Anda di halaman 1dari 41

Makalah tentang Tokoh, Teori dan Aplikasinya dalam pembelajaran

Nama Mahasiswa : Astuti


Nim / Kelas : 8206172006 /B1
Jurusan : Pendidikan Maatematika 2020
Dosen : Prof. Dr. P. Siagian, M.Pd
M. Kuliah : Filsafat Pendidikan Matematika

PENDIDIKAN MATEMATIKA PROGRAM PASCASARJANA


UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2020
10 tokoh pembelajaran dan teori yang dikemukakan serta aplikasinya dalam
pembelajaran

1. Jean Piaget (1896–1980)


Jean Piaget adalah psikolog Swiss kelahiran Neuchatel 1896 yang dikenal sebagai
pencetus teori perkembangan kognitif. Ia adalah putra dari Arthur Piaget, Profesor sastra
abad pertengahan di Universitas Neuchatel. Piaget belajar epistemology dan filsafat di
Universitas Neuchatel, kemudian belajar sebentar di Universitas Zurich. Ia pindah dari
Swiss ke Perancis untuk mengajar di sekolah Alfred Binet, kemudian kembali ke Swiss
untuk menjawab sebagai direktur Institut Rousseau di Jenewa.
Dari tahun 1925 hingga 1929, Piaget bekerja sebagai Profesor psikologi, sosiologi dan
filsafat sains di Universitas Neuchatel. Ia juga mengajar di Universitas Jenewa dan
Universitas Paris. Di luar benua Amerika, Piaget beberapa kali diundang untu mengajar
salah satunya di Cornell dan Universitas California Berkeley. Pada tahun 1979 mendapat
anugerah Balzan Prize untuk ilmu sosial dan politik. Jean Piaget adalah pendidik,
ilmuwan dan psikolog yang dikenal atas teori perkembangan kognitif serta perintis teori
konstruktivistik.

a. Teori Perkembangan Kognitif


Perkembangan kognitif sebagian besar ditentukan oleh manipulasi dan interaksi aktif
anak dengan lingkungan. Pengetahuan datang dari tindakan. Piaget yakin bahwa
pengalaman – pengalaman fisik dan manipulasi lingkungan penting bagi terjadinya
perubahan perkembangan.
Teori perkembangan Piaget mewakili konstruktivisme yang memandang
perkembangan koqnitif sebagai suatu proses di mana anak secara aktif membangun
system makna dan pemahaman realitas melalui pengalaman – pengalaman dan
interaksi – interaksi mereka.
Menurut teori Piaget, setiap individu pada saat tumbuh mulai dari bayi yang baru
dilahirkan sampai menginjak usia dewasa mengalami empat tingkat perkembangan
koqnitif. Empat tingkat perkembangan kognitif tersebut dapat dilihat pada table
berikut :

Tabel Tahap – tahap Perkembangan Koqnitif Piaget

Tahap Perkiraan Usia Kemampuan – kemampuan Utama


Sensorimotor Lahir sampai 2 tahun Terbentuknya konsep “kepermanenan
objek” dan kemajuan gradual dari
perilaku reflektif ke perilaku yang
mengarah pada tujuan.

Praoperasional 2 sampai 7 tahun Perkembangan kemampuan


menggunakan symbol – symbol untuk
menyatakan objek – objek dunia.
Pemikiran masih egosentris dan
sentrasi.
Operasi Konkret 7 sampai 11 tahun
Perbaikan dalam kemampuan untuk
berpikir secara logis. Kemampuan –
kemampuan baru termasuk
penggunaan operasi – operasi yang
dapat balik. Pemikiran tidak lagi
sentrasi tetapi desentrasi , dan
pemecahan masalah tidak begitu
Operasi Formal 11 tahun sampai dibatasi oleh keegosentrisan
dewasa
Pemikiran abstrak dan murni simbolis
mungkin dilakukan. Masalah –
masalah dapat dipecahkan melalui
penggunaan eksperimentasi
sistematis.

Piaget menemukan bahwa penggunaan operasi formal bergantung pada keakraban


kemungkinannya menggunakan operasi formal (Nur,2001)
Menurut Piaget (dalam Slavin,1994: 145), perkembangan kognitif sebagian besar
bergantung kepada seberapa jauh anak aktif memanipulasi dan aktif berinteraksi
dengan lingkungannya.
Menurut Piaget, proses belajar akan terjadi jika mengikuti tahap-tahap asimilasi,
akomodasi, dan ekuilibrasi (penyeimbangan). Proses asimilasi merupakan proses
pengintegrasian atau penyatuan informasi baru ke dalam struktur kognitif yang telah
dimiliki oleh individu. Proses akomodasi merupakan proses penyesuaian struktur
kognitif ke dalam situasi yang baru. Sedangkan proses ekuilibrasi adalah penyesuaian
berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi. Sebagai contoh, seorang anak
sudah memahami prinsip pengurangan. Ketika mempelajari prinsip pembagian, maka
terjadi proses pengintegrasian antara prinsip pengurangan yang sudah dikuasainya
dengan prinsip pembagian (informasi baru). Inilah yang disebut proses asimilasi. Jika
anak tersebut diberikan soal-soal pembagian, maka situasi ini disebut akomodasi.
Artinya, anak tersebut sudah dapat mengaplikasikan atau memakai prinsip-prinsip
pembagian dalam situasi yang baru dan spesifik. Agar seseorang dapat terus
mengembangkan dan menambah pengetahuannya sekaligus menjaga stabilitas mental
dalam dirinya, maka diperlukan proses penyeimbangan. Proses penyeimbangan yaitu
menyeimbangkan antara lingkungan luar dengan struktur kognitif yang ada dalam
dirinya. Proses inilah yang disebut ekuilibrasi. Tanpa proses ekuilibrasi,
perkembangan kognitif seseorang akan mengalami gangguan dan tidak teratur
(disorganized). Hal ini misalnya tampak pada caranya berbicara yang tidak runtut,
berbelit-belit, terputus-putus, tidak logis, dan sebagainya. Adaptasi akan terjadi jika
telah terdapat keseimbangan di dalam struktur kognitif

b. Aplikasi Teori Pembelajaran Kognitif dalam pembelajaran


Berikut ini adalah implikasi penting dalam model pembelajaran dari teori Piget
1. Memusatkan perhatian pada berpikir atau proses mental anak, tidak sekedar pada
hasilnya. Di samping kebenaran jawaban siswa, guru harus memahami proses yang
digunakan anak sehingga samapai pada jawaban tersebut.
2. Memerhatikan peranan pelik dari inisiatif anak sendiri, keterlibatan aktif dalam
kegiatan pembelajaran. Di dalam kelas piaget, penyajian pengetahuan jadi tidak
mendapat penekanan, melainkan anak didorong menemukan sendiri pengetahuan
itu melalui interaksi spontan dengan lingkungannya.
3. Memaklumi akan adanya perbedaan individual dalam hal kemajuan perkembangan.
Teori Piaget mengasumsikan bahwa seluruh siswa tumbuh melewati urutan
oerkembangan yang sama, namun pertumbuhan itu berlangsung pada kecepatan
yang berbeda. Sebab itu guru mampu melakukan upaya untuk mengatur kegiatan
kelas dalam bentuk kelompok kecil daripada bentuk kelas yang utuh,

Hakekat belajar menurut teori kognitif dijelaskan sebagai suatu aktifitas belajar yang
berkaian dengan penataan informasi, reorganisasi perseptual, dan proses internal.
Kegiatan pembelajaran yang berpijak pada teori belajar kognitif ini sudah banyak
digunakan. Dalam merumuskan tujuan pembelajaran, mengembangkan strategi dan
tujuan pembelajaran, tidak lagi mekanistik sebagaimana yang dilakukan dalam
pendekatan behavioristik. Kebebasan dan keterlibatan siswa secara aktif dalam
proses belajar amat diperhitungkan, agar belajar lebih bermakna bagi siswa.
Sedangkan kegiatan pembelajarannya mengikuti prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Siswa bukan sebagai orang dewasa yang muda dalam proses berpikirnya. Mereka
mengalami perkembangan kognitif melalui tahap-tahap tertentu.
2. Anak usia pra sekolah dan awal sekolah dasar akan dapat belajar dengan baik,
terutama jika menggunakan benda-benda kongkrit.
3. Keterlibatan siswa secara aktif dalam belajar amat dipentingkan, karena hanya
dengan mengaktifkan siswa maka proses asimilasi dan akomodasi pengetahuan
dan pengalaman dapat terjadi dengan baik.
4. Untuk menarik minat dan meningkatkan retensi belajar perlu mengkaitkan
pengalaman atau informasi baru dengan setruktur kognitif yang telah dimiliki si
belajar.
5. Pemahaman dan retensi akan meningkat jika materi pelajaran disusun dengan
menggunakan pola atau logika tertentu, dari sederhana ke kompleks.
6. Belajar memahami akan lebih bermakna dari pada belajar menghafal. Agar
bermakna, informasi baru harus disesuaikan dan dihubungkan dengan
pengetahuan yang telah dimiliki siswa. Tugas guru adalah menunjukkan hubungan
antara apa yang sedang dipelajari dengan apa yang telah diketahui siswa.
7. Adanya perbedaan individual pada diri siswa

2. Lev Vygotsky (1896–1934)


Nama lengkapnya Lev Semionovich Vygotsky, psikolog Uni Soviet kelahiran Orsha,
Belarusia 1896 (meninggal 11 Juni 1934) yang dikenal sebagai contributor teori
konstruktivistik sosial, Zone of Proximal Development dan contributor beberapa teori
Marxis. VLev lahir dari keluarga keturunan Yahudi Rusia. Pada tahun 1913, ia diterima di
Universitas Moskow, yang pada saat itu kuota mahasiswa Yahudi yang belajar di sana
sangat dibatasi. Namun sayangnya Lev tidak pernah menyelesaikan studinya.
Pada tahun 1924, Lev mengambil bagian dari kongres Psikoneurologis di Petrograd.
Setelah kongres, Lev menerima undangan menjadi peneliti di Institut Psikologi di Moskow
dan memulai karirnya sebagai staf ilmuwan. Lev dikenal dengan perumus Vygotsky circle,
dan pencetus teori Zone of Proximal Development. Menurut Vygotsky, interaksi sosial
berperan penting dalam proses tumbuh kembang kognitif anak. Ia menekankan
pentingnya masyarakat dan budaya dalam mendorong pertumbuhan kognitif.
a. Teori Belajar Vigotsky

Konsep-konsep penting teori Sosio Genesis vygotsky tentang perkembangan kognitif yang
sesuai dengan revolusi sosiokultural dalam teori belajar dan pembelajaran adalah adalah
sebagai berikut;

1. Hukum Genetic tentang Perkembangan (Genetic Law of Development)

Menurut vygotsky, kemampuan seseorang akan tumbuh dan berkembang melewati 2


tataran, yaitu tataran sosial tempat orang-orang bentuk lingkungan sosial (Interpsikologis
atau Intermental), dan dataran sikologis di dalam diri orang yang bersangkutan
(Intrapsikologis atau Intramental).

Intermental  merupakan faktor premier dan terhadap pembentukan pengetahuan serta


perkembangan kognitif seseorang. Pandangan teori ini menyatakan bahwa fungsi-fungsi
hal yang lebih tinggi dalam diri seseorang akan muncul dan berasal dari kehidupan
sosialnya. Sementara, fungsi intermental sebagai derivasi atau keturunan yang tumbuh
atau terbentuk melalui penguasaan dan internalisasi terhadap proses-proses sosial
tersebut.

