Anda di halaman 1dari 34

PENGARUH PERAN KELUARGA TERHADAP

PENURUNAN EMOSI PADA PASIEN RISIKO PERILAKU


KEKERASAN

PROPOSAL KARYA TULIS ILMIAH


Di ajukan untuk memenuhi persyaratan tugas akhir dalam rangka
Menyelesaikan pendidikan program studi
Diploma III Keperawatan

Oleh :

SISKA RAHAYU
(NIM : 18043)

PROGRAM STUDI D III KEPERAWATAN


AKADEMI KEPERAWATAN INSAN HUSADA SURAKARTA
TAHUN 2021
PENGARUH PERAN KELUARGA TERHADAP
PENURUNAN EMOSI PADA PASIEN RISIKO PERILAKU
KEKERASAN

KARYA TULIS ILMIAH


Di ajukan untuk memenuhi persyaratan tugas akhir dalam rangka
Menyelesaikan pendidikan program studi
Diploma III keperawatan

Oleh:
SISKA RAHAYU
(NIM : 18043)

PROGRAM STUDI D III KEPERAWATAN


AKADEMI KEPERAWATAN INSAN HUSADA SURAKARTA
TAHUN 2021
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :


Nama : SISKA RAHAYU
Nim : 18043
Institusi : AKADEMI KEPERAWATAN INSAN HUSADA SURAKARTA
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa karya tulis ilmiah yang saya tulis ini adalah benar-
benar merupakan hasil karya sendiri dan bukan merupakan pengambil alihan tulisan atau
pikiran orang lain yang saya akui sebagai hasil tulisan atau pikiran saya sendiri.
Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat di buktikan Karya Tulis Ilmiaah ini hasil
jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Surakarta,........................

Pembuat pernyataan

SISKA RAHAYU

Mengetahui :

Pembimbing I Pembimbing II

Siswanto, S.Kep.Ns., M.Kes, Sri Lestari, S.Kep.NS., M.Kes

LEMBAR PERSETUJUAN

PENGARUH PERAN KELUARGA TERHADAP


PENURUNAN EMOSI PADA PASIEN RESIKO PERILAKU
KEKERASAN

PROPOSAL KARYA TULIS ILMIAH


Telah di periksa dan disetujui untuk di ujikan di hadapan tim penguji Karya Tulis Ilmiah
Program Studi Keperawatan Insan Husada Surakarta

Di Susun Oleh:
SISKA RAHAYU
NIM. 18043

Pada :
Hari :
Tanggal :

Mengetahui :

Pembimbing 1 Pembimbing 2

Siswanto, S.Kep.Ns.,M.Kes Sri Lestari. S.Kep.Ns.,M.Kes


NIDN : 06161173202 NIDN : 0618127101
HALAMAN PENGESAHAN
PENGARUH PERAN KELUARGA TERHADAP
PENURUNAN EMOSI PADA PASIEN RESIKO PERILAKU KEKERASAN
Di susun Oleh :

SISKA RAHAYU
NIM. 18043

Telah di ujikan dan dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Karya Tulis Ilmiah
Akademi Keperawatan Insan Husada Surakarta

Ditetapkan di :
Tanggal :

DEWAN PENGUJI

Penguji I : Siti Nur Solikah. S.Kep.Ns., M.Kes ( )


NIDN : 0622088501

Penguji II : Siswanto.S.Kep.Ns., M.Kes ( )


NIDN : 06161173202

Penguji III : Sri Lestari.S.Kep.Ns., M.Kes ( )


NIDN : 0618127101

Mengetahui,

Direktur
Akper Insan Husada Surakarta Ka. Prodi D III Keperawatan

Sunaryo Joko W, S.Kp.Ns.,M.Kes Siti Nur Solikah, S.Kep.Ns.,M.Kes


NIDN : 0625057305 NIDN : 0622088501
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena berkat,
rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah dengan
judul “PENGARUH PERAN KELUARGA TERHADAP PENURUNAN EMOSI PADA
PASIEN RISIKO PERILAKU KEKERASAN”
Dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini penulis banyak mendapat banyak
bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat :

1. Sunaryo Joko Waluyo, S.Kep.Ns., M.Kes selaku Direktur Akademi Keperawatan


Insan Husada Surakarta yang telah memberikan kesempatan untuk dapat menimba
ilmu di Akademi Keperawatan Insan Husada Surakarta.

2. Siti Nur Solikah, S.Kep.Ns., M.Kes selaku ketua program D III Keperawatan untuk
dapat menyusun Karya Tulis Ilmiah di Akademi Keperawatan Insan Husada
Surakarta.

3. Siswanto, S.Kep.Ns., M.Kes selaku pembimbing I yang telah membimbing dengan


cermat, memberikan masukan-masukan, inspirasi, perasaan nyaman dalam
bimbingan serta memfasilitasi demi sempurnanya Karya Tulis Ilmiah ini.

4. Sri Lestari, S.Kep. Ns., M.Kes selaku pembimbing II yang telah membimbing
dengan cermat, memberikan masukan-masukan, inspirasi, perasaan nyaman dalam
bimbingan serta memfasilitasi demi sempurnanya Karya Tulis Ilmiah ini.

5. Siti Nur Solikah, S.Kep.Ns., M.Kes selaku dosen penguji yang telah banyak
mengarahkan dan memberi dorongan sampai studi kasus ini.

6. Semua dosen Akademi Keperawatan Insan Husada Surakarta yang telah


memberikan bimbingan dengan sabar dan wawasannya serta ilmu yang
bermanfaat.

7. Kedua orang tuaku yang selalu menjadi inspirasi dan memberikan semangat untuk
menyelesaikan.

8. Teman-teman Mahasiswa Akademi Keperawatan Insan Husada Suraakrta dan


sahabat semuanya yang tidak dapat di sebutkan satu persatu, yang telah
memberikan dukungan moril dan spiritual.
Surakarta, 9 November 2020

Penulis
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Kesehatan jiwa merupakan suatu


keadaan dimana seseorang yang terbebas dari gangguan jiwa, dan memiliki sikap
positif untuk menggambarkan tentang kedewasaan serta kepribadiannya. Menurut
data WHO pada tahun 2012 angka penderita gangguan jiwa menghawatirkan secara
global, sekitar 450 juta orang yang menderita gangguan mental. Orang yang
mengalami gangguan jiwa sepertiganya tinggal di negara berkembang, sebanyak 8
dari 10 penderita gangguan mental itu tidak mendapatkan perawatan.(Kemenkes RI,
2012).
Meskipun penderita gangguan jiwa belum bisa di sembuhkan 100%, tetapi para
penderita gangguan jiwa memiliki hak untuk sembuh dan diperlakukan secara
manusiawi. UU RI No. 18 Tahun 2014 Bab 1 Pasal 3 Tentang Kesehatan Jiwa telah di
jelaskan bahwa upaya kesehatan jiwabertujuan menjamin setiap orang dapat mencapai
kualitas hidup yang baik, menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari
ketakutan, tekanan dan gangguan lain yang dapat mengganggu kesehatan jiwa
(Kemenkes, 2014).
Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia DEPKES RI (2012),
gangguan jiwa saat ini telah menjadi masalah kesehatan global bagi setiap negara
tidak hanya di indonesia saja. Gangguan jiwa yang di maksud tidak hanya gangguan
jiwa psikotik/ skizofrenia saja tetapi kecemasan, depresi dan gangguan Narkoba
Psikotropika dan Zat adiktif lainnya (NAPZA) juga menjadi masalah gangguan jiwa.
Indonesia mengalami peningkatan jumlah penderita gangguan jiwa cukup
banyak di perkirakan prevelensi gangguan jiwa berat dengan psikosis/ skizofrenia di
indonesia pada tahun 2013 adalah 1.728 orang. Adapun proposi murah tangga yang
pernah memasung ART gangguan jiwa berat sebesar 1.655 rumah tangga dari 14,3%
terbanyak tinggal di pedesaan, sedangkan yang tinggal di perkotaan sebanyak 10,7%.
Selain itu prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk umur lebih 15 tahun
di indonesia secara nasional adalah 6.0% (37,728 orang dari subjek yang di analisis).
Provinsi dengan prevelensi gangguan mental emosional tertinggi adalah Sulawesi
Tengah (11.6%), sedangkan yang terendah di lampung (1.2%) (Riset Kesehatan
Dasar, 2013)
Menurut Dinas Kesehatan Kota Jawa Tengah (2012), mengatakan angka
kejadian penderita gangguan jiwa di Jawa Tengah berkisar antara 3.300 orang hingga
9.300 orang. Angka kejadian ini merupakan penderita yang sudah terdiagnosa.
Di lihat dari angka kejadian diatas penyebab paling sering timbulnya gangguan
jiwa di karenakan himpitan masalah ekonomi, kemiskinan. Kemampuan dalam
beradaptasi tersebut berdampak pada kebingungan, kecemasan, frustasi dan perilaku
kekerasan dan konflik batin dan gangguan emosional menjadi ladang subur bagi
tumbuhnya penyakit mental.
Berdasarkan data pencatatan Rekam Medis (RM) Rumah Sakit Jiwa Daerah
Surakarta pada periode bulan Januari sampai Maret 2015, di temukan masalah
keperawatan pada klien rawat inap yaitu Halusinasi 4.021 klien, Resiko Perilaku
Kekerasan 3.980 klien, Defisit Perawatan Diri 1.026 klien dan Waham 401 klien. Dari
data di atas kasus Perilaku Kekerasan menempati urutan ke dua di Rumah Sakit Jiwa
Surakarta mengalami peningkatan yang paling pesat.
Kesehatan jiwa adalah ketika orang tersebut merasa sehat dan bahagia, mampu
menghadapi tantangan hidup serta dapat menerima orang lain sebagaimana
seharusnya serta mempunyai sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain.
Kesehatan jiwa adalah kondisi dimana seorang individu dapat berkembang secara
fisik, mental, spiritual dan sosial sehingga individu tersebut menyadari kemampuan
sendiri dapat mengatasi tekanan dapat bekerja produktif dan mampu memberikan
konstribusi untuk komunitasnya, kondisi perkembangan yang tidak sesuai pada
individu di sebut gangguan jiwa (UU No. 18 tahun 2014).
Gangguan jiwa yaitu suatu perubahan pada fungsi jiwa yang menimbulkan
penderita pada individu atau hambatan dalam melaksanakan peran sosial individu
yang sehat jiwa terdiri dari menyadari sepenuhnya kemampuan darinya, maupun
menghadapi stress kehidupan yang wajar, maupun bekerja produktif dan memenuhi
kebutuhan hidupnya, dapat berperan serta dalam lingkungan hidup, menerima dengan
baik apa yang ada pada dirinya dan merasa nyaman bersama orang lain (Abdul,2011).
Risiko perilaku kekerasan merupakan perilaku seseorang yang menunjukkan
bahwa ia dapat membahayakan diri sendiri, orang lain atau lingkungan, baik secara
fisik, emosional, seksual, dan verbal (Sutejo, 2017)
Berbeda dengan risiko perilaku kekerasan, perilaku kekerasan memiliki definisi
sendiri. Perilaku kekerasan didefinisikan sebagai suatu keadaan hilang kendali
perilaku seseorang yang di arahkan pada diri sendiri, orang lain, atau lingkungan,
(Sutejo, 2017).
Regulasi emosi ialah kapasitas untuk mengontrol dan menyesuaikan emosi yang
timbul pada tingkat intensitas yang tepat untuk mencapai suatu tujuan. Regulasi emosi
yang tepat meliputi kemampuan untukmengatur perasaan, reaksi fisiologis, kognisi
yang berhubungan dengan emosi (Shaffer, dalam anggraeny, 2014)

B. Tujuan Penulisan

1) Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, perumusan masalah dalam penelitian ini
adalah “Pengaruh Peran Keluarga Terhadap Penurunan Emosi Pada Pasien
Risiko Perilaku Kekerasan di RSJD Arif Zainudin Surakrta”
2) Tujuan Study Kasus
a) Tujuan Umum
Untuk mengetahui pengaruh terapi aktivitas kelompok agar tingkat
social pasien meningkat.
b) Tujuan Khusus
1) Untuk mengetahui kemampuan keluarga sebelum berperan
terhadap penurunan emosi pada pasien risiko perilaku
kekerasan..
2) Untuk mengetahui kemampuan keluarga sesudah berperan
terhadap penurunan emosi pada pasien risiko perilaku
kekerasan.
3) Untuk mengetahui pengaruh peran keluarga terhadap
penurunan emosi pada pasien resiko perilaku kekerasan.

C. Manfaat

1. Bagian rumah sakit


Rumah sakit jiwa sebagai tempat pelayanan kesehatan pasien
gangguan jiwa dan mampu memberikan pelayanan yang maksimal kepada
pasien dan keluargannya.

2. Bagi profesi
Hasil penulisan di harapkan dapat menambah ilmu pengetahuan dan
menjadi sumber acuan dalam memberikan pelayanan keperawatan kepada
pasien.

3) Bagi penelitian
Menjadikan pengalaman berharga dalam memperluas wawasan
pengetahuan serta mengaplikasikan ilmu yang telah di dapat sebelumnya.

4) Bagi keluarga pasien


Sebagai bahan masukan untuk perawatan anggota keluarga yang
mengalami gangguan jiwa.
BAB II
TUJUAN PUSTAKA

A. Tujuan Teori

1. Pengertian Perilaku Sosial


Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan
tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik diri sendiri maupun
orang lain, di sertai dengan amuk dan gaduh gelisah yang tidak terkontrol
(Kusumawati dan hatono, dalam direja 2011)
Perilaku kekerasan merupakan respons terhadap stressor yang di hadapi
oleh seseorang, yang di tunjukkan dengan perilaku aktual melakukan
kekerasan, baik pada diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan, secaraa
verbal maupun non verba, bertujuan untuk melukai orang lain secara fisik
maupun psikologis (Yosep,2011)
Pasien dengan gngguan jiwa baik yang di rawat maupun tidak di rawat,
seharus di-pertimbangkan potensi untuk melakukan perilaku kekerasan. Pada
penanganan masalah gangguan jiwa terhadap salah satu diagnosa keperawatan
yaitu resiko perilaku kekerasan. Resiko perilaku kekerasan adalah keadaan
dimana seseorang pernah atau mempunyai riwayat melakukan tindakan yang
tidak dapat membahayakan diri sendiri atau orang lain atau lingkungan baik
secara fisik atau emosional atau seksual dan verbal (Keliat, dalam Sari, 2015).
Perilaku kekerasan adalah tingkah laku individu yang di tunjukkan untuk
melukai atau mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya
tingkah laku tersebut. Resiko perilaku kekerasan ini dapat berupa muka
masam, bicara kasar, menuntut dan berperilaku yang kasar di sertai kekerasan
(Purba dkk, dalam saragih, 2014).
Resiko perilaku kekerasan sering di pandang sebagai rentang dimana
agresi verbal di suatu sisi dan perilaku amuk (violence) di sisi lain yang di
akibatkan oleh keadaan yang menimbulkan emosi, perasaan frustasi, benci
atau marah (Keliat, 2006, dalam Saragih, 2014). Berdasarkan hal tersebut,
penulis tertarik untuk melakukan study kasus dengan “Pengaruh Peran
Keluarga Terhadap Penurunan Emosi Pada Pasien Risiko Perilaku
Kekerasan”.
2. Rentang Respon

Respon Adaptif Respon Maladaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif Kekerasan

Keterangan :
a) Asertif
Individu dapat mengungkapkan marah tanpa menyalahkan orang lain
dan memberikan ketenangan.
b) Frustasi
Individu gagal mencapai tujuan kepuasan saat marah dan tidak dapat
menemukan alternatif
c) Pasih
Individu tidak dapat mengungkpkan perasaannya
d) Agresif
Perilaku yang menyertai marah, terdapat dorongan untuk menuntut
tetapi masih terkontrol
e) Kekerasan
Perasaan marah dan bermusuhan yang kuat serta hilangnya kontrol

3. Etiologi
1). Faktor Predisposisi
Menurut Riyadi dan Purwanto (2012) faktor-faktor yang mendukung
terjadinya perilaku kekerasan adalah
a. Faktor biologis
a). Intinctual drive theory (teori dorongan naluri)
Teori ini menyatakan bahwa perilaku kekerasan di sebabkan
oleh suatu dorongan kebutuhan dasar yang kuat.
b). Psycomatic theory (teori psikomatik)
Pengalaman marah adalah akibat dari respon psikologis
terhadap stimulus eksternal, internal maupun lingkungan.
Dalam hal ini sistem limbik berperan sebagai pusat untuk
mengekspresikan maupun menghambat rasa marah.
b. Faktar psikologis
a). Frustasion aggresion theory (teori agresif frustasi)
Menurut teori ini perilaku kekerasan terjadi sebagai hasil
akumulasi frustasi yang terjadi apabila keinginan individu untuk
mencapai sesuatu gagal atau terhambat. Keadaan tersebut dapat
mendorong individu berperilaku agresif karena perasaan frustasi
akan berkurang melalui perilaku kekerasan.
b). Behavioral theory (teori perilaku)
Kemarahan adalah proses belajar, hal ini dapat di capai apabila
tersedia fasilitas atau situasi yang mendukung reinforcement
yang di terima pada saat melakukan kekerasan, sering
mengobservasi kekerasan di rumah atau di luar rumah. Semua
aspek ini menstimulasi individu mengadopsi perilaku
kekerasan.
c).Exisential theory (teori eksistensi)
Bertindak sesuai perilaku adalah kebutuhan yaitu kebutuhan
dasar manusia apabila kebutuhan tersebut tidak dapat di penuhi
melalui perilaku konstruktif maka individu akan memenuhi
kebutuhannya melalui perilaku destruktif.

c. Faktor sosio kultural


a) Social enviroment theory (teori lingkungan)
Lingkungan sosial akan mempengaruhi sikap individu dalam
mengekspresikan marah. Budaya tertutup dan membalas secara
diam (pasif agresif) dan kontrol sosial yang tidak pasti terhadap
perilaku kekerasan akan menciptakan seolah-olah perilaku
kekerasan di terima.
b) Social learning theory (teori belajar sosial)
Perilaku kekerasan dapat di pelajari secara langsung maupun
melalui proses sosialisasi.

2) Faktor Presipitasi
Stressor yang mencetuskan perilaku kekerasan bagi setiap
individu bersifat buruk. Stressor tersebut dapat di sebabkkan dari luar
maupun dlam. Contoh stressor yang berasal dari luar antara lain
serangan fisik, kehilangan, kematian, krisi dan lain-lain. Sedangkan
dari dalam adalah putus hubungan dengan seseorang yang berarti,
kehilangan rasa cinta, ketakutan terhadap penyakit fisik, hilang
kontrol, menurunnya percaya diridan lain-lain. Selain itu lingkungan
yang terlalu ribut, padat, kritikan yang mengarah pada penghinaan,
tindakan kekerasan dapat memicu perilaku kekerasan.
4. Manifestasi Klinik
a. Emosi : jengkel, marah (dendam), rasa terganggu, merasa takut, tidak
aman dancemas
b. Fisik : muka merah, pandangan tajam, nafas pendek, keringat, sakit
fisik, penyalahgunaan zat, tekanan darah meningkat.
c. Intelektual : mendominasi, bawel, berdebar, meremehkan.
d. Spiritual : keraguan, kebijakan / keberanian diri, tidak bermoral,
kreativitas terhambat.
e. Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, humor.
5. Penatalaksanaan
1. Medis
Menurut Yosep (2015) obat-obatan yang biasa diberikan pada pasien
dengan marah atau prilaku kekerasan adalah :
a. Antianxiety dan sedative hipnotics
Obat-obatan ini dapat mengendalikan gelsah yang akut.
Benzodiazepine seperti Lorazepam dan Clonazepam, sering digunakan
dalam kedaruratan psikiatri untuk menenangkan perlawanan klien.
Obat ini tidak untuk dikonsumsi lama karena dapat menyebabkan
kebingunan dan ketergantungan, juga bisa memperburuk simpton
depresi.
b. Buspirone obat antianxiety : efektif dalam mengendalikan prilaku
kekerasan yang berkaitan dengan kecemasan dan depresi.
c. Antidepressant : penggunaan obat ini mampu mengontrol impulsif dan
prilaku agresif klien yang berkaitan dengan perubahan mood.
Amitriptyline dan Trazodone, menghilangkan agresif yang
berhubungan dengan cedera kepala dan gangguan mental organik.
d. Lithium efektif untuk agresif karena panik.
e. Antipsychotic : digunakan untuk perawatan prilaku kekerasan.
2. Keperawatan
Menurut Yosep ( 2015 ) perawat dapat mengimplementasikan berbagai
cara untuk mencegah dan mengelola prilaku agresif melalui rentang
intervensi keperawatan.
Gambar rentan intervensi keperwatan

