B2
Alni Indah (102016152), Taridha Vania (102013409), Septin Permata Sari (102014274), Dian
Anugrah Palin (102016025), Riska Devi Limbong (102016053), Sonia Dwi Reina (102016118),
Febrian Tiranita (102016236), Christian (102016251)
Abstrak
Asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran napas yang ditandai dengan mengi episodik,
batuk, dan rasa sesak di dada akibat penyumbatan saluran napas. Secara umum faktor risiko yang
dapat memicu terjadinya asma terbagi atas faktor genetik dan lingkungan. Tujuan pengobatan
asma adalah tercapainya kontrol asma secara klinis. Tatalaksana asma yang efektif merupakan
hasil hubungan yang baik antara dokter dan pasien, dengan tujuan pasien mandiri. Edukasi
merupakan bagian dari interaksi antara dokter dan pasien.
Kata kunci: asma, faktor risiko, tatalaksana
Abstract:
Asthma is a chronic inflammatory disorder of the airways associated with airway
hyperresponsiveness that leads to recurrent episodes of wheezing, breathlessness, chest tightness,
and coughing. These episodes are usually associated with widespread, but variable, airflow
obtruction. Factors that influence the risk of asthma can be divided into those that trigger asthma
symptoms, the former include host factors which are primarily genetic and the later are
environmental factors. The goal of asthma treatment is to achieve and maintain clinical control.
The effective management of asthma requires the development of a partnership between doctor
and patient. Education should be an integral part of all interactions between doctors and patients.
Keywords: asthma, risk factors, treatment
Anamnesis
Anamnesis pada penderita asma sangatlah penting. Tujuannya, selain untuk menegakkan
diagnosis dan menyingkirkan diagnosis banding, anamnesis juga berguna untuk menyusun
srategi pengobatan pada penderita asma. Pada anamnesis akan kita jumpai adanya keluhan,
batuk, sesak, mengi dan atau rasa berat di dada yang timbul secara tiba-tiba dan hilang secara
spontan atau dengan pengobatan. Tetapi adakalanya juga penderita hanya mengeluhkan batuk-
batuk saja yang umumnya timbul pada malam hari atau sewaktu kegiatan jasmani ataupun hanya
pada musim-musim tertentu saja. Disamping itu, mungkin adanya riwayat alergi baik pada
penderita maupun pada keluarganya, seperti rhinitis alergi, dermatitik atopic dapat membantu
menegakakan diagnosis. Ada beberapa hal yang harus ditanyakan dari pasien asma, antara lain:1
Apakah ada batuk yang berulang terutama pada malam menjelang dini hari?
Apakah pasien mengalami mengi atau dada terasa berat atau batuk setelah terpajan alergen
atau polutan (pencetus)?
Apakah ada mengi atau rasa berat di dada atau batuk setelah melakukan aktifitas atau
olahraga?
Apakah gejala-gejala tersebut di atas berkurang atau hilang setelah pemberian obat pelega
(bronkodilator)?
Apakah ada penyakit alergi lainnya (rinitis, dermatitis atopi, konjunktivitis alergi)?
Apakah dalam keluarga (kakek atau nenek, orang tua, anak, saudara kandung, saudara
sepupu) ada yang menderita asma atau alergi?.1
Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat bervariasi dari normal sampai didapatnya kelainan. Selain itu
perlu diperhatikan tanda-tanda asma dan penyakit alergi lainnya. Tanda asma paling sering
ditemukan adalah wheezing (mengi), tetapi pada sebagian pasien asma tidak didapatkan mengi
diluar serangan. Pada serangan asma umumnya terdengar mengi, disertai tanda-tanda lainnya,
pada asma yang sangat berat mengi dapat tidak terdengar (silent chest) dan pasien dalam keadaan
sianosis dan kesadaran menurun. Pasien yang mengalami serangan asma, pada pemeriksaan fisik
dapat ditemukan:1
Pasien tampak sakit sedang, compos mentis. TD 110/70 mmHg. Nadi 112x/menit. RR
28x/menit cepat dangkal. T 36,70C. Paru: vesikuler
Inspeksi: pasien terlihat gelisah, sesak (napas cuping hidung, napas cepat, retraksi sela iga,
retraksi epigastrium, retraksi suprasternal), sianosis, kelainan bentuk dada (Barrel-shape,
kifosis, skoliosis, pectus excavatum, pectus carinatum). Pasien lebih nyaman dalam posisi
duduk.
Palpasi: statis (pemeriksaan kelenjar getah bening untuk kanker paru, pemeriksaan posisi
trakea dan apeks jantung, pemeriksaan kelainan dinding dada seperti tumor, nyeri tekan
pada dinding dada, krepitasi akibat emfisema subkutis dan lain-lain); dinamis (pemeriksaan
vokal fremitus .
