Anda di halaman 1dari 19

2.1.

Gangguan Napas pada Bayi Baru Lahir


Gangguan napas atau respiratory distress sering dijumpai pada hari-hari pertama
kehidupan dari bayi baru lahir. Gangguan napas didefinisikan sebagai suatu keadaan
meningkatnya kerja pernapasan yang ditandai dengan1:
 Takipnea: frekuensi napas di atas 60 kali per menit
 Retraksi: diartikan sebagai cekungan atau tarikan kulit antara iga dan atau di bawah
sternum (substernal) selama inspirasi
 Napas cuping hidung
 Merintih atau grunting: terdengar merintih atau menangis saat inspirasi
Pada kasus gangguan napas yang lebih berat, dapat ditemui sianosis sentral atau
bahkan henti napas. Empat gejala gangguan napas tersebut dapat pula ditemui pada
neonatus normal akibat perubahan fisiologis di mana terjadi reabsorbsi cairan dalam paru
bayi dan masa transisi dari sirkulasi fetal ke sirkulasi neonatal, tetapi umumnya gejala
tersebut tidak berlangsung lama. Bayi yang mengalami gangguan napas mempunyai risiko
untuk mengalami komplikasi berupa hipoksia, asidosis metabolik (termasuk hipoglikemia
dan hipotermia), serta masalah hematologi lain seperti anemia atau polisitemia. 1,2
Secara umum, terdapat beberapa kategori utama penyebab gangguan napas pada
neonatus, yaitu1,3:
a. Pneumonia, yang sering disebabkan oleh infeksi GBS (group B Streptococci)
b. TTN (transient tachypnea of the newborn), yang sering terjadi pada bayi dengan
persalinan sectio cesarean
c. Sindroma aspirasi meconium yang disebabkan oleh aspirasi air ketuban atau
meconium
d. Kebocoran udara pada paru, yang sering terjadi pada bayi kurang bulan (BKB) akibat
pemberian ventilasi tekanan positif yang berlebihan atau bisa juga terjadi spontan.
Kebocoran udara ini dapat menyebabkan pneumotoraks, emfisema interstisial,
pneumomediastinum, atau pneumopericardium.
e. Kelainan paru kongenital seperti hernia diafragmatika, silototoraks, pembentuka kista
adenomatoid paru kongenital, emfisema lobaris, kistra bronkogenik, dan sekuestrasi
paru.
f. Kelainan jantung kongenital
g. Sindrom gangguan napas (respiratory distress syndrome atau hyaline membrane
disease) yang paling sering terjadi pada BKB.

Tabel 1. Etiologi Gangguan Napas pada Neonatus

Sumber tabel: Marcdante K, Kliegman R. Nelson Essentials of Pediatrics. 8th ed. Philadelphia: Elsevier; 2019.

Kemudian, berdasarkan beratnya gejala, gangguan napas dapat dikelompokkan


menjadi gangguan napas ringan, sedang, dan berat. Hal ini akan mempengaruhi tata
laksana gangguan napas pada neonatus nantinya. Pengklasifikasian gangguan napas ini
dapat dibantu dengan menggunakan skor Downes. 1

Tabel 2. Skor Downes untuk Evaluasi Derajat Beratnya Gangguan Napas


Sumber tabel: Kosim M, Yunanto A, Dewi R, Satosa G, Usman A. Buku Ajar Neonatologi. 1st ed. Jakarta: Ikatan Dokter Anak
Indonesia; 2008.

Selain menggunakan skor Downes, terdapat kriteria yang juga dapat membantu
menentukan derajat berdasarkan buku pedoman manajemen bayi baru lahir. Kriteria
tersebut dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3. Klasifikasi Gangguan Napas pada Neonatus

Sumber tabel: Kosim M, Yunanto A, Dewi R, Satosa G, Usman A. Buku Ajar Neonatologi. 1st ed. Jakarta: Ikatan Dokter Anak
Indonesia; 2008.
2.1.1. Diagnosis Gangguan Napas pada Neonatus
Diagnosis dapat ditegakkan secara klinis ataupun dari hasil pemeriksaan analisis gas darah.
Perhitungan indeks oksigenasi akan menggambarkan beratnya hipoksemia pada neonatus.
Penilaian dari anamnesis, pemeriksaan fisis yang lengkap, serta pemeriksaan penunjang
perlu dilakukan untuk mendapatkan diagnosis yang tepat. Hal yang perlu diperhatikan
dalam penegakan diagnosis gangguan napas neonatus adalah gejala pernapasan yang
menonjol belum tentu menandakan adanya gangguan napas (misalkan dapat disebabkan
oleh asidosis metabolik), dan sebaliknya, gangguan napas berat dapat juga terjadi pada
bayi tanpa gejala distress pernapasan (seperti hipoventilasi dengan RR < 30 kali per menit
akibat intoksikasi obat atau infeksi). 1,2
Anamnesis perlu menanyakan mengenai riwayat keluarga, riwayat maternal,
prenatal, dan intrapartum. Riwayat maternal atau kehamilan perlu ditanyakan mengenai
usia kehamilan (apakah prematur, cukup bulan, atau lebih), riwayat ANC pada ibu, riwayat
diabetes pada ibu, riwayat infeksi pada ibu, perdarahan antepartum pada persalinan kurang
bulan, serta riwayat penggunaan obat-obatan. Kemudian perlu ditanyakan pula mengenai
perjalanan partus, apakah terdapat partus memanjang, ketuban pecah dini,
oligohidramnion, serta kondisi plasenta setelah bayi lahir. Kondisi neonatus sesaat setelah
lahir juga dapat memberikan data yang berguna dalam menegakkan diagnosis, seperti
tangis pada bayi (melengking, merintih, menangis kuat) dan tonus pada neonatus (tonus
baik, hipertoni, atonia, flasiditas).1,4
Pada pemeriksaan fisis, tanda spesifik yang dapat ditemukan mencakup1:
 Merintih atau grunting
 Sianosis
 Retraksi
 Tanda obstruksi saluran napas (obstruksi pada hidung seperti atresia choana
ditandai dengan kesulitan memasukan NGT melalui hidung)
 Air ketuban bercampur dengan mekonium atau berwarna hijau kekuningan pada
tali pusat
 Abdomen mengempis atau scaphoid abdomen, yang bisa menandakan adanya
hernia diafragmatika
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada neonatus dengan gangguan
napas mencakup1:
a. Pemeriksaan darah perifer lengkap
b. Analisis gas darah dilakukan untuk menetukan adanya gagal napas akut, asidosis
metabolik, asidosis respiratorik, serta memberikan gambaran perfusi jaringan.
c. Pemeriksaan elektrolit dan glukosa darah perlu dilakukan pada neonatus dengan
gangguan napas. Kadar glukosa darah diukur untuk menyingkirkan adanya
hipoglikemia. Kenaikan kadar bikarbonat, hipokalemia, hipokalsemia, hipofosfatemia
juga umum ditemukan pada neonatus pada gangguan napas.
d. Pemeriksaan radiologis dengan foto toraks dapat memberikan gambaran tertentu yang
mengarahkan pada salah satu jenis penyakit. Pada bayi dengan RDS, dapat ditemukan
gambaran retikulogranular yang difus bilateral (walaupun agak sulit dibedakan dengan
gambaran pneumonia) atau gambaran air bronchogram dengan paru yang tidak
berkembang. Pemeriksaan foto toraks juga dapat memberikan gambaran kardiomegali
pada bayi dengan asfiksia prenatal, penyakit jantung bawaan, malposisi pipa
endotrakeal, adanya pneumotoraks, dan berbagai gambaran lainnya.

2.1.2. Diagnosis Banding Gangguan Napas pada Neonatus


Secara garis besar, gangguan napas pada neonatus dapat terjadi akibat1-3:
a. Kelainan sistem respirasi:
 Obstruksi jalan napas, seperti obstruksi choana (oleh mukus atau atresia choana),
edema nasal, ensefalokel, makroglosi, mikrognati, struma kongenital pada leher,
hygroma kistik, laryngeal web, stenosis subglotik, hemangioma, laringomalasia
 Gangguan pada trakea, seperti trakeomalasia, fistula trakeoesofagus, stenosis
trakea, stenosis bronkial
 Penyebab pulmonal:
o Aspirasi meconium, darah, susu formula
o Respiratory distress syndrome (RDS)
o Atelectasis
o Kebocoran udara
o Transient tachypnea of the newborn (TTN)
o Pneumonia
o Kelainan kongenital: hernia diafragmatika, kistra atau tumor intratorakal,
agenesis atau hypoplasia paru, emfisema lobaris kongential
o Efusi, silototoraks
b. Sepsis
c. Sistem kardiovaskular: penyakit jantung bawaan, gagal jantung kongestif, syok
d. Metabolik: asidosis, hipotermia, hipertermia, gangguan elektrolit, hipoglikemia,
PPHN
e. Hematologi: anemia baik akibat kehilangan darah akut atau kronik, polisitemia
f. Sistem saraf pusat: depresi farmakologis, perdarahan pada SSP, malformasi
kongenital
Beberapa faktor risiko dapat memberi petunjuk yang penting sebagai faktor
predisposisi terhadap penyakit tertentu, seperti1,3:
 Bayi kurang bulan secara biokimiawi masih imatur akibat kekurangan sufaktan
yang melapisi rongga alveoli, sehingga berisiko mengalami hyaline membrane
disease (HMD) atau respiratory distress syndrome (RDS).
 Bayi yang mengalami kegawatan neonatal (resusitasi neonatus) mempunyai risiko
mengalami kehilangan darah dalam periode perinatal, aspirasi meconium,
pneumotoraks akibat resusitasi, serta hipertensi pulmonal dengan right to left shunt
 Riwayat DM pada ibu mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk mengalami
kelambatan pematangan paru, sehingga menyebabkan HMD
 Bayi lahir dengan operasi sesar mempunyai risiko terganggunya absorpsi cairan
paru, sehingga menyebabkan transient tachypnea of the newborn (TTN)
 Bayi yang lahir dari ibu yang menderita demam, ketuban pecah dini, atau air
ketuban berbau busuk mempunyai risiko mengalami pneumonia bakterialis atau
sepsis
 Bayi dengan kulit berwarna seperti mekonium mempunyai risiko menderita
sindrom aspirasi mekonium
Namun, berdasarkan pedoman manajemen bayi baru lahir, disebutkan bahwa tidak
perlu membedakan antara pneumonia, RDS, HMD, ataupun sindrom aspirasi mekonium
karena semuanya menimpulkan gangguan napas dan mendapatkan terapi yang sama. 4

2.1.3. Tata Laksana Gangguan Napas pada Neonatus


Secara umum, tata laksana gangguan napas pada neonatus dilakukan berdasarkan beratnya
gangguan napas sesuai dengan klasifikasi skor Downes (dapat dilihat pada tabel yang
ditampilkan sebelumnya). 1
Manajemen neonatus dengan gangguan napas berat mencakup1:
 Pemberian oksigen dengan kecepatan aliran sedang
 Bila terdapat tanda perburukan atau sianosis sentral, oksigen dapat dinaikkan pada
kecepatan aliran tinggi. Ventilasi mekanik dapat diberikan bila sianosis sentral
menetap walaupun sudah diberikan oksigen 100%.
 Pemberian oksigen dapat dikurangi secara bertahap jika bayi sudah mulai tanda
perbaikan (frekuensi napas menurun, retraksi berkurang, warna kulit membaik).
 Pipa nasogastrik dapat dipasang untuk mengosongkan cairan lambung dan udara,
serta pemberian ASI
 Bila pemberian oksigen sudah tidak diperlukan, maka bayi perlu dilatih untuk
menyusui.
 Gangguan napas yang disebabkan oleh infeksi sulit dibedakan dengan distress
karena penyebab lain, sehingga kultur darah dan pemberian antibiotik perlu
dilakukan sampai kemungkinan infeksi dapat disingkirkan.
 Bayi perlu dilakukan evaluasi setidaknya setiap 3 jam. Bila kondisi bayi setelah
terapi oksigen dihentikan 3 hari membaik (tampak kemerahan, minum dengan baik,
tidak ada keluhan lain), maka bayi dapat dipulangkan.
Manajemen neonatus dengan gangguan napas sedang mencakup1:
 Pemberian oksigen dengan kecepatan aliran sedang
 Bila pada bayi terdapat kecurigaan ke arah infeksi (demam, air ketuban bercampur
mekonium, riwayat ketuban pecah dini, infeksi intrauterin), maka perlu dilakukan
kultur darah dan diberikan antibiotik
 Bila kondisi bayi membaik, maka terapi oksigen dapat dikurangi secara bertahap.
 Pemasangan pipa nasogastrik untuk memberikan ASI perah setiap 2 jam. Bayi
dapat mulai dilatih menyusui stelah terapi oksigen dihentikan.
 Bayi dapat dipulangkan bila 3 hari setelah terapi oksigen dihentikan, kondisi bayi
tetap baik.
Sedangkan pada neonatus dengan gangguan napas ringan, umumnya hanya perlu
dilakukan pengamatan selama 6 jam berikutnya, dikarenakan sebagian besar gangguan
napas ringan pada bayi cukup bulan disebabkan oleh TTN (transient tachypnea of the
newborn) yang akan membaik dan sembuh sendiri tanpa pengobatan. Bila selama
pengamatan terdapat perburukan, maka bayi dapat diberikan tata laksana seperti gangguan
napas sedang atau berat, disesuaikan dengan gejala klinis yang dialami oleh neonatus. ASI
dapat diberikan bila bayi mampu menghisap. 1

2.2. Sepsis Neonatal


Sepsis neonatal adalah sindrom klinis penyakit sistemik akibat infeksi yang terjadi dalam 1
bulan pertama kehidupan. Insidens sepsis neonatal diperkirakan sebesar 1-8 dari 1000
kelahiran hidup, dan lebih sering terjadi pada bayi dengan berat lahir kurang dari 1500
gram, yaitu sekitar 13-27 per 1000 kelahiran hidup. Sepsis neonatal menjadi masalah
dikarenakan angka mortalitas yang tinggi, yaitu sekitar 13-25%. 5
Berdasarkan waktu terjadinya gejala, sepsis neonatal dibedakan menjadi awitan
dini dan awitan lanjut5:
a. Sepsis neonatal awitan dini (SNAD) yang timbul dalam 3 hari pertama, berupa
gangguan multisistem dengan gejala pernapasan yang lebih menonjol. SNAD umumnya
cepat berkembang menjadi syok septik dengan tingkat mortalitas yang tinggi. Faktor
risiko dari SNAD mencakup riwayat ibu dengan infeksi rahim, demam kecurigaan
infeksi berat, ataupun riwayat ketuban pecah dini.
b. Sepsis neonatal awitan lambat (SNAL) yang timbul setelah usia 3 hari (umumnya usia
di atas 1 minggu). Pada SNAL, umumnya ditemukan adanya fokus infeksi dan sering
disertai dengan meningitis.
Secara umum, terdapat beberapa faktor risiko yang menyebabkan neonatus lebih
rentan mengalami sepsis. Faktor risiko ini dapat dikelompokkan menjadi faktor risiko
mayor dan minor. Faktor risiko mayor pada sepsis neonatal mencakup16:
 Riwayat pecahnya ketuban selama lebih dari 24 jam
 Demam pada ibu dengan suhu lebih dari 380C
 Chorioamnionitis pada ibu
 Denyut jantung janin yang lebih dari 160 kali per menit
 Adanya riwayat prosedur obstetrik multipel
Sedangkan faktor risiko minor pada sepsis neonatal mencakup16:
 Riwayat pecahnya ketuban selama lebih dari 12 jam
 Cairan ketuban yang berbau busuk
 Demam pada ibu dengan suhu lebih dari 37,50C
 Skor APGAR yang kurang dari 5 pada menit kesatu, dan kurang dari 7 pada
menit kelima
 Prematuritas
 Kehamilan ganda
Diagnosis dari sepsis neonatal ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisis, dan pemeriksaan penunjang. Beberapa faktor risiko yang dapat digali dari anamnesis
mencakup5:
 Riwayat infeksi uterin pada ibu, demam pada ibu, ketuban pecah dini
 Riwayat persalinan, penolong dan lingkungan persalinan
 Riwayat lahir dengan asfiksia berat, bayi kurang bulan, berat lahir rendah
 Riwayat air ketuban keruh, purulent, bercampur mekonium
 Kondisi bayi yang malas minum, lunglai, mengantuk, rewel, muntah, tidak sadar,
kejang
Pemeriksaan fisis pada neonatus dengan sepsis neonatal dapat menunjukkan tanda-
tanda berikut 3,5:
 Suhu tubuh yang tidak normal (bisa hipotermia), letargis, iritabel, kondisi yang
memburuk secara cepat
 Muntah, diare, perut kembung, hepatomegaly
 Sianosis, petekiae, ruam, ikterik
 Takipnu, distres pernapasan, napas cuping hidung, merintih, retraksi, takikardia,
hipotensi
 Iritabilitas, penurunan kesadaran, kejang, ubun-ubun membonjol, kaku kuduk
Pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan 1,6,7:
 Leukositosis ataupun leukopenia, dengan peningkatan I/T ratio (immature to total
neutrophil ratio) yang lebih dari 0,2
 Peningkatan CRP
 Ditemukan kuman pada pemeriksaan kultur dan pewarnaan Gram, baik dari sampel
darah, urin, atau cairan serebrospinal
 Pada CSF dapat ditemukan peningkatan PMN, peningkatan leukosit, peningkatan kadar
protein, penurunan kadar glukosa. Umumnya hal ini ditemukan pada SNAL.
 Hipoglikemia, hiperglikemia, asidosis metabolik
 Peningkatan kadar bilirubin
Pemeriksaan foto toraks umumnya dilakukan pada sepsis neonatal dengan
gangguan pernapasan. Hal yang dapat ditemukan mencakup konsolidasi bilateral atau efusi
pleura pada pneumonia kongenital. Pada pneumonia akibat infeksi peripartum, dapat
didapatkan gambaran infiltrasi dan destruksi jaringan bronkopulmoner, atelectasis
segmental atau lobaris, gambaran retikulogranuler difus, ataupun efusi pleura. 1,5
Tata laksana dari sepsis neonatal mencakup pemberian antibiotik dan terapi
suportif. Antibiotik awal yang diberikan menurut PPM IDAI adalah ampisilin dan
gentamisin. Bila setelah 48 jam pemberian antibiotik kondisi bayi belum membaik dan
organisme tidak dapat ditemukan, maka ampisilin dapat diganti dengan sefotaksim.
Sedangkan pada sepsis nosocomial, pemberian antibiotik disesuaikan dengan pola kuman
setempat. Sepsis yang disertai dengan meningitis diberikan antibiotik selama 14 hari untuk
kuman Gram positif dan 21 hari untuk kuman Gram negatif. Pemberian antibiotik awal ini
diberikan hingga hasil kultur dan sensitivitas bakteri didapatkan. 1,5
Selain terapi antibiotik, neonatus juga perlu diberikan terapi suportif seperti
menjaga patensi jalan napas, terapi oksigen bila diperlukan, terapi cairan sesuai dengan
kondisi neonatus (terapi rumatan ataupun resusitasi untuk syok), pemberian nutrisi yang
adekuat, ataupun manajemen khusus lain pada kasus dengan kejang, gangguan elektrolit,
ataupun kasus yang memerlukan tata laksana pembedahan (misalnya hidrosefalus,
enterocolitis nekrotikans). 1,5

Tabel 4. Dosis Antibiotik untuk Sepsis Neonatal


Sumber tabel: Pudjiadi A, Hegar B, Handryastuti S, Idris N, Gandaputra E, Harmoniati E. Pedoman pelayanan medis ikatan dokter anak
indonesia. 1st ed. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2009

2.3. Hiperbilirubinemia pada Bayi Baru Lahir


Ikterus neonatorum adalah kondisi terjadinya penumpukan bilirubin di bawah kulit,
mukosa, dan konjungtiva pada bayi baru lahir. Warna kuning akan mulai tampak pada
mata bila kadar bilirubin total mencapai 5-7 mg/dl. Sedangkan hiperbilirubinemia pada
neonatus diartikan sebagai peningkatan kadar bilirubin plasma 2 standar deviasi atau lebih
dari kadar yang diharapkan sesuai usia bayi, atau lebih dari persentil 90. Penetapan
hiperbilirubinemia ini dilakukan berdasarkan kurva kadar bilirubin total normal yang
dikeluarkan oleh AAP pada tahun 2004. 1,9

Gambar 1. Kurva Kadar Bilirubin Normal pada Neonatus


Sumber gambar: Management of Hyperbilirubinemia in the Newborn Infant 35 or More Weeks of Gestation. PEDIATRICS.
2004;114(1):297-316.
Ikterus neonatal terjadi pada sekitar 60% bayi cukup bulan, dan 80% dari bayi
kurang bulan. Sebagian besar ikterus bersifat fisiologis. Penyebab ikterus neonatal
tersering adalah penumbukan bilirubin indirek atau tidak terkonjugasi. Sementara
kolestasis merupakan istilah yang digunakan untuk menjelaskan penumpukan bilirubin
direk atau terkonjugasi. Prinsip utama dalam ikterus neonatal adalah membedakan yang
fisiologis dan patologis. Ikterus pada neonatus disebut patologis bila1:
o Muncul sebelum usia 24 jam
o Meningkat lebih dari 5 mg/dl per hari
o Durasi lebih dari 8 hari pada bayi cukup bulan, atau 14 hari pada bayi prematur
o Disertai keadaan klinis yang tidak baik, seperti muntah, kejang, letargis, intoleransi
minum, instabilitas suhu, apnea, takikardia, atau berat badan turun.
Faktor risiko dari terjadinya ikterus patologis adalah berat lahir rendah, persalinan
prematur, serta riwayat ikterus neonatal pada kehamilan sebelumnya. 1,3

Gambar 2. Proses Metabolisme dan Ekskresi Bilirubin


Sumber gambar: Lissauer T, Clayden G. Illustrated Textbook of Paediatrics. 4th ed. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2020
Ikterus bukan suatu diagnosis, melainkan suatu tanda yang menunjukkan adanya
penyebab lain yang terjadi pada neonatus. Secara umum, ikterus neonatal dapat disebabkan
oleh produksi bilirubin yang berlebihan, gangguan konjugasi bilirubin, gangguan ekskresi
bilirubin, atau penyebab lainnya. Tabel 5 menunjukkan berbagai diagnosis banding pada
ikterus neonatal. 2

Tabel 5. Diagnosis Banding pada Ikterus Neonatorum


Penyebab Keterangan
Produksi Hemolysis Inkompatibilitas ABO, sindrom G6PD
Trauma lahir Sefalhematoma, memar
bilirubin
Polisitemia Ibu riwayat DM, efek samping dari delayed
berlebihan
clamping (>1 menit)
Gangguan Breastmilk jaundice, Gilbert syndrome, Crigler-Najjar syndrome
konjugasi
bilirubin
Terkait ASI Breastmilk jaundice Akibat kekurangan asupan ASI sehingga
terjadi peningkatan sirkulasi enterohepatik
(pada 7 hari pertama kehidupan)
Breastfeeding Akibat kadar progesterone ibu di ASI yang
jaundice tingggi, sehingga menghambat ambilan
bilirubin oleh hati
Ekskresi Masalah anatomis Atresia bilier, kista koledokus, Dubin-
bilirubin Johnson syndrome
terganggu
Kombinasi Prematuritas
Infeksi Sepsis, TORCH, ISK
Gangguan genetik Mikrosefal, wajah dismorfik
Penggunaan Diazepam, eritromisin, streptomisin, kloramfenikol, oksitosin, obat
obat-obatan golongan sulfa
Gangguan Hipotiroid kongenital, galaktosemia, Crigler-Najjar syndrome,
metabolik Gilbert syndrome

Diagnosis dari ikterus neonatarum ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisis,


dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis mencakup faktor-faktor risiko dari masing-masing
etiologi yang dapat menyebabkan ikterus neonatorum, dimulai dari golongan darah ibu dan
bayi, riwayat kehamilan, riwayat infeksi intrauterine, riwayat kuning pada persalinan
sebelumnya, praktik pemberian ASI, dll. Sedangkan pada pemeriksaan fisis, perlu
dilakukan identifikasi ikterus serta tanda-tanda penyebab ikterus patologis, seperti pucat,
petekiae, memar kulit yang berlebihan, hepatosplenomegali, penurunan berat badan, serta
tanda-tanda dehidraasi. Pada pemeriksaan fisis, estimasi kadar bilirubin dapat ditentukan
dengan metode Kramer, yaitu dengan mengamati warna kuning pada konjungtiva dan kulit
dengan penekanan di bawah sinar matahari. Sedangkan pada pemeriksaan penunjang dapat
dilakukan pemeriksaan1:
o kadar bilirubin total, direk, dan indirek
o golongan darah ibu dan bayi
o darah perifer lengkap
o apusan darah tepi
o pemeriksaan tambahan sesuai dengan kecurigaan penyakit, seperti: kadar enzim
G6PD, Coombs test, fungsi hati, retikulosit, urinalisis, dll

Gambar 3. Skor Kramer untuk Memprediksi Kadar Bilirubin Total Neonatus

Secara umum, penatalaksanaan dari ikterus neonatorum mencakup pemberian


asupan ASI yang adekuat serta memberikan terapi tambahan sesuai dengan indikasi. Terapi
tambahan yang dimaksud adalah dengan fototerapi dan transfusi tukar. Pemberian
fototerapi dan transfusi tukar umumnya hanya dilakukan pada fasilitas kesehatan tingkat
lanjutan. Indikasi dari pemberian fototerapi dan transfusi tukar ditentukan berdasarkan
kadar bilirubin serum dan usia neonatus, yang kemudian diplot pada grafik dari AAP.
Berikut adalah grafik penentuan fototerapi dan transfusi tukar pada ikterus neonatal. 9,10

Gambar 4. Kurva Penentuan Fototerapi pada Neonatus dengan Hiperbilirubinemia


Sumber gambar: Management of Hyperbilirubinemia in the Newborn Infant 35 or More Weeks of Gestation. PEDIATRICS.
2004;114(1):297-316.

Gambar 5. Kurva Penentuan Transfusi Tukar pada Neonatus dengan Hiperbilirubinemia


Sumber gambar: Management of Hyperbilirubinemia in the Newborn Infant 35 or More Weeks of Gestation. PEDIATRICS.
2004;114(1):297-316.

Ikterus neonatal patologis yang tidak ditata laksana dapat menyebabkan


ensefalopati akut dan kronis (kern ikterus), yaitu kerusakan neuron sistem saraf pusat
akibat toksisitas bilirubin. Manifestasi ensefalopati bilirubin akut mencakup hipotonus,
letargi, kejang, apneu, dan iritabilitas. Sedangkan pada kern ikterus dapat terjadi palsi
serebral, gangguan pendengaran, gangguan pertumbuhan gigi, serta retardasi mental.1

2.4. Pencegahan Transmisi Hepatitis B dari Ibu ke Anak


Infeksi virus hepatitis B merupakan masalah kesehatan dunia, di mana diperkirakan angka
pengidap hepatitis B pada populasi sehat mencapai 4-20,3% di Indonesia. Transmisi
hepatitis B dapat terjadi secara vertikal, yaitu dari ibu ke anak, maupun horizontal
(antarindividu melalui transfusi darah, jarum suntik yang tercemar, pisau cukur, tato,
ataupun transplantasi organ). Pada daerah endemik, transmisi umumnya terjadi secara
vertikal, terutama pada masa perinatal. 95% bayi yang tertular saat masa perinatal akan
mengalami hepatitis B kronik. Oleh karena itu, perlu dilakukan tindakan pencegahan
penularan hepatitis B secara vertikal, yaitu dengan melakukan deteksi dini pada ibu hamil
serta memberikan HBIg di bawah 24 jam pada bayi yang lahir dari ibu dengan hepatitis B.
11,12

Ibu dengan HBsAg reaktif perlu dirujuk ke rumah sakit untuk menetapkan status
penyakit hepatitis B, apakah berada pada imun reaktif atau sudah terjadi radang hati aktif.
Namun, bila tidak didapatkan masalah klinis, maka ibu dapat tetap melakukan ANC dan
persalinan di fasilitas kesehatan tingkat primer. Persalinan dapat dilakukan dengan cara
normal ataupun pembedahan sesuai dengan indikasi obstetrik. Namun, bayi yang lahir dari
ibu hamil dengan HBsAg reaktif tersebut perlu diberikan imunisasi HB0 dan HBIg dalam
waktu kurang dari 24 jam. Selanjutnya, imunisasi HB1, 2, dan 3 dapat mengikuti jadwal
imunisasi sesuai dengan program nasional ataupun rekomendasi IDAI (usia 2, 3, dan 4
bulan). 11,12
Kemudian, anak tersebut perlu dilakukan pemeriksaan HBsAg dan anti-HBs pada
usia 9-18 bulan, atau 1-2 bulan setelah serial vaksinasi selesai. Bila HBsAg negatif dan
anti-HBs >= 10 mIU/ml, maka anak tersebut dinyatakan aman dan terlindungi. Namun,
bila HBsAg negatif, dan antiHBs kurang dari 10 mIU/ml, maka anak harus dibeirkan
vaksinasi hepatitis B monovalen ulang sebanyak 3 kali, dengan jadwal 0, 1, dan 6 bulan.
Kemudian, akan dilakukan pemeriksaan ulang dari antiHBs setelah 1-3 bulan setelah
vaksinasi. Bila HBsAg masih positif, makan anak harus menerima evaluasi dan
pemantauan lebih lanjut dari dokter spesialis anak di rumah sakit. 11,12

Gambar 6. Alur Pencegahan dan Rujukan Hepatitis B Selama Kehamilan di Indonesia


Sumber gambar: Pedoman Program Pencegahan Penularan HIV, Sifilis & Hepatitis B dari Ibu ke Anak. Jakarta: Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia; 2019

Namun, pada kasus bayi dengan berat lahir rendah, terdapat beberapa hal yang
perlu diperhatikan terkait dengan pemberian imunisasi hepatitis B. IDAI dan AAP
memberikan rekomendasi, bahwa pada bayi dari ibu dengan HBsAg positif wajib diberikan
vaksin hepatitis B dengan HBIg dalam 12 jam setelah lahir. Kemudian pada bayi dengan
ibu HBsAg negatif, pemberian vaksin hepatitis B dapat segera diberikan dalam 24 jam
setelah lahir bila berat lahir 2000 gram atau lebih. Namun, bila berat lahir bayi kurang dari
2000 gram, maka vaksin diberikan pada usia 1 bulan, atau saat bayi dipulangkan dari
perawatan rumah sakit. Sedangkan pada kasus di mana status HBsAg ibu belum diketahui,
vaksin hepatitis B diberikan dalam 12 jam pertama setelah lahir, tanpa memandang berat
lahir. Pemberian HBIg pada kasus ini didasarkan dengan berat lahir. Bila berat lahir 2000
gram atau lebih, maka HBIg diberikan dalam 7 hari setelah lahir setelah hasil HBsAg ibu
terkonfirmasi positif, atau bila sampai 7 hari pun belum diketahui status HBsAg ibu, maka
HBIg tetap diberikan dalam 7 hari atau ketika bayi dipulangkan dari rumah sakit. Bila berat
lahir kurang dari 2000 gram, maka HBIg segera diberikan dalam 12 jam pertama, kecuali
status HBsAg dinyatakan negatif sebelum waktu yang ditentukan. 13,14

Gambar 7. Alur Pemberian Vaksinasi Hepatitis B pada Bayi Prematur


Sumber gambar: Elimination of Perinatal Hepatitis B: Providing the First Vaccine Dose Within 24 Hours of Birth. Pediatrics.
2017;140(3):e20171870.

Infeksi kronis dari hepatitis B lebih mudah terjadi pada onset usia yang semakin
muda. Seperti yang disebutkan sebelumnya, sekitar 90% dari bayi yang terinfeksi hepatitis
B akan mengalami infeksi kronik. Sedangkan pada anak yang terinfeksi hepatitis B pada
usia sebelum 6 tahun, diperkirakan 30% dari anak-anak tersebut mengalami infeksi kronik.
Infeksi kronik juga lebih mudah terjadi pada orang dengan imunosupresi (seperti menjalani
hemodialysis, infeksi HIV, atau dalam terapi steroid). Infeksi kronik dari HBV dapat
menyebabkan sirosis hepar, keganasan hepar, gagal hepar, hingga kematian. Berdasarkan
data dari CDC, sekitar 25% dari penderita infeksi kronik yang terinfeksi sejak usia anak
akan mengalami kematian akibat sirosis atau kanker hepar. Hal ini dapat dibandingkan
dengan penderita infeksi kronik hepatitis B yang terinfeksi pada usia dewasa, yang
diperkirakan sebanyak 15% akan menderita kematian akibat sirosis atau kanker hepar. 12
Status HBeAg pada ibu juga akan menentukan kemungkinan terjadinya infeksi
HBV pada bayi, karena pada dasarnya, HBeAg dapat menjadi penanda aktif atau tidaknya
infeksi HBV pada ibu. Pada bayi yang lahir dari ibu dengan HBsAg positif, terdapat
kemungkinan terjadi infeksi HBV sebessar 30% pada ibu dengan HBeAg negatif, dan 85%
pada ibu dengan HBeAg positif. Penelitian dari CDC menyatakan bahwa pemberian vaksin
hepatitis B dan HBIg saat lahir, disertai dengan vaksinasi serial hepatitis B yang lengkap
dapat menekan angka infeksi hingga 0,7-1,1%. Dengan demikian, pemberian post-
exposure prophylaxis pada bayi dengan ibu infeksi HBV menjadi sangat penting. 12
Seorang ibu dengan anak yang menderita infeksi HBV perlu mengetahui tanda-
tanda bahaya yang dapat muncul akibat infeksi HBV. Pada bayi, anak berusia di bawah 5
tahun, dan orang dewasa yang mengalami imunosupresi, umumnya infeksi bersifat
asimtomatik. Namun, pada anak di atas 5 tahun, remaja, dan dewasa, dapat timbul gejala
pada 30-50% kasus. Gejala yang timbul mencakup mual, muntah, nyeri perut, demam,
warna urin yang gelap, perubahan warna feses, hepatosplenomegali, dan ikterus. Dengan
mengenal tanda-tanda bahaya tersebut, diharapkan ketika anak yang menderita infeksi
HBV perinatal mengalami gejala tersebut, anak tersebut dapat segera mendapatkan tata
laksana yang sesuai untuk menangani berbagai komplikasi yang dapat terjadi. 11,12

Anda mungkin juga menyukai