Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Proses membaca jurnal adalah teknik pembaca dalam menilai secara rasional karya
penulis. Pembaca harus mengandalkan teknik analisa yang tepat. Dimana dalam makalah ini
jurnal yang dipilih adalah Effects of Covid-19 Lockdown on Mental Health and Sleep
Disturbances in Italy. Jurnal tersebut bertujuan untuk meneliti efek lockdown yang
dikarenakan Covid 19 terhadap masyarakat di Italia, dimana Italia adalah salah satu negara
yang mengalami lockdown pertama di Eropa.

Jurnal ini membahas mengenai impak mental partisipan dikarenakan karantina


dengan melihat gejala depresi, ansietas dan gangguan pola tidur masyarakat. Jurnal ini
memakai questionnaire sebagai alat pengumpulan data diantaranya adalah ‘Patient Health
Questionnaire-2’ dan ‘Generalized Anxiety Disorder-2’, bagi partisipan yang mengalami
gangguan tidur ditambah dengan ‘Insomnia Severity Index’. Pada Jurnal ini, ada beberapa
klasifikasi yang dapat meningkatkan kemungkinan partisipan mengalami gangguan mental
dan salah satu dari antaranya ada wanita, banyaknya menggunakan internet dan mengelak
aktivitas terhadap peer-pressure. Prevalensi gangguan tidur juga diasosiasikan dengan
wanita dan penyakit kronis.
Makalah ini akan berisikan dari sisi kualitas jurnal, ringkasan jurnal setiap bagian
jurnal mulai dari pendahuluan hingga kesimpulan dan saran, kemudian pada bagian akhir
akan dibahas tentang jurnal yang telah dikritisi berintikan topik dan argumen penulis.

1
BAB II
RINGKASAN JURNAL

2.1 Identitas Jurnal

Jurnal Effects of Covid-19 Lockdown on Mental Health and Sleep Disturbances in


Italy merupakan jurnal yang ditulis oleh Maria Rosaria Gualano et.al. Dia adalah ilmuwan
yang ahli di bidangnya sehingga dapat dianggap mampu untuk menulis karya ini yang sesuai
dengan bidang keahlian yang dimilikinya

Nama Penulis Lembaga Penulis

Maria Rosario Gualano et.al. Department of Public Health Sciences


and Paediatrics, University of Torino,
Italy

Jurnal Effects of Covid-19 Lockdown on Mental Health and Sleep Disturbances in


Italy dipublikasikan pada tahun 2020 yang merupakan terbitan International Journal of
Environmental Research and Public Health. Jurnal ini juga dapat diakses melalui aplikasi
jurnal berbasis kesehatan, seperti MDPI, Basel, Switzerland.

2.2 Tijauan Pustaka


2.2.1 Coronavirus
Coronavirus atau virus corona merupakan keluarga besar virus yang menyebabkan
infeksi saluran pernapasan atas ringan hingga sedang, seperti penyakit flu. Banyak orang
terinfeksi virus ini, setidaknya satu kali dalam hidupnya.
Namun, beberapa jenis virus corona juga bisa menimbulkan penyakit yang lebih serius,
seperti:

● Middle East Respiratory Syndrome (MERS-CoV).


● Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS-CoV).
● Pneumonia.

2
SARS yang muncul pada November 2002 di Tiongkok, menyebar ke beberapa negara lain.
Mulai dari Hongkong, Vietnam, Singapura, Indonesia, Malaysia, Inggris, Italia, Swedia,
Swiss, Rusia, hingga Amerika Serikat. Epidemi SARS yang berakhir hingga pertengahan
2003 itu menjangkiti 8.098 orang di berbagai negara. Setidaknya 774 orang mesti kehilangan
nyawa akibat penyakit infeksi saluran pernapasan berat tersebut.

Sampai saat ini terdapat tujuh coronavirus (HCoVs) yang telah diidentifikasi, yaitu:

● HCoV-229E.
● HCoV-OC43.
● HCoV-NL63.
● HCoV-HKU1.
● SARS-COV (yang menyebabkan sindrom pernapasan akut).
● MERS-COV (sindrom pernapasan Timur Tengah).
● COVID-19 atau dikenal juga dengan Novel Coronavirus (menyebabkan wabah
pneumonia di kota Wuhan, Tiongkok pada Desember 2019, dan menyebar ke negara
lainnya mulai Januari 2020. Indonesia sendiri mengumumkan adanya kasus covid 19
dari Maret 2020

Faktor Risiko

Siapa pun dapat terinfeksi virus corona. Akan tetapi, bayi dan anak kecil, serta orang dengan
kekebalan tubuh yang lemah lebih rentan terhadap serangan virus ini. Selain itu, kondisi
musim juga mungkin berpengaruh. Contohnya, di Amerika Serikat, infeksi virus corona
lebih umum terjadi pada musim gugur dan musim dingin.

Di samping itu, seseorang yang tinggal atau berkunjung ke daerah atau negara yang rawan
virus corona, juga berisiko terserang penyakit ini. Misalnya, berkunjung ke Tiongkok,
khususnya kota Wuhan, yang pernah menjadi wabah COVID-19 yang bermulai pada
Desember 2019.

Gejala

3
Virus corona bisa menimbulkan beragam gejala pada pengidapnya. Gejala yang muncul ini
bergantung pada jenis virus corona yang menyerang, dan seberapa serius infeksi yang
terjadi. Berikut beberapa gejala virus corona yang terbilang ringan:

● Hidung beringus.
● Sakit kepala.
● Batuk.
● Sakit tenggorokan.
● Demam.
● Merasa tidak enak badan.

