Anda di halaman 1dari 21

Tugas CBR

BAB IV

Konstruktivisme Sosial dan


Pengetahuan Subjektif

Nama Mahasiswa : ASTUTI


NIM : 8206172006
Kelas/Jurusan : B1/Pendidikan Matematika 2020
Dosen Pengampu : Prof. Dr. Pargaulan Siagian, M.Pd
Mata Kuliah : Filsafat Pendidikan Matematika
Konstruktivisme Sosial dan Pengetahuan Subjektif
1. Pendahuluan
Bab ini membicarakankan hubungan antara pengetahuan subjektif dan objektif
matematika dalam konstruktivisme sosial. Sesuatu yang tidak mudah untuk
dijelaskan, karena menyangkut kejiwaan berpikir subyektif dan obyektif.

Suatu pandangan sederhana, pengetahuan dianalogkan dengan kesadaran,


pengetahuan adalah dinamis.Sebuah aktivitas yang mewakili perilaku-perilaku
dan pemikiran. Menjelaskan pengetahuan secara umum pasti akan terbentur
dengan ilmu-ilmu yang bermacam – macam , sehingga untuk mudahnya cukup
dipilih satu bidang ilmu saja. Oleh karena itu ada matematika, fisika, biologi
dan lain sebagainya.

Ketika kesederhanaan ini ditolak maka ada social konstruktivisme. Tetapi


sebenarnya sosial itu sendiri apa? Menurut social konstruktivisme, buku tidak
memuat pengetahuan, hanya merupakan simbol-simbol yang diatur secara hati-
hati dan sengaja yang tidak bermakna, meskipun buku dapat memandu
pembaca untuk menciptakan makna-makna baru.
Kebermaknaannya harus diciptakan oleh pembaca, makna dalam buku
tergantung pada penciptaan yang unik dari masing-masing pembaca, di
sinilah timbul subjective knowledge. Sebagai contoh untuk rumus
matematika yang sama masing-masing orang dapat menjelaskannya dengan
cara yang berbeda-beda.

Pandangan berikut ini adalah bahwa pengetahuan selalu baru tidak pernah
sama. Pengetahuan adalah usaha aktif kita untuk mencari tahu dengan
banyak cara, akibatnya pengetahuan obyektif sepanjang waktu dilahirkan
kembali. Pengetahuan lebih mirip tubuh manusia, dengan setiap sel
digantikan secara terus menerus oleh sel-sel baru.

2. Asal Pengetahuan Subjektif


Bagaimana seorang individu memperoleh pengetahuan dari dunia luar melalui
alat indera?Prinsipnya apabila kita ingin belajar matematika maka yang harus
didahulukan adalah bahasanya.
a. Konstruksi Pengetahuan Subjektif
Bagaimana individu memperoleh pengetahuan dari dunia luar?
Manusia memperoleh pengetahuan subyektif berdasarkan interaksi
dengan dunia luar, yang melalui data yang masuk atau melalui tindakan
langsung. Akan tetapi interaksi tersebut tidak mencukupi, karena
pengetahuan yang kita peroleh masih bersifat umum. Oleh karena itu, kita
perlu penjelasan tentang pengalaman kita dengan cara megantisipasi dan
menyelidiki keteraturannya.

Masalahnya adalah bagaimana kita dapat menjelaskan (membenarkan)


pengetahuan ilmiah secara teoritis berdasarkan pengamatan dan percobaan?
Perhatikan bahwa, pikiran individu adalah aktif, menduga dan meramalkan
pola-pola aliran pengalaman kemudia membangun teori tentang hakekat
dunia.

Ketika hasil teorinya tidak memadai diganti dengan dugaan – dugaan baru,
diuji kemudian ditetapkan sebagai hasil teori baru, begitu seterusnya
(sesuatu yang rekursif). Jadi pengetahuan subjektif kita tentang dunia luar
terdiri dari perkiraan, yang digunakan terus – menerus, diuji dan diganti bila
disalahkan.
Prinsipnya, teori-teori ini didasarkan pada dua faktor. Pertama, dari
pengalaman langsung kita. Kedua, teori-teori yang telah ada sebelumnya.
Ketergantungan pada teori – teori sebelumnya inilah yang menjadikan teori
subyektif bersifat rekursif.

Poper (1959) pandangannya hanya untuk ilmu pengetahuan dan asal usul teori
ilmiah. Glasersfeld (1983, 1984, 1989) menyatakan pandangan subjektif murni
tentang pengetahuan diuraikan sebagai kontrukstivisme radikal. Dunia dapat
dipahami sebagai sumber pengalaman kita. Dari sesuatu yang belum diketahui
berubah menjadi pembangun struktur kognitif. Piaget mencirikan struktur
konseptual ditentukan dari kecukupan pengalaman dan kelayakannya sebagai
sarana untuk memecahkan masalah karena masalah tak pernah berakhir
sebagai akibat dari pengaturan yang konsisten yang kita sebut pemahaman.
(Glasersfeld ,1983, hal 50 – 51).

Konstruktivisme adalah teori pengetahuan yang berakar filsafat, psikologi


dan sibernetika.
Prinsipnya : (a) pengetahuan tidak diterima secara pasif tetapi juga secara aktif
dibangun oleh pemahaman subjek
(b) fungsi pemahaman menyesuaikan pengalaman yang telah ada,
bukan penemuan dari realitas ke logis.(Glasersfeld, 1989,
halaman 162)
Pandangan berikut menjelaskan bagaimana kita mengkonstruksi pengetahuan
subjektif, mengkonstruksi pengetahuan yang cocok dengan porsi yang
diberikan dunia, yang terkendala (bertentangan) oleh pemikiran modern yang
berakar ilmu pengetahuan filsafat yang semua ini tetap menjamin kelangsungan
dari pengetahuan.

Teori ini belum menjelaskan kemungkinan komunikasi dan kesepakatan antara


individu individu. Individu-individu ini mungkin memiliki model subjek yang
sama sekali berbeda, bahkan bertentangan, model subjektif dunia.

Perbedaan tersebut tampaknya tak terhindarkan, namun hal ini tidak terjadi.
Seperti yang diuraikan, pandangan konstruktivis sosial yang memberikan
penjelasan tentang perkembangan pengetahuan dunia manusia, interaksi
sosialnya, dan pemerolehan bahasanya. Suatu mekanisme yang meningkatkan
kesesuaian pengetahuan subjektif dengan dunia harus memperhatikan
kesesuaian dengan dunia sosial, termasuk pola penggunaan bahasa dan
perilaku. Glasersfeld, dunia pengalaman kognisi subjek, tidak membedakan
antara realitas fisik atau sosial.
Dengan demikian generasi dan adaptasi teori pribadi berdasarkan makna data
dan interaksi sama-sama berlaku untuk dunia sosial, sebagaimana ditunjukkan
uraian berikut:

Sejak kelahirannya, individu menerima kesan makna dari dunia eksternal dan
dunia sosial demikian juga dia berinteraksi. Teori – teori subyektif untuk
menjelaskan, dan kemudian menjadi pemandu, interaksi mereka dengan alam
ini terus – menerus diuji melalui interaksi dengan lingkungan. Bagian dari
aktivitas mental ini berkaitan dengan orang dan bahasa. Mendengar
pembicaraan mengarah pada teori-teori tentang makna kata (kalimat) dan
penggunaan.

Saat teori ini diduga, mereka diuji melalui tindakan dan ucapan – ucapan.
Pengetahuan subjektif tentang bahasa ini cenderung lebih prosedural daripada
pengetahuan proporsional. Artinya, akan lebih merupakan masalah 'mengetahui
bagaimana' daripada ‘mengetahui bahwa' (Ryle, 1949).

Halliday (1978) menjelaskan kompetensi penguasaan bahasa dalam tiga sistem


yang saling terkait, yaitu bentuk, makna, dan fungsi (sosial) bahasa. Bentuk dan
fungsi bahasa adalah sistem yang dimanifestasikan secara umum, yang terbuka
untuk koreksi dan kesepakatan. Sementara sistem makna adalah pribadi.
Orang yang berbeda yang tumbuh dalam bahasa yang sama seperti semak –
semak yang dipangkas dan dilatih untuk membentuk gajah secara identik.
Detail anatomis ranting dan cabang dari semak ke semak – semak akan
memenuhi bentuk gajah dengan cara berbeda, namun secara keseluruhan hasil
luarnya sama. (Quine, 1960, halaman 8).

Bagaimana individu memperoleh (mengkonstruksi) pengetahuan


subjektif, termasuk pengetahuan bahasa ?

Dua fitur kunci dari pertanyaan di atas adalah sebagai berikut :

Pertama, ada konstruksi aktif pengetahuan, biasanya konsep dan hipotesis,


berdasarkan pengalaman dan pengetahuan sebelumnya.
Kedua, ada peran penting yang dimainkan oleh pengalaman dan interaksi
dengan dunia fisik dan sosial, baik dalam tindakan fisik dan mode pembicaraan.
Pengalaman ini digunakan sebagai pengetahuan, akan tetapi pengalaman ini
tidak sesuai dengan hasil yang dimaksudkan dan dirasakan. Oleh karena itu
perlu restrukturisasi pengetahuan, agar sesuai dengan pengalaman.
Efek pembentukan pengalaman, menggunakan metafora Quine, tidak boleh
diremehkan.
Bauersfeld menjelaskan teori ini sebagai sifat triadic pengetahuan manusia:
struktur pengetahuan subjektif, oleh karena itu konstruksi subyektif berfungsi
sebagai model yang layak, yang telah dibentuk melalui adaptasi pada
perlawanan dari 'dunia' dan melalui negosiasi dalam ‘interaksi sosial '.
(Grouws et al, 1988, halaman 39)

Konsekuensi lebih lanjut mengenai pandangan pertumbuhan pengetahuan


subjektif berkaitan dengan sejauh mana makna yang melekat pada informasi
simbolik, seperti buku atau bukti matematis.

Sesuai pandangan yang diajukan, makna – makna itu dikonstruksi pembaca.


(Pandangan ini pada dasarnya, pendekatan dekonstruktif Derrida untuk makna
tekstual; Anderson dkk, 1986), Aturan linguistik, konvensi dan norma-norma
direkonstruksi oleh pembaca selama pemerolehan bahasa mereka membatasi
pembaca pada suatu interpretasi yang mungkin cocok dengan interpretasi
pembaca lainnya.

Dengan kata lain, tidak ada makna dalam buku – buku dan bukti - bukti.
Makna harus diciptakan oleh pembaca, atau lebih tepatnya, dibangun atas
dasar makna subjektif yang ada. Makna bahasa dalam masyarakat tergantung
pada pribadi pembacanya. Aturan bahasanya dikonstruksi agar sesuai dengan
batasan – batasan yang ditetapkan secara umum.
Namun, kesepakatan sosial bagaimana sebuah simbolisme harus diterjemahkan
untuk membatasi konstruksi makna individu, sehingga memberikan arti bahwa
di dalam isi teks itu sendiri terdapat muatan informasi.

Pengetahuan, kebenaran dan makna tidak dapat dikaitkan dengan sekumpulan


tanda atau simbol. Hanya penetapan makna seperangkat tanda, atau sebuah
sistem simbol dari sebuah dokumen yang dipublikasikan, bagi seorang
individu dapat menghasilkan pengetahuan atau makna. Seperti dalam teori
komunikasi, pengkodean adalah penting jika makna dikaitkan dengan satu set
kode penyiaran.

Menurut pandangan konstruktivis, pertumbuhan pengetahuan subjektif seorang


individu dibentuk oleh interaksi dengan orang lain (dan dunia).

Suatu fungsi f(x) (didefinisikan pada bilangan real) mendekati tak terhingga
dapat dikonstruksi lebih halus dalam bahasa analisis matematika yaitu,
bahwa untuk setiap bilangan real r terdapat bilangan real s lain sedemikian
hingga jika x > s, maka f(x) > r. Perumusan kembali ini tidak lagi mengatakan
bahwa fungsi secara harfiah mendekati tak terhingga, tetapi bahwa untuk
setiap nilai yang berhingga, ada suatu titik sedemikian hingga semua nilai dari
fungsi melebihi titik itu. Perhatikan bahwa pernyataan pertama tetap
dipertahankan untuk memperoleh definisi yang lebih tepat.
Secara ringkas, bahwa:

Pengetahuan subjektif tidak diterima secara pasif tetapi secara aktif dibangun
oleh kesadaran subjek, dan bahwa fungsi kognisi adalah adaptif dan melayani
organisasi dunia pengalaman individu (Glasersfeld, 1989 ).

Proses ini memperhitungkan pengetahuan subjektif tentang dunia dan bahasa


(termasuk matematika), kendala objektif, baik secara fisik dan sosial, memiliki
efek membentuk pengetahuan subyektif, yang memungkinkan untuk sebuah
'kesesuaian’ antara aspek-aspek pengetahuan subyektif dan dunia luar,
termasuk bentuk-bentuk fisik dan sosial, dan pengetahuan individu-individu
lain, makna hanya dapat diberikan oleh individu, dan tidak intrinsik untuk
sebarang sistem simbolis.
b. Konstruksi Pengetahuan Matematika

Pengetahuan linguistik memberikan landasan (genetik dan justivikasi) untuk


pengetahuan abjektif matematika, baik dalam mempertahankan dugaan
konvensional, dan selanjutnya sebagai bagian dari filsafat kontruktivisme
sosial dan matematika. Pengetahuan linguistik juga memberikan landasan baik
genetik dan justifikasi untuk pengetahuan subjektif matematika.

Dalam bagian ini akan dijelaskan asal usul subjektif dari pengetahuan objektif
yang berakar kuat dalam pengetahuan linguistik dan kompetensi.

Landasan pengetahuan matematika baik genetik dan justifikasi diperoleh


dengan bahasa. Untuk genetik landasan matematikanya adalah konsep dan
proposisi dan untuk justifikasi landasan pengetahuan matematikanya secara
proporsional diperoleh dalam pengetahuan bahasa. Sebagai tambahan,
struktur konseptual, merupakan hasil dari pengetahuan subjektif matematika.
Salah satu ciri pengetahuan matematika adalah bertingkat dan hirarki,
khususnya antara istilah-istilah dan konsep-konsep. Ini adalah suatu sifat logis
dari pengetahuan matematika baik dalam eksposisi pengetahuan objektif
matematika dan pengetahuan subjektif matematika.

Berdasarkan pembagian istilah kedalam primitif dan definisi, secara sederhana


definisi induksi dari tingkat setiap istilah dalam suatu struktur hirarki dapat
diberikan.

Asumsikan bahwa setiap konsep dinamakan dengan istilah, ini memberikan


suatu hirarki dari istilah dan konsep. Misalkan istilah pada tingkat 1 adalah
istilah primitif dari segi teori. Asumsikan bahwa istilah pada tingkat ke n
terdefinisi, kita definisikan istilah untuk tingkat ke n+1 menjadi sesuatu yang
mencakup istilah pada tingkat ke n, tetapi tidak untuk setiap tingkat tertinggi
(walaupun tingkat terendah dapat dimasukkan).
Definisi ini jelas menandai bahwa setiap istilah dari teori objektif matematika
untuk suatu tingkat dan karenanya menentukan suatu hirarki dari istilah-istilah
dan konsep-konsep (relatif untuk teori yang diberikan).
Untuk mengilustrasikan hirarki pengetahuan subjektif matematika perhatikan
contoh berikut, yang memberikan contoh sifat linguistik. Pada tingkat terendah
dari hirarki adalah istilah dasar dengan aplikasi empiris langsung seperti :
’garis’, ’segitiga’, ’kubus’, ’ satu’ dan ’ sembilan’. Pada tingkat tertinggi istilah-
istilah ini didefinisikan dengan memilih di tingkat rendahnya, seperti ’bidang’,
’bilangan’, ’penjumlahan’ dan ’ koleksi’. Masih pada tingkat tertinggi, terdapat
banyak konsep – konsep abstraks seperti : ’ fungsi’, ’himpunan’, ’ sistem
bilangan’, didasarkan pada tingkat terendah dan sebagainya.

Pada cara ini, konsep – konsep matematika ditetapkan kedalam suatu hirarki dari
berbagai tingkat. Konsep-konsep pada tingkat selanjutnya didefinisikan secara
implisif atau eksplisit dalam istilah-istilah dan dari tingkat yang lebih rendah.
Definisi implisit dapat diberikan sebagai bentuk berikut : bilangan terdiri dari
’satu’. ’ dua’, ’ tiga’ dan objek-objek lain dengan sifat yang sama. ’Bidang’
berlaku untuk lingkaran, persegi , segitiga dan objek-objek lain yang serupa.
Dengan demikian konsep baru didefinisikan dalam istilah sifat implisif dari
serangkaian himpunan berhingga yang keanggotaannya tercakup secara implisif
(termasuk secara eksplisif, terhadap konsep baru).
Generasi suatu hirarki dari konsep abstrak yang bertambah merefleksikan
suatu kecenderungan khusus dalam asal-usul pengetahuan matematika
manusia.
Untuk menggeneralisasi dan mengabstraksi memiliki sifat struktur dari
pengetahuan sebelumnya dalam pembentukan konsep dan pengetahuan baru .
Kita menduga keberadaan mekanisme demikian untuk menjelaskan asal-usul
dari konsep-konsep abstrak dan pengtahuan.
Abstraksi ini merupakan proses vertikal yang kontras dengan generasi
pengetahuan matematika jenis kedua : penghalusan, elaborasi atau kombinasi
dari pengetahuan yang ada, tampa harus berpindah ke tingkat abstraksi
tertinggi.

Dengan demikian asal-usul pengetahuan matematika dan ide-ide matematiks


dalam pemikian individu diduga melibatkan proses vertikal dan horizontal,
relatif terhadap hirarki konsep individu. Arah ini analog dengan keterlibatan
secara induktif dan deduktif.
Proses vertikal dari generasi pengetahuan subjektif melibatkan generalisasi,
abstraksi dan reifikasi, dan termasuk pembentukan konsep. Ciri khas proses ini
melibatkan transformasi sifat-sifat, kontruktivisme, atau koleksi konstruktivisme
menjadi objek-objek.
Selanjutnya, untuk contoh, kita dapat mengkonstruksi secara rasional kreasi dari
konsep bilangan, dimulai dengan ordinat, untuk ilustrasi proses ini. Bilangan
ordinal ’5’, dikaitkan dengan suku kelima dari barisan bilangan, dengan artian 5
objek. Hal ini diabstraksikan dari urutan khusus penghitungan, dan
digeneralisasikan dengan ’5’ dipakai sebagai suatu sifat untuk menunjukkan 5
objek. Sifat ’5’ (dipakai pada himpunan) direifikasi menjadi objek ’5 ’, adalah
suatu benda, nama dari benda itu sendiri. Kemudian, koleksi dari bilangan
sedemikian direifikasi kedalam himpunan ’ bilangan’. Selanjutnya kita melihat
bagaimana suatu bagian dapat dikonstruksi dari operasi konkrit (menggunakan
bilangan ordinal 5), melalui proses abstraksi dan reifikasi yang akhirnya (melalui
bilangan kardinal 5) menjadi konsep abstrak blangan 5.

Uraian ini tidak ditawarkan sebagai hipotesis psikologi, tetapi sebagai konstruksi
ulang secara teori dari asal-usul pengetahuan subjektif matematika dengan
abstraksi.
Asal – usul konsep dan proposisi pengetahuan subjektif matematika.
Perhitungan yang diberikan dari asal-usul ini melibatkan empat klaim.
Pertama, konsep dari proposisi matematika mengorganisasikan dan telah
berakar dalam bahasa alami ini, dan dijelaskan (dibangun) sepanjang sisi
kompetensi linguistik,
Kedua, mereka dapat dibagi menjadi primitif dan konsep turunan dan
proposisi.
Konsep dapat dibagi menjadi observasi dasar dan pengalaman sensori
langsung, dan juga definisi secara linguistik dengan arti istilah – istilah dan
konsep-konsep lain, atau bentuk pengabstrakan mereka.
Demikian juga, proposisi terdiri dari perolehan secara linguistik dan diturunkan
dari keberadaan awal proposisi matematika, walaupun pembedaan ini tidak
diklaim untuk jelas dipotong.
Ketiga, pembagian konsep, digabungkan dengan urutan definisi mereka, hasil
dalam suatu dan pribadi) struktur hirarki subjektif konsep-konsep (dengan
mana proposisi diasosiasikan menurut kosep orang banyak).
Keempat, asal usul proses horizontal konsep dan turunan proposisi, yang mana
menambil bentuk alasan induktif dan deduktif..
c. Kepercayaan subjektif dalam Eksistensi Objek Matematika.

Individu membangun pengetahuan subjektif yang dimiliki dan konsep eksternal


dan dunia sosial sebaik matematika, sehingga sesuai dengan apa yang diharapkan
secara sosial.

