Anda di halaman 1dari 5

I.

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Kebutuhan dunia terhadap minyak dan lemak nabati mengalami

peningkatan setiap tahun. Produksi minyak dan lemak nabati pada tahun 2006

mencapai 123 juta ton dan diprediksi meningkat menjadi 142 juta ton pada 2010.

Sebanyak 45.5 juta ton minyak dan lemaknabati tersebut berasal dari minyak

kelapa sawit, dan 22.3 juta ton (46%) berasal dari Indonesia. (Anonim201O).

Menurut Elisabeth (2009) konsumsi CPO dunia selama 2009 diperkirakan

meningkat 5.5% dari 42.57 juta ton pada 2008 menjadi 44.90 juta ton pada tahun

2009. Peningkatan produksi dan konsumsi lemak dan minyak dan CPO ini perlu

didukung oleh pengolahan minyak sawit untuk menghasilkan komoditas berbasis

sawit yang beraneka ragam, termasuk minyak sawit merah (Red Palm Oil)

Pada masa perkembangan dimana masayarakat dengan kecerdasan dan

seleranya menghendaki tampilan produk-produk yang lebih baik, maka

berkembang pula teknologi proses untuk membuat minyak goreng yang tidak

berwarna, tidak berbau dan tidak berasa, sehingga pada proses pembuatan minyak

goreng, warna merah yang mengandung zat gizi mikro penangkal penyakit kronik

degeneratif yang terdapat pada minyak sawit justru sengaja dibuang sebagian lagi

terbuang dengan tidak sengaja.

Indonesia sebagai negara produsen CPO terbesar di dunia seharusnya

mampu mengatasi permasalahan di Indonesia yaitu kurang vitamin A (KVA).

KVA merupakan salah satu masalah gizi di Indonesia yang dapat menyebabkan
masalah kebutaan, terutama bagi balita dan anak-anak. Oleh karena itu, minyak

sawit kasar (CPO) memiliki prospek yang sangat besar untuk dikembangkan guna

mengatasi masalah KVA tersebut, terlebih mengingat kapsul vit A yang tersedia

saat ini umumnya diolah dari minyak ikan dan masih merupakan produk impor.

Minyak sawit merah merupakan minyak sawit asli kaya karotenoid yang

diproses secara minimal sehingga secara alami mengandung tokoferol, tokotrienol

dan karotenoid yang memberikan warna merah pada minyak. Karotenoid pada

minyak sawit antara lain berfungsi untuk menanggulangi kebutaan karena

xeroftalmia, mencegah timbulnya penyakit kanker, mencegah proses penuaan

dini, meningkatkan imunitas tubuh dan mengurangi terjadinya penyakit

degeneratif (Berger, 1988).

Menurut Basiron dan Weng (2004), manfaat dari minyak sawit merah

yang tidak dihilangkan kandungan karotennya selama pengolahan dapat

digunakan sebagai pangan fungsional, karena minyak sawit merah berperan

sebagai carrier provitamin A dan vitamin E untuk konsumen. Minyak sawit merah

dapat juga digunakan sebagai pewarna alami. Minyak sawit merah tidak

dianjurkan digunakan sebagai minyak goreng, karena karotenoid yang terkandung

didalamnya rusak pada suhu tinggi. Minyak ini lebih dianjurkan sebagai minyak

makan sebagai menumis sayur, daging dan bumbu. Minyak sawit merah juga baik

digunakan dalam pembuatan salad oil (minyak salad), serta dapat digunakan

sebagai bahan fortifikan makanan untuk produk pangan berbasis minyak atau

lemak, seperti margarin dan selai kacang (Andarwulan et al. 2003).


Secara umum, proses produksi MSM prinsipnya sama dengan proses

produksi minyak sawit asli komersial (minyak goreng) yaitu pemisahan gum

(degumming), netralisasi (deasidifikasi), pemucatan (bleaching) dan deodorisasi.

Satu hal yang membedakan adalah pada proses produksi MSM tidak ada 3

tahapan bleaching (pemucatan) sehingga minyak masih tetap berwarna merah.

Dibandingkan dengan minyak goreng biasa, MSM memiliki aktivitas provitamin

A dan vitamin E yang jauh lebih tinggi (Jatmika dan Guritno, 1997).

Tahapan pemurnian minyak merah setelah proses fraksinsi adalah proses

deodorisasi. Deodorisasi bertujuan untuk menghilangkan bau dan rasa (flavor)

yang tidak enak dalam minyak (Ketaren 2005). Pada dasarnya deodorisasi ini

merupakan suatu proses destilasi dengan suhu tinggi dan kondisi vakum. Dalam

deodorisasi suhu, tekanan, dan waktu kontak (waktu tinggal) merupakan

parameter proses penting. Pada suhu tinggi, komponen-komponen yang

menimbulkan bau dari minyak mudah diuapkan, kemudian melalui aliran gas

pelucut komponen tersebut dikeluarkan dari minyak. Tingkat vakum yang tinggi

akan mengurangi jumlah sparging gas yang digunakan dan mencegah terjadinya

hidrolisis yang tidak diinginkan pada minyak (O’ Brien 2004). Suhu yang tinggi

dan waktu kontak yang lama akan mengakibatkan terjadinya dekomposisi

sebagian besar karoten yang terkandung dalam minyak merah sehingga diperlukan

suatu kendali proses deodorisasi untuk meminimalkan kerusakan karoten.

I.2. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah sbagai berikut:

1. Menciptkan produk minyak sawit merah (Red Palm Oil) dari crude

palm oil (CPO)

2. Mengatasi permasalahan kekurangan vitamin A

3. Mendapatkan teknologi proses deodorisasi dalam pemurnian minyak

sawit merah

I.3. Kerangka pemikiran

Selama ini, Indonesia sebagai negara produsen CPO terbesar di dunia

seharusnya mampu mengatasi permasalahan di indonesia yaitu kurang vitamin A

(KVA). KVA merupakan masalah gizi di indonesia yang dapat menyebabkan

masalah kebutaan, terutama bagi balita dan anak-anak. Oleh karena itu, crude

palm oil (CPO) memiliki prospek yang sangat besar untuk di kembangkan guna

untuk mengatasi masalah KVA tersebut, terlebih mengingat kapsul vit A yang

tersedia saat ini umumnya diolah dari minyak ikan dan masih merupakan produk

impor, maka perlu di cari alternatif salah satunya yaitu dengan mengolah crude

palm oil (CPO) menjadi red palm oil (RPO)

I.4. Hipotesis
Adanya proses yang melibatkan suhu tinggi menyebabkan kerusakan β-

karoten selama proses deodorisasi pada pemurnian minyak sawit. Hal ini dapat

diminimalkan dengan mengendalikan kondisi operasi proses deodorisasi pada

suhu moderat sehingga kerusakan β-karoten dapat diminimalkan.

I.5. Kontribusi

Konstribusi yang diberikan dalam penelitian ini adalah memberikan

informasi kondisi operasi deodorisasi minyak sawit merah pada skala pilot plant,

sehingga dapat digunakan untuk pengembangan produksi minyak sawit merah skala

industri. Produk minyak sawit merah yang mengandung β-karoten yang tinggi ini

dapat digunakan sebagai bahan baku produk fortifikan pangan.

Anda mungkin juga menyukai