Anda di halaman 1dari 15

ASUHAN KEPERAWATAN KOMUNITAS

DENGAN POPULASI PENYAKIT INFEKSI (MENINGITIS)

Dosen Pembimbing : Dewi Hartinah, S.Kep.,Ns.,M.Si.Med.

Disusun oleh kelompok 7 :

Khoirun Nisa (920173029)

Mita Nur Faiqotunnisa (920173030)

Muhammad Alfian Nur M (920173031)

Muhammad Randi Irmawan (920173033)

Naimatul Farida (920173034)

Nawa Evalatul Hawa (920173036)

Nurun Najah Azzahra (920173028)

PRODI S1 ILMU KEPERAWATAN TAHUN AJARAN 2019/2020

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KUDUS


HALAMAN PENGESAHAN

Judul : Asuhan Keperawatan Komunitas dengan Populasi Infeksi Meningitis

TIM PENYUSUN

Kelompok Seminar Asuhan Keperawatan

Kudus, 29 Juni 2020

Dosen Pembimbing

Dewi Hartinah, S.Kep.,Ns.,M.Si.Med.


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah,
Taufik, dan Hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang
Berjudul “Asuhan Keperawatan Komunitas dengan Populasi Infeksi Meningitis”.

Semoga makalah ini dapat di pergunakan sebagai salah satu acuan,  petunjuk maupun
pedoman bagi pembaca dalam dunia psikososial dan budaya dan dunia kesehatan untuk
mengedukasikannya.

Harapan kami semoga makalah ini dapat membantu menambah pengetahuan dan
wawasan serta pengalaman bagi para pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk
maupun isi dari makalah ini agar menjadi lebih baik kedepannya. Makalah ini, kami akui
masih banyak kekurangan karena pengalaman kami yang masih kurang.Oleh karena itu, kami
berharap para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun
untuk kesempurnaan makalah ini dan harap maklum.

Kudus, 29 Juni 2020

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Meningitis adaah inflamsi yang terjadi pada meningen otak dan medula spinalis.
Gangguan ini biasanya merupakan komplikasi bakter (infeksi skunder) seperti sinusitis,
otitis media, penumonia, endokarditis, atau osteomielitis. Organisme yang merupakan
penyebab umum meningitis meliputi neisseria meningitidis (meningitis meningokok),
haemophilus influenzae dan streptococus pneumoniae (organisme ini biasanya terdapat di
nasofaring). Organisme penyebab meningitis yang sering menyerang bayi (sapi usia 3
bulan adalah escherichia coli dan listeriamonocytogenes). Berdasarkan penyebabnya,
meningitis dapat dibagi menjadi meningitis aseptik (aseptik meningitis) yang disebabkan
oleh virus, meningitis non infeksius yang disebabkan oleh darah diruang subarakhnoid,
dan meningitis bakterial (bacterial meningitis) yang desebabkan oleh berbagai macam
bakteri. (Batticaca, 2012).

Meningitis bakteri merupakan penyakit serius dan pencegahan sangat penting


dilakukan. Meningitis bakteri ditularkan melalui kontak dekat langsung dengan droplet
pernafasan dari hidung atau tenggorok. Individu yang paling berisiko adalah mereka yang
tinggal bersama anak atau siapapun yang bermain bersama atau kontak dekat dengan anak
tersebut. (Kyle & Carman, 2015).

Tipe meningitis virus disebut sebagai aseptic meningitis. Meningitis ini terjadi
sebagai akibat dari berbagai macam penyakit virus yang meliputi measles, mumps, herpes
simplex, dan herpes zoster. Pembentukan eksudat pada umumnya terjadi di atas kortex
serebral, substansi putih dan meningens. Kerentanan jaringan otak terhadap berbagai
macam virus tergantung pada tipe sel yang di pengaruhi. Virus herpes simplex merubah
metabolisme sel, yang mana secara cepat menyebabkan neksrosis sel-sel. Virus yang lain
menyebabkan perubahan produksi enzim atau neurotransmiter yang menyebabkan
disfungsi dari sel dan kemungkinan kelainan neurologi. (Widagdo, 2013).

Dari beberapa literatur diatas dapat disimpulkan bahwa meningitis dapat terjadi oleh
virus dan bakteri. Meningitis bakteri ditularkan dari kontak langsung (droplet) sedangkan
meningitis virus sebagai akibat dari berbagai macam penyakit yang disebebkan oleh
virus.

1.2 RUMUSAN MASALAH


Berdasarkan latar belakang diatas, rumusan masalah yang penulis angkat adalah “
Bagaimanakah “Asuhan Keperawatan Komunitas dengan Populasi Infeksi Meningitis?”

1.3 TUJUAN
A. Tujuan Umum
Agar penulis mampu mempelajari Asuhan Keperawatan Komunitas dengan
Populasi Infeksi Meningitis, sehingga mampu mencapai hasil yang terbaik dalam
mengatasi masalah keperawatan pada pasien dengan Hirschprung.
B. Tujuan khusus:
2.1 Untuk mengetahui definisi dari meningitis.

2.2 Untuk mengetahui etiologi dari meningitis.

2.3 Untuk mengetahui klasifikasi dari meningitis.

2.4 Untuk mengetahui patofisiologi dari meningitis.

2.5 Untuk mengetahui pathway dari meningitis.

2.6 Untuk mengetahui manifestasi dari meningitis.

2.7 Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang dari meningitis

2.8 Untuk mengetahui penatalaksanaan dari meningitis

2.9 Untuk mengetahui pengkajian dari meningitis

2.10 Untuk mengetahui diagnosa dan intervensi dari meningitis


BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Definisi
Meningitis adalah inflamasi yang terjadi pada meningen otak dan medula spinalis.
Gangguan ini biasanya merupakan komplikasi bakteri (infeksi sekunder) seperti
Sinusiotis, Otitis Media, Pneumonia, Edokarditis atau Osteomielitis. Meningitis bakterial
adalah inflamasi arakhnoid dan piameter yang mengenai CSS, Meningeotis juga bisa
disebut Leptomeningitis adalah infeksi selaput arakhnoid dan CSS di dala ruangan
subarakhnoid (Lippincott Williams & Wilkins. 2013).
Meningitis adalah radang pada menings (membran yang mengelilingi otak dan
medula spinalis) dan disebabkan oleh virus, bakteri, atau jamur. Meniningitis merupakan
infeksi akut dari meninges, biasanya di timbulkan dari mikroorganisme pneuomonik,
meningokok, stafilokok, stretokok, hemophilus infuenza dan bahan aseptis. (Wijaya,
2013)
Meningitis bakterialis adalah suatu infeksi purulen lapisan otak yang pada orang
dewasa biasanya hanya terbatas di dalam ruang subraknoid, namun pada bayi cenderng
meluas sampai ke rongga subdural sebagai suatu efusi atau empiema subdural atau
bahkan ke dalam otak. (Nurarif, 2016).

2.2 Etiologi
Menurut Wijaya (2013), etiologi meningitis yaitu:
a. Bakteri : mycbakterium tuberculosa diplococus pneumoniae (pneumokok ), neisseria
meningitis (meningokok), streptococus haemolyticuss, staphylococus aureus.
b. Virus, toxoplasma gondhii dan ricketsia
c. Faktor fredisposisi : jenis kelamin laki-laki lebih sering dari pada wanita
d. Faktor maternal : ruptur membran fetal, infesi maternal pada minggu terakhir
kehamilan
e. Faktor imunologi : defisiensi mekanisme imun, defisiensi imunoglobin
f. Kelainan sistem saraf pusat, pembedahan atau injury yang berhubungan dengan
sistem persarafan
2.3 Klasifikasi
Meningitis dibagi menjadi 2 golongan berdasarkan perubahan yang terjadi pada cairan
otak, yaitu :
1. Meningitis serosa
Adalah radang selaput otak araknoid dan piameter yang disertai cairan otak yang
jernih. Penyebab terseringnya adalah Mycobacterium tuberculosa. Penyebab lainnya
lues, Virus, Toxoplasma gondhii dan Ricketsia.
2. Meningitis purulenta
Adalah radang bernanah arakhnoid dan piameter yang meliputi otak dan medula
spinalis. Penyebabnya antara lain : Diplococcus pneumoniae (pneumokok), Neisseria
meningitis (meningokok), Streptococus haemolyticuss, Staphylococcus aureus,
Haemophilus influenzae, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Peudomonas
aeruginosa.
2. Meningitis tuberkolosa
Merupakan komplikasi infeksi TBC primer : tuberkel terbentuk diotak permukaan
otak - pecah kedalam rongga arachnoid – meningoencepalitis – eksudat – obstruksi
pada sisterna basalis – hidrosefalus dan kelainan pada syaraf otak, terdapat kelaian p.
darah arteritis dan phlebitis – infark otak
CSF : warna jernih, opalescent, santocrom, tekanan meningkat, jumlah 150/mm³
terutama terdiri dari limfosit, kadar protein meningkat, kadar glukosa dan CL
menurun, bila CSF di biarkan akan timbul fibrosis web (pellicle), glukosa dara bisa
naik / turun
Terdiri dari 3 stadium :
- Stadium I : tanpa demam / kelainan, apatis, tidur terganggu, anoreksia, nyeri
kepala, mual, muntah
- Stadium II : kejang, rangsang meningeal, reflek tendon meningkat, TIK,
kelumpuhan saraf III dan IV, kelumpuhan sarah lainnya
- Stadium III : kelumpuhan, koma, pupil midriasis, reaksi pupil, nadi dan RR
tidak teratur, kadang cheyne stokes, hiperpireksia
3. Meningitis virus
Disebabkan oleh virus
CSF : terdapat pleositosa terutama dari sel monoklear, cairan bebas kuman, protein
sedikit meningkat, jumlah sel sekitar 100-800/mm3, glukosa dalam batas normal
Gejala kulit biasanya ringan, jika berat biasanya ditemukan nyeri kepala/kuduk
(Nugroho, 2014).

2.4 Pathofisiologi
Meningitis pada umumnya sebagai akibat dari penyebaran penyakit di organ atau
jaringan tubuh yang lain. Virus atau bakteri menyebar secara hematogen sampai ke
selaput otak, misalnya pada penyakit faringitis, tonsilitis, pneuminoa, bronchopneumonia
dan endokarditis. Penyebaran bakteri atau virus dapat pula secara perkontinuitatum dari
peradangan organ atau jaringan yang ada didekat selaput otak, misalnya abses otak, otitis
media, mastoiditis, trombosis sinus kavernosus dan sinusitis. Penyebaran bisa juga
terjadi akibat trauma kepala dengan fraktur terbuka atau komplikasi bedah otak. Invasi
kuman-kuman kedalam ruang subaraknoid menyebabkan reaksi radang pada pia dan
arkhnoid, CSS (cairan serebrospinal) dan sistem ventrikulus.
Mula-mula pembuluh darah meningeal yang kecil dan sedang mengalami
hiperemi; dalam waktu yang sangat singkat terjadi penyebaran sel-sel leukosit
polimorfonuklear ke dalam ruang subarakhnoid, kemudian terbentuk eksudat. Dalam
beberapa hari terjadi pembentukan limfosit dan histiosit dan dalam minggu kedua sel-sel
plasma. Eksudat yang terbentuk terdiri dari dua lapisan. Bagian luar mengandung
leukosit polimorfonuklear dan fibrin sedangkan dilapisan dalam terdapat makrofag.
Proses radang selain pada arteri juga terjadi pada vena-vena di korteks dan dapat
menyebabkan trombosis, infark otak, edema otak dan degenerasi neuron-neuron.
Trombosis serta organisasi eksudat perineural yang fibrono-purulen menyebabkan
kelainan kraniales. Pada meningitis yang disebabkan oleh virus, cairan serebrospinal
tampak jernih dibandingkan meningitis yang disebabkan oleh bakteri. (Harsono. 2017)

2.5 Pathway
2.6 Manifestasi Klinis
Tanda-tanda meningitis menurut Kowalak (2013) yaitu:
1. Panas atau demam, mengigil, dan perasaterjaan yanga enak an tidak karena infeksi
serta inflamasi.
2. Sakit kepala, muntah, dan kadag-kadang papiledema (inflamasi nerveusflamasi dan
edema pada nervus optikus).
3. Tanda-tanda iritasi meningen meliputi : Kaku kuduk.
4. Tanda Brudzinki dan Kernig yang positif.
5. Refleks tendon dalam yang berlebihan dan simetris.
6. Opistotonos (keadaan spasme di mana punggung dan ekstremitas melengkung ke
belakang sehingga tubuh bertumpu pada kepala dan kedua tumit.
7. Sinus aritmia akibat iritasi pada serabut-serabut saraf dalam sistem sraf otonom.
8. Iritabilitas akibat kenaikan tekanan intracranial.
9. Fotofobia, diplopia, dan permasalahan penglihatan lain akibat iritasi nervus kranialis.
10. Delirium, stupor berat, dan koma akibat kenaikan tekanan intrakranial dan edema
serebri.

2.7 Pemeriksaan Penunjang


1) Pemeriksaan Rangsangan Meningeal
a) Pemeriksaan kaku kuduk
Pasien berbaring terlentang dan dilakukan pergerakan pasif berupa fleksi dan rotasi
kepala. Tanda kaku kuduk positif atau negatif bila didapatkan kekakuan dan tahanan
pada pergerakan fleksi kepala disertai rasa nyeri dan spasme otot. Dagu tidak dapat
disentuhkan kedada dan juga didapatkan tahanan pada hiperekstensi dan rotasi kepala.
b) Pemeriksaan Tanda Kernig
Pasien berbaring terlentang, tangan diangkat dan dilakukan fleksi pada panggul
kemudian ekstensi tungkai bawah pada sendi lutut sejauh mungkin tanpa rasa nyeri.
Tanda kernig positif atau negatif bila ekstensi sendi lutut tidak mencapai sudut 135
(kaki tidak dapat diekstensi sempurna) disertai spasme otot pada biasanya diikuti rasa
nyeri.
c) Pemeriksaan Tanda Brudzinski I (Brudzinski Leher)
Pasien berbaring terlentang dan pemeriksaan meleteakkan tangan kirinya dibawah
kepala dan tangan kanan diatas dada pasien kemudian dilakukan fleksi kepada dengan
cepat kearah dada sejauh mungkin. Tanda brudzinski I positif atau negatif bila pada
pemeriksaan terjadi fleksi involunter pada leher.
d) Pemeriksaan tanda Brudzinski II (Brudzinski kontra lateral tungkai)
Pasien terbaring terlentang dan dilakukan fleksi pasif paha pada sendi panggul (seperti
pada pemeriksaan kernig). Tanda brudzinski II positif atau negatif bila pada
pemeriksaa terjadi fleksi involunter pada sendi panggul dan lutut kontralateral.

2) Pemeriksaan Penunjang Meningitis


a) Pemeriksaan cairan serebrospinalis
Berdasarkan perubahan yang terjadi pada cairan otak, mengitis, dibagi menjadi dua
golongan yaitu meningitis serosa dan meningitis purulenta.
1. Pada meningitis purulenta, diagnosa diperkuat dengan hasil positif pemeriksaan
sediaan langsung dengan mikroskop dan hasil biakan. Pada pemeriksaan
diperoleh hasil cairan serebrospinal yang keruh karena mengandung pus (nanah)
yang merupakan campuran leukosit yang hidup dan mati, serta jaringan yang mati
dan bakteri.
2. Pada meningitis serosa, diperoleh hasil pemeriksaan cairan serebrospinal yang
jernih meskipun mengandung sel dan jumlah protein yang meninggi.

3) Pemeriksaan darah
Dilakukan dengan pemeriksaan kadar hemoglobin, jumlah leukosit, laju endap darah
(LED), kadar glukosa ,kadar ureum,elektrolit, dan kultur.
a) Pada meningitis purulenta didapatkan peningkatan leukosit.
b) Pada meningitis serosa didapatkan peningkatan leukosit saja. Di samping itu, pada
meningitis tuberkulosa didapatkan juga peningkatan LED.

4) Pemeriksaan radiologi
a) Pada meningitis purulenta dilakukan foto kepala (pemeriksaan mastoid,sinus
paranasal) dan foto dada.
b) Pada meningitis serosa dilakukan foto dada, foto kepala, dan bila mungki
dilakukan CT Scan.
2.8 Penatalaksanaan Medis
Terapi Konservatif/Medikal
1) Terapi Antibiotik
Pemilihan obat-obatan antibiotika, harus terlebih dahulu dilakukan kultur darah dan
lumbal punksi guna pemberian antibiotika disesuaikan dengan kuman penyebab. Berikut
ini pilihan antibiotika atas dasar umur
Pemilihan antimikrobial pada meningitis otogenik tergantung pada pemilihan
antibiotika yang dapat menembus sawar darah otak, bakteri penyebab serta perubahan
dari sumber dasar infeksi. Bakteriologikal dan respon gejala klinis kemungkinan akan
menjadi lambat, dan pengobatan akan dilanjutkan paling sedikit 14 hari setelah hasil
kultur CSF akan menjadi negatif.
Penatalaksanaan medis lebih bersifat mengatasi etiologi dan perawat perlu
menyesuaikan dengan standar pengobatan sesuai tempat bekerja yang berguna sebagai
bahan kolaborasi dengan tim medis. Secara ringkas penatalaksanaan pengobatan
meningitis meliputi: Pemberian antibiotic yang mampu melewati barier darah otak ke
ruang subarachnoid dalam konsentrasi yang cukup untuk menghentikan
perkembangbiakan bakteri. Baisanya menggunakan sefaloposforin generasi keempat
atau sesuai dengan hasil uji resistensi antibiotic agar pemberian antimikroba lebih efektif
digunakan.

Obat anti-infeksi (meningitis tuberkulosa):

1. Isoniazid 10-20 mg/kgBB/24 jam, oral, 2x sehari maksimal 500 mg selama 1


setengah tahun.
2. Rifampisin 10-15 mg/kgBB/24 jam, oral, 1 x sehari selama 1 tahun.
3. Streptomisin sulfat 20-40 mg/kgBB/24 jam, IM, 1-2 x sehari selama 3 bulan.
Obat anti-infeksi (meningitis bakterial):
1. Sefalosporin generasi ketiga
2. Amfisilin 150-200 mg/kgBB/24 jam IV, 4-6 x sehari
3. Klorafenikol 50 mg/kgBB/24 jam IV 4 x sehari.

Pengobatan simtomatis:
1. Antikonvulsi, Diazepam IV; 0,2-0,5 mgkgBB/dosis, atau rectal: 0,4-0,6 mg/kgBB,
atau fenitoin 5 mg/kgBB/24 jam, 3 x sehari atau Fenobarbital 5-7 mg/kgBB/24 jam, 3
x sehari.
2. Antipiretik: parasetamol/asam salisilat 10 mg/kgBB/dosis.
3. Antiedema serebri: Diuretikosmotik (seperti manitol) dapat digunakan untuk
mengobati edema serebri.
4. Pemenuhan oksigenasi dengan O2.
5. Pemenuhan hidrasi atau pencegahan syok hipovolemik: pemberian tambahan volume
cairan intravena
2) Kortikosteroid
Efek anti inflamasi dari terapi steroid dapat menurunkan edema serebri,
mengurangi tekanan intrakranial, akan tetapi pemberian steroid dapat menurunkan
penetrasi antibiotika kedalam abses dan dapat memperlambat pengkapsulan abses, oleh
karena itu penggunaan secara rutin tidak dianjurkan. Oleh karena itu kortikosteroid
sebaiknya hanya digunakan untuk tujuan mengurangi efek masa atau edema pada
herniasi yang mengancam dan menimbukan defisit neurologik fokal. Label et al (1988)
melakukan penelitian pada 200 bayi dan anak yang menderita meningitis bakterial
karena H.Influenzae dan mendapat terapi deksamehtason 0,15 Mg/kgBB/x tiap enam jam
selama 4hari, 20 menit sebelum pemberian antibiotika. Ternyata pada pemeriksaan
24jam kemudian didapatkan penurunan tekanan CSF, peningkatan kadar glukosa CSF
dan penurunan kadar protein CSF. Yang mengesankan dari penelitian ini bahwa gejala
sisa berupa gangguan pendengaran pada kelompok yang mendapatkan deksamethason
adalah lebih rendah dibandingkan kontrol. Tunkel dan Scheld (1995), menganjurkan
pemberian deksamethason hanya pda penderita dengan resiko tinggi, atau pada penderita
dengan status mental sangat terganggu, edema otak atau tekanan intrakranial tinggi. Hal
ini mengingat efek samping penggunaan deksamethason yang cukup banyak seperti
perdarahan traktus gastrointestinal, penurunan fungsi imun selular sehingga menjadi
peka terhadap patogen lain dan mengurangi penetrasi antibiotika kedalam CSF.

3) Terapi Operatif
Penanganan vokal infeksi dengan tindakan operatif mastoidektomi. Pendekatan
mastoidektomi harus dapat menjamin eradekasi seluruh jaringan patologik dimastoid.
Maka sering diperlukan mastoidektomi radikal. Tujuan operasi ini adalah untuk
memaparkan dan mengeksplorasi seluruh jalan yang mungkin digunakan oleh invasi
bakteti.
Selain itu juga dapat dilakukan tindakan trombektomi, jugular vein
ligation,perisinual dan cerebellar abcess drainage yang diikuti antibiotika broad
spectrum dan obat-obatan yang mengurangi edema otak yang tentunya akan
memeberikan outcome yang baik pada penderita komplikasi intrakranial dari otitis
media. (Aryanti dkk. 2014)

2.9 Pengkajian
1. Riwayat keperawatan : riwayat kelahiran, penyakit kronis, neoplasma riwayat
pembedahan pada otak, cedera kepala
2. Pada neonatus : kaji adanya perilaku menolak untuk makan, refleks menghisap
kurang, muntah dan diare, tonus otot kurang, kurang gerak dan menagis lemah
3. Pada anak-anak dan remaja : kaji adanya demam tinggi, sakit kepala, muntah yang
diikuti dengan perubahan sensori, kejang mudah terstimulasi dan teragitasi,
fotofobia, delirium, halusinasi, perilaku agresif atau maniak, penurunan kesadaran,
kaku kuduk, opistotonus, tanda kernig dan Brudzinsky positif, reflex fisiologis
hiperaktif, petchiae atau pruritus.
4. Bayi dan anak-anak (usia 3 bulan hingga 2 tahun) : kaji adanya demam, malas
makan, muntah, mudah terstimulasi, kejang, menangis dangan merintih, ubun-ubun
menonjol, kaku kuduk, dan tanda kernig dan Brudzinsky positif.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2012. Mengenal Penyakit Hirschsprung (Aganglionic Megacolon).

Budi. 2010. Asuhan Keperawatan pada Penyakit Hisprung.

Kartono, Darmawan. 2012. Penyakit Hirschsprung. Jakarta : Sagung Seto

Morgan Speer, Kathleen. 2008. Rencana Asuhan Keperawatan Pediatrik Dengan


Clinical Pathways. Jakarta: EGC.

Ngastiyah, 2011, Perawatan Anak Sakit, EGC, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai