Anda di halaman 1dari 18

Presentasi Kasus

Pneumonia pada Anak dan Ascariasis

Oleh :

dr. Albertus Denny

Pembimbing :

dr. Rivadin Nurwan, M.Sc, Sp.A

Program Internsip Dokter Indonesia

RSUD Labuha Kabupaten Halmahera Selatan

Periode Oktober 2019 – Oktober 2020


BAB I

Laporan Kasus

I. IDENTITAS
Nama : An. HS
Umur : 1 tahun 6 bulan
Tanggal Lahir : 08/04/2018
Jenis Kelamin : Laki-laki
No. RM : 18.XX.XX
Alamat : Desa Bahu, Mandioli Selatan
Tanggal masuk RS : 19/10/2019

II. ANAMNESIS
Alloanamnesis (ibu pasien) tanggal 25/10/2019

Keluhan utama
Sesak nafas sejak 1 minggu sebelum masuk RS.

Riwayat Penyakit Sekarang


Satu minggu sebelum masuk RS, pasien demam, naik-turun tidak sampai normal,
disertai batuk berdahak dan sesak nafas. Dibawa berobat ke Puskesmas namun tidak
membaik.
Hari masuk rumah sakit, sesak nafas dikatakan semakin memberat, demam dan batuk
menetap. Nafsu makan menurun, minum biasa, BAK seperti biasa, belum BAB sejak
2 hari sebelum masuk RS. Pasien dibawa ke Puskesmas, lalu dirujuk ke RS.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien belum pernah memiliki keluhan serupa sebelumnya. Riwayat asma disangkal.
Riwayat alergi makanan dan obat disangkal. Riwayat dirawat di RS sebelumnya
disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga
Ibu pasien mengatakan kakak pasien memiliki keluhan batuk dan pilek sebelum
pasien sakit.

Riwayat Perinatal
Pasien anak kedua, lahir dari ibu G2P1A0 secara normal di RS. Pasien lahir langsung
menangis, cukup bulan, BBL 3.700 gram, PB 49 cm.

Riwayat Imunisasi
Ibu pasien mengatakan pasien mendapat imunisasi lengkap sesuai program
pemerintah.

Riwayat perkembangan
Saat ini, pasien dapat makan dengan sendok dan minum dari gelas dan botol secara
mandiri. Pasien sudah bisa berdiri dan berjalan sendiri tanpa dituntun. Sudah dapat
mengucapkan kata “mama”, “papa”. Pasien sering bermain bersama kakaknya.

Riwayat Asupan Nutrisi


Pasien diberikan ASI eksklusif sampai usia 6 bulan. Saat ini pasien mengkonsumsi
bubur kasar yang terdiri dari nasi putih, telur ayam, kangkung, tomat. Selain bubur,
pasien juga diberi ASI dan susu formula. Pasien diberi makan bubur, susu formula,
dan ASI masing-masing 3 kali sehari. Anak dikatakan sulit makan.

Pedigree

31 tahun 28 tahun

4 tahun
Keadaan Sosial dan Ekonomi
Pasien tinggal bersama ayah, ibu,
1 tahun dan kakak laki-lakinya dalam satu rumah. Ayah
6 bulan
bekerja sebagai petani, sedangkan ibu menjadi ibu rumah tangga. Sehari-hari
mengkonsumsi air minum dari air PAM yang direbus. Orang tua memasak
menggunakan kompor minyak. Keluarga menggunakan obat nyamuk bakar di dalam
rumah.
III. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan dilakukan pada 22/10/2019, pukul 07.00 WIT.
Status Generalis :
 Keadaan umum : tampak sesak ringan
 Kesadaran : Compos mentis
Tanda vital :
 RR : 45 kali/menit
 HR : 145 kali/menit
 Suhu : 36,70C
 SpO2 : 95% (room air)
Data antropometri :
 BB : 7,6 kg
 TB : 75 cm
o Status gizi menurut WHO :
o Weight for Age : < -3 SD (severely wasted)
o Height for Age : < -2 SD (stunted)
o Weight-Height : -3 < SD < -2 (gizi kurang)
Kepala : conjunctiva anemis (+/+), sclera ikterik (-/-), napas cuping hidung (-),
edema palpebra (-/-), sianosis (-)
Leher : limfonodi tidak teraba
Paru : I : simetris, retraksi intercostal (+), retraksi substernal (+)
P : fremitus taktil meningkat kanan=kiri
P : redup (+/+)
A : suara nafas vesikular (+/+), ronkhi (+/+), whezzing (+/+)
Jantung : Ictus cordis tidak tampak, suara jantung I-II murni, murmur (-)
Abdomen : I : cembung
A : Bising usus (+)
P : timpani seluruh lapang abdomen
P : hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas: akral hangat, WPK < 2 detik, edema (-/-/-/-)
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah Rutin (19/10/2019)