Hal yang perlu ditegaskan, beberapa virus corona dapat menyebabkan gejala yang parah.
Infeksinya dapat berubah menjadi bronkitis dan pneumonia (disebabkan oleh COVID-19),
yang mengakibatkan gejala seperti:

● Demam yang mungkin cukup tinggi bila pasien mengidap pneumonia.


● Batuk dengan lendir.
● Sesak napas.
● Nyeri dada atau sesak saat bernapas dan batuk.

Infeksi bisa semakin parah bila menyerang kelompok individu tertentu. Contohnya, orang
dengan penyakit jantung atau paru-paru, orang dengan sistem kekebalan yang lemah, bayi,
dan lansia.

Komplikasi

Virus corona yang menyebabkan penyakit SARS bisa menimbulkan komplikasi pneumonia,
dan masalah pernapasan parah lainnya bila tak ditangani dengan cepat dan tepat. Selain itu,
SARS juga bisa menyebabkan kegagalan pernafasan, gagal jantung, hati, dan kematian.

Hampir sama dengan SARS, novel coronavirus juga bisa menimbulkan komplikasi yang
serius. Infeksi virus ini bisa menyebabkan pneumonia, sindrom pernapasan akut, gagal
ginjal, dan bahkan kematian

4
2.2.2 Lockdown, Karantina dan isolasi
Denmark dan Italia menjadi dua negara yang sudah memberlakukan lockdown
karena virus corona. Di beberapa negara lain juga sudah melakukan lockdown di tingkat kota
atau daerah seperti Wuhan, Daegu, dan Manila. Lockdown merupakan salah satu situasi di
mana orang tidak diizinkan masuk atau meninggalkan gedung atau area secara bebas karena
sebuah keadaan darurat. Lockdown juga bisa diartikan sebagai protokol darurat yang
biasanya mencegah orang meninggalkan suatu area. Protokol ini biasanya hanya bisa
diajukan oleh seseorang dalam posisi otoritas seperti pemimpin negara atau daerah
Karantina adalah suatu tempat penampungan yang biasanya lokasi tertentu dibuat
sejauh mungkin dari keramaian untuk dapat memastikan apakah orang-orang yang
dikarantina benar-benar terbebas dari virus. Periode isolasi menurunkan kemungkinan orang
dapat menularkan penyakit ke orang lain. Tak seperti isolasi yang diperuntukkan bagi orang
yang telah terinfeksi, karantina tidak hanya diperuntukkan bagi orang sakit saja. Orang yang
tampak sehat dapat menyebarkan patogen tanpa pernah tahu bahwa mereka memilikinya.
Inilah yang membuat karantina penting dilakukan.
Isolasi yaitu sebuah langkah memisahkan orang sakit yang memiliki penyakit
menular dari orang yang tidak sakit. Isolasi memungkinkan orang yang terinfeksi menjauh
dari orang sehat untuk mencegah penyebaran penyakit. Isolasi bisa dilakukan oleh pihak
medis yang berwenang atau dilakukan secara mandiri. Dalam istilah medis, isolasi
merupakan salah satu dari beberapa tindakan yang dapat diambil untuk menerapkan
pengendalian infeksi

2.2. 3 Hubungan antara Mental Health (MH) dan Lockdown

Efek karantina telah dieksplorasi selama wabah masa lalu, seperti selama wabah
SARS pada tahun 2003 dan Ebola pada tahun 2014, menunjukkan bahwa dampak MH dapat
bersifat luas, masif dan tahan lama. Diantara konsekuensi karantina, terdapat gangguan stres
akut, kecemasan, lekas marah, konsentrasi dan keraguan yang buruk, prestasi kerja yang
memburuk, pasca-trauma gangguan stres, tekanan psikologis tinggi, gejala depresi dan
insomnia.

Hubungan antara kesehatan mental dan kualitas hubungan telah ditemukan dalam
beberapa penelitian sebelumnya. Ada banyak bukti yang menunjukkan bahwa individu yang
menikah menikmati kesehatan mental yang lebih baik daripada individu yang belum pernah

5
menikah dan yang sudah menikah. Pada saat COVID-19, survei dari India menunjukkan
bahwa peserta yang menikah memiliki peluang 40% lebih rendah untuk mengembangkan
kecemasan selama Lockdown COVID-19 daripada peserta yang belum menikah. Namun,
contoh berikut menunjukkan bahwa hubungan antara pernikahan / hubungan dan kesehatan
mental tampaknya dimoderasi oleh kualitas pernikahan / hubungan. Menikah itu sendiri
tidak menguntungkan secara universal, sebaliknya, kepuasan dan dukungan yang terkait
dengan hubungan semacam itu penting. Sebagai contoh, hasil dari Frech dan Williams
menunjukkan bahwa pengaruh pernikahan terhadap depresi bergantung pada kualitas
hubungan perkawinan. Lebih lanjut, orang yang belum menikah memiliki hasil kesehatan
mental yang lebih baik daripada orang yang menikah tidak bahagia. Temuan dari studi
berbasis populasi di AS menunjukkan bahwa perselisihan hubungan dapat dikaitkan dengan
risiko yang lebih tinggi untuk gangguan mood dan kecemasan. Hasil ini sejalan dengan
survei berbasis populasi di Australia yang menunjukkan bahwa kualitas hubungan yang lebih
baik dikaitkan dengan lebih sedikit gejala depresi dan kecemasan daripada kualitas hubungan
yang lebih buruk. Selain itu, kurangnya kualitas hubungan sosial ditemukan menjadi faktor
risiko utama untuk depresi berat. Sebaliknya, kualitas pernikahan yang tinggi dikaitkan
dengan stres dan depresi yang lebih rendah, tetapi juga dengan tekanan darah yang lebih
rendah serta tidur gelombang lambat yang lebih tinggi.

2.3 Ringkasan Jurnal


2.3.1 Pendahuluan

Korona 2019 (Covid-19) telah diakui sebagai penyebab langsung dan tidak
langsung pada kesehatan mental (MH) yang dapat mengubah seseorang secara psikologis
dan social, dampak tersebut tidak hanya berlangsung saat pandemi namun juga dapat
menetap di masa depan. Efek karantina telah dieksplorasi disaat wabah pernafasan Akut di
masa lalu seperti Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) pada tahun 2003 dan Ebola
pada tahun 2014, yang menunjukkan bahwa dampak MH dapat bersifat luas, massif dan
tahan lama. Diantara konsekuensi dari karantina, terdapat gangguan stres akut, ansietas,
iritabilitas, konsentrasi yang buruk dan keraguan, kinerja yang memburuk, Post traumatic
stress disorder, tekanan psikologis yang tinggi, gejala depresi dan insomnia. Data yang ada
sebelumnya yang dapat memprediksi hasil MH sangat bertentangan, misalnya, usia,
pendidikan, jenis kelamin dan memiliki anak telah dianggap dengan dan tanpa terkait
6
masalah psikologis. Selain itu, stressor utama MH selama karantina dihubungkan dengan
lamanya masa karantina, ketakutan akan terinfeksi, frustasi dan kebosanan, persediaan yang
tidak memadai dan informasi yang tidak memadai.

Penulis lain telah menguraikan bagaimana penelitian karantina ini tidak dapat di
bandingkan dengan studi-studi yang lalu, dimana pandemi ini mengakibatkan karantina
dalam jangka panjang dan menyeluruh di dunia, dimana individu dapat akses ke sarana
digital untuk menjaga komunikasi, pekerjaan dan pendidikan yang belum pernah terjadi
sebelumnya. Oleh karena itu, diperlukan studi lanjut ada untuk mempelajari situasi saat ini
dan untuk menentukan sejauh mana dampak COVID-19 untuk memahami faktor penentu
agar dapat dirancang intervensi yang tepat.

Cina telah mempelajari lebih dalam mengenai respons psikologi pada karantina
COVID-19 dan temuan tersebut melaporkan prevalensi depresi selama karantina mencapai
37%, dan prevalensi ansietas hingga 35%. Studi banding menemukan perbedaan yang
signifikan dalam prevalensi depresi dan ansietas antara individu di karantina (masing-masing
22,4% dan 12,9%) dan orang yang tidak di karantina (11,9% dan 6,7%). Mempertimbangkan
faktor-faktor yang dapat memprediksi kesehatan mental, studi ini menunjukkan hasil yang
bertentangan, seperti jenis kelamin, yang dilaporkan dalam penelitian epidemi yang
dilakukan sebelumnya. Jenis kelamin memiliki hubungan yang signifikan dengan hasil
kesehatan mental di beberapa karya ilmiah, namun di karya yang lain asosiasi ini tidak
signifikan. Di kelompok lain ditemukan bahwa kaum muda dan individu yang mengalami
masalah finansial lebih rentan dan mengalami masalah kesehatan mental.

Di Eropa, Italia adalah negara pertama yang melakukan Lockdown nasional yang
dimulai pada 23 Februari dan meluas dan menjadi ketat pada tanggal 3 Mei dimana pada
tanggal 3 April Lockdown seharusnya sudah selesai. Pada periode yang diundur ini, hanya,
hanya aktivitas yang penting yang diizinkan, dan hanya toko-toko penting yang diizinkan
untuk dibuka, individu diperbolehkan meninggalkan rumah mereka hanya untuk keperluan
sehari-hari, seperti untuk alasan kesehatan, belanja kebutuhan pokok dan bekerja (jika
bekerja dari rumah tidak memungkinan). Pada 3 Mei, jumlah total kasus COVID-19 yang
dikonfirmasi di Italia adalah 210.717, dengan 28.884 kematian. Mengingat hal diatas,
penelitian ini bertujuan untuk memperkirakan dampak psikologis COVID-19 dan tindakan
pembatasan yang terkait melalui survei cross-sectional nasional yang mengevaluasi
prevalensi gejala depresi, gejala ansietas dan masalah pola tidur pada populasi umum di

7
Italia pada minggu-minggu terakhir lockdown. Hipotesis utama peneliti adalah dampaknya
terhadap Kesehatan mental lebih konsisten dan sebanding di semua negara yang menghadapi
lockdown. Selain itu, tujuan lain adalah untuk mengeksplorasi melalui model regresi apakah
prediktor dan determinan yang dapat mempengaruhi hasil MH tersebut dalam konteks unik
ini. Tujuan dari analisis ini adalah untuk mengidentifikasi kelompok yang berpotensi rentan
atau kemungkinan faktor yang dapat dimodifikasi agar memiliki dasar untuk membuat
rencana yang spesifik dan rencana strategi untuk mengurangi beban masalah kesehatan
mental akibat karantina COVID-19.

