Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

Paru-paru merupakan unsur elastis yang akan mengempis dan


mengempiskan udara melalui trakea yang dipengaruhi tekanan ruang untuk
mempertahankan keberlangsungan pernafasan. Paru-paru sebenarnya mengapung
dalam rongga toraks, dikelilingi oleh suatu lapisan tipis cairan pleura yang
menjadi pelumas bagi gerakan paru-paru di dalam rongga. Jadi pada keadaan
normal rongga pleura berisi sedikit cairan dengan tekanan negatif yang ringan (1).
Pneumotoraks adalah keadaan terdapatnya udara atau gas dalam rongga
pleura. Dengan adanya udara dalam rongga pleura tersebut, maka akan
menimbulkan penekanan terhadap paru-paru sehingga paru-paru tidak dapat
mengembang dengan maksimal sebagaimana biasanya ketika bernafas.
Pneumotoraks dapat terjadi baik secara spontan maupun traumatik. Pneumotoraks
spontan itu sendiri dapat bersifat primer dan sekunder. Sedangkan pneumotoraks
traumatik dapat bersifat iatrogenik dan non iatrogenik(2).

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Epidemiologi
Insidensi pneumotoraks sulit diketahui karena episodenya banyak yang
tidak diketahui(3). Namun dari sejumlah penelitian yang pernah dilakukan
menunjukkan bahwa pneumotoraks lebih sering terjadi pada penderita dewasa
yang berumur sekitar 40 tahun. Laki-laki lebih sering daripada wanita, dengan
perbandingan 5 : 1 (2).
Di Amerika Serikat, insidens pneumotoraks spontan primer pada laki-laki
adalah 7,4 kasus per 100.000 orang tiap tahunnya sementara pada wanita
insidensnya adalah 1,2 kasus per 100.000 orang. Sedangkan insidens
pneumotoraks spontan sekunder pada laki-laki adalah 6,3 kasus per 100.000 orang
dan wanita 2,0 per 100.000 orang. Pneumotoraks traumatik lebih sering terjadi
daripada pneumotoraks spontan dengan laju yang semakin meningkat (4).
Pneumotoraks spontan primer terjadi pada usia 20 – 30 tahun dengan
puncak insidens pada usia awal 20-an sedangkan pneumotoraks spontan sekunder
lebih sering terjadi pada usia 60 – 65 tahun (4).

B. Anatomi dan Fisiologi


Rongga thoraks atau cavitas thoracis berisi organ vital paru dan jantung.
Paru-paru dan pleura mengisi sebagian besar rongga thoraks dengan jantung di
antaranya, sedangkan aorta descendens serta oeshophagus terletak di belakang
jantung. Pleura terbagi atas 2 lapisan, yaitu: pleura parietalis dan pleura
visceralis. Pleura parietalis merupakan selaput tipis dari membrana serosa yang
melapisi rongga pleura. Pada daerah yang menghadap mediastinum, pleura ini
beralih meliputi paru-paru sehingga disebut pleura visceralis atau pleura
pulmonalis. Pleura visceralis ini membungkus paru-paru dan melekat erat pada
permukaannya. Ruangan potensial antara kedua lapisan pleura ini disebut cavitas
pleuralis yang hanya berisi lapisan tipis cairan untuk lubrikasi. (5)
Pernapasan berlangsung dengan bantuan gerak dinding dada. Inspirasi
terjadi karena gerak otot pernapasan yaitu M. intercostalis dan diafragma yang

2
menyebabkan rongga dada membesar sehingga udara akan terhisap masuk melalui
trakea dan bronkus (6).
Jaringan paru dibentuk oleh jutaan alveolus mengembang dan mengempis
bergantung pada membesar atau mengecilnya rongga dada. Dinding dada yang
membesar akan akan menyebabkan paru-paru mengembang sehingga udara akan
terhisap ke dalam alveolus. Sebaliknya bila M. Intercostalis melemas maka
dinding dada akan mengecil sehingga udara akan terdorong keluar. Sementara itu,
karena adanya tekanan intra abdominal maka diafragma akan terdorong ke atas
apabila tidak berkontraksi. Ketiga faktor ini yaitu lenturnya dinding thoraks,
kekenyalan jaringan paru, dan tekanan intra abdominal menyebabkan ekspirasi
jika M. Intercostalis dan diafragma kendur dan tidak mempertahankan keadaan
inspirasi. Dengan demikian ekspirasi merupakan kegiatan yang pasif. (6).