Parameter Hasil Unit Rentang


Normal
WBC 8.98 109/L 4.00 - 12.00
HB 8.5 g/dL 12.0 - 16.0
HCT 27.1 % 35.0 - 49.0
MCV 56.1 fL 80 – 100
MCH 17.6 Pg 27 – 34
MCHC 313 g/L 310 – 370
PLT 413 109/L 100 – 300

Imunologi dan Bakteriologi (19/10/2019)

Dengue IgG : non-reaktif IgM : non-


reaktif
Malaria tebal / Negatif
tipis
Malaria ICT Non-reaktif
Foto X-ray Thorax AP (19/10/2019)

Kesan :
 Pneumonia
parahilar dextra dan
paracardial bilateral
 Konfigurasi
cor normal
V. DIAGNOSIS
Diagnosis : Pneumonia berat
Gizi kurang
Anemia mirositik-hipokromik
VI. PENATALAKSANAAN
- NK O2 2 Lpm
- IVFD KAEN 1B 12 tpm mikro
- Diet bubur TKTP 3 x 1
- Inj. Ampicilin 350 mg/6 jam
- Inj. Gentamicin 35 mg/24 jam
- Inj. Paracetamol 4 x 90 mg (jika demam)
VII. RENCANA EVALUASI
- Evaluasi keluhan
- Tanda-tanda vital
- Monitor balance cairan

23/10/2019 (hari ke-4) 24/10/2109 (hari ke-5) 25/10/2019 (hari ke-6)


S Demam (-), batuk (+) Demam (-), batuk (+) Demam (-), batuk (+)
frekuensi berkurang, dahak frekuensi berkurang, dahak frekuensi berkurang, dahak
(+) warna putih, cacing (+) (+) warna putih, cacing (-), (+) warna putih, cacing (-),
warna putih, panjang, makan (+), minum (+) ASI makan (+), minum (+) ASI
bentuk gilig, makan (+), dan susu formula, BAK (+), dan susu formula, BAK (+),
minum (+) ASI dan susu BAB (+) BAB (+)
formula, BAK (+), BAB
(+)
O KU cukup KU cukup KU cukup
HR : 145 kali/menit HR : 125 kali/menit HR : 122 kali/menit
RR : 45 kali/menit RR : 48 kali/menit RR : 38 kali/menit
SpO2 : 95% SpO2 : 95% SpO2 : 97%
Suhu : 36,70C Suhu : 36,20C Suhu : 360C
Thorax : simetris, retraksi Thorax : simetris, retraksi (-) Thorax : simetris, retraksi (-)
(+) intercostal, vesikular intercostal, vesikular (+/+), intercostal, vesikular (+/+),
(+/+), ronkhi (+/+), ronkhi (+/+), wheezing (-/-) ronkhi (+/+), wheezing (-/-)
Abdomen : supel, BU (+), NT Abdomen : supel, BU (+),
wheezing (-/-)
Abdomen : supel, BU (+), (-), hepar, lien tidak teraba NT (-), hepar, lien tidak
Ekstremitas : akral hangat,
NT (-), hepar, lien tidak teraba
nadi kuat, reguler, WPK <2 Ekstremitas : akral hangat,
teraba
Ekstremitas : akral hangat, detik nadi kuat, reguler, WPK <2
nadi kuat, reguler, WPK <2 detik
detik
A - Pneumonia berat - Pneumonia berat - Pneumonia berat
- Ascariasis - Ascariasis - Ascariasis
- Gizi kurang - Gizi kurang - Gizi kurang
- Anemia - Anemia - Anemia
P NK O2 1 Lpm (weaning) IVFD KAEN 1B 12 tpm IVFD  STOP
IVFD KAEN 1B 12 tpm Syr. Cefixim 2 x 2 mL
mikro
Drops. Sangobion 1 x 1 mL
mikro Diet bubur TKTP dan ASI
Syr. Paracetamol 4 x 3 mL
Diet bubur TKTP dan ASI Inj. Ampicilin 350 mg/6 jam
Inj. Ampicilin 350 mg/6 Inj. Gentamicin 35 mg/24 jam (jika demam)
Inj. Paracetamol 4 x 90 mg BLPL
jam
Inj. Gentamicin 35 mg/24 (jika demam)
jam
Tab. Albendazol 1 x ½ tab
Inj. Paracetamol 4 x 90 mg
(jika demam)
BAB 2
DASAR TEORI

PNEUMONIA
1. Definisi
Pneumonia adalah suatu penyakit infeksi pada parenkim paru yang meliputi alveolus
dan jaringan intertitial paru. WHO mendefinisikan pneumonia berdasarkan temuan klinis
saja, yaitu dari inspeksi dan frekuensi pernapasan. Pneumonia sebagian besar disebabkan
infeksi (bakteri/virus) dan sebagian kecil disebabkan non-infeksi (aspirasi, radiasi, dsb.).
2. Epidemiologi
Pneumonia masih menjadi permasalahan terutama di negara berkembang.
Insidensinya pada anak usia <5 tahun di negara maju 2-4 anak/10 anak/tahun lebih rendah
dibandingkan negara berkembang yakni 10-20 anak/100 anak/tahun. Pneumonia
menyebabkan 5 juta kematian anak balita per tahunnya di negara berkembang. Berdasarkan
Riskesdas 2007, pneumonia menjadi penyebab kematian terbesar kedua pada balita setelah
diare.

Gambar 1. Proporsi penyebab kematian pada umur 1-4 tahun (Riskesdas 2007)
Gambar 2. Insidensi Pneumonia per 1000 balita menurut kelompok umur, Indonesia 2013
3. Etiologi
Etiologi pneumonia berbeda tergantung umur pasien. Mikroorganisme penyebab
pneumonia pada neonatus dan bayi kecil meliputi Streptococcus group B dan bakteri gram
negatif seperti E. coli, Pseudomonas sp., Klebsiella sp. Pada bayi lebih besar, infeksi sering
disebabkan Streptococcus pneumoniae, Haemophillus influenza tipe B, dan Staphylococcus
aureus. Pada anak dan remaja, selain bakteri tersebut, juga ditemukan infeksi oleh
Mycoplasma pneumoniae. Secara klinis, pneumonia bakterial dan viral sulit dibedakan,
demikian pula dengan pemeriksaan radiologis dan laboratorium.
4. Klasifikasi
Berdasarkan tempat terjadinya infeksi, pneumonia dibedakan menjadi pneumonia
masyarakat (community-acquired pneumonia) dan pneumonia nosokomial (hospital-acquired
pneumonia). Berdasarkan struktur organ paru yang terkena, pneumonia dibedakan menjadi
pneumonia lobaris, pneumonia lobularis, dan pneumonia interlobaris. Berdasarkan
MTBS/IMCI, pneumonia diklasifikasikan menjadi pneumonia berat di mana pasien perlu
dirawat inap, pneumonia ringan di mana pasien bisa dirawat jalan, dan batuk; bukan
pneumonia yang cukup diberi nasihat perawatan di rumah.
5. Patogenesis
Patogenesis pneumonia pada anak bergantung pada kerentanan penjamu dan
virulensi dari pathogen penyebab. Kerentanan penjamu dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu
faktor imunitas dilihat dari status imunisasi dan keadaan immunocompromised, faktor
lingkungan seperti paparan asap dan polusi udara, hospitalisasi seperti durasi dirawat,
penggunaan alat bantu nafas ventilator, penggunaan antibiotik sebelumya, faktor lainnya
seperti usia (pada neonatus), disfungsi silier, fibrosis kistik, bronkiektasis. Masuknya
pathogen bisa melalui inhalasi, hematogen, maupun aspirasi.
Setelah sampai ke dalam parenkim paru, pathogen akan menimbulkan respon
inflamasi lokal dan sistemik. Bagian paru yang terkena akan mengalami konsolidasi dari sel
PMN, eritrosit, debris, fibrin, cairan serosa, dan bakteri. Stadium ini dinamakan hepatisasi
merah. Pada stadium ini, terjadi iritasi saluran nafas dan gagalnya sistem mukosilier sehingga
muncul batuk dan ronkhi pada pemeriksaan klinis. Konsolidasi yang terjadi berbeda-beda
lokasinya berdasarkan pathogen penyebab. Mycoplasma pneumoniae, Influenza A + B, dan
Parainfluenza dicurigai sebagai pathogen pada pneumonia interstitial. Streptococcus
pneumoniae, Haemophillus influenzae, Moraxella, dan S. aureus dicurigai pada pneumonia
lobaris. Konsolidasi ini menyebabkan pertukaran gas pada alveolus menurun, menyebabkan
hipoksemia, yang bersamaan dengan respon inflamasi sistemik menyebabkan takipnea dan
hipertermia. Hipoksemia juga menyebabkan penggunaan otot bantu pernapasan.

Gambar 3. Pathogenesis dan temuan klinis pneumonia pediatrik


6. Faktor Resiko
Beberapa faktor resiko yang dapat memperberat gejala klinis pneumonia pada balita dan
meningkatkan mortalitas antara lain : status gizi kurang-buruk, pemberian ASI (ASI eksklusif
mengurangi resiko), suplementasi Vitamin A (mengurangi resiko), suplementasi zinc
(mengurangi resiko), vaksinasi (mengurangi resiko), paparan polusi asap.
7. Diagnosis
Anamnesis
- Batuk yang awalnya kering menjadi produktif, dahak purulen, sampai berdarah
- Sesak napas
- Demam
- Kesulitan makan/minum
- Tampak lemah
- Serangan pertama atau berulang (untuk membedakan dengan kondisi
imunokompromais, kelainan anatomis, atau asma)
Pemeriksaan fisik
- Penilaian keadaan umum, kesadaran, kemampuan makan/minum, frekuensi napas,
dan nadi
- Gejala distres napas seperti takipnea, retraksi subkostal, batuk, krepitasi,
penurunan suara paru
- Demam dan sianosis
- Anak di bawah 5 tahun biasanya menunjukkan gejala tidak klasik.
Pemeriksaan penunjang
- Foto rontgen tidak rutin dilakukan pada pneumonia ringan. Dianjurkan pada
pneumonia berat yang membutuhkan rawat inap, yaitu rontgen thorax proyeksi
AP. Rontgen tidak dapat menentukan agen penyebab pneumonia. Gambaran
rontgen thorax yang mengarahkan ke pneumonia berupa : infiltrat interstitial,
infiltrat alveolar, bronkopneumonia.
- Laboratorium :
o Pemeriksaan kadar leukosit dan hitung jenis leukosit diperlukan untuk
menentukan pemberian antibiotik.
o Kultur darah dan pewarnaan Gram sputum terutama dilakukan pada anak
yang dirawat inap dengan pneumonia berat. Tidak direkomendasikan
untuk pasien rawat jalan.
o Jika ada efusi pleura, dilakukan pungsi pleura dan pemeriksaan
mikroskopis, kultur, dan deteksi antigen bakteri untuk menentukan
pemberian antibiotik.
o Pemeriksaan uji tuberkulin dilakukan pada anak dengan riwayat kontak
dengan penderita TBC dewasa
o Pemeriksaan CRP dan LED tidak dapat membedakan infeksi viral atau
bakteri, tidak direkomendasikan untuk pemeriksaan rutin
MTBS/IMCI
Diagnosis (Klinis) Klasifikasi (MTBS)
Pneumonia berat (rawat inap)
-Tanpa gejala hipoksemia Penyakit sangat berat
-Dengan gejala hipoksemia (pneumonia berat)
-Dengan komplikasi
Pneumonia ringan (rawat jalan) Pneumonia
Infeksi respiratorik akut atas Batuk : bukan pneumonia
Batuk : bukan pneumonia
Tidak ada napas cepat dan sesak napas
Pneumonia ringan
Di samping batuk atau kesulitan bernapas, hanya terdapat napas cepat saja.
Definisi napas cepat :
- Anak usia <2 bulan : ≥60 x/menit
- Anak usia 2 bulan - 11 bulan : ≥50 x/menit
- Anak usia 1 tahun – 5 tahun : ≥40 x/menit

Pneumonia berat
Batuk dan atau kesulitan bernapas, disertai minimal satu dari :
- Kepala terangguk-angguk
- Pernapasan cuping hidung
- Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam
- Foto dada menunjukkan gambaran pneumonia (infiltrat luas, konsolidasi, dll.)
Selain itu, dapat ditemukan :
- Napas cepat
- Suara merintih (grunting) pada bayi muda
- Pada auskultasi terdengar crackles (ronkhi), suara pernapasan menurun, suara
pernapasan bronkial
Pada keadaan sangat berat ditemukan :
- Tidak dapat menyusu, makan/minum, atau memuntahkan semuanya
- Kejang, letargis, tidak sadar
- Sianosis
- Distres pernapasan berat
8. Tatalaksana
Kriteria rawat inap :
Bayi :
 Saturasi oksigen ≤92%, sianosis
 Frekuensi napas ≥60x/menit (napas cepat)
 Distres pernapasan, apnea intermitten, atau grunting
 Tidak mau menetek
 Keluarga tidak bisa merawat di rumah
Anak :
 Saturasi oksigen <92%, sianosis
 Frekuensi napas >50x/menit (napas cepat)
 Distress pernapasan, grunting
 Terdapat tanda dehidrasi
 Keluarga tidak bisa merawat di rumah

Terapi antibiotik :
- Pneumonia ringan : anak dirawat jalan. Beri antibiotik kotrimoksasol (4 mg
TMP/kg/dosis) 2 kali sehari selama 3 hari atau amoksisilin (25 mg/kg/dosis) 2
kali sehari selama 3 hari.
- Pneumonia berat :
o Anak dirawat inap.
o Beri antibiotik ampisilin/amoksisilin (25-50 mg/kg/dosis IV atau IM setiap
6 jam), dipantau dalam 24 jam selama 72 jam pertama, jika berespon baik,
dilanjutkan sampai 5 hari, kemudian dilanjutkan dengan amoksisilin oral
(25 mg/kg/dosis tiap 8 jam) untuk 5 hari berikutnya.
o Bila keadaan klinis memburuk dalam 48 jam, tambahkan kloramfenikol
(25 mg/kg/dosis IV atau IM tiap 8 jam).
o Bila anak datang dengan keadaan klinis berat, berikan oksigen dan
kombinasi ampisilin-kloramfenikol atau ampisilin-gentamisin.
Alternatifnya, seftriakson (80-100 mg/kg IV atau IM sekali sehari)
Tatalaksana umum :
- Beri oksigen pada semua anak dengan pneumonia berat dengan nasal prongs,
kateter nasal, atau kateter nasofaringeal
- Gunakan pulse oxymetry untuk memonitor kebutuhan oksigen. Berikan oksigen
pada anak dengan saturasi oksigen <90%. Lakukan uji coba tanpa oksigen setiap
harinya pada anak yang stabil, dan hentikan pemberian oksigen bila stabil >90%.
- Bila demam, berikan parasetamol dosis 10-15 mg/kg/dosis
- Bila ada wheezing, berikan bronkodilator kerja cepat (salbutamol dosis 2,5
mg/kali, bisa diulang tiap 4 jam, kemudian dikurangi tiap 6-8 jam sekali)
- Monitor balans cairan, anjurkan pemberian ASI dan cairan oral.
Kriteria pulang :
- Gejala dan tanda pneumonia menghilang
- Asupan per oral adekuat
- Pemberian antibiotik dapat diteruskan di rumah (per oral)
- Keluarga mengerti dan setuju memberikan terapi di rumah serta rencana kontrol
- Anak memungkinkan untuk di rawat di rumah
ASCARIASIS
1. Definisi
Ascariasis adalah suatu kondisi infeksi yang disebabkan Ascaris lumbricoides atau
cacing gelang. Siklus hidup cacing tersebut berawal dari tanah yang terkontaminasi feces
manusia atau hewan yang mengandung telur cacing. Telur cacing dapat tertelan oleh penjamu
lalu menetas di dalam duodenum penjamu menjadi larva. Larva akan menembus dinding
usus, kemudian bermigrasi melalui sirkulasi vena porta, menuju jantung kanan, pembuluh
darah kecil, lalu menuju alveolus paru-paru. Di paru-paru, larva akan naik menuju bronkus,
kemudian keluar dengan cara dibatukkan atau tertelan kembali menuju traktur
gastrointestinal. Di usus halus, cacing akan berkembang menjadi dewasa dan menghasilkan
telur. Cacing dewasa betina meletakkan telurnya lalu akan dikeluarkan bersama feces. Siklus
hidup ini berlangsung 65-70 hari. Telur akan berkembang menjadi bentuk infektif dalam
waktu 2-3 minggu, dan akan tetap infektif sampai beberapa bulan hingga tahun.
Gambar 3. Siklus hidup Ascaris lumbricoides

2. Epidemiologi
Diperkirakan terdapat 1,3 milyar orang pernah terinfeksi cacing ini di seluruh dunia.
Infeksi dapat dijumpai bersamaan dengan Trichuris trichiura. Di negara daerah tropis,
hampir seluruh masyarakat pernah terinfeksi dan lebih sering pada anak-anak. Prevalensi
tertinggi askariasis di daerah tropis adalah pada anak usia 3-8 tahun. Perbedaan intensitas
infeksi pada anak dan dewasa mungkin dipengaruhi aktifitas, kebiasaan, dan imunitas.
3. Pathogenesis
Migrasi larva dari usus menuju paru-paru dapat menyebabkan beberapa kerusakan pada
organ. Meskipun hepar dapat terkena dampaknya, organ yang sering terkena adalah paru-
paru. Hal ini terjadi saat larva menembus pembuluh darah menuju alveolus. Gejala infeksi
ringan berupa perdarahan ptechiae. Gejala infeksi berat berupa kerusakan jaringan paru dan
sejumlah darah terkumpul di alveolus dan bronkhiolus menimbulkan edema paru. Keadaan
ini disebut pneumonitis Ascaris, yang merupakan reaksi patologis dan alergik. Gejala yang
ditimbulkan hipertermi, pernafasan cepat dan dangkal, batuk kering atau berdahak, ronkhi
atau wheezing tanpa krepitasi yang berlangsung 1-2 minggu, eosinofilia transien, infiltrat
pada gambaran radiologi (sindrom loeffler).
Cacing dewasa hidup di dalam usus halus, meskipun sebagian dapat keluar melalui
saluran pernafasan. Komplikasi yang bisa muncul adalah obstruksi saluran napas, ileus,
appendicitis (bila terjadi obstruksi pada appendix), ampula vater, saluran empedu, atau
masuk ke dalam jaringan hati. Gejala yang menonjol adalah rasa tidak enak di perut, nyeri
kolik akut daerah epigastrium, penurunan nafsu makan, diare. Gejala lainnya timbul akibat
hasil metabolisme cacing yang menimbulkan reaksi alergi seperti urtikaria, asma bronkial,
konjungtivitis akut, fotofobia, dan terkadang hematuria.
4. Diagnosis
Diagnosis pasti ditegakkan dengan ditemukannya telur atau cacing dewasa dari
pemeriksaan feces rutin.
5. Tatalaksana
Farmakologi
Obat antihelminthes, terdapat beberapa pilihan :
 Albendazol 400 mg single dose
 Pyrantel pamoat 10 mg/kg single dose
 Mebendazole 500 mg single dose
Non-farmakologi
 Menjaga higienitas, mencuci tangan dengan sabun setelah bermain atau
beraktifitas bersentuhan dengan tanah
 Menjaga sanitasi lingkungan untuk mengurangi kontaminasi feces pada tanah
 Mencuci bersih bahan makanan terutama sayuran yang tumbuh di tanah

BAB 3
ANALISIS KASUS

Pasien pada kasus ini adalah seorang anak laki-laki berusia 1 tahun 6 bulan yang datang
ke RS karena keluhan demam, batuk, kesulitan bernapas sejak 1 minggu sebelum masuk RS, dan
nafsu makan menurun. Pasien belum pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya, serta belum
pernah sakit hingga dirawat di RS sebelumnya. Anak dengan pneumonia biasanya datang dengan
keluhan demam, batuk, napas cepat, dan kesulitan bernapas. Pada anak yang lebih muda,
biasanya ditemukan keluhan nyeri perut. Informasi penting yang perlu digali antara lain durasi
keluhan, paparan pathogen, riwayat bepergian, penyakit kronis sebelumnya, keluhan berulang,
riwayat imunisasi, kesehatan ibu, dan komplikasi saat neonatus. Pada pasien tersebut, terdapat
resiko paparan pathogen yang kemungkinan berasal dari kakaknya yang sakit sebelum pasien
mulai menunjukkan gejala dan keluhannya.
Pemeriksaan fisik yang didapatkan, berupa napas cepat (RR 45 kali/menit), fremitus
taktil meningkat, retraksi intercostal, retraksi substernal, perkusi redup, ronkhi, dan wheezing.
Tanda-tanda tersebut mengarahkan ke arah diagnosis pneumonia. Tanda lain yang bisa muncul
antara lain napas cuping hidung, kepala terangguk-angguk, demam >38,5 0C, dan pada kondisi
yang sangat berat bisa ditemukan sianosis, kesadaran menurun, kejang, dan distress pernapasan
berat. Berdasarkan WHO, pasien pada kasus ini termasuk ke pneumonia berat karena terdapat
keluhan batuk, kesulitan bernapas, napas cepat, tarikan dinding dada, dan ronki. Menurut
Dalimunthe, et al, anak usia kurang dari 24 bulan, gejala batuk, takipnea, dan retraksi dada
memiliki hubungan yang signifikan dengan pneumonia. Selain terdapat masalah pernapasan, dari
pemeriksaan fisik juga ditemukan konjungtiva pucat, tanda terdapat anemia. Berdasarkan
pengukuran berat dan tinggi badan, pasien memiliki status gizi kurang.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah pemeriksaan darah rutin dan foto polos
thorax anterior-posterior. Hasil pemeriksaan darah rutin menunjukkan kadar leukosit dalam batas
normal. Kegunaan penghitungan angka leukosit adalah untuk menentukan penggunaan
antibiotik. Pada pasien ini, meskipun kadar leukosit dalam batas normal, namun secara klinis
pasien menunjukkan tanda-tanda pneumonia berat, sehingga terapi mengikuti terapi empiris yang
disarankan yaitu antibiotik. Dari hitung diferensiasi sel darah putih, hasilnya dalam batas normal,
baik hitung prosentase maupun hitung absolutnya. Dari pemeriksaan darah rutin juga ditemukan
hemoglobin pasien 8,5 g/dL, dengan MCV dan MCH di bawah nilai normal, sehingga
menunjukkan pasien juga mengalami anemia mikrositik hipokromik. Dari hasil foto polos
thorax, tampak adanya infiltrat pada kedua lapang paru yang menunjukkan kesan pneumonia
bilateral. Pemeriksaan foto polos thorax pada kasus ini menjadi pemeriksaan yang tepat
dilakukan karena keadaan klinis pasien ketika masuk RS berat dan diperlukan rawat inap. Dari
hasil foto polos thorax, tidak dapat dibedakan etiologi dari pneumonia.
Tatalaksana yang diberikan pada pasien ini adalah oksigen melalu nasal kanul 2 Lpm,
infus KAEN 1B 12 tpm mikro, diet bubur TKTP dan ASI, injeksi Ampicilin 350 mg/6 jam,
injeksi Gentamicin 35 mg/24 jam, injeksi Paracetamol 4 x 90 mg. Suplementasi oksigen
diberikan pada semua pasien pneumonia berat, infus diberikan untuk mencegah dehidrasi,
rehidrasi per oral tetap dianjurkan. Kebutuhan kalori yang dibutuhkan oleh pasien dihitung
berdasarkan BB ideal dan RDA (Recommended Dietary Allowance). RDA untuk anak usia 1-3
tahun adalah 100 kkal/kg/hari. Berat badan ideal pasien, dengan tinggi 75 cm berdasarkan tabel
Z-score BB/PB anak usia 0-2 tahun WHO adalah 9,5 kg. Sehingga, kebutuhan kalori pasien
adalah 950 kkal/hari. Pemberian kalori awal sebesar 50-75% dari target untuk menghindari
refeeding syndrome. Jenis makanan yang diberikan untuk anak usia 1-2 tahun adalah makanan
keluarga ditambah ASI dan/atau susu segar. Antibiotik yang digunakan merupakan terapi empiris
yang disarankan oleh WHO. Berdasarkan rekomendasi revisi dari WHO, tatalaksana untuk anak
usia 2-59 bulan dengan pneumonia dan retraksi dada, dapat dirawat jalan dengan terapi
amoksisilin 40 mg/kg/dosis selama 5 hari. Pada pneumonia berat, disarankan rawat inap dengan
terapi lini pertama IV ampisilin 50 mg/kg/6 jam atau IV Benzyl penisilin 50.000 Units/kg/6 jam
kombinasi dengan IV Gentamisin 7,5 mg/kg/24 jam selama masing-masing 5 hari. Bila terapi lini
pertama gagal, dapat menggunakan seftriakson. Paracetamol diberikan sebagai antipiretik saat
demam.
Pada saat follow-up, ibu pasien mengatakan pasien batuk lalu mengeluarkan cacing
berwarna putih, berukuran panjang sebanyak 1 ekor. Keluarnya cacing dari saluran pernapasan,
menjadi tanda utama diagnosis askariasis. Parasit cacing yang memiliki siklus hidup melalui
paru-paru manusia adalah Ascaris dan Strongiloides. Secara epidemiologi, insidensi Ascaris
lebih tinggi dibandingkan Strongiloides. Gejala yang ditimbulkan pada saat parasit berada di
paru-paru bisa menyerupai gejala pneumonia, seperti hipertermi, batuk, napas dangkal dan cepat,
pada pemeriksaan fisik juga mirip dengan ditemukan ronkhi atau wheezing tanpa krepitasi.
Untuk terapi yang diberikan, ditambahkan tablet albendazole dengan dosis 200 mg dosis tunggal
untuk anak dengan berat badan <20 kg, sedangkan anak dengan berat badan >20 kg, dosis yang
diberikan 400 mg dosis tunggal, dapat diulang setelah 2 minggu. Infeksi oleh Ascaris dapat
menyebabkan kekurangan nutrisi karena nutrisi yang dimakan akan diambil oleh parasit tersebut.
Keadaan ini bila terjadi secara kronis, dapat menyebabkan kekurangan nutrisi makro dan mikro,
seperti kekurangan karbohidrat, protein, dan zat besi, yang memperberat keadaan gizi kurang
serta anemia defisiensi besi.
Setelah dirawat selama 6 hari, kondisi pasien semakin membaik. Secara umum tampak
sudah tidak sesak napas, frekuensi pernapasan di bawah 40 kali/menit, tidak demam, dan saturasi
oksigen >90% tanpa suplementasi oksigen. Pada pemeriksaan fisik, sudah tidak ditemukan
retraksi pada inspeksi dada, meskipun masih ditemukan ronkhi pada kedua lapang paru. Pasien
dipulangkan dengan lanjutan pengobatan antibiotik sampai 5 hari selanjutnya, untuk meneruskan
terapi pneumonia beratnya, sangobion drops sebagai suplementasi besi untuk anemianya, dan
paracetamol yang diminum hanya pada saat demam saja. Pasien diputuskan untuk dipulangkan
karena secara klinis kondisinya sudah membaik, gejala pneumonia berat sudah berkurang, dan
ada keluarga yang bisa merawat di rumah.