Perkusi: biasanya tidak ada kelainan yang nyata.
Auskultasi: ekspirasi memanjang, wheezing +/+. Ronki basah kasar -/-
Penemuan tanda pada fase pemeriksaan fisik pasien asma, tergantung dari derajat
obstruksif saluran napas. Ekspirasi memanjang, mengi, hiperinflasi dada, pernapasan cepat
sampai sianosis dapat dijumpai pada pasien asma. Dalam praktek jarang dijumpai kesulitan
dalam membuat diagnosis asma, tetapi sering pula dijumpai pasien bukan asma mempunyai
mengi, sehingga diperlukan pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis.1,2
Asma merupakan penyakit obstruksi saluran pernapasan akibat penyempitan saluran napas
yang sifatnya reversible (penyempitan dapat hilang dengansen dirnya). Asma sendiri merupakan
gangguan peradangan kronik disaluran nafas yang menyebabkan serangan berulang mengi,
sesak, dada terasa tertekan, dan batuk, terutama malam dan/atau dini hari. Gejala-gejala ini
biasanya disebabkan bronkokontriksi yang luas tetapi bervariasi dan pembatasan aliran udara
yang paling tidak sebagian bersifat reversibel, baik secara spontan maupun dengan pengobatan.
Diduga bahwa peradangan menyebabkan peningkatan responsitivitas saluran napas
(bronkospasme) terhadap berbagai rangsangan. Sebagian dari rangsangan tersebut tidak atau
sedikit menimbulkan efek pada bukan pengidap asma dengan saluran napas normal. Banyak sel
berperan dalam respon peradangan, terutama eosinofil, sel mast, makrofag, limfosit T, neutrofil,
dan sel epitel.2
A. Epidemiologi
B. Etiologi
Berdasarkan penyebabnya, asma bronkhial dapat diklasifikasikan menjadi 3 tipe, yaitu :
1. Ekstrinsik (alergik)
Ditandai dengan reaksi alergik yang disebabkan oleh faktor-faktor pencetus yang spesifik, seperti
debu, serbuk bunga, bulu binatang, obat-obatan (antibiotic dan aspirin) dan spora jamur. Asma
ekstrinsik sering dihubungkan dengan adanya suatu predisposisi genetik terhadap alergi. Oleh
karena itu jika ada faktor-faktor pencetus spesifik seperti yang disebutkan di atas, maka akan
terjadi serangan asma ekstrinsik.
2. Intrinsik (non alergik)
Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap pencetus yang tidak spesifik
atau tidak diketahui, seperti udara dingin atau bisa juga disebabkan oleh adanya infeksi saluran
pernafasan dan emosi. Serangan asma ini menjadi lebih berat dan sering sejalan dengan
berlalunya waktu dan dapat berkembang menjadi bronkhitis kronik dan emfisema. Beberapa
pasien akan mengalami asma gabungan.
3. Asma gabungan
Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik dari bentuk alergik dan non-
alergik.
Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi timbulnya serangan asma
bronkhial.
Faktor predisposisi
Genetik. Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui bagaimana
cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga
dekat juga menderita penyakit alergi. Anak dengan satu orang tua yang terkena mempunyai
resiko menderita asma sekitar 25%, risiko bertambah menjadi sekitar 50%jika kedua orangtua
asmatis
Faktor presipitasi
a. Alergen, dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan (debu, bulu binatang, serbuk bunga,
spora jamur, bakteri dan polusi)
Ingestan, yang masuk melalui mulut (makanan dan obat-obatan), contoh kacang
Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit (perhiasan, logam dan jam tangan)
b. Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma. Atmosfir yang
mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma. Kadang-kadang serangan
berhubungan dengan musim, seperti musim hujan, musim kemarau, musim bunga. Hal ini
berhubungan dengan arah angin serbuk bunga dan debu.
c. Stres
Stress/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga bisa memperberat
serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma yang timbul harus segera diobati
penderita asma yang mengalami stress/gangguan emosi perlu diberi nasehat untuk
menyelesaikan masalah pribadinya.
d. Lingkungan kerja
Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan asma. Hal ini berkaitan
dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang yang bekerja di laboratorium hewan, industri tekstil,
pabrik asbes, polisi lalu lintas. Gejala ini membaik pada waktu libur atau cuti.3
C. Patofisiologi
Ostruksi saluran nafas pada asma merupakan kombinasi spasme otot bronkus, sumbatan mucus,
edema, dan inflamasi dinding bronkus. Ostruksi bertambah berat selama ekspirasi karena secara
fisiologi saluran nafas menyempit pada fase tersebut. Hal ini mengakibatkan udara distal tempat
terjadinya obstruksi terjebak tidak bias diekspiras.4
Pemeriksaan penunjang
1. Spirometri. Alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan diagnosis juga
untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan. Pemeriksaan spirometer dilakukan
sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator aerosol (inhaler atau nebulizer) golongan
adrenergik. Penurunan VEP1/KVP sebanyak lebih dari 20% menunjukkan diagnosis asma.
(normal 80%)Banyak penderita tanpa keluhan tetapi pemeriksaan spirometrinya
menunjukkan obstruksi.5
Manfaat pemeriksaan spirometri dalam diagnosis asma :
Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP 1/ KVP < 75%
atau VEP1< 80% nilai prediksi.
Reversibiliti, yaitu perbaikan VEP1 15% secara spontan, atau
setelah inhalasi bronkodilator (uji bronkodilator), atau setelah pemberian bronkodilator
oral 10-14 hari, atau setelah pemberian kortikosteroid (inhalasi/ oral) 2 minggu.
Reversibiliti ini dapat membantu diagnosis asma
Menilai derajat berat asma
2. Pemeriksaan IgE. Uji tusuk kulit (skin prick test) untuk menunjukkan adanya antibodi
IgE spesifik pada kulit. Uji tersebut untuk menyokong anamnesis dan mencari faktor
pencetus. Uji alergen yang positif tidak selalu merupakan penyebab asma.
Klasifikasi derajat asma menurut gambaran klinis
Klasifikasi asma menurut derajat serangan
DIAGNOSIS BANDING
1. Bronchitis Chronic
Bronchitis chronik adalah radang menahun pada bronchus yang biasanya mengenai trachea
dan laring, sehingga sering dinamai juga dengan “laringotracheobronchitis”. Radang ini
dapat timbul sebagai kelainan jalan nafas tersendiri atau sebagai bagian dari penyakit
sistemik, misalnya pada morbili, pertusis, difteri
Gejala :
2. Emphysema
Emfisema merupakan pembesaran/pelebaran ruang udara bronkhiolus terminalis dari
alveolus, terjadi destruksi dinding alveolus dan dinding kapiler.
Factor-faktor karna asap rokok/polusi udara.
a. Hilangnya elastisitas paru
b. Terbentuknya bullae
c. Kollaps jalan nafas kecil dan udara terperangkap
B. Pneumonia
Pneumonia adalah suatu proses peradangan parenkim paru dimana terdapat konsolidasi yang
disebabkan pengisian rongga alveoli oleh eksudat. Pertukaran gas berlangsung pada daerah
yang mengalami konsolidasi dan darah dialirkan kesekitar alveoli yang tidak berfungsi.
Hipoksemia dapat terjadi tergantung banyaknya jaringan paru-paru yang sakit. Dengan kata
lan Pneumonia adalah peradangan paru di mana asinus tensi dengan cairan, dengan atau
tanpa disertai infiltrasi sel radang kedalam dinding alveol dan rongga interstisium.4-6
Patogenesisi pneumonia
Pneumonia dapat terjadi akibat menghirup bibit penyakit di udara, atau kuman di
tenggorokan terisap masuk ke paru-paru. Penyebaran bisa juga melalui darah dari luka di tempat
lain, misalnya di kulit. Bakteri masuk ke dalam paru-paru melalui udara, akan tetapi kadang kala
juga masuk melalui sistem peredaran darah apabila pada bagian tubuh kita ada yang terinfeksi.
Sering kali bakteri itu hidup pada saluran pernafasan atas yang kemudian masuk ke dalam arteri.
Ketika masuk ke dalam alveoli, bakteri melakukan perjalanan diantara ruang antar sel dan juga
diantara alveoli. Dengan adanya hal tersebut, sistem imun melakukan respon dengan cara
mengirim sel darah putih untuk melindungi paru-paru. Sel darah putih (neutrofil) kemudian
menelan dan membunuh organisme tersebut serta mengeluarkan sitokin yang merupakan hasil
dari aktivitas sistem imun itu. Hal ini yang mengakibatkan terjadinya demam, rasa dingin
(menggigil), lemah yang merupakan gejala umum dari pneumonia yang disebabkan oleh bakteri
ataupun jamur. Neutrofil, bakteri, dan cairan mempengaruhi keadaan sekitarnya dan juga
mempengaruhi transportasi O2.6
Penatalaksaan
Target pengobatan asma meliputi beberapa hal, di antaranya adalah menjaga saturasi oksigen
arteri tetap adekuat dengan oksigenasi, membebaskan obstruksi saluran pernapasan dengan
pemberian bronkodilatator inhlasi kerja cepat (β2-agonis dan anti kolinergik) dan mengurangi
inflamasi saluran pernapasan serta mencegah kekambuhan dengan pemberian kortikosteroid
sistemik yang lebih awal.
Pemakaian obat-obat.
Bronkodilator
Pemakaian obat-obatan bronkodilator hingga sekarang masih tetap merupakan
tonggak utama pengobatan asma bronchial.
— Golongan simpatomimetik : adrenalin, isoprenalin, agonis beta.
— Golongan xantin : aminofilin.
— Golongan penghambat kolinergik : ipratropium bromid.
— Obat-obat lain.7,8
Tabel 1. Dosis dan frekuensi pemberian bronkodilator secara inhalasi dosis terukur (IDT).
Obat Dosis/puff Frekuensi pemberian
Salbutamol (Ventolin®) 100 mcg 3 - 6 kali/hari
Feneterol (Berotec®) 200 mcg 3 - 6 kali/hari
Terbutalin (Bricasma®) 250 mcg 3 - 6 kali/hari
Orciprenalin (Alupent®) 750 mcg 4 - 6 kali/hari
Ipratropium bromid 20 mcg 3 - 4 kali/hari
(Atrovent®)
Prognosis
Pada umumnya bila segera ditangani dengan adekuat, prognosa adalah baik. Mortalitas
akibat asma sedikit nilainya. Gambaran yang paling akhir menunjukan kurang dari 5000
kematian setiap tahun dari populasi berisiko yang berjumlah kira-kira 10 juta. Namun, angka
kematian cenderung meningkat di pinggiran kota dengan fasilitas kesehatan terbatas.8
Komplikasi
1. Status asmatikus adalah setiap serangan asma berat atau yang kemudian menjadi berat
dan tidak memberikan respon (refrakter) adrenalin dan atau aminofilin suntikan dapat
digolongkan pada status asmatikus. Penderita harus dirawat dengan terapi yang intensif.
2. Atelektasis adalah pengerutan sebagian atau seluruh paru-paru akibat penyumbatan
saluran udara (bronkus maupun bronkiolus) atau akibat pernafasan yang sangat dangkal.
3. Hipoksemia adalah tubuh kekurangan oksigen
4. Pneumotoraks adalah terdapatnya udara pada rongga pleura yang menyebabkan
kolapsnya paru.
Kesimpulan
Asma merupakan penyakit paru obstruktif, berupa inflamasi kronik yang menyebabkan
hipersensitivitas. Gejalanya berupa mengi, batuk, sesak nafas, berat di dada terutama malam hari
yang bersifat reversible baik dengan atau tanpa pengobatan,. Pengobatan pada pasien asma
bertujuan untuk menjaga saturasi oksigen arteri tetap adekuat dengan oksigenasi, membebaskan
obstruksi saluran pernapasan dengan pemberian bronkodilatator inhlasi kerja cepat (β2-agonis
dan anti kolinergik) dan mengurangi inflamasi saluran pernapasan serta mencegah kekambuhan
dengan pemberian kortikosteroid sistemik yang lebih awal. Pencegahan terjadinya asma dapat
dilakukan dengan olahraga secara teratur, berhenti atau tidak merokok, hindari stress, dan
menjauhi penyebab seperti debu, maupun makanan yang menyebabkan alergi.
Daftar pustaka
1. Antariksa, Budhi,. Diagnosis dan Penatalaksanaan Asma. Departemen Pulmonologi dan
ilmu kedokteran Respiratori. Jakarta, FKUI. 2009, h.
2. Djojodibroto DR. Respirologi (respiratory medicine). Jakarta: EGC. 2009.h.110-5.
3. Price, Slyvia A dan Lorraine M. Wilson. Patofisiologi konsep dasar klinis proses-proses
penyakit, Edisi 4. Jakarta : EGC, 2004
4. Rengganis I. Diagnosis dan tatalaksana asma bronkial. Maj Kedokt Indon, vol 58 no 11, hal
446-9, 2008.
5. Baratawidjaja K, Sundaru H. Asma bronkial: patofisiologi dan terapi. Cemin Dunia
Kedokteran 2005; 121:29-30.
6. Setiawati, Arini, dan Sulistia Gan. Obat Adrenergik. Dalam: Farmakologi dan Terapi.
Gunawan, Sulistia Gan, dkk. Ed. Ke-5. Jakarta: Departemen Farmakologi FKUI, 2008: 11-20
7. Sudoyo AW. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid III. Edisi 4. Jakarta (Indonesia): Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia;2006. h. 404-414
8. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman diagnosis & penatalaksanaan asma di
Indonesia. 2003.h.41-53.