Sumber tabel: Marcdante K, Kliegman R. Nelson Essentials of Pediatrics. 8th ed. Philadelphia: Elsevier; 2019.
Selain menggunakan skor Downes, terdapat kriteria yang juga dapat membantu
menentukan derajat berdasarkan buku pedoman manajemen bayi baru lahir. Kriteria
tersebut dapat dilihat pada tabel 3.
Sumber tabel: Kosim M, Yunanto A, Dewi R, Satosa G, Usman A. Buku Ajar Neonatologi. 1st ed. Jakarta: Ikatan Dokter Anak
Indonesia; 2008.
2.1.1. Diagnosis Gangguan Napas pada Neonatus
Diagnosis dapat ditegakkan secara klinis ataupun dari hasil pemeriksaan analisis gas darah.
Perhitungan indeks oksigenasi akan menggambarkan beratnya hipoksemia pada neonatus.
Penilaian dari anamnesis, pemeriksaan fisis yang lengkap, serta pemeriksaan penunjang
perlu dilakukan untuk mendapatkan diagnosis yang tepat. Hal yang perlu diperhatikan
dalam penegakan diagnosis gangguan napas neonatus adalah gejala pernapasan yang
menonjol belum tentu menandakan adanya gangguan napas (misalkan dapat disebabkan
oleh asidosis metabolik), dan sebaliknya, gangguan napas berat dapat juga terjadi pada
bayi tanpa gejala distress pernapasan (seperti hipoventilasi dengan RR < 30 kali per menit
akibat intoksikasi obat atau infeksi). 1,2
Anamnesis perlu menanyakan mengenai riwayat keluarga, riwayat maternal,
prenatal, dan intrapartum. Riwayat maternal atau kehamilan perlu ditanyakan mengenai
usia kehamilan (apakah prematur, cukup bulan, atau lebih), riwayat ANC pada ibu, riwayat
diabetes pada ibu, riwayat infeksi pada ibu, perdarahan antepartum pada persalinan kurang
bulan, serta riwayat penggunaan obat-obatan. Kemudian perlu ditanyakan pula mengenai
perjalanan partus, apakah terdapat partus memanjang, ketuban pecah dini,
oligohidramnion, serta kondisi plasenta setelah bayi lahir. Kondisi neonatus sesaat setelah
lahir juga dapat memberikan data yang berguna dalam menegakkan diagnosis, seperti
tangis pada bayi (melengking, merintih, menangis kuat) dan tonus pada neonatus (tonus
baik, hipertoni, atonia, flasiditas).1,4
Pada pemeriksaan fisis, tanda spesifik yang dapat ditemukan mencakup1:
Merintih atau grunting
Sianosis
Retraksi
Tanda obstruksi saluran napas (obstruksi pada hidung seperti atresia choana
ditandai dengan kesulitan memasukan NGT melalui hidung)
Air ketuban bercampur dengan mekonium atau berwarna hijau kekuningan pada
tali pusat
Abdomen mengempis atau scaphoid abdomen, yang bisa menandakan adanya
hernia diafragmatika
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada neonatus dengan gangguan
napas mencakup1:
a. Pemeriksaan darah perifer lengkap
b. Analisis gas darah dilakukan untuk menetukan adanya gagal napas akut, asidosis
metabolik, asidosis respiratorik, serta memberikan gambaran perfusi jaringan.
c. Pemeriksaan elektrolit dan glukosa darah perlu dilakukan pada neonatus dengan
gangguan napas. Kadar glukosa darah diukur untuk menyingkirkan adanya
hipoglikemia. Kenaikan kadar bikarbonat, hipokalemia, hipokalsemia, hipofosfatemia
juga umum ditemukan pada neonatus pada gangguan napas.
d. Pemeriksaan radiologis dengan foto toraks dapat memberikan gambaran tertentu yang
mengarahkan pada salah satu jenis penyakit. Pada bayi dengan RDS, dapat ditemukan
gambaran retikulogranular yang difus bilateral (walaupun agak sulit dibedakan dengan
gambaran pneumonia) atau gambaran air bronchogram dengan paru yang tidak
berkembang. Pemeriksaan foto toraks juga dapat memberikan gambaran kardiomegali
pada bayi dengan asfiksia prenatal, penyakit jantung bawaan, malposisi pipa
endotrakeal, adanya pneumotoraks, dan berbagai gambaran lainnya.
Ibu dengan HBsAg reaktif perlu dirujuk ke rumah sakit untuk menetapkan status
penyakit hepatitis B, apakah berada pada imun reaktif atau sudah terjadi radang hati aktif.
Namun, bila tidak didapatkan masalah klinis, maka ibu dapat tetap melakukan ANC dan
persalinan di fasilitas kesehatan tingkat primer. Persalinan dapat dilakukan dengan cara
normal ataupun pembedahan sesuai dengan indikasi obstetrik. Namun, bayi yang lahir dari
ibu hamil dengan HBsAg reaktif tersebut perlu diberikan imunisasi HB0 dan HBIg dalam
waktu kurang dari 24 jam. Selanjutnya, imunisasi HB1, 2, dan 3 dapat mengikuti jadwal
imunisasi sesuai dengan program nasional ataupun rekomendasi IDAI (usia 2, 3, dan 4
bulan). 11,12
Kemudian, anak tersebut perlu dilakukan pemeriksaan HBsAg dan anti-HBs pada
usia 9-18 bulan, atau 1-2 bulan setelah serial vaksinasi selesai. Bila HBsAg negatif dan
anti-HBs >= 10 mIU/ml, maka anak tersebut dinyatakan aman dan terlindungi. Namun,
bila HBsAg negatif, dan antiHBs kurang dari 10 mIU/ml, maka anak harus dibeirkan
vaksinasi hepatitis B monovalen ulang sebanyak 3 kali, dengan jadwal 0, 1, dan 6 bulan.
Kemudian, akan dilakukan pemeriksaan ulang dari antiHBs setelah 1-3 bulan setelah
vaksinasi. Bila HBsAg masih positif, makan anak harus menerima evaluasi dan
pemantauan lebih lanjut dari dokter spesialis anak di rumah sakit. 11,12
Namun, pada kasus bayi dengan berat lahir rendah, terdapat beberapa hal yang
perlu diperhatikan terkait dengan pemberian imunisasi hepatitis B. IDAI dan AAP
memberikan rekomendasi, bahwa pada bayi dari ibu dengan HBsAg positif wajib diberikan
vaksin hepatitis B dengan HBIg dalam 12 jam setelah lahir. Kemudian pada bayi dengan
ibu HBsAg negatif, pemberian vaksin hepatitis B dapat segera diberikan dalam 24 jam
setelah lahir bila berat lahir 2000 gram atau lebih. Namun, bila berat lahir bayi kurang dari
2000 gram, maka vaksin diberikan pada usia 1 bulan, atau saat bayi dipulangkan dari
perawatan rumah sakit. Sedangkan pada kasus di mana status HBsAg ibu belum diketahui,
vaksin hepatitis B diberikan dalam 12 jam pertama setelah lahir, tanpa memandang berat
lahir. Pemberian HBIg pada kasus ini didasarkan dengan berat lahir. Bila berat lahir 2000
gram atau lebih, maka HBIg diberikan dalam 7 hari setelah lahir setelah hasil HBsAg ibu
terkonfirmasi positif, atau bila sampai 7 hari pun belum diketahui status HBsAg ibu, maka
HBIg tetap diberikan dalam 7 hari atau ketika bayi dipulangkan dari rumah sakit. Bila berat
lahir kurang dari 2000 gram, maka HBIg segera diberikan dalam 12 jam pertama, kecuali
status HBsAg dinyatakan negatif sebelum waktu yang ditentukan. 13,14
Infeksi kronis dari hepatitis B lebih mudah terjadi pada onset usia yang semakin
muda. Seperti yang disebutkan sebelumnya, sekitar 90% dari bayi yang terinfeksi hepatitis
B akan mengalami infeksi kronik. Sedangkan pada anak yang terinfeksi hepatitis B pada
usia sebelum 6 tahun, diperkirakan 30% dari anak-anak tersebut mengalami infeksi kronik.
Infeksi kronik juga lebih mudah terjadi pada orang dengan imunosupresi (seperti menjalani
hemodialysis, infeksi HIV, atau dalam terapi steroid). Infeksi kronik dari HBV dapat
menyebabkan sirosis hepar, keganasan hepar, gagal hepar, hingga kematian. Berdasarkan
data dari CDC, sekitar 25% dari penderita infeksi kronik yang terinfeksi sejak usia anak
akan mengalami kematian akibat sirosis atau kanker hepar. Hal ini dapat dibandingkan
dengan penderita infeksi kronik hepatitis B yang terinfeksi pada usia dewasa, yang
diperkirakan sebanyak 15% akan menderita kematian akibat sirosis atau kanker hepar. 12
Status HBeAg pada ibu juga akan menentukan kemungkinan terjadinya infeksi
HBV pada bayi, karena pada dasarnya, HBeAg dapat menjadi penanda aktif atau tidaknya
infeksi HBV pada ibu. Pada bayi yang lahir dari ibu dengan HBsAg positif, terdapat
kemungkinan terjadi infeksi HBV sebessar 30% pada ibu dengan HBeAg negatif, dan 85%
pada ibu dengan HBeAg positif. Penelitian dari CDC menyatakan bahwa pemberian vaksin
hepatitis B dan HBIg saat lahir, disertai dengan vaksinasi serial hepatitis B yang lengkap
dapat menekan angka infeksi hingga 0,7-1,1%. Dengan demikian, pemberian post-
exposure prophylaxis pada bayi dengan ibu infeksi HBV menjadi sangat penting. 12
Seorang ibu dengan anak yang menderita infeksi HBV perlu mengetahui tanda-
tanda bahaya yang dapat muncul akibat infeksi HBV. Pada bayi, anak berusia di bawah 5
tahun, dan orang dewasa yang mengalami imunosupresi, umumnya infeksi bersifat
asimtomatik. Namun, pada anak di atas 5 tahun, remaja, dan dewasa, dapat timbul gejala
pada 30-50% kasus. Gejala yang timbul mencakup mual, muntah, nyeri perut, demam,
warna urin yang gelap, perubahan warna feses, hepatosplenomegali, dan ikterus. Dengan
mengenal tanda-tanda bahaya tersebut, diharapkan ketika anak yang menderita infeksi
HBV perinatal mengalami gejala tersebut, anak tersebut dapat segera mendapatkan tata
laksana yang sesuai untuk menangani berbagai komplikasi yang dapat terjadi. 11,12