BAB 4
REFERENSI

Dalimunthe, W., et al. 2013. Significant Clinical Features in Pediatric Pneumonia. Paediatr
Indones. 2013;53:37-41
Kemenkes RI. Buletin Jendela Epidemiologi. Volume 3, September 2010. Jakarta: Kemenkes RI
PPM IDAI (Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia). 2010. Pneumonia. IDAI
jilid 1. Hal 250-255.
Scott, J., et al. 2012. The Definition of Pneumonia, the Assessment of Severity, and Clinical
Standardization in the Pneumonia Etiology Research for Child Health Study. Clin
Infect Dis. Apr 1; 54(Suppl 2): S109–S116.
Sjarif, D.R., et al. 2011. Rekomendasi IDAI : Asuhan Nutrisi Pediatrik (Pediatric Nutrition
Care). 1st ed. Jakarta: IDAI
Webster-Gandy, J., et al. 2006. Oxford Handbook of Nutrition and Dietics. 1st ed. New York:
Oxford
WHO. 2009. Buku Saku: Pelayanan Kesehatan Anak Di Rumah Sakit. Pedoman Bagi Rumah
Sakit Rujukan Tingkat Pertama Di Kabupaten/Kota. Jakarta: Kemenkes RI

Anda mungkin juga menyukai