Anda di halaman 1dari 12

PEMURNIAN ( REFINERY )

MINYAK KELAPA SAWIT ( CPO )

KEVIN SUWIDAR SINAGA


1902018
YUDI ALFIANSYAH
1902085

TEKNOLOGI PENGOLAHAN HASIL PERKEBUNAN

INSTITUT TEKNOLOGI SAWIT INDONESIA


MEDAN

2022
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Crude Palm Oil (CPO) merupakan hasil olahan dari kelapa sawit yang berupa
minyak mentah yang masih berwarna kemerahan. Standar mutu pada CPO yang
biasa dianalisa adalah kadar asam lemak bebas, kadar air, kadar kotoran dan
kadar logam (Hasibuan, 2012). Young (1987) dalam Suryani dkk (2015)
mengemukakan bahwa salah satu proses penting dalam pemurnian CPO adalah
pemucatan. Proses pemurnian CPO menggunakan tanah pemucat dengan kadar
0,5-2,0% dari massa CPO untuk menghasilkan warna CPO yang diinginkan.
Proses pemucatan penting dilakukan selain untuk pemurnian CPO juga untuk
menghilangkan zat-zat warna yang tidak disukai dalam minyak (Ramdja dkk,
2010).
Penggunaan bleaching earth dapat menyebabkan warna CPO tersebut menjadi
lebih terang. Hal ini dikarenakan bleaching earth menyerap sebagian dari
karotenoid yang terkandung dari CPO dan juga minyak (Kusumaningtyas, 2011
dalam Akbar, 2012). CPO tidak hanya membawa zat tersuspensi seperti lendir
(getah), tetapi juga mengandung zat warna yang menyebabkan minyak berwarna
dan kekuningan. Dimana umumnya warna ini akan mempengaruhi mutu dari
minyak yang akan dihasilkan. Metode pemurnian ini akan memberikan standar
warna yang diinginkan sesuai dengan keinginan konsumen (Nasution, 2003).
Proses CPO menghasilkan tanah pemucat bekas atau spent bleaching earth
(SBE). SBE yang telah digunakan dalam proses pemurnian lama-kelamaan akan
terdeaktivasi. Hal ini dikarenakan permukaannya telah tertutupi oleh bahan-
bahan pengotor yang terbawa pada proses pemurnian CPO. Bahanbahan
tersebut antara lain fosfatida, gum, logam, asam lemak serta zat warna pada
CPO. Sehingga SBE yang sudah digunakan tidak dapat digunakan kembali.
Proses reaktivasi SBE dilakukan dengan memulihkan kemampuan
penyerapannya (Suryani dkk, 2015).
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Yusnimar dan Handayani
(2013) pengaruh ukuran partikel bentonit dan suhu adsorpsi terhadap daya jerap
bentonit dan aplikasinya pada bleaching CPO. Hasil dari penelitian menunjukkan
bahwa daya jerap bentonit yang maksimum yaitu pada kondisi ukuran partikel 80
sampai 100 mesh dan pada suhu adsorpsi 700C. Berdasarkan data penelitian
yang diperoleh bahwa kenaikan suhu adsorpsi tidak meningkatkan kemampuan
daya jerap bentonit bahkan sebaliknya. Semakin halus ukuran partikel
bentonitnya maka daya jerapnya akan semakin tinggi. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Silalahi dkk (2017), uji kualitas minyak goreng dilakukan
dengan uji ALB dan uji warna. Dari data hasil pengujian didapatkan bahwa nilai
ALB memiliki nilai dibawah batas maksimum PORAM (Palm Oil Regional
Assosiation of Malaysia) 0,1% yaitu berada dikisaran 0,05-0,08% sehingga
didapatkan bahwa minyak goreng yang diproduksi oleh perusahaan telah
memenuhi standar mutu yang telah ditetapkan. Pada pengujian warna minyak
goreng yang digunakan sebagai standar untuk pengujian warna yaitu warna
merah dikarenakan warna merah merupakan warna dominan. Data hasil
pengujian didapatkan nilai warna merah berada pada bawah batas maksimum
PORAM, yaitu kisaran nilai antara 2,7 – 2,9 sehingga didapatkan bahwa minyak
goreng yang diproduksi perusahaan telah memenuhi standar mutu yang
ditetapkan.
Berdasarkan pada penelitian di atas maka perlu dilakukan optimasi proses
pemurnian CPO menggunakan regenerasi SBE. Salah satu metode yang
digunakan untuk melakukan proses optimasi adalah metode respon permukaan
(Response Surface Methology, RSM) (Satriaji, 2010 dalam Biorata 2012). RSM
ini merupakan suatu teknik penyelesaian masalah untuk menemukan kondisi
optimal suatu operasi dengan menggunakan matematika dan statistika dalam
bentuk suatu model yang dapat menganalisis masalah tersebut. Menggunakan
metode RSM dapat meminimalisasi hasil yang diperoleh jika menggunakan
teknik konvensional yang diperoleh dengan melakukan percobaan berulang-
ulang. Penggunaan RSM melalui Software Design Expert 7.1.5 dapat
memperoleh tingkat keakuratan yang tinggi sekaligus meminimalisasi terjadinya
kesalahan (Biorata, 2012).
1.2 Perumusan Masalah
Rumusan masalah pada penelitian ini adalah:
1. Bagaimana suhu dan waktu bleaching CPO yang optimal dengan
menggunakan regenerasi spent bleaching earth (SBE)?
2. Bagaimana kualitas CPO (warna) yang telah dilakukanbleaching
mengunakan Regenerasi SBE?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mendapatkan kondisi proses bleaching earth suhu dan waktu bleaching CPO
yang optimal dengan menggunakan regenerasi SBE
2. Mengetahui kualitas CPO (warna) yang telah dilakukan bleaching
mengunakan Regenerasi SBE
1.4 Manfaat
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Memberikan informasi apakah regenerasi SBE dapat
digunakan dalam pemucatan CPO
2. Mengetahui nilai tambah dari SBE
3. Meningkatkan nilai
BAB II PEMBAHASAN