2.3.2 Metoda
Pengambilan data dasar melalui studi cross-sectional yang dilakukan selama 14 hari
(tanggal 19 April sampai 3 Mei 2020) melalui questionnaire online yang didistribusi melalui
network sosial Department of Public Health Science (University of Torino). Semua subjek
memberikan konsen sebelum mereka berpartisipasi dalam penelitian. Penelitian dilakukan
sesuai dengan Deklarasi Helsinki, dan protokolnya adalah disetujui oleh Dewan Peninjau
Internal dari Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat (Universitas Torino). Jawaban yang
terkumpul dikeluarkan dari sampel akhir jika subjek memenuhi salah satu dari kriteria
pengecualian (di bawah umur atau tinggal di luar negeri selama lockdown). Partisipasi
bersifat sukarela dan tanpa kompensasi. Penelitian ini adalah bagian dari proyek Covid
Collateral Impacts (COCOS) dan difokuskan pada masalah MH dari subjek yang terlibat.
Kuesioner mandiri ini terdiri dari empat puluh sembilan item.
Bagian pertama diselidiki Karakteristik sosio-demografis subjek: usia, jenis kelamin,
kebangsaan, status perkawinan, tingkat pendidikan, pekerjaan, ketakutan kehilangan
pekerjaan, kerugian ekonomi dan riwayat penyakit kronis dinilai. Beberapa variabel
independen diberi kode dari item yang disebutkan di atas. Tingkat pendidikan
dikelompokkan untuk mempertimbangkan kemungkinan hubungan gelar di universitas
sebagai hasil biner.
Bagian kedua menilai jumlah jam yang dihabiskan di internet, sumber informasi yang
digunakan adalah dengan mengambil data berapa kali subjek keluar dalam seminggu, apakah
subjek belanja online atau tidak, apakah responden menghindari aktivitas fisik karena takut
cedera atau tekanan rekan kerja (peer-pressure) dan kebiasaan memakai masker saat keluar.

8
Pada bagian ketiga, gejala depresi diselidiki melalui Patient Health Questionnaire-2
(PHQ-2). Ansietas diukur oleh Generalized Anxiety Disorder-2 (GAD-2). Skor 3 atau lebih
menunjukkan kemungkinan depresi dan ansietas mayor. Selain itu, jika subjek menyatakan
menderita gangguan tidur, Insomnia Severity Index (ISI) digunakan.
Terakhir, bagian keempat mengevaluasi akses pada fasilitas Kesehatan (HCA).
Secara khusus, survei dinilai pengobatan mandiri dan apakah layanan medis terjadwal telah
ditunda.
Analisis deskriptif dilakukan untuk semua variabel. Tes Shapiro-Wilk digunakan
untuk menguji distribusi normal variabel yang kontinu. Untuk menentukan perbedaan antar
kelompok ditentukan oleh masing-masing hasil, uji chi-square (bila sesuai, uji pasti Fisher)
dan uji Mann – Whitney U (bila sesuai, uji Kruskal-Wallis) telah dihitung. Regresi logistik
univariabel dan multivariabel dilakukan untuk menilai pengaruh variabel independen pada
setiap hasil biner (hasil dinyatakan sebagai Odds Ratios (OR), 95% CI). Kovariat yang
termasuk dalam model multivariabel dipilih menggunakan proses seleksi dua langkah.
Model tetap digunakan untuk kovariat dengan nilai p univariable <0,05, dan proses seleksi
mundur bertahap digunakan untuk kovariat dengan nilai p univariable <0,25 [21], dan
dengan usia dan jenis kelamin sebagai perancu potensial. SPSS (v25) digunakan dan dua sisi
p-value <0,05 dianggap signifikan. Nilai yang hilang dieksklusi.

2.3.3 Hasil
Usia memiliki signifikansi lebih rendah pada kelompok yang mengalami depresi.
Begitu pula dengan perbedaan yang signifikan berdasarkan adanya depresi dicatat dengan
mempertimbangkan status perkawinan, perjuangan ekonomi dan waktu yang dihabiskan di
internet. Prevalensi gejala depresi lebih rendah pada kelompok yang menggunakan koran
sebagai sumber informasi dan kelompok yang selalu memakai masker saat keluar.
Sebaliknya, prevalensi lebih tinggi di antara subjek yang takut meninggalkan rumah untuk
kebutuhan mereka dan di subjek yang menghindari aktivitas oleh karena takut cedera atau
karena peer pressure.
Usia memiliki signifikansi yang lebih rendah pada kelompok yang mengalami
gangguan ansietas. Namun, jenis kelamin, status perkawinan, tingkat pendidikan dan
pekerjaan sebagai petugas kesehatan menghasilkan prevalensi pada ansietas. Perbedaan
9
yang signifikan ditemukan dalam kelompok yang menghabiskan waktu di internet, baik
dengan mempertimbangkan jumlah jam per hari atau variasi selama lockdown. Penggunaan
sumber informasi yang berbeda-beda seperti radio, surat kabar dan internet hasil
menghasilkan perbedaan prevalensi juga. Prevalensi lebih tinggi ditemukan pada kelompok
yang menyatakan takut meninggalkan rumah, kelompok yang menyatakan bahwa mereka
menghindari aktivitas karena takut cedera, kelompok dalam peer-pressure, dan di antara
mereka yang mengkonsumsi obat. Sebaliknya, prevalensi lebih rendah pada subjek yang
menyatakan selalu memakai masker saat keluar dibandingkan yang tidak.
Sama halnya dengan hasil depresi dan kecemasan, usia rata-rata dalam kelompok
yang mengalami gangguan pola tidur menghasilkan signifikansi yang lebih rendah. Kovariat
terkait dengan perbedaan dengan adanya gangguan tidur adalah jenis kelamin, aktivitas
selama lockdown, adanya masalah ekonomi, hewan peliharaan. Perbedaan dalam Prevalensi
gangguan tidur dikaitkan dengan penggunaan internet, mengingat jumlah penggunaan jam
per hari atau tren sejak awal lockdown. Namun, di penelitian ini tidak ada asosiasi yang
ditemukan dengan sumber informasi yang individu digunakan. Frekuensi yang
meningkatkan gangguan tidur dikaitkan dengan ketakutan untuk meninggalkan rumah,
adanya keperluan untuk pengobatan atau adanya menghindar yang diakibatkan oleh takut
cedera atau karena peer pressure.
Dengan mengingat adanya gejala depresi, pada hasil model multivariable logistik
regresi menikah atau tinggal bersama orang lain menjadi faktor pelindung, begitu pula
dengan memiliki pekerjaan dan tidak mengalami masalah dalam ekonomi mengurangi risiko
munculnya gejala depresi dengan sangat signifikan. Namun sebaliknya, menghabiskan lebih
banyak waktu di internet sejak awal lockdown dan menghindari aktifitas oleh karena peer
pressure meningkatkan dan terhubung sejak awal penguncian risiko depresi
Hasil yang berbeda terjadi pada faktor risiko gangguan ansietas, yaitu yang lebih
rentan adalah perempuan dan usia, dimana usia memiliki faktor pelindung yang lemah.
Selain itu, menghindari aktivitas karena peer-pressure menghasilkan prediktor ansietas yang
meningkat.
Pada kasus ini, gangguan pola tidur lebih banyak terjadi pada wanita) dan individu
dengan penyakit kronis. Tidak ada hubungan signifikan yang ditemukan dengan variabel lain
dari itu.

