Anda di halaman 1dari 24

Diagnosis dan Tatalaksana Diabetes Melitus Tipe 2 pada Orang Dewasa

Yogi Sampe Pasang


102016146/B5
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Alamat Korespondensi: Jl. Arjuna Utara No. 6, Jakarta Barat 11510

Abstrak

Kajian ini dijalankan dalam rangka untuk membahaskan secara menyeluruh mengenai suatu
penyakit yang dinamakan penyakit diabetes mellitus tipe 2. Signifikannya tinjauan pustaka ini
dilakukan untuk mengkaji dan memahami dasar penyakit diabetes mellitus tipe 2. Terdapat juga
perbahasan mengenai anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, gejala klinis,
epidemiologi, patofisiologi, prognosis, diagnosis banding, diagnosis kerja, pengobatan dan
penatalaksanaan yang terkait bagi penyakit jantung rematik. Metode yang digunakan dalam
penghasilan tinjauan pustaka ini adalah dengan melakukan penelitian terhadap buku-buku dan
jurnal-jurnal.

Kata kunci: diabetes mellitus tipe 2, gejala klinis, patofisiologi, pengobatan.

Abstract

The study was conducted in order to debate the whole spectrum of type 2 diabetes mellitus.
Significant of this literature review is to study and understand the basic of type 2 diabetes
mellitus. There is also debate about the anamnesis, physical examination, clinical symptom,
epidemiology, pathophysiology, prognosis, differential diagnosis, working diagnosis, treatment
and medication of type 2 diabetes mellitus. Method used in the production of this literature
review is to conduct research on books and journals.

Keywords: type 2 diabetes mellitus, clinical presentations, pathophysiology, treatment.

1
Pendahuluan

Diabetes melitus tipe 2 terdiri dari berbagai disfungsi ditandai dengan hiperglikemia dan
dihasilkan dari kombinasi resisten terhadap tindakan insulin, sekresi insulin yang tidak memadai,
dan sekresi glukagon yang berlebihan. Diabetes tipe 2 yang tidak terkontrol berhubungan dengan
berbagai komplikasi mikrovaskular, makrovaskular, dan neuropati.

Komplikasi mikrovaskular dari diabetes termasuk retina, ginjal, dan penyakit neuropatik.
Komplikasi makrovaskular termasuklah arteri koroner dan penyakit pembuluh darah perifer.
Neuropati diabetes memlpengaruhi saraf otonom dan perifer.

Tidak seperti pasien dengan diabetes mellitus tipe 1, pasien dengan tipe 2 tidak benar-benar
bergantung pada insulin seumur hidup. Perbedaan ini adalah dasar untuk istilah jenis 1 dan 2,
independent diabetes mellitus dan non-independent diabetes mellitus.

Namun, banyak pasien dengan diabetes tipe 2 pada akhirnya dirawat dengan insulin. Karena
mereka mempertahankan kemampuan untuk mengeluarkan beberapa insulin endogen, mereka
dianggap membutuhkan insulin namun tidak bergantung pada insulin.1 Istilah lain yang lebih tua
untuk diabetes mellitus tipe 2 adalah diabetes onset dewasa. Saat ini, karena kurangnya aktivitas
pada anak-anak, diabetes mellitus tipe 2 terjadi di usia yang lebih muda. Meskipun diabetes
mellitus tipe 2 biasanya mempengaruhi orang berusia lebih dari 40 tahun, telah didiagnosis juga
pada anak-anak berumur 2 tahun yang memiliki riwayat keluarga diabetes.

Kasus:

Seorang laki-laki berusia 35 tahun datang ke poliklinik karena ia merasa semakin lemas sejak 1
bulan yang lalu.

Analisis:

Rumusan masalah yang diperolehi adalah seorang laki-laki berusia 35 tahun datang ke poliklinik
dengan keluhan merasa semakin lemas sejak 2 minggu yang lalu dan memiliki riwayat diabetes
sejak 5 tahun lalu.

2
Anamnesis

Anamnesis merupakan suatu tindakan untuk mengenalpasti keluhan utama pasien disamping
beberapa keluhan samping. Anamnesis yang benar dapat membantu dokter untuk menegakkan
diagnosis yang tepat. Pada kasus pasien yang compos mentis ini, anamnesis dapat dilakukan
secara autoanamnesis. Bagi kasus ini, beberapa hal perlu diperhatikan saat anamnesis.

Yang pertama adalah menanyakan identitas pasien seperti nama, alamat, pekerjaan, tanggal lahir,
jenis kelamin agama dan sebagainya. Dalam kasus ini, pasiennya adalah seorang laki-laki berusia
35 tahun. Identitas lain tidak disertakan. Seterusnya adalah menanyakan keluhan utama dari
pasien dan sejak kapan dirasakan keluhan itu. Pada pasien dengan diabetes melitus tipe 2, pasien
datang dengan keluhan lemas sejak 1 bulan yang lalu.

Selanjutnya dapat ditanyakan riwayat penyakit dahulu. Pasien memiliki riwayat diabetes sejak 5
tahun yang lalu dan minum metformin dan glibenklamid secara teratur. Riwayat penyakit
keluarga tidak disertakan. Antara faktor predisposisi lain yang harus ditanyakan adalah adakah
pasien banyak makan, minum, kencing dan penurunan berat badan. Selain itu, ditanyakan juga
apakah pernah dirawat dengan penurunan kesadaran karena lupa makan setelah minum obat,
apakah pernah dirawat dengan penurunan kesadaran karena suatu diare berlebihan, karena suatu
keadaan stress seperti infeksi dan infark miokard. Ditanyakan juga apakah adanya buram,
katarak, buta, retinopati, glaucoma, kesemutan, sakit maag, impotensi, bengkak pada kaki, urin
yang berkurang dan lemas, riwayat sakit jantung, hipertansi, luka yang sukar sembuh, jaringan
parut pada kulit, luka yang baud an riwayat batuk lebih dari 3 minggu. Anamnesis belumlah
lengkap sehingga ianya didukung oleh pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan lainnya.