2. Zona Perkembangan Proksimal (Zone of Proximal Development)

Vygotsky juga mengemukakan konsep Zone of Proximal Development  (Zona


Perkembangan Proksimal).  Kita singkat dengan ZPD. Konsep ini berpandangan bahwa
dalam perkembangannya kemampuan seseorang dibedakan dalam 2 (dua) tingkatan, yaitu
tingkat perkembangan aktual dan perkembangan potensial.

Tingkat perkembangan aktual tampak dari kemampuan seseorang dalam menyelesaikan


tugas-tugas atau memecahkan masalah secara mandiri, disebut juga sebagai kemampuan
intramental. Sedangkan, tingkat perkembangan potensial tampak dari kemampuan
seseorang untuk menyelesaikan tugas-tugas atau masalah dengan bimbingan orang
dewasa atau ketika berkolaborasi dengan teman sebaya yang lebih kompeten, disebut juga
sebagai kemampuan intermental. Jarak antara kedua tingakt kemampuan ini disebut
dengan ZPD.

ZPD diartikan sebagai kemampuan atau fungsi yang masih pada proses pematangan.
Ibaratnya sebagai kuncup bunga yang belum menjadi buah. Anak berkembang melalui
interaksinya dengan orang dewasa atau kolaborasi dengan teman sebaya yang lebih
kompeten. Untuk menafsirkan ZPD ini menggunakan Scaffolding Interpretation, yaitu
memandang ZPD sebagai perancah, sejenis wilayah penyangga atau batu loncatan untuk
mencapai taraf perkembangan yang semakin tinggi.

Gagasan ZPD ini mendasari perkembangan teori belajar dan menigkatkan kualitas
pembelajaran dan mengoptimalkan perkembangan kognitif anak. Kuncinya adalah bahwa
perkembangan dan belajar bersifat interdependen atau saling terkait, perkembangan
kemampuan seseorang bersifat konteks dependen atau tidak dapat dipisahkan dari
konteks sosial dan sebagai bentuk benda mental dalam belajar adalah partisipasi dalam
kegiatan sosial.

3. Mediasi

Hubungan antara lingkungan sosii-kulturak dan proses perkembangan anak dibutuhkan


mediasi. Mediatornya berupa tanda maupun lambing-lambang yang menjadi kunci utama
untuk memahami proses sosial dan psikologis. Tanda-tanda atau lambang-lambang
tersebut merupakan produk dari lingkungan sosio-kultural di mana seseorang berada.
Semua perbuatan atau proses psikologis yang khas manusiawi dimediasikan dengan
psychological tools atau alat-alat berupa bahasa, tanda dan lambang, atau semiotika.

Ada 2 (dua) jenis mediasi dalam Teori perkembangan kognitif Vygotsky, yaitu media
Metakognitif dan mediasi Kognitif. Media metakognitif adalah penggunaan alat Semiotic
yang tujuannya untuk melakukan self Regalution (pengaturan diri) yang mencakup; Self-
Planning, Self-Monitoring, Self-Chechikng dan Self-Evaluation. Sedangkan media Kognitif
adalah penggunaan alat-alat kognitif yang tujuannya memecahkan masalah yang
berhubungan dengan pengetahuan tertentu. Sehingga, media kognitif bisa berupa konsep
spontan (yang bisa salah) dan berupa konsep ilmiah (yang lebih terjamin kebenarannya).
Menurut vygotsky, untuk membantu anak mengembangkan pengetahuan yang sungguh-
sungguh, dengan cara memadukan antara kedua mediasi melalui demonstrasi dan praktek.

Teori Vygotsky ini, lebih menekankan pada aspek social dari pembelajaran. Menurut
Vigotsky bahwa proses pembelajaran akan terjadi jika anak bekerja atau menangani tugas
–tugas yang belum dipelajari, namun tugas – tugas tersebut masih berada dalam jangkauan
mereka disebut dengan zoneof proximal development, yakni daerah tingkat perkembangan
sedikit di atas daerah perkembangan seseorang saat ini. Vigotsky yakin bahwa fungsi
mental yang lebih tinggi itu terserap ke dalam individu tersebut.

Satu lagi ide penting dari Vigotsky adalah Scaffolding yakni pemberian bantuan kepada
anak selama tahap – tahap awal perkembangannya dan mengurangi bantuan tersebut dan
memberikan kesempatan kepada anak untuk mengambil alih tanggung jawab yang
semakin besar segera setelah anak dapat melakukannya. Penafsiran terkini terhadap ide –
ide Vigotsky adalah siswa seharusnya diberikan tugas –tugas kompleks, sulit, dan realistiks
dan kemudian diberikan bantuan secukupnya untuk menyelesaikan tugas –tugas itu.

b. Aplikasi Teori Vigotsky dalam pembelajaran


1. Pembelajaran kooperatif. Peserta didik saling berinteraksi dan menemukan
strategi pemecahan masalah dengan efektif dalam ZPDnya masing-masing. Secara
khusus Vygotsky mengemukakan bahwa disamping guru, teman sebaya juga
berpengaruh penting pada perkembangan kognitif Peserta Didik, kerja kelompok
secara kooperatif tampaknya mempercepat perkembangan Peserta Didik.
2. Penerapkan Scaffolding. Dengan memberikan bantuan/bimbingan kepada Peserta
Didik pada awal pembelajaran, kemudian Peserta Didik mengembangkan dan
mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar apabila ia sudah
melakukannya.
3. Walaupun Peserta Didik terlibat dalam pembelajaran aktif, guru harus secara aktif
mendampingi setiap kegiatannya. Dalam istilah teoritis, ini berarti anak-anak
bekerja dalam ZPD dan guru menyediakan scaffolding bagi anak selama melalui
4. Kelompok kerja kreatif. Teman sebaya yang lebih kompeten (peer tutoring), yaitu
ada dalam kelompok seorang Peserta Didik mengajari Peserta Didik lain yang
tertinggal dalam pelajaran. Satu Peserta Didik bisa lebih efektif membimbing
Peserta Didik lain melewati ZPD karena mereka sendiri baru saja melewati tahap
itu sehingga bisa dengan mudah melihat kesulitan-kesulitan yang dihadapi anak
lain dan menyediakan scaffolding yang sesuai.

3. Robert Gagne (1916–2002)


Robert Mills Gagne, psikolog Amerika kelahiran 21 Agustus 1916 (meninggal 28 April
2002). Gagne belajar di Univeristas Yale, kemudian melanjutkan pascasarjana di Brown
University. Selanjutnya Gagne mengambil gelar Ph.D pada tahun 1940 di Connecticut
College for Women. Studinya banyak mempelajari tentang perilaku. Setelah perang dunia,
Gagne bekerja sebagai pengajar di Universitas Negeri Florida, kembali ke Connecticut
College for Women. Pada tahun 1958, Gagne menjadi Profesor di Universitas Princenton,
di mana penelitiannya memfokuskan pada pembelajaran pemecahan masalah pada
pembelajaran Matematika.
Pada 1962, bergabung dengan American Institute for Research, di mana ia menulis buku
pertamanya yang berjudul The Conditions of Learning. Robert Gagne menghabiskan masa
usianya sebagai pengajar di Universitas California Berkeley, kemudian di Universitas
Negeri Florida.

a. Teori Belajar Gagne


Teori yang dikemukakan oleh Gagne tergolong ke dalam psikologi tingkah laku atau
psikologi stimulus respon. Menurut Gagne (dalam Dahar, 1988), belajar merupakan proses
yang memungkinkan manusia mengubah tingkah laku secara permanen, sedemikian
sehingga perubahan yang sama tidak akan terjadi pada keadaan yang baru. Selain itu, Gagne
mengemukakan kematangan tidak diperoleh melalui belajar, karena perubahan tingkah laku
yang terjadi merupakan akibat dari pertumbuhan struktur pada diri manusia tersebut.

Belajar menurut Gagne adalah perubahan kemampuan manusia yang terjadi melalui
proses pembelajaran terus menerus, yang bukan saja disebabkan oleh pertumbuhan
saja. Ia mengutarakan teori belajar spesifik (Specific Learning Condition) yang terdiri
dari sembilan peristiwa pembelajaran: (1) memperoleh perhatian, (2)
menginformasikan tujuan pembelajaran, (3) menstimulasi hasrat belajar, (4)
menampilkan isi, (5) menyajikan panduan pembelajaram, (6) menampilkan kinerja,
(7) menyediakan umpan balik, (8) menilai kinerja, dan (9) meningkatkan

Bertitik tolak dari model belajarnya, yaitu model pemrosesan-informasi, Gagne


mengemukakan delapan fase dalam satu tindakan belajar (learning act). Fase-fase itu
merupakan kejadian-kejadian eksternal yang dapat distrukturkan oleh siswa (yang
belajar) atau guru. Setiap fase dipasangkan dengan suatu proses yang terjadi dalam
pikiran siswa menunjukkan satu tindakan belajar menurut Gagne. Setiap fase diberi
nama, dan di bawah masing-masing fase terlihat satu kotak yang menunjukkan
proses internal utama, yaitu kejadian belajar, yang berlangsung selama fase itu.
Kejadian-kejadian belajar itu akan diuraikan di bawah ini.
1. Fase Motivasi (motivatim phase)
Siswa (yang belajar) harus diberi motivasi untuk belajar dengan harapan, bahwa
belajar akan memperoleh hadiah. Misalnya, siswa-siswa dapat mengharapkan bahwa
informasi akan memenuhi keingintahuan mereka tentang suatu pokok bahasan, akan
berguna bagi mereka atau dapat menolong mereka untuk memperoleh angka yang
lebih baik.
2. Fase Pengenalan (apperehending phase)
Siswa harus memberikan perhatian pada bagian-bagian yang esensial dari suatu
kejadian instruksional, jika belajar akan terjadi. Misalnya, siswa memperhatikan
aspek-aspek yang relevan tentang apa yang ditunjukkan guru, atau tentang ciri-ciri
utama dari suatu bangun datar. Guru dapat memfokuskan perhatian terhadap
informasi yang penting, misalnya dengan berkata: “Perhatikan kedua bangun yang
Ibu katakan, apakah ada perbedaannya?”. Terhadap bahan-bahan tertulis dapat juga
melakukan demikian dengan menggaris-bawahi kata atau kalimat tertentu atau
dengan memberikan garis besarnya untuk setiap bab.
3. Fase Perolehan (acquisition phase)
Bila siswa memperhatikan informasi yang relevan, maka ia telah siap untuk
menerima pelajaran. Informasi yang disajikan, sudah dikemukakan dalam bab-bab
terdahulu, bahwa informasi tidak langsung disimpan dalam memori. Informasi itu
diubah menjadi bentuk yang bermakna yang dihubungkan dengan informasi yang
telah ada dalam memori siswa. Siswa dapat membentuk gambaran-gambaran mental
dari informasi itu, atau membentuk asosiasi- asosiasi antara informasi baru dan
informasi lama. Guru dapat memperlancar proses ini dengan penggunaan
pengaturan-pengaturan awal (Ausubel. 1963), dengan membiarkan para siswa
melihat atau memanipulasi benda-benda, atau dengan menunjukkan hubungan-
hubungan antara informasi baru dan pengetahuan sebelumnya.
4. Fase Retensi (retentim phase)
Informasi yang baru diperoleh harus dipindahkan dari memori jangka pendek ke
memori jangka panjang. Ini dapat terjadi melalui pengulangan kembali (rehearsal),
praktek (practice), elaborasi atau lain-lainnya.
5. Fase Pemanggilan (recall)
Mungkin saja kita dapat kehilangan hubungan dengan informasi dalam memori
jangka panjang. Jadi bagian penting dalam belajar ialah belajar memperoleh
hubungan dengan apa yang telah kita pelajari, untuk memanggil (recall) informasi
yang telah dipelajari sebelumnya. Hubungan dengan informasi ditolong oleh
organisasi materi yang diatur dengan baik dengan mengelompokkan menjadi
kategori-kategori atau konsep-konsep, lebih mudah dipanggil daripada materi yang
disajikan tidak teratur. Pemanggilan juga dapat ditolong, dengan memperhatikan
kaitan-kaitan antara konsep-konsep, khususnya antara informasi baru dan
pengetahuan sebelumnya.
6. Fase Generalisasi
Biasanya informasi itu kurang nilainya jika tidak dapat diterapkan di luar konteks
dimana informasi itu dipelajari. Jadi, generalisasi atau transfer informasi pada
situasi-situasi baru merupakan fase kritis dalam belajar. Transfer dapat ditolong
dengan meminta para siswa menggunakan keterampilan-keterampilan berhitung
baru untuk memecahkan masalah- masalah nyata, setelah mempelajari pemuaian
zat, mereka dapat menjelaskan mengapa botol yang berisi penuh dengan air dan
tertutup, menjadi retak dalam lemari es.
7. Fase Penampilan
Para siswa harus memperlihatkan, bahwa mereka telah belajar sesuatu melalui
penampilan yang tampak. Misalnya, setelah mempelajari bagaimana menggunakan
busur derajat dalam pelajaran matematika, para siswa dapat mengukur besar sudut.
Setelah mempelajari penjumlahan bilangan bulat, siswa dapat menjumlahkan dua
bilangan yang disebutkan oleh temannya.
8. Fase Umpan Balik
Para siswa harus memperoleh umpan balik tentang penampilan mereka, yang
menunjukkan apakah mereka telah atau belum mengerti tentang apa yang diajarkan.
Umpan balik ini dapat memberikan penguatan pada mereka untuk penampilan yang
berhasil.

