Anda di halaman 1dari 10

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4. 1 Hasil Pengamatan

Untuk memastikan kualitas RBDPO yang dihasilkan, PT LDC Indonesia

melakukan analisa terhadap kandungan minyak sawit dari beberapa parameter

yaitu Free Faty Acid (FFA), Moisture dan Impurities (M dan I), DOBI, Colour,

Perokside Value (PV), dan Iodine Value (IV). RBDPO merupakan hasil dari

proses pemurnian untuk penjernihan dan penghilangan bau dari CPO. Berikut

adalah data rata-rata pengamatan yang didapatkan dari PT LDC Indonesia.

Tabel 2. Data Hasil Analisa Sebelum dan Setelah Proses Pemurnian


Sebelum Setelah
Persyaratan
No Parameter Pemurnian Pemurnian
RBDPO
(CPO) (RBDPO)
1 Free Fatty Acid (%) 5,44 0,08 0,1 Max
2 Moisture dan Impurities (%) 0,34 0,02 0,1 Max
3 DOBI 2,04 -
4 Colour (red) 22 2,66 3,0 Max
5 Perokside Value (PV) (meq/kg) 2,19 0,00 1,0 Max
6 Iodine Value (IV) mg/100 gr 51,83 52,04 50-55
Sumber : PT LDC Indonesia, 2018

4.2 Pembahasan

Dari data pengamatan yang didapatkan bahwa untuk melihat peningkatan

kualitas minyak sawit setelah mengalami proses pemurnian dapat dilihat dari

berbagai parameter, diantaranya yaitu nilai Free Faty Acid (FFA), Moisture dan

Impurities (M dan I), DOBI, Colour, Perokside Value (PV), dan Iodine Value

(IV).
32

4.2.1 Free Faty Acid (FFA)

Asam lemak bebas atau Free Faty Acid (FFA) adalah adalah asam lemak

yang berada sebagai asam bebas yang tidak terikat sebagai trigliserida

(Ketaren, 2005). Tingginya kadar FFA dalam minyak sawit dapat memperkecil

rendemen dalam produksi pengolahan minyak. FFA juga dapat menggangu

kesehatan tubuh karena dapat membentuk senyawa asam lemak trans, senyawa

ackroelin yang menyebabkan rasa gatal pada tenggorokan (Winarno, 2004).

Pada proses pemurnian minyak sawit, FFA akan diperkecil jumlahnya

melalui destilasi bertingkat pada tahap deodorisasi. Pada tahap deodorisai ini

terjadi penguapan cairan dan zat-zat yang mudah menguap, di mana yang

diuapkan adalah asam lemak bebas dan senyawa-senyawa penyebab bau yang

lebih mudah menguap serta produk oksidasi, seperti aldehid dan keton yang masih

ada dalam minyak. Bila senyawa diatas tidak diuapkan maka akan timbul bau

yang tidak sedap dan rasa yang tidak enak pada minyak. Setelah pemisahan terjadi

antara FFA dan minyak maka, minyak hasil proses deodorization ini disebut

Refined Bleached Deodorized Palm Oil (RBDPO).

Pengujian FFA salah satunya digunakan untuk mengetahui kadungan asam

lemak bebas yang terdapat dalam minyak, kemudian untuk mengetahui

peningkatan kualitas sebelum dan sesudah proses pemurnian minyak sawit yang

dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 2 maka diketahui, penurunan nilai FFA yang

terkandung dalam minyak sawit menandakan meningkatnya kualitas minyak sawit

setelah dilakukan proses pemurnian. Selain itu jika bandingkan dengan standar

prusahaan, nilai FFA pada RBDPO yaitu maksimal 0,1%. Dimana artinya untuk
33

kadar FFA RBDPO harus di bawah atau sama dengan 0,1%. hasil pengujian

RBDPO yang didapatkan bahwa nilai FFA berada bawah batas maksimum standar

perusahaan yaitu rata-rata 0,08 % sehingga didapatkan minyak sawit yang

diproduksi perusahaan telah memenuhi standar mutu yang telah ditetapkan. Jika

FFA masih tingi atau masih di atas standar maksimum, maka minyak akan di

campur dengan miyak yang nilai FFA nya rendah, atau dilakukan proses

deodorisasi yang lebih lama, untuk memenuhi standar yang telah ditetapkan.

4.2.2 Moisture dan Impurities (M dan I)

Moisture dan Impurities (M dan I) diuraikan menjadi 2, yaitu moisture dan

impurities. Moisture yaitu banyaknya kandungan air yang terdapat dalam sampel.

Moisture dapat mempengaruhi mutu minyak, semakin tinggi kadar air maka

semakin rendah mutu minyak dan sebaliknya Semakin rendah kadar airnya maka

ketahanan minyak serta kualitas minyak semakin bagus. Adayan kandungan air

dalam minya dapat mempercepat reaksi hidrolisa. Impurities yaitu banyaknya

kotoran yang terdaapat dalam sampel. Impurities Sama halnya seperti moisture,

semakin rendah kadar kotorannya maka kualitas minyak sawit semakain bagus.

Pada proses pemurnian ini, moisture dan Impurities akan diperkecil

jumlahnya melalui tahapan proses degumming. Pada tahap degumming ini

kotoran, logam-logam, dan getah atau lendir yang terdiri phospatida, protein,

residu, karbohidrat, air, dan resin akan dipisahkan tanpa mengurangi asam lemak

bebas dalam minyak. Proses degumming dilakukan dengan penambahan bahan

kimia seperti asam phospat (H3PO4) yang bertujuan untuk mengikat getah yang

pada CPO. Getah yang terikat akan menggumpal dan mengendap dan akan

terserap oleh beleaching earth pada proses bleaching.


34

Kadar air sangat menentukan kualitas dari minyak. Kadar air berperan

dalam proses oksidasi maupun hidrolisis minyak yang akhirnya dapat

menyebabkan ketengikan, semakin tinggi kadar air, maka ketengikan minyak

semakin cepat. Kerusakan minyak dapat dipercepat oleh adanya air, protein,

karbohidrat dan bahan lain. Tingginya kadar air tersebut dapat mempercepat

proses hidrolisis. Hidrolisis minyak ini menghasilkan asam-asam lemak bebas

yang mempengaruhi cita rasa dan bau.

Kotoran yang tidak larut dalam minyak terdiri dari biji atau partikel

jaringan, lendir dan getah, serat-serat yng berasal dari kulit, abu, atau mineral

yang terdiri dari Fe, Cu, Mg, dan Ca, serta air dalam jumlah kecil. Kotoran ini

bisa dipisahkan dengan beberapa cara mekanis, yaitu dengan pengendapan,

penyaringan dan sentrifusi (Ketaren, 1986).

Pengujian M dan I tidak hanya untuk mengetahui kandungan air dan

pengotor saja melainkan untuk mengetahui pengaruh terhadap proses pemurnian

yang dilakukan. Berdasarkan data hasil pengamatan sebelum dan sesudah proses

pemurnian yang dapat dilihat pada Tabel 2 maka diketahui penurunan nilai M dan

I yang terkandung dalam minyak sawit menandakan meningkatnya kualitas

minyak sawit setelah dilakukan proses pemurnian. Selain itu jika dibandingkan

dengan standar perusahaan maka untuk analisa uji M dan I pada produk RBDPO

yaitu maksimum 0,1% yang dapat diihat pada Tabel 3. Dimana artinya untuk

kadar M dan I minyak sawit harus di bawah atau sama dengan 0,1%. Sedangkan

berdasarkan hasil pengujian didapatkan bahwa nilai M dan I memiliki nilai di

bawah batas maksimum standar perusahaan yaitu berada dikisaran 0,02 %

sehingga didapatkan bahwa minyak sawit yang diproduksi perusahaan telah


35

memenuhi standar mutu yang telah ditetapkan. Dengan kata lain minyak sawit

yang diproduksi kualitasnya sangat bagus dikarenakan nilai M dan I nya sangat

kecil.

4.2.3 Deterioration Of Bleachability Index (DOBI)

Deterioration Of Bleachability Index (DOBI) adalah index daya

pemucatan yang dapat terjadi pada minyak CPO (bahan baku) yang merupakan

rasio kandungan karoten dan produk oksidasi sekunder pada CPO atau merupakan

nilai yang menyatakan tingkat kemudahan pemucatan CPO. Semakin tinggi nilai

DOBI maka CPO akan semakin bagus dan semakin mudah dipucatkan. Hal ini

dikarenakan dalam CPO terdapat senyawa karoten yang mana jika nilai DOBI

tinggi menandakan senyawa karoten semakin banyak dan jumlah senyawa yang

sudah teroksidasi semakin sedikit dan warna akan semakin mudah tereduksi.

Dalam perdagangan, kualitas CPO harus menemukan gambaran dari Good

Maerchantable Quality (GMQ) atau kualitas perdagangan yang baik. Dalam

sistem perdagangan, bahan baku harus diperhatkan untuk menghasilkan margin

yang tinggi.

DOBI merupakan salah satu parameter mutu CPO untuk mengukur tingkat

kerusakan minyak yang disebabkan oleh oksidasi, nilai DOBI rendah

mengindikasikan naiknya kandungan produk oksidasi sekunder (Jusoh et al.,

2013). Selain itu nilai DOBI dapat memprediksi baik buruknya penanganan buah

kelapa sawit hingga menjadi Crude Palm Oil (CPO).


36

Tabel 5. Hubungan DOBI Dengan Kualitas


DOBI Kualitas
< 1,68 Buruk
1,76 - 2,30 Kurang Baik
2,31- 2,92 Cukup Baik
2,93 - 3,92 Baik
Sumber : Palm Oil Refiners Association Of Maaysia (PORAM), 2012

Analisa dari asam lemak bebas, kelembapan, pengotor, dan PV sendiri

tidak mencukupi untuk mengidentifikasi kualitas CPO yang baik sedangkan dalam

analisis DOBI dapat memberikan indikasi yang lebih baik serta memberikan

kemudahan CPO dalam pengolahan.

Dari hasil analisa bahan baku yang akan di proses di PT LDC Indonesia

terhadap nilai DOBI dapat dilihat dalam Tabel 2 bahwa di dapatkan nilai diatas

minimal nilai standar yang ditetapkan oleh perusahaan, sehingga CPO yang telah

dianalisis dapat diolah sebagai bahan baku di PT LDC Indonesia.

4.2.4 Colour (Warna)

Warna minyak sawit ditentukan oleh adanya pigmen karoten yang larut

dalam minyak, sebab asam-asam lemak dan gliserida tidak berwarna (Ketaren,

2005). Warna merah pekat yang muncul pada CPO diakibatkan oleh kandungan

komponen karotenoidnya yang tinggi (500-2000 ppm). β-karoten merupakan

komponen utama (sekitar 90% dari total karotenoid) (Ooi et al., 1996).

Mac Dougall (2002) menyebutkan bahwa warna kuning, jingga, merah

karotenoid adalah terkait dengan sistem konjugasi ikatan rangkap karbon-karbon.

Semua struktur trans dapat diubah menjadi isomer cis. Isomerisasi cis-trans
37

menghasilkan perubahan warna produk yang ditunjukkan oleh sifat spektral

karotenoid cis yang berbeda dengan karotenoid trans. Rantai poliene yang

berperan dalam penyerapan cahaya dan ikatan rangkap terkonjugasinya yang

berperan sebagai antioksidan, disisi lain justru membuat karotenoid menjadi tidak

stabil. Strukturnya mudah rusak dengan adanya serangan radikal bebas seperti

molekul oksigen tunggal dan senyawa lain yang reaktif. Panas, sinar dan asam

memacu isomerisasi bentuk trans karotenoid ke bentuk cis, Cahaya, enzim,

prooksidan logam dan oksidasi dengan lemak tidak jenuh, disisi lain memacu

oksidasi (Bonnie, 1999). Graciani (1994) melaporkan perubahan warna selama

deodorisasi oleh nitrogen pada suhu lebih tinggi 250-260oC.

Warna minyak menjadi penentu kualitas minyak secara fisik. Penentuan

warna dalam proses pemurnian ini sangat penting sehingga sangat perlu

diperhatikan perbahan warna dari CPO yang orange hingga menjdi RBDPO yang

warnanya mmemenuhi standar yang telah ditetapkan perusahaan. Penurunan

warna terjadai ketika proses bleaching dan deodorisasi. Penurunan warna pada

saat proses bleaching terjadi karena adanya penambahan bleaching earth (BE),

dan warna akan terserap oleh BE. Penurunan warna pada proses bleaching hanya

sedikit karena didalam CPO masih mengandung getah, senyawa pengotor seperti

peroksida, posfatida, protein karbohidrat dn lain-lain. Sehingga pada roses

penambahan BE, warna pada CPO tidak seluruhnya terserap, karena BE bersifat

non polar sedangkan getah, dan pengotor lainya bersifat non polar. Oleh karna itu

BE yang seharusnya menyerap β-caroten dan senyawa-senyawa warna lainnya

tetapi terlebih dahulu menyerap yang bersifat non polar, artinya BE akan

menyerap telebih dahulu menyerap getah, dan pengotor lainnya yng bersifat non
38

polar. Penurunan warna yang sesungguhnya hingga warna sebanding ataupun

dibawah maksimum standar yang telah ditetapkan yaitu terjadi pada saat proses

deodorisasi.

Dari hasil data pengamatan sebelum dan sesudah proses pemurnian yang

dapat dilihat pada Tabel 2 maka diketahui penurunan nilai warna yang

terkandung dalam minyak sawit menandakan meningkatnya kualitas minyak sawit

setelah dilakukan proses pemurnian. Selain itu jika bandingkan dengan standar

prusahaan, nilai warna pada RBDPO yaitu maksimal 3 red. Dimana artinya untuk

nilai warna RBDPO harus di bawah atau sama dengan 3 red . Hasil pengujian

RBDPO yang didapatkan bahwa nilai warna berada pada bawah batas maksimum

standar perusahaan yaitu berada dikisaran 2,6 red, sehingga didapatkan bahwa

minyak sawit yang diproduksi perusahaan telah memenuhi standar mutu yang

telah ditetapkan.

4.2.5 Perokside Value (PV)

Perokside Value (PV) atau disebut juga bilangan peroksida merupakan

nilai terpenting untuk menentukan derajat kerusakan minyak akibat oksidasi.

Pengujian PV digunakan untuk mengetahui seberapa besar tingkat oksidasi pada

minyak tak jenuh yang disebabkan oleh oksigen. Semakin kecil nilai PV maka

semakin baik kualitas minyak tersebut dan sebaliknya semakin besar nilai PV

maka semakin buruk kualitas minyak tersebut (menandakan minyak sudah rusak).

Peroksida pada dasarnya adalah indikator kerusakan minyak, semakin tinggi nilai

peroksida maka minyak akan semakin mudah rusak. Oleh karena itu ini adalah

alasan kenapa peroksida harus dihilangkan.


39

Peroksida hilang sebagian kecil pada saat proses penambahan bleaching

earth (BE), peroksida hilang pada proses deodorisasi. Pengukuran angka

peroksida pada dasarnya adalah mengukur kadar peroksida dan hidroperoksida

yang terbentuk pada tahap awal reaksi oksidasi lemak. Bilangan peroksida yang

tinggi mengindikasikan lemak atau minyak sudah mengalami oksidasi, namun

pada angka yang lebih rendah bukan selalu berarti menunjukkan kondisi oksidasi

yang masih dini. Angka peroksida rendah bisa disebabkan laju pembentukan

peroksida baru lebih kecil dibandingkan dengan laju degradasinya menjadi

senyawa lain, mengingat kadar peroksida cepat mengalami degradasi dan bereaksi

dengan zat lain (Raharjo, 2006).

Hasil pengamatan sebelum dan sesudah proses pemurnian dapat dilihat

pada Tabel 2. Penurunan nilai peroksida yang terkandung dalam minyak sawit

menandakan meningkatnya kualitas minyak sawit setelah dilakukan proses

pemurnian. Selain itu jika bandingkan dengan standar perusahaan, bilangan

peroksida pada RBDPO yaitu maksimal 1,0 meq/kg dimana artinya untuk

bilangan peroksida RBDPO harus di bawah atau sama dengan 1,0 meq/kg. Hasil

pengujian RBDPO yang didapatkan yaitu 0,0 meq/kg, sehingga minyak sawit

yang diproduksi perusahaan telah memenuhi standar mutu yang telah ditetapkan.

4.2.5 Iodine Value (IV)

Iodine Value (IV) atau sering disebut dengan bilangan iod merupakan

parameter yang menunjukan tingkat ketidakjenuhan suatu minyak. Jika bilangan

iod tinggi berarti menunjukan ketidakjenuhan suatu minyak atau lemak yang

tinggi, begitu pula dengan bilangan iod yang rendah berarti menunjukan
40

ketidakjenuhan suatu minyak atau lemak yang rendah pula. Banyaknya iodium

yang diikat menunjukan banyaknya ikatan rangkap dimana asam lemak tidak

jenuh mampu mengikat iodium dan membentuk persenyawaan yang jenuh.

Adanya ikatan rangkap pada asam lemak tidak jenuh akan memudahkan

terjadinya oksidasi di udara atau jika ada air dan dipanaskan (Sahidi, 2005).

Nilai IV setelah mengalami proses pemurnian tidak mengalami perubahan.

Tidak adanya perubahan nilai IV pada produk RBDPO dikarenakan proses

pemurnian secara khusus hannya menghilangkan senyawa pengotor seperti FFA

(Free Fatty Acid), kadar air, peroksida, dan impurities. Proses pemurnian tidak

bisa merubah karakteristik asam lemak dalam minyak. Berubahnya nilai Iodin

Value (IV) hanya terjadi pada tahap fractionation. Perubahan nilai IV dapat dilihat

pada fisik minyak, minyak dengan kandungan IV tingi akan lebih cair dan jernih

dibandingkan dengan minyak dengan IV rendah.

Jika dibandingkan dengan standar yang telah ditetapkan perusahaan yang

dapat dilihat pada Tabel 2 standar produk RBDPO PT LDC Indonesia. Hasil data

pengamatan nili IV RBDPO maka berada pada standar perusahaan yaitu 50-55

mg/100g, sehingga didapatkan bahwa minyak sawit yang diproduksi perusahaan

telah memenuhi standar mutu yang telah ditetapkan.

Anda mungkin juga menyukai