Pemeriksaan

Pemeriksaan harus dilakukan ke atas pasien bagi membantu menegakkan diagnosis dengan tepat.
Pemeriksaan yang tidak benar akan menyebabkan salah diagnosis dan akhirnya dapat berakibat
kepada salahnya pengobatan dan penatalaksanaan. Terdapat dua jenis periksaan yang harus
dilakukan oleh dokter yaitu pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
3
Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik, keadaan umum pasien baik. Tanda-tanda vital pada pasien adalah
tekanan darah 120/80 mmHg, frekuensi nadi 80x/menit, frekuensi nafas 20x/menit.

Inspeksi

o Memerhatikan warna kulit dan kondisi kulit (kering, normal, lembap)


o Merhatikan atrofi/ hipotrofi otot
o Memerhatikan lesi kulit seperti infiltrate, ulkus, abses, gangrene dan cicatrix
o Memerhatikan gerakan yang terbatas dan kontraktur

Palpasi

o Melakukan pemeriksaan suhu raba


o Melakukan pemeriksaan pulsasi a dorsalis pedis dan tibialis posterior

Refleks

o Melakukan pemeriksaan sensibilitas dengan monofilament


o Melakukan pemeriksaan Babinsky

Pemeriksaan Penunjang

American Diabetes Association (ADA) kriteria diagnosis diabetes adalah salah satu dari berikut:2

 Kadar HbA1c 6,5% atau lebih tinggi; tes harus dilakukan di laboratorium dengan
menggunakan metode yang disertifikasi oleh Program Glycohemoglobin Standardisasi
Nasional (NGSP) atau
 Kadar glukosa plasma puasa (FPG) 126 mg / dL (7,0 mmol / L) atau lebih tinggi; puasa
didefinisikan sebagai tidak ada asupan kalori selama minimal 8 jam, atau

4
 Kadar glukosa plasma 2 jam dari 200 mg / dL (11,1 mmol / L) atau lebih tinggi selama
75-g tes toleransi glukosa oral (OGTT), atau
 Kadar glukosa plasma acak 200 mg / dL (11,1 mmol / L) atau lebih tinggi pada pasien
dengan gejala klasik hiperglikemia (yaitu, poliuria, polidipsia, polifagia, penurunan berat
badan) atau krisis hiperglikemik

Tabel 1: Kriteria Diagnostik untuk Diabetes Mellitus Tipe 2

Sumber:
http://theanswerpage.com/study.php?specialty_id=4&topic_id=99&q=5

1. Pemeriksaan Kadar Glukosa Darah

Pemeriksaan ini dilakukan bertujuan untuk melakukan penyesuaian dosis obat. Glukosa plasma
ditentukan dengan menggunakan darah ditarik ke tabung gray-top, yang menghambat glikolisis
sel darah merah dengan segera. Nilai bermakna untuk pengukuran glukosa puasa didasarkan
pada kadar glikemia pada saat munculnya retinopati yang merupakan komplikasi diabetes yang
pathognomonic. (Namun, bukti menunjukkan bahwa retinopati dapat terjadi bahkan pada
pradiabetes.)2

Gangguan toleransi glukosa

5
Kriteria World Health Organization (WHO) untuk toleransi glukosa yang terganggu (IGT)
merupakan FPG kurang dari 140 mg / dL (7,0 mmol / L) dan glukosa plasma vena dari 140 mg /
dL sampai di bawah 200 mg / dL (≥7.8 untuk <11.1mmol / L) 2 jam setelah masukan glukosa 75
g dengan 1 intervensi nilai glukosa plasma pada atau di atas 200 mg / dL [101] WHO
mengatakan bahwa IGT merupakan faktor resiko untuk diabetes di masa depan, kematian dini,
dan penyakit kardiovaskular mulai meningkat pada tingkat glukosa plasma 2 jam di bawah
kisaran IGT.2

2. Pemeriksaan Kadar A1c

Pengikatan glukosa dengan hemoglobin A adalah proses nonenzimatik yang terjadi selama umur
sel darah merah, yang rata-rata 120 hari. Pengukuran hemoglobin terglikasi sehingga
mencerminkan kadar glukosa plasma selama 2-3 bulan sebelumnya. Pengukuran HbA1c adalah
standar kriteria untuk memantau kontrol glikemik jangka panjang.2

Di masa lalu, pengukuran HbA1c tidak dianggap berguna untuk diagnosis diabetes mellitus,
karena kurangnya standarisasi internasional dan ketidakpekaan untuk mendeteksi bentuk lebih
ringan dari intoleransi glukosa. Dalam sebuah laporan tahun 2009, bagaimanapun, komite ahli
internasional yang ditunjuk oleh ADA, Asosiasi Eropa untuk Studi Diabetes, dan Asosiasi
Diabetes Internasional direkomendasikan uji HbA1c untuk mendiagnosa diabetes tipe 1 dan tipe
2 mellitus. Sejak tahun 2010 ADA sudah termasuk kadar HbA1c 6,5% atau lebih tinggi sebagai
kriteria untuk diagnosis diabetes, dengan konfirmasi dari tes ulang (kecuali gejala klinis yang
hadir dan tingkat glukosa> 200 mg / dL).2