Gagne menggunakan matematika sebagai sarana untuk menyajikan dan


mengaplikasi teori-teorinya tentang belajar. Menurut Gagne (dalam Ismail, 1998),
objek belajar matematika terdiri dari objek langsung dan objek tak langsung. Objek
langsung adalah transfer belajar, kemampuan menyelidiki, kemampuan
memecahkan masalah, disiplin pribadi dan apresiasi pada struktur matematika.
Sedangkan objek langsung belajar matematika adalah fakta, keterampilan, konsep,
dan prinsip.
1. Fakta (fact) adalah perjanjian-perjanjian dalam matematika seperti simbol-
simbol matematika, kaitan simbol “3” dengan kata “tiga” merupakan contoh
fakta. Contoh lainnya fakta : “+” adalah simbol dari operasi penjumlahan dan
sinus adalah nama suatu fungsi khusus dalam trigonometri.
2. Keterampilan (skills) adalah kemampuan memberikan jawaban yang benar dan
cepat. Misalnya pembagian cara singkat, penjumlahan pecahan, dan perkalian
pecahan.
3. Konsep (concept) adalah ide abstrak yang memungkinkan kita
mengelompokkan objek ke dalam contoh dan bukan contoh. Himpunan,
segitiga, kubus, dan jari-jari adalah merupakan konsep dalam matematika.
4. Prinsip (principle) merupakan objek yang paling kompleks. Prinsip adalah
sederetan konsep beserta dengan hubungan diantara konsep-konsep tersebut.
Contoh prinsip adalah dua segitiga sama dan sebangun bila dua sisi yang
seletak dan sudut apitnya kongruen

b. Aplikasi Teori Belajar Gagne dalam pembelajaran

Dalam pembelajaran menurut Gagne, peranan guru hendaknya lebih banyak


membimbing peserta didik. Guru dominan sekali peranannya dalam membimbing
peserta didik. Di dalam mengajar guru memberikan serentetan kegiatan dengan
urutan sebagai berikut :
1. Membangkitkan dan memelihara perhatian
2. Merangsang siswa untuk mengingat kembali konsep, aturan, dan keterampilan
yang relevan sebagai prasyarat
3. Menyajikan situasi atau pelajaran baru
4. Memberikan bimbingan belajar
5. Memberikan feedback atau balikan
6. Menilai hasil belajar
7. Mengupayakan transfer belajar
8. Memantapkan apa yang dipelajari dengan memberikan latihan-latihan untuk
menerapkan apa yang telah dipelajari.

4. Jerome Bruner (1915–2016)


Jerome Bruner Seymour Bruner, psikolog Amerika kelahiran 1 Oktober 1915 yang dikenal
atas kontribusinya dalam psikologi kognitif dan teori belajar kognitif dalam psikologi
pendidikan. Bruner lahir dari keluarga imigran Yahudi Polandia, orang tuanya
menyekolahkan di Universitas Duke, dan Ph.D dalam ilmu psikologi dari Universitas
Harvard.Pada tahun 1945, kembali ke Harvard sebagai Profesor Psikologi dan terlibat
dalam penelitian psikologi kognitif. Pada tahun 1970, meninggalkan Harvard untuk
mengajar di Oxford University. Pada tahun 1980 bergabung di New York University.
Diantara mahasiswanya yang terkenal adalah Profesor Howard Gardner.
Menurut Bruner, pembelajaran bisa muncul melalui tiga tahap, yaitu enactive, iconic dan
symbolic. Ia juga dikenal sebagai pencetus teori discovery learning. Diantara bukunya yang
terkenal adalah “Studies in Cognitive Growth: A Collaborative at The Center for
Cognitive Studies”.

a. Teori Konstruktivis

Konstruktivisme adalah epistemologi pembelajaran yang berdasarkan pada refleksi


pengalaman saat membangun pemahaman. Konstruktivisme berkaitan dengan proses
kognitif di mana siswa mengembangkan pengetahuannya. Konstruktivisme juga
merupakan kerangka konseptual yang sangat luas dengan perspektif banyak variasi.
Jerome Bruner yang dianggap sebagai salah satu pendiri Konstruktivisme.

Teori Bruner tentang Konstruktivisme dipengaruhi oleh teori penelitian sebelumnya


yaitu Lev Vygotsky, dan Jean Piaget. Kerangka teoretisnya meyakinkan bahwa peserta
didik membangun ide-ide atau konsep baru berdasarkan pengetahuan yang ada.
Proses pembelajaran aktif dan melibatkan transformasi informasi, memaknai
pengalaman, membentuk hipotesis, dan pengambilan keputusan. Melalui karyanya ia
menyajikan gagasan bahwa anak-anak bisa menjadi pemecah masalah yang aktif dan
mampu mengeksplorasi pengetahuan yang lebih sulit.
Teori Bruner tentang Konstruktivisme jatuh ke dalam domain kognitif. Siswa
dianggap sebagai pencipta dan pemikir melalui inquiry dan peran pengalaman dalam
belajar. Proses dimana peserta didik membangun pengetahuan. Peluang disediakan
bagi peserta didik untuk membangun pengetahuan baru dan makna baru dari
pengalaman otentik.

b. Discovery Learning

Teori Konstruktivis Bruner ini telah diadopsi dan dimanfaatkan untuk berbagai
situasi pengajaran. Ada teori lain banyak yang menggunakan aspek epistemologi
konstruktivis ketika merumuskan teori pembelajaran dan pengajaran. Bruner
mengembangkan metode pengajaran yang disebut Belajar Penemuan dengan
memanfaatkan teori Konstruktivisme. Belajar Penemuan adalah salah satu cara bahwa
guru dapat memanfaatkan teori karena teori itu sendiri merupakan penyelidikan.
Bruner menganggap bahwa belajar penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan
secara aktif oleh manusia dan dengan sendirinya memberikan hasil yang paling baik.
Berusaha sendiri untuk mencari pemecahan masalah serta pengetahuan yang
menyertainya, menghasilkan pengetahuan yang benar-benar bermakna.
Bruner menyarankan agar siswa-siswa hendaknya belajar melalui berpartisispasi
secara aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip agar mereka dianjurkan untuk
memperoleh pengalaman, dan melakukan eksperimen-eksperimen yang mengizinkan
mereka untuk menemukan prinsip-prinsip itu sendiri.
Pengetahuan yang diperoleh dengan belajar penemuan menunjukkan beberapa
kelebihan:
1. Pengetahuan itu bertahan lama atau lama dapat diingat, atau lebih mudah
diingat.
2. Hasil belajar penemuan mempunyai efek transfer yang lebih baik dengan
kata lain konsep-konsep dan prinsip-prinsip pada kognitif seseorang dapat
lebih mudah diterapkan pada situasi-situasi baru.
3. Secara menyeluruh belajar penemuan meningkatkan penalaran siswa dan
kemampuan untuk berpikir secara bebas.
4. Secara khusus belajar penemuan melatih keterampilan-keterampilan kognitif
siswa untuk menemukan dan memecahkan masalah tanpa pertolongan orang
lain dan meminta siswa untuk menganalisis dan memanipulasi informasi
tidak hanya menerima saja.
5. Membangkitkan keingintahuan siswa, memberikan motivasi untuk bekerja
terus sampai menemukan jawaban

c. Aplikasi Teori konstruktivis dalam pembelajaran

Teori Bruner menguraikan bahwa siswa dapat merepresentasikan


pengetahuan dan merekomendasikan untuk meninjau kembali pembelajaran
melalui kurikulum spiral. Sebuah aplikasi yang baik adalah di bidang matematika.
Sebelum siswa dapat memahami suatu notasi matematika abstrak, guru harus
memastikan bahwa siswa memahami konsep secara enaktif dan ikonik.
Berikut ini disajikan contoh penerapan teori belajar Bruner dalam
pembelajaran matematika di sekolah dasar.
Guru akan mengajarkan konsep perkalian, objek digunakan misalnya sapi.
Tahap enaktif, anak kita bawa ke kandang sapi, dengan mengamati dan mengotak-
atik dari 3 ekor sapi, jika kita perhatikan adalah:
 banyaknya kepala.........................ada 3
 banyaknya ekor..............................ada 3
 banyaknya telinga.........................ada 6
 banyaknya kaki..............................ada 12
Tahap Ikonik, anak dapat diberikan 3 ekor gambar sapi sebagai berikut:
 banyaknya kepala.........................ada 3
 banyaknya ekor..............................ada 3
 banyaknya telinga.........................ada 6
 banyaknya kaki..............................ada 12
Tahap simbolis dapat ditulis kalimat perkalian yang sesuai untuk ketiga sapi
tersebut bila tinjauannya berdasarkan pada:
 kepalanya, maka banyak kepala = 3 x 1
 ekornya, maka banyaknya ekor = 3 x 1
 telinganya, maka banyak telinga = 3 x 2
 kakinya, maka banyaknya kaki = 3 x 4
Dari fakta dan kalimat perkalian yang bersesuaian tersebut disimpulkan
bahwa: 3 x 1 = 3, 3 x 2 = 6 dan 3 x 4 = 12. Untuk lebih jelas simbolis dipandang
adalah kakinya, maka untuk:
 banyaknya kaki pada 1 sapi = 4
 banyaknya kaki 2 sapi = 8 ( karena kaki sapi 1 + kaki sapi 2 ) = 4 + 4
 banyaknya kaki 3 sapi = 12 ( kaki sapi 1 + kaki sapi 2 + kaki sapi 3) = 4 + 4 +
4 Dengan konstruksi berpikir semacam ini maka banyaknya kaki untuk
1 sapi = 1 x 4 = 4
2 sapi = 2 x 4 = 4 + 4 = 8
3 sapi = 3 x 4 = 4 + 4 + 4 = 12
Melanjutkan perkalian tersebut, tanpa menunjukkan gambar sapi, anak
dapat menyelesaikan,
4 x 4 = 4 + 4 + 4 + 4 = 16
5 x 4 = 4 + 4 + 4 + 4 + 4 = 20
6 x 4 = 4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4 = 24 dan seterusnya.
Dengan cara yang sama dapat dilanjutkan dengan perkalian fakta dasar lainnya.

