalah
21.538 orang dengan kasus baru tahun 2008sebesar17.441orang.2 Selama periode
2008–2013 di Indonesia, angka penemuan kasus baru kusta pada tahun 2013
merupakan yang terendah yaitu sebesar 6,79 per 100.00 penduduk dengan
prevalensi berkisar 0,79-0,96 per 10.000 penduduk.3 Indonesia merupakan negara
yang menjadi salah satu dari 22 negara yang menjadi prioritas global dalam 10 tahun
terakhir. 2,3,4,5
Status kusta di Indonesia tahun 2000 adalah eliminasi, dimana terdapat
<1 kasus per 10.000 penduduk. Angka prevalensi kusta tahun 2017 merupakan
angka terendah dalam 5 tahun terakhir yaitu sebesar 0,70 kasus/10.000 penduduk
(Gambar1.1). Jumlah kasus kusta yang tercatat permulaan tahun 2009 adalah
21.538 orang. Menurut data Depkes, dalam tahun 2015-2017 jumlah penderita baru
kusta tidak mengalami perubahan signifikan.2,3,4,5

4
Gambar 2.2 Jumlah pasien baru kusta di indonesia 5 tahun terakhir5

2.3. Etiologi
Penyebab morbus Hansen adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan
oleh G.A Hansen tahun 1874 di Norwegia. M.leprae berupa batang lurus dengan
panjang sekitar 1 sampai 8 μm dan diameter 0,3 μm. 5 Kuman ini merupakan basil
gram positif yang tahan asam dan alkohol.2

2.4. Patofisiologi
M. leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang rendah, sebab
penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala
yang lebih berat, ataupun sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi
dengan derajat penyakit, tidak lain disebabkan oleh respon imun yang berbeda,
sehingga mempengaruhi timbulnya reaksi granuloma setempat atau menyeluruh
yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena itu penyakit kusta dapat
disebut sebagai penyakit imunologik. Gejala klinisnya lebih sebanding dengan
tingkat reaksi selularnya daripada intensitas infeksinya1,2
Masuknya kuman penyebab kusta yang dikenal dengan M. leprae sampai
sekarang masih belum diketahui secara pasti. Beberapa penelitian telah
memperlihatkan M. leprae masuk kedalam tubuh paling sering melalui kulit
terutama kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan juga melalui
mukosa nasal. Adanya kuman didalam tubuh akan menyebabkan terjadinya suatu
reaksi antara tubuh dengan kuman penyebab dengan mengeluarkan makrofag

5
untuk melakukan proses fagositosis. 7,8
M.leprae memiliki sel target untuk pertumbuhannya yaitu sel Schwann,
disamping itu sel Schwann berfungsi sebagai demielinisasi dan hanya sedikit
fungsinya sebagai fagositosis. Apabila terjadi gangguan imunitas tubuh dalam sel
Schwann, kuman dapat bermigrasi dan beraktivasi. Sehingga kondisi ini
menyebabkan aktifitas regenerasi saraf berkurang dan terjadi kerusakan saraf yang
progresif. 7 Gejala klinis klinis yang timbul akibat terinfeksi M.leprae bergantung
dari respon tubuh terhadap mikroorganisme tersebut. Jika imunitas seluler orang
tersebut bagus dan kuat, maka gejala klinis yang terjadi adalah MH tipe tuberkuloid.
Apabila imunitas selulernya lemah, maka gejala klinisnya adalah MH tipe
lepramatosa.7
a. Patogenesis MH tipe tuberkuloid
MH tipe tuberkuloid (TT), memilik fungsi sistem imunitas seluler yang
tinggi, sehingga makrofag sanggup menghancurkan kuman melalui proses
fagositosis. Setelah semua kuman difagositosis, makrofag berubah menjadi sel
epiteloid yang tidak bergerak aktif dan terkadang bersatu membentuk sel datia
Langhans. Apabila kondisi infeksi ini tidak segera diatasi maka akan menimbulkan
kerusakan saraf dan jaringansekitarnya akibat reaksi berlebihan dan masa epiteloid.7
Kuman masuk ke dalam tubuh melalui kontak langsung dengan kulit
penderita atau melalui inhalasi, kemudian masuk melalui pembuluh limfe dan darah
kemudian mencapai target dari basal antara lain : 7
1. Sel Schwann saraf tepi

2. Sel endotel pembuluh darah

3. Sel pericytes pembuluh darah

4. Sel monosit dan makrofag

Imunitas seluler seseorang pada MH tipe TT menjadi kompenen cukup


penting dalam mengatasi kuman. Imunitas seluler yang tinggi ditandai dengan uji
lepromin yang positif. Hal ini dapat mengakibatkan dalam waktu yang singkat sel-
sel radang akan berkumpul ke sekitar makrofag atau sel Schwann. Tujuan sel radang
tersebut adalah memfagosit kuman-kuman dan mengaktifkan makrofag

6
untuk menghancurkan kuman M. leprae. Efek samping dari peradangan tersebut
akan menyebabkan penekanan pada saraf sehingga proses anestesinya terjadi lebih
cepat dan berat. 7
Peradangan terjadi hanya disekitar sel Schwann yang terbatas pada saraf
kulit saja, tidak masuk ke pembuluh darah. Hal ini menyebabkan lesi hanya sedikit
dan asimetris, dengan batas tegas karena dibatasi oleh sel radang, kelenjar ekrin dan
pilosebaseus akan tertekan sehinggamenyebabkan keringat berkurang, kulit kering
dan rambut kulit tidak ada. 7
b. Patogenesis MH tipe lepramatosa
Pada MH tipe lepramatosa (LL) terjadi kelumpuhan sistem imunitas selular
sehingga makrofag yang berperan dalam proses fagositosis tidak mampu
menghancurkan kuman. Hal ini menyebabkan terjadinya multifikasi kuman secara
bebas yang kemudian dapat merusak jaringan. Sistem imun seluler yang rendah dan
ditandai dengan uji lepromin negatif menyebabkan proses fagositasis menjadi
lemah, sehingga kuman bermultiplikasi lebih banyak di dalam sel makrofag atau sel
Schwann. 6,7
Makrofag yang tidak mampu melakukan proses fagositosis berubah menjadi
sel Virchow atau Foam cell yang mengandung banyak kuman basil sehingga apabila
kondisi ini terus berlanjut maka kuman basil yang banyak akan menyebabkan
pecahnya Foam cell sehingga kuman basil akan keluar kemudian di tangkap oleh
sel Schwann yang lain sehingga terjadi penyebaran sesuai dengan jaras saraf tepi.
Kemudian kuman basil akan masuk kedalam aliran darah dan menimbulkan lesi
pada kulit dengan jumlah banyak, simteris, batas tegas, dengan anestesi yang lama
terjadi. 6,7
c. Patogenesis MH tipe Borderline
Pada MH tipe ini klinisnya berada di antara tipe tuberkuloid dan lepromatosa
dapat berubah tipe karena merupakan tipe yang tidak stabil. 2,8

2.5. Manifestasi Klinis


Diagnosis penyakit kusta didasarkan atas gambaran klinis, bakterioskopis,
histopatologis, dan serologis. Jika memungkinkan dapat dilakukan tes lepromin
untuk membantu penentuan tipe. Namun hasilnya cukup lama diketahui hyaitu

7
sekitar 3 minggu. M. Leprae yang masuk kedalam tubuh seseorang, dapat
menimbulkan gejala klinis sesuai dengan kerentanan atau imunitas orang tersebut.
Bentuk tipe klinis bergantung pada sistem imunitas seluler penderita. Bila imunitas
seluler baik akan tambah gambaran klinis ke arah tuberkuloid, sebaliknya jika
sistem imunitas seluler rendah memberikan gambaran lepromatosa.
Manifestasi klinis penyakit MH pada pasien mencerminkan tingkat
kekebalan selular pasien tersebut. Gejala dan keluhannya tergantung pada: 7-9
1. Multifikasi dan diseminasi kuman M.leprae
2. Respon imun penderita terhadap kuman M.leprae
3. Komplikasi yang diakibatkan oleh kerusakan saraf perifer.
Terdapat tiga tanda kardinal pada penyakit kusta. Jika terdapat 1 dari 3 tanda
tersebut sudah cukup untuk menetapkan diagnosis penyakit MH ini. Tanda kardinal
tersebut diantaranya: 7-9
1. Lesi kulit yang anestesi
2. Penebalan saraf perifer
3. Ditemukan M. leprae (bakteriologis positif)
Adapun klasifikasi yang banyak dipakai adalah klasifikasi menurut Ridley
dan Jopling yang mengelompokan penyakit MH menjadi 5 kelompok berdasarkan
gambaran klinis, bakteriologis, histopatologis, dan imunologis. 2
1. Tipe Tuberkuloid (TT)
Lesi ini mengenai baik kulit maupun saraf. Lesi kulit bisa satu atau beberapa,
dapat berupa makula atau plakat, batas jelas dan pada bagian tengah dapat
ditemukan lesi yang regrasi atau central healing. Permukaan lesi dapat bersisik
dengan tepi yang meninggi bahkan dapat menyerupai gambaran psoriasis atau tinea
sirsinata. Dapat disertai penebalan saraf perifer yang biasanya teraba, kelemahan
otot, dan sedikit rasa gatal. Adanya infiltrasi tuberkuloid dan tidak adanya kuman
merupakan tanda terdapatnya respon imun pejamu yang adekuat terhadap kuman
MH. 9
2. Tipe Boderline Tuberkuloid (BT)
Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa makula atau plak yang
sering disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa, tetapi
hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas tipe tuberkuloid.

8
Gangguan saraf tidak seberat tipe tuberkuloid, dan biasanya asimetris. Lesi satelit
biasanya ada dan terletak dekat saraf perifer yang menebal. 9
3. Tipe Mid Borderline (BB)
Merupakan tipe yang paling tidak stabil dari semua tipe penyakit MH.
Merupakan bentuk dimorfik. Lesi dapat berupa makula infiltratif, permukaan lesi
dapat berkilap, batas lesi kurang jelas dengan jumlah lesi yang melebihi tipe BT dan
cenderung simetris. Lesi sangat bervariasi baik dalam ukuran, bentuk, ataupun
distribusinya. Bisa didapatkan lesi punched out yang merupakan ciri khas tipe ini.
9

4. Tipe Borderline Lepromatous (BL)


Lesi dimulai dengan makula. Awalnya hanya dalam jumlah sedikit dan
dengan cepat menyebar ke seluruh badan. Makula lebih jelas dan lebih bervariasi
bentuknya. Papul dan nodus lebih tegas dengan distribusi lesi yang hampir simetris
dan beberapa nodus tampaknya melekuk pada bagian tengah. Lesi bagian tengah
sering tampak normal dengan bagian pinggir dalam infiltrat lebih jelas
dibandingkan dengan pingir luarnya, dan beberapa plak tampak seperti punched out.
Tanda-tanda kerusakan saraf berupa kerusakan sensasi, hipopigmentasi,
berkurangnya keringat, dan hilangnya rambut lebih cepat muncul dibandingkan
dengan tipe LL. Penebalan saraf dapat teraba pada tempat-tempat penebalan saraf.
5. Tipe Lepromatosa (LL)
Jumlah lesi sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih eritematosa,
berkilap, berbatas tidak tegas, dan pada stadium dini tidak ditemukan anestesi dan
anhidrosis. Distribusi lesi khas, yakni di wajah, mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping
telinga, sedangkan di badan mengenai bagian yang dingin seperti lengan, punggung
tangan, dan permukaan ekstensor tungkai bawah. Pada stadium lanjut terdapat
penebalan kulit yang progresif, cuping telinga menebal, garis muka menjadi kasar,
dan cekung membentuk facies leonina yang dapat disertai dengan madarosis, iritis,
keratitis. Lebih lanjut dapat terjadi deformitas hidung. 8
Dapat dijumpai pembesaran kelenjar limfe, orkitis yang selanjutnya dapat
terjadi atrofi testis. Kerusakan saraf yang luas menyebabkan gejala stocking and
glove anaesthesia. Bila menjadi progresif, muncul makula dan papula baru
sedangkan lesi lama menjadi plakat dan nodus. Pada stadium lanjut serabut-

9
serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin atau fibrosis yang menyebabkan
anestesi dan pengecilan otot tangan dan kaki. 1,8
Tabel 2.1 Klasifikasi Morbus Hansen

Gambar 2.3 Soliter, anestesi dan lesi anular pada tuberkuloid polar leprosy, yang
telah ada sejak 3 bulan. Tepi yang tajam, dan eritem. Pinprick perception pada
sentral lesi tidak ada. Sentral lesi lebih hipopigmentasi jika dibandingkan dengan
kulit ekitarnya yang normal.6

10
Gambar 2.4 beberapa lesi Borderline leprosy (BT), ysng memiliki konfigurasi
anular yang inkomplit dengan papul satelit. bandingan dengan TT lesi, lesi in lebih
kurang eritema.6
Tabel 2.2 Gambaran klinis, bakteriologik dan imunologik kusta Pausibasiler 2
Karakteristik Tuberkuloid (TT) Borderline Tuberculoid Indeterminate (I)
(BT)
Lesi
Tipe Makula ; makula Makula dibatasi infiltrat Hanya Infiltrat
dibatasi infiltrat saja; infiltrat saja
Jumlah Satu atau dapat Beberapa atau satu Satu atau beberapa
beberapa dengan lesi satelit
Distribusi Terlokalisasi & Asimetris Bervariasi
asimetris
Permukaan Kering, skuama Kering, skuama Dapat halus agak berkilat

Batas Jelas Jelas Dapat jelas atau Dapat


tidak jelas
Anestesia Jelas Jelas Tak ada sampai tidak jelas

BTA
lesi kulit Hampir selalu Negatif atau hanya 1+ Biasanya negatif
Negative

Tes lepromin Positif kuat (3+) Positif lemah Dapat positif lemah Atau
negatif

11
Tabel 2.3 Gambaran klinis, bakteriologik dan imunologik kusta multibasiler 2
Sifat Lepromatosa (LL) Borderline Mid Borderline (BB)
Lepromatosa (BL)

Lesi

Bentuk Makula Makula Plakat


Infiltrat difus Plakat Dome-shape (kubah)
Papul Papul Punched-out
Nodus

Sukar dihitung,
Jumlah Tidak terhitung, praktis masih Dapat dihitung, kulit
tidak ada kulit sehat ada kulit sehat sehat jelas ada

Distribusi Simetris Hampir simetris Asimetris

Permukaan Halus berkilat Halus berkilat Agak kasar, agak


berkilat

Batas Tidak jelas Agak jelas Agak jelas

Anestesia Biasanya tidak jelas Tak jelas Lebih jelas

BTA

Lesi kulit Banyak (ada globus) Banyak Agak banyak

Sekret Banyak (ada globus) Biasanya negatif Negatif


hidung

Tes Lepromin Negatif Negatif Negatif

Bila pada tipe-tipe tersebut disertai BTA positif, maka akan dimasukkan
kedalam kusta MB. Sedangkan kusta MB adalah semua penderita kusta tipe BB,
BL dan LL atau apapun klasifikasi klinisnya dengan BTA positif, harus di obati
dengan regimen MDT-TB.2
Tabel 2.4 Klasifikasi Klinis Kusta Berdasarkan WHO 1995

12
2.6. Reaksi Kusta
Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit
yang sebenarnya sangat kronik. Adapun patofisiologinya belum jelas, terminologi
dan klasifikasi masih bermacam-macam. Mengenai patofisiologinya yang belum
jelas tersebut akan dijelaskan secara imunologik. Reaksi imun dapat
menguntungkan tetapi dapat juga merugikan yang disebut reaksi imun patologik
dan reaksi kusta ini tergolong di dalamnya. Dalam klasifikasi yang bermacam-
macam itu yang tampaknya paling banyak di anut pada akhir – akhir ini, yaitu ENL
(eritema nodusum leprosum) dan reaksi reversal atau reaksi upgrading. 2
ENL terutama timbul pada tipe lepromatosa polar dan dapat pula pada BL,
berarti makin tinggi tingkat multibasilarnya makin besar kemungkinan timbul ENL.
Secara imunopatologis, ENL termasuk respon imun humoral, berupa fenomena
kompleks imun akibat reaksi antara antigen M. Leprae + antibodi (IgM, IgG) +
Komplemen kompleks imun.2
Pada kulit akan timbul gejala klinis yang berupa nodus eritema dan nyeri
dengan tempat predileksi di lengan dan tungkai. Bila mengenai organ lain dapat
menimbulkan gejala seperti iridosiklitis, neuritis akut, limfadenitis, artritis, orkitis
dan nefritis akut dengan adanya proteinuria. ENL dapat disertai gejala konsitusi dari
ringan sampai berat. Gejala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau
seluruh lesi yang telah ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru yang relatif
singkat, arttinya lesi hipopigmentasi menjadi eritema, lesi makula menjadi infiltrat,
lesi infiltrat makin infiltratif dan lesi lama menjadi bertambah luas.2
Reaksi ENL dan reversal secara klinis, ENL dengan lesi eritema nodusum
sedangan reversal tanpa nodusm sehingga disebut reaksi lepra nodular, sedangkan
reaksi reversal adalah reaksi non nodular. Hal ini penting membantu menegakkan
diagnosis atas dasar lesi ada atau tidaknya nodus. Kalau ada berarti reaksi non
nodular atau reaksi reversal atau reaksi borderline. 2
2.7. Diagnosis
Diagnosa pasien kusta dapat ditegakkan berdasarkan pada penemuan tanda
kardinal (minimal 1 tanda kardinal) yaitu: 1,2,8
1. Bercak kulit yang mati rasa

13
è Ditemukannya bercak kulit yang hipopigmentasi atau
eritematosa,mendatar atau meninggi.
2. Penebalan saraf tepi
è Dapat disertai rasa nyeri dan juga disertai atau tanpa gangguan fungsi saraf
yang terkena:
a. Gangguan fungsi sensoris: mati rasa/rasa berkurang
b. Gangguan fungsi motorik
Adanya pembesaran saraf perifer yang diketahui dengan cara palpasi bisanya
mengindikasikan adanya kelainan fungsi saraf yang bersangkutan. Untuk itu perlu
untuk melakukan voluntary muscle test. Saraf perifer yang diperiksa antara lain : n.
fasialis, n. Aurikularis magnus, n. radialis, n. ulnaris, n. medianus,
n. poplitea lateralis, dan n. tibialis posterior. Pada pemeriksaan akan dinilai hal-
hal sebagai berikut:
- Bandingkan saraf bagian kiri dan kanan
- Ada pembesaran saraf atau tidak
- Bentuk pembesaran regular (smooth) atau irregular,bergumpal
- Perabaan keras atau kenyal
- Nyeri atau tidak
c. Gangguan fungsi otonom kulit kering,edema, pertumbuhan rambut terganggu.
3. Adanya basil tahan asam (BTA) didalam kerokan jaringan kulit (slit skin smear).
Lokasi pengambilan kerokan jaringan kulit adalah kulit cuping telinga dan
lesi kulit pada bagian yang aktif. Bahan kadang-kadang diperoleh dari biopsi kulit
atau saraf. Untuk menegakkan diagnosis kusta, setidaknya ditemukan satu tanda
kardinal, bila tidak maka kita hanya dapat mengatakan tersangka kusta dan perlu
diperhatikan klinisnya dan diperiksa ulang setelah 3-6 bulan sampai diagnosis kusta
dapat ditegakkan atau disingkirkan, dibuat sediaan mikrokopis pada gelas alas dan
diwarnai dengan pewarnaan Ziehl Neelsen. 1,2,8,9 Bila ditemukan tanda kardinal di
atas maka pasien adalah tersangka kusta,observasi dan periksa ulang setelah 3-6
bulan. 9

14
Cara Pemeriksaan Kusta
1. Cara Pemeriksaan :
a. Anamnesis: 2,9
- Keluhan yang ada/kapan timbul bercak .
- Riwayat kontak .
- Riwayat pengobatan sebelumnya.
b. Pemeriksaan kulit / rasa raba.
Untuk memeriksa rasa raba dengan memakai ujung kapas yang
dilancipkan kemudian disentuhkan secara tegak lurus pada kelainan kulit
yang dicurigai, sebaiknya penderita duduk pada waktu pemeriksaan.
Terlebih dulu petugas menerangkan bahwa bilamana merasa disentuh
bagian tubuh dengan kapas, ia harus menunjuk kulit yang disentuh dengan
jari telunjuknya,menghitung jumlah sentuhan atau dengan menunjukkan jari
tangan keatas untuk bagian yang sulit dijangkau, ini dikerjakan dengan mata
terbuka bilamana hal ini telah jelas,maka ia diminta menutup matanya.
Kelainan-kelainan dikulit diperiksa secara bergantian untuk mengetahui ada
tidaknya anestesi. pada telapak tangan dan kaki memakai bolpoin karena
pada tempat ini kulit lebih tebal. 2,9
c. Pemeriksaan saraf (nervus )
Peroneus, dan tibialis posterior, namun pemeriksaan yang sering
diutamakan pada saraf ulnaris, peroneus, tibialis posterior, pada umumnya
cacat kusta mengikuti kerusakan pada saraf-saraf utama. 2,9
2. Teknik Pemeriksaan Saraf: 1,9
a. Saraf Ulnaris.
Tangan kanan pemeriksa memegang lengan kanan bawah penderita
dengan posisi siku sedikit ditekuk sehingga lengan penderita rileks. Dengan
jari telunjuk dan jari tengah tangan kiri pemeriksa mencari sambil meraba
saraf ulnaris di dalam sulkus nervi Ulnaris yaitu lekukan diantara tonjolan
tulang siku dan tonjolan kecil di bagian medial (epicondilus medialis). 1,9
Dengan memberi tekanan ringan pada saraf Ulnaris sambil

15
digulirkan dan menelusuri keatas dengan halus sambil melihat mimik /
reaksi penderita adalah tampak kesakitan atau tidak. 1,9
b. Saraf Peroneus Communis (Poplitea Lateralis). 1,9
1. Penderita diminta duduk disuatu tempat (kursi, dll.) dengan kaki
dalam keadaan rileks.
2. Pemeriksa duduk di depan penderita dengan tangan kanan
memeriksa kaki-kiri penderita dan tangan kiri memeriksa kaki kanan.
3. Pemeriksa meletakkan jari telunjuk dan jari tengah pada pertengahan
betis bagian luar penderita sambil pelan-pelan meraba keatas sampai
menemukan benjolan tulang (caput fibula) setelah menemukan
tulang tersebut jari pemeriksa meraba saraf peroneus 1 cm ke arah
belakang .
4. Dengan tekanan yang ringan saraf tersebut digulirkan bergantian
kekanan dan kiri sambil melihat mimik / reaksi penderita.
c. Saraf Tibialis Posterior. 1,9
a. Penderita masih duduk dalam posisi rileks .
b. Dengan jari telunjuk dan tengah pemeriksa meraba saraf Tibialis
Posterior dibagian belakang bawah dari mata kaki sebelah
dalam(maleolus medialis)dengan tangan menyilang (tangan kiri
memeriksa saraf tibialis kiri dan tangan kanan pemeriksa
memeriksa saraf tibialis posteior kanan pasien )
c. Dengan tekanan ringan saraf tersebut digulirkan sambil melihat
mimik / reaksi dari penderita.
3. Pemeriksaan Gangguan Fungsi Saraf
Untuk mengetahui adanya gangguan pada fungsi saraf yang perlu diperiksa
adalah Mata, Tangan, dan Kaki, Pemeriksaan Fungsi Rasa Raba dan Kekuatan Otot.
Alat yang diperlukan : ballpoint yang ringan dan kertas serta tempat duduk untuk
penderita. 1,9
Cara pemeriksaan Fungsi Saraf. Periksa secara berurutan agar tidak ada
yang terlewatkan mulai dari kepala sampai kaki. 1,9
1. Mata

