Anda di halaman 1dari 30

APPENDISITIS AKUT

BAB I. PENDAHULUAN

Appendicitis adalah peradangan yang terjadi pada Appendix vermicularis, dan


merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering pada anak-anak maupun dewasa.
Appendicitis akut merupakan kasus bedah emergensi yang paling sering ditemukan pada
anak-anak dan remaja. Terdapat sekitar 250.000 kasus appendicitis yang terjadi di Amerika
Serikat setiap tahunnya dan terutama terjadi pada anak usia 6-10 tahun.

Appendicitis dapat mengenai semua kelompok usia, meskipun tidak umum pada anak
sebelum usia sekolah. Hampir 1/3 anak dengan appendicitis akut mengalami perforasi setelah
dilakukan operasi. Meskipun telah dilakukan peningkatan pemberian resusitasi cairan dan
antibiotik yang lebih baik, appendicitis pada anak-anak, terutama pada anak usia prasekolah
masih tetap memiliki angka morbiditas yang signifikan2. Diagnosis appendicitis akut pada
anak kadang-kadang sulit. Diagnosis yang tepat dibuat hanya pada 50-70% pasien-pasien
pada saat penilaian awal. Angka appendectomy negatif pada pediatrik berkisar 10-50%.
Riwayat perjalanan penyakit pasien dan pemeriksaan fisik merupakan hal yang paling
penting dalam mendiagnosis appendicitis.

Semua kasus appendicitis memerlukan tindakan pengangkatan dari appendix yang


terinflamasi, baik dengan laparotomy maupun dengan laparoscopy. Apabila tidak dilakukan
tindakan pengobatan, maka angka kematian akan tinggi, terutama disebabkan karena
peritonitis dan shock. Reginald Fitz pada tahun 1886 adalah orang pertama yang menjelaskan
bahwa Appendicitis acuta merupakan salah satu penyebab utama terjadinya akut abdomen di
seluruh dunia.
BAB II. STATUS PASIEN

2.1 Identitas Pasien

Nama : An. I

Umur : 9 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Status : Belum Menikah

Agama : Islam

Pekerjaan : Sekolah

Alamat : Mekarwangi, Bandung

No. RM : 248 xxx

Tanggal Masuk : 14 September 2020

Tanggal Pemeriksaan : 15 September 2020

2.2 Anamnesis

Keluhan Utama : Nyeri perut kanan bawah sejak 1 hari smrs.

Anamnesis Khusus : Pasien mengeluh nyeri perut kanan bawah yang tiba-tiba
dirasakan sejak 1 hari yang lalu, nyeri perut dirasakan terus
menerus, mual (-), muntah (-). Nyeri dirasakan memberat saat
perut ditekan dan saat batuk. Nyeri dirasakan seperti ditusuk-
tusuk dan semakin tajam apabila pasien bergerak sehingga
pasien tidak seaktif dulu dan nyeri berkurang apabila kaki
ditekuk. Pasien memiliki kebiasaan suka jajan es dan makan
makanan pedas.
Nyeri yang berpindah-pindah (-), demam (-), batuk (-), pilek
(-), sesak (-) BAB (+) dbn, BAB cair (-), BAK (+) dbn. Pasien

2
lahir spontan dibantu oleh bidan, tidak ada faktor penyulit, ASI
selama 2 tahun dan immunisasi dinyatakan lengkap.
Pasien adalah anak ke 4 dari 4 bersaudara, dimana ayah bekerja
di rental mobil, sedangkan yang lain dinyatakan di rumah saja.
Riwayat kontak suspek/konfirm covid-19 (-), riwayat kontak
dengan batuk pilek demam (-), riwayat bepergian ke luar kota
(-), riwayat dikunjungi tamu luar kota (-), riwayat ke daerah
kerumunan (-), riwayat mengundang banyak orang
kerumah/acara dirumah (-),

Riwayat Penyakit Dahulu : penyakit yang sama disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga : penyakit yang sama disangkal

Riwayat Pengunaan Obat : Pengunaan obat disangkal

Riwayat kelahiran :  spontan dari ibu P4A0 ditolong oleh bidan, langsung menangis, BBL


3000gr

Riwayat kehamilan :  aterm, periksa rutin di bidan.

2.3 Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum : TSS, Compos Mentis

GCS : E4M6V5

Status Gizi : Baik

Tanda vital

Tensi : 110/80 mmHg

Nadi : 90 x/menit

Respirasi : 24 x/menit

Suhu : 36,5 C

3
Spo2 : 98%

Status Generalis

Kepala

-Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil Isokor, refleks cahaya +/+

-Hidung : epistaksis -/-, deviasi septum -/-

-Mulut : mukosa bibir kering (-)

-Leher : KGB tidak teraba,

JVP tidak meningkat,

Thorax

Inspeksi : pergerakan kanan dan kiri simetris dalam keadaan statis dan dinamis

Palpasi : fremitus taktil dan vokal simetris kanan dan kiri

Perkusi : sonor pada kedua hemithorax

Auskultasi

Pulmo : VBS kanan = kiri normal, rhonki -/-, wheezing -/-

Cor : Bunyi jantung I/II murni reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen

Inspeksi : Datar, supel

Palpasi : NT (+) kanan bawah/McBurney (+) VAS 7, hepar dan lien tidak teraba.
Tidak teraba adanya massa.