d. Aplikasi Discovery Learning dalam Pembelajaran


Dalam belajar penemuan, metode dan tujuan tidak sepenuhnya seiring. Tujuan belajar
bukan hanya untuk memperoleh pengetahuan saja. Tujuan belajar sebenarnya adalah
untuk memperoleh pengetahuan dengan suatu cara yang dapat melatih kemampuan-
kemampuan intelektual siswa, dan merangsang keingintahuan mereka serta
memotivasi mereka. Inilah yang dimaksud dengan memperoleh pengetahuan melalui
belajar penemuan. Bruner (1996 : 72) mengungkapkan “ we teach a subject not to
produce little living libraries on that subject, but rather to get a student to think
mathematically for himself, to consider matters as an historian does to take part in the
process of knowledge-getting. Knowing is a process, not a product”. Jadi, jika kita
mengajarkan matematika misalnya, kita bukan akan menghasilkan perpustakaan-
perpustakaan kecil tentang matematika melainkan ingin membuat siswa kita berpikir
secara matematis bagi dirinya sendiri, berperan serta dalam proses perolehan
pengetahuan sehingga tahu itu adalah suatu proses bukan sebuah hasil. Implikasinya
yaitu tujuan-tujuan mengajar hanya dapat diuraikan secara garis besar, dan dapat
dicapai dengan cara-cara yang tidak perlu sama oleh para siswa yang mengikuti
pelajaran yang sama itu.

Dalam belajar penemuan siswa mendapat kebebasan sampai batas-batas tertentu


untuk menyelidiki, secara perorangan atau dalam suatu tanya jawab dengan guru,
atau oleh guru dan atau siswa lain, untuk memecahkan masalah yang diberikan oleh
guru, atau oleh guru dan siswa secara bersama-sama. Sehingga dalam belajar
penemuan ini guru tidak begitu mengendalikan proses belajar mengajar.
Dalam belajar penemuan, peranan guru dapat dirangkum sebagai berikut:
1. Merencanakan pelajaran sehingga pelajaran itu terpusat pada masalah-masalah
yang tepat untuk diselidiki oleh para siswa.
2. Menyajikan materi pelajaran yang diperlukan sebagai dasar bagi para siswa untuk
memecahkan masalah. Sudah seharusnya materi pelajaran itu dapat mengarah
pada pemecahan masalah. Sudah seharusnya materi pelajaran itu dapat mengarah
pada pemecahan masalah yang aktif dan belajar penemuan, misalnya dengan
menggunakan fakta-fakta yang berlawanan. Guru hendaknya mulai dengan sesuatu
yang sudah dikenal oleh siswa-siswa. Kemudian guru mengemukakan sesuatu yang
berlawanan. Dengan demikina terjadi konflik dengan pengalaman siswa, akibatnya
timbulah masalah. Dalam keadaan yang ideal, hal yang berlawanan itu
menimbulkan suatu keasingan yang merangsang para siswa untuk menyelidiki
masalah itu, menyusun hipotesis-hipotesis, dan mencoba menemukan konsep-
konsep atau prinsip-prinsip yang mendasari masalah itu.
3. Selain hal-hal yang tersebut diatas, guru juga harus memperhatikan tiga cara
penyajian yang telah dibahas terdahulu. Cara penyajian itu ialah cara enaktif,
ikonik, dan simbolik. Untuk menjamin keberhasilan belajar, guru hendaknya
mengikuti aturan penyajian dari enkatif, ikonik lalu simbolik .
4. Bila siswa memecahkan masalah di laboratorium atau secara teoritis, guru
hendaknya berperan sebagai seorang pembimbing atau tutor. Guru hendaknya
jangan mengungkapkan terlebih dahulu prinsip atau aturan yang akan dipelajari,
tetapi ia hendaknya memberikan saran-saran bilamana diperlukan. Sebagai tutor,
guru sebaiknya memberikan umpan balik pada waktu yang tepat. Umpan balik
sebagai perbaikan hendaknya diberikan dengan cara siswa tidak tergantung pada
bantuan guru. Dan akhirnya siswa harus melakukan sendiri fungsi tutor itu.
5. Menilai hasil belajar merupakan suatu masalah dalam belajar penemuan. Seperti
yang kita ketahui, tujuan-tujuan tidak dapat dirumuskan secara detail, dan tujuan-
tujuan tidak diminta sama. Lagi pula tujuan dan proses tidak selalu seiring. Secara
garis besar, tujuan belajar penemuan ialah mempelajari generalisasi-generalisasi
dengan menemukan generalisasi-generalisasi itu. Di kelas, penilaian hasil belajar
penemuan meliputi pemahaman tentang prinsip-prinsip dasar mengenai suatu
bidang studi, dan kemampuan siswa untuk menerapkan prinsip-prinsip itu pada
situasi baru.

5. David Ausubel (1918–2008)


David Ausubel adalah psikolog Amerika kelahiran Brooklyn, New York 25 Oktober 1918
yang dikenal atas kontribusinya dalam bidang psikologi pendidikan. Ausubel belajar di
University of Pennsylvania dalam bidang psikologi, kemudian melanjutkan studi
kedokteran di Universitas Middlesex, kemudian magang di Rumah Sakit Gouverneur.
Ausubel mendapat gelar master dan Ph.D dalam psikologi perkembangan dari Universitas
Columbia pada tahun 1950. Ausubel dikenal atas kontribusinya dalam teori belajar
bermakna.
a. Teori Belajar Bermakna Ausubel
Belajar bermakna merupakan suatu proses dikaitkannya informasi baru pada konsep-
konsep yang relevan yang terdapat pada struktur kognitif seseorang. Di dalam belajar
bermakna, informasi baru diasimilasikan pada subsume-subsume yang ada.

David mengungkapkan bahwa dengan teori belajar bermakna, maka belajar bisa
diklasifikasikan menjadi dua dimensi, diantaranya adalah :

 Dimensi yang berkaitan dengan cara informasi atau materi pelajaran disajikan
kepada siswa melalui penerimaan atau penemuan sehingga siswa lebih aktif,
atau
 Dimensi yang menyangkut tentang cara siswa untuk mengabaikan informasi
pada beberapa struktur yang ada, khususnya struktur kognitif diantaranya
adalah fakta, konsep, dan generalisasinya yang telah dipelajari dan diingat
siswa.

Menurut Ausubel, pada tahap pertama belajar, informasi dapat dikomunikasikan


kepada siswa dalam bentuk belajar penerimaan dengan menyajikan informasi dalam
bentuk final atau mengharuskan siswa untuk menemukan sendiri materi yang akan
diajarkan.

Pada tingkat kedua, siswa menghubungkan atau mengaitkan informasi  tersebut pada
pengetahuan yang telah dimilikinya, dalam hal ini terjadi proses belajar bermakna.

Ausubel membedakan antara belajar menerima dengan belajar menemukan. Pada


belajar menerima, siswa hanya menerima sehingga tinggal menghapalnya.

Pada belajar menemukan, konsep sudah ditemukan oleh siswa, sehingga siswa tidak
menerima materi pelajaran begitu saja.

Selain itu, Ausubel juga berpendapat bahwa terdapat perbedaan mendasar antara
belajar menghapal dengan belajar bermakna.

DI dalam belajar menghapal, siswa menghapalkan materi yang sudah diperolehnya,


sedangkan pada belajar bermakna, materi yang telah diperoleh tersebut tersebut
dikembangkan sehingga belajarnya menjadi lebih dimengerti.
Menurut Ausubel, prasyarat belajar bermakna ada dua, sebagai berikut: (1) Materi
yang akan dipelajari harus bermakna secara potensial; dan (2) Siswa yang akan belajar
harus bertujuan untuk melaksanakan belakar bermakna.

b. Aplikasi Teori Belajar Bermakna dalam pembelajaran

Di dalam menerapkan teori Ausubel dalam belajar, terdapat prinsip-prinsip yang


harus diperhatikan, sebagai berikut.

1. Pengaturan awal (advance organizer)

Pengaturan awal mengarahkan siswa ke materi yang akan dipelajari dan


mengingatkan siswa pada materi sebelumnya yang dapat digunakan untuk
membantu guru dalam menanamkan konsep baru.

2. Diferensiasi progresif

Pengembangan kosep berlangsung paling baik jika unsur-unsur yang paling umum,
paling inklusif dari suatu konsep diperkenalkan terlebih dahul, baru kemudian
diberikan hal-hal yang lebih spesifik dan khusus dari konsep tersebut.

3. Belajar superordinat

Selama informasi diterima dan diasosiasikan dengan konsep dalam struktur kogniif
(subsumsi), maka konsep tersebut tumbuh dan mengalami diferensiasi.

Belajar superordinat dapat terjadi apabila konsep-konsep yang telah dpelajari


sebelumnya dikenal sebagai unsur-unsur dari sebuah konsep yang lebih luas dan
lebih inklusif.

4. Penyesuaian integratif (rekonsiliasi integratif)

Guru harus mampu memperlihatkan secara eksplisit bagaimana arti-arti baru


dibandingkan dan dipertentangkan dengan arti-arti sebelumnya yang lebih sempit,
dan bagaimana konsep-konsep yang tingkatannya lebih tinggi selanjutnya mengambil
arti baru.

Di dalam menerapkan teori Ausubel dalam pembelajaran, maka perlu digunakan dua
fase, yaitu fase perencanaan dan fase pelaksanaan.
Fase perencanaan terdiri dari menetapkan tujuan pembelajaran, mendiagnosis latar
belakang pengetahuan siswa, membuat struktur materi dan memformulasikan
pengetahuan awal.

Sedangkan fase pelaksanaan, dalam pembelajaran terdiri dari pengaturan awal,


diferensiasi progresif, dan rekonsiliasi integratif.

6. Edward Lee “Ted” Thorndike ( 1874 – 1949 )


Edward Lee "Ted" Thorndike (31 Agustus 1874 - 9 Agustus 1949) adalah seorang Psikolog
Amerika yang menghabiskan hampir seluruh kariernya di Teachers College, Columbia
University. Karyanya di bidang Psikologi Perbandingan dan proses pembelajaran
membuahkan teori koneksionisme dan membantu meletakkan dasar ilmiah
untuk psikologi pendidikan modern. Dia juga bekerja di pengembangan sumber daya
manusia di tempat industri, seperti ujian dan pengujian karyawan. Dia adalah anggota
dewan dari Psychological Corporation dan menjabat sebagai presiden dari American
Psychological Association pada tahun 1912.

Thorndike, lahir di Williamsburg, Massachusetts, adalah anak dari seorang


pendeta Metodis di Lowell, Massachusetts,  Thorndike lulus dari The Roxbury (1891), di
West Roxbury, Massachusetts dan Wesleyan University (1895).  Ia mendapat gelar MA
di Harvard University pada tahun 1897.

Selama di Harvard, ia tertarik pada bagaimana hewan belajar (etologi), dan bekerja sama
dalam penelitian dengan William James.  Setelah itu, ia menjadi tertarik pada hewan
'manusia', dan kemudian mengabdikan dirinya demi penelitiannya ini.  Tesis Edward
hingga saat ini masih dianggap sebagai dokumen penting dalam ranah ilmu psikologi
komparatif modern.  Setelah lulus, Thorndike kembali ke minat awal, psikologi pendidikan.
Pada tahun 1898 ia menyelesaikan PhD-nya di Universitas Columbia di bawah pengawasan
James McKeen Cattell, salah satu pendiri psikometri.

a. Teori Belajar Thorndike


Thorndike menghasilkan belajar Connectionism karena belajar merupakan proses
pembentukan koneksi‐koneksi atara stimulus dan respons Stimulus yaitu apa saja
yang dapat merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan atau
hal‐hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indra. Sedangkan respon yaitu
reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang juga dapat berupa
pikiran, perasaan atua gerakan/tindakan. Thorndike mengemukakan tiga prinsip
atau hukum dalam belajar, yaitu:
1. Law of readines, belajar akan berhasil apabila peserta didik memiliki kesiapan
untuk melakukan kegiatan tersebut karena individu yang siap untuk merespon
serta merespon akan menghasilkan respon yang memuaskan
2. Law of exercise, belajar akan berhasil apabila banyak latihan serta selalu
mengulang apa yang telah didapat.
3. Law of effect, belajar akan menjadi bersemangat apabila mengetahui dan
mendapatkan hasil yang baik.

b. Aplikasi Teori Belajar Thorndike dalam pembelajaran

Perubahan tingkah laku siswa merupakan proses akhir dari pembelajaran menurut
teori behavioristik. E. Thorndike mengemukakan bahwa siswa yang telah siap untuk
menerima perubahan prilaku akan menghasilkan kepuasan tersendiri bagi dirinya.
Selain itu, stimulus dan respon ini perlu diulang agar mendapatkan perubahan prilaku
ke arah yang diinginkan. Teori behavioristik adalah salah satu teori yang banyak
digunakan dalam pembelajaran di sekolah, salah satunya dalam pembelajaran
matematika. Siswa dalam belajar matematika dengan menggunakan teori behavioristik
sama halnya dengan membentuk pola pikir siswa melalui pemberian stimulus respon.
Implikasi dari teori belajar Thordike berindikasi kepada bagaimana seorang guru
dapat menstimulus siswa untuk mengembangkan kemampuan berpikir mereka untuk
menyelesaikan permasalahan kehidupan. Dengan kata lain, guru membentuk pola pikir
siswa sesuai dengan stimulus yang diberikan. Menurut Santrock (2011, hal 233) “one
of the strategies for using applied behavior analysis to change behaviori is focus on
what you want students to do, rather than on what you want them not to do. Hal ini
senada bahwa pembelajaran matematika adalah proses interaksi antara guru dan
siswa yang melibatkan pola berpikir dan mengolah logika pada suatu lingkungan
belajar yang sengaja diciptakan oleh guru atau yang ingin dibentuk guru dengan
berbagai metode agar program belajar matematika dapat tumbuh dan berkembang
secara optimal.

Penerapan teori belajar Thorndike (Connectionisme) dalam pembelajaran matematika


adalah sebagai berikut:

1. Sebelum memulai proses belajar mengajar, pendidik harus memastikan siswanya


siap mengikuti pembelajaran tersebut, setidaknya ada aktivitas yang dapat menarik
perhatian siswa untuk mengikuti kegiatan belajar mengajar. Menurut Soemanto
(1998:191) mengartikan readiness sebagai kesiapan atau kesediaan seseorang
untuk berbuat sesuatu atau readiness sebagai segenap sifat atau kekuatan yang
membuat seseorang dapat bereaksi dengan cara tertentu.

2. Pembelajaran yang diberikan sebaiknya berupa pembelajaran yang kontinu, hal ini
dimaksudkan agar materi lampau dapat tetap diingat oleh siswa. Dengan kata lain,
materi yang diberikan memiliki hubungan dengan materi sebelumnya. Hal ini sesuai
dengan Piaget dalam Hanafy (2014) yang mengatakan bahwa belajar adalah proses
terjadinya Assosiations dan Accomodations dalam struktur kognitif anak, yaitu
proses menyesuaikan atau mencocokkan informasi yang baru diperoleh dengan
informasi yang telah diketahui sebelumnya dan mengubahnya bila perlu
(assosiasiations) sedangkan proses accommodations, yaitu menyusun dan
membangun kembali atau mengubah informasi yang telah diketahui sebelumnya
sehingga informasi yang baru dapat isesuaikan dengan lebih baik.

3. Pengulangan terhadap penyampaian materi dan latihan, dapat membantu siswa


mengingat materi terkait lebih lama. Hal ini sesuai dengan Teorema konektivitas
yang menyatakan bahwa konsep tertentu harus dikaitkan dengan konsep-konsep
lain yang relevan. (Shadiq, PPPPTK Matematika Yogyakarta). Pavlov dalam Hanafy
(2014) juga berpendapat hal yang sama dikenal dengan teori Conditioning yaitu
memandang bahwa segala tingkah laku manusia tidak lain adalah hasil dari
conditioning, yaitu hasil dari latihan-latihan atau kebiasaan-kebiasaan mereaksi
terhadap stimulus tertentu yang dialami di dalam kehidupannya.
4. Siswa yang telah belajar dengan baik harus segera diberi hadiah, dan yang belum
baik harus segera diperbaiki, dalam belajar. Hal ini senada dengan Wibowo (2015)
bentuk penguatan yang diberikan oleh guru terhadap tingkah laku positif yang
ditunjukkan oleh siswa dapat berupa pemberian reward dalam bentuk benda
(hadiah), verbal (seperti pujian), dan juga dalam bentuk tingkah laku yang hangat,
permisif, dan penuh penerimaan sehingga penguatan positif tersebut dapat
merubah tingkah laku siswa. Selain itu, menurut pandangan Skinner dalam Hanafy
(2014) kesempatan terjadinya peristiwa yang menimbulkan respons belajar,baik
konsekuensinya sebagai hadiah maupun teguran atau hukuman. Dengan demikian,
pemilihan stimulus yang deskriminatif dan penggunaan penguatan dapat
merangsang individu lebih giat belajar, sehingga belajar merupakan hubungan
antara stimulus dengan respons (S–R).

7. Ivan Pavlov (1849‐1936)

Tokoh Classical Conditioning dan bapak teori belajar modern Ivan Petrovich Pavlov
dilahirkan di Rayzan Rusia desa tempat ayahnya Peter Dmitrievich Pavlov menjadi seorang
pendeta pada 18 September tahun 1849 dan meninggal di Leningrad pada tanggal 27
Februari 1936. Ia dididik di sekolah gereja dan melanjutkan ke seminari teologi, ayahnya
seorang pendeta, dan awalnya Pavlov sendiri berencana menjadi pendeta. Namun, ia
berubah pikiran dan memutuskan untuk menekuni fisiologis. Dia sebenarnya bukanlah
sarja psikologi dan tidak mau disebut sebagai ahli psikologi, karena dia adalah sarjana ilmu
faal yang fanatik. Tahun 1870, ia memasuki Universitas Petersburg untuk mempelajari
sejaran alam di fakultas fisika dan matematika.

a. Teori Belajar Classical Conditioning Pavlov

Prinsip-prinsip belajar menurut Classical Conditioning sebagai berikut:

1. Belajar adalah pembentukan kebiasaan dengan cara


menghubungkan/mempertautkan antara perangsang (stimulus) yang lebih kuat
dengan perangsang yang lebih lemah.
2. Proses belajar terjadi apabila ada interaksi antara organisme dengan lingkungan.
3. Belajar adalah membuat perubahan-perubahan pada organisme.
4. Setiap perangsang akan menimbulkan aktivitas otak US dan CS akan menimbulkan
aktivitas otak. Aktivitas yang ditimbulkan US lebih dominan daripada yang
ditimbulkan CS. Oleh karena itu US dan CS harus di pasang bersama-sama, yang
lama kelamaan akan terjadi hubungan. Dengan adanya hubungan, maka CS akan
mengaktifkan pusaat CS di otak dan selanjutnya akan mengaktifkan US. Dan
akhirnya organisme membuat respon terhadap CS yang tadinya secara wajar
dihubungkan dengan US.
5. Semua aktifitas susunan syaraf pusat diatur oleh eksitasi dan inhibisi. Setiap
peristiwa di lingkungan organisme akan dipengaruhi oleh dua hal tersebut, yang
pola tersebut oleh Pavlov disebut Cortical Mosaic. Dan pola ini akan mempengaruhi
respons organisme terhadap lingkungan. Namun demikian Pavlov juga menyadari
bahwa tingkah laku manusia lebih komplek dari binatang, karena manusia
mempunyai bahasa dan hal ini akan mempengaruhi tingkah laku manusia

b. Aplikasi Teori Belajar Classical Conditioning dalam Pendidikan dan


Pengajaran
 Penerapan dalam pengajaran
Pengaruh keadaan klasik membantu menjelaskan banyak pelajaran di mana satu
stimulus diganti/ digantikan untuk yang lain. Satu contoh yang penting tentang
proses ini adalah pelajaran atraksi emosional dan ketakutan. Bahwa bentakkan
seorang guru seringkali membuat takut murid-muridnya, hal yang sama seorang
polisi mempermainkan penjahat dengan ancungan tangannya, atau seorang
perawat hendak memberi suntikan kepada pasiennya. Semua perilaku ini
menciptakan tanggapan perhatian dan ketakutan di hati orang-orang tersebut
dibawah kesadaran mereka. Situasi ini memberikan pengaruh ketakutan bila
stimulus tidak netral:
Manapun stimulus netral yang berulang-kali terjadi bersama-sama dengan stimuli
ini cenderung untuk dikondisikan (C) ke ketakutan sebagai respon.Jika seorang
guru selalu meneliti seorang anak, kemudian hanya memperhatikan dia tanpa
mengkritik boleh jadi membuat dia menaruh perhatiannya. Hal yang ekstrim,
anak bisa berhubungan dengan guru di kelas dengan perhatian dan ketakutannya
yang ia kembangkan samarata, atau ketakutan yang kadang tidak masuk akal. Hal
yang sama juga dialami masyarakat phobia polisi, atau pasien, tentang perawat.
 Penerapan dalam kelas

Berikut ini beberapa tips yang ditaawarkan oleh Woolfolk (1995) dalam
menggunakan prinsip-prinsip kondisioning klasik di kelas.
a. Memberikan suasana yang menyenangkan ketika memberikan tugas-tugas
belajar, misalnya:
1) Menekankan pada kerjasama dan kompetisi antarkelompok daripada
individu, banyak siswa yang akan memiliki respons emosional secara negatif
terhadap kompetisi secara individual, yang mungkin akan digeneraalissikan
dengan pelajaran-pelajaran yang lain;
2) Membuat kegiatan membaca menjadi menyenangkan dengan menciptakaan
ruang membaca (reading corner) yang nyaman dan enak serta menarik, dan
lain sebagainya.
b. Membantu siswa mengatasi secara bebas dan sukses situasi- situasi yang
mencemaskan atau menekan, misalnya:

1) Mendorong siswa yang pemalu untuk mengajarkaan siswa lain cara


memahami materi pelajaran;
2) Membuat tahap jangka pendek untuk mencapai tujuan jangka panjang,
misalnya dengaan memberikan tes harian, mingguan, agar siswa dapat
menyimpaan apa yang dipelajari dengan baik;
3) Jika siswa takut berbicara di depan kelas, mintalah siswa untuk membacakan
sebuah laaporan di depan kelompok kecil sambil duduk di tempat, kemudian
berikutnya dengan berdiri. Setelah dia terbiasa, kemudian mintalah ia untuk
membaca laporan di depaan seluruh murid di kelas.
c. Membantu siswa untuk mengenal perbedaan dan persamaan terhadap situasi-
situasi sehingga mereka dapat membedakan dan menggeneralisasikan secara
tepat. Misalnya, dengan:
1) Meyakinkan siswa yang cemas ketika menghadapi ujian masuk sebuah
sekolah yang lebih tinggi tingkatannya atau perguruan tinggi, bahwa tes
tersebut sama dengan tes-tes prestasi akademik lain yang pernah mereka
lakukan;
2) Menjelaskan bahwa lebih baik menghindari hadiah yang berlebihan dari
orang yang tidak dikenal, atau menghindar tetapi aman daan dapat menerima
penghargaan dari orang dewasa ketika orangtua ada.
d. Memberikan suasana yang menyenangkan ketika memberikan tugas-tugas
belajar, Contoh: Menekankan pada kerja sama dan kompetisi antar kelompok
daripada individu, banyak siswa yang akan memiliki respons emosional secara
negatif terhadap kompetisi secara individual, yang mungkin akan
digeneralisasikan dengan pelajaran-pelajaran yang lain, contoh lainnya adalah
membuat kegiatan membaca menjadi menyenangkan dengan menciptakan
ruang membaca yang nyaman dan enak serta menarik.
e. Membantu siswa mengatasi secara bebas dan sukses situasi- situasi yang
mencemaskan atau menekan, Contoh: Mendorong siswa yang pemalu
untuk mengajarkan siswa lain cara memahami materi pelajaran, misalnya
dengan memberikan tes harian, mingguan, agar siswa dapat menyimpan
apa yang dipelajari dengan baik. Jika siswa takut berbicara di depan kelas
mintalah siswa untuk membacakan sebuah laporan di depan kelompok
kecil sambil duduk ditempat, kemudian berikutnya dengan berdiri. Setelah
dia terbiasa, kemudian mintalah ia untuk membaca laporan di depan
seluruh murid di kelas.
f. Membantu siswa untuk mengenal perbedaan dan persamaan terhadap
situasi-situasi sehingga mereka dapat membedakan dan menggeneralisasi
secara tepat. Contoh : Meyakinkan siswa yang cemas ketika menghadapi
ujian masuk sebuah perguruan tinggi, bahwa tes tersebut sama dengan tes-
tes prestasi akademik lain yang pernah mereka lakukan.

Sebagai guru, kita harus mengetahui bagaimana mengurangi counterproductive


kondisi responsif yang dialami para siswa. Psikolog sudah mempelajari ke arah itu
untuk memadamkan hal negatif sebagai reaksi emosional pada stimulus dikondisikan
tertentu tidak lain untuk memperkenalkan stimulus itu secara pelan-pelan dan secara
berangsur- angsur sehingga siswa bahagia atau santai ( M.C.Jones, 1924; Wolpe, 1969).
Satu contoh, jika Imung seorang yang takut berenang, kita mungkin mulai pelajaran
berenangnya pada tempat yang dangkal seperti bayi bermain dalam tempat mandinya
kemudian bergerak perlahan-lahan ke air yang lebih dalam, maka ia akan merasa lebih
nyaman untuk mencoba berenang. Tidak ada hal yang paling membanggakan pada
guru selain membantu dan membuat siswa menjadi sukses dan merasa senang di kelas.
Satu hal yang perlu guru ingat bahwa kelas dapat membuat perilaku baik siswa,
meningkat atau justru melemahkannya. Tetapi tanggapan positif dapat dibangun
secara sederhana untuk mengkondisikan stimulus. Jika seorang guru memuji seorang
siswa maka akan menimbulkan hal positif baginya, bahkan ketika dia tidak lagi dipuji.
Pada akhirnya, proses ini dapat membangun hubungan baik di kelas. Hal yang sama
untuk polisi, perawat, atau orang yang bekerja dengan orang-orang: stimuli yang dapat
dipercaya menimbulkan hal positif tanggapan tersebut dapat dikondisikan untuk lain.
Penggantian stimulus dapat membantu bahkan pada pelajaran tertentu yang tidak
berisi unsur perasaan.Pengaruh tersebut tidak memerlukan refleks sebagai titik awal.

8. B.F Skinner ( 1904 – 1990)

Burrhus Frederic Skinner (lahir di Susquehanna, Pennsylvania, 20 Maret 1904 – meninggal


di Massachusetts, 18 Agustus 1990 pada umur 86 tahun) adalah seorang psikolog Amerika
Serikat terkenal dari aliran behaviorisme. Inti pemikiran Skinner adalah setiap manusia
bergerak karena mendapat rangsangan dari lingkungannya. Sistem tersebut dinamakan
"cara kerja yang menentukan" (operant conditioning). Setiap makhluk hidup pasti selalu
berada dalam proses bersinggungan dengan lingkungannya. Di dalam proses itu, makhluk
hidup menerima rangsangan atau stimulan tertentu yang membuatnya bertindak sesuatu.
Rangsangan itu disebut stimulan yang menggugah.  Stimulan tertentu menyebabkan
manusia melakukan tindakan-tindakan tertentu dengan konsekuensi-konsekuensi
tertentu.
Skinner percaya bahwa kita tidak memiliki sesuatu yang dinamakan pikiran, tetapi yang
ada adalah produk perilaku yang dapat diamati daripada kejadian-kejadian mental yang
terjadi secara internal.
Skinner menempuh pendidikan dalam bidang Bahasa Inggris dari Hamilton College.
Beberapa tahun kemudian, Skinner menempuh studi dalam bidang psikologi di Universitas
Harvard. Pada tahun 1936, Ia mengajar di Universitas Minnesota, dan pada tahun 1948, ia
mengajar di Universitas Harvard sampai akhir hayatnya. Salah satu buku terbaik dalam
bidang psikologi yang ditulisnya adalah Walden II.

a. Teori Pokok Operant Conditioning B.F Skinner


Seperti halnya Throndike, Skinner menganggap “reward” atau “reinforcement” sebagai
faktor terpenting dalam proses belajar. Skinner berpendapat bahwa tujuan psikologi
adalah meramal dan mengontrol tingkah laku (Wasty, 1998 : 119). Dengan demikian
tingkah laku yang diinginkan terjadi, dapat digambarkan dan dibentuk secara nyata
melalui pemberian reinforcement yang sesuai. Menurut Skinner tingkah laku
sepenuhnya ditentukan oleh stimulus, tidak ada faktor perantara lainnya. Rumus
Skinner : B (behaviour) = F (fungsi) dari S (stimulus) (B = F (S). Tingkah laku atau
respons (R) tertentu akan timbul sebagai reaksi terhadap stimulus tertentu (S).
Respons yang dimaksud di sini adalah respons yang berkondisi yang dikenal dengan
respons operant (tingkah laku operant). Sedangkan stimulusnya adalah stimulus
operant (Sudjana, 1991 : 85). Oleh karena itu belajar menurut Skinner diartikan
sebagai perubahan tingkah laku yang dapat diamati dalam kondisi yang terkontrol
secara baik. Terdapat dua macam penguat yang dapat diberikan dalam rangka
memotivasi atau memodifikasi tingkah laku. Pertama, reinforcement positif yakni
sesuatu atau setiap penguat yang memperkuat hubungan stimulus respons atau
sesuatu yang dapat memperbesar kemungkinan timbulnya suatu respons atau dengan
kata lain sesuatu yang dapat memperkuat tingkah laku. Kedua, Reinforcement negatif
(punishment) yakni sesuatu yang dapat memperlemah timbulnya respons-respons
(Rohani, 1995 : 13). Artinya setiap penguat yang dapat memperkuat tingkah laku
respons tetapi bersifat aversif (menimbulkan kebencian dan penghindaran), misalnya :
ujian tiba-tiba. Stimulus negatif dapat menimbulkan respons emosional bahkan dapat
melenyapkan (extinction) tingkah laku atau respons (Gredler : 1991 : 130). Macam dari
sifat reinforcement ini, merupakan pilihan atau opsi bagi para guru sebagaii pemilik
reinforcement (Baker, 1983 : 121), untuk menerapkannya di lapangan baik dalam
konteks kelas maupun terhadap individu dalam kelas. Disinilah kemampuan
profesionalisme dan pengalaman seorang guru sangat menentukan, karena bukan
suatu hal yang mustahil reinforcement negatif justru melahirkan respons (tingkah
laku) positif. Tetapi Skinner lebih menekankan kepada pemberian reinforcement
positif. 43 Ada dua konsep operant yang relevan yakni melenyapkan (extinction) dan
hukuman. Konsep melenyapkan adalah proses dimana suatu operant yang telah
terbentuk tidak mendapatkan penguat lagi. Dengan demikian dapat menyebabkan
intensitas dan frekuensinya menjadi turun. Hukuman adalah stimulus yang merupakan
konsekuensi tingkah laku yang mengurangi kemungkinan terjadinya prilaku serupa di
masa yang akan datang (Dimyati dan Mudjiono, 1999 : 9). Oleh karena itu maka yang
terbaik adalah menyusun kemungkinan terjadinya reinforcement yang positif dan
apabila ingin memperlemah respons sebaiknya tidak perlu diberikan reinforcement
lagi. Dengan kata lain terjadi proses melenyapkan (extinction). Dalam proses
pembelajaran, untuk memperbesar peranan peserta didik dalam aktivitas pengajaran,
maka reinforcement (penguat) yang diberikan oleh seorang guru sangat diperlukan,
karena penguat yang diberikan tersebut akan membuat individu terus berupaya
meningkatkan prestasinya. Sebagai contoh, ketika seorang guru melihat siswanya rajin
mengunjungi perpustakaan, lalu guru tersebut memberikan senyuman sebagai tanda
memujinya. Senyum guru itu merupakan reinforcement bagi siswa tersebut yang
bermanfaat untuk menggiatkannya lebih sering lagi mengunjungi perpustakaan.

b. Aplikasi Teori Operant Conditioning Dalam Praktek Pendidikan


Belajar dan mengajar merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Belajar adalah
mengingat, mengerti, memahami, menerangkan, menganalisa, mensintesis,
mengevaluasi, berpikir, percaya, berpartisipasi, melaksanakan dan seterusnya. Belajar
adalah perubahan dari setiap tingkah laku yang merupakan pendewasaan atau
pematangan oleh satu kondisi dari organisme (subjek). Dan mengajar tidaklah
mentransfer sumber pengetahuan saja tetapi juga mengubah sikap dan tingkah laku
yang nyata. (Anwar, tt : 95, 96,98). Skinner mengakui bahwa aplikasi teori operant
conditioning ini terbatas, tetapi ia merasa bahwa ada implikasi praktis bagi
pendidikan. Ia mengemukakan bahwa kontrol yang positif (menyenangkan)
mengandung sikap yang menguntungkan terhadap pendidikan dan akan lebih efektif
bila digunakan. Menurut Skinner, belajar memberikan kekuatan untuk terjadinya
respons-respons yang bertingkat dan berkelanjutan, apabila prosedur 44 penguatan
(reinforcement) diatur sedemikian rupa. Oleh karena itu dalam proses belajar perlu
ditetapkan tingkah prilaku. Pada saat orang belajar, maka responsnya menjadi lebih
baik. Sebaliknya, apabila ia tidak belajar maka responsnya akan menurun. Dalam
belajar dapat di temukan beberapa hal : Kesempatan terjadinya peristiwa yang
menimbulkan respons pembelajar, respons si pembelajar, dan konsekuensi yang
bersifat menguatkan respons tersebut (Dimyati dan Mudjiono, 1999 : 9). Penguatan
terjadi pada stimulus yang menguatkan konsekuensi tersebut. Sebagai ilustrasi,
perilaku respons si pembelajar yang baik diberi hadiah tetapi sebaliknya, perilaku
respons yang tidak baik diberi teguran dan hukuman. Fungsi utama pendidikan adalah
mencipatakan kondisi agar tingkah laku yang baik dapat di terapkan, sedangkan
peranan utama dari seorang pendidik (guru) adalah menciptakan kondisi agar tingkah
laku yang diinginkan dapat terwujud dan proses belajar berlangsung secara dinamis
dan kondusif. Untuk itu dalam prose pendidikan dibutuhkan guru yang profesional dan
memiliki wawasan yang luas. Menurut Zakiah Daradjat (1982 : 22-23), guru yang
profesional minimal harus memiliki enam hal yaitu : Pertama, kegairahan dan
kesediaan untuk mengajar. Kedua, dapat membangkitkan minat murid.
Ketiga,menumbuhkan sikap dan bakat yang baik. Keempat, mengatur proses belajar
mengajar. Kelima, berpindahnya pengaruh belajar dan pelaksanaannya ke dalam
kehidupan yang nyata. Dan keenam, hubungan manusiawi dalam proses belajar
mengajar. Pada diri setiap manusia ada keinginan yang mulia yang dibuatnya sendiri
dari lubuk hati yang paling dalam dan telah tertanam sedemikian rupa yang berasal
dari hubungannya dengan obyek-obyek kehidupan sekitarnya, sementara mengajar
berarti memberikan stimulus dan menguatkannya. Dalam proses pembelajaran guru
dapat menyusun program pembelajaran berdasarkan pandangan Skinner ini. Dalam
menerapkan teori Skinner guru perlu memperhatikan dua hal yang penting, yaitu :
pemilihan stimulus yang deskriminatif dan penggunaan penguatan. Sebagai ilistrasi
apakah guru akan meminta respons ranah kognitif atau efektif. Jika yang akan
dicapaiadalah 45 sekedar menyebutkan ibu kota negara Republik Indonesia adalah
Jakarta, tentu saja siswa hanya dilatih menghafal. Langkah-langkah pembelajaran yang
dapat ditempuh berdasarkan teori operant comditioning adalah sebagai berikut : 1.
Mempelajari keadaan kelas. Guru mencari dan menemukan perilaku siswa yang positif
atau negatif. Perilaku positif akan diperkuat dan perilaku negatif diperlemah atau
dikurangi. 2. Membuat daftar penguat dan positif. Guru mencari prilaku yang lebih
disukai oleh siswa, prilaku yang kena hukuman, dan kegiatan luar sekolah yang dapat
dijadikan penguat. 3. Memilih dan menentukan urutan tingkahh laku yang dipelajari
serta jenis penguatnya. 4. Membuat program pembelajaran. Program pembelajaran ini
berisi urutan prilaku yang dikehendaki, penguatan, waktu mempelajari prilaku, dan
evaluasi. Dalam melaksanakan program pembelajaran, guru mencatat prilaku dan
penguat yang berhasil dan tidak berhasil. Ketidak berhasilan tersebut menjadi catatan
penting bagi modifikasi prilaku selanjutnya (Gredler, 1991 : 154-156). Sebagai ilustrasi
ketertiban kelas, pada saat berlangsung proses belajar mengajar, seorang siswa
berulang-ulang mengganggu teman di depannya. Guru yang melihat kelakuan tersebut
segera mengamati dan menentukan apa yang akan di lakukannya, memberikan
perhatian atau meengacuhkannya sebab kedua pilihan ini dapat menjadi dapat
menjadi reinforcement bagi yang bersangkutan.

9. Albert Bandura ( 1925)

Albert Bandura (lahir di Mundare, Kanada, 4 Desember 1925) adalah seorang psikolog. Ia


menerima gelar sarjana muda di bidang psikologi dari University of British of
Columbia pada tahun 1949. Kemudian, ia melanjutkan studinya ke Universitas Iowa dan
meraih gelar Ph.D pada tahun 1952. Pada tahun 1953, ia mulai mengajar di Universitas
Stanford. Hingga saat ini, ia masih mengajar di Unicersitas Stanford.
Bandura meneliti beberapa kasus, salah satunya ialah kenakalan
remaja. Menurutnya, lingkungan memang membentuk perilaku dan perilaku membentuk
lingkungan. Oleh Bandura, konsep ini disebut determinisme resiprokal yaitu proses yang
mana dunia dan perilaku seseorang saling memengaruhi. Lanjutnya, ia melihat
bahwa kepribadian merupakan hasil dari interaksi tiga hal yakni lingkungan, perilaku, dan
proses psikologi seseorang. Proses psikologis ini berisi kemampuan untuk menyelaraskan
berbagai citra (images) dalam pikiran dan bahasa.
Teori belajar versi Bandura, yaitu Social Learning Theory.

a. Teori Belajar sosial (Sosial Learning Theory)

Teori Belajar Sosial (Social Learning Theory) dari Bandura didasarkan pada tiga konsep
berikut.

1. Reciprocal determinism
Pendekatan yang menjelaskan tingkah laku manusia dalam bentuk interaksi timbal bali
secara terus menerus, antara kognitif, tingkah laku, dan lingkungan.

Seseorang akan menentukan atau memengaruhi tingkah lakunya dengan mengontrol


lingkungan, tetapi orang tersebut juga dikontrol oleh kekuatan lingkungan tersebut.

2.  Beyond reinforcement
Bandura memandang  bahwa jika setiap unit respon sosial yang kompleks harus
diplah-pilah untuk dibangun kembali satu per satu, maka bisa jadi orang tersebut
malah tidak belajar apa pun.

Menurutnya reinforcement penting dalam menentukan apakah suatu tingkah laku akan


terus menerus atau tidak, akan tetapi hal ini bukanlah satu-satunya pembentuk
tingkah laku.

Orang dapat belajar melakukan sesuatu hanya dengan mengamati dan kemudian
mengulang apa yang dilihatnya,

Belajar melalui observasi tanpa ada reinforcement yang terlibat berarti tingkah lakunya


ditentukan oleh antisipasi konsekuensi.

3. Self regulation
Teori belajar tradisional sering terhalang oleh ketidaksenangan atau ketidakmampuan
seseorang dalam menjelaskan proses kognitif.
Konsep Bandura menempatkan manusia sebagai pribadi yang dapat mengatur diri
sendiri (self regulation), memengaruhi tingkah laku dengan cara mengatur lingkungan,
menciptakan dukungan kognitif, dan mengadakan konsekuensi bagi tingkah lakunya
sendiri.

Prinsip Dasar Belajar Sosial (Social Learning) menurut Teori Belajar Bandura
Berikut ini beberapa prinsip dasar belajar sosial menurut teori belajar Bandura.

1. Sebagian besar dari yang dipelajari oleh manusia terjadi melalui peniruan
(imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling).
2. Seorang peserta didik akan mengubah perilakunya sendiri melalui penyaksian cara
orang atau sekelompok orang yang mereaksi (merespon) sebuah stimulus tertentu.
3. Peserta didik dapat mempelajari respon-respon baru dengan cara pengamatan
terhadap perilaku contoh dar orang lain, misalnya guru atau orangtuanya.
4. Pendekatan teori belajar sosial terhadap proses perkembangan sosial dan moral
peserta didik ditekankan pada perlunya pembiasaan merespon (conditioningi) dan
peniruan (imitation).

Beberapa tahapan yang terjadi dalam proses modeling:

1. Atensi (perhatian)
Syarat utama untuk meniru suatu perilaku adalah: perilaku itu harus menarik
perhatian. Kita mengobservasi banyak perilaku, tapi tidak semua layak kita
perhatikan.
Bila ingin meniru sebuah perilaku, perhatian sangat penting.

Misalnya seorang guru, kalau sedang mengajar di depan kelas.

“Kalau kamu tidak memperhatikan, apakah kamu akan mengerti?”

2. Retensi (ingatan)

Proses peniruan tidak akan berhasil jika tidak mengingat perilakunya.

3. Reproduksi (pengulangan)
4. Motivasi
Seseorang cenderung akan melakukan pengulangan ketika ada sesuatu yang
memotivasinya.
Pengulangan akan terjadi apabila:
1) memberi manfaat bagi si peniru,
2) peniru merasakan hal positif setelah meniru,
3) ada imbalan eksternal.

Jika imbalan yang didapat lebih banyak daripada usaha yang dilakukan, maka
perilaku akan ditiru oleh individu.

Tapi, jika imbalan yang didapat nggak seimbang sama usahanya, maka perilaku
nggak ditiru.

b. Aplikasi teori pada pembelajaran

Terdapat banyak implikasi teori belajar sosial yang dikemukakan oleh Bandura untuk
pembelajaran di kelas, antara lain sebagai berikut:

1. Peserta didik sering belajar hanya dengan mengamati tingkah laku oran lain, yaitu
guru.
2. Menggambarkan konsekuensi perilaku yang secara efektif dapat meningkatkan
perilaku yang sesuai dengan yang diharapkan dan menurunkan perilaku yang tidak
pantas.
3. Peniruan (modeling) menyediakan alternatif untuk membentuk perilaku baru untuk
belajar. Di dalam mempromosikan model yang efektif, seorang guru harus
memastikan bahwa empat kondisi esensial harus ada, yaitu perhatian, retensi, motor
reproduksi, dan motivasi.
4. Guru dan orangtua harus menjadi mode perilaku yang sesuai dan berhati-hati agar
peserta didik tidak meniru perilaku yang tidak pantas.
5. Peserta didik harus percaya bahwa mereka mampu menyelesaikan tugas-tugas
sekolah, sehingga guru dapat meningkatkan rasa percaya diri peserta didik dengan
memperlihatkan pengalaman orang lain yang sudah sukses atau menceritakan
pengalaman kesuksesan guru itu sendiri.
6. Guru harus membantu peserta didik dalam menetapkan harapan yang realistis
untuk prestasi akademiknya. Guru juga harus memastikan bahwa target prestasi
peserta didik tidak lebih rendah dari potensi peserta didik yang bersangkutan.

Seperti yang disebutkan di bagian dua, peniruan suatu perilaku harus melalui empat
proses.
Yaitu atensi, retensi, reproduksi, dan motivasi.

Maka, agar suatu perilaku (dalam hal ini, pelajaran) bisa diingat, seorang guru bisa:
a. Memberikan materi dengan cara yang menarik perhatian.
b. Menciptakan jembatan keledai biar pelajaran mudah diingat.
c. Memberikan latihan agar siswa dapat mengulangi.
d. Mengingatkan manfaat pelajaran dalam kehidupan sehari-hari.

Tentu saja guru juga bisa tuh memberikan feedback positif pada siswa, bila ia
memperlihatkan progres peniruan dengan baik.

10. Abraham Maslow (1908)

Maslow lahir di New York pada 1908, ia dikenal dengan jasanya membidani lahirnya
pandangan pengaktualisasian diri. Ia wafat pada 1970 di California, Amerika. Maslow
adalah lelaki yang cerdas, semasa kecil ia menjalin hubungan yang kurang baik dengan
ibundanya yang keras dan kerap melakukan tingkah laku yang tidak ganjil. Ia menceritakan
dirinya di waktu anak-anak sebagai pemalu namun gemar membaca buku. Namun maslow
hanya sementara tidak menyukai dirinya pribadi. Ia sadar akan potensi yang dimilikinya,
serta menjadi bapak psikologi humanistic populer yang mendorong adanya perubahan
social yang positif.

a. Teori belajar humanistik Abraham Maslow

Dalam perspektif humanistik (humanistic perspective) menuntut potensi peserta didik


dalam proses tumbuh kembang, kebebasan menemukan jalan hidupnya.12 Humanistic
menganggap peserta didik sebagai subjek yang merdeka guna menetapkan tujuan
hidup dirinya. Peserta didik dituntun agar memiliki sifat tanggung jawab terhadap
kehidupannya dan orang di sekitarnya.13 Pembelajaran humanistic menaruh
perhatian bahwa pembelajaran yang pokok yaitu upaya membangun komunikasi dan
hubungan individu dengan individu maupun individu dengan kelompok. Edukasi
bukan semata-mata memindah khazanah pengetahuan, menempa kecakapan
berbahasa para peserta didik, tapi sebagai wujud pertolongan supaya siswa mampu
mengaktualisasikan dirinya relevan dengan tujuan pendidikan. Edukasi yang berhasil
pada intinya adalah kecakapan menghadirkan makna antara pendidik dengan
pembelajar sehingga dapat mencapai tujuan menjadi manusia yang unggul dan
bijaksana. Maksudnya ialah menuntun peserta didik bahwa mereka butuh pendidikan
karakter. Pendidik memfasilitasi siswa menggali, mengembangkan dan menerapkan
kecakapan-kecakapan yang mereka punya supaya mampu memaksimalkan
potensinya.14 Maslow terkenal sebagai bapak aliran psikologi humanistic, ia yakin
bahwa manusia berperilaku guna mengenal dan mengapresiasi dirinya sebaikbaiknya.
Teori yang termasyhur hingga saat ini yaitu teori hirarki kebutuhan. Menurutnya
manusia terdorong guna mencukupi kebutuhannya. Kebutuhankebutuhan itu
mempunyai level, dari yang paling dasar hingga level tertinggi. Dalam teori
psikologinya yaitu semakin besar kebutuhan maka pencapaian yang dipunyai oleh
individu semakin sungguh-sungguh menggeluti sesuatu. 15 Perspektif ini diasosiasikan
secara dekat dengan keyakinan Abraham Maslow (1954, 1971) bahwa kebutuhan
dasar tertentu harus dipenuhi sebelum kebutuhan yang lebih tinggi dapat dipuaskan.
Menurut hierarki kebutuhan Maslow, pemuasan kebutuhan seseorang dimulai dari
yang terendah yaitu: 1) fisiologis, 2) rasa aman, 3) cinta dan rasa memiliki, 4) harga
diri, 5) aktualisasi

1) Kebutuhan Fisiologis (Physiological Needs)

Kebutuhan fisiologis terdiri dari kebutuhan pokok, yang bersifat mendasar.


Kadang kala disebut kebutuhan biologis di tempat kerja serta kebutuhan untuk
menerima gaji, cuti, dana pensiunan, masa-masa libur, tempat kerja yang nyaman,
pencahayaan yang cukup suhu ruangan yang baik. Kebutuhan tersebut biasanya
paling kuat dan memaksa sehingga harus dicukupi terlebih dahulu untuk
beraktifitas sehari-hari. Ini menandakan bahwasanya dalam pribadi seseorang
yang merasa serba kekurangan dalam kesehariannya, besar kemungkinan bahwa
dorongan terkuat adalah kebutuhan fisiologis. Dalam artian, manusia yang
katakanlah melarat, bisa jadi selalu terdorong akan kebutuhan tersebut.17

2) Kebutuhan Akan Rasa Aman (Safety Needs)

Sesudah kebutuhan fisiologis tercukupi, maka timbul kebutuhan akan rasa aman.
Manusia yang beranggapan tidak berada dalam keamanan membutuhkan
keseimbangan dan aturan yang baik serta berupaya menjauhi hal-hal yang tidak
dikenal dan tidak diinginkan. Kebutuhan rasa aman menggambarkan kemauan
mendapatkan keamanan akan upah-upah yang ia peroleh dan guna menjauhkan
dirinya dari ancaman, kecelakaan, kebangkrutan, sakit serta marabahaya. Pada
pengorganisasian kebutuhan semacam ini Nampak pada minat akan profesi dan
kepastian profesi, budaya senioritas, persatuan pekerja atau karyawan, keamanan
lingkungan kerja, bonus upah, dana pensiun, investasi dan sebagainya.

3) Kebutuhan Untuk Diterima (Social Needs)

Sesudah kebutuhan fisiologikal dan rasa aman tercukupi, maka fokus individu
mengarah pada kemauan akan mempunyai teman, rasa cinta dan rasa diterima.
Sebagai makhluk social, seseorang bahagia bila mereka disukai serta berupaya
mencukupi kebutuhan bersosialisasi saat di lingkungan kerja, dengan cara
meringankan beban kelompok formal atau kelompok non formal, dan mereka
bergotong royong bersama teman setu tim mereka di tempat kerja serta mereka
berpartisipasi dalam aktifitas yang dilaksanakan oleh perusahaan dimana mereka
bekerja.

4) Kebutuhan Untuk Dihargai (Self Esteem Needs)

Pada tingkat selanjutnya dalam teori hierarki kebutuhan, Nampak kebutuhan


untuk dihargai, disebut juga kebutuhan “ego”. Kebutuhan tersebut berkaitan
dengan keinginan guna mempunyai kesan positif serta mendapat rasa
diperhatikan, diakui serta penghargaan dari sesama manusia. Pada
pengorganisasian kebutuhan akan penghargaan memperlihatkan dorongan akan
pengakuan, responsibilitas tinggi, status tinggi dan rasa akan diakui atas
sumbangsih terhadap kelompok.

5) Kebutuhan Aktualisasi-Diri (Self Actualization)

Kebutuhan kebutuhan tersebut merupakan kebutuhan akan pemenuhan diri


pribadi, termasuk level kebutuhan teratas. Kebutuhan tersebut diantaranya yaitu
kebutuhan akan perkembangan bakat dan potensi yang ada pada diri sendiri,
memaksimalkan kecakapan diri serta menjadi insan yang unggul. Kebutuhan
akan pengaktualisasian diri pribadi oleh kelompok mampu dicukupi dengan
memberikan peluang untuk berkembang, tumbuh, berkreasi serta memperoleh
pelatihan guna memperoleh tugas yang sesuai dan mendapat keberhasilan

Menurut Abraham Maslow “Self-actualization, namely, to the tendency for him to


become actualized. This tendency might be hrase as the desire to become more and
more what one idiosyncratically is, to become everything that one is capable of
becoming. 20 Artinya bahwa kebutuhan aktualisasi diri adalah kecenderungan
seseorang untuk mengerahkan semua kemampuan atau keinginannya secara terus
menerus dalam menjadi pribadi yang lebih baik. Meskipun seseorang individu telah
memenuhi kebutuhan-kebutuhan diatas, baik kebutuhan fisiologis, kebutuhan rasa
aman, kebutuhan akan percintaan dan rasa mempunyai, meliputi kebutuhan akan
rasa penghargaan, ia masih akan diliputi oleh emosi yang tidak puas. Ketidak puasan
ini berasal dari dorongan dirinya yang terdalam, karena merasa ada kualitas atau
potensi dirinya yang belum teraktualisasikan. Pada intinya seseorang individu akan
dituntut untuk jujur terhadap semua potensi dan sifat yang ada pada dirinya

b. Aplikasi Teori Maslow dalam pembelajaran

Dalam konteks pembelajaran, kehadiran teori Maslow tentang motivasi dapat menjadi
satu rujukan ilmiah dalam membangun motivasi sumber daya Manusia (SDM) dalam
dunia pendidikan. Motivasi dalam pembelajaran akan mendorong siswa agar
mengembangkan potensinya secara maksimal. Sehingga untuk membangun motivasi
dalam konteks ini membutuhkan kerangka teori yang membahas kebutuhan manusia
secara menyeluruh

Adapun implikasi positif teori ini ke dalam pembelajaran PAI adalah sebagai berikut:

1. Memenuhi kebutuhan fisiologis ialah kebutuhan makan dan minum, pakaian,


tempat tinggal, termasuk kebutuhan biologis.
yang merupakan kebutuhan paling dasar karena dibutuhkan semua makhluk
hidup. Pemenuhan kebutuhan dasar peserta didik harus di utamakan karena
kebutuhan ini sangat mendesak dan hendaknya guru memberikan kesempatan
atau bantuan kepada siswa untuk memenuhinya. Dalam pembelajaran PAI
sebelum memutuskan cara pembelajaran apa yang pantas diterapkan pada
pembelajaran PAI, hendaknya para pendidik mengetahui terlebih dahulu
keterlibatan kebutuhankebutuhan yang menjadi dasar motivasi dalam mencapai
tujuan pembelajaran PAI Mengakomondasi kebutuhan rasa aman secara fisik
maupun psikis.
2. Mengakomondasi kebutuhan rasa aman secara fisik maupun psikis.
Aman secara fisik, seperti terhindar dari kriminalisasi, teror, binatang buas,
orang lain, tempat yang kurang aman dan sebagainya. sedangkan Aman secara
psikis, seperti tidak di marah, tidak dibuly, tidak direndahkan, tidak dipindahkan
tanpa keterangan, diturunkan pangkatnya dan sebagainya. Kebutuhan akan
keamanan di kelas menjadi tanggung jawab guru. Tugas guru ialah menetapkan
peraturan dan jaminan atas keselamatan siswa serta kenyamanan kelas.
3. Kebutuhan sosial dibutuhkan seseorang supaya ia dianggap sebagai warga
komunitas sosialnya.
Bagi seorang siswa agar bisa belajar dengan baik, ia harus merasa diterima
dengan baik oleh teman-temannya. Terkait dengan kebutuhan sosial siswa, guru
hendaknya memberikan perhatian supaya siswa mampu berinteraksi dengan
baik dan mempunyai rasa saling memiliki terhadap teman-temannya serta
lingkungan sekelilingnya.
4. Kebutuhan ego termasuk juga keinginan untuk mendapatkan prestasi dan
memiliki wibawa.
Seseorang membutuhkan sebuah kepercayaan serta tanggung jawab dari orang
lain. Dalam pembelajaran, dengan memberikan tugas-tugas yang menantang
maka siswa akan terpenuhi egonya._ Prestasi siswa sekecil apapun perlu
diberikan apresiasi. Memberikan sebuah penghargaan pada peserta didik mampu
memotivasi siswa untuk meningkatkan prestasinya..
5. Kebutuhan aktualisasi merupakan kebutuhan untuk menunjukkan dan
membuktikan dirinya pada orang lain.
Pada tahapan ini seseorang akan mengembangkan semaksimal mungkin potensi
yang mereka miliki. Untuk mengaktualisasikan dirinya peserta didik perlu
suasana dan lingkungan yang kondusif._ Ketika peserta didik sudah di tahap
aktualisasi diri,guru hanya tinggal memberikan fasilitas yang diperlukan untuk
mengembangkan dirinya secara lebih jauh.
Abraham Maslow dengan teori motivasinya mengorieantasikan manusia sebagai subjek
yang dapat mengembangkan potensi-potensi yang dimilikinya untuk kemudian dapat
mengaktualisasikan diri sebagai manusia yang utuh. Konsep ini sejalan dengan tujuan
ajaran Agama Islam yang selalu mengedepankan nilai-nilai agama sebagai landasan
motivasi untuk berbuat. Salah satunya menjalankan kewajiban khilafah di muka bumi.

Anda mungkin juga menyukai