16
Fungsi Motorik (Saraf Facialis )
- Penderita diminta memejamkan mata.
- Dilihat dari depan / samping apakah mata tertutup dengan sempurna /
tidak, perhatikan apakah ada celah atau tidak.
- Bagi mata yang menutup tidak rapat, diukur lebar celahnya lalu dicatat,
misal lagofthalmus ± 3 mm, mata kiri atau kanan. 1,9
- Catatan : Untuk fungsi sensorik mata (pemeriksaan kornea, yaitu fungsi
saraf Trigeminus) tidak dilakukan dilapangan. 1,9
2. Tangan
- Fungsi Sensorik (Saraf Ulnaris dan Medianus ) 1,9
- Posisi penderita: Tangan yang akan diperiksa diletakkan diatas meja/paha
penderita atau tertumpu pada tangan kiri pemeriksa sedemikian rupa,
sehingga semua ujung jari tersangga.
- Menjelaskan kepada penderita apa yang akan dilakukan padanya, sambil
memperagakan dengan menyentuhkan ujung ballpoint pada lengannya dan
satu atau dua titik pada telapak tangan
- Bila penderita merasakan sentuhan tersebut diminta untuk menunjukkan
tempat sentuhan tersebut dengan jari tangan yang lain .
- Tes diulangi sampai penderita mengerti dan kooperatif.
- Penderita diminta tutup mata atau menoleh kearah berlawanan dari tangan
yang diperiksa.
- Penderita diminta menunjuk tempat yang terasa disentuh .
- Usahakan pemeriksaan titik tersebut acak dan tidak berurutan
- Penyimpangan letak titik yang bisa diterima < 1,5 cm.
Fungsi Motorik (Kekuatan Otot) :
a. Saraf Ulnaris (Kekuatan Otot Jari kelingking).
- Tangan kiri pemeriksa memegang ujung jari 2, 3, dan 4 tangan kanan
penderita dengan telapak tangan penderita menghadap keatas dan posisi
ektensi (jari kelingking / 5 bebas bergerak tidak terhalang oleh tangan
pemeriksa

17
- Minta penderita mendekatkan dan menjauhkan kelingking dari jari-jari
lainnya,bila penderita dapat melakukannya minta ia menahan kelingkingnya
pada posisi jauh dari jari lainnya , dan kemudian ibu jari
- pemeriksa mendorong pada bagian pangkal kelingking. 1,9
- Penilaian :
- Bila jari kelingking penderita tidak dapat mendekat atau menjauh berarti dari
jari lainnya berarti lumpuh.
- Bila jari kelingking penderita tidak dapat menahan dorongan pemeriksa
berarti lemah .
- Bila jari kelingking penderita dapat menahan dorongapemeriksa ibu jari bisa
maju dan dapat menahan dorongan ibu jari pemeriksa berarti masih kuat. 1,9
Bila masih ragu , penderita diminta menjepit sehelai kertas yang diletakkan
diantara jari manis dan jari kelingking tersebut, lalu pemeriksa menarik kertas
tersebut sambil menilai ada tidaknya tahanan / jepitan terhadap kertas tesebut. 1,9
Penilaian :
- Bila kertas terlepas dengan mudah berarti kekuatan otot lemah .
- Bila ada tahanan terhadap kertas tersebut berarti otot masih kuat. 1,9
b. Saraf Medianus (Kekuatan Otot Ibu Jari )
- Tangan kanan pemeriksa memegang jari telunjuk sampai kelingking tangan
kanan penderita agar telapak tangan penderita menghadap keatas,dan dalam
posisi ekstensi .
- Ibu jari penderita ditegakkan keatas sehingga tegak lurus terhadap telapak
tangan penderita (seakan-akan menunjuk kearah hidung) dan penderita
diminta untuk mempertahankan posisi tersebut.
- Jari telunjuk pemeriksa menekan pangkal ibu jari yaitu dari bagian batas
antara punggung dengan telapak mendekati telapak tangan. 1,9
Penilaian :
- Bila ada gerakan dan tahanan kuat berarti masih kuat .
- Bila ada gerakan dan tahanan lemah berarti sudah lemah .
- Bila tidak ada gerakan berarti lumpuh. 1,9

18
c. Saraf Radialis ( Kekuatan otot Pergelangan tangan ).
1. Tangan kiri pemeriksa memegang punggung lengan bawah tangan kanan
penderita .
2. Penderita diminta menggerakkan pergelangan tangan yang terkepal keatas
(ektensi).
3.
Penderita diminta bertahan pada posisi ektensi (keatas) lalu dengan tangan
kanan pemeriksa menekan tangan penderita kebawah kearah fleksi. 1,9
Penilaian :
§ Bila ada gerakan dan tahanan kuat berarti masih kuat .
§ Bila ada gerakan dan tahanan lemah berarti lemah .
§ Bila tidak ada gerakan dan tahanan berarti lumpuh
(pergelangan tangan tidak bisa digerakkan keatas). 1,9
3. Kaki
a) Fungsi Rasa Raba (Saraf Tibialis Posterior)
- Kaki kanan penderita diletakan pada paha kiri, usahakan telapak kaki
menghadap keatas .
- Tangan kiri pemeriksa menyangga ujung jari kaki penderita .
- Cara pemeriksaan sama seperti pada rasa raba tangan.
- Pada daerah yang menebal sedikit menekan dengan cekungan
berdiameter 1 cm.
- Jarak penyimpangan yang bisa diterima maksimal 2,5 cm. 1,9
b) Fungsi Motorik: Saraf Peroneus (Saraf Poplitea Lateralis)
- Dalam keadaan duduk ,penderita diminta mengangkat ujung kaki
dengan tumit tetap terletak dilantai / ektensi maksimal (seperti berjalan
dengan tumit).
- Penderita diminta bertahan pada posisi ekstensi tersebut lalu
pemeriksa dengan kedua tangan menekan punggung kaki penderita
kebawah/lantai. 1,9
Penilaian :
- Bila ada gerakan dan tahanan kuat berarti kuat.
- Bila ada gerakan dan tahanan lemah berarti lemah .

19
- Bila tidak ada gerakan dan tahanan lumpuh (ujung kaki tidak bisa
ditegakkan keatas). 1,9

2.8. Pemeriksaan Penunjang


a. Pemeriksaan bakterioskopik (kerokan jaringan kulit). 1
Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu penegakan
diagnosis dan followup pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit
yang di warnai dengan pewarnaan terhadap basil tahan asam (BTA), antara lain
dengan Ziehl-Neelsen. Hasil pemeriksaan bakterioskopik yang negatif pada
seorang penderita, belum tentu orang tersebut tidak mengandung kuman lepra.2,9
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan
dinyatakan dengan Indeks Bakteri (IB) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut Ridley.
0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapang pandang (LP). 2,9
Tabel 2.5 Kepadatan BTA 1,2

Indeks Morfologi (IM) adalah persentase bentuk solid dibandingkan


dengan jumlah solid dan nonsolid. 1,2

Syarat perhitungan:

a. Jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA

20
b. IB 1+ tidak perlu dibuat IM-nya, karena untuk medapat 100 BTA
harus mencari dalam 1000 sampai 10.000 lapangan
c. Mulai dari IB 3+ harus dihitung IM-nya, sebab dengan IB 3+
maksimum harus dicari dalam 100 lapangan. 1,2
b. Pemeriksaan Histopatologik
Granuloma adalah akumulasi makrofag atau derivat-derivatnya. Gambaran
histopatologik tipe tuberkuloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih
nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan bersifat non solid. Pada tipe
lepromatosa terdapat zona sunyi subepidermal (subepidermal clear zone), yaitu
suatu daerah langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik.
Didapati sel Virchow dengan banyak basil. Pada tipe borderline, terdapat campuran
unsur-unsur tersebut.2
Tabel 2.6 Karakteristik histologis berbagai tipe kusta menurut Ridley-Jopling.2

c. Pemeriksaan Serologik
Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi pada
tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M. leprae. Antibodi yang terbentuk dapat
bersifat spesifik terhadap M. leprae, yaitu antibodi anti phenolic glycolipid-1 (PGL-
1) dan antibodi antiprotein 16 kD serta 35 kD. Sedangkan antibodi tidak spesifik
antara lain antibodi anti-lipoarabinomanan (LAM), yang juga dihasilkan oleh
kuman M. Tuberculosis. 2

21
Kegunaan pemeriksaan serologik ini adalah dapat membantu diagnosis kusta
yang meragukan, karena tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas. Di samping itu
dapat membantu menentukan kusta subklinis karena tidak didapati lesi kulit,
misalnya pada kontak serumah. 2
Macam-macam pemeriksaan serologik kusta adalah uji MLPA
(Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), uji ELISA (Enzyme Linked
Immunosorbent Assay) dan uji ML dipstick (Mycobacterium Leprae Dipstick). 2

2.9. Penatalaksaan
Obat antikusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS
(diaminodifenil sulfon) kemudian klofazimin dan rifampisin. Untuk mencegah
resistensi , pengobatan tuberkulosis telah menggunakan multidrug treatment
(MDT) sejak tahun 1951, sedangkan untuk kusta baru di mulai pada tahun 1971. 2
Regimen pengobatan MDT
Kombinasi obat dapson (DDS), rifampisin, dan klofazimin (lampren)
bertujuan untuk mengurangi resistensi dapson, memperpendek masa pengobatan,
mempercepat memutus mata rantai penularan, serta mengurangi ketidak-taatan
pasien dan menurunkan angka putus obat. 7 Berdasarkan klasifikasi WHO (1997)
untuk kepentingan pengobatan, penderita kusta dibagi menjadi 3 grup, yaitu
pausibasilar dengan lesi tunggal, pausibasilar dengan lesi 2-5 buah dan penderita
multibasilar dengan lesi lebih dari 5 buah. Oleh sebab itu skema rejimen MDT-
WHO menjadi sebagai berikut: 9
1. Rejimen PB dengan lesi kulit 2-5 buah, terdiri atas rifampisin 600 mg sebulan
sekali, di bawah pengawasan, ditambah dengan DDS 100 mg/hari (1-
2mg/kgBB) swakelola selama 6 bulan.
2. Rejimen MB dengan lesi kulit lebih dari 5 buah, terdiri atas kombinasi
rifampisin 600 mg sebulan sekali di bawah pengawasan, DDS 100 mg/hari
swakelola ditambah klofazimin 300 mg sebulan sekali diawasi dan 50 mg/hari
swakelola. Lama pengobatan 1 tahun.
3. Rejimen PB dengan lesi tunggal, terdiri atas rifampisin 600 mg ditambah
dengan ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg (ROM) dosis tunggal.

22
4. Dosis tersebut merupakan dosis dewasa, untuk anak-anak disesuaikan dengan
berat badan. 9
Berikut merupakan kelompok orang yang membutuhkan MDT: 7,9
1. Pasien yang baru didiagnosis kusta dan belum pernah mendapat MDT.
2. Pasien ulangan, yaitu pasien yang mengalami hal-hal dibawah ini:
a. Relaps
b. Masuk kembali setelah default (dapat PB maupun MB)

23
c. Pindahan (pindah masuk)
d. Ganti klasifikasi/tipe
Berikut merupakan regimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai dengan
yang direkomendasikan oleh WHO. Regimen tersebut adalah sebagai berikut: 8,9
Tabel 2.7 Pengobatan Morbus Hansen Pausibasiler 8,9

Keterangan:
- Dewasa
- Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminum diminum didepan petugas)
- 2 kapsul rifampisin @ 300mg (600 mg)
- 1 tablet dapson/DDS 100mg Pengobatan harian: hari ke 2-28
- 1 tablet dapson/DDS 100 mg
-
Tabel 2.8 Pengobatan Morbus Hansen Multibasiler. 8,9

24
Keterangan:
a. Dewasa
- Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminum didepan petugas) 2
kapsul rifampisin @ 300 mg (600 mg) 3 tablet lampren @ 100mg (300
mg) 1 tablet dapson/DDS 100 mg
- Pengobatan harian: hari ke 2-28 :
- tablet lampren50 mg
- 1 tablet dapson/DDS 100 mg 8,9
b. Dosis MDT MB untuk anak (10-14 tahun)
- Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminumdi depan petugas) 2 kapsul
rifampisin 150 mg dan 300 mg , 3 tablet lampren @ 50 mg (150 mg) 1 tablet
dapson/DDS 50 mg
- Pengobatan harian: hari ke 2-28 : 1 tablet lampren 50 mg selang sehari 1
tablet dapson/DDS 50 mg 8,9
Pengobatan Reaksi Kusta
Prinsip pengobatan reaksi kusta : 8,9
- Pemberian obat antireaksi Istirahat atau imobilisasi
- Analgetik, sedatif untuk mengatasi rasa nyeri Obat anti kusta diteruskan
Pada Reaksi ENL obat yang sering dipakai adalah prednison. Dosisnya
tergantung kepada berat ringannya reaksi, biasanya prednison 15-30 mg sehari,
kadang-kadang lebih tergantung makin beratnya reaksi. Klofazimin sebagai obat
antikusta dapat juga dipakai sebagai anti reaksi ENL, tetapi dengan dosis yang lebih
tinggi, biasanya 200-300 mg sehari. 2,8
Lampren/ klofazimin diberikan dengan cara: 9
- 3 x 100 mg/hari selama 2 bulan
- 2x 100 mg/hari selama 2 bulan 1 x 100 mg/hari selama 2 bulan
Pada reaksi reversal perlu diperhatikan, apakah reaksi disertai neuritis atau
tidak. Sebab kalau tanpa neuritis akut tidak perlu diberikan pengobatan tambahan.
Kalau ada neuritis akut, obat pilihan pertama adalah kortikosteroid yang dosisnya
disesuaikan dengan berat ringannya neuritis. Biasanya diberikan prednison 40-60
mg sehari, kemudian diturunkan perlahan-perlahan. Anggota gerak yang terkena
neuritis akut harus diistirahatkan. Analgetik dan sedatif kalau diperlukan dapat

25
diberikan, klofazimin untuk reaksi reversal kurang efektif. 2
Cara pemberian kortikosteroid : 9
- Dimulai dengan dosis tinggi atau sedang
- Gunakan prednison atau prednisolon
- Gunakan sebagai dosis tunggal pagi hari
- Dosis diturunkan setelah terjadi respon maksimal
- Dosis dapat dimulai antara 40-80 mg prednison/ hari dan diturunkan 5-10
mg/ 2 minggu

Tabel 2.9 Pemberian prednison 1,8

2.10. Pencegahan Kecacatan


Cara terbaik untuk melakukan pencegahan kecacatan atau prevention of
disabilities adalah (POD) adalah dengan melaksanakan diagnosis dini kusta,
pemberian pengobatan MDT yang cepat dan tepat, selanjutnya dengan mengenali
gejala dan tanda reaksi kusta yang disertai gangguan saraf serta memulai
pengobatan sesegera mungkin. 1
WHO expert Committee on leprosy (1997) membuat klasifikasi kecacatan pada
penderita kusta, yaitu: 1
- Cacat pada tangan dan kaki
a. Tingkat 0 : tidak ada gangguan sensibilitas, tidak ada kerusakan
atau deformitas yang terlihat.
b. Tingkat 1 : ada gangguan sensibilitas tanpa kerusakan atau
deformitas yang terlihat
c. Tingkat 2 : terdapat kerusakan atau deformitas

26
- Cacat pada mata
a. Tingkat 0 : tidak ada kelainan / kerusakan pada mata (termasuk
visus)
b. Tingkat 1 : ada kelainan / kerusakan pada mata tetapi tidak terlihat
dengan visus sedikit berkurang
c. Tingkat 2: ada kelainan mata yang terlihat dan atau visus yang
terganggu Kerusakan pada tangan atau kaki dapat berupa ulserasi,
absorbs, mutilasi, dan kontraktur.Kerusakan pada mata dapat
berupa anestesi kornea, iridosiklitis, dan lagoftalmos. 1,2

2.11. Prognosis
Pada penderita yang tidak diberi pengobatan maka pasien dapat sembuh
sendirinya yaitu pada tipe TT atau pasien BT yang beralih ke TT. Di lain hal
penyakit ini dapat menjadi progresif dengan kejadian morbiditas pada kerusakan
saraf dan reaksi kusta. 1,2

27
BAB 3
LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. R
Umur : 43 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Pendidikan : SMA
Alamat : Barung-barantai, Lubuk Begalung, Padang
Status : Menikah
Agama : Islam
Suku : Minang
Negeri Asal : Indonesia

ANAMNESIS
Seorang pasien perempuan berusia 43 tahun rujukan dari RS Naili DBS Padang datang ke
poliklinik kulit dan kelamin RSUP. Dr. M. Djamil Padang, dengan:

Keluhan Utama
Bercak- bercak putih yang mati rasa di lengan, dan tungkai sejak lebih-kurang 6 bulan yang
lalu.

Riwayat Penyakit Sekarang


• Awalnya, lebih-kurang 6 bulan yang lalu muncul bercak-bercak putih yang mati rasa di
lengan bawah bagian dalam. Pasien pergi berobat ke puskesmas dan diberi 1 macam
obat yang diminum berupa pil bulat kecil sebanyak 3 kali sehari, pasien tidak tau nama
obat. Bercak tidak menghilang dan semakin bertambah ke bagian tungkai. Pasien
kembali berobat ke puskesmas hingga 3x dan meminta rujukan namun tidak diberikan,
pasien diberikan obat yang sama dengan sebelumnya dan tidak ada perbaikan.
• Lebih kurang 2 bulan yang lalu pasien merasakan hidungnya membengkak, pasien tidak
mengobati keluhannya tersebut.
• Lebih kurang 1 bulan yang lalu, pasien merasakan alis pada kedua mata tampak rontok,
pasien tidak mengobati keluhan tersebut
• Lebih kurang 3 minggu yang lalu pasien berobat ke dokter di klinik kimia farma dengan
keluhan bercak-bercak putih yang mati rasa di lengan dan tungkai, hidung yang terasa

28
membengkak dan alis mata yang tampak rontok. Pasien tidak diberikan obat dan dirujuk
ke RS Naili DBS. Dari RS Naili DBS pasien langsung dirujuk ke RS M. Djamil tanpa
dilakukan pemeriksaan penunjang dan pemberian obat.
• Tidak diketahui adanya riwayat kontak lama dengan individu yang memiliki udem atau
bercak putih yang mati rasa.
• Riwayat kontak lama dengan orang yang memiliki deformitas dan disabilitas pada
tangan dan kaki atau dengan orang yang mengkonsumsi obat secara rutin disangkal.
• Riwayat gangguan penglihatan dan kelopak mata tidak menutup sempurna tidak ada.
• Terdapat riwayat hidung tersambat pada pasien
• Terdapat riwayat perubahan suara atau suara serak
• Terdapat riwayat kulit kering pada pasien
• Tidak ada riwayat kelemahan otot
• Demam, badan lemah, pegal linu, dan riwayat demam disangkal.
• Terdapat riwayat nyeri sendi terutama pada sendi lutut, pergelangan tangan dan kaki.
• Riwayat tangan/ tungkai yang susah digerakkan tidak ada
• Riwayat sandal terlepas tanpa disadari saat berjalan sering dialami.
• Terdapat keluhan kesemutan telapak kaki dan jari tangan
• Terdapat riwayat tidak merasakan sensasi panas saat menyentuh benda panas
• Terdapat riwayat tidak merasakan sensasi nyeri saat tertusuk benda tajam
• Tidak ada riwayat konsumsi obat sebelum kemunculan bercak di kulit
• Tidak ada riwayat penebalan bercak selama 2 bulan diikuti demam, nyeri sendi, atau
lelah.
• Terdapat riwayat pemakaian handuk bersama pada pasien dengan keluarganya.
• Riwayat bekerja dibawah sinar matahari tidak ada
• Riwayat bekerja yang berkontak dengan tanah tidak ada
• Pasien mandi 2x sehari
• Riwayat bersin-bersin yang lebih dari 7 kali sehari tidak ada
• Pasien tidak memiliki riwayat alergi, maupun alergi obat

29
Riwayat Penyakit Dahulu
- Pasien tidak pernah mengalami lesi bercak merah atau putih yang mati rasa di tempat
lain sebelumnya.
- Riwayat imunisasi termasuk BCG disangkal
- Pasien tidak ada riwayat batuk-batuk lama dan minum obat paket 6 bulan
- Riwayat DM tidak ada

Riwayat Pengobatan
- Pasien telah berobat ke puskesmas sebanyak 3 kali dan mendapat 1 macam obat minum
dan diminum 3 kali sehari. Pasien meminta rujukan karena penyakit tidak kunjung
sembuh, namun tidak mendapat rujukan sehingga pasien berobat ke klinik.
- Di klinik pasien di rujuk ke RS Naili DBS dan langsung dirujuk ke RSUP M. Djamil
Padang tanpa pemeriksaan penunjang dan tanpa pemberian pengobatan.
- Pengobatan anti nyeri jangka lama, herbal, beli obat sendiri tidak ada

Riwayat Penyakit Keluarga


- Tidak ada riwayat anggota keluarga pasien yang pernah memiliki keluhan bercak merah
atau putih yang tidak gatal atau mati rasa, disabilitas, ulkus di telapak tangan dan telapak
kaki
- Riwayat anggota keluarga pasien yang pernah meminum obat paket selama 6 – 12 bulan
tidak ada
- Riwayat atopi pada keluarga tidak ada

Riwayat pekerjaan, sosial, dan ekonomi


- Pasien dilahirkan di Painan
- Saat usia 4 tahun, pasien pindah ke Jakarta. Pasien tinggal di area kumuh hingga usia
21 tahun, dan berbagi pemakaian kamar mandi dengan tetangganya. Kemudian pasien
pindah ke Painan dan pindah ke Padang pada tahun 2010.
- Pasien seorang ibu rumah tangga dengan aktivitas fisik ringan sampai sedang.
- Pasien tinggal bersama suami dan 4 anaknya

Riwayat Penyakit Atopi


- Pasien kadang bersin-bersin pagi hari, tidak sering
- Riwayat alergi makanan disangkal
- Riwayat alergi obat disangkal
- Riwayat mata merah, gatal, dan berair disangkal

30
- Riwayat asma tidak ada
- Riwayat alergi serbuk sari dan bulu binatang tidak ada

PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalisata
Keadaan Umum : Tampak Sakit Ringan
Kesadaran : Komposmentis Kooperatif
Nadi : 80 x/menit
Napas : 18 x/menit
Berat Badan : 55 kg
Tinggi badan : 150 cm
IMT : 22,22 kg/m2
Status gizi : Normoweight
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pemeriksaan visus tidak
dilakukan
KGB : Tidak ada pembesaran
Pemeriksaan thorak : Dalam batas normal
Pemeriksaan abdomen : Dalam batas normal
Ekstremitas : CRT < 2 s, edema (-/-)
Status Dermatologikus
- Lokasi : wajah, kedua lengan dan tungkai, dada, perut, punggung
- Distribusi : generalisata
- Bentuk : tidak khas
- Susunan : tidak khas
- Batas : Tidak tegas
- Ukuran : Numular - plakat
- Effloresensi : makula hipopigmentasi, infiltrat

Status Venerologikus
Tidak dilakukan pemeriksaan
Kelainan Selaput
Tidak ditemukan kelainan
Kelainan Kuku
Tidak ditemukan kelainan
Kelainan Rambut

31
Tidak ditemukan kelainan
Kelainan Kelenjar Limfe
Tidak terdapat pembesaran KGB

Gambar 3.1 Lesi pada Wajah

Gambar 3.2 Lesi di Punggung dan Perut

32
Gambar 3.3 Lesi di Lengan Kanan Bawah

Gambar 3.4 Gambaran Tungkai Pasien

33
Pemeriksaan Sensibilitas
- Rasa raba :
o Hipoestesi pada sisi medial bagian bawah malleolus kanan dan kiri, serta di
punggung kaki
o Anestesi di ujung jari tangan kanan dan kiri
- Rasa tusuk :
o Anestesi di punggung kaki

Pembesaran Saraf Perifer


- N. Fasialis
Tidak teraba pembesaran, nyeri (-)
- N. Aurikularis Magnus
Kanan : Tidak teraba pembesaran, nyeri (-)
Kiri : Tidak teraba pembesaran, nyeri (-)
- N. Ulnaris
Kanan : teraba pembesaran, nyeri (-)
Kiri : teraba pembesaran, nyeri (-)
- N. Peroneus Lateral
Kanan : Tidak teraba pembesaran, nyeri (-)
Kiri : Tidak teraba pembesaran, nyeri (-)
- N. Tibialis Posterior
Kanan : teraba pembesaran, nyeri (-)
Kiri : teraba pembesaran, nyeri (-)
Pemeriksaan Motoris: (Voluntary Motor Test/ VMT)
Ø Kekuatan Otot
- M. orbicularis oculi : 5/5
- M. abductor digitiminimi : 3/3
- M. interoseous dorsalis : 5/5
- M. abductor pollicis brevis : 5/5
- M. tibialis anterior : 5/5
Ø Saraf Tepi
- Mata : Kuat
- N. Ulnaris : lemah
- N. Medianus : Kuat

34
- N. Radialis : Kuat
- N. Peroneus Communis : Kuat

Pemeriksaan kecacatan :
- Mutilasi : Tidak ada
- Absorbsi : Tidak ada
- Atrofi otot : tidak ada
- Xerosiskutis : tidak ada
- Ulkus trofik : Tidak ada
- Madarosis : Ada
- Lagoftalmus : Tidak ada
- Claw hand : Tidak ada
- Ape hand : Tidak ada
- Wrist drop : Tidak ada
- Dropped foot : Tidak ada
- Facies leonina : Ada

Resume
Seorang perempuan berusia 43 tahun datang dengan keluhan bercak-bercak putih yang
tidak disertai nyeri ataupun gatal di lengan, dan tungkai sejak 6 bulan yang lalu. Lebih-kurang
6 bulan yang lalu muncul bercak-bercak putih di lengan bawah bagian dalam yang mati rasa.
Pasien pergi berobat ke puskesmas, diberi 1 macam obat, namun bercak tidak juga hilang dan
semakin bertambah ke bagian tungkai. Lebih kurang 2 bulan yang lalu pasien merasakan
hidungnya membengkak. Lebih kurang 1 bulan yang lalu, pasien merasakan alis pada kedua
mata tampak rontok, namun tidak diobati. Lebih kurang 3 minggu yang lalu pasien berobat ke
dokter di klinik kimia farma dengan keluhan yang sama, tidak diberikan obat dan dirujuk ke
RS Naili DBS. Dari RS Naili DBS pasien langsung dirujuk ke RS M. Djamil tanpa dilakukan
pemeriksaan penunjang dan pemberian obat. Terdapat keluhan kesemutan telapak kaki dan jari
tangan. Terdapat riwayat tidak merasakan sensasi panas saat menyentuh benda panas. Terdapat
riwayat tidak merasakan sensasi nyeri saat tertusuk benda tajam. Riwayat bekerja dibawah sinar
matahari tidak ada. Riwayat bekerja yang berkontak dengan tanah tidak ada. Riwayat imunisasi
termasuk BCG disangkal. Riwayat DM tidak ada. Pasien dilahirkan di Painan, dan pernah
tinggal lama di daerah kumuh di Jakarta. Pada pemeriksaan fisik didapatkan status generalis
dalam batas normal. Pada pemeriksaan dermatologis didapatkan lesi makula hipopigmentasi
dan infiltrat, distribusi generalisata, bentuk tidak khas, batas tidak khas/tidak jelas, ditemukan

35
hipoestesi rasa raba pada sisi medial bagian bawah malleolus kanan dan kiri, serta di punggung
kaki, dan ditemukan anestesi rasa raba di ujung jari tangan kanan dan kiri. Ditemukan juga
anestesi rasa tusuk di punggung kaki. Pada pemeriksaan pembesaran saraf, teraba pembesaran
pada N. ulnaris kiri dan kanan, serta pada N. tibialis posterior kiri dan kanan, namun tidak
ditemukan nyeri. Pada pemeriksaan VMT didapatkan interpretasi lemah pada N. Ulnaris kiri
dan kanan, serta pada N. tibialis posterior kiri dan kanan. Selain itu juga ditemukan adanya
fasies leonina.

DIAGNOSIS KERJA

Morbus Hansen Multibasilar

DIAGNOSIS BANDING
- Pitiriasis Alba
- Pitiriasis Versicolor

PEMERIKSAAN RUTIN
Pemeriksaan slit skin smear

Gambar 3.5 Hasil Pemeriksaan Slit Skin Smear (BTA +)

PEMERIKSAAN ANJURAN
Pemeriksaan biopsi dan histopatologi, serta PCR

DIAGNOSIS

Morbus Hansen Multibasiler

36
TATALAKSANA
Terapi Umum:
- Menjelaskan kepada pasien tentang penyakit kusta disebabkan oleh infeksi M. leprae
dan komplikasinya dapat menyebabkan kecacatan, namun dapat disembuhkan dengan
MDT, bila diminum teratur sesuai dosis dan durasi terapi sesuai anjuran.
- Menjelaskan kepada pasien untuk berobat secara teratur dan tidak boleh putus obat serta
menjelaskan mengenai efek samping obat yang dapat membaik setelah obat dihentikan.
- Menjelaskan mengenai apa saja efek samping obat yang dapat muncul seperti :
o Urin berwarna merah
o Bercak kulit gatal
o Perubahan warna kulit
- Menerangkan kepada pasien untuk selalu memakai sarung tangan setiap akan
memegang benda panas atau setiap akan bekerja menggunakan benda tajam.
- Penjelasan tentang gejala dan tanda reaksi kusta.
- Cacat baru dapat timbul saat atau setelah pengobatan dan dapat diobati.
- Penyembuhan cacat yang sudah ada sebelumnya, tergantung pada lamanya cacat
diderita.
- Selalu memakai sandal setiap akan berakifitas jika perlu memakai kaus kaki
- Perawatan diri sendiri untuk mencegah luka dan merawat luka.
- Menyarankan untuk melakukan pemeriksaan pada anggota keluarga serumah karena
penyakit ini merupakan penyakit yang menular pada kontak lama dan erat.

Terapi Khusus:
Ø MDT-MB
o Hari pertama/ bulan
§ 2 kapsul rifampisin 300 mg (600mg)
§ 3 tablet klofazimine 100 mg (300 mg)
§ 1 tablet dapson/DDS 100 mg
o Pengobatan harian : hari ke 2 – 28
§ 1 tablet klofazimine 50 mg
§ 1 tablet dapson/DDS 100 mg
§ Vitamin B complex 1x1 tab per oral

37
PROGNOSIS
Quo ad Vitam : Bonam
Quo ad Sanactionam : Bonam
Quo ad Functionam : Dubia ad Bonam
Quo ad kosmetikum : Dubia ad Malam

RESEP

PRAKTIK UMUM
dr. Alwis
SIP. 03342145
Praktik : Senin-Jumat
19.00-21.00
Jalan Air Camar No. 10 Padang
Telp. 0751-442312
Padang, 11 Januari 2021
R/Rifampicin cap 300mg No.II
S1dd tab II φ
R/Clofazimin tab 100 mg No.III
S1dd tab III φ
R/Clofazimin tab 50 mg No.XXVII
S1dd tab I φ
R/Dapsone tab 100 mg No. XXVIII
S1dd tab I φ
R/B complex tab 20 mg No. XXVIII
S1dd tab I φ

Pro : Ny. S
Umur : 43 tahun
Alamat : Padang

38
BAB IV
DISKUSI

Seorang perempuan berusia 43 tahun datang dengan keluhan bercak- bercak kecoklatan
yang tidak disertai nyeri ataupun gatal di lengan, dan tungkai sejak 6 bulan yang lalu. Awalnya,
lebih-kurang 6 bulan yang lalu muncul bercak-bercak kecoklatan di lengan bawah bagian
dalam, tidak gatal dan tidak nyeri, terasa seperti digigit nyamuk. Pasien pergi berobat, diberi 1
macam obat namun bercak tidak juga hilang dan semakin bertambah ke bagian tungkai.
Terdapat keluhan mati rasa pada lokasi bercak. Terdapat keluhan kesemutan telapak kaki dan
jari tangan.
Kusta merupakan penyakit infeksi kronik granulomatosa yang disebabkan oleh
Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer merupakan afinitas
pertama, kemudian dapat menyerang kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, dan
juga dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat. Gejala klinis yang ditimbulkan tergantung
dari respon tubuh terhadap mikroorganisme tersebut. Apabila imunitas seluler orang tersebut
bagus dan kuat, maka gejala klinis yang terjadi adalah MH tipe tuberkuloid. Apabila imunitas
selulernya lemah, maka gejala klinisnya adalah MH tipe lepramatosa.
Masa inkubasi penyakit ini berkisar dalam rentang 40 hari sampai dengan 40 tahun,
dengan rata-rata mas inkubasi 3-5 tahun. Sumber infeksi pada kasus ini sulit untuk
diidentifikasi berdasarkan anamnesis. Tidak ditemukannya keluarga, tetangga sekitar
rumahnya yang mengalami keluhan seperti pasien. Saraf perifer merupakan lokasi pertama
yang diserang, kemudian lanjut mengenai kulit hingga menyebabkan gejala berupa kulit yang
mati rasa, dan dapat menyerang organ lain kecuali susunan saraf pusat. Pada infeksi M. leprae
cardinal sign dapat ditemukan berupa lesi kulit yang mati rasa (makula/plak hipopigmentasi/
eritematous/ hipoestesi) penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf, dan
ditemukannya basil tahan asam (BTA) pada slit skin smear test. Jika terdapat 1 dari 3 tanda
cardinal maka dapat ditegakkan kusta pada penderita.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan infiltrat di wajah, kedua lengan dan tungkai, dada,
perut, punggung. Bentuk dan susunan tidak khas, ukuran numular hingga plakat, efloresensi
infiltrat. Berdasarkan kriteria WHO, lesi dapat diklasifikan sebagai kusta Multi Basiler (MB).
Pada pemeriksaan sensibilitas, didapatkan hipoestesi raba pada telapak kaki kecuali 1 titik di
telapak kaki kiri, hipoestesi pada ujung jari tangan kecuali ujung ibu jari. Dan didapatkan
hipoestesi tusuk pada telapak kaki. Pada pemeriksaan saraf perifer, didapatkan pembengkakan
pada pemeriksaan N.ulnaris kiri dan kanan dan N. tibialis posterior kiri dan kanan.

39
Terapi umum yang diberikan adalah menjelaskan tentang penyebab penyakit kusta,
penularan, pengobatan dan pencegahan kecacatan, menjelaskan lama pengobatan penyakit
kusta, menjelaskan efek samping obat penyakit kusta, memberikan edukasi anggota keluarga
yang serumah agar diperiksa karena kusta dapat muncul tanpa gejala klinis yang jelas. Terapi
khusus yang diberikan berupa MDT-MB hari pertama setiap bulannya 2 kapsul rifampisin
300mg (600mg), 3 tablet klofazimine 100 mg (300 mg), 1 tablet dapson/DDS 100 mg.
Pengobatan harian : hari ke 2 hingga 28 tiap bulannya , 1 tablet klofazimine 50 mg, 1 tablet
dapson/DDS 100 mg, dan vitamin B complex 1x1 tab per oral. Untuk mencegah resistensi,
pengobatan morbus hansen telah menggunakan multidrug treatment (MDT). Selain untuk
mencegah resistensi, MDT digunakan sebagai usaha untuk memperpendek masa pengobatan.
Untuk prognosis kesembuhan dan kehidupan pada pasien ini adalah bonam selama pasien dapat
berobat dan kontrol teratur, prognosis fungsi adalah dubia ad bonam karena sudah terdapat
hipoestesi, serta prognosis kosmetik adalah dubia ad malam karena terdapat facies leonine.

40
DAFTAR PUSTAKA

1. Wolff Klaus, Doldsmith, Stevern, Barbara.


Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine 8th
ed. New York: McGraw Hill2011.

2. Wisnu I, Daili ESS, Menaldi. Kusta. Dalam:


Menaldi SL (eds). Ilmu Penyakit kulit dan Kelamin.
Edisi ke-7. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.2017.

3. Guidelines for the diagnosis, treatment and


prevention of leprosy [Internet]. World Health
Organization. World Health Organization; 2019
[cited 2020Mar7].
Available from:
https://www.who.int/lep/resources/9789290226383/
en/.

4. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia


Nomor 11 Tahun 2019 Tentang Penanggulangan
Kusta. (2019).

5. Kusta. Pusat data dan informasi Kementerian Kesehatan RI.


2015.pp:1-8.

6. Global Leprosy Strategy 2016-2020. World Health


Organization.2016.

7. Hajar,S. Morbus Hansen Biokimia dan


Imunopatogenesis. Journal Kedokteran Syiah Kuala.
2017. Vol.17(3), p.190-4.

8. Schieke SM, Garg A. Fungal disease: superficial fungal


infection. In:Goldsmith LA, Katz SI,Gilchrest BA,
Paller AS, Leffell DJ, Wolf K, eds. Fitzpatrick’s
Dermatology in GeneralMedicine. 8th Ed: Volume 2.
New York: McGraw-Hill; 2012.

9. James WD, Berger TG, Elston DM, eds. Andrews’


Disease of the Skin, Clinical Dermatology.12th Ed.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2015.

10. Burns T., B.S., Cox N. et al,Rook’s Textbook of


Dermatology.9th Edition.2016.

11. James W. D., B.T.G., Elston D. M, Andrew’s Diseases


Of Skin: Clinical Dermatology 12 th Edition. 2015.

41

Anda mungkin juga menyukai