Strategi preventif strategi antisipatif strategi pengurungan

1.Kesadaran diri 1.komunikasi


1.Menejemen krisis
2.Pendidikan 2.Perubahan
Klien Lingkungan 2.Seclusion
3.Latihan asertif 3.Tindakan prilaku 3.Restrains

4.Psikofarmakologi

Dari gambar tersebut dapat di simpulkn bahwa


a. Strategi Preventif
1) Kesadaran Diri
Perawat harus terus menerus meningkatkan kesadaran dirinya
dan melakukan supervisi dengan memisahkan antara masalah
pribadi dan masalah klien.
2) Pendidikan Klien
Pendidikan yang di berikan mengenai cara berkomunikasi dan
cara mengekspresikan marah yang tepat.
3) Latihan Asertif
Kemampuan dasar interpersonal yang harus di miliki meliputi :
a) Berkomunikasi secara langsung dengan setiap orang
b) Mengatakan untuk sesuatu yang tidak beralasan
c) Sanggup melakukan komplain
d) Mengekspresikan penghargaan dengan tepat
b. Strategi antisipartif
1) komunikasi
strategi berkomunikasi dengan klien perilaku agresif
bersikap tenang, bicara lembut, bicara tidak dengan cara
menghakimi, berbicara netral dan dengan cara konkrit,
tunjukkan rasa hormat, hindari intensitas kontak mata langsung,
demonstrasikancara mengontrol situasi, fasilitas pembicaraan
klien dan dengarkan klien, jangan terburu-buru
menginterprestasikan dan jangan buat janji yang tidak bisa
ditepati.
2) Perubahan lingkungan
Unit perawatan sebaiknya menyediakan berbagai aktivitas
seperti:
Membaca grub program yang dapat mengurangi perilaku klien
yang tidak sesuai dan meningkatkan adaptasi sosialnya.
3) Tindakan perilaku
Pada dasarnya membuat kontrak dengan klien mengenai
perilaku yang dapat di terima dan tidak dapat di teriam serta
konsekuensiyang di dapat bila kontrak di langgar.
c. Stres pengangguran
1) Managemen krisis
2) Seclusion merupakan tindakan keperawatan yang terakhir
dengan menempatkan klien dalam suatu ruangan dimana
klientidak dapat
3) Restrains adalah pengekangan fisik dengan menggunakan alat
manual untuk membatasi gerakan fisik pasien menggunakan
manset, sprei pengekang.
6. Pengkajian
Menurut Fitria (2015) data yang perlu di kaji pada pasien dengan
perilaku kekerasan yaitu pada pasien dengan perilaku kekerasn yaitu pada data
subyektif klien mengancam, mengumpat dengan kata-kata kotor, mengatakan
dendam dan jengkel. Klien juga menyalahkan dan menuntut. Sedangkan pada
data obyektif klien menunjukkan tanda-tanda mata melotot dan pandangan
tajam, tangan mengepal, rahang menetap, wajah memerah dan tegang, postur
tubuh kaku dan suara keras.
7. Pohon Masalah

Prilaku Kekerasan

Resiko prilaku kekerasan Core Problem

Harga diri rendah

8. Diagnosa keperawatan

Perilaku kekerasan

9. Fokus Intervensi
Menurut Keliat (2015) intervensi pada diagnosa klien dengan perilaku
kekerasan.
Tujuan umum : klien dapat mengontrol perilaku kekerasan.
Tujuan khusus :
a. Klien dapat membina hubungan saling percaya
Tindakan:
1) Beri salam / panggil nama
2) Sebutkan nama perawat sambil jabat tangan
3) Jelaskan maksud hubungan interaksi
4) Jelaskan tentang kontrak yang akan di buat
5) Berirasa aman dan sikap empati
6) Lakukan kontak singkat tetapi sering
b. Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekerasan yang bisa di lakukan
Tindakan :
1) Ajukan pengungkapan perilaku kekerasan yang bisa di lakukan
(verbal, pada orang lain dan pada diri sendiri)
2) Bantu klien bermain peran sesuai dengan perilaku kekerasan
yang bisa di lakukan.
3) Bicarakan dengan klien apakah dengan cara yang di lakukan
masalahnya selesai.
c. Klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan
Tindakan :
1) Bicarakan akibat atau kerugian dari cara yang di lakukan
2) Bersama klien menyimpulkan akibat dari cara yang di gunakan
3) Tanyakan kepada klien “apakah ingin mempelajari cara baru
yang sehat”
d. Klien dapat mendemostrasikan cara fisik untuk mencegah perilaku
kekerasan
1) Diskusikan kegiatan fisik yang bisa di lakukan klien
2) Beri pujian atas kegiatan fisik yang bisa di lakukan klien.
3) Diskusikan dua cara fisik yang paling mudah di lakukan untuk
mencegah perilaku kekerasan yaitu tarik nafas dalam dan pukul
kasur atau bantal.
4) Diskusikan dengan cara melakukan tarik napas dalam
5) Minta klien untuk mengikuti contoh yang di berikan sebanyak 5
(lima) kali
6) Beri pujian positif atas kemampuan klien mendemonstrasikan
cara menarik napas dalam.
7) Tanyakan perasaan klien setelah selesai
8) Anjurkan klien untuk menggunakan cara yang telah di pelajari
saat marah atau jengkel
e. Klien dapat mendemonstrasikan cara verbal untuk mencegah perilaku
kekerasan
Tindakan :
1) Diskusikan cara bicara yang baik dengan klien
2) Beri contoh bicara yang baik (meminta dengan baik, menolak
dengan baik, mengungkapkan perasaan dengan baik)
3) Minta klien mengulang sendiri
4) Beri pujian atas keberhasilan pasien
5) Diskusikan dengan klien tentang waktu dan kondisi cara bicara
yang dapat di latih di ruangan misalnya, meminta obat baju dan
lain-lain, menolak ajakan merokok, tidur tidak pada waktunya,,
menceritakan kekesalan pada perawat.
6) Validasi kemampuan pasien klien dalam menatalaksna latihan
7) Beri pujian atas keberhasilan klien.
f. Klien dapat mendemonstrasikan cara spiritual untuk mencegah
perilaku kekerasan.
1) Diskusikan dengan klien kegiatan ibadah yang pernah
dilakukan
2) Bantu klien menilai kegiatanibadah yang dapat di lakukan di
ruang rawat
3) Bantu klien memilih kegiatan ibadah yang akan di lakukan
4) Minta klien mendemonstrikan kegiatan ibadah yang dipilih
5) Beripujian atas keberhasilan klien
6) Diskusikan dengan klien tentang waktu pelaksanaan kegiatan
ibadah
7) Klien mengevaluasi pelaksanaan kegiatan ibadah dengan
mengisi jadwal kegiatan harian.
g. Klien dapat mendemonstrasikan kepatuhan minum obat untuk
mencegah perilaku kekerasan.
Tindakan :
1) Diskusikan dengan klien tentang manfaat minum obat secara
teratur
2) Diskusikan tentang proses minum obat
3) Klien mengevaluasi pelaksanaan minum obat dengan mengisi
jadwal kegiatan harian
h. Klien dapat mengikuti TAK : stimulasi presepsi pencegahan perilaku
kekerasan
Tindakan :
1) Anjurkan klien untuk ikut TAK : stimulasi persepsi pencegahan
perilaku kekerasan
2) Diskusikan dengan klien tentang jadwal TAK
3) Klien mengevaluasi pelaksanaan TAK dengan mengisi jadwal
kegiatan harian
i. Klien mendapatkan dukungan keluarga dalam melakukan cara
pencegahan perilaku kekerasan.
Tindakan :
1) Identifikasi kemampuan keluarga dalam merawat klien sesuatu
dengan yang telah di lakukan keluarga terhadap klien selama
ini
2) Jelaskan keuntungan peran serta keluarga dalam merawat klien
3) Jelaskan cara-cara merawat klien
4) Bantu keluarga mendemonstrasikan cara merawat klien
5) Bantu keluarga mengungkapkan perasaan setelah melakukan
demonstrasi
6) Anjurkan keluarga mempraktekkannya pada klien selama di
rumah sakit dan melanjutkanny setelah pulang kerumah.

10. Tanda dan Gejala


Menurut Keliat, dkk, (2010) menyatakan bahwa manifestasi klinik dari
perilaku kekerasan:
a. Aspek fisik, antara lain tekanan darah meningkat, kulit muka merah,
pandangan matatajam, otot tegang, denyut nadi meningkat, pupil di
latasi, frekuensi BAK meningka.
b. Aspek emosi, antara lain emosi labil, tak sabar, ekspresi muka tampak
tegang, bicara dengan nada suara tinggi, suka berdebat, klien
memaksakan kehendak.
c. Aspek perubahan perilaku, antara lain agresif, bermusuhan sinis,
curiga, psikomotor meningkat, nada bicara keras dan kasar
11. Mekanisme koping
Menurut Stuart dan Laraia (2001 dalam damaianti,2014), mekanisme koping
yang di pakai pada klien marah untuk melindungi diri antara lain :
a. Sublimasi, yaitu menerima suatu sasaran pengganti yang mulia artinya
di mata masyarakat untuk suatu dorongan yang mengalami hambatan
penyalurannya secara normal. Misalnya seseorang yang sedang marah
melampiaskan kemarahannya pada obyek lain seperti meremas adonan
kue, meninju tembok dan lainny, tujuannya adalah untuk mengurangi
teganganakibat rasa marah.
b. Proyeksi, yaitu menyalahkan orang lain mengenai kesukarannya atau
keinginannya yang tidak baik, misalnya seseorang wanita muda yang
menyangkal bahwa ia mempunyai perasaan seksual terhadap rekan
sekerjanya, terbalik menuduh bahwa temannya tersebut mencoba
merayu, mencumbunya
c. Represi yaitu mencegah pikiran yang menyakitkan atau
membahayakan masuk ke alam sadar. Misalnya seseorang anak yang
benci pada orangtuanya yang tidak di sukainnya. Akan tetapi menurut
ajaran atau didikan yang di terimanya sejak kecil bahwa membenci
orang tua merupakan hal yang tidak baik dan dikutuk oleh Tuhan,
sehingga perasaan benci itu di tekannya dan akhirnya ia dapat
melupakannya.
d. Reaksi formasi, yaitu mencegah keinginan yang berbahaya bila di
ekspresikan, dengan melebih-lebihkan sikap dan perilaku yang
berlawanan dan menggunakannya sebagai rintangan. Misalnya seorang
yang tertarik pada teman suaminy, akan memperlakukan orang dengan
kasar.
e. Displacement, yaitu melepaskan perasaan yang tertekan biasanya
bermusuhan, pada obyek yang tidak berbahaya seperti yang pada
mulanya yang membangkitkan emosi itu, misalnya anak berusia 4
tahun marah karena ia baru saja mendapat hukuman dari ibunya karena
menggambar di dinding kamranya. Dia mulai bermain perang-perang
dengan temanya.
B. KERANGKA TEORI

1. Konsep Dasar Keluarga

a. Definisi
Keluarga adalah dua atau lebih dari dua individu yang tergabung
karena hubungan darah, hubungan perkawinan atau pengangkatan dan mereka
hidup dalam satu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain, dan di dalam
perannya masing-masing menciptakan serta mempertahankan kebudayaan,
meningkatkan perkeembangan fisik, mental, emosional serta sosial dari tiap
anggota keluarga (Fredman 2011, Duval & Logan, 1986 dalaam Gusti 2013).
Perawatan terintergrasi keluarga adalah perawatan yang melibatkan
keluarga dalam merawat anggota yang sakit. Keperawatan Kesehatan keluarga
merupakan perawatan kesehatan yang di tunjukkan kepada keluarga yang sehat
pada perawatan tingkat individu, fokus pelayanan adalah dengan melibatkan
individu sang keluarga (Ballon & Magiya dalam Rusmun 2011)
Asuhan keperawatan jiwa pada klien risiko perilaku kekerasan terintegrasi
dengan keluarga adalah seluruh rangkaian proses keperawatan yang di berikan
kepada klien dan keluarga secara bersama-sama yang dengan proses
keperawatan yang di mulai dari pengkajian sampai dengan evaluasi dalam usaha
memperbaiki ataupun meningkatkan, mencegah, mempertahankan, dan
memulihkan masalah kesehatan pada klien risiko perilaku kekerasan.

b. Tipe-tipe keluarga
Menurut Gusti (2013) tipe keluarga di bagi menjadi 2 tipe yaitu tradisional
dan non tradisional dimana tipe tradisional ialah : 1) Keluarga inti, keluarga
yang hanya terdiri dari ayah, ibu, dan anak yang di peroleh dari keturunannya
atau adopsi atau keduanya. 2) Keluarga besar (extended family) adalah keluarga
inti di tambah anggota keluarga lain yang masih mempunyai hubungan darah
(kakek, nenek, paman, bibi, saudara sepupu, dll). 3). Keluarga bentukan kembali
(Dyandic family) adalah keluarga baru yang terbentuk dari pasangan yang telah
cerai atau kehilangan pasangannya. 4). Orang tua tunggal (singgle parent
family) adalah keluarga yang terdiri dari salah satu orang tua dengan anak-anak
akibat perceraian atau di tinggal pasangannya. 5). The single adult living alone
adalah orang dewasa yang tinggal sendiri tanpa pernah menikah. 6) The
unmarried teenage mother, adalah ibu dengan anak tanpa perkawinan. 7)
Keluarga usila(Nidlle age/Anging couple), adalah suami sebagai pencari uang,
istri di rumah atau kedua-duanya bekerja atau tinggal di rumah, anak-anaknya
sudah meninggalkan rumah karena sekolah/ perkawinan/ meniti karir.
Sedangkan tipe non tradisional adalah 1) commune family, adalah lebih satu
keluarga tanpa penelitian darah hidup serumah. 2) Orang tu (ayah dan ibu ) yang
tidak ada ikatan perkawinan dan anak hidup bersama dalam satu rumah tangga.
3) Homoseksual adalah dua individu yang sejenis hidup bersama dalam satu
rumah tangga.
c. Ciri-ciri keluarga
Menurut Robert Iver dan Charles Harton yang di kutip dari (Setiadi, 2012)
ciri-ciri keluarga adalah sebagai berikut : keluarga merupakan hubungan
perkawinan, keluarga bentuk suatu kelembagaan yang berkaitan dengan
hubungan perkawinan yang sengaja di bentuk atau di pelihara, keluargga
mempunyai suatu sistem tata nama(Nomen Clatur) termasuk perhitungan garis
keturunan, keluarga mempunyai fungsi ekonomi yang di bentuk oleh anggota-
anggotanya berkaitan dengan kemampuan untuk mempunyai keturunan dan
membesarkan anak, dan keluarga merupakan tempat tinggal bersama, rumah
atau rumah tangga.

d. Tugas Keluarga
Menurut Mubarak, dkk (2014) dapat melaksanakan perawatan atau
pemeliharaan kesehatan dapat dilihat dari tugas kesehatan keluarga, yaitu
sebagai berikut :
1) Mengenal masalah kesehatan
Keluarga perlu mengenal keadaan kesehatan dan perubahan-perubahan
yang di alami oleh anggota keluarganya. Perubahan sekecil apa pun yang
di alami anggota keluarga, secara tidak langsung akan menjadi perhatian
kluarga, secara tidak langsung akan menjadi perhatian keluarga atau
perlu mencatat kapan terjadinya,perubahan apa yang terjadi, dan
seberapa besar perubahanya.
Keluarga di harapkan mampu mengenal perubahan-perubahan yang di
alami oleh anggota keluarga, karena keluarga merupakan inti utama
untuk menemukan tanda dan gejala klien gangguan jiwa risiko perilaku
kekerasan, sehingga klien pada gangguan jiwa cepat mendapatkan
tindakan dan tidak memperburuk keadaanya.
2) Membuat keputusan tindakan kesehtan yang tepat.
Tugas ini merupakan upaya utama keluarga untuk mencapai
pertolongan yang tepat sesuai dengan keadaan keluarga, dengan
perimbangan di antara anggota keluarga yang mempunyai kemampuan
memutuskan sebuah tindakan. Tindakan kesehatan yang di lakukan oleh
keluarga di harapkan tepat agar masalah kesehatan yang sedang terjadi
dapat di kurangi atau teratasi. Jika keluarga mempunyai keterbatasan
dalam mengambil keputusan, maka keluarga dapat meminta bantuan
kepada orang lain di lingkungan tempat tinggalnya.
Setelah keluarga mampu mengenal masalah maka di harapkan keluarga
mampu mengambil keputusan yang tepat untuk klien, dengan
memperiksakan klien gangguan jiwa risiko perilaku kekerasan ke
pelayanan keseehatan seperti Puskesmas dan Rumah Sakit Jiwa terdekat,
agar klien cepat mendapatkan penanganan.
3) Memberi perawatan pada anggota keluarga yang sakit
Sering kali keluarga mengmbil tindakan yang tepat, tetapi jika keluarga
masih merasa mengalami keterbatasan, maka anggota keluarga yang
mengalami gangguan kesehatan mampu memperoleh tindakan lanjut
atau perawatan agar masalah yang lebih baik parah terjadi. Perawatan
dapat di lakukan di institusi pelayanan kesehatan atau rumah apabila
keluarga telah memiliki kemampuan melakukan tindakan untuk
pertolongan pertama.
Setelah klien menjalani pengobatan dan melakukan perawatan di
pelayanan kesehatan orang dengan gangguan jiwa risiko perilaku
kekerasan dapat bisa kembali pilih dan kembali berfungsi di masyarakat,
namun upaya-upaya tersebut tidak akan bertahan lama tanpa adanya
dukungan keluarga, sehingga keluarga di harapkan mampu memberikan
perawatan pada anggota keluarga yang mengalami risiko perilaku
kekerasan.
4) Mempertahankan suasana rumah yang sehat
Rumah merupakan tempat berteduh, berlindung dan bersosialisasi bagi
anggota keluarga. Sehingga anggota keluarga akan memiliki waktu yang
lebih banyak berhubungan dengan lingkungan tempat tinggal anggota
keluarga akan memiliki waktu yang lebih banyak berhubungan dengan
lingkungan tempat tinggal. Oleh karena itu, kondisi rumah harus dapat
menjunjung derajat kesehtan bagi anggota keluarga.
Keluarga di harapkan mampu menciptakan suasana sehat seperti
suasanayang tenang dan menyenangkan serta menghindarkan
kliendengan barang-barang yang mebahayakan pada saat klien kambuh
seperti tali temali, benda tajam dan benda pecah belaah yang dapat
melukai diri sendiri, orang lain dan lingkungan sekitar.
5) Menggunakan fasilitas kesehatanyang ada di masyarakat
Apabila mengalami gangguan atau masalah yang berkaitan dengan
kesehatan keluarga atau anggota keluarga harus mampu memanfaatkan
fasilitass kesehatan yang ada di sekitar, sehingga klien segera
mendapatkan penanganan agar tidak memperburuk kondisi klien
gangguan jiwa risiko perilaku kekerasan.

e. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keluarga Dalam Merawat Klien


Gangguan Jiwa Risiko Perilaku Kekerasan
Menurut (yundari,2018) faktor-faktor yang mempengaruhi keluarga merwat
klien gangguan jiwa :
1) Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu
seseorang dapat objek melalui indera yang di milikinya (mata, hidung,
telinga, dan sebagainya). Dengan sendirinya, pada waktu penginderaan
sampai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat di pengaruhi insetitas
perhatian dan persepsi terhadap objek. Sebagian besar pengetahuan
seseorang di peroleh melalui indera pendengaran (telinga), dan indera
penglihatan (Notoadmodjo, 2014 dalam yundari 2018).
Pengetahuan menjadi faktor yang mempengaruhi kemampuan keluarga
dalam merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan kejiwaan
risiko perilaku kekerasan dimana semakin tinggi pengaruh seseorang,
maka semakin tinggi kemampuan menerima daan memahami tentang
informasi perawatan anggota keluarga yang mengalami gangguan
keluarga jiwa risiko perilaku kekerasan, sebaiknya jika pengetahuan
keluarga rendah maka dapat mengalami kesulitan untuk menerima dan
memhami tentang informasi perawatan anggota yang sakit. Berdasarkan
hal ini pengetahuan merupakan hal yang penting agar keluarga dapat
mempraktekkan cara perawatan anggota keluarga dengan gangguan jiwa,
untuk mencegah kekambuhan.
2) Pekerjaan/Ekonomi
Pekerja di sector informasi (swasta) juga mempengaruhi pengetahuan
seseorang karena bekerja di sector informal tidak harus memiliki
pendidikan yang tinggi mereka hanya mendapatkan pengetahuan dari
lingkungan hidup sehari-hari
Jika keluarga memiliki pekerjaan yang dapat menghasilkan pendapatan
yang tinggi maka keluarga dapat memberikan perawatan yang baik
kepada anggota keluarganya yang sakit dengan suport ekonomi yang
memadai, contohnya dapat membawa klien ke failitas pelayanan
kesehatan seperti puskesmas yang memiliki pelayanan kesehatan jiwa
atau rumah sakit jiwa, sedangkan jika pendapatannya rendah keluarga
bisa saja tidak membawa klien ke fasilitas pelayanan kesehatankarehna
suport ekonomi yang tidak memadai, tetapi pendapat tinggi ataupun
rendah tidak sepenuhnya mempengaruhi klien di bawa ke fasilitas
pelayanan kesehatan, tergantung pada pengetahuan dan stigma yang di
miliki oleh keluarga.
3) Sikap/budaya
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari
seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap ini merupakan
kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan
pelaksanaan motif tertentu. (Notoatmodjo,2014).
Salah satu sikap dan budaya yang mempengaruhi kemampuan keluarga
merawat anggota keluarga dengan gangguan jiwa ialah stigma
masyarakat dimana orang dengan gangguan jiwa menanggung
konsekuensi kesehatan dan sosio-kultural, seperti pemasungan dan
penanganan yang tidak maksimal sehingga memperberat dan
memperparah kondisi.
Jadi berdasarkan uraian di atas keluarga menjadi suatu pijakan dalam
upaya merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa.
Pengetahuan sangat mempengaruhi peran keluarga dalam bertindak,
pengetahuan yang baik tentang cara perawatan anggotan keluarga
dengan gangguan jiwa akan menimbulkan peran yang baik tentang cara
perawatan anggota keluarga dengan gangguan jiwa akan menimbulkan
peran yang baik sepertimemberikan dukungan emosional keluarga dalam
hal memotivasi pasien untuk sembuh ataupun menumbuhkan harapan
dan optimisme, pengawasan minum obat oabt serta pencegahan
kekambuhan anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa (Yundari,
2018).
Faktor-faktor menyebabkan seseorang berperan ada enam alasan, yaitu
pengetahuan, kepercayaan, sikap, orang penting sebagai referensi,
sumber daya dan kebudayaan. Peran keluarga dalam perawatan pasien
gangguan jiwa ini di wujudkan dengan cara meningkatkan fungsin
afektif yang dilakukan dengan memotivasi, menjadi pendengar yang
baik, membuat senang, memberi tanggung jawab dan kewajiban peran
dari keluarga sebagai pemberi asuhan (Stuart, 2016 dalam Yundari 2018)

2. Konsep Asuhan Keperawatan

a. Pengkajian
Menurut Roman dan Walid (2013) pengkajian adalah tahap awal dan dasar
dalam proses keperawatan. Pengpkajian merupakan tahap yang paling
menentukan bagi tahap berikutnya. Kegiatan dalam pengkajian adalah
pengumpulan data. Sumber data terbagi menjadi esedua sumber yaitu sumber
data primer yang berasal dari klien dan sumber data sekunder yang di peroleh
selain klien dan tenaga kesehatan data pengkajian kesehatan jiwa dapat di
kelompokkan menjadi faktor predisposisi faktor presifitas,penilaian terhadap
setresor,sumber kopin,dan kemampuan kopin yang dimiliki klien.
Pengkajian adalah tahap awal dan dasar utama dari proses keprawatan.data
data tersebut dikelompokkan menjdi faktor predisposisi,presipitas,penilaian
terhadap setresor sumber kopin,dan kemampuan kopin yang dimiliki klien.
Data-data yang di peroleh selama pengkajian juga dapat di kelompokkan
menjadi data subjektif dan data objektif (Deden dan Rusdi 2013).
Menurut Keliat (2014), data yang perlu di kaji pada pasien dengan perilaku
kekerasan yaitu pada data subjektif klien mengancam, mengumpat dengan kata-
kata kotor, mengatakan dendam dan jengkel. Klien juga menyalahkan dan
menuntut. Pada data objektif klien menunjukkan tanda-tanda mata melotot dan
pandangan tajam, tangan mengepal, rahang mengatup, wajah memerah dan
tegang, postur tubuh kaku dan suara keras. (Handayani et al., 2017).

b. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa Keperawatan ialah identifikasi atau penilaian terhadap pola respons
klien baik actual maupun potensial dan merupakan dasar pemilihan intervensi
dalam mencapai tujuan yang telah di tetapkan oleh perawat yang bertanggung
jawab. (Muhith, 2015., Stuart 2016).
Data-data yang mendukung analisa data menurut (keliat, 2014) :
1) Data Subjektif : klien mengatakan jengkel dengan orang lain, mengun
gkapkan rasa permusuhan yang mengancam, klien merasa tidak nyaman,
klien merasa tidak berdaya,, ingin berkelahi, dendam.
2) Data Objektif : tangan di kepal, tubuh kaku, ketegangan otot seperti
rahang rahang terkatup, nada suara tinggi, waspada, pandangan tajam,
reflek cepat, aktivitas motor meningkat, mondar-mandir, merusak secara
langsung benda-benda yang berada dalam lingkungan, menolak, muka
merah, nafas pendek.
c. Rencana Keperawatan
Menurut keliat (2014), Rencana keperawatan pada diagnosa pasien dengan
risiko perilaku kekerasan seperti pada tabel di bawah ini :
1) Strategi Pelaksanaan Asuhan Keperawatan

Rencana Asuhan Keperawatan Klien Perilaku Kekerasan (Kliat, 2014)

No DX Perencanaan
Tujuan Kriteria evaluasi Intervensi

1. 2. 3. 4. 5.
1. Perilaku Pasien mampu : Setelah SP1
kekerasa pertemuan pasien
n mampu :

1. Mengidentifi 1. Menyebutkan 1. Identifikasi


kasi penyebab, penyebab tanda
penyebab tanda gejala dan gejuala serta
dan tanda dan akibat akibat perilaku
perilaku perilaku kekerasan
kekerasan kekerasan 2. Latihan secara
2. Menyebutka 2. Mempergerak fisik 1 : tarik
n jenis kan cara fisik nafas dalam
perilaku 1 untuk 3. Masukikan dalam
kekerasan mengontrol jadwal harian
yang pernah perilaku pasien
di lakukan kekerasan
3. Menyebutka
n cara
mengontrol
perilaku
kekerasan
4. Mengontrol
perilaku
kiekerasan
secara :
Fisik,sosial/
verbal,spirit
ual, terapi
psikofarmak
a.

Setelah SP 2
pertemuan pasien
mampu:
1. Menyebutkan 1. Evaluasi SP 1
kegiatan yang 2. Latihan cara
sudah di fisik 2 : pukul
lakukan kasur / bantal
2. Memperagaka 3. Masukkan
n cara fisik dalam jadwal
untuk harian
mengontrol
perilaku
kekerasan

No DX Perencanaan
Tujuan Kriteria Evaluasi Intervensi
1. 2. 3. 4. 5.
Setelah SP3
Pertemuan pasien 1. Evaluasi SP1 dan
mampu : SP2
1. Menyebutkan 2. Latihan secara
kegiatan yang sosial / verbal
sudah di 3. Menolak dengan
lakukan baik
2. Memperagakan 4. Meminta dengan
secara fisik baik
untuk 5. Mengungkapkan
mengontrol dengan baik
perilaku 6. Masukkan
kekerasan dalamkegiatan
pasien
Setelah pertemuan SP4
pasien mampu: 1. Evaluasi SP 1,2
1. Menyebutkan dan 3
kegiatan yang 2. Latih secara
sudah di spiritual berdoa
lakukan 3. Masukkan dalam
2. Memperagakan jadwal kegiatan
secara spiritual pasien
Setelah pertemuan SP5
pasien mampu: 1. Evaluasi sp 1,2,3
1. Menyebutkan dan 4
kegiatan yang 2. Latihan patuh
sudah di obat
lakukan 3. Minum obat
2. Memperagakan secaraa teratur
cara patuh dengan prinsip
minum obat 5B
4. Susun jadwal
minum obat
dengan teratur
5. Masukkan dalam
jadwal kegiatan
pasien
2) Strategi Pelaksanaan Keluarga Klien Perilaku Kekerasan

Rencana Asuhyan Keperawatan Klien Perilaku Kekerasan (Kliat 2014)

No DX Perencanaan
Tujuan Kriteria Evaluasi Intervensi
1 2 3 4 5
Keluarga Setelah pertemuan SP 1
mampu : keluarga mampu: 1. Identifikasi
Merawat 1. Menjelaskan maslah yang di
passien di penyebab, tanda rasakan keluarga
rumah / gejala, akibat dalam merawat
serta mampu pasien
memperagakan 2. Jelaskan tentang
cara merawat RPK dari
penyebab,akibat
dan cara merawat
3. Latihan 2 cara
merawat
4. RTL keluarga /
jadwal untuk
merawat pasien
Setelah peertemuan SP2
keluarga mampu : 1. Evaluasi SP1
1. Menyebutkan 2. Latihan
kegiatan yang (simulasi) 2 cara
sugdah di lain untuk
lakukan dan merawat pasien
mampu merawat 3. Latihan
serta dapat langsung ke
membuat RTL pasien
4. RTL keluarga
untuk merawat
pasien
Setelah pertemuan SP3
kelurga mampu: 1. Evaluasi SP 1
1. Menyebutkan dan 2
kegiatan yang 2. Latihan
sudah di langsung ke
lakukan dan pasien
mampu merawat 3. RTL
serta dapat keluarga/jadwal
membuat RTL keluarga untuk
merawat pasien
Setelah pertemuan SP 4
keluarga mampu: 1. Evaluasi SP 1,2
1. Melaksanakan dan 3
follow up dan 2. Latih langsung
rujuk serta ke paisen
mampu 3. RTL keluarga
menyebutkan follow up dan
kegiatan yang rujukan.
sudah di
lakukan

3) Fase-Fase Kunjungan Rumah

Fase-Fase dan Aktifitas Kunjungan Rumah (Rusman, 2015)

Fase Aktifitas
1. Fase Insiasi Klarifikasikan sumber rujukan untuk
kunjungan rumah,
Klarifikasi tujuan kunjungan ke
rumah
Desain kunjungan ke rumah
2. Fase Pra Kunjungan Lakukan kontak dengan keluarga,
Satukan Persepsi tentang kunjungan
dengan keluarga
Apa keinginan keluarga dari
kunjungan rumah
3. Fase di dalam rumah Memperkenalkan diri, identitas diri
dan profesional.
Interaksi sosial
Terapkan hubungan P & K
Implementasikan proses
keperawatan
4. Fase terminasi Telaah (evaluasi) kunjungan dengan
keluarga
Rencanakan untuk kunjungan
berikutnya
5. Fase paska kunjungan Catat hasil kunjungan
Rencanakan kunjungn brikutnya

d. Pelaksanaan
Menurut kaliat 2014 implementasi keperawatan di sesuaikan dengan
rencana tindakan keperwatan dengan memperhatikan dengan mengutamakan
masalah utama yang aktual dan mengancam integrsi klien beserta lingkungnnya.
Sebelum melaksanakan tidakan keperawtan yng di rencanakan, perawat perlu
menfalidasi apakah rencana tindakan keperawatan masih di butuhkan dan sesuai
dengan kondisi klienpada saat ini. Hub ungan sling percaya antara perawat
dengan klin merupakian dasar utama dalam pelaksanakan tindakan keperawatan.
Dermawan (2013) menjelaskan bahwa tindakian keperawatan dengan
pendekatan strategi pelaksanaan (SP) perilaku kkerasan terdiri dari SP 1
(pasien) : membina hubu8ngan saling percaya, membantu klien mengenal
penyebab perilaku kekerasan, membantu klien dalam mengenal tanda dan gejala
dari perilaku kekerasan . SP 2 (pasien) : membantu klien mengontrol perilaku
kekerasan dengan memukul bantal atau kasur. SP 3 (pasien) : membantu klien
mengontrol perilaku kekerasan secara verbal seperti menolak dengan baik atau
meminta dengan baik. SP 4 (pasien) : membantu klien mengontrol perilaku
kekerasan secara spiritual dengan cara sholat atau berdoa. SP 5 (pasien) :
membantu klien dalam meminum obat secara teratur.
Tindakan keperawatan pada keluarga dengan perilaku kekerasan secara
ukmum adalah sebagai berikut : 1. SP1 : Memberikan pendidikan kesehatan
kepada keluarga tentang cara mearwat pasien perilaku kekerasan di rumah. 2.
SP2 : Memilih keluarga melakukan cara-cara mengendalikan kemarahan. 3. SP3
: Membantu perencanaan pulang bersama keluarga.

e. Evaluasi
Evaluasi merupakan proses berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan
keperawatan pada klien. Evaluasi dilakukan terus menerus pada respons
keluarga terhadap tindakan keperawatan yang telah di laksanakan. Evaluasi
proses atau promatif dilakukan setiap selsai melakukan tindakan. Evaluasi dapat
dilakukan dengan menggunakan SOAP sebagai pola pikirnya. (keliat, 2014)
S : Respon Subjektif keluarga terhadap intervensi keperawatan yang telah di
laksnakan
O : Respon Objektif Keluarga terhadap tindakan keperawatan yang telah di
laksankan
A : analisis ulang data subjektif dan objektif untuk menyimpulkan apakah
maslah masih tetap atau mencul maslah baru atau dan data yang kontradiktif
dengan masalah yang adakel
P : perencanaan atau tidak lanjut berdasar hasil analisa respon keluarga.

Anda mungkin juga menyukai