Anda di halaman 1dari 6

Konsep Dasar Sosial

Teori Sosial Menurut Emile Durkheim

Teori sosial menurut Emile Durkheim adalah bahwa ketika kita ingin melihat suatu kebudayaan,
maka dapat dilihat pula institusi dan norma yang ada dalam kebudayaan tersebut. Sebab
masyarakat terbentuk dari institusi dan norma-norma tersebut.

Norma dan dan institusi berawal dari masyarakat melalui kesepakatan bersama. Namun, dalam
perjalananya institusi dan norma tersebut tumbuh dengan sendirinya secara mandiri. Hal ini yang
disebut Emile Durkheim sebagai realitas suie generis, dalam artian masyarakat memliliki
eksistensnya sendiri.

Contoh dari teori sosial ini misalnya sebuah institusi yang terjadi di masyarakat ketika terjadi
kebobrokan, seperti halnya korupsi. Walaupun dari sudut pandang sosial bahwa persoalan
tersebut terjadi karena sistem atau faktor individu, tetapi menurut pandangan sui generis bahwa
sistem tidak lain sebagai makhluk yang terus menerus hidup dan berkembang di luar realitas
individu. Walaupun sistem itu awalnya dibentuk oleh individu-individu, pada perkembangannya
sistem itu bergerak menemukan pola sendiri di luar yang digariska oleh kesepakatan individu.

Teori Sosial Menurut Max Weber

Menurut Max Weber individu manusia dalam masyarakat merupakan aktor yang kreatif dan
realitas sosial bukan merupakan alat yang setatis dari pada paksaan fakta sosial. Artinya,
tindakan manusia tidak sepenuhnya di tentukan oleh norma, kebiasaan,nilai, dan sebagainya
yang mencakup di dalam konsep fakta sosial. Walaupun pada akhirnya weber mengakui bahwa
dalam masyarakat terdapat setruktural sosisal dan pranata sosial. Dikatakan bahwa setruktur
sosial dan pranta sosial merupakan dua konsep yang saling berkaitan dalam membentuk tindakan
sosial.

Tindakan sosial terjadi ketika individu melekatkan makna subjektif pada tindakan mereka.
Hubungan sosial menurut Weber  yaitu suatu tindakan dimana beberapa aktor yang berbeda-
beda, sejauh tindakan itu mengandung makna dihubungkan serta diarahkan kepada tindakan
orang lain. Masing-masing individu berinteraksi dan saling menanggapi.

Weber juga membicarakan bentuk-bentuk empiris tindakan sosial dan antar-hubungan sosial
tersebut. Weber membedakan dua jenis dasar dari pemahaman yang bersifat tafsiran dari arti,
dari tiap jenis pemahaman ini bisa dibagi sesuai dengan masing-masing pertaliannya, dengan
menggunakan tindakan rasional ataupun emosional. Jenis pertama adalah pemahaman langsung
yaitu memahami suatu tindakan dengan pengamatan langsung. Kedua, pemahaman bersifat
penjelasan. Dalam tindakan ini tindakan khusus aktor ditempatkan pada suatu urutan motivasi
yang bisa dimengerti, dan pemahamannya bisa dianggap sebagai suatu penjelasan dari kenyataan
berlangsungnya perilaku.
Teori Sosial Karl Marx

Teori Karl Marx menjelaskan tentang teori struktural fungsional. Menurut Karl Marx, stratifikasi
yang berbeda-beda itu mempunyai fungsi tersendiri. Karl Marx melahirkan suatu aliran, yaitu
aliran komunisme. Agama adalah candu yang terdapat didalam masyarakat. Dalam prakteknya
seperti orang katolik. Fungsi tersebut didalamnya terdapat suatu konflik. Adanya pembagian
masyarakat itu memicu terjadinya suatu konflik. Mark juga menjelaskan tentang suatu revolusi
karena menurutnya kita sebagai masyarakat haruslah mengambil alih secara cepat dalam
berbagai bidang apapun. masyarakat juga tidak mempunyai stratifikasi kelas karena memiliki
suatu alat, dalam artian sama rata. Karl Marx mempunyai semboyan yang sangat khas, yaitu
“sama rata sama rasa”. Menurut Karl Marx, agama itu tidak boleh karena menimbulkan suatu
konflik. Tetapi jika agama dilarang, maka kita tidak akan mempunyai suatu pedoman untuk
hidup didalam dunia ini. Karl Marx juga menjelaskan tentang konsep kapitalisme. Paradigma
yang dianut oleh Karl Marx adalah paradigma fakta sosial. Jadi semakin miskin seseorang
sebagai rakyat maka semakin miskin juga seseorang dalam hal apapun. Tetapi semakin kaya
seseorang maka semakin kaya juga seseorang tersebut dalam hal apapun. Marx juga berpendapat
bahwa kolektifitas selalu menimbulkan suatu perbedaan. Sedangkan yang mendorong adanya
suatu kesadaran itu adalah setiap materi-materi yang diberikan dan dipahami.

Teori Sosial George Simmel


Simmel memberikan suatu konsep tentang masyarakat melalui interaksi timbal balik. Masyarakat
dipandang lebih dari pada hanya sebagai suatu kumpulan individu sebaliknya masyarakat
menunjuk pada pola interaksi timbal balik antara individu. Pendekatan Simmel meliputi
pengidentifikasian dari penganalisaan bentuk-bentuk yang berulang atau pola-pola “sosiasi”
(sociation). Sosiasi adalah terjemahan dari kata “ Vergesellschaftung (Jerman), yang secara
harafiah berarti proses dimana masyarakat itu terjadi. Dengan demikian jika individu-individu
saling berhubungan dan saling mempengaruhi, maka terbentuklah suatu masyarakat. Proses
interaksi timbal balik itu bisa bersifat sementara dan berlangsung lama.

Fungsionalisme Struktural Talcott Parsons


Talcott Parsons melahirkan teori fungsional tentang perubahan. Dalam teorinya, Parsons
menganalogikan perubahan sosial pada masyarakat seperti halnya pertumbuhan pada mahkluk
hidup. Komponen utama pemikiran Parsons adalah adanya proses diferensiasi. Parsons
berpendapat bahwa setiap masyarakat tersusun dari sekumpulan subsistem yang berbeda
berdasarkan strukturnya maupun berdasarkan makna fungsionalnya bagi masyarakat yang lebih
luas. Ketika masyarakat berubah, umumnya masyarakat tersebut akan tumbuh dengan
kemampuan yang lebih baik untuk menanggulangi permasalahan hidupnya. Dapat dikatakan
Parsons termasuk dalam golongan yang memandang optimis sebuah proses perubahan. Asumsi
dasar dari Teori Fungsionalisme Struktural, yaitu bahwa masyarakat menjadi suatu kesatuan atas
dasar kesepakatan dari para anggotanya terhadap nilai-nilai tertentu yang mampu mengatasi
perbedaan-perbedaan sehingga masyarakat tersebut dipandang sebagai suatu sistem yang secara
fungsional terintegrasi dalam suatu keseimbangan. Dengan demikian masyarakat adalah
merupakan kumpulan sistem-sistem sosial yang satu sama lain berhubungan dan saling memiliki
ketergantungan.

Teori Konflik Ralf Dahrendorf


Teori konflik menghasilkan klasifikasi dalam masyarakat, sebagai akibat adanya konflik
yang menghasilakan perundingan-perundingan yang berbeda dari kondisi semula. Teori ini
didasarkan pada pemilikan sarana- sarana produksi sebagai unsur pokok pemisahan kelas dalam
masyarakat. Reaksi teori struktural fungsional, yang menyebabkan munculnya teori konflik.
Pemikiran yang paling memepengaruhi teori ini adalah pemikiran Karl Marx. Pada tahun 1950-
an dan 1960-an, teori konflik mulai dikenal . Teori konflik menghasilakan alternatif terhadap
teori struktural fungsional.
Danrendorf adalah tokoh pewaris teori konflik Marx dan Weber. Sosiolog ini
berpandangan bahwa masyarakat mempunyai dua wajah (konflik dan konsensus) sehingga teori
sosiologi harus dibagi menjadi dua bagian, yakni teori konflik dan teori konsensus. Teori yang
pertama harus menguji konflik kepentingan dan penggunaan kekerasan yang mengikat
masyarakat bersama dihadapan tekanan itu. Sedangkan teori yang kedua harus menguji nilai
integrasi dalam masyarakat. Dengan kedua teori ini, maka Dahrendorf lebih dikenal dengan
penggagas teori dealektikal (dialectical theory).
Dahrendorf menekankan bahwa tugas pertama analisis konflik adalah mengidentifikasi
berbagai peran otoritas di dalam masyarakat. Atau dengan kata lain, struktur social yang berbeda
di masyarakat akan menentukan kualitas otoritas yang dimiliki oleh lapisan tertentu terhadap
lapisan lainnya. Dengan demikian, secara tersirat otoritas menyatakan superordinat dan
subordinat yang ada di masyarakat.

Klasifikasi Gangguan Sosial

Samuel A. Kirk membuat klasifikasi anak tunalaras melalui proses pengamatan gejala-
gejala tingkah lakunya, secara garis besar ia mengelompokan menjadi tiga katagori yaitu:
1. Socially maladjusted children
yaitu kelompok anak yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial. Kelompok
anak ini menunjukkan tingkah laku yang tidak sesuai dengan ukuran “cultural permissive” atau
norma-norma masyarakat dan kebudayaan yang berlaku, baik di rumah, sekolah, maupun
masyarakat.
2. Delinquency
adalah tingkah laku anak atau remja yang melanggar norma-norma hukum tertulis atau
merupakan salah satu bentuk penyesuaian anak yang salah, tidak sesuai dengan tuntutan dan
harapan lingkungan masyarakat.
3. Emotionally disturbed children
yaitu kelompok anak yang terganggu atau terhambat perkembangan emosinya, dengan
menunjukkan adanya gejala ketegangan atau konflik batin, menunjukan kecemasan, penderita
neurotis atau bertingkahlaku psikotis. Beberapa tingkah laku dari anak ini dapat dikatagorikan
sebagai tingkah laku socially maladjusted. Apabila tingkah laku tersebut sudah merugikan dan
mengganggu kehidupan orang lain, seperti mencuri, mengganggu ketertiban dan keamanan
masyarakat, dan sebagainya.

Menurut Hewitt dan Jenkins, mengklasifikasikan anak tunalaras (Socially Maldjusted


Children) menjadi tiga kelompok yaitu:
1. Unsocialized Agresive Children
yaitu kelompok anak yang menunjukan gejala-gejala: tidak menyenangi sikap otoritas, seperti
guru, dan polisi. Kebanyakan anak ini berasal dari keluarga broken home, tidak mendapat kasih
sayang dan perhatian dari orang tuanya. Anak kelompok ini kebanyakan lahir di luar
perkawinan. Mereka tidak berkembang super egonya, tidak dapat melakukan hubungan
interpersonal secara positif. Perilaku dan sikap mereka bersifat anti sosial, sering melakukan
kekejaman, kekerasan dan sadis.
2. Sociallized Agresive Children
yaitu kelompok anak yang masih mampu melakukan hubungan dan interaksi sosial pada
kelompok yang terbatas, seperti kelompoknya. Pada umumnya berasal dari keluarga broken
home, masa kecil mereka pernah memperoleh kasih sayang, tetapi masa berikutnya diabaikan,
sehingga ia masih mampu melakukan hubungan dan interaksi sosial secara terbatas, tetapi
mereka membenci orang-orang yang memiliki otoritas.
3. Maldjusted Children
Kelompok anak ini sering juga disebut anak “over inhibited”. Dengan karakteristik prilaku,
seperti: penakut, pemalu, cemas, penyendiri, sensitive, sulit melakukan interaksi sosial secara
baik dengan teman-temannya, sangat ketergantungan, dan mengalami defresi. Pada umumnya
berasal dari keluarga yang mampu, dimana mereka terlalu diperhatikan dan dimanjakan,
sehingga kurang mampu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan yang menuntut sesuatu
dari seperti tanggung jawab sosial, agama, budaya, dsb.

Faktor Penyebab Gangguan Sosial

Beberapa faktor penyebab timbulnya sikap antisosial, antara lain sebagai:

1. Sikap Orang Tua yang Overprotected


Orang tua yang overprotected akan membatasi ruang gerak anak sehingga anak kehilangan
kesempatan untuk mengembangkan keterampilan sosialisasi secara sehat dalam lingkungannya.

2. Sikap Orang Tua yang Pencela


Membandingkan, dan Mencemooh, orang tua bersikap buruk terhadapnya maka anak pun akan
meniru dan melakukan hal yang sama. Sikap orang tua yang pencela, membandingkan, dan
mencemooh anak mencerminkan sikap penolakan terhadap keberadaan anak apa adanya.

3. Sempitnya Kesempatan Bergaul dengan Anak Lain


Lingkungan memiliki potensi yang sangat kaya dalam memberikan pengalaman sosial pada
anak. Mulai dari pengalaman yang positif maupun pengalaman yang buruk. Jika anak tidak
memiliki kesempatan bergaul yang cukup maka ia tidak memiliki kesempatan untuk mempelajari
respons lingkungan terhadap perilakunya ataupun melakukan penyesuaian sosial.

4. Pola Asuh Otoriter


cenderung memicu perilaku antisosial pada anak, seperti tumbuhnya sikap pemberontak, agresif,
sikap sok kuasa, dan lain sebagainya. Sikap yang keras serta penerapan disiplin yang tidak
dijelaskan pada anak, hanya akan menimbulkan perilaku yang salah asuh.

5. Lingkungan yang Buruk


Secara umum anak melakukan proses imitasi terhadap lingkungannya, tanpa mengenal lebih jauh
apakah lingkungan itu baik atau buruk. Jika lingkungan dapat menonjolkan perilaku terpuji maka
anak pun dapat mempelajari penyerapan dan mengaplikasikan perilaku yang luhur tadi.
Sebaliknya jika lingkungan tersebut kurang baik maka anak tetap akan menjadikannya sebagai
objek imitasi.
Daftar Pustaka

Anisah, A. S. 2015. Gangguan Prilaku pada Anak dan Implikasinya Terhadap


Perkembangan Anak Usia Sekolah Dasar. Jurnal Pendidikan Sekolah Dasar, 1(2), 5-20.

Razak, Zulkifli. 2017. Perkembangan Teori Sosial (Menyongsong Era Postmoderinisme).


Makassar: CV Sah Media.

Susilawati. 2018. Permasalahan Sosial Emosional Pada Anak Usia Taman Kanak-Kanak.
Hal 5. Pada tanggal 25 Februari.

Anda mungkin juga menyukai