C. Definisi

3
Pneumotoraks adalah suatu keadaan terdapatnya udara atau gas di dalam
pleura akibat robeknya pleura atau suatu keadaan dimana udara terkumpul di
dalam kavum pleura sehingga memisahkan pleura viceralis dengan parietalis yang
menyebabkan kolapsnya paru yang terkena(7).

D. Klasifikasi
Menurut penyebabnya, pneumotoraks dapat dikelompokkan menjadi dua,
yaitu (2,4) :
1. Pneumotoraks spontan
Yaitu setiap pneumotoraks yang terjadi secara tiba-tiba.
Pneumotoraks tipe ini dapat diklasifikasikan lagi ke dalam dua jenis,
yaitu:
a. Pneumotoraks spontan primer, yaitu pneumotoraks yang terjadi
secara tiba-tiba tanpa diketahui sebabnya.
b. Pneumotoraks spontan sekunder, yaitu pneumotoraks yang terjadi
dengan didasari oleh riwayat penyakit paru yang telah dimiliki
sebelumnya, misalnya fibrosis kistik, penyakit paru obstruktik kronis
(PPOK), kanker paru-paru, asma dan infeksi paru.

2. Pneumotoraks traumatik

4
Yaitu pneumotoraks yang terjadi akibat adanya suatu trauma, baik
trauma penetrasi maupun bukan, yang menyebabkan robeknya pleura,
dinding dada maupun paru.
Pneumotoraks tipe ini juga dapat diklasifikasikan lagi ke dalam dua jenis,
yaitu :
a. Pneumotoraks traumatik non-iatrogenik, yaitu pneumotoraks yang terjadi
karena jejas kecelakaan, misalnya jejas pada dinding dada, barotrauma.
b. Pneumotoraks traumatik iatrogenik, yaitu pneumotoraks yang terjadi
akibat komplikasi dari tindakan medis. Pneumotoraks jenis ini pun masih
dibedakan menjadi dua, yaitu :
1) Pneumotoraks traumatik iatrogenik aksidental
Adalah suatu pneumotoraks yang terjadi akibat tindakan medis
karena kesalahan atau komplikasi dari tindakan tersebut, misalnya
pada parasentesis dada, biopsi pleura.
2) Pneumotoraks traumatik iatrogenik artifisial (deliberate)
Adalah suatu pneumotoraks yang sengaja dilakukan dengan cara
mengisikan udara ke dalam rongga pleura. Biasanya tindakan ini
dilakukan untuk tujuan pengobatan, misalnya pada pengobatan
tuberkulosis sebelum era antibiotik, maupun untuk menilai permukaan
paru.

Dan berdasarkan jenis fistulanya, maka pneumotoraks dapat diklasifikasikan


ke dalam tiga jenis, yaitu (8) :
1. Pneumotoraks Tertutup (Simple Pneumothorax)
Pada tipe ini, pleura dalam keadaan tertutup (tidak ada jejas terbuka
pada dinding dada), sehingga tidak ada hubungan dengan dunia luar.
Tekanan di dalam rongga pleura awalnya mungkin positif, namun lambat
laun berubah menjadi negatif karena diserap oleh jaringan paru
disekitarnya. Pada kondisi tersebut paru belum mengalami re-ekspansi,
sehingga masih ada rongga pleura, meskipun tekanan di dalamnya sudah
kembali negatif. Pada waktu terjadi gerakan pernapasan, tekanan udara di
rongga pleura tetap negatif.

5
2. Pneumotoraks Terbuka (Open Pneumothorax),
Yaitu pneumotoraks dimana terdapat hubungan antara rongga pleura
dengan bronkus yang merupakan bagian dari dunia luar (terdapat luka
terbuka pada dada). Dalam keadaan ini tekanan intrapleura sama dengan
tekanan udara luar. Pada pneumotoraks terbuka tekanan intrapleura
sekitar nol. Perubahan tekanan ini sesuai dengan perubahan tekanan yang
disebabkan oleh gerakan pernapasan. (8)
Pada saat inspirasi tekanan menjadi negatif dan pada waktu ekspirasi
(8)
tekanan menjadi positif . Selain itu, pada saat inspirasi mediastinum
dalam keadaan normal, tetapi pada saat ekspirasi mediastinum bergeser
ke arah sisi dinding dada yang terluka (sucking wound). (2)