Perkusi : timpani

Auskultasi : bising usus dalam batas normal

4
Ekstremitas :

- Atas

● Tonus : normal
● Massa : -/-
● Gerakan : aktif/aktif
● Kekuatan : 5/5
● Edema : -/-

- Bawah

● Tonus : normal
● Massa : -/-
● Gerakan : aktif/aktif
● Kekuatan : 5/5
● Edema : -/-

Status Lokalis

Regio Abdomen quadran bawah kanan: NT (+) kanan bawah/McBurney (+) VAS 7,
Psoas sign (+) Obturator sign (+)

2.4 Diagnosis Banding

Appendisitis Akut

Peritonitis

Gastroenteritis

Usul pemeriksaan Darah rutin dan hitung jenis leukosit. Usul radiologi rontgen thorax.

5
2.5 Pemeriksaan Penunjang

LABORATORIUM :

Tanggal 14 September 2020

Hematologi

Darah Rutin

Hb : 13,7 (12-18 g/dl)

Hematokrit : 40 (37-48 %)

Leukosit : 13,000/mm3 (3.600 – 11.000/mm3)

Trombosit : 370.000/mm3 (150.000 – 400.000/mm3)

Hitung Jenis

Basofil :0 (0 – 1%)

Eosinofil :4 (1 – 5%)

Batang :0 (1 – 2%)

Segmen netrofil : 78 (50 – 70%)

Limfosit :14 (20 – 40%)

Monosit :4 (3 – 6%)

Rapid Test anti SARS-COV 2 non reaktif


Rontgen thorax dbn

6
2.6 Penatalaksanaan

Medika mentosa:

IVFD RL 20 tpm

Ranitidine 2 x 25 mg (IV)

Ceftriaxone 2 x 500mg (IV)

Paracetamol 1 x 500mg

Puasa mulai jam 10 malam, dan besok tindakan operatif : apendektomi

2.7 Diagnosis

Appendisitis Akut

2.8 FOLLOW UP

Tanggal Catatan Instruksi

S/ Nyeri perut kanan bawah,


BAK dan BAB t.a.k, flatus (+)
14– 09 – 2020 P/ infus RL 20 tpm
O/ KU: CM, TSS, GCS 15
Inj ceftriaxon 2 x 500mg
T : 110/80 mmHg (IV)

N: 90 x/menit Inj ranitidin 2 x 25mg (IV)

R: 24 x/menit Paracetamol 3 x 500mg (PO)

S: 36,5 C Puasa mulai jam 10 malam,


dan besok Tindakan operatif:
SPO2 98%
apendektomi
Status lokalis

Nyeri tekan titik McBurney,


VAS 6-7, Psoas dan Obturator

7
(+)

A/ Appendisitis Akut

S/ Px nyeri perut kanan bawah

15-05-2019 O/ KU: CM, TSS, GCS 15

06.00 N: 95 x/menit Konsul Sp.A untuk tidakan


OP- acc.
R: 20 x/menit

S: 36,5 C

Rontgen Thorax: tidak tampak


kelainan paru, tidak tampak
cardiomegaly.

A/ Appendisitis Akut

P/ infus RL 20 tpm

Inj ceftriaxon 2 x 500mg (IV)

Inj ranitidin 2 x 25mg (IV)

Paracetamol 3 x 500mg (PO)

S/ Px Post appendectomy
P/ Tidak puasa
15-09-2020 (Post Op.)
O/ KU: CM
Diet bubur
TD : 110/60
Ceftriaxone 2 x ½ gr (IV)
N: 75 x/menit
Ketorolac 3 x ½ Amp (IV)
R: 20 x/menit
Ranitidine 2 x ½ Amp
S: 36.0 C (IV)

8
SPO2: 99%

A/Post Appendectomy

S/ Nyeri luka Op (+),


Mobilisasi (+), Tidak tampak
16-09-2020 P/ BLPL
adanya darah pada lokasi
07:00 operasi, nafsu makan (+), BAK Terapi pulang :
sudah namun belum BAB.
Cefixime 2 x 200mg
Flatus sudah.
PCT 3 x 500mg
O/ KU: CM, GCS 15
Kontrol tanggal 23-09-2020
T : 100/70 mmHg

N: 98 x/menit

R: 24 x/menit

S: 36,4 C

SpO2: 98%

A/ Post Appendectomy e,c,


Appendisitis Akut POD 1

9
2.9 LAPORAN OPERASI

Ditemukan:

1. Appendiks letak retrocecal, edematous, hiperemis, diameter ± 0,8cm, panjang ± 7cm

Tindakan :

1. Dilakukan tindakan a dan antisepsik pada daerah operasi

2. Dilakukan insisi Mcburney kutis subkutis, peritoneum dibuka

3. Dilakukan identifikasi appendiks

4. Dilakukan adhesiolisis, appendektomi .

5. Perdarahan dirawat

6. Luka operasi dijahit lapis demi lapis

7. Luka operasi ditutup verban

8. Operasi selesai.

2.10 INSTRUKSI POST OP

P/ Tidak puasa

Diet bubur

Ceftriaxone 2 x ½ gr (IV)

Ketorolac 3 x ½ Amp (IV)

Ranitidine 2 x ½ Amp (IV)

10
2.11 Prognosis

Quo ad vitam : dubia ad bonam

Quo ad fungsionam : dubia ad bonam

Quo ad sanactionam : dubia ad bonam

11
BAB III. TINJAUAN PUSTAKA

3.1.Anatomi

Apendiks vermiformis adalah organ berbentuk tabung dan sempit yang mempunyai
otot dan banyak mengandung jaringan limfoid. Panjang apendiks vermiformis bervariasi dari
3-5 inci (8-13 cm). Dasarnya melekat pada permukaan aspek posteromedial caecum, 2,5 cm
di bawah junctura iliocaecal dengan lainnya bebas. Apendiks adalah satu-satunya organ tubuh
yang tidak mempunyai posisi anatomi yang konstan. Lumennya melebar di bagian distal dan
menyempit di bagian proksimal.