2.1 Karakteristik Crude Palm Oil (CPO)


Karakteristik CPO yang dilakukan pengujian pada penelitian ini berupa Asam
Lemak Bebas (ALB), kadar air, kadar kotoran, warna dan pH. Pengujian tersebut
dilakukan saat CPO sebelum di bleaching dan CPO sesudah di bleaching.
Tujuan dari pengujian CPO sebelum bleaching adalah untuk mengetahui kualitas
dari CPO itu sendiri. Pada pengujian yang telah dilakukan, diperoleh data hasil
dari ALB, kadar air, kadar kotoran dan pH CPO sebelum di bleaching.
Sedangkan untuk pengujian warna menggunakan alat colour reader yang
diperoleh hasil L*= 14,28; a*= 4,38 dan b*1,11. Dimana nilai L* untuk terang, a*
mendeskripsikan warna merah-hijau, dimana angka negatif a* mengidentifikasi
warna hijau dan sebaliknya a* positif mengidentifikasi warna merah. Dimensi b*
mengidentifikasi warna biru-kuning, dimana angka negatif b* mengidentifikasi
warna biru dan sebaliknya dimensi b* positif mengidentifikasi warna kuning
(Hunterlab, 2008).
Dalam proses pengolahan sawit, mutu hasil olah sangat ditentukan oleh bahan
bakunya. Pengolahan minyak kelapa sawit menghendaki mutu yang baik secara
kualitatif maupun kuantitatif. Adapun rendahnya mutu minyak kelapa sawit
sangat ditentukan oleh banyak faktor. Faktor‐faktor tersebut dapat langsung dari
sifat induk pohonnya, penanganan pascapanen, pengangkutan dan kesalahan
selama pemrosesan (Yuniva,2010).
dapat dilihat bahwa kadar ALB sebesar 7,3%, kadar air 2,8% dan kadar kotoran
5,5%. Kadar ALB, kadar air dan kadar kotoran yang terdapat pada CPO yang
akan digunakan sangatlah tinggi, sedangkan standar mutu ALB pada CPO
berdasarkan SNI adalah sebesar <5%, kadar air <0,50% dan kadar kotoran
0,50%. Berdasarkan uraian diatas diketahui bahwa CPO yang akan digunakan
untuk proses bleaching tidaklah sesuai dengan mutu SNI CPO yang telah
ditetapkan. Hal ini dikarenakan tempat memperoleh CPO yang digunakan pada
penelitian ini bukanlah CPO yang akan dijual pada perusahaan minyak namun
dijual kepada perusahaan ternak. Sehingga CPO yang dihasilkan tidaK
mementingkan SNI.
Rendahnya mutu minyak kelapa sawit sangat ditentukan oleh banyak faktor.
Faktor‐faktor tersebut dapat langsung dari sifat induk pohonnya, penanganan
pascapanen, atau kesalahan selama proses dan pengangkutannya. Penentuan
saat panen sangat mempengaruhi kadar ALB minyak sawit yang dihasilkan.
Apabila pemanenan buah dilakukan dalam keadaan matang, maka minyak yang
dihasilkan mengandung ALB dalam presentase tinggi (lebih dari 5%). Sebaiknya,
jika pemanenan dilakukan dilakukan dalam keadaan buah belum matang, selain
kadar ALB nya rendah rendemen minyak yang diperoleh juga rendah
(Yuniva,2010).
Kadar air adalah banyaknya kandungan air yang terdapat di dalam sampel.
Kadar air dapat mempengaruhi mutu CPO, semakin tinggi kadar air, maka
semakin rendah mutu CPO. Air dalam minyak hanya ada dalam jumlah kecil.
Jika kadar air dalam minyak sawit ( 0,15%) maka akan mengakibatkan terjadinya
hidrolisis lemak, dimana hidrolisis dari minyak sawit akan menghasilkan gliserol
dan asam lemak bebas yang menyebabkan ketengikan dan menghasilkan rasa
bau tengik pada minyak tersebut. Kadar air yang tinggi di dalam CPO dapat
disebabkan oleh buah yang rusak atau busuk. Hal ini dapat terjadi karena proses
alami sewaktu pembuatan dan akibat perlakuan dalam pengolahan di pabrik
serta penimbunan (Yuniva, 2010).