Jika suatu pengetahuan individu dari dunia nyata, termasuk komponen –


komponen konvensionalnya adalah konstruksi mental yang dikontruksi dengan
penerimaan sosial, maka kepercayaan dalam konstruksi seperti ini jelas sama
kuatnya seperti kepercayaan dalam sesuatu. Pengetahuan subjektif matematika
dan pengenalan dengan konsepnya dan objek – objek juga suatu konstruksi
mental. Tetapi seperti penentuan konstruksi sosial, mempunyai pemunculan
objek eksternal dari penerimaan sosialnya.
Objek matematika juga mempunyai :
(i) Contoh konkrit secara langsung (untuk konsep matmatika primitif) atau
tidak langsung (untuk konsep matematika yang didefinisikan); dan
(ii) Keperluan logika, melalui dasar-dasar logika dan struktur deduktif.
Sifatsifat ini memberikan kenaikan kepercayaan dalam keberadaan objektif
matematika dan objek-objeknya.
3. Hubungan Pengetahuan Objektif dan Subjektif Matematika

Hubungan diantara pengetahuan objektif dan subjektif matematika adalah sentral


untuk konstruktivisme sosial filsafat matematika. Menurut filsafat ini, adalah
saling bergantungan, melayani untuk kreasi masingmasingnya.

Pertama, pengetahuan matematika objektif dikonstruksi ulang sebagai


pengetahuan subjektif oleh individu, melalui interaksi dengan guru dan orang
lainnya, dan dengan interpretasi teks dan sumber lain yang membosankan.
Kedua, pengetahuan subjektif matematika mempunyai dampak pada pengetahuan
objektif dalam dua cara. Rutenya melalui kreasi matematika secara individu
menjadi suatu pengetahuan matematika subjektif melalui penjelasan kreasi
survival (termasuk pengulangan keberadaan matematika awal) ditambahkan ke
badan pengetahuan matematika objektif.

Kontruktivisme sosial adalah pengetahuan objektif matematika yang sosial, dan


tidak termuat dalam teks atau materi lain yang tercatat, tidak dalam beberapa
realistas ideal. Pengetahuan objektif matematika berada dalam naungan aturan,
konvensi, pengertian, dan arti dari anggota masysrakat sosial, dan dalam interaksi
mereka (dan konsekwensi, institusi sosial).
Pengetahuan objektif matematika yang dikreasikan secara kontinu dan
diperbaharui oleh pertumbuhan pengetahuan subjektif matematika dalam artian
individu yang tak terbilang.

Dugaan konstruktivisme sosial adalah pengetahuan matematika objektif yang


ada di dalam dan melalui dunia sosial tindakan manusia, interaksi dan peraturan,
didukung oleh pengetauan subjektif matematika secara individu (bahasa dan
kehidupan sosial), yang perlu pengulangan kreasi konstan.
Jadi pengetahuan subjektif kreasi ulang pengetahuan objektif , tanpa yang
terakhir mereduksi yang pertama.

Pandangan pengetahuan ini didukung oleh sejumlah penulis. Paul Cobb,


mengargumenkan suatu perpektif kontruktivisme radikal yaitu :
”Pandangan bahwa budaya pada umumnya dan matematika pada khususnya
dapat diambil sebagai landasan yang kuat memalui analisis pembelajaran dan
pengajaran yang dipertanyakan. Sebaliknya dikatakan bahwa pengetahuan
budaya (termasuk matematika) secara kontinuitas dikreasi ulang melaui
tindakan koordinasi dari anggota suatu komunitas.”
”Pengetahuan adalah kepercayaan yang benar yang dibenarkan” diterjemahkan
menjadi ”pengetahuan objektif matematika adalah pengetahuan subjektik yang
diterima secara sosial, yang dinyatakan dalam bentuk pernyataan linguistik”.
Menurut terjemahan ini, pengetahuan objektif matematika bergantung secara
logika pada pengetahuan subjektif, karena urutan definisi.

4. Kritik Kontruktivisme Sosial

Konstruktivisme sosial memandang ada 3 dasar filsafat matematika:


(1) quasi empirisme, (2) konvensionalisme, (3) konstruktivisme radikal.

Pandangan tersebut mendapat kritikan:


Pertama, ada masalah dalam menguraikan syarat-syarat logika matematika dari
sudut pandang perspektif konvensionalisme social.

Kedua, ada kritik yang dapat diarahkan pada sintesis baru yang disediakan oleh
konstruktivisme sosial. Kritik yang lebih tajam adalah terjadi inkonsistensi
antara teori-teori konvensionalisme dengan konstruktivisme radikal.

Anda mungkin juga menyukai