Diagnosis Kerja: Diabetes Melitus Tipe 2


Diabetes melitus tipe 2 adalah dimana hormon insulin dalam tubuh tidak dapat berfungsi dengan
semestinya, dikenal dengan istilah Non-Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM). Hal ini
dikarenakan berbagai kemungkinan seperti defek dalam produksi insulin, resistensi terhadap
insulin atau berkurangnya sensitifitas (respon) sel dan jaringan tubuh terhadap insulin yang
ditandai dengan meningkatnya kadar insulin di dalam darah.2,3

6
Diagnosis Banding

1. Diabetes Mellitus Tipe 12,3


Diabetes tipe 1 merupakan penyakit autoimun, terjadi akibat ketiadaan insulin karena kerusakan
imunologis sel β. Diabetes tipe 1 umumnya timbul pada masa anak, bermanifestasi pada masa
pubertas dan berkembang seiring usia. Sebagian besar pasien bergantung pada insulin, tanpa
insulin mereka akan mengalami komplikasi metabolik seperti ketoasidosis dan koma.

 Manifestasi klinis dan diagnosis:


Gejala klinik pada diabetes tipe 1 yaitu polydipsia, polyuria, polifagia, turunnya berat badan,
lemah, somnolen yang terjadi selama beberapa hari sampai beberapa minggu. Terapi insulin
biasanya diperlukan untuk mengontrol metabolism dan umumnya penderita peka terhadap
insulin.3,4

2. Maturity Onset Diabetes of the Young (MODY)2,3


MODY terjadi karena defek primer disfungsi sel β yang terjadi tanpa kerusakan sel β, tetapi
mengenai massa sel β dan atau produksi insulin. MODY adalah hasil akhir dari berbagai
kelompok defek genetik yang ditandai oleh defek monogenic yang diwariskan secara dominan
autosom dengan tingkat penestrasi yang tinggi, awitan dini, biasanya timbul sebelum usia 25
tahun, tidak ada obesitas, tidak adanya autoantibodi dan sindrom resistensi insulin.
Glukokinase yang diperkirakan berperan dalam MODY2, mengkatalisis pemindahan fosfat dari
ATP ke glukosa, yang merupakan reaksi pertama dan penentu kecepatan dalam metabolisme
glukosa.

 Manifestasi Klinis dan Diagnosis:


Glukokinase yang diekresikan sel β pankreas mengontrol influks glukosa dengan mengendalikan
pemasukannya ke dalam siklus glikolitik, yang akhirnya dapat menimbulkan sekresi insulin.
Mutasi inaktivasi pada enzim ini meningkatkan ambang untuk melepasan insulin sehingga
derajat hiperglikemia hanya disertai sekresi insulin yang rendah dan akhirnya terjadi peningkatan
sedang glukosa darah. Pernah dilaporkan mutasi aktivasi yang menyebabkan aktivitas enzim
bergeser ke arah yang berlawanan, berupa peningkatan sekresi insulin pada kadar glukosa yang
lebih rendah sehingga terjadi keadaan hipoglikemia kronik dan hiperinsulinisme. Selain

7
heterogenitas genetic, MODY juga ditandai oleh heterogenitas klinis. Sebagian bentuk MODY
(MODY1, MODY3, DAN MODY5) disebabkan adanyanya defek berat terhadap sekresi insulin
oleh sel β disertai seluruh penyakit diabetes, sedangkan MODY2 menyebabkan hiperglikemia
kronik ringan yang biasanya tidak memburuk seiring dengan waktu.3,4
Tabel 2: Perbandingan antara DM Tipe 1 & DM Tipe 2

Sumber:
http://newdiabetesmedication.blogspot.com/2014/07/medications-for-diabetes-mellitus.html

Epidemiologi
8
Diabetes mellitus tipe 2 kurang umum di negara-negara non-Barat di mana diet mengandung
sedikit kalori dan pengeluaran kalori harian yang lebih tinggi. Namun, sebagai orang-orang di
negara-negara mengadopsi gaya hidup Barat, kenaikan berat badan dan diabetes mellitus tipe 2
menjadi hampir epidemki. Tarif diabetes meningkat di seluruh dunia. International Diabetes
Federation memprediksi bahwa jumlah orang yang hidup dengan diabetes akan meningkat dari
366 juta pada 2011 kepada 552000000 menjelang 2030.5

Di Amerika Serikat, prevalensi diabetes didiagnosis memiliki lebih dari dua kali lipat dalam 3
dekade terakhir, terutama karena peningkatan obesitas. 10 negara teratas dalam jumlah penderita
diabetes saat ini India, China, Amerika Serikat, Indonesia, Jepang, Pakistan, Rusia, Brasil, Italia,
dan Bangladesh. Persentase kenaikan terbesar dalam tingkat diabetes akan terjadi di Afrika
selama 20 tahun ke depan. Sayangnya, setidaknya 80% dari orang-orang di Afrika dengan
diabetes tidak terdiagnosis, dan banyak orang di usia 30-an ke 60-an akan mati karena diabetes.5

Gambar 1: Epidemiologi di seluruh dunia penyakit diabetes mellitus tipe 2


Sumber: http://www.pinterest.com/pin/367395282071661968/

Etiologi
9
Etiologi diabetes mellitus tipe 2 melibatkan interaksi kompleks antara faktor lingkungan dan
genetik. Diperkirakan penyakit ini terjadi ketika gaya hidup yang kurang baik asupan kalori yang
berlebihan, pengeluaran kalori yang tidak memadai dan obesitas ditumpangkan pada genotipe
rentan.5

Indeks massa tubuh (BMI) di mana kelebihan berat badan meningkatkan resiko diabetes
bervariasi dengan kelompok ras yang berbeda. Sebagai contoh, dibandingkan dengan orang-
orang keturunan Eropa, orang-orang keturunan Asia akan meningkatkan risiko diabetes pada
tingkat yang lebih rendah dari kelebihan berat badan.5

Hipertensi dan prehipertensi yang dikaitkan dengan risiko lebih besar terkena diabetes pada kulit
putih daripada di Afrika Amerika. Selain itu, di lingkungan rahim yang mengakibatkan berat
badan lahir rendah dapat mempengaruhi beberapa individu untuk mengembangkan diabetes
mellitus tipe 2. Kecepatan peningkatan berat badan bayi memiliki sedikit efek tidak langsung
pada resistensi insulin dewasa, dan ini terutama dimediasi melalui efeknya pada BMI dan lingkar
pinggang.6

Sekitar 90% dari pasien yang menderita diabetes mellitus tipe 2 mengalami obesitas. Namun
berdasarkan populasi, studi prospektif yang besar telah menunjukkan bahwa diet tinggi energi
dapat menjadi faktor resiko untuk pengembangan diabetes yang tidak bergantung pada obesitas
dasar. Beberapa studi menunjukkan bahwa polusi lingkungan mungkin memainkan peran
perkembangan diabetes mellitus tipe 2.7

Patofisiologi

Diabetes melitus tipe 2 merupakan suatu kelainan yang heterogenik dengan karakter utama
hiperglikemik kronik. Meskipun pola pewarisannya belum jelas, faktor genetik dikatakan
memiliki peranan yang penting dalam munculnya diabetes melitus tipe 2 ini. Faktor genetik ini
akan berinteraksi dengan faktor-faktor lingkungan seperti gaya hidup, diet, rendahnya aktifitas
fisik, obesitas, dan tingginya kadar asam lemak bebas.8,9

Patofisiologi diabetes melitus tipe 2 terdiri atas dua mekanisme, yaitu;8-10

10
1. Resistensi terhadap insulin

Resistensi terhadap insulin terjadi disebabkan oleh penurunan kemampuan hormon insulin untuk
bekerja secara efektif pada jaringan-jaringan target perifer (terutama pada otot dan hati), ini
sangat menyolok pada diabetes melitus tipe 2. Resistensi terhadap insulin ini merupakan hal
yang relatif. Untuk mencapai kadar glukosa darah yang normal dibutuhkan kadar insulin plasma
yang lebih tinggi. Pada orang dengan diabetes melitus tipe 2, terjadi penurunan pada penggunaan
maksimum insulin, yaitu lebih rendah  30 - 60 % daripada orang normal. Resistensi terhadap
kerja insulin menyebabkan terjadinya gangguan penggunaan insulin oleh jaringan-jaringan yang
sensitif dan meningkatkan  pengeluaran glukosa hati. Kedua efek ini memberikan kontribusi
terjadinya hiperglikemi pada diabetes. Peningkatan pengeluaran glukosa hati digambarkan
dengan peningkatan FPG (Fasting Plasma Glukose) atau kadar gula puasa (BSN). Pada otot
terjadi gangguan pada penggunaan glukosa secara non oksidatif (pembentukan glikogen)
daripada metabolisme glukosa secara oksidatif melalui glikolisis. Penggunaan glukosa pada
jaringan yang independen terhadap insulin tidak menurun pada diabetes melitus tipe 2.

Mekanisme molekular terjadinya resistensi insulin telah diketahui. Kadar reseptor insulin dan
aktifitas tirosin kinase pada jaringan otot menurun, hal ini merupakan defek sekunder pada
hiperinsulinemia bukan defek primer.

Oleh karena itu, defek pada post reseptor diduga mempunyai peranan yang dominan terhadap
terjadinya resistensi insulin. Polimorfik dari IRS-1 (Insulin Receptor Substrat) mungkin
berhubungan dengan intoleransi glukosa. Polimorfik dari bermacam-macam molekul post
reseptor diduga berkombinasi dalam menyebabkan keadaan resistensi insulin.

Sekarang ini, patogenesis terjadinya resistensi insulin terfokus pada defek PI-3 kinase
(Phosphatidyl Inocytol) yang menyebabkan terjadinya reduktasi translokasi dari GLUT-4
(Glukose Transporter) ke membran plasma untuk mengangkut insulin. Hal ini menyebabkan
insulin tidak dapat diangkut masuk ke dalam sel dan tidak dapat digunakan untuk metabolisme
sel, sehingga kadar insulin di dalam darah terus meningkat dan akhirnya menyebabkan terjadinya
hiperglikemi.

11
Ada teori lain mengenai terjadinya resistesi insulin pada penderita diabetes melitus tipe 2. Teori
ini mengatakan bahwa obesitas dapat mengakibatkan terjadinya resistensi insulin melalui
beberapa cara, yaitu; peningkatan asam lemak bebas yg mengganggu penggunaan glukosa pada
jaringan otot, merangsang produksi  dan gangguan fungsi sel β pankreas.

2. Produksi glukosa hati

Hati merupakan salah satu jaringan yang sensitif terhadap insulin. Pada keadaan normal, insulin
dan glukosa akan menghambat pemecahan glikogen dan menurunkan glukosa produk hati. Pada
penderita diabetes melitus tipe 2 terjadi peningkatan glukosa produk hati yang tampak pada
tingginya kadar glukosa darah puasa (BSN). Mekanisme gangguan produksi glukosa hati belum
sepenuhnya  jelas.