3. Pneumotoraks Ventil (Tension Pneumothorax)


Adalah pneumotoraks dengan tekanan intrapleura yang positif dan
makin lama makin bertambah besar karena ada fistel di pleura viseralis
yang bersifat ventil. Pada waktu inspirasi udara masuk melalui trakea,
bronkus serta percabangannya dan selanjutnya terus menuju pleura
melalui fistel yang terbuka. Waktu ekspirasi udara di dalam rongga pleura
(8)
tidak dapat keluar . Akibatnya tekanan di dalam rongga pleura makin
lama makin tinggi dan melebihi tekanan atmosfer. Udara yang terkumpul
dalam rongga pleura ini dapat menekan paru sehingga sering
menimbulkan gagal napas. (2)

Sedangkan menurut luasnya paru yang mengalami kolaps, maka


pneumotoraks dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu (8) :
1. Pneumotoraks parsialis, yaitu pneumotoraks yang menekan pada sebagian
kecil paru (< 50% volume paru).

2. Pneumotoraks totalis, yaitu pneumotoraks yang mengenai sebagian besar


paru (> 50% volume paru).

E. Penghitungan Luas Pneumotoraks

6
Penghitungan luas pneumotoraks ini berguna terutama dalam penentuan
jenis kolaps, apakah bersifat parsialis ataukah totalis. Ada beberapa cara yang bisa
dipakai dalam menentukan luasnya kolaps paru, antara lain :
1. Rasio antara volume paru yang tersisa dengan volume hemitoraks,
dimana masing-masing volume paru dan hemitoraks diukur sebagai
volume kubus (8).
Misalnya : diameter kubus rata-rata hemitoraks adalah 10cm dan
diameter kubus rata-rata paru-paru yang kolaps adalah 8cm,
maka rasio diameter kubus adalah :
83 512
______ ________
= = ± 50 %
103 1000

2. Menjumlahkan jarak terjauh antara celah pleura pada garis vertikal,


ditambah dengan jarak terjauh antara celah pleura pada garis horizontal,
ditambah dengan jarak terdekat antara celah pleura pada garis horizontal,
kemudian dibagi tiga, dan dikalikan sepuluh (8).

% luas pneumotoraks

A + B + C (cm)
__________________
= x 10
3

3. Rasio antara selisih luas hemitoraks dan luas paru yang kolaps dengan
luas hemitoraks (8).

7
(L) hemitorak – (L) kolaps paru

(AxB) - (axb)
_______________
x 100 %
AxB

F. Patofisiologi
Alveoli disangga oleh kapiler yang mempunyai dinding lemah dan mudah
robek, apabila alveol tersebut melebar dan tekanan di dalam alveol meningkat
maka udara dengan mudah menuju ke jaringan peribronkovaskular. Gerakan
napas yang kuat, infeksi dan obstruksi endobronkial merupakan beberapa faktor
presipitasi yang memudahkan terjadinya robekan. selanjutnya udara yang terbebas
dari alveol dapat mendorong jaringan fibrotik peribronkovaskular. Robekan
pleura ke arah yang berlawanan dengan hilus akan menyebabkan terjadinya
pneumotoraks. Sedangkan robekan yang mengarah ke hilus dapat menimbulkan
peumomediastinum(8).
Tekanan intrabronkial akan meningkat apabila ada tahanan pada saluran
pernapasan dan akan meningkat lebih besar lagi pada permulaan batuk, bersin dan
mengejan. Peningkatan tekanan intrabronkial akan mencapai puncak sesaat
sebelum batuk, bersin, mengejan karena pada keadaan ini glotis tertutup. Apabila
di bagian perifer bronki atau alveol ada bagian yang lemah, maka kemungkinan
terjadi robekan bronki atau alveol akan sangat mudah (8) .

8
G. Diagnosis
1. Gejala Klinis
Berdasarkan anamnesis, gejala dan tanda yang sering muncul adalah (2,7,8) :
1. Sesak napas, didapatkan pada hampir 80-100% pasien. Seringkali
sesak dirasakan mendadak dan makin lama makin berat. Penderita
bernapas tersengal, pendek-pendek, dengan mulut terbuka.
2. Nyeri dada, yang didapatkan pada 75-90% pasien. Nyeri dirasakan
tajam pada sisi yang sakit, terasa berat, tertekan dan terasa lebih nyeri
pada gerak pernapasan.
3. Batuk-batuk, yang didapatkan pada 25-35% pasien.
4. Denyut jantung meningkat.
5. Kulit mungkin tampak sianosis karena kadar oksigen darah yang
kurang.
6. Tidak menunjukkan gejala (silent) yang terdapat pada 5-10% pasien,
biasanya pada jenis pneumotoraks spontan primer.