Apendiks vermiformis terletak pada kuadran kanan bawah abdomen di regio iliaca
dextra. Pangkalnya diproyeksikan ke dinding anterior abdomen pada titik sepertiga bawah
yang menghubungkan spina iliaca anterior superior dan umbilicus yang di sebut titik
McBurney. Apendiks didarahi oleh arteri appendicularis yang merupakan arteri tanpa
kolateral dan vena appendicularis, sedangkan persarafannya berasal dari cabang-cabang saraf
simpatis dan parasimpatis (nervus vagus) dari plexus mesentericus superior. Aliran limfenya
ke satu atau dua nodi dalam mesoapendiks dan di alirkan ke nodi mesenterici superiors.
Persarafan parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti arteri mesenterika
superior dari arteri appendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari nervus
torakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada appendicitis bermula di sekitar umbilikus.
Appendiks didarahi oleh arteri apendikularis yang merupakan cabang dari bagian bawah
arteri ileocolica. Arteri appendiks termasuk end arteri. Bila terjadi penyumbatan pada arteri
ini, maka appendiks mengalami ganggren.

Pada bayi appendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkal dan menyempit kearah
ujung. Keadaan ini menjadi sebab rendahnya insidens appendicitis pada usia tersebut.
Appendiks memiliki lumen sempit di bagian proksimal dan melebar pada bagian distal. Pada
appendiks terdapat tiga tanea coli yang menyatu dipersambungan sekum dan berguna untuk
mendeteksi posisi appendiks. Gejala klinik appendicitis ditentukan oleh letak appendiks.
Posisi appendiks adalah retrocaecal (di belakang sekum) 65,28%, pelvic (panggul) 31,01%,
subcaecal (di bawah sekum) 2,26%, preileal (di depan usus halus) 1%, dan postileal (di
belakang usus halus) 0,4%.

12
3.2.Fisiologi Appendiks

Apendiks vermiformis menghasilkan lendir sebanyak 1-2 ml per hari yang secara
normal di curahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Adanya hambatan
aliran pada lendir di muara apendiks vermiformis berperan dalam patogenesis apendisitis.
GULT (gut associated lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran pencernaan,
termasuk apendiks vermiformis menghasilkan IgA yaitu suatu imunoglobulin sekretoar. IgA
sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Tetapi karena jumlah jaringan limfe pada
apendiks vermiformis kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna
menyebabkan pengangkatan apendiks vermiformis tidak mempengaruhi sistem imun tubuh.

13
3.3.Definisi Appendisitis

Apendisitis adalah inflamasi akut pada apendiks yang terletak pada kuadran bawah
kanan dari rongga abdomen (Smeltzer & Bare, 2002). Apendiks menjadi meradang akibat
invasi bakteri pada dindingnya, biasanya didistal dari obstruksi lumennya. Obstruksi dapat
disebabkan oleh fekolit, biji-bijian atau cacing dalam lumen (Cook et al, 1995). Obstruksi
lumen merupakan penyebab utama appendicitis. Erosi membran mukosa appendiks dapat
terjadi karena parasit seperti Entamoeba histolytica, Trichuris trichiura, dan Enterobius
vermikularis.

3.4.Epidemiologi Appendisitis

Penelitian Collin (1990) di Amerika Serikat pada 3.400 kasus, 50% ditemukan
adanya faktor obstruksi. Obstruksi yang disebabkan hiperplasi jaringan limfoid submukosa
60%, fekalith 35%, benda asing 4%, dan sebab lainnya 1%.

Kejadian apendisitis di Indonesia menurut data yang dirilis oleh Kementerian


Kesehatan RI pada tahun 2009 sebesar 596.132 orang dengan persentase 3.36% dan
meningkat pada tahun 2010 menjadi 621.435 orang dengan persentase 3.53%. Apendisitis
merupakan penyakit tidak menular tertinggi kedua di Indonesia pada rawat inap di rumah
sakit pada tahun 2009 dan 2010 [2]. Berdasarkan data Rekam Medik di Rumah Sakit Umum
Anutapura Palu selama tahun 2012 jumlah pasien penderita apendisitis ada sebanyak 218
pasien, Pada tahun 2013 terjadi peningkatan yaitu sebanyak 278 pasien. Pada tahun 2014
kembali mengalami peningkatan dan menduduki urutan ketiga dipoliklinik bedah yaitu
sebanyak 434 pasien (kemenkes).

Appendicitis dapat mengenai semua kelompok usia, meskipun tidak umum pada
anak sebelum usia sekolah. Hampir 1/3 anak dengan appendicitis akut mengalami perforasi
setelah dilakukan operasi. Meskipun telah dilakukan peningkatan pemberian resusitasi cairan
dan antibiotik yang lebih baik, appendicitis pada anak-anak, terutama pada anak usia
prasekolah masih tetap memiliki angka morbiditas yang signifikan2. Diagnosis appendicitis
akut pada anak kadang-kadang sulit. Diagnosis yang tepat dibuat hanya pada 50-70% pasien-
pasien pada saat penilaian awal. Angka appendectomy negatif pada pediatrik berkisar 10-
50%. Riwayat perjalanan penyakit pasien dan pemeriksaan fisik merupakan hal yang paling
penting dalam mendiagnosis appendicitis.

14
Data epidemiologi apendisitis jarang terjadi pada balita, insidennya hanya 1%.
Apendisitis mengalami peningkatan pada masa pubertas, dan mencapai puncaknya pada saat
remaja dan awal 20-an, sedangkan penderita apendisitis mengalami penurunan menjelang
dewasa (Pieter,2005). Hal ini berkaitan dengan bentuk anatomis dari apendiks pada laki-laki
lebih lurus daripada apendiks perempuan, sehingga resiko untuk masuknya makanan dan
terjadi sumbatan lebih tinggi.

3.5.Etiologi Apendisitis

Faktor pencetus terjadinya apendisitus akut disamping Sumbatan lumen karena


hiperplasia jaringa limfa, tumor apendiks, dan cacing askaris dapat pula karena infeksi
bakteria. Selain itu juga erosi mukosa karena parasit seperti E. histolytica. Konstipasi akan
menaikan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan
meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya ini akan mempermudah
timbulnya apendisitis akut (Sjamsuhidajat, 2010)

3.6.Klasifikasi Apendisitis

Klasifikasi apendisitis dapat dibagi menjadi lima berdasarkan gejala dan penyebab.
Klasifikasinya yaitu apendisitis akut, apendisitis perforata, apendisitis rekurens, apendisitis
kronik, dan mukokel apendiks (Sjamsuhidayat, 2010).

1) Apendisitis akut terjadi karena peradangan mendadak pada umbai cacing yang
memberikan tanda setempat. Gejalanya nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri
viseral didaerah epigastrium disekitar umbilikus. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah
ketitik mcBurney, disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga
merupakan nyeri somatik setempat. Sering disertai mual, muntah dan nafsu makan berkurang.

a. Appendicitis Akut Sederhana


Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub mukosa disebabkan obstruksi.
Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen appendiks dan terjadi peningkatan tekanan dalam
lumen yang mengganggu aliran limfe, mukosa appendiks jadi menebal, edema, dan
kemerahan. Gejala diawali dengan rasa nyeri di daerah umbilikus, mual, muntah, anoreksia,

15
malaise, dan demam ringan. Pada appendicitis kataral terjadi leukositosis dan appendiks
terlihat normal, hiperemia, edema, dan tidak ada eksudat serosa.

b. Appendicitis Akut Purulenta ( suppurative appendicitis )


Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema menyebabkan terbendungnya
aliran vena pada dinding appendiks dan menimbulkan trombosis. Keadaan ini memperberat
iskemia dan edema pada apendiks. Mikroorganisme yang ada di usus besar berinvasi ke
dalam dinding appendiks menimbulkan infeksi serosa sehingga serosa menjadi suram karena
dilapisi eksudat dan fibrin. Pada appendiks dan mesoappendiks terjadi edema, hiperemia, dan
di dalam lumen terdapat eksudat fibrinopurulen.

Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan, nyeri lepas di titik
Mc Burney, defans muskuler, dan nyeri pada gerak aktif dan pasif. Nyeri dan defans
muskuler dapat terjadi pada seluruh perut disertai dengan tanda-tanda peritonitis umum.

c. Appendicitis Akut Ganggrenosa


Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai terganggu sehingga
terjadi infrak dan ganggren. Selain didapatkan tanda-tanda supuratif, appendiks mengalami
gangren pada bagian tertentu. Dinding appendiks berwarna ungu, hijau keabuan atau merah
kehitaman. Pada appendicitis akut gangrenosa terdapat mikroperforasi dan kenaikan cairan
peritoneal yang purulen.

2) Apendistis Perforasi adalah pecahnya apendiks yang sudah gangren yang menyebabkan
pus masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi peritonitis umum.

3) Apendisitis rekurens dapat didiagnosa jika adanya riwayat serangan nyeri berulang di perut
kanan bawah yang mendorong dilakukannya apendektomi dan hasil patologi menunjukkan
peradangan akut. Kelainan ini terjadi bila serangan apendisitis akut pertama kali sembuh
spontan. Pada apendisitis rekurens biasanya dilakukan apendektomi karena penderita sering
mengalami serangan akut.

4) Appendicitis Infiltrat
Appendicitis infiltrat adalah proses radang appendiks yang penyebarannya dapat
dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum, kolon dan peritoneum sehingga membentuk
gumpalan massa flegmon yang melekat erat satu dengan yang lainnya

16
5) Appendicitis Abses
Appendicitis abses terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi nanah (pus),
biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrocaecal, subcaecal, dan pelvic.

6) Apendisitis kronik dapat menegakkan diagnosa jika ditemukan adanya riwayat nyeri perut
kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik apendiks secara makroskopik dan
mikroskopik. Kriteria mikroskopik apendisitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding
apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama
dimukosa dan adanya sel inflamasi kronik.

3.7. Patofisiologi Apendisitis

Apendisitis mula-mula disebabkan oleh sumbatan lumen. Penyempitan lumen akibat


hiperplasia jaringan limfoid submukosa menyebabkan feses mengalami penyerapan air dan
terbentuk fekolit yang merupakan kausa sumbatan. Sumbatan lumen apendiks menyebabkan
keluhan sakit di sekitar umbilikus dan epigastrium, mual dan muntah (Reksoprodjo, 2010).
Apendisitis dimulai di mukosa dan kemudian melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks
dalam waktu 24-48 jam pertama. Untuk membatasi proses peradangan pertahanan tubuh
menutup apendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa sehingga terbentuk massa
peraiapendikuler. Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna tetapi
membentuk jaringan parut yang melekat dengan jaringan sekitarnya, sehingga dapat
menimbulkan keluhan berulang di perut kanan bawah. Jika organ ini meradang akut kembali
maka akan mengalami eksaserbasi akut (Sjamsuhidajat, 2010).

17
Patofisiologi APP

18
3.8. Diagnosis

Pada anamnesis penderita akan mengeluhkan nyeri atau sakit perut. Ini terjadi karena
hiperperistaltik untuk mengatasi obstruksi dan terjadi pada seluruh saluran cerna, sehingga
nyeri viseral dirasakan pada seluruh perut. Muntah atau rangsangan viseral akibat aktivasi
n.vagus. Obstipasi karena penderita takut untuk mengejan. Panas akibat infeksi akut jika
timbul komplikasi. Gejala lain adalah demam yang tidak terlalu tinggi, antara 37,5 -38,5 C.
Tetapi jika suhu lebih tinggi, diduga sudah terjadi perforasi (Departemen Bedah UGM,
2010).

Pada pemeriksaan fisik yaitu pada inspeksi, penderita berjalan membungkuk sambil
memegangi perutnya yang sakit, kembung bila terjadi perforasi, dan penonjolan perut bagian
kanan bawah terlihat pada apendikuler abses (Departemen Bedah UGM, 2010).

Pada palpasi, abdomen biasanya tampak datar atau sedikit kembung. Palpasi dinding
abdomen dengan ringan dan hati-hati dengan sedikit tekanan, dimulai dari tempat yang jauh
dari lokasi nyeri. Status lokalis abdomen kuadran kanan bawah:

● Nyeri tekan (+) Mc. Burney. Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan kuadran kanan
bawah atau titik Mc. Burney dan ini merupakan tanda kunci diagnosis.
● Nyeri lepas (+) karena rangsangan peritoneum. Rebound tenderness (nyeri lepas
tekan) adalah nyeri yang hebat di abdomen kanan bawah saat tekanan secara tiba-tiba
dilepaskan setelah sebelumnya dilakukan penekanan perlahan dan dalam di titik Mc.
Burney.
● Defens muskuler (+) karena rangsangan m. Rektus abdominis. Defence muscular
adalah nyeri tekan seluruh lapangan abdomen yang menunjukkan adanya rangsangan
peritoneum parietale.
● Rovsing sign (+). Rovsing sign adalah nyeri abdomen di kuadran kanan bawah apabila
dilakukan penekanan pada abdomen bagian kiri bawah, hal ini diakibatkan oleh
adanya nyeri lepas yang dijalarkan karena iritasi peritoneal pada sisi yang berlawanan.
● Psoas sign (+). Psoas sign terjadi karena adanya rangsangan muskulus psoas oleh
peradangan yang terjadi pada apendiks.
● Obturator sign (+). Obturator sign adalah rasa nyeri yang terjadi bila panggul dan
lutut difleksikan kemudian dirotasikan ke arah dalam dan luar secara pasif, hal
tersebut menunjukkan peradangan apendiks terletak pada daerah hipogastrium.

19
(Departemen Bedah UGM, 2010)

Pada perkusi akan terdapat nyeri ketok. Auskultasi akan terdapat peristaltik normal,
peristaltik tidak ada pada illeus paralitik karena peritonitis generalisata akibat
apendisitis perforata. Auskultasi tidak banyak membantu dalam menegakkan
diagnosis apendisitis, tetapi kalau sudah terjadi peritonitis maka tidak terdengar bunyi
peristaltik usus. Pada pemeriksaan colok dubur (Rectal Toucher) akan terdapat nyeri
pada jam 9-12 (Departemen Bedah UGM, 2010).

Selain itu, untuk mendiagnosis apendisitis juga dapat digunakan skor Alvarado, yaitu:

Skor

Migrasi nyeri dari abdomen sentral ke 1


fossa iliaka kanan

Anoreksia 1

Mual dan muntah 1

Nyeri di fossa iliaca kanan 2

Nyeri lepas 1

Peningkatan temperature >37,5 1

Peningkatan jumlah leukosit > 10 x 109 /L 2

Neutrofilia > 75 % 1

Total 10

Keterangan: 0-4 : kemungkinan Appendicitis kecil


5-6 : bukan diagnosis Appendicitis
7-8 : kemungkinan besar Appendicitis
9-10 : hampir pasti menderita Appendicitis
Bila skor 5-6 dianjurkan untuk diobservasi di rumah sakit, bila skor >6 maka tindakan bedah
sebaiknya dilakukan. Pasien dengan skor awal≤ 4 kemungkinan kecil menderita apendisitis
dan tidak memerlukan perawatan di rumah sakit kecuali gejalanya memburuk. (Burkitt,
Quick, Reed, 2007).

20
Nilai sensitivitas 56.2%, specifisitas 80%, positive predictive value 96.6% dan negative
predictive values 14%. (Tanrikulu et al, 2016)

Diagnosis Banding Appendicitis Akut

Surgical Medical

1. Intestinal obstruction 1. Gastroenteritis

2. Intussusception 2. Terminal ileitis

3. Acute cholesystitis 3. Diabetic Ketoacidosis

4. Perforated peptic ulcer

5. Mesenteric Adenitis

6. Meckel’s Diverticulitis

7. Pancreatitis

Urological Gynaecology

1. Right Ureteric Colic 1. Ectopic Pregnancy

2. Right Pyelonephritis 2. Ruptured Ovarian Follicle

3. Urinary tract infection 3. Torted Ocarian Cyst

4. Salpingitis / Pelvic inflammatory


disease

3.9 Diagnosis Banding Appendicitis

3.10 Pemeriksaan Penunjang


a) Pemeriksaan Laboratorium

21
● Leukosit darah

Pemeriksaan laboratorium rutin sangat membantu dalam mendiagnosis apendisitis


akut, terutama untuk mengesampingkan diagnosis lain. Pemeriksaan laboratorium yang rutin
dilakukan adalah jumlah leukosit darah. Jumlah leukosit darah biasanya meningkat pada
kasus apendisitis. Hitung jumlah leukosit darah merupakan pemeriksaan yang mudah
dilakukan dan memiliki standar pemeriksaan terbaik. Pada kebanyakan kasus terdapat
leukositosis, terlebih pada kasus dengan komplikasi berupa perforasi. Penelitian yang
dilakukan oleh Guraya SY menyatakan bahwa peningkatan jumlah leukosit darah yang tinggi
merupakan indikator yang dapat menentukan derajat keparahan apendisitis. Tetapi, penyakit
inflamasi pelvik terutama pada wanita akan memberikan gambaran laboratorium yang
terkadang sulit dibedakan dengan apendisitis akut

Terjadinya apendisitis akut dan adanya perubahan dinding apendiks vermiformis


secara signifikan berhubungan dengan meningkatnya jumlah leukosit darah. Temuan ini
menunjukkan bahwa peningkatan jumlah leukosit berhubungan dengan peradangan mural
dari apendiks vermiformis, yang merupakan tanda khas pada apendisitis secara dini.

Beberapa penulis menekankan bahwa leukosit darah polimorfik merupakan fitur


penting dalam mendiagnosis apendisitis akut. Leukositosis ringan, mulai dari 10.000 - 18.000
sel/mm, biasanya terdapat pada pasien apendisitis akut. Namun, peningkatan jumlah leukosit
darah berbeda pada setiap pasien apendisitis. Beberapa pustaka lain menyebutkan bahwa
leukosit darah yang meningkat >12.000 sel/mm3 pada sekitar tiga-perempat dari pasien
dengan apendisitis akut. Apabila jumlah leukosit darah meningkat >18.000 sel/mm3
menyebabkan kemungkinan terjadinya komplikasi berupa perforasi .

b) Urinalisis

Sekitar 10% pasien dengan nyeri perut memiliki penyakit saluran kemih. Pemeriksaan
laboratorium urin dapat mengkonfirmasi atau menyingkirkan penyebab urologi yang
menyebabkan nyeri perut. Meskipun proses inflamasi apendisitis akut dapat menyebabkan
piuria, hematuria, atau bakteriuria sebanyak 40% pasien, jumlah eritrosit pada urinalisis yang
melebihi 30 sel per lapangan pandang atau jumlah leukosit yang melebihi 20 sel per lapangan
pandang menunjukkan terdapatnya gangguan saluran kemih.

22
c) Radiografi Konvensional

Pada foto polos abdomen, meskipun sering digunakan sebagai bagian dari pemeriksaan
umum pada pasien dengan abdomen akut, jarang membantu dalam mendiagnosis apendisitis
akut. Pasien dengan apendisitis akut, sering terdapat gambaran gas usus abnormal yang non
spesifik.

d) Ultrasonografi

Ultrasonografi berguna dalam memberikan diferensiasi penyebab nyeri abdomen akut


ginekologi, misalnya dalam mendeteksi massa ovarium. Ultrasonografi juga dapat membantu
dalam mendiagnosis apendisitis perforasi dengan adanya abses. Apendisitis akut ditandai
dengan (1) adanya perbedaan densitas pada lapisan apendiks vermiformis / hilangnya lapisan
normal (target sign); (2) penebalan dinding apendiks vermiformis; (3) hilangnya
kompresibilitas dari apendiks vermiformis ; (4) peningkatan ekogenitas lemak sekitar (5)
adanya penimbunan cairan . Keadaan apendisitis dengan perforasi ditandai dengan (1) tebal
dinding apendiks vermiformis yang asimetris ; (2) cairan bebas intraperitonial, dan (3) abses
tunggal atau multipel

Sensitivitas 84.8%, spesifisitas 83.3%, positive predictive value 93.3% dan negative
predictive 66.7%. Sensitivitas dan spesifisitas pada laki-laki lebih tinggi 95.7% dan 88.2%,
dan pada wanita 84.6% dan 71.4%. (Al-Ajerami.Y, 2012)

e) Appendichogram

Appendicogram merupakan pemeriksaan berupa foto barium (larutan Barium Sulfat


(± 250 gram) + 120-200 cc air) yang dapat membantu melihat terjadinya sumbatan atau
adanya kotoran (skibala) di dalam lumen usus buntu (Sanyoto, 2007). Appendicogram
dengan non-filling apendiks (negatif appendicogram) merupakan apendisitis akut.
Appendicogram dengan partial filling (parsial appendicogram) diduga sebagai apendisitis
dan appendicogram dengan kontras yang mengisi apendiks secara total (positif
appendicogram) merupakan apendiks yang normal (Sibuea, 1996).

Appendicogram sangat berguna dalam diagnosis apendisitis akut, karena merupakan


pemeriksaan yang sederhana dan dapat memperlihatkan visualisasi dari apendiks dengan
derajat akurasi yang tinggi (Sibuea, 1996).

23
Appendicogram merupakan pemeriksaan berupa foto barium usus buntu yang dapat
membantu melihat terjadinya sumbatan atau adanya kotoran (skibala) di dalam lumen usus
buntu (Sanyoto, 2007).

Pada penelitian yang dilakukan di USU. Nilai sensitivitas 97.8%, spesifisitas 50%,
positive predictive value 93.7%, dan negative predictive value 75% pada appendicogram.
(Hasya M.N. 2011)

f) CT scan dan MRI

Pemeriksaan CT scan merupakan pemeriksaan dengan tingkat akurasi yang sangat tinggi
untuk mendiagnosis apendisitis. Walau demikian risiko paparan radiasi dan kontras, serta
biaya yang cukup tinggi membuat pemeriksaan ini disarankan pada kondisi klinis yang
meragukan dengan hasil pemeriksaan laboratorium dan USG yang tidak konklusif

Pemeriksaan MRI juga memiliki tingkat akurasi yang sangat tinggi serta tidak
memiliki risiko radiasi. Walau demikian, keterbatasan biaya dan ketersediaan alat membuat
pemeriksaan ini tidak digunakan secara luas, khususnya di negara berkembang seperti
Indonesia

Pada CT scan Spesifisitas 93.6% (95% CI, 85.6-97.9%) dan 94.3% (95% CI, 90.2-
97%). Pada MRI sensitivitas dan specificitas adalah 85.9% (95% CI, 76.2-92.7%) dan 93.8%
(95% CI, 89.7-96.7%) untuk unenhanced MRI, 93.6% (95% CI, 85.6-97.9%) dan 94.3%
(95% CI, 90.2-97%) untuk contrast-enhanced MRI.

3.11 Penatalaksanaan Appendicitis

Pengobatan tunggal yang terbaik untuk usus buntu yang sudah meradang/apendisitis
akut adalah dengan jalan membuang penyebabnya (operasi appendektomi). Pasien biasanya
telah dipersiapkan dengan puasa antara 4 sampai 6 jam sebelum operasi dan dilakukan
pemasangan cairan infus agar tidak terjadi dehidrasi. Pembiusan akan dilakukan oleh dokter
ahli anastesi dengan pembiusan umum atau spinal/lumbal. Pada umumnya, teknik

24
konvensional operasi pengangkatan usus buntu dengan cara irisan pada kulit perut kanan
bawah di atas daerah apendiks (Sanyoto, 2007).

Perbaikan keadaan umum dengan infus, pemberian antibiotik untuk kuman gram
negatif dan positif serta kuman anaerob, dan pemasangan pipa nasogastrik perlu dilakukan
sebelum pembedahan (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).

Alternatif lain operasi pengangkatan usus buntu yaitu dengan cara bedah laparoskopi.
Operasi ini dilakukan dengan bantuan video camera yang dimasukkan ke dalam rongga perut
sehingga jelas dapat melihat dan melakukan appendektomi dan juga dapat memeriksa organ-
organ di dalam perut lebih lengkap selain apendiks. Keuntungan bedah laparoskopi ini selain
yang disebut diatas, yaitu luka operasi lebih kecil, biasanya antara satu dan setengah
sentimeter sehingga secara kosmetik lebih baik (Sanyoto, 2007).

3.12 Pencegahan Appendicitis

a) Pencegahan Primer

Pencegahan primer bertujuan untuk menghilangkan faktor risiko terhadap kejadian


appendicitis. Upaya pencegahan primer dilakukan secara menyeluruh kepada masyarakat.
Upaya yang dilakukan antara lain:

a. Diet tinggi serat

Berbagai penelitian telah melaporkan hubungan antara konsumsi serat dan insidens
timbulnya berbagai macam penyakit. Hasil penelitian membuktikan bahwa diet tinggi serat
mempunyai efek proteksi untuk kejadian penyakit saluran pencernaan. Serat dalam makanan
mempunyai kemampuan mengikat air, selulosa, dan pektin yang membantu mempercepat
sisi-sisa makanan untuk diekskresikan keluar sehingga tidak terjadi konstipasi yang
mengakibatkan penekanan pada dinding kolon.

b. Defekasi yang teratur

25
Makanan adalah faktor utama yang mempengaruhi pengeluaran feces. Makanan yang
mengandung serat penting untuk memperbesar volume feces dan makan yang teratur
mempengaruhi defekasi. Individu yang makan pada waktu yang sama setiap hari mempunyai
suatu keteraturan waktu, respon fisiologi pada pemasukan makanan dan keteraturan pola
aktivitas peristaltik di kolon

Frekuensi defekasi yang jarang akan mempengaruhi konsistensi feces yang lebih
padat sehingga terjadi konstipasi. Konstipasi menaikkan tekanan intracaecal sehingga terjadi
sumbatan fungsional appendiks dan meningkatnya pertumbuhan flora normal kolon.
Pengerasan feces memungkinkan adanya bagian yang terselip masuk ke saluran appendiks
dan menjadi media kuman/bakteri berkembang biak sebagai infeksi yang menimbulkan
peradangan pada appendiks.

b) Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder meliputi diagnosa dini dan pengobatan yang tepat untuk
mencegah timbulnya komplikasi.

3.13.Komplikasi

Komplikasi terjadi akibat keterlambatan penanganan appendicitis. Faktor


keterlambatan dapat berasal dari penderita dan tenaga medis. Faktor penderita meliputi
pengetahuan dan biaya, sedangkan tenaga medis meliputi kesalahan diagnosa, menunda
diagnosa, terlambat merujuk ke rumah sakit, dan terlambat melakukan penanggulangan.
Kondisi ini menyebabkan peningkatan angka morbiditas dan mortalitas. Proporsi komplikasi
appendicitis 10-32%, paling sering pada anak kecil dan orang tua. Komplikasi 93% terjadi
pada anak-anak di bawah 2 tahun dan 40-75% pada orang tua. CFR komplikasi 2-5%, 10-
15% terjadi pada anak-anak dan orang tua. Anak-anak memiliki dinding appendiks yang
masih tipis, omentum lebih pendek dan belum berkembang sempur na memudahkan
terjadinya perforasi, sedangkan pada orang tua terjadi gangguan pembuluh darah Adapun
jenis komplikasi diantaranya:

Abses

26
Abses merupakan peradangan appendiks yang berisi pus. Teraba massa lunak di
kuadran kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini mula-mula berupa flegmon dan
berkembang menjadi rongga yang mengandung pus. Hal ini terjadi bila appendicitis gangren
atau mikroperforasi ditutupi oleh omentum

Perforasi

Perforasi adalah pecahnya appendiks yang berisi pus sehingga bakteri menyebar ke
rongga perut. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam pertama sejak awal sakit, tetapi
meningkat tajam sesudah 24 jam. Perforasi dapat diketahui praoperatif pada 70% kasus
dengan gambaran klinis yang timbul lebih dari 36 jam sejak sakit, panas lebih dari 38,5 c,
tampak toksik, nyeri tekan seluruh perut, dan leukositosis terutama polymorphonuclear
(PMN). Perforasi, baik berupa perforasi bebas maupun mikroperforasi dapat menyebabkan
peritonitis.

Peritonitis

Peritonitis adalah peradangan peritoneum, merupakan komplikasi berbahaya yang


dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Bila infeksi tersebar luas pada permukaan
peritoneum menyebabkan timbulnya peritonitis umum. Aktivitas peristaltik berkurang sampai
timbul ileus paralitik, usus meregang, dan hilangnya cairan elektrolit mengakibatkan
dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi, dan oligouria.

Peritonitis disertai rasa sakit perut yang semakin hebat, muntah, nyeri abdomen,
demam, dan leukositosis.

3.14 Prognosis

Kebanyakan pasien setelah operasi appendektomi sembuh spontan tanpa penyulit,


namun komplikasi dapat terjadi apabila pengobatan tertunda atau telah terjadi
peritonitis/peradangan di dalam rongga perut. Cepat dan lambatnya penyembuhan setelah
operasi usus buntu tergantung dari usia pasien, kondisi, keadaan umum pasien, penyakit
penyerta misalnya diabetes mellitus, komplikasi dan keadaan lainya yang biasanya sembuh
antara 10 sampai 28 hari (Sanyoto, 2007).

27
Alasan adanya kemungkinan ancaman jiwa dikarenakan peritonitis di dalam rongga
perut ini menyebabkan operasi usus buntu akut/emergensi perlu dilakukan secepatnya.
Kematian pasien dan komplikasi hebat jarang terjadi karena usus buntu akut. Namun hal ini
bisa terjadi bila peritonitis dibiarkan dan tidak diobati secara benar (Sanyoto, 2007).

BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien An. I, usia 9 tahun datang dengan keluhan nyeri perut kanan bawah yang tiba-tiba
dirasakan sejak 1 hari yang lalu, nyeri perut dirasakan terus menerus nyeri dirasakan memberat saat
perut ditekan dan saat batuk. Nyeri dirasakan seperti ditusuk-tusuk dan semakin tajam apabila pasien
bergerak sehingga pasien tidak seaktif dulu dan nyeri berkurang apabila kaki ditekuk. Nyeri tidak
berpindah-pindah. Pasien memiliki kebiasaan suka jajan es dan makan makanan pedas.

Pada pemeriksaan fisik, tanda vital dalam batas normal dan ditemukan nyeri tekan pada perut
kanan bawah di titik McBurney dengan dinyatakan pasien Vas 7, Psoas sign (+) Obturatur Sign (+).

28
Diagnosis pasien ini ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik pasien menunjukkan bahwa pasien adanya akut
abdomen di perut kanan bawah, pada pemeriksaan lab terdapat leukositosis dan Neutrophil >75%.
Maka di diagnosa dengan Akut Appendisitis.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Ajerami. Y, Sensitivity and specificity of ultrasound in the diagnosis of acute appendicitis.


East Mediterr Health J. 2012 Jan;18(1):66-9. Diakses pada:
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/22360013/

Guyton, H., 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta

29
Hasya M.N. 2011, Reliabilitas Pemeriksaan Appendicogram dalam Penegakan Diagnosis
Apendisitis di RSUD Dr. Pirngadi Medan Periode 2008-2011.USU. diakses pada
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/31374.

Hoyt. D. B., Mackersie. R. C., 2009, Abdominal Injuries in Essential . Surgical practice. 2nd
Ed, John Wright, Bristol

L. Farhan, 2015. Peritonitis, fakultas kedokteran universitas sumatera utara

Pearce, E. Anatomi dan fisiologi untuk paramedis,

Sabiston, D., 1994. Buku Ajar Bedah: Essentials Of Surgery. Bagian 2. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta

Schrock. T. R., 2008, Peritonitis dan Massa abdominal dalam Ilmu Bedah, Ed.7, alih bahasa
dr. Petrus Lukmanto, EGC, Jakarta

Schwartz at el,2009. Schwartz principles of surgery

Sjamsuhidajat, R., dan Jong, W., 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi revisi. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta.

Soeparman, 1998. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Balai Penerbit FKUI. Jakarta

Tarinkulu C.S et al. 2016. The predictive value of Alvarado score, inflammatory parameters
and ultrasound imaging in the diagnosis of acute appendicitis. Turkish journal of surgery.
Diakses pada : https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4942156/

Way, L., Doherty, G., 1994. Current Diagnosis & Treatment. Edisi 11 Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta

Wilson. L. M., Lester. L .B., 2008, Usus kecil dalam Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit, Ed.4, alih bahasa dr. Peter Anugrah, EGC, Jakarta.

30

Anda mungkin juga menyukai