10
BAB III
PEMBAHASAN

Prevalensi masalah MH dalam penelitian ini lebih tinggi dari prevalensi yang tercatat pada
penduduk Italia sebelum lockdown: data terbaru oleh Institut Statistik Nasional Italia
menunjukkan prevalensi gejala depresi selama dua minggu terakhir sebesar 5,4% dan tingkat
prevalensi ansietas yang tinggi selama setahun terakhir sebesar 4,2%. Selama minggu-
minggu pertama lockdown, respons dari populasi umum Italia telah diperkirakan melalui
Depresi, Kecemasan dan Skala Stres-21 dan hasil mendapatkan, tingkat depresi sedang
sampai sangat tinggi dilaporkan pada 32,4% dan 21,2% dari populasi, sementara tingkat
ansietas sedang hingga sangat berat dilaporkan pada 18,7% dan 32,6%. Selain itu, partisipan
yang mengalami kurangnya tidur berjumlah sebanyak 40,5% sebelum lockdown dan 52,4%
selama Lockdown (Indeks Kualitas Tidur Pittsburgh). Perbedaan antara studi ini dan studi
yang relevan dengan ini dapat dijelaskan dengan perbedaan waktu studi tersebut dilakukan
dan perbedaan alat ukur pada studi-studi tersebut. Selain itu, komposisi sampel pada studi
lalu juga berbeda dengan studi ini dimana 71,7% perempuan dengan usia rata-rata 32,94
tahun pada penelitian pertama, dan 67% wanita dengan usia rata-rata 23,91 tahun di kedua.

Selanjutnya, beberapa penelitian tentang hasil MH di antara populasi umum selama


karantina COVID-19 telah dilakukan di China. Secara keseluruhan, hasil dalam penelitian ini
konsisten, dimana prevalensi gejala depresi berkisar antara 16,5% hingga 37%, prevalensi
gejala ansietas dari 12,9% hingga 35,1%, dan prevalensi gangguan tidur dari 18,2% menjadi
52,4%.

11
Prediktor dapat mempengaruhi MH pada penelitian ini sejalur dengan literatur yang ada.
Yaitu, pertama, model multivariabel menunjukkan hubungan positif antara perempuan dan
pada kedua ansietas dan gangguan tidur (tidak ada hubungan signifikan dengan gejala
depresi). Hubungan antara jenis kelamin dan hasil MH selama karantina masih bertentangan,
beberapa penelitian menunjukkan bahwa wanita lebih rentan untuk melaporkan depresi dan
kecemasan atau insomnia, sementara yang lain melaporkan interaksi gender yang tidak
signifikan dengan ansietas dan depresi dan kualitas tidur, yang menunjukkan bahwa pria dan
wanita memiliki kekhawatiran yang sama mengenai pandemi ini. Sebaliknya, Wang et al.
melaporkan bahwa laki-laki secara signifikan terkait dengan skor gejala ansietas dan depresi
yang lebih tinggi.

Penelitian ini juga melaporkan bahwa usia yang lebih tua menurunkan kemungkinan
ansietas, gejala depresi dan gangguan tidur hanya dalam analisis univariabel, konsisten
dengan literatur sebelumnya. Orang dewasa muda dilaporkan lebih mungkin mengalami
depresi, ansietas dan kualitas tidur yang berkurang. Ozamiz-Etxebarria dan rekannya
menyatakan bahwa satu penjelasan untuk ini adalah bahwa sebagian anak muda yang
melaporkan bisa jadi adalah mahasiswa dengan masalah kesehatan mental tingkat tinggi dan
juga mengalami stres tambahan karena kebutuhan untuk menyesuaikan karir universitasnya.
Selain itu keterlambatan kegiatan akademik akibat COVID-19 berkorelasi dengan ansietas.
Anak muda juga biasanya terlibat dalam kerja part-time dan ini menjadi faktor risiko
tambahan untuk hasil MH yang buruk. Penambahan dari penelitian juga bahwa anak muda
mungkin mengalami tingkat ansietas yang lebih tinggi oleh karena mereka cenderung
menjangkau lebih banyak informasi melalui social media, dimana ini dapat mempengaruhi
stress.

Berkaitan dengan hal tersebut, regresi univariabel menunjukkan bahwa penggunaan internet
sebagai sumber informasi menyebabkan kemungkinan ansietas yang lebih tinggi. Perlu
dilaporkan juga bahwa sumber informasi yang paling sering digunakan adalah internet dan
tiga perempat peserta merupakan responden yang meningkatkan penggunaan internet sejak
lockdown. Model multivariable juga mengkonfirmasi hubungan antara peningkatan waktu
yang dihabiskan di internet dan depresi, sementara itu analisis univariabel menunjukkan
hubungan antara semua hasil dan setidaknya satu variabel yang terkait dengan waktu yang
dihabiskan di internet. Khususnya, selama wabah COVID-19, media sosial dilaporkan
berdampak menyebarkan ketakutan dan kepanikan, menyebabkan kecemasan terutama di
12
kalangan remaja, masalah MH juga telah dikaitkan dengan seringnya eksposur di media
sosial.