9
2. Pemeriksaan Fisis
Pada pemeriksaan fisik torak didapatkan (4,8) :
1. Inspeksi :
a. Dapat terjadi pencembungan pada sisi yang sakit (hiper ekspansi
dinding dada)
b. Pada waktu inspirasi, bagian yang sakit gerakannya tertinggal
c. Trakea dan jantung terdorong ke sisi yang sehat
2. Palpasi :
a. Pada sisi yang sakit, ruang antar iga dapat normal atau melebar
b. Iktus jantung terdorong ke sisi toraks yang sehat
c. Fremitus suara melemah atau menghilang pada sisi yang sakit
3. Perkusi :
a. Suara ketok pada sisi sakit, hipersonor sampai timpani dan tidak
menggetar
b. Batas jantung terdorong ke arah toraks yang sehat, apabila tekanan
intrapleura tinggi
4. Auskultasi :
a. Pada bagian yang sakit, suara napas melemah sampai menghilang
b. Suara vokal melemah dan tidak menggetar serta bronkofoni
negative

H. Diagnosis Banding
Pneumotoraks dapat memberi gejala seperti infark miokard, emboli
paru, dan pneumonia. Pada pasien muda, tinggi, laki-laki, dan perokok jika
setelah difoto diketahui ada pneumotoraks maka diagnosis umumnya
menjurus ke pneumotoraks spontan primer. Pneumotoraks spontan sekunder
kadang-kadang sulit dibedakan dengan pneumotoraks yang terlokalisasi dari
suatu bleb atau bulla.(2)
Dalam radiologi, bleb atau bulla digambarkan sebagai area yang
hiperlusen, dengan dinding bleb atau bulla yang sangat tipis. Dalam
beberapa kasus, dimana bleb atau bulla menyerang 1 lobus paru, dapat
memberikan gambaran radiologi yang mirip dengan pneumotoraks. Untuk

10
membedakannya, dapat dilihat dari daerah yang hiperlusen apakah pada
daerah tersebut terdapat gambaran vaskularisasi atau tidak. Pada
pneumotoraks daerah hiperlusen-nya tidak terdapat vaskular sehingga biasa
disebut hiperlusen avaskular, sedangkan pada bleb atau bulla terdapat garis-
garis trabekula pada daerah paru yang mengalami bleb atau bulla. Selain itu,
pada bleb atau bulla yang besar, jaringan paru di sekitar bulla akan
mengalami pemadatan yang diakibatkan oleh pendesakan bulla tersebut
kepada jaringan paru. (9)

Gambar 11. Bleb dan bulla paru.


(dikutip dari kepustakaan 9)

I. Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan pneumotoraks adalah untuk
mengeluarkan udara dari rongga pleura dan menurunkan kecenderungan
untuk kambuh lagi. Pada prinsipnya, penatalaksanaan pneumotoraks adalah
sebagai berikut :
1. Observasi dan Pemberian O2
Apabila fistula yang menghubungkan alveoli dan rongga pleura telah
menutup, maka udara yang berada didalam rongga pleura tersebut akan
diresorbsi. Laju resorbsi tersebut akan meningkat apabila diberikan

11
tambahan O2. Observasi dilakukan dalam beberapa hari dengan foto
(2)
toraks serial tiap 12-24 jam pertama selama 2 hari . Tindakan ini
terutama ditujukan untuk pneumotoraks tertutup dan terbuka (8).

2. Tindakan dekompresi
Hal ini sebaiknya dilakukan seawal mungkin pada kasus
pneumotoraks yang luasnya >15%. Pada intinya, tindakan ini bertujuan
untuk mengurangi tekanan intra pleura dengan membuat hubungan antara
rongga pleura dengan udara luar dengan cara (2) :
a. Menusukkan jarum melalui dinding dada terus masuk rongga pleura,
dengan demikian tekanan udara yang positif di rongga pleura akan
berubah menjadi negatif karena mengalir ke luar melalui jarum
tersebut (2, 8).
b. Membuat hubungan dengan udara luar melalui kontra ventil :
1) Dapat memakai infus set
Jarum ditusukkan ke dinding dada sampai ke dalam rongga
pleura, kemudian infus set yang telah dipotong pada pangkal
saringan tetesan dimasukkan ke botol yang berisi air. Setelah klem
penyumbat dibuka, akan tampak gelembung udara yang keluar dari
ujung infus set yang berada di dalam botol (2,8).
2) Jarum abbocath
Jarum abbocath merupakan alat yang terdiri dari gabungan
jarum dan kanula. Setelah jarum ditusukkan pada posisi yang tetap
di dinding toraks sampai menembus ke rongga pleura, jarum
dicabut dan kanula tetap ditinggal. Kanula ini kemudian
dihubungkan dengan pipa plastik infus set. Pipa infuse ini
selanjutnya dimasukkan ke botol yang berisi air. Setelah klem
penyumbat dibuka, akan tampak gelembung udara yang keluar dari
ujung infuse set yang berada di dalam botol (2,8).
3) Pipa water sealed drainage (WSD)
Pipa khusus (toraks kateter) steril, dimasukkan ke rongga
pleura dengan perantaraan troakar atau dengan bantuan klem
penjepit. Pemasukan troakar dapat dilakukan melalui celah yang