Pada penelitian yang dilakukan pada orang sehat, terjadi peningkatan kadar insulin portal sebesar
5 μU/ml di atas nilai dasar akan menyebabkan lebih dari 50% penekanan produksi glukosa hati.
Untuk mencapai hasil yang demikian, penderita diabetes melitus tipe 2 ini membutuhkan kadar
insulin portal yang lebih tinggi. Hal tersebut menunjukkan terjadinya resistensi insulin pada hati.
Peningkatan produksi glukosa hati juga berkaitan dengan meningkatnya glukoneogenesis akibat
peningkatan asam lemak bebas dan hormon anti insulin seperti glukagon.8,9

Gambar 2: Patofisiologi diabetes mellitus tipe 2


Sumber:

12
http://emedicine.medscape.com/article/117853-overview#aw2aab6b2b2

Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis utama bagi pasien dengan penyakit diabetes mellitus tipe 2 adalah sering
merasa haus (polidipsi), sering merasa lapar (polifagi), dan sering berkemih (poliuri). Selain itu,
pasien diabetes juga datang dengan keluhan gangguan penglihatan, kulit kering. luka yang sukar
sembuh. Antara gejala lain yang bias didapatkan indeks massa tubuh yang berlebihan, kesemutan
dan sensasi terhadap suhu serta sentuhan ringan seperti dalam Gambar 3.9

Gambar 3: Gejala Klinis Diabetes Mellitus Tipe 2


Sumber: http://diabetesdietcures.net/wp-content/uploads/2011/05/diabetes-symptoms.gif

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan DM dimulai dengan pendekatan non medikamentosa, yaitu berupa pemberian
edukasi, perencanaan makan atau terapi nutrisi medik, kegiatan jasmani dan penurunan berat
badan bila didapat berat badan lebih atau obesitas. Bila dengan langkah-langkah pendekatan non
medikamentosa tersebut belum mampu mencapai sasaran pengendalian DM belum tercapai,
maka dilanjutkan dengan penggunaan perlu penambahan terapi medikamentosa atau intervensi
medikamentosa disamping tetap melakukan pengaturan makan dan aktifitas fisik yang sesuai.
Dalam melakukan pemilihan intervensi farmakologis perlu diperhatikan titik kerja obat sesuai
dengan macam-macam penyebab terjadinya hiperglikemia.10

13
Pada beberapa kondisi saat kebutuhan insulin sangat meningkat akibat adanya infeksi, stress akut
(gagal jantung, iskemi jantung akut), tanda-tanda defisiensi insulin yang berat (penurunan berat
badan yang cepat, ketosis, ketoasidosis) atau pada kehamilan yang kendali glikemiknya tidak
terkontrol dengan perencanaan makan, maka pengelolaan medikamentosa umumnya
memerlukan terapi insulin.10

Non medikamentosa

 Edukasi

Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah terbentuk dengan
mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan partisipasi aktif pasien, keluarga dan
masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam menuju perubahan perilaku. Untuk
mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya
peningkatan motivasi.10

 Terapi Gizi Medis

Terapi Gizi Medis (TGM) merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes secara total. Kunci
keberhasilan TGM adalah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi,
petugas kesehatan yang lain dan pasien itu sendiri). Setiap penyandang diabetes sebaiknya
mendapat TGM sesuai dengan kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi. Prinsip pengaturan
makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat umum
yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing
individu. Pada penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal
jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat
penurun glukosa darah atau insulin. Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa
darah belum tercapai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani.10

 Latihan jasmani

Olahraga:10

C: Continyu : 30 menit 3-4 kali seminggu

14
R: Ritmik : jogging, jalan kaki, bersepeda

I : Intensitas

P: Progresif : dinaikkan bertahap

E: Endurance
Latihan jasmani mempunyai peran yang sangat penting dalam penatalaksanaan diabetes melitus
tipe 2. Latihan jasmani dapat memperbaiki sensitifitas insulin, sehingga akan memperbaiki
kendali glukosa dan selain itu dapat pula menurunkan berat badan. Disamping kegiatan jasmani
sehari-hari, dianjurkan juga melakukan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu) selama
kurang lebih 30 menit. Kegiatan yang dapat dilakukan adalah jalan atau bersepeda santai,
bermain golf atau berkebun. Bila hendak mencapai tingkat yang lebih baik dapat dilakukan
kegiatan seperti dansa, jogging, berenang, atau dengan cara melakukan kegiatan sebelumnya
dengan waktu yang lebih panjang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur, kondisi
social ekonomi, budaya dan status kesegaran jasmaninya.10

Medikamentosa
 Obat hipoglikemik oral (OHO)
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 3 golongan:
 Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan glinid
 Penambah sensitivitas terhadap insulin: metformin, tiazolidindion
 Penghambat glukoneogenesis (metformin)

Pemicu Sekresi Insulin10


 Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas,
dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal dan kurang, namun masih
boleh diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih. Untuk menghindari hipoglikemia
berkepanjangan pada berbagai keadaaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang
nutrisi serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja panjang.
 Glinid

15
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan penekanan pada
meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu:
Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi
dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati.

Penambah sensitivitas terhadap insulin


 Tiazolidindion
Tiazolidindion (rosiglitazon dan pioglitazon) berikatan pada Peroxisome Proliferator Activated
Receptor Gamma (PPAR-γ), suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak. Golongan ini
mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut
glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer.
Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung klas I-IV karena dapat
memperberat edema/retensi cairan dan juga pada gangguan faal hati. Pada pasien yang
menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal hati secara berkala.

Penghambat glukoneogenesis
 Metformin
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis), di
samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer. Terutama dipakai pada penyandang
diabetes gemuk. Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal
(serum kreatinin > 1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia
(misalnya penyakit serebro- vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin dapat
memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan pada saat
atau sesudah makan.

Insulin
Kadar glukosa darah merupakan kunci pengatur sekresi insulin oleh sel-sel beta pankreas,
walaupun asam amino, keton, peptida gastrointestinal dan neurotransmitter juga mempengaruhi
sekresi insulin. Kadar glukosa darah yang > 3,9 mmol/L (70 mg/dl) merangsang sekresi insulin.
Sekresi insulin fisiologis terdiri dari sekresi basal dan sekresi prandial. Terapi insulin diupayakan

16
mampu meniru pola sekresi insulin yang fisiologis. Defisiensi insulin mungkin berupa defisiensi
insulin basal, insulin prandial atau keduanya.10
Defisiensi insulin basal menyebabkan timbulnya hiperglikemia pada keadaan puasa, sedangkan
defisiensi insulin prandial akan menimbulkan hiperglikemia setelah makan. Terapi insulin untuk
substitusi ditujukan untuk melakukan koreksi terhadap defisiensi yang terjadi.10
Terapi insulin dapat diberikan secara tunggal (satu macam) berupa: insulin kerja cepat (rapid
insulin), kerja pendek (short acting), kerja menengah (intermediate acting), kerja panjang (long
acting) atau insulin campuran tetap (premixed insulin). Pemberian dapat pula secara kombinasi
antara jenis insulin kerja cepat atau insulin kerja pendek untuk koreksi defisiensi insulin prandial,
dengan kerja menengah atau kerja panjang untuk koreksi defisiensi insulin basal. Juga dapat
dilakukan kombinasi dengan OHO. Terapi insulin tunggal atau kombinasi disesuaikan dengan
kebutuhan pasien dan respons individu terhadap insulin, yang dinilai dari hasil pemeriksaan
kadar glukosa darah harian. Penyesuaian dosis insulin dapat dilakukan dengan menambah 2-4
unit setiap 3-4 hari bila sasaran terapi belum tercapai. Insulin bekerja dengan menekan produksi
glukosa hati dan stimulasi pemanfaatan glukosa.10

Insulin diperlukan pada keadaan:10


- Penurunan berat badan yang cepat
- Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
- Ketoasidosis diabetic
- Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
- Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal
- Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)
- Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat

17
Tabel 3: Mekanisme kerja, efek samping dan pengaruh terhadap A1C

Komplikasi

Komplikasi diabetes yang dapat terjadi dibedakan menjadi dua yaitu komplikasi akut dan
komplikasi kronik. Komplikasi akut berupa koma hipoglikemi, ketoasidosis diabetik, koma
hiperosmolar nonketotik. Komplikasi kronik dapat berupa makroangiopati, mikroangiopati,
neuropati diabetik, infeksi, kaki diabetik, dan disfungsi ereksi.8-10

Komplikasi Akut
 Koma Hipoglikemia
Hipoglikemia pada pasien diabetes melitus tipe 2 merupakan faktor penghambat utama dalam
mencapai sasaran kendali glukosa darah normal atau mendekati normal. Hipoglikemi secara
harfiah berarti kadar glukosa darah dibawah harga normal. Faktor utama mengapa hipoglikemi
perlu mendapat perhatian dalam pengelolaan diabetes melitus adalah karena adanya
ketergantungan jaringan saraf terhadap asupan glukosa yang terus menerus. Gangguan asupan
glukosa yang berlangsung beberapa menit menyebabkan gangguan fungsi sistem saraf pusat
(SSP) dengan gejala gangguan kognisi, bingung, dan koma. Seperti jaringan lain, jaringan saraf
dapat memanfaatkan sumber energi alternatif, yaitu keton dan laktat. Pada hipoglikemi yang
disebabkan, insulin konsentrasi keton di plasma tertekan dan mungkin tidak mencapai kadar
yang cukup di SSP, sehingga tidak dapat dipakai sebagai sumber energi alternatif.8-10

18
 Ketoasidosis Diabetik
Ketoasidosis diabetik adalah suatu keadaan dimana terdapat defisiensi insulin absolute atau
relatif dan peningkatan hormon kontraregulator sehingga keadaan tersebut menyebabkan
produksi glukosa hati meningkat tetapi utilasi glukosa oleh sel tubuh menurun, dengan hasil
akhir hiperglikemia. Kombinasi keadaan ini mengaktivasi hormon lipase sensitif pada jaringan
lemak sehingga lipolisis meningkat terjadi peningkatan produksi benda keton dan asam lemak
bebas secara berlebihan. Akumulasi produksi benda keton oleh sel hati dapat menyebabkan
metabolik asidosis. Keton merupakan senyawa kimia beracun yang dapat menyebabkan darah
menjadi asam (ketoasidosis).8-10

 Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik


Koma hiperosmolar hiperglikemik nonketotik (HNNK) merupakan salah satu komplikasi akut
atau emergensi pada penyakit diabetes melitus. Sindroma hiperosmolar hiperglikemik nonketotik
ditandai dengan hiperglikemia, hiperosmolar tanpa disertai adanya ketosis. Faktor pencetus dapat
dibagi menjadi enam kategori yaitu; infeksi, pengobatan, noncompliance, diabetes melitus tidak
terdiagnosis, penyalahgunaan obat, dan penyakit penyerta. Infeksi dan compliance yang buruk
merupakan penyebab tersering dari komplikasi ini.8-10

Komplikasi Kronik
 Makroangiopati
Pada penderita diabetes melitus, kadar gula dalam darah yang terus menerus tinggi dapat
merusak pembuluh darah. Zat kompleks yang terdiridari gula di dalam dinding pembuluh darah
menyebabkan pembuluh darah menebal dan mengalami kebocoran. Akibat penebalan ini maka
aliran darah akan berkurang, terutama yang menuju ke kulit dan saraf.9
Kadar gula darah yang tidak terkontrol juga cenderung menyebabkan kadar zat berlemak dalam
darah meningkat, sehingga mempercepat terjadinya aterosklerosis. Penyebab aterosklerosis
pada penderita diabetes melitus tipe 2 bersifat multifaktorial yang melibatkan interaksi
kompleks dari berbagai keadaan seperti hiperglikemi, hiperlipidemi, stres oksidatif, penuaan
dini, hiperinsulinemi dan atau hiperproinsulinemi serta perubahan-perubahan dalam proses
koagulasi dan fibrinolisis.9

19
Hipotesis terbaru mengatakan bahwa awal terjadinya lesi aterosklerosis yaitu berupa adanya
perubahan-perubahan fungsi sel endotel. Disfungsi endotel dapat terjadi baik pada penderita
diabetes melitus tipe 2 dan juga penderita diabetes melitus tipe 1 terutama bila telah terjadi
manifestasi klinis mikroalbuminuria. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa disfungi endotel
juga dapat terjadi pada individu dengan resistensi insulin (pasien obese) atau yang mempunyai
resiko tinggi untuk menderita diabetes melitus tipe 2 (toleransi glukosa terganggu) dan
penderita diabetes gestasi.9
Plak ateroskleorotik yang terbentuk dapat menyumbat arteri berukuran besar atau sedang di
pembuluh darah teri, jantung, dan otak. Penyumbatan pembuluh darah tepi sering terjadi pada
penyandang diabetes melitus. Biasanya terjadi dengan gejala tipikal intermittent claudicatio,
meskipun sering tanpa gejala. Terkadang ulkus iskemik kaki merupakan kelainan yang muncul
pertama. Sedangkan penyumbatan pembuluh darah di jantung menyebabkan penyakit jantung
koroner, dan penyumbatan di otak menyebabkan stroke.9

 Mikroangiopati
 Retinopati Diabetik
Pasien diabetes melitus memiliki resiko 25 kali lebih mudah mengalami kebutaan dibanding
pasien nondiabetes. Resiko mengalami retinopati pada pasien diabetes melitus meningkat sejalan
dengan lamanya diabetes melitus. Penyebab dari retinopati diabetik sampai saat ini belum
diketahui secara pasti, namun hiperglikemia yang berlangsung lama dianggap sebagai faktor
resiko utama. Ada tiga proses biokimiawi yang terjadi pada hiperglikemia yang diduga berkaitan
erat dengan terjadinya retinopati pada pasien diabetes yaitu jalur poliol, glikasi nonenzimatik dan
pembentukkan protein kinase C.9

 Nefropati Diabetik
Nefropatik diabetik adalah sindroma klinis pada pasien diabetes melitus yang ditandai dengan
albuminuria menetap (>300mg/24jam atau >200ig/menit) pada minimal 2 kali pemeriksaan
dalam kurun waktu 3 sampai 6 bulan. Mikroalbuminuria pada umumnya didefinisikan sebagai
ekskresi albumin lebih dari 30 mg per hari. Lebih spesifik lagi suatu keadaan dikatakan
mikroalbuminuria apabila laju ekskresi albumin urin dalam 24 jam 30 - 300 mg dan laju ekskresi
albumin urin sewaktunya 20 - 200 µg/menit serta perbandingan albumin urin kreatininnya 30 -

20
300µg/menit. Mikroalbumin dianggap sebagai predikator penting untuk timbulnya nefropati
diabetik. Kelainannya yang terjadi pada ginjal penyandang diabetes melitus dimulai dengan
adanya mikroalbuminuria kemudian berkembang menjadi proteinuria secara klinis berlanjut
dengan penurunan fungsi laju filtrasi glomerular dan berakhir dengan keadaan gagal ginjal.9

 Neuropati Diabetik
Definisi neuropati diabetik menurut konfrensi neuropati perifer pada bulan Februari 1988 di San
Antonio adalah istilah deskriptif yang menunjukkan adanya gangguan, baik klinis maupun
subklinis, yang terjadi pada diabetes melitus tanpa penyebab neuropati perifer yang lain.
Gangguan nuropati ini termasuk manifestasik somatik dan atau autonom dari sistem saraf perifer.
Proses kejadian neuropati dtabetik berawal dari hiperglikemia berkepanjangan yang berakibat
terjadinya peningkatan aktivitas jalur poliol, sintesis advance glycosilation end products (AGEs),
pembentukkan radikal bebas dan aktivasi protein kinase C (PKC). Akivasi berbagai jalur ini
berujung pada kurangnya vasodilatasi sehingga alran darah ke saraf menurun dan bersama
rendahnya mioinositol dalam sel terjadilah neuropati diabetik.9

 Infeksi
Adanya infeksi pada penderita diabetes sangat berpengaruh terhadap pengendalian glukosa
darah. Infeksi dapat memperburuk kendali glukosa darah, dan kadar glukosa darah yang tinggi
meningkatkan kemudahan atau memperburuk infeksi. Infeksi yang banyak terjadi antara lain
adalah infeksi saluran kemih (ISK), infeksi saluran nafas, infeksi kulit, infeksi rongga mulut, dan
infeksi telinga.9

 Kaki diabetik
Kaki diabetik merupakan salah satu komplikasi kronik diabetes melitus yang paling ditakuti.
Kaki diabetik sering berakhir dengan kecacatan dan kematian. Patofisiologi dari kaki diabetik
diawali adanya hiperglikemi pada pasien diabetes melitus yang menyebabkan kelainan neuropati
dan kelainan pada pada pembuluh darah.9

Kelainan neuropati menyebabkan berbagai perubahan pada kulit dan otot yang pada akhirnya
akan menyebabkan terjadinya perubahan distribusi tekanan pada telapak kaki dan selanjutnya

21
mempermudah terjadinya ulkus. Infeksi yang luas mudah terjadi karena adanya kerentanan
terhadap infeksi.9
 Disfungsi Ereksi
Prevalensi disfungsi ereksi pada diabetes melitus tipe 2 cukup tinggi. Disfungsi ereksi pada
penyandang diabetes tipe 2 merupakan akibat adanya neuropati autonom, angiopati, dan
problema psikis. Komplikasi ini menjadi sumber kecemasan penyandang diabetes, tetapi jarang
disampaikan kepada dokter, oleh karena itu perlu ditanyakan pada saat konsultasi.3,5

Prognosis

Kematian adalah dua sampai tiga kali lebih tinggi di antara orang dengan diabetes tipe 2
dibandingkan pada populasi umum. Sebanyak 75% orang dengan diabetes melitus tipe 2 akan
mati karena penyakit jantung dan 15% dari stroke. Angka kematian akibat penyakit
kardiovaskuler hingga lima kali lebih tinggi pada orang dengan diabetes dibandingkan orang
tanpa diabetes. Untuk setiap kenaikan 1% pada level HbA1c, resiko kematian dari penyebab
diabetes meningkat terkait dengan 21%.10

Pencegahan

Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada kelompok yang memiliki faktor risiko,
yakni mereka yang belum terkena, tetapi berpotensi untuk mendapat DM dan kelompok
intoleransi glukosa.8

Pencegahan sekunder upaya mencegah atau menghambat timbulnya penyulit pada pasien yang
telah menderita DM. Dilakukan dengan pemberian pengobatan yang cukup dan tindakan deteksi
dini penyulit sejak awal pengelolaan penyakit DM. Dalam upaya pencegahan sekunder program
penyuluhan memegang peran penting untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani
program pengobatan dan dalam menuju perilaku sehat.8

Penyuluhan untuk pencegahan sekunder ditujukan terutama pada pasien baru. Penyuluhan
dilakukan sejak pertemuan pertama dan perlu selalu diulang pada setiap kesempatan pertemuan
berikutnya.8

22
Salah satu penyulit DM yang sering terjadi adalah penyakit kardiovaskular, yang merupakan
penyebab utama kematian pada penyandang diabetes. Selain pengobatan terhadap tingginya
kadar glukosa darah, pengendalian berat badan, tekanan darah, profil lipid dalam darah serta
pemberian antiplatelet dapat menurunkan risiko timbulnya kelainan kardiovaskular pada
penyandang diabetes.8

Pencegahan tersier ditujukan pada kelompok penyandang diabetes yang telah mengalami
penyulit dalam upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih lanjut. Pada pencegahan tersier ini
upayanya adalah dengan melakukan penyuluhan.8

Kesimpulan

Laki-laki berusia 35 tahun datang ke dokter dengan keluhan merasa semakin lemas sejak 2
minggu yang lalu dan memiliki riwayat diabetes sejak 5 tahun lalu menderita diabetes mellitus
tipe 2. Hipotesis diterima.

23
Daftar Pustaka

1. Report of the expert committee on the diagnosis and classification of diabetes


mellitus. Diabetes Care. Jan 2006;26 Suppl 1:S5-20.
2. Diagnosis and classification of diabetes mellitus. Diabetes Care. Jan 2010;33 Suppl
1:S62-9.
3. Sudoyo, Aru.W. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi 5. Jakarta: Interna
Publishing, 2009.
4. Price, Silvia Anderson. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Ed. Vol.2.
jakarta: EGC;2005.h.1259-72.
5. One adult in ten will have diabetes by 2030. International Diabetes Federation. November
14, 2011. Diunduh dari  http://www.idf.org/media-events/press-releases/2011/diabetes-
atlas-5th-edition
6. Slining MM, Kuzawa CW, Mayer-Davis EJ, Adair LS. Evaluating the indirect effect of
infant weight velocity on insulin resistance in young adulthood: a birth cohort study from
the Philippines. Am J Epidemiol. Mar 15 2011;173(6):640-8. 
7. Hectors TL, Vanparys C, van der Ven K, Martens GA, Jorens PG, Van Gaal LF, et al.
Environmental pollutants and type 2 diabetes: a review of mechanisms that can disrupt
beta cell function. Diabetologia. Jun 2011;54(6):1273-90. 
8. Hartono A. Harrison prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Ed.13. Vol.5. Jakarta: EGC;
2012.h.2196-217.
9. Ganong WF, McPhee SJ, Pendit BU, Dany F. Patofisiologi penyakit: Pengantar menuju
kedokteran klinis. Ed.5. Jakarta: EGC; 2010.h.566-84.
10. Gunawan SG. Farmakologi dan terapi. Ed. 5. Jakarta: Departemen farmakologi dan
terapeutik FKUI; 2007.h. 485-89.

24

Anda mungkin juga menyukai