TEMA:
“PELAKSANAAN TUGAS POLRI GUNA MENDUKUNG
PENERAPAN PROTOKOL KESEHATAN SELAMA PANDEMI
COVID-19 DALAM RANGKA TERWUJUDNYA SITUASI
KAMTIBMAS YG KONDUSIF”
JUDUL:
OPTIMALISASI PERAN POLRI DALAM SENTRA
GAKKUMDU PADA PEMILIHAN SERENTAK
TAHUN 2020 DI TENGAH PANDEMI COVID-19
GUNA MEWUJUDKAN MASYARAKAT KONDUSIF
A. PENDAHULUAN
Berahirnya masa jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah hasil Pilkada tahun
2015 akan berimplikasi kepada kekosongan jabatan pada pemerintah daerah tersebut.
Bilamana situasi ketidakjelasan pelaksanaan pemungutan suara Pilkada 2020 yang
seharusnya dilaksanakan September 2020 tersebut dibiarkan maka akan memunculkan
beragam kerumitan berikutnya. Kerumitan tersebut yakni terkait dengan perlu adanya
penyiapan Penjabat untuk mengisi kekosongan masa jabatan Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah. Perlu diketahui bahwa terkait hal ini telah diatur secara rinci dalam Pasal
201 ayat (10) dan ayat (11) UU No. 10 Tahun 2016 yang pada pokoknya berbunyi:
1. Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur maka diangkat Penjabat Gubernur yang
berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya;
2. Untuk mengisi kekosongan jabatan Bupati/Walikota diangkat Pejabat
Bupati/Walikota yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama.
Problematika selanjutnya adalah akan terganggunya terganggunya jadwal
keserentakan Pilkada di tahun 2024. Dalam UU No. 10 Tahun 2016 telah diatur bahwa
Pilkada serentak dilakukan secara bertahap sampai dengan pelaksanaan pilkada serentak
secara nasional tahun 2024. Pelaksanaan pilkada serentak secara bertahap tersebut dilakukan
sebagai upaya rekayasa penyamaan masa jabatan kepala daerah, hal ini diperlukan karena
terdapat disparitas rentang waktu yang cukup tajam di antara 523 daerah provinsi,
kabupaten, dan kota yang akan menyelenggarakan Pilkada. Tujuan yang ingin dicapai dari
keserentakan tersebut dalam Naskah Akademik RUU Perubahan Kedua Atas UU No. 1
Tahun 2015 dimaksudkan sebagai upaya dalam rangka mengefektifkan dan mengefisienkan
jalannya proses pemilihan penyelenggara negara.
4
D. PEMECAHAN MASALAH
Fungsi penegakan hukum yang diemban Polri sesungguhnya tidak lepas dari
fungsinya sebagaimana telah diatur dalam UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Polri. Pasal 2
dalam UU ini menyebutkan bahwa salah satu fungsi kepolisian adalah fungsi pemerintahan
negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum,
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Secara eksplisit, pernyataan
ini kembali ditegaskan sebagai tugas dan wewenang Polri yang diatur pada Pasal 13 UU No.
2 Tahun 2002 Tentang Polri.
Disamping peran di atas, khususnya dalam pelaksanaan pilkada serentak di tengah
pandemi Covid-19, Polri juga memiliki peran yang tidak sedikit melalui Sentra Penegakkan
Hukum Terpadu (Sentra Gakkumdu). Sentra Gakkumdu merupakan amanah Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2020 tentang Pemilihan yang merupakan perubahan dari Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2020 yang telah disebutkan di atas. Amanah pembentukan Sentra
Gakkumdu tertuang dalam pasal 152 ayat (1) yang berbunyi:
“Untuk menyamakan pemahaman dan pola penanganan tindak pidana Pemilihan, Bawaslu
Provinsi, dan/atau Panwas Kabupaten/Kota, Kepolisian Daerah dan/atau Kepolisian Resor,
5
dan Kejaksaan Tinggi dan/atau Kejaksaan Negeri membentuk sentra penegakan hukum
terpadu.”
Sementara untuk teknis pelaksanaan penanganan Tindak Pidana Pemilihan, diatur
lebih lanjut dalam Peraturan Bersama antara Ketua Bawaslu RI, Kapolri dan Jaksa Agung
sebagaimana amanah pasal 152 ayat (4) yang berbunyi:
“Ketentuan mengenai sentra penegakan hukum terpadu diatur dengan peraturan bersama
antara Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia,
dan Ketua Bawaslu.”
Peran Polri yang demikian krusial dan signifikan untuk mencegah penyebaran Covid-
19 di tengah pelaksanaan serentak tahun 2020 tentu menjadi tugas “tambahan” yang tidak
pernah diduga sebelumnya. Polri, pada satu sisi memiliki tugas-tugas rutin sebagai aparat
penegak hukum dan penjaga ketertiban umum, sementara di sisi lain menjadi pihak yang
diandalkan untuk menegakkan aturan PSBB. Pada saat yang sama, seluruh personel Polri di
lapangan juga harus meningkatkan kewaspadaan bagi dirinya masing-masing karena
kemungkinan tertular virus ini juga besar. Apalagi angka rasio polisi di Indonesia dengan
jumlah masyarakatnya masih belum ideal.