12
telah dibuat dengan bantuan insisi kulit di sela iga ke-4 pada linea
mid aksilaris atau pada linea aksilaris posterior. Selain itu dapat
pula melalui sela iga ke-2 di garis mid klavikula.
Setelah troakar masuk, maka toraks kateter segera dimasukkan
ke rongga pleura dan kemudian troakar dicabut, sehingga hanya
kateter toraks yang masih tertinggal di rongga pleura. Selanjutnya
ujung kateter toraks yang ada di dada dan pipa kaca WSD
dihubungkan melalui pipa plastik lainnya. Posisi ujung pipa kaca
yang berada di botol sebaiknya berada 2 cm di bawah permukaan
air supaya gelembung udara dapat dengan mudah keluar melalui
perbedaan tekanan tersebut (4,8).
Penghisapan dilakukan terus-menerus apabila tekanan
intrapleura tetap positif. Penghisapan ini dilakukan dengan
memberi tekanan negatif sebesar 10-20 cm H2O, dengan tujuan
agar paru cepat mengembang. Apabila paru telah mengembang
maksimal dan tekanan intra pleura sudah negatif kembali, maka
sebelum dicabut dapat dilakukuan uji coba terlebih dahulu dengan
cara pipa dijepit atau ditekuk selama 24 jam. Apabila tekanan
dalam rongga pleura kembali menjadi positif maka pipa belum bisa
dicabut. Pencabutan WSD dilakukan pada saat pasien dalam
keadaan ekspirasi maksimal (2).

13
3. Torakoskopi
Yaitu suatu tindakan untuk melihat langsung ke dalam rongga toraks
dengan alat bantu torakoskop.

4. Torakotomi
5. Tindakan bedah (8)
a. Dengan pembukaan dinding toraks melalui operasi, kemudian dicari
lubang yang menyebabkan pneumotoraks kemudian dijahit
b. Pada pembedahan, apabila ditemukan penebalan pleura yang
menyebabkan paru tidak bisa mengembang, maka dapat dilakukan
dekortikasi.
c. Dilakukan reseksi bila terdapat bagian paru yang mengalami robekan
atau terdapat fistel dari paru yang rusak

14
d. Pleurodesis. Masing-masing lapisan pleura yang tebal dibuang,
kemudian kedua pleura dilekatkan satu sama lain di tempat fistel.
6. Penatalaksanaan tambahan
a. Apabila terdapat proses lain di paru, maka pengobatan tambahan
ditujukan terhadap penyebabnya. Misalnya : terhadap proses TB
paru diberi OAT, terhadap bronkhitis dengan obstruksi saluran
napas diberi antibiotik dan bronkodilator (8).
b. Istirahat total untuk menghindari kerja paru yang berat (8).
c. Pemberian antibiotik profilaksis setelah setelah tindakan bedah dapat
dipertimbangkan, untuk mengurangi insidensi komplikasi, seperti
emfisema (4).
7. Rehabilitasi
a. Penderita yang telah sembuh dari pneumotoraks harus dilakukan
pengobatan secara tepat untuk penyakit dasarnya.
b. Untuk sementara waktu, penderita dilarang mengejan, batuk atau
bersin terlalu keras.
c. Bila mengalami kesulitan defekasi karena pemberian antitusif,
berilah laksan ringan.
d. Kontrol penderita pada waktu tertentu, terutama kalau ada keluhan
batuk, sesak napas.

J. Prognosis
Pasien dengan pneumotoraks spontan hampir separuhnya akan
mengalami kekambuhan, setelah sembuh dari observasi maupun setelah
pemasangan tube thoracostomy. Kekambuhan jarang terjadi pada pasien-
pasien pneumotoraks yang dilakukan torakotomi terbuka. Pasien-pasien
yang penatalaksanaannya cukup baik, umumnya tidak dijumpai komplikasi.
Prognosis pasien pneumotoraks spontan sekunder tergantung pada penyakit
paru yang mendasarinya.

15
BAB III
GAMBARAN RADIOLOGI PNEUMOTORAKS

1. Foto Toraks

16
Untuk mendiagnosis pneumotoraks pada foto toraks dapat ditegakkan
dengan melihat tanda-tanda sebagai berikut :
- Adanya gambaran hiperlusen avaskular pada hemitoraks yang
mengalami pneumotoraks. Hiperlusen avaskular menunjukkan paru
yang mengalami pneumotoraks dengan paru yang kolaps memberikan
gambaran radioopak. Bagian paru yang kolaps dan yang mengalami
pneumotoraks dipisahkan oleh batas paru kolaps berupa garis radioopak
tipis yang berasal dari pleura visceralis, yang biasa dikenal sebagai
pleural white line.

Tanda panah menunjukkan pneumotoraks line


(dikutip dari kepustakaan 3)

17
Foto Rö pneumotoraks (PA), bagian yang ditunjukkan dengan anak panah
merupakan bagian paru yang kolaps.
(dikutip dari kepustakaan 4)

Pneumotoraks partialis (<50%)


(dikutip dari kepustakaan 4)

18
Pneumthoraks totalis (>50%)
(Dikutip dari kepustakaan 4)

Pneumotoraks luas kanan dengan kolaps paru kanan


(dikutip dari kepustakaan 10)

19
Pneumotoraks kanan
(dikutip dari kepustakaan 11)

- Untuk mendeteksi pneumotoraks pada foto dada posisi supine orang


(12)
dewasa maka tanda yang dicari adalah adanya deep sulcus sign.
Normalnya, sudut kostofrenikus berbentuk lancip dan rongga pleura
menembus lebih jauh ke bawah hingga daerah lateral dari hepar dan
lien. Jika terdapat udara pada rongga pleura, maka sudut kostofrenikus
menjadi lebih dalam daripada biasanya. Oleh karena itu, seorang
klinisi harus lebih berhati-hati saat menemukan sudut kostofrenikus
yang lebih dalam daripada biasanya atau jika menemukan sudut
kostofrenikus menjadi semakin dalam dan lancip pada foto dada serial.
Ji ka hal ini terjadi maka pasien sebaiknya difoto ulang dengan posisi
tegak. Selain deep sulcus sign, terdapat tanda lain pneumotoraks
berupa tepi jantung yang terlihat lebih tajam. Keadaan ini biasanya
terjadi pada posisi supine di mana udara berkumpul di daerah anterior
tubuh utamanya daerah medial.(12)

20
Deep sulcus sign (kiri) dan tension pneumotoraks kiri disertai deviasi
mediastinum kanan dan deep sulcus sign (kanan).
(dikutip dari kepustakaan 3)

- Jika pneumotoraks luas maka akan menekan jaringan paru ke arah


hilus atau paru menjadi kolaps di daerah hilus dan mendorong
mediastinum ke arah kontralateral. Jika pneumotoraks semakin
memberat, akan mendorong jantung yang dapat menyebabkan gagal
sirkulasi. Jika keadaan ini terlambat ditangani akan menyebabkan
kematian pada penderita pneumotoraks tersebut. Selain itu, sela iga
menjadi lebih lebar.(13,14)

Pneumotoraks kanan (kiri) dan tension pneumotoraks (kanan)


(dikutip dari kepustakaan 4)

21
- Besarnya kolaps paru bergantung pada banyaknya udara yang dapat
masuk ke dalam rongga pleura. Pada pasien dengan adhesif pleura
(menempelnya pleura parietalis dan pleura viseralis) akibat adanya
reaksi inflamasi sebelumnya maka kolaps paru komplit tidak dapat
terjadi. Hal yang sama juga terjadi pada pasien dengan penyakit paru
difus di mana paru menjadi kaku sehingga tidak memungkinkan kolaps
paru komplit. Pada kedua pasien ini perlu diwaspadai terjadinya
loculated pneumothorax atau encysted pneumothorax. Keadaan ini
terjadi karena udara tidak dapat bergerak bebas akibat adanya adhesif
pleura. Tanda terjadinya loculated pneumothorax adalah adanya daerah
hiperlusen di daerah tepi paru yang berbentuk seperti cangkang telur.
(15)

Foto dada pada pasien pneumotoraks sebaiknya diambil dalam posisi tegak
sebab sulitnya mengidentifikasi pneumotoraks dalam posisi supinasi. Selain itu,
foto dada juga diambil dalam keadaan ekspirasi penuh. (13)

Pneumotoraks kanan yang berukuran kecil dalam keadaan inspirasi (kanan) dan
dalam keadaan ekspirasi (kiri).
(dikutip dari kepustakaan 4)

22
Ekspirasi penuh menyebabkan volume paru berkurang dan relatif menjadi
lebih padat sementara udara dalam rongga pleura tetap konstan sehingga lebih
mudah untuk mendeteksi adanya pneumotoraks utamanya yang berukuran lebih
kecil. Perlu diingat, pneumotoraks yang terdeteksi pada keadaan ekspirasi penuh
akan terlihat lebih besar daripada ukuran sebenarnya.(12,16)

Emfisema subkutan
(dikutip dari kepustakaan 17)

- Bila ada cairan di dalam rongga pleura, maka akan tampak permukaan
cairan sebagai garis datar di atas diafragma; yang biasa ditemui pada
kasus Hidropneumotoraks.

23
Hidropneumotoraks
(dikutip dari kepustakaan 18)

- Untuk membedakan pneumotoraks dengan bleb atau bulla paru, pada


pneumotoraks ditemukan hiperlusen avaskular, sedangkan pada bleb
atau bulla mempunyai gambaran hiperlusen vascular dan terdapat
garis-garis trabekula pada daerah tersebut.

24
Gambaran foto toraks bulla paru.
(dikutip dari kepustakaan 9)

2. CT - Scan Toraks
CT – Scan toraks tidak secara rutin diindikasikan pada Primary
Spontaneous Pneumothorax (PSP) sejak tidak ada hubungan antara adanya
bleb subpleura dan kekambuhan pneumotoraks. Meskipun radiografi dada
tegak lurus (berdiri) lebih baik daripada posisi supinasi untuk mendeteksi
pneumotoraks (sensitifitas masing – masing 92% dan 50%), tidak mungkin
memperoleh gambaran pada pasien trauma tumpul dan tajam karena
beberapa pertimbangan, seperti perlindungan trauma cervical spine,
ketidakstabilan hemodinamik, imobilisasi trauma orthopedic, resusitasi yang
sedang berjalan dan penurunan tingkat kesadaran. CT adalah pilihan terbaik
untuk mendiagnosis pneumotoraks pada pasien trauma(3) .

25
Simple Pneumotoraks
(dikutip dari kepustakaan 3)

Tension Pneumotoraks
(dikutip dari kepustakaan 3)

26
3. USG Toraks
Penggunaan USG toraks dilakukan untuk menilai adanya
pneumotoraks dalam kasus darurat yang tidak memungkinkan untuk
menunggu lama hasil radiologi atau tidak tersedianya peralatan radiolgi
lain. pemeriksaan ini sangat bergantung dengan operator, oleh karena itu
diperlukan jam terbang yang tinggi untuk dapat melihat kelainan pada
toraks dengan meggunakan USG. Pada pneumotoraks udara terlokalisir
dalam kavum pleura sehingga paling bagus dilihat pada posisi terlentang
dengan posisi probe dipegang tegak lurus di dinding anterior dada.
Kedalaman pneumotoraks tidak dapat diukur dengan menggunakan USG.
Pneumotoraks umumnya didiagnosis dengan tidak terdapat tanda gerakan
normal pleura viseral dan parietal seperti ekor komet dan terdapat gambaran
gema yang berlebihan(19).

Gambaran USG toraks normal


(garis halus terdapat diatas pleural line dan garis yang tidak beraturan berada di
bawahnya)
(Dikutip dari kepustakaan 19)

27
Gambaran pneumotoraks pada USG
(terdapat garis halus diatas dan dibawah pleural line; gambaran garis putih
menunjukkan pleural line)
(Dikutip dari kepustakaan 19)