Media sering menggunakan pesan yang dapat meningkatkan ansietas pada penduduk dan
tekanan pada media juga dapat berdampak negatif pada sistem pelayanan kesehatan dan
dampak kesehatan mental dan fisik pada semua. Media juga memiliki peran dalam
pengembangan stigma seperti pada yang SARS dimana publik memiliki rasa takut yang
berlebihan, ketidakpercayaan dan intoleransi terhadap "orang lain yang berbahaya." Pandemi
COVID-19 telah, dan masih, merupakan pandemi kebencian dan stigmatisasi, khususnya
terhadap orang Asia. Seperti yang dilampirkan pada berita terbaru, selama lockdown,
kebencian dan stigmatisasi telah diperluas ke individu yang meninggalkan rumah mereka,
misalnya, pada pelari. Kebencian dan permusuhan terhadap individu tersebut mungkin dapat
menjadi Sebagian dari penjelasan pada individu yang mengalami depresi dan gejala ansietas,
dan juga mengapa individu menghindari aktivitas karena peer pressure.

Bagi pekerja yang tidak mengalami masalah memiliki kemungkinan yang lebih rendah untuk
mengalami gejala depresi, konsisten dengan hubungan kondisi kerja mereka, tekanan
finansial dan depresi selama karantina. Perlu dicatat bahwa 76,5% subjek melaporkan
penurunan pendapatan karena pandemi, yang mengkhawatirkan mengingat bukti risiko stres
yang lebih tinggi setelah resesi ekonomi.

Prediktor signifikan lainnya dalam analisis ini memerlukan penelitian yang lebih lanjut.
Sebagai contoh, hubungan antara status perkawinan dan depresi, yang telah dilaporkan tidak
signifikan dalam penelitian lain, atau perannya kondisi kronis, yang dikaitkan dengan
ansietas dan depresi dalam beberapa penelitian. Terakhir, meskipun perbedaan hasil MH
dikaitkan dengan durasi karantina pada penelitian sebelumnya, tidak ada perbedaan yang
ditemukan di wilayah Italia meskipun adanya perbedaan waktu lockdown.

13
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Pada kesimpulan, penelitian menunjukkan bahwa populasi umum Italia melaporkan


prevalensi yang tinggi masalah MH selama minggu-minggu terakhir lockdown. Dampak
pada MH diperkirakan akan terus berlanjut di luar situasi kritis ini, namun juga ada
pentingnya untuk mempelajari intervensi yang paling efektif untuk mengurangi beban
konsekuensi psikologis dan sosial. Secara khusus, seperti yang diuraikan oleh hasil ini,
diperlukan rencana strategis untuk melindungi kelompok yang lebih rentan, misalnya, kaum
muda, dan mempertimbangkan peran internet komunikasi dan stigmatisasi.

4.2 Saran
Penelitian ini memiliki beberapa kekuatan dan keterbatasan. Penelitian ini adalah
studi pertama yang menyelidiki hasil MH di antara populasi umum Italia selama minggu-
minggu terakhir COVID-19 ini. Selain itu, sampel lebih mewakili populasi Italia dalam hal
usia (usia rata-rata populasi Italia: 45,7 tahun) dibandingkan dengan penelitian Italia pada
minggu-minggu pertama lockdown. Meskipun demikian, perwakilan sampel kurang akurat
dalam pertimbangan gender, sebaran geografis dan tingkat pendidikan. Limitasi utama
adalah pengambilan sampel oportunistik dan desain cross-sectional, yang membatasi
interpretasi kausal. Batasan lain adalah tindakan yang dilaporkan secara mandiri daripada
diagnosis klinis, namun alat yang dipilih divalidasi dan biasa digunakan. Selain itu,
mengingat distribusi online, tidak ada data yang menunjukan kalau individu menolak untuk
berpartisipasi.

4.3 Critical appraisal

No Judul & Pengarang +/-


.
1. Jumlah kata dalam judul < 12 kata +
2. Deskripsi judul +

14
3. Daftar penulis sesuai aturan jurnal +
4. Korespondensi penulis +
5. Tempat dan waktu penelitian dalam judul +

No Abstrak +/-
.
1. Abstrak 1 paragraf +
2. Secara keseluruhan informatif +
3. Tanpa singkatan selain yang baku +
+
4. Kurang dari 250 kata
(190 kata)

No Pendahuluan +/-
.
1. Terdiri dari 2 bagian/2 paragraf -
2. Paragraf pertama mengemukakan alasan +
3. Paragraf kedua menyatakan hipotesis/tujuan penelitian +
4. Didukung oleh penelitian relevan +
5. Kurang dari 1 halaman +

No Bahan & Metode Penelitian +/-


.
1. Jenis dan rancangan penelitian +
2. Waktu dan tempat penelitian +
3. Populasi sumber +
4. Teknik sampling +
5. Kriteria inklusi -
6. Kriteria eksklusi +
-

15
7. Perkiraan dan perhitungan besar sampel +
8. Perincian cara penelitian +
9. Uji statistik +
10. Program komputer +
11. Persetujuan subjektif +

No Hasil +/-
.
1. Jumlah subjek +
2. Tabel karakteristik subjek +
3. Tabel hasil penelitian +
4. Komentar dan pendapat hasil penulis tentang hasil +
5. Tabel analisis data dan uji +