Pada tingkat Mabes Polri, personel yang mengawaki Sentra Gakkumdu adalah
Penyidik Subdit IV/Politik dan Dokumen Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri.
Ini sejalan dengan amanah Peraturan Bersama Ketua Bawaslu RI Nomor: 5 Tahun 2020,
Kapolri Nomor: 1 Tahun 2020 dan Jaksa Agung RI Nomor: 14 Tahun 2020 tentang Sentra
Penegakkan Hukum Terpadu pada Pasal 10 ayat (1) yang berbunyi:
Anggota Sentra Gakkumdu Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a terdiri atas:
a. Anggota Bawaslu;
b. Pejabat pada Sekretariat Jenderal Bawaslu yang menyelenggarakan tugas dan fungsi di
bidang penanganan pelanggaran;
c. Penyidik pada Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri yang ditunjuk sebagai
Penyidik Tindak Pidana Pemilihan; dan
d. Jaksa pada Direktorat Tindak Pidana terhadap Keamanan Negara, Ketertiban Umum
dan Tindak Pidana Umum lainnya.
Sebagai bagian dari hukum pidana, mekanisme peradilan pidana pemilihan juga
mengikuti sistem peradilan pidana secara umum. Dalam sistem peradilan pidana, terjalin
6
sebuah kerangka sistem peradilan yang mendayagunakan hukum pidana (hukum pidana
materiil, hukum pidana formil dan hukum pelaksanaan pidana) secara terintegrasi. Dalam
kerangka itu, semua unsur sub sistem penegakan hukum yang terdiri dari kepolisian,
kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan dalam satu jaringan kerja yang saling
berkaitan satu sama lain. Dalam hukum pidana pemilihan, sistem kerja demikian juga
berlaku. Hanya saja, terdapat sejumlah karakter khusus yang terdapat dalam hukum pidana
pemilihan.
Pertama, dari segi hukum materil yang digunakan, tindak pidana pemilihan diatur
secara khusus dalam UU Pemilihan. Sejumlah tindak pidana pemilihan bahkan sebelumnya
telah ditentukan sebagai tindak pidana umum, seperti melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan, pemalsuan dokumen, melakukan perbuatan pengrusakan. Hanya saja, pengaturan
berbagai tindak pidana tersebut dalam UU Pemilihan adalah dalam kaitannya dengan
pelaksanaan pemilihan. Konsekuensinya, tindak pidana tersebut hanya dapat dituntut jika
dilakukan dalam konteks pemilihan. Hal ini sesuai dengan penerapan asas lex specialis
derogat legi gerali. Menurut asas ini, semua unsur-unsur suatu rumusan delik terdapat atau
ditemukan kembali di dalam peraturan lain, sedangkan peraturan yang disebut kedua (yang
khusus) itu disamping semua unsur-unsur peraturan pertama (yang umum) memuat pula
satu atau beberapa unsur lain. Dalam kaitan dengan pemilihan, unsur lain yang dimaksud
adalah tindak pidana tersebut terjadi dalam kaitannya dengan proses pemilihan.
Kedua, dari aspek hukum formil, hukum pidana pemilihan juga tunduk pada ketentuan
yang berlaku dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Di mana,
pengadilan negeri dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana
pemilihan menggunakan KUHAP, kecuali ditentukan lain dalam UU Pemilihan. Frasa
“kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini” merupakan klausul yang memberi
kekhususan tertentu bagi proses pemeriksaan dugaan tindak pidana pemilihan. Salah satu
kekhususannya adalah sangat terbatasnya waktu penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan
oleh lembaga-lembaga yang berwenang. Adapun batas waktu masing-masing Lembaga
tertuang dalam UU Nomor 2 Tahun 2020 sebagai berikut:
a. Bawaslu
Pasal 134 ayat (1) berbunyi:
7
b. Penyidik Polri
c. Penuntut Umum
Pasal 146 ayat (6) berbunyi:
“Penuntut umum melimpahkan berkas perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
kepada Pengadilan Negeri paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak menerima
berkas perkara dari penyidik.”
8
d. Pengadilan Negeri
Pasal 148 ayat (1) berbunyi:
“Pengadilan Negeri memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana
Pemilihan paling lama 7 (tujuh) hari setelah pelimpahan berkas perkara.”
5. P E N U T U P DAN KESIMPULAN
terwujud situasi masyarakat yang kondusif, maka masyarakat dapat turut berpartisipasi aktif
dalam penanggulangan Covid-19. Sebab pemerintah termasuk Polri di dalamnya tidak bisa
bekerja sendirian, tetapi memerlukan partisipasi dari semua komponen masyarakat,
termasuk tokoh agama, tokoh masyarakat dan lembaga masyarakat lainnya guna memutus
mata rantai penularan dan penyebaran Covid-19. Peran serta masyarakat perlu ditumbuhkan
dalam setiap kegiatan, masyarakat harus menyadari bahwa penanganan virus ini merupakan
tugas bersama. Masyarakat diharapkan menjadi mitra pemerintah dalam penanganan virus
tersebut.