28
BAB IV
KESIMPULAN

Pneumotoraks merupakan suatu keadaan dimana rongga pleura terisi oleh


udara, sehingga menyebabkan pendesakan terhadap jaringan paru yang
menimbulkan gangguan dalam pengembangannya terhadap rongga dada saat
proses respirasi. Oleh karena itu, pada pasien sering mengeluhkan adanya sesak
napas dan nyeri dada.
Berdasarkan penyebabnya, pneumotoraks dapat terjadi baik secara spontan
maupun traumatik. Pneumotoraks spontan itu sendiri dapat bersifat primer dan
sekunder. Sedangkan pneumotoraks traumatik dapat bersifat iatrogenik dan non
iatrogenik. Dan menurut fistel yang terbentuk, maka pneumotoraks dapat bersifat
terbuka, tertutup dan ventil (tension).
Dalam menentukan diagnosis pneumotoraks seringkali didasarkan pada
hasil foto röntgen berupa gambaran radio-hiperlusen tanpa adanya corakan
bronkovaskuler pada lapang paru yang terkena, disertai adanya garis putih yang
merupakan batas paru (deep sulcus sign). Dari hasil rontgen juga dapat diketahui
seberapa berat proses yang terjadi melalui luas area paru yang terkena pendesakan
serta kondisi jantung dan trakea.
Pada prinsipnya, penanganan pneumotoraks berupa observasi dan
pemberian O2 yang dilanjutkan dengan dekompresi. Untuk pneumotoraks yang
berat dapat dilakukan tindakan pembedahan. Sedangkan untuk proses medikasi
disesuaikan dengan penyakit yang mendasarinya. Tahap rehabilitasi juga perlu
diperhatikan agar pneumotoraks tidak terjadi lagi.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Guyton, Arthur, C. Hall, John, E. Ventilasi paru. Dalam : Buku Ajar


Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta : EGC; 2007. P. 495-500.
2. Hisyam, B. Budiono, Eko. Pneumothoraks spontan. Dalam :
Sudoyo, Aru, W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. K, Marcellus,
Simadibrata. Setiati, Siti (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid II. Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006.
P. 1063-1068.
3. Alhameed, F.M. Pneumothorax imaging. Cited on [8 Desember
2015]. Available from www.emedicine.com
4. Bascom, R. Pneumothorax. Cited on [8 Desember 2015]. Available
from http://emedicine.medscape.com/article/827551
5. Wibowo, Daniel, S. Paryana, Widjaja. Rongga thorax. Dalam :
Anatomi Tubuh Manusia. Yogyakarta : Graha Ilmu. 2009. P. 209-
220.
6. Sjamsuhidajat, R. Dinding toraks dan pleura. Dalam : Buku Ajar
Ilmu Bedah. Jakarta : EGC. 1997. P.404-419.
7. Schiffman, George. Stoppler, Melissa, Conrad. Pneumothorax
(Collapsed Lung). Cited : [8 Desember 2015]. Available from :
http://www.medicinenet.com/pneumothorax/article.htm
8. Alsagaff, Hood. Mukty, H. Abdul. Pneumotoraks. Dalam : Dasar-
Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya : Airlangga University Press.
2009. p. 162-179
9. Massie, J. Robert. Welchons, George A. Pulmonary blebs and
bullae. Cited on [8 Desember 2015]. Available from
http://www.ncbi.nlm.gov/pmc/articles/PMC1609584/pdf/annsurg01
326-0101.pdf
10. Fauci, AS. Normal Chest Radiograph. In : Harrison’s Principles of
Internal Medicine. 17th edition. Philadelphia : The McGraw-Hill
Companies. 2008. P. 356-364.

30
11. Lea & Febiger. Pneumothorax Radiograph. In : Pleural Diseases.
2nd edition. Philadelphia. 2008. P. 36
12. Ketai, L. H. Pleura and diaphragm. In: Fundamentals of 9
Radiology Second Edition. China. Elsevier Saunders. 2006. P.172-
177.
13. Ekayuda, I. Pneumotoraks. Dalam : Radiologi Diagnostik. Edisi
Kedua. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2005. P.119-122.
14. Reed, James, C. Kelainan-kelainan rongga pleura. Dalam :
Radiologi Thoraks. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran.
1995. P. 63-64.
15. Sutton, David. Pneumothorax. In : A Textbook of Radiology and
Imaging. Vol. 1. 5th edition. London : Churchill Livingstone. 1993.
P. 371-374.
16. Felson, Benjamin. Pneumothorax. In : Chest Roentgenology.
Philadelphia : W. B. Saunders Company. 2007. P. 366-372.
17. D’Souza, Donna. Subcutannous emphysema. Cited on [8 Desember
2015]. Available from
http://www.radiopedia.org/cases/subcutanous-emphysema
18. Rao, K, K. Loculated hydropneumothorax. Cited on [8 Desember
2015]. Available from http://www.radiopedia.org/cases/loculated-
hydropneumothorax-1
19. Zhang M, Liu Z, Yang J. Rapid detection of pneumothorax by
ultrasound in patients with multiple trauma. Crit Care.2006;10:844–
9.

31

Anda mungkin juga menyukai