No Pembahasan, kesimpulan, daftar pustaka +/-


.
1. Pembahasan dan kesimpulan terpisah +
2. Pembahasan dan kesimpulan dipaparkan dengan jelas +
3. Pembahasan mengacu pada penelitian sebelumnya +
4. Pembahasan sesuai dengan landasan teori +
5. Keterbatasan penelitian +
6. Simpulan utama +
7. Simpulan berdasarkan penelitian +
8. Saran penelitian +
9. Penulisan daftar pustaka sesuai aturan +

16
DAFTAR PUSTAKA

Finnerup NB, Sindrup SH, Jensen TS. The evidence for pharmacological treatment of
neuropathic pain. Pain 2010; 150: 573e81

Holmes, E.A.; O’Connor, R.C.; Perry, V.H.; Tracey, I.; Wessely, S.; Arseneault, L.; Ballard,
C.; Christensen, H.; Cohen Silver, R.; Everall, I.; et al. Multidisciplinary research priorities
for the COVID-19 pandemic: A call for action for mental health science. Lancet Psychiatry
2020, 7, 547–560. [CrossRef]

Brooks, S.K.;Webster, R.K.; Smith, L.E.;Woodland, L.;Wessely, S.; Greenberg, N.; Rubin,
G.J. The psychological impact of quarantine and how to reduce it: Rapid review of the
evidence. Lancet 2020, 395, 912–920. [CrossRef]

Taylor, M.R.; Agho, K.E.; Stevens, G.J.; Raphael, B. Factors influencing psychological
distress during a disease epidemic: Data from Australia’s first outbreak of equine influenza.
BMC Public Health 2008, 8, 347. [CrossRef]

Hawryluck, L.; Gold,W.L.; Robinson, S.; Pogorski, S.; Galea, S.; Styra, R. SARS control and
psychological effects of quarantine, Toronto, Canada. Emerg. Infect. Dis. 2004, 10, 1206–
1212. [CrossRef]

Altena, E.; Baglioni, C.; Espie, C.A.; Ellis, J.; Gavrilo, D.; Holzinger, B.; Schlarb, A.; Frase,
L.; Jernelöv, S.;Riemann, D. Dealing with sleep problems during home confinement due to
the COVID-19 outbreak: Practical recommendations from a task force of the European CBT-
I Academy. J. Sleep Res. 2020, e13052. [CrossRef]

Ahmed, M.Z.; Ahmed, O.; Aibao, Z.; Hanbin, S.; Siyu, L.; Ahmad, A. Epidemic of COVID-
19 in China and associated Psychological Problems. Asian J. Psychiatry 2020, 51, 102092.
[CrossRef]

17
Huang, Y.; Zhao, N. Generalized anxiety disorder, depressive symptoms and sleep quality
during COVID-19 outbreak in China: A web-based cross-sectional survey. Psychiatry Res.
2020, 288, 112954. [CrossRef]

Lei, L.; Huang, X.; Zhang, S.; Yang, J.; Yang, L.; Xu, M. Comparison of prevalence and
associated factors of anxiety and depression among people affected by versus people
unaffected by quarantine during the COVID-19 epidemic in Southwestern China. Med. Sci.
Monit. 2020, 26, e924609. [CrossRef]

Wang, C.; Pan, R.; Wan, X.; Tan, Y.; Xu, L.; Ho, C.S.; Ho, R.C. Immediate psychological
responses and associated factors during the initial stage of the 2019 coronavirus disease
(COVID-19) epidemic among the general population in China. Int. J. Environ. Res. Public
Health 2020, 17, 1729. [CrossRef]

Zhang, C.; Yang, L.; Liu, S.; Ma, S.;Wang, Y.; Cai, Z.; Du, H.; Li, R.; Kang, L.; Su, M.; et
al. Survey of insomnia and related social psychological factors among medical staff involved
in the 2019 novel coronavirus disease outbreak. Front. Psychiatry 2020, 11, 306. [CrossRef]

Yuan, S.; Liao, Z.; Huang, H.; Jiang, B.; Zhang, X.; Wang, Y.; Zhao, M. Comparison of the
indicators of psychological stress in the population of Hubei Province and non-endemic
provinces in China during two weeks during the coronavirus disease 2019 (COVID-19)
outbreak in February 2020. Med. Sci. Monit. 2020, 26,e923767. [CrossRef]

Government of Italy Decree of the President of the Council of Ministers 9 March 2020.
Available online: https://www.gazzettauciale.it/eli/id/2020/03/09/20A01558/sg (accessed on
30 May 2020).

Government of Italy Decree-Law Number 6 23 February 2020. Available online:


https://www.gazzettauciale.it/eli/id/2020/02/23/20G00020/sg (accessed on 30 May 2020).

Government of Italy Decree of the President of the Council of Ministers 25 February 2020.
Available online: https://www.gazzettauciale.it/eli/id/2020/02/25/20A01278/sg%09 (accessed
on 30 May 2020).

18
Government of Italy Decree of the President of the Council of Ministers 11 March 2020.
Available online:https://www.gazzettauciale.it/eli/id/2020/03/11/20A01605/sg%09 (accessed
on 30 May 2020).

Government of Italy Decree of the President of the Council of Ministers 10 April 2020.
Available online:https://www.gazzettauciale.it/eli/id/2020/04/11/20A02179/sg (accessed on
30 May 2020).

Dipartimento Della Protezione Civile COVID-19 Italia—Monitoraggio Della Situazione.


Available
online:http://opendatadpc.maps.arcgis.com/apps/opsdashboard/index.html#/b0c68bce2cce478
eaac82fe38d4138b1(accessed on 30 May 2020).

Kroenke, K.; Spitzer, R.L.; Williams, J.B.W. The patient health questionnaire-2: Validity of a
two-item depression screener. Med. Care 2003, 41, 1284–1292. [CrossRef] [PubMed]

Kroenke, K.; Spitzer, R.L.; Williams, J.B.W.; Monahan, P.O.; Löwe, B. Anxiety disorders in
primary care: Prevalence, impairment, comorbidity, and detection. Ann. Intern. Med. 2007,
146, 317–325. [CrossRef]

Bastien, C.H.; Vallières, A.; Morin, C.M. Validation of the insomnia severity index as an
outcome measure for insomnia research. Sleep Med. 2001, 2, 297–307. [CrossRef]

Hosmer, D.; Lemeshow, S. Applied Logistic Regression; John Wiley & Sons: New York,
NY, USA, 1989.

ISTAT Istituto Nazionale di Statistica. La Salute Mentale Nelle Varie Fasi Della Vita. Anni
2015–2017; AT Istituto Nazionale di Statistica: Rome, Italy, 2018.

Cellini, N.; Canale, N.; Mioni, G.; Costa, S. Changes in sleep pattern, sense of time and
digital media use during COVID-19 lockdown in Italy. J. Sleep Res. 2020, e13074.
[CrossRef]

19
Mazza, C.; Ricci, E.; Biondi, S.; Colasanti, M.; Ferracuti, S.; Napoli, C.; Roma, P. A
nationwide survey of psychological distress among Italian people during the COVID-19
pandemic: Immediate psychological responses and associated factors. Int. J. Environ. Res.
Public Health 2020, 17, 3165. [CrossRef] [PubMed]

González-Sanguino, C.; Ausín, B.; Castellanos, M.Á.; Saiz, J.; López-Gómez, A.; Ugidos, C.;
Muñoz, M. Mental health consequences during the initial stage of the 2020 Coronavirus
pandemic (COVID-19) in Spain. Brain Behav. Immun. 2020. [CrossRef]

Ozamiz-Etxebarria, N.; Dosil-Santamaria, M.; Picaza-Gorrochategui, M.; Idoiaga-


Mondragon, N. Stress, anxiety, and depression levels in the initial stage of the COVID-19
outbreak in a population sample in the northern Spain. Cad. Saude Publica 2020, 36,
e00054020. [CrossRef]

Bert, F.; Lo Moro, G.; Corradi, A.; Acampora, A.; Agodi, A.; Brunelli, L.; Chironna, M.;
Cocchio, S.; Cofini, V.; D’Errico, M.M.; et al. Prevalence of depressive symptoms among
Italian medical students: The multicentre cross-sectional “PRIMES” study. PLoS ONE 2020,
15, e0231845. [CrossRef]

Sharp, J.; Theiler, S.Areview of psychological distress among university students:


Pervasiveness, implications and potential points of intervention. Int. J. Adv. Couns. 2018, 40,
193–212. [CrossRef]

Cao,W.; Fang, Z.; Hou, G.; Han, M.; Xu, X.; Dong, J.; Zheng, J. The psychological impact of
the COVID-19 epidemic on college students in China. Psychiatry Res. 2020, 287, 112934.
[CrossRef]
Bert, F.; Gualano, M.R.; Thomas, R.; Vergnano, G.; Voglino, G.; Siliquini, R. Exploring the
possible health consequences of job insecurity: A pilot study among young workers. Gac.
Sanit. 2018. [CrossRef] [PubMed]

Cheng, C.; Jun, H.; Liang, B. Psychological health diathesis assessment system: A
nationwide survey of resilient trait scale for Chinese adults. Stud. Psychol. Behav. 2014, 12,
735–742.

20
Ahmad, A.R.; Murad, H.R. The impact of social media on panic during the COVID-19
pandemic in Iraqi Kurdistan: Online questionnaire study. J. Med. Internet Res. 2020, 22,
e19556. [CrossRef]

Gao, J.; Zheng, P.; Jia, Y.; Chen, H.; Mao, Y.; Chen, S.;Wang, Y.; Fu, H.; Dai, J. Mental
health problems and social media exposure during COVID-19 outbreak. PLoS ONE 2020,
15, e0231924. [CrossRef] [PubMed]

Sell, T.K.; Boddie, C.; McGinty, E.E.; Pollack, K.; Smith, K.C.; Burke, T.A.; Rutkow, L.
Media messages and perception of risk for Ebola virus infection, United States. Emerg.
Infect. Dis. 2017, 23, 108–111. [CrossRef][PubMed]

Garfin, D.R.; Silver, R.C.; Holman, E.A. The novel coronavirus (COVID-2019) outbreak:
Amplification of public health consequences by media exposure. Health Psychol. 2020, 39,
355–357. [CrossRef]

Smith, R.D. Responding to global infectious disease outbreaks: Lessons from SARS on the
role of risk perception, communication and management. Soc. Sci. Med. 2006, 63, 3113–
3123. [CrossRef]
Ng, E. The pandemic of hate is giving novel coronavirus disease (COVID-19) a helping
hand. Am. J. Trop. Med. Hyg. 2020, 102, 1158–1159. [CrossRef]

Tonkinson, P. How Did Runners Become Public Enemy Number One? The Telegraph.
Availableonline: https://www.telegraph.co.uk/health-fitness/body/did-runners-become-
public-enemy-number-one/ (accessed on 30 May 2020).

Jónsdóttir, U.; Þórðardóttir, E.B.; Aspelund, T.; Jónmundsson, Þ.; Einarsdóttir, K. The effect
of the 2008 recession on well-being and employment status of people with and without
mental health problems. Eur. J. Public Health 2019. [CrossRef]

ISTAT Istituto Nazionale di Statistica. Indicatori Demografici Anno 2019; ISTAT Istituto
Nazionale di Statistica: Rome, Italy, 2020.

21
22

Anda mungkin juga menyukai