Kadar zat pengotor adalah keseluruhan bahan-bahan asing yang tidak larut
dalam minyak, pengotor yang tidak terlarut dinyatakan sebagai persen (%) zat
pengotor terhadap minyak atau lemak. Pada umumnya, hasil minyak sawit
dilakukan dalam rangkaian proses pengendapan, dengan proses tersebut
kotoran-kotoran yang berukuran besar memang dapat disaring. Akan tetapi,
kotoran-kotoran atau serabutserabut yang berukuran kecil tidak bias disaring,
hanya melayang-layang didalam minyak sawit sebab berat jenisnya sama
dengan minyak sawit (Yuniva, 2010).
Warna pada minyak kelapa sawit merupakan salah satu faktor yang mendapat
perhatian khusus, karena minyak kelapa sawit mengandung warna-warna yang
tidak disukai oleh konsumen. Zat warna dalam minyak kelapa sawit terdiri dari
dua golongan yaitu zat warna alamiah dan zat warna dari hasil degradasi zat
warna alamiah. Golongan zat warna alamiah adalah zat warna yang terdapat
secara alamiah didalam kelapa sawit dan ikut terekstraksi bersama minyak pada
proses ekstraksi. Zat warna tersebut antara lain terdiri dari α-karoten, βkaroten,
xanthopil, kloropil dan antosianin. Zat-zat warna tersebut menyebabkan minyak
berwarna kuning, kuning kecoklatan, kehijau-hijauan dan kemerah merahan.
Pigmen berwarna kuning disebabkan oleh karoten yang larut didalam minyak.
Karoten merupakan persenyawaan hidrokarbon tidak jenuh dan jika minyak
dihidrogenasi, maka karoten tersebut juga terhidrogenasi sehingga intensitas
warna kuning berkurang (Kusuma, 2012). Gambar CPO sebelum dilakukan
proses bleaching.
2.2 Hasil Analisa Warna CPO
Penentuan respon yang optimum dari system komputerisasi Design Expert
dilakukan sesuai dengan pemilihan model yang paling tepat untuk
mengevaluasi model. Pemilihan model statistik berdasarkan model urutan
jumlah kuadrat (Sequential Model Sum of Squares), pengujian ketidaktepatan
model (Lack of Fit Tests) dan ringkasan model statistik (Model Summary
Statistics). Hasil analisa terhadap warna pada CPO dengan variasi suhu dan
lama waktu bleaching.
Nilai warna tertinggi sebesar 2,7952 yang terdapat pada suhu bleaching
sebesar 700C dan lama waktu bleaching 3 jam. Sedangkan nilai warna
terendah terdapat pada suhu bleaching sebesar 500C dan lama waktu
bleaching 1 jam yaitu sebesar 0,7516. Hasil penelitian tersebut menunjukkan
terjadinya penurunan nilai warna apabila suhu bleaching kurang dari 700C.
Namun pada suhu 900C juga terjadi penurunan warna, hal ini disebabkan
semakin tinggi suhu semakin berkurang daya serap bentonit terhadap
perubahan warna. Menurut Yusnimar dan Handayani (2013), diketahui bahwa
kenaikan suhu adsorpsi tidak meningkatkan kemampuan daya serap bentonit
bahkan sebaliknya semakin tinggi suhu semakin berkurang daya serapnya. Hal
ini bisa terjadi karena adsorpsi yang terjadi tidak membutuhkan atau
menghasilkan panas adsorpsi yang besar sehingga kenaikan suhu tidak
meningkatkan kemampuan adsorpsinya dan terjadi proses desorpsi. Desorpsi
terjadi akibat permukaan adsorben yang telah jenuh. Pada keadaan jenuh, laju
adsorpsi menjadi berkurang.
Tujuan proses bleaching adalah memucatkan warna dan menyerap sebagian
warna. Menurut Morad et al (2006) menyatakan bahwa partikel selama
bleaching ada didalam larutan minyak atau dalam bentuk koloid yang reaksinya
terjadi pada permukaan BE. Warna CPO mengalami penurunan setelah
dilakukan proses bleaching dan terus menurun dengan meningkatnya waktu
bleaching. Penurunan warna ini disebabkan oleh senyawa karoten
terdegradasi dan Sebagian terjerap kedalam BE. BE memiliki pori-pori yang
cukup luas yang dapat menyerap warna dan senyawa-senyawa lain (Hasibuan
dan Nuryanto, 2011). BE yang telah digunakan dalam proses pemurnian lama
kelamaan akan terdeaktivasi karena permukaannya telah tertutupi oleh bahan-
bahan pengotor. Proses RSBE dilakukan dengan memulihkan kemampuan
penyerapannya. Daya pemucat pada tanah pemucat disebabkan karena ion Al
pada permukaan adsorben dapat mengadsorbsi partikel zat warna. Aktivasi
adsorben dengan asam akan meningkatkan daya pemucat karena asam
mineral tersebut melarutkan atau bereaksi dengan komponen berupa tar,
garam Ca dan Mg yang menutupi pori-pori adsorben, sehingga luas
permukaan adsorben menjadi lebih besar. Pada aktivasi menggunakan asam
mula-mula terjadi pertukaran kation dari garam mineral (Ca+2 dan Mg+2) pada
lapisan interlayer tanah pemucat dengan ion H+ dari asam, kemudian diikuti
dengan pelarutan ion Al3+ dan ion logam lainnya seperti Fe3+ dari lapisan
lattice tanah pemucat. Akibat pelarutan ion Al3+, maka tanah pemucat menjadi
bermuatan negatif sehingga meningkatkan kemampuan penyerapannya dan
meningkatkan luas permukaannya (Hymore, 1996). Setelah waktu 30 menit
proses bleaching, penurunan warna lebih besar terjadi pada CPO dari limbah
dan campuran CPO mutu tinggi dan mutu rendah dibandingkan CPO mutu
tinggi. Hal ini disebabkan oleh mutu CPO mutu rendah mengandung senyawa
pengotor lain dalam jumlah besar berupa suspensi koloid dalam minyak,
fosfolipid, karbohidrat dan senyawa kompleks lainnya yang mempengaruhi
warna. Senyawa tersebut ikut terserap ke dalam BE dan penyerapannya
meningkat dengan meningkatnya waktu bleaching sehingga warna CPO
menjadi lebih rendah (menurun).
Pengujian warna dapat dilakukan dengan menggunakan alat lovibond
tintometer. Dimana prinsip kerjanya adalah dengan pencocokan warna
menggunakan panel warna pada alat lovibond tintometer. Sampel minyak
goreng ditampung pada lovibond cell dengan ketinggian ¾ cell. Kemudian
letakan lovibond cell pada lovibond tintometer. Amati dan cocokan warna sisi
kiri dengan warna sisi kanan menggunakan panel warna. Warna sisi kanan
merupakan warna sampel, sementara warna sisi kiri merupakan warna standar
yang harus disamakan dengan sisi kanan agar mendapatkan nilai colour
(Silalahi dkk,2017).
Pada minyak goreng warna yang digunakan sebagai standar untuk pengujian
warna yaitu warna merah dikarenakan warna merah merupakan warna
dominan. Sama halnya dengan kadar ALB, berdasarkan standar yang telah
ditetapkan perusahaan dan PORAM (Palm Oil Regional Assosiation of
Malaysia). Standar PORAM merupakan standar mutu yang digunakan oleh
perusahaan minyak goreng lingkup luar negeri khususnya Malaysia dan
Singapura. untuk analisa pengujian warna didapatkan 3 merah maks. Artinya
bahwa untuk warna merah yang didapatkan dari pengujian menggunakan
Lovibond tintometer nilai maksimal 3 (Silalahi dkk, 2017). Hasil pengujian
warna menggunakan colour reader dapat dilihat pada Lampiran 2 dan hasil
perhitungan warna total dapat dilihat pada Lampiran 3. Dimana warna merah
yang dihasilkan pada pengujian colour reader diatas nilai 3. Namun jika
dihitung warna totalnya seperti yang tertera pada Lampiran 3 dimana
perhitungan ini prinsipnya sama dengan yang ada pada lovibond tintometer.

2.3 Hasil Analisa Ragam (ANOVA) Respon Warna


Analisis ragam ANOVA menjelaskan hubungan antara variabel dalam
penelitian dengan respon terhadap model statistik yang dipilih. Berdasarkan
sistem Desain Expert 7.1.5 model yang disarankan adalah model kuadratik.
Analisis ragam ANOVA untuk model kuadratik respon warna
Dapat kita dilihat bahwa model yang digunakan bersifat signifikan karena nilai p
sebesar 0,0267 atau nilai p lebih kecil dari 0,05. Hal ini dapat dijelaskan bahwa
terdapat 0,0267 kemungkinan terjadi gangguan pada model. Hasil ANOVA
menunjukkan variabel A (suhu bleaching) memiliki nilai p sebesar 0,9360 dan
variabel B (lama waktu) memiliki nilai p sebesar 0,0330. Hal ini menunjukan
bahwa model pada suhu bleaching dan lama waktu bleaching signifikan
memberikan pengaruh terhadap respon warna. Pada variabel A2 atau suhu
bleaching kuadrat memiliki pengaruh secara signifikan karena memiliki nilai p
sebesar 0,0044 dan variabel B2 atau lama waktu bleaching kuadrat memiliki
nilai p sebesar 0,9033 sehingga suhu bleaching dan lama waktu bleaching
memiliki pengaruh secara signifikan terhadap warna.
Persamaan diatas merupakan persamaan untuk memperoleh nilai warna yang
optimal. Berdasarkan persamaan tersebut diketahui nilai konstanta atau
ketetapannya adalah - 8,28212. Faktor X1 (suhu bleaching) bernilai 0,26890
yang artinya setiap peningkatan 1 poin akan berpengaruh terhadap warna
sebesar 0,26890. Faktor X2 (lama waktu bleaching) bernilai 0,62190 yang
artinya setiap peningkatan 1 poin akan berpengaruh terhadap warna sebesar
0,62190. Hasil penelitian divisualisasikan dalam bentuk tiga dimensi dan plot
contour dari permukaan respon yang menunjukkan interaksi antara dua faktor
terhadap respon. Kurva respon permukaan dan kontur plot interaksi antara
suhu bleaching dengan lama waktu bleaching terhadap warna
dapat dilihat bahwa garis lengkung terluar yang terdapat pada kontur adalah
nilai warna terendah dan semakin dalam garis menunjukkan nilai warna yang
diperoleh semakin tinggi. Perubahan yang terjadi pada warna dari kontur
mewakili perubahan nilai warna yang didapatkan. Warna biru menuju merah
menunjukkan nilai warna semakin tinggi, sebaliknya jika warna merah menuju
biru maka nilai warna semakin rendah. Perubahan warna yang terjadi pada
grafik menggambarkan bahwa suhu bleaching memberikan pengaruh yang
signifikan terhadap nilai warna CPO. Sedangkan untuk lama waktu bleaching
juga menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap nilai warna CPO.
2.4 Optimasi Respon Warna
Optimasi respon bertujuan untuk memperoleh hasil yang paling optimal
berdasarkan batasan faktor dan batasan respon yang diinginkan. Batas bawah
pada faktor suhu bleaