BAB I. PENDAHULUAN
Appendicitis dapat mengenai semua kelompok usia, meskipun tidak umum pada anak
sebelum usia sekolah. Hampir 1/3 anak dengan appendicitis akut mengalami perforasi setelah
dilakukan operasi. Meskipun telah dilakukan peningkatan pemberian resusitasi cairan dan
antibiotik yang lebih baik, appendicitis pada anak-anak, terutama pada anak usia prasekolah
masih tetap memiliki angka morbiditas yang signifikan2. Diagnosis appendicitis akut pada
anak kadang-kadang sulit. Diagnosis yang tepat dibuat hanya pada 50-70% pasien-pasien
pada saat penilaian awal. Angka appendectomy negatif pada pediatrik berkisar 10-50%.
Riwayat perjalanan penyakit pasien dan pemeriksaan fisik merupakan hal yang paling
penting dalam mendiagnosis appendicitis.
Nama : An. I
Umur : 9 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Sekolah
2.2 Anamnesis
Anamnesis Khusus : Pasien mengeluh nyeri perut kanan bawah yang tiba-tiba
dirasakan sejak 1 hari yang lalu, nyeri perut dirasakan terus
menerus, mual (-), muntah (-). Nyeri dirasakan memberat saat
perut ditekan dan saat batuk. Nyeri dirasakan seperti ditusuk-
tusuk dan semakin tajam apabila pasien bergerak sehingga
pasien tidak seaktif dulu dan nyeri berkurang apabila kaki
ditekuk. Pasien memiliki kebiasaan suka jajan es dan makan
makanan pedas.
Nyeri yang berpindah-pindah (-), demam (-), batuk (-), pilek
(-), sesak (-) BAB (+) dbn, BAB cair (-), BAK (+) dbn. Pasien
2
lahir spontan dibantu oleh bidan, tidak ada faktor penyulit, ASI
selama 2 tahun dan immunisasi dinyatakan lengkap.
Pasien adalah anak ke 4 dari 4 bersaudara, dimana ayah bekerja
di rental mobil, sedangkan yang lain dinyatakan di rumah saja.
Riwayat kontak suspek/konfirm covid-19 (-), riwayat kontak
dengan batuk pilek demam (-), riwayat bepergian ke luar kota
(-), riwayat dikunjungi tamu luar kota (-), riwayat ke daerah
kerumunan (-), riwayat mengundang banyak orang
kerumah/acara dirumah (-),
Riwayat kehamilan : aterm, periksa rutin di bidan.
GCS : E4M6V5
Tanda vital
Nadi : 90 x/menit
Respirasi : 24 x/menit
Suhu : 36,5 C
3
Spo2 : 98%
Status Generalis
Kepala
-Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil Isokor, refleks cahaya +/+
Thorax
Inspeksi : pergerakan kanan dan kiri simetris dalam keadaan statis dan dinamis
Auskultasi
Cor : Bunyi jantung I/II murni reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Palpasi : NT (+) kanan bawah/McBurney (+) VAS 7, hepar dan lien tidak teraba.
Tidak teraba adanya massa.
Perkusi : timpani
4
Ekstremitas :
- Atas
● Tonus : normal
● Massa : -/-
● Gerakan : aktif/aktif
● Kekuatan : 5/5
● Edema : -/-
- Bawah
● Tonus : normal
● Massa : -/-
● Gerakan : aktif/aktif
● Kekuatan : 5/5
● Edema : -/-
Status Lokalis
Regio Abdomen quadran bawah kanan: NT (+) kanan bawah/McBurney (+) VAS 7,
Psoas sign (+) Obturator sign (+)
Appendisitis Akut
Peritonitis
Gastroenteritis
Usul pemeriksaan Darah rutin dan hitung jenis leukosit. Usul radiologi rontgen thorax.
5
2.5 Pemeriksaan Penunjang
LABORATORIUM :
Hematologi
Darah Rutin
Hematokrit : 40 (37-48 %)
Hitung Jenis
Basofil :0 (0 – 1%)
Eosinofil :4 (1 – 5%)
Batang :0 (1 – 2%)
Monosit :4 (3 – 6%)
6
2.6 Penatalaksanaan
Medika mentosa:
IVFD RL 20 tpm
Ranitidine 2 x 25 mg (IV)
Paracetamol 1 x 500mg
2.7 Diagnosis
Appendisitis Akut
2.8 FOLLOW UP
7
(+)
A/ Appendisitis Akut
S: 36,5 C
A/ Appendisitis Akut
P/ infus RL 20 tpm
S/ Px Post appendectomy
P/ Tidak puasa
15-09-2020 (Post Op.)
O/ KU: CM
Diet bubur
TD : 110/60
Ceftriaxone 2 x ½ gr (IV)
N: 75 x/menit
Ketorolac 3 x ½ Amp (IV)
R: 20 x/menit
Ranitidine 2 x ½ Amp
S: 36.0 C (IV)
8
SPO2: 99%
A/Post Appendectomy
N: 98 x/menit
R: 24 x/menit
S: 36,4 C
SpO2: 98%
9
2.9 LAPORAN OPERASI
Ditemukan:
Tindakan :
5. Perdarahan dirawat
8. Operasi selesai.
P/ Tidak puasa
Diet bubur
Ceftriaxone 2 x ½ gr (IV)
10
2.11 Prognosis
11
BAB III. TINJAUAN PUSTAKA
3.1.Anatomi
Apendiks vermiformis adalah organ berbentuk tabung dan sempit yang mempunyai
otot dan banyak mengandung jaringan limfoid. Panjang apendiks vermiformis bervariasi dari
3-5 inci (8-13 cm). Dasarnya melekat pada permukaan aspek posteromedial caecum, 2,5 cm
di bawah junctura iliocaecal dengan lainnya bebas. Apendiks adalah satu-satunya organ tubuh
yang tidak mempunyai posisi anatomi yang konstan. Lumennya melebar di bagian distal dan
menyempit di bagian proksimal.
Apendiks vermiformis terletak pada kuadran kanan bawah abdomen di regio iliaca
dextra. Pangkalnya diproyeksikan ke dinding anterior abdomen pada titik sepertiga bawah
yang menghubungkan spina iliaca anterior superior dan umbilicus yang di sebut titik
McBurney. Apendiks didarahi oleh arteri appendicularis yang merupakan arteri tanpa
kolateral dan vena appendicularis, sedangkan persarafannya berasal dari cabang-cabang saraf
simpatis dan parasimpatis (nervus vagus) dari plexus mesentericus superior. Aliran limfenya
ke satu atau dua nodi dalam mesoapendiks dan di alirkan ke nodi mesenterici superiors.
Persarafan parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti arteri mesenterika
superior dari arteri appendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari nervus
torakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada appendicitis bermula di sekitar umbilikus.
Appendiks didarahi oleh arteri apendikularis yang merupakan cabang dari bagian bawah
arteri ileocolica. Arteri appendiks termasuk end arteri. Bila terjadi penyumbatan pada arteri
ini, maka appendiks mengalami ganggren.
Pada bayi appendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkal dan menyempit kearah
ujung. Keadaan ini menjadi sebab rendahnya insidens appendicitis pada usia tersebut.
Appendiks memiliki lumen sempit di bagian proksimal dan melebar pada bagian distal. Pada
appendiks terdapat tiga tanea coli yang menyatu dipersambungan sekum dan berguna untuk
mendeteksi posisi appendiks. Gejala klinik appendicitis ditentukan oleh letak appendiks.
Posisi appendiks adalah retrocaecal (di belakang sekum) 65,28%, pelvic (panggul) 31,01%,
subcaecal (di bawah sekum) 2,26%, preileal (di depan usus halus) 1%, dan postileal (di
belakang usus halus) 0,4%.
12
3.2.Fisiologi Appendiks
Apendiks vermiformis menghasilkan lendir sebanyak 1-2 ml per hari yang secara
normal di curahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Adanya hambatan
aliran pada lendir di muara apendiks vermiformis berperan dalam patogenesis apendisitis.
GULT (gut associated lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran pencernaan,
termasuk apendiks vermiformis menghasilkan IgA yaitu suatu imunoglobulin sekretoar. IgA
sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Tetapi karena jumlah jaringan limfe pada
apendiks vermiformis kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna
menyebabkan pengangkatan apendiks vermiformis tidak mempengaruhi sistem imun tubuh.
13
3.3.Definisi Appendisitis
Apendisitis adalah inflamasi akut pada apendiks yang terletak pada kuadran bawah
kanan dari rongga abdomen (Smeltzer & Bare, 2002). Apendiks menjadi meradang akibat
invasi bakteri pada dindingnya, biasanya didistal dari obstruksi lumennya. Obstruksi dapat
disebabkan oleh fekolit, biji-bijian atau cacing dalam lumen (Cook et al, 1995). Obstruksi
lumen merupakan penyebab utama appendicitis. Erosi membran mukosa appendiks dapat
terjadi karena parasit seperti Entamoeba histolytica, Trichuris trichiura, dan Enterobius
vermikularis.
3.4.Epidemiologi Appendisitis
Penelitian Collin (1990) di Amerika Serikat pada 3.400 kasus, 50% ditemukan
adanya faktor obstruksi. Obstruksi yang disebabkan hiperplasi jaringan limfoid submukosa
60%, fekalith 35%, benda asing 4%, dan sebab lainnya 1%.
Appendicitis dapat mengenai semua kelompok usia, meskipun tidak umum pada
anak sebelum usia sekolah. Hampir 1/3 anak dengan appendicitis akut mengalami perforasi
setelah dilakukan operasi. Meskipun telah dilakukan peningkatan pemberian resusitasi cairan
dan antibiotik yang lebih baik, appendicitis pada anak-anak, terutama pada anak usia
prasekolah masih tetap memiliki angka morbiditas yang signifikan2. Diagnosis appendicitis
akut pada anak kadang-kadang sulit. Diagnosis yang tepat dibuat hanya pada 50-70% pasien-
pasien pada saat penilaian awal. Angka appendectomy negatif pada pediatrik berkisar 10-
50%. Riwayat perjalanan penyakit pasien dan pemeriksaan fisik merupakan hal yang paling
penting dalam mendiagnosis appendicitis.
14
Data epidemiologi apendisitis jarang terjadi pada balita, insidennya hanya 1%.
Apendisitis mengalami peningkatan pada masa pubertas, dan mencapai puncaknya pada saat
remaja dan awal 20-an, sedangkan penderita apendisitis mengalami penurunan menjelang
dewasa (Pieter,2005). Hal ini berkaitan dengan bentuk anatomis dari apendiks pada laki-laki
lebih lurus daripada apendiks perempuan, sehingga resiko untuk masuknya makanan dan
terjadi sumbatan lebih tinggi.
3.5.Etiologi Apendisitis
3.6.Klasifikasi Apendisitis
Klasifikasi apendisitis dapat dibagi menjadi lima berdasarkan gejala dan penyebab.
Klasifikasinya yaitu apendisitis akut, apendisitis perforata, apendisitis rekurens, apendisitis
kronik, dan mukokel apendiks (Sjamsuhidayat, 2010).
1) Apendisitis akut terjadi karena peradangan mendadak pada umbai cacing yang
memberikan tanda setempat. Gejalanya nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri
viseral didaerah epigastrium disekitar umbilikus. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah
ketitik mcBurney, disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga
merupakan nyeri somatik setempat. Sering disertai mual, muntah dan nafsu makan berkurang.
15
malaise, dan demam ringan. Pada appendicitis kataral terjadi leukositosis dan appendiks
terlihat normal, hiperemia, edema, dan tidak ada eksudat serosa.
Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan, nyeri lepas di titik
Mc Burney, defans muskuler, dan nyeri pada gerak aktif dan pasif. Nyeri dan defans
muskuler dapat terjadi pada seluruh perut disertai dengan tanda-tanda peritonitis umum.
2) Apendistis Perforasi adalah pecahnya apendiks yang sudah gangren yang menyebabkan
pus masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi peritonitis umum.
3) Apendisitis rekurens dapat didiagnosa jika adanya riwayat serangan nyeri berulang di perut
kanan bawah yang mendorong dilakukannya apendektomi dan hasil patologi menunjukkan
peradangan akut. Kelainan ini terjadi bila serangan apendisitis akut pertama kali sembuh
spontan. Pada apendisitis rekurens biasanya dilakukan apendektomi karena penderita sering
mengalami serangan akut.
4) Appendicitis Infiltrat
Appendicitis infiltrat adalah proses radang appendiks yang penyebarannya dapat
dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum, kolon dan peritoneum sehingga membentuk
gumpalan massa flegmon yang melekat erat satu dengan yang lainnya
16
5) Appendicitis Abses
Appendicitis abses terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi nanah (pus),
biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrocaecal, subcaecal, dan pelvic.
6) Apendisitis kronik dapat menegakkan diagnosa jika ditemukan adanya riwayat nyeri perut
kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik apendiks secara makroskopik dan
mikroskopik. Kriteria mikroskopik apendisitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding
apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama
dimukosa dan adanya sel inflamasi kronik.
17
Patofisiologi APP
18
3.8. Diagnosis
Pada anamnesis penderita akan mengeluhkan nyeri atau sakit perut. Ini terjadi karena
hiperperistaltik untuk mengatasi obstruksi dan terjadi pada seluruh saluran cerna, sehingga
nyeri viseral dirasakan pada seluruh perut. Muntah atau rangsangan viseral akibat aktivasi
n.vagus. Obstipasi karena penderita takut untuk mengejan. Panas akibat infeksi akut jika
timbul komplikasi. Gejala lain adalah demam yang tidak terlalu tinggi, antara 37,5 -38,5 C.
Tetapi jika suhu lebih tinggi, diduga sudah terjadi perforasi (Departemen Bedah UGM,
2010).
Pada pemeriksaan fisik yaitu pada inspeksi, penderita berjalan membungkuk sambil
memegangi perutnya yang sakit, kembung bila terjadi perforasi, dan penonjolan perut bagian
kanan bawah terlihat pada apendikuler abses (Departemen Bedah UGM, 2010).
Pada palpasi, abdomen biasanya tampak datar atau sedikit kembung. Palpasi dinding
abdomen dengan ringan dan hati-hati dengan sedikit tekanan, dimulai dari tempat yang jauh
dari lokasi nyeri. Status lokalis abdomen kuadran kanan bawah:
● Nyeri tekan (+) Mc. Burney. Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan kuadran kanan
bawah atau titik Mc. Burney dan ini merupakan tanda kunci diagnosis.
● Nyeri lepas (+) karena rangsangan peritoneum. Rebound tenderness (nyeri lepas
tekan) adalah nyeri yang hebat di abdomen kanan bawah saat tekanan secara tiba-tiba
dilepaskan setelah sebelumnya dilakukan penekanan perlahan dan dalam di titik Mc.
Burney.
● Defens muskuler (+) karena rangsangan m. Rektus abdominis. Defence muscular
adalah nyeri tekan seluruh lapangan abdomen yang menunjukkan adanya rangsangan
peritoneum parietale.
● Rovsing sign (+). Rovsing sign adalah nyeri abdomen di kuadran kanan bawah apabila
dilakukan penekanan pada abdomen bagian kiri bawah, hal ini diakibatkan oleh
adanya nyeri lepas yang dijalarkan karena iritasi peritoneal pada sisi yang berlawanan.
● Psoas sign (+). Psoas sign terjadi karena adanya rangsangan muskulus psoas oleh
peradangan yang terjadi pada apendiks.
● Obturator sign (+). Obturator sign adalah rasa nyeri yang terjadi bila panggul dan
lutut difleksikan kemudian dirotasikan ke arah dalam dan luar secara pasif, hal
tersebut menunjukkan peradangan apendiks terletak pada daerah hipogastrium.
19
(Departemen Bedah UGM, 2010)
Pada perkusi akan terdapat nyeri ketok. Auskultasi akan terdapat peristaltik normal,
peristaltik tidak ada pada illeus paralitik karena peritonitis generalisata akibat
apendisitis perforata. Auskultasi tidak banyak membantu dalam menegakkan
diagnosis apendisitis, tetapi kalau sudah terjadi peritonitis maka tidak terdengar bunyi
peristaltik usus. Pada pemeriksaan colok dubur (Rectal Toucher) akan terdapat nyeri
pada jam 9-12 (Departemen Bedah UGM, 2010).
Selain itu, untuk mendiagnosis apendisitis juga dapat digunakan skor Alvarado, yaitu:
Skor
Anoreksia 1
Nyeri lepas 1
Neutrofilia > 75 % 1
Total 10
20
Nilai sensitivitas 56.2%, specifisitas 80%, positive predictive value 96.6% dan negative
predictive values 14%. (Tanrikulu et al, 2016)
Surgical Medical
5. Mesenteric Adenitis
6. Meckel’s Diverticulitis
7. Pancreatitis
Urological Gynaecology
21
● Leukosit darah
b) Urinalisis
Sekitar 10% pasien dengan nyeri perut memiliki penyakit saluran kemih. Pemeriksaan
laboratorium urin dapat mengkonfirmasi atau menyingkirkan penyebab urologi yang
menyebabkan nyeri perut. Meskipun proses inflamasi apendisitis akut dapat menyebabkan
piuria, hematuria, atau bakteriuria sebanyak 40% pasien, jumlah eritrosit pada urinalisis yang
melebihi 30 sel per lapangan pandang atau jumlah leukosit yang melebihi 20 sel per lapangan
pandang menunjukkan terdapatnya gangguan saluran kemih.
22
c) Radiografi Konvensional
Pada foto polos abdomen, meskipun sering digunakan sebagai bagian dari pemeriksaan
umum pada pasien dengan abdomen akut, jarang membantu dalam mendiagnosis apendisitis
akut. Pasien dengan apendisitis akut, sering terdapat gambaran gas usus abnormal yang non
spesifik.
d) Ultrasonografi
Sensitivitas 84.8%, spesifisitas 83.3%, positive predictive value 93.3% dan negative
predictive 66.7%. Sensitivitas dan spesifisitas pada laki-laki lebih tinggi 95.7% dan 88.2%,
dan pada wanita 84.6% dan 71.4%. (Al-Ajerami.Y, 2012)
e) Appendichogram
23
Appendicogram merupakan pemeriksaan berupa foto barium usus buntu yang dapat
membantu melihat terjadinya sumbatan atau adanya kotoran (skibala) di dalam lumen usus
buntu (Sanyoto, 2007).
Pada penelitian yang dilakukan di USU. Nilai sensitivitas 97.8%, spesifisitas 50%,
positive predictive value 93.7%, dan negative predictive value 75% pada appendicogram.
(Hasya M.N. 2011)
Pemeriksaan CT scan merupakan pemeriksaan dengan tingkat akurasi yang sangat tinggi
untuk mendiagnosis apendisitis. Walau demikian risiko paparan radiasi dan kontras, serta
biaya yang cukup tinggi membuat pemeriksaan ini disarankan pada kondisi klinis yang
meragukan dengan hasil pemeriksaan laboratorium dan USG yang tidak konklusif
Pemeriksaan MRI juga memiliki tingkat akurasi yang sangat tinggi serta tidak
memiliki risiko radiasi. Walau demikian, keterbatasan biaya dan ketersediaan alat membuat
pemeriksaan ini tidak digunakan secara luas, khususnya di negara berkembang seperti
Indonesia
Pada CT scan Spesifisitas 93.6% (95% CI, 85.6-97.9%) dan 94.3% (95% CI, 90.2-
97%). Pada MRI sensitivitas dan specificitas adalah 85.9% (95% CI, 76.2-92.7%) dan 93.8%
(95% CI, 89.7-96.7%) untuk unenhanced MRI, 93.6% (95% CI, 85.6-97.9%) dan 94.3%
(95% CI, 90.2-97%) untuk contrast-enhanced MRI.
Pengobatan tunggal yang terbaik untuk usus buntu yang sudah meradang/apendisitis
akut adalah dengan jalan membuang penyebabnya (operasi appendektomi). Pasien biasanya
telah dipersiapkan dengan puasa antara 4 sampai 6 jam sebelum operasi dan dilakukan
pemasangan cairan infus agar tidak terjadi dehidrasi. Pembiusan akan dilakukan oleh dokter
ahli anastesi dengan pembiusan umum atau spinal/lumbal. Pada umumnya, teknik
24
konvensional operasi pengangkatan usus buntu dengan cara irisan pada kulit perut kanan
bawah di atas daerah apendiks (Sanyoto, 2007).
Perbaikan keadaan umum dengan infus, pemberian antibiotik untuk kuman gram
negatif dan positif serta kuman anaerob, dan pemasangan pipa nasogastrik perlu dilakukan
sebelum pembedahan (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).
Alternatif lain operasi pengangkatan usus buntu yaitu dengan cara bedah laparoskopi.
Operasi ini dilakukan dengan bantuan video camera yang dimasukkan ke dalam rongga perut
sehingga jelas dapat melihat dan melakukan appendektomi dan juga dapat memeriksa organ-
organ di dalam perut lebih lengkap selain apendiks. Keuntungan bedah laparoskopi ini selain
yang disebut diatas, yaitu luka operasi lebih kecil, biasanya antara satu dan setengah
sentimeter sehingga secara kosmetik lebih baik (Sanyoto, 2007).
a) Pencegahan Primer
Berbagai penelitian telah melaporkan hubungan antara konsumsi serat dan insidens
timbulnya berbagai macam penyakit. Hasil penelitian membuktikan bahwa diet tinggi serat
mempunyai efek proteksi untuk kejadian penyakit saluran pencernaan. Serat dalam makanan
mempunyai kemampuan mengikat air, selulosa, dan pektin yang membantu mempercepat
sisi-sisa makanan untuk diekskresikan keluar sehingga tidak terjadi konstipasi yang
mengakibatkan penekanan pada dinding kolon.
25
Makanan adalah faktor utama yang mempengaruhi pengeluaran feces. Makanan yang
mengandung serat penting untuk memperbesar volume feces dan makan yang teratur
mempengaruhi defekasi. Individu yang makan pada waktu yang sama setiap hari mempunyai
suatu keteraturan waktu, respon fisiologi pada pemasukan makanan dan keteraturan pola
aktivitas peristaltik di kolon
Frekuensi defekasi yang jarang akan mempengaruhi konsistensi feces yang lebih
padat sehingga terjadi konstipasi. Konstipasi menaikkan tekanan intracaecal sehingga terjadi
sumbatan fungsional appendiks dan meningkatnya pertumbuhan flora normal kolon.
Pengerasan feces memungkinkan adanya bagian yang terselip masuk ke saluran appendiks
dan menjadi media kuman/bakteri berkembang biak sebagai infeksi yang menimbulkan
peradangan pada appendiks.
b) Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder meliputi diagnosa dini dan pengobatan yang tepat untuk
mencegah timbulnya komplikasi.
3.13.Komplikasi
Abses
26
Abses merupakan peradangan appendiks yang berisi pus. Teraba massa lunak di
kuadran kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini mula-mula berupa flegmon dan
berkembang menjadi rongga yang mengandung pus. Hal ini terjadi bila appendicitis gangren
atau mikroperforasi ditutupi oleh omentum
Perforasi
Perforasi adalah pecahnya appendiks yang berisi pus sehingga bakteri menyebar ke
rongga perut. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam pertama sejak awal sakit, tetapi
meningkat tajam sesudah 24 jam. Perforasi dapat diketahui praoperatif pada 70% kasus
dengan gambaran klinis yang timbul lebih dari 36 jam sejak sakit, panas lebih dari 38,5 c,
tampak toksik, nyeri tekan seluruh perut, dan leukositosis terutama polymorphonuclear
(PMN). Perforasi, baik berupa perforasi bebas maupun mikroperforasi dapat menyebabkan
peritonitis.
Peritonitis
Peritonitis disertai rasa sakit perut yang semakin hebat, muntah, nyeri abdomen,
demam, dan leukositosis.
3.14 Prognosis
27
Alasan adanya kemungkinan ancaman jiwa dikarenakan peritonitis di dalam rongga
perut ini menyebabkan operasi usus buntu akut/emergensi perlu dilakukan secepatnya.
Kematian pasien dan komplikasi hebat jarang terjadi karena usus buntu akut. Namun hal ini
bisa terjadi bila peritonitis dibiarkan dan tidak diobati secara benar (Sanyoto, 2007).
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien An. I, usia 9 tahun datang dengan keluhan nyeri perut kanan bawah yang tiba-tiba
dirasakan sejak 1 hari yang lalu, nyeri perut dirasakan terus menerus nyeri dirasakan memberat saat
perut ditekan dan saat batuk. Nyeri dirasakan seperti ditusuk-tusuk dan semakin tajam apabila pasien
bergerak sehingga pasien tidak seaktif dulu dan nyeri berkurang apabila kaki ditekuk. Nyeri tidak
berpindah-pindah. Pasien memiliki kebiasaan suka jajan es dan makan makanan pedas.
Pada pemeriksaan fisik, tanda vital dalam batas normal dan ditemukan nyeri tekan pada perut
kanan bawah di titik McBurney dengan dinyatakan pasien Vas 7, Psoas sign (+) Obturatur Sign (+).
28
Diagnosis pasien ini ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik pasien menunjukkan bahwa pasien adanya akut
abdomen di perut kanan bawah, pada pemeriksaan lab terdapat leukositosis dan Neutrophil >75%.
Maka di diagnosa dengan Akut Appendisitis.
DAFTAR PUSTAKA
Guyton, H., 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta
29
Hasya M.N. 2011, Reliabilitas Pemeriksaan Appendicogram dalam Penegakan Diagnosis
Apendisitis di RSUD Dr. Pirngadi Medan Periode 2008-2011.USU. diakses pada
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/31374.
Hoyt. D. B., Mackersie. R. C., 2009, Abdominal Injuries in Essential . Surgical practice. 2nd
Ed, John Wright, Bristol
Sabiston, D., 1994. Buku Ajar Bedah: Essentials Of Surgery. Bagian 2. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta
Schrock. T. R., 2008, Peritonitis dan Massa abdominal dalam Ilmu Bedah, Ed.7, alih bahasa
dr. Petrus Lukmanto, EGC, Jakarta
Sjamsuhidajat, R., dan Jong, W., 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi revisi. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta.
Soeparman, 1998. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Balai Penerbit FKUI. Jakarta
Tarinkulu C.S et al. 2016. The predictive value of Alvarado score, inflammatory parameters
and ultrasound imaging in the diagnosis of acute appendicitis. Turkish journal of surgery.
Diakses pada : https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4942156/
Way, L., Doherty, G., 1994. Current Diagnosis & Treatment. Edisi 11 Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta
Wilson. L. M., Lester. L .B., 2008, Usus kecil dalam Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit, Ed.4, alih bahasa dr. Peter Anugrah, EGC, Jakarta.
30