Anda di halaman 1dari 10

2.

1 Identitas Jurnal

Jurnal Effects of Covid-19 Lockdown on Mental Health and Sleep Disturbances in Italy
merupakan jurnal yang ditulis oleh Maria Rosaria Gualano et.al. Dia adalah ilmuwan yang ahli di
bidangnya sehingga dapat dianggap mampu untuk menulis karya ini yang sesuai dengan bidang
keahlian yang dimilikinya

Nama Penulis Lembaga Penulis

Maria Rosario Gualano et.al. Department of Public Health Sciences


and Paediatrics, University of Torino,
Italy

Jurnal Effects of Covid-19 Lockdown on Mental Health and Sleep Disturbances in Italy
dipublikasikan pada tahun 2020 yang merupakan terbitan International Journal of
Environmental Research and Public Health. Jurnal ini juga dapat diakses melalui aplikasi jurnal
berbasis kesehatan, seperti MDPI, Basel, Switzerland.

2.2 Tijauan Pustaka


2.2.1 Coronavirus
Coronavirus atau virus corona merupakan keluarga besar virus yang menyebabkan
infeksi saluran pernapasan atas ringan hingga sedang, seperti penyakit flu. Banyak orang
terinfeksi virus ini, setidaknya satu kali dalam hidupnya.
Namun, beberapa jenis virus corona juga bisa menimbulkan penyakit yang lebih serius, seperti:

● Middle East Respiratory Syndrome (MERS-CoV).


● Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS-CoV).
● Pneumonia.

SARS yang muncul pada November 2002 di Tiongkok, menyebar ke beberapa negara lain.
Mulai dari Hongkong, Vietnam, Singapura, Indonesia, Malaysia, Inggris, Italia, Swedia, Swiss,
Rusia, hingga Amerika Serikat. Epidemi SARS yang berakhir hingga pertengahan 2003 itu
menjangkiti 8.098 orang di berbagai negara. Setidaknya 774 orang mesti kehilangan nyawa
akibat penyakit infeksi saluran pernapasan berat tersebut.

Sampai saat ini terdapat tujuh coronavirus (HCoVs) yang telah diidentifikasi, yaitu:

● HCoV-229E.
● HCoV-OC43.
● HCoV-NL63.
● HCoV-HKU1.
● SARS-COV (yang menyebabkan sindrom pernapasan akut).
● MERS-COV (sindrom pernapasan Timur Tengah).
● COVID-19 atau dikenal juga dengan Novel Coronavirus (menyebabkan wabah
pneumonia di kota Wuhan, Tiongkok pada Desember 2019, dan menyebar ke negara
lainnya mulai Januari 2020. Indonesia sendiri mengumumkan adanya kasus covid 19 dari
Maret 2020

Faktor Risiko

Siapa pun dapat terinfeksi virus corona. Akan tetapi, bayi dan anak kecil, serta orang dengan
kekebalan tubuh yang lemah lebih rentan terhadap serangan virus ini. Selain itu, kondisi musim
juga mungkin berpengaruh. Contohnya, di Amerika Serikat, infeksi virus corona lebih umum
terjadi pada musim gugur dan musim dingin.

Di samping itu, seseorang yang tinggal atau berkunjung ke daerah atau negara yang rawan virus
corona, juga berisiko terserang penyakit ini. Misalnya, berkunjung ke Tiongkok, khususnya kota
Wuhan, yang pernah menjadi wabah COVID-19 yang bermulai pada Desember 2019.

Gejala

Virus corona bisa menimbulkan beragam gejala pada pengidapnya. Gejala yang muncul ini
bergantung pada jenis virus corona yang menyerang, dan seberapa serius infeksi yang terjadi.
Berikut beberapa gejala virus corona yang terbilang ringan:
● Hidung beringus.
● Sakit kepala.
● Batuk.
● Sakit tenggorokan.
● Demam.
● Merasa tidak enak badan.

Hal yang perlu ditegaskan, beberapa virus corona dapat menyebabkan gejala yang parah.
Infeksinya dapat berubah menjadi bronkitis dan pneumonia (disebabkan oleh COVID-19), yang
mengakibatkan gejala seperti:

● Demam yang mungkin cukup tinggi bila pasien mengidap pneumonia.


● Batuk dengan lendir.
● Sesak napas.
● Nyeri dada atau sesak saat bernapas dan batuk.

Infeksi bisa semakin parah bila menyerang kelompok individu tertentu. Contohnya, orang
dengan penyakit jantung atau paru-paru, orang dengan sistem kekebalan yang lemah, bayi, dan
lansia.

Komplikasi

Virus corona yang menyebabkan penyakit SARS bisa menimbulkan komplikasi pneumonia, dan
masalah pernapasan parah lainnya bila tak ditangani dengan cepat dan tepat. Selain itu, SARS
juga bisa menyebabkan kegagalan pernafasan, gagal jantung, hati, dan kematian.

Hampir sama dengan SARS, novel coronavirus juga bisa menimbulkan komplikasi yang serius.
Infeksi virus ini bisa menyebabkan pneumonia, sindrom pernapasan akut, gagal ginjal, dan
bahkan kematian

2.2.2 Lockdown, Karantina dan isolasi


Denmark dan Italia menjadi dua negara yang sudah memberlakukan lockdown karena
virus corona. Di beberapa negara lain juga sudah melakukan lockdown di tingkat kota atau
daerah seperti Wuhan, Daegu, dan Manila. Lockdown merupakan salah satu situasi di mana
orang tidak diizinkan masuk atau meninggalkan gedung atau area secara bebas karena sebuah
keadaan darurat. Lockdown juga bisa diartikan sebagai protokol darurat yang biasanya mencegah
orang meninggalkan suatu area. Protokol ini biasanya hanya bisa diajukan oleh seseorang dalam
posisi otoritas seperti pemimpin negara atau daerah
Karantina adalah suatu tempat penampungan yang biasanya lokasi tertentu dibuat sejauh
mungkin dari keramaian untuk dapat memastikan apakah orang-orang yang dikarantina benar-
benar terbebas dari virus. Periode isolasi menurunkan kemungkinan orang dapat menularkan
penyakit ke orang lain. Tak seperti isolasi yang diperuntukkan bagi orang yang telah terinfeksi,
karantina tidak hanya diperuntukkan bagi orang sakit saja. Orang yang tampak sehat dapat
menyebarkan patogen tanpa pernah tahu bahwa mereka memilikinya. Inilah yang membuat
karantina penting dilakukan.
Isolasi yaitu sebuah langkah memisahkan orang sakit yang memiliki penyakit menular
dari orang yang tidak sakit. Isolasi memungkinkan orang yang terinfeksi menjauh dari orang
sehat untuk mencegah penyebaran penyakit. Isolasi bisa dilakukan oleh pihak medis yang
berwenang atau dilakukan secara mandiri. Dalam istilah medis, isolasi merupakan salah satu dari
beberapa tindakan yang dapat diambil untuk menerapkan pengendalian infeksi

2.2. 3 Hubungan antara Mental Health (MH) dan Lockdown

Efek karantina telah dieksplorasi selama wabah masa lalu, seperti selama wabah SARS
pada tahun 2003 dan Ebola pada tahun 2014, menunjukkan bahwa dampak MH dapat bersifat
luas, masif dan tahan lama. Diantara konsekuensi karantina, terdapat gangguan stres akut,
kecemasan, lekas marah, konsentrasi dan keraguan yang buruk, prestasi kerja yang memburuk,
pasca-trauma gangguan stres, tekanan psikologis tinggi, gejala depresi dan insomnia.

Hubungan antara kesehatan mental dan kualitas hubungan telah ditemukan dalam
beberapa penelitian sebelumnya. Ada banyak bukti yang menunjukkan bahwa individu yang
menikah menikmati kesehatan mental yang lebih baik daripada individu yang belum pernah
menikah dan yang sudah menikah. Pada saat COVID-19, survei dari India menunjukkan bahwa
peserta yang menikah memiliki peluang 40% lebih rendah untuk mengembangkan kecemasan
selama Lockdown COVID-19 daripada peserta yang belum menikah. Namun, contoh berikut
menunjukkan bahwa hubungan antara pernikahan / hubungan dan kesehatan mental tampaknya
dimoderasi oleh kualitas pernikahan / hubungan. Menikah itu sendiri tidak menguntungkan
secara universal, sebaliknya, kepuasan dan dukungan yang terkait dengan hubungan semacam itu
penting. Sebagai contoh, hasil dari Frech dan Williams menunjukkan bahwa pengaruh
pernikahan terhadap depresi bergantung pada kualitas hubungan perkawinan. Lebih lanjut, orang
yang belum menikah memiliki hasil kesehatan mental yang lebih baik daripada orang yang
menikah tidak bahagia. Temuan dari studi berbasis populasi di AS menunjukkan bahwa
perselisihan hubungan dapat dikaitkan dengan risiko yang lebih tinggi untuk gangguan mood dan
kecemasan. Hasil ini sejalan dengan survei berbasis populasi di Australia yang menunjukkan
bahwa kualitas hubungan yang lebih baik dikaitkan dengan lebih sedikit gejala depresi dan
kecemasan daripada kualitas hubungan yang lebih buruk. Selain itu, kurangnya kualitas
hubungan sosial ditemukan menjadi faktor risiko utama untuk depresi berat. Sebaliknya, kualitas
pernikahan yang tinggi dikaitkan dengan stres dan depresi yang lebih rendah, tetapi juga dengan
tekanan darah yang lebih rendah serta tidur gelombang lambat yang lebih tinggi.

2.3 Ringkasan Jurnal


2.3.1 Pendahuluan

Korona 2019 (Covid-19) telah diakui sebagai penyebab langsung dan tidak langsung
pada kesehatan mental (MH) yang dapat mengubah seseorang secara psikologis dan social,
dampak tersebut tidak hanya berlangsung saat pandemi namun juga dapat menetap di masa
depan. Efek karantina telah dieksplorasi disaat wabah pernafasan Akut di masa lalu seperti
Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) pada tahun 2003 dan Ebola pada tahun 2014, yang
menunjukkan bahwa dampak MH dapat bersifat luas, massif dan tahan lama. Diantara
konsekuensi dari karantina, terdapat gangguan stres akut, ansietas, iritabilitas, konsentrasi yang
buruk dan keraguan, kinerja yang memburuk, Post traumatic stress disorder, tekanan psikologis
yang tinggi, gejala depresi dan insomnia. Data yang ada sebelumnya yang dapat memprediksi
hasil MH sangat bertentangan, misalnya, usia, pendidikan, jenis kelamin dan memiliki anak telah
dianggap dengan dan tanpa terkait masalah psikologis. Selain itu, stressor utama MH selama
karantina dihubungkan dengan lamanya masa karantina, ketakutan akan terinfeksi, frustasi dan
kebosanan, persediaan yang tidak memadai dan informasi yang tidak memadai.

Penulis lain telah menguraikan bagaimana penelitian karantina ini tidak dapat di
bandingkan dengan studi-studi yang lalu, dimana pandemi ini mengakibatkan karantina dalam
jangka panjang dan menyeluruh di dunia, dimana individu dapat akses ke sarana digital untuk
menjaga komunikasi, pekerjaan dan pendidikan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Oleh
karena itu, diperlukan studi lanjut ada untuk mempelajari situasi saat ini dan untuk menentukan
sejauh mana dampak COVID-19 untuk memahami faktor penentu agar dapat dirancang
intervensi yang tepat.

Cina telah mempelajari lebih dalam mengenai respons psikologi pada karantina
COVID-19 dan temuan tersebut melaporkan prevalensi depresi selama karantina mencapai 37%,
dan prevalensi ansietas hingga 35%. Studi banding menemukan perbedaan yang signifikan dalam
prevalensi depresi dan ansietas antara individu di karantina (masing-masing 22,4% dan 12,9%)
dan orang yang tidak di karantina (11,9% dan 6,7%). Mempertimbangkan faktor-faktor yang
dapat memprediksi kesehatan mental, studi ini menunjukkan hasil yang bertentangan, seperti
jenis kelamin, yang dilaporkan dalam penelitian epidemi yang dilakukan sebelumnya. Jenis
kelamin memiliki hubungan yang signifikan dengan hasil kesehatan mental di beberapa karya
ilmiah, namun di karya yang lain asosiasi ini tidak signifikan. Di kelompok lain ditemukan
bahwa kaum muda dan individu yang mengalami masalah finansial lebih rentan dan mengalami
masalah kesehatan mental.

Di Eropa, Italia adalah negara pertama yang melakukan Lockdown nasional yang
dimulai pada 23 Februari dan meluas dan menjadi ketat pada tanggal 3 Mei dimana pada tanggal
3 April Lockdown seharusnya sudah selesai. Pada periode yang diundur ini, hanya, hanya
aktivitas yang penting yang diizinkan, dan hanya toko-toko penting yang diizinkan untuk dibuka,
individu diperbolehkan meninggalkan rumah mereka hanya untuk keperluan sehari-hari, seperti
untuk alasan kesehatan, belanja kebutuhan pokok dan bekerja (jika bekerja dari rumah tidak
memungkinan). Pada 3 Mei, jumlah total kasus COVID-19 yang dikonfirmasi di Italia adalah
210.717, dengan 28.884 kematian. Mengingat hal diatas, penelitian ini bertujuan untuk
memperkirakan dampak psikologis COVID-19 dan tindakan pembatasan yang terkait melalui
survei cross-sectional nasional yang mengevaluasi prevalensi gejala depresi, gejala ansietas dan
masalah pola tidur pada populasi umum di Italia pada minggu-minggu terakhir lockdown.
Hipotesis utama peneliti adalah dampaknya terhadap Kesehatan mental lebih konsisten dan
sebanding di semua negara yang menghadapi lockdown. Selain itu, tujuan lain adalah untuk
mengeksplorasi melalui model regresi apakah prediktor dan determinan yang dapat
mempengaruhi hasil MH tersebut dalam konteks unik ini. Tujuan dari analisis ini adalah untuk
mengidentifikasi kelompok yang berpotensi rentan atau kemungkinan faktor yang dapat
dimodifikasi agar memiliki dasar untuk membuat rencana yang spesifik dan rencana strategi
untuk mengurangi beban masalah kesehatan mental akibat karantina COVID-19.

2.3.2 Metoda
Pengambilan data dasar melalui studi cross-sectional yang dilakukan selama 14 hari
(tanggal 19 April sampai 3 Mei 2020) melalui questionnaire online yang didistribusi melalui
network sosial Department of Public Health Science (University of Torino). Semua subjek
memberikan konsen sebelum mereka berpartisipasi dalam penelitian. Penelitian dilakukan sesuai
dengan Deklarasi Helsinki, dan protokolnya adalah disetujui oleh Dewan Peninjau Internal dari
Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat (Universitas Torino). Jawaban yang terkumpul
dikeluarkan dari sampel akhir jika subjek memenuhi salah satu dari kriteria pengecualian (di
bawah umur atau tinggal di luar negeri selama lockdown). Partisipasi bersifat sukarela dan tanpa
kompensasi. Penelitian ini adalah bagian dari proyek Covid Collateral Impacts (COCOS) dan
difokuskan pada masalah MH dari subjek yang terlibat. Kuesioner mandiri ini terdiri dari empat
puluh sembilan item.
Bagian pertama diselidiki Karakteristik sosio-demografis subjek: usia, jenis kelamin,
kebangsaan, status perkawinan, tingkat pendidikan, pekerjaan, ketakutan kehilangan pekerjaan,
kerugian ekonomi dan riwayat penyakit kronis dinilai. Beberapa variabel independen diberi kode
dari item yang disebutkan di atas. Tingkat pendidikan dikelompokkan untuk mempertimbangkan
kemungkinan hubungan gelar di universitas sebagai hasil biner.
Bagian kedua menilai jumlah jam yang dihabiskan di internet, sumber informasi yang
digunakan adalah dengan mengambil data berapa kali subjek keluar dalam seminggu, apakah
subjek belanja online atau tidak, apakah responden menghindari aktivitas fisik karena takut
cedera atau tekanan rekan kerja (peer-pressure) dan kebiasaan memakai masker saat keluar.
Pada bagian ketiga, gejala depresi diselidiki melalui Patient Health Questionnaire-2
(PHQ-2). Ansietas diukur oleh Generalized Anxiety Disorder-2 (GAD-2). Skor 3 atau lebih
menunjukkan kemungkinan depresi dan ansietas mayor. Selain itu, jika subjek menyatakan
menderita gangguan tidur, Insomnia Severity Index (ISI) digunakan.
Terakhir, bagian keempat mengevaluasi akses pada fasilitas Kesehatan (HCA). Secara
khusus, survei dinilai pengobatan mandiri dan apakah layanan medis terjadwal telah ditunda.
Analisis deskriptif dilakukan untuk semua variabel. Tes Shapiro-Wilk digunakan untuk
menguji distribusi normal variabel yang kontinu. Untuk menentukan perbedaan antar kelompok
ditentukan oleh masing-masing hasil, uji chi-square (bila sesuai, uji pasti Fisher) dan uji Mann –
Whitney U (bila sesuai, uji Kruskal-Wallis) telah dihitung. Regresi logistik univariabel dan
multivariabel dilakukan untuk menilai pengaruh variabel independen pada setiap hasil biner
(hasil dinyatakan sebagai Odds Ratios (OR), 95% CI). Kovariat yang termasuk dalam model
multivariabel dipilih menggunakan proses seleksi dua langkah. Model tetap digunakan untuk
kovariat dengan nilai p univariable <0,05, dan proses seleksi mundur bertahap digunakan untuk
kovariat dengan nilai p univariable <0,25 [21], dan dengan usia dan jenis kelamin sebagai
perancu potensial. SPSS (v25) digunakan dan dua sisi p-value <0,05 dianggap signifikan. Nilai
yang hilang dieksklusi.

2.3.3 Hasil
Usia memiliki signifikansi lebih rendah pada kelompok yang mengalami depresi. Begitu
pula dengan perbedaan yang signifikan berdasarkan adanya depresi dicatat dengan
mempertimbangkan status perkawinan, perjuangan ekonomi dan waktu yang dihabiskan di
internet. Prevalensi gejala depresi lebih rendah pada kelompok yang menggunakan koran sebagai
sumber informasi dan kelompok yang selalu memakai masker saat keluar. Sebaliknya, prevalensi
lebih tinggi di antara subjek yang takut meninggalkan rumah untuk kebutuhan mereka dan di
subjek yang menghindari aktivitas oleh karena takut cedera atau karena peer pressure.
Usia memiliki signifikansi yang lebih rendah pada kelompok yang mengalami gangguan
ansietas. Namun, jenis kelamin, status perkawinan, tingkat pendidikan dan pekerjaan sebagai
petugas kesehatan menghasilkan prevalensi pada ansietas. Perbedaan yang signifikan ditemukan
dalam kelompok yang menghabiskan waktu di internet, baik dengan mempertimbangkan jumlah
jam per hari atau variasi selama lockdown. Penggunaan sumber informasi yang berbeda-beda
seperti radio, surat kabar dan internet hasil menghasilkan perbedaan prevalensi juga. Prevalensi
lebih tinggi ditemukan pada kelompok yang menyatakan takut meninggalkan rumah, kelompok
yang menyatakan bahwa mereka menghindari aktivitas karena takut cedera, kelompok dalam
peer-pressure, dan di antara mereka yang mengkonsumsi obat. Sebaliknya, prevalensi lebih
rendah pada subjek yang menyatakan selalu memakai masker saat keluar dibandingkan yang
tidak.
Sama halnya dengan hasil depresi dan kecemasan, usia rata-rata dalam kelompok yang
mengalami gangguan pola tidur menghasilkan signifikansi yang lebih rendah. Kovariat terkait
dengan perbedaan dengan adanya gangguan tidur adalah jenis kelamin, aktivitas selama
lockdown, adanya masalah ekonomi, hewan peliharaan. Perbedaan dalam Prevalensi gangguan
tidur dikaitkan dengan penggunaan internet, mengingat jumlah penggunaan jam per hari atau
tren sejak awal lockdown. Namun, di penelitian ini tidak ada asosiasi yang ditemukan dengan
sumber informasi yang individu digunakan. Frekuensi yang meningkatkan gangguan tidur
dikaitkan dengan ketakutan untuk meninggalkan rumah, adanya keperluan untuk pengobatan
atau adanya menghindar yang diakibatkan oleh takut cedera atau karena peer pressure.
Dengan mengingat adanya gejala depresi, pada hasil model multivariable logistik regresi
menikah atau tinggal bersama orang lain menjadi faktor pelindung, begitu pula dengan memiliki
pekerjaan dan tidak mengalami masalah dalam ekonomi mengurangi risiko munculnya gejala
depresi dengan sangat signifikan. Namun sebaliknya, menghabiskan lebih banyak waktu di
internet sejak awal lockdown dan menghindari aktifitas oleh karena peer pressure meningkatkan
dan terhubung sejak awal penguncian risiko depresi
Hasil yang berbeda terjadi pada faktor risiko gangguan ansietas, yaitu yang lebih rentan
adalah perempuan dan usia, dimana usia memiliki faktor pelindung yang lemah. Selain itu,
menghindari aktivitas karena peer-pressure menghasilkan prediktor ansietas yang meningkat.
Pada kasus ini, gangguan pola tidur lebih banyak terjadi pada wanita) dan individu
dengan penyakit kronis. Tidak ada hubungan signifikan yang ditemukan dengan variabel lain
dari itu.

Anda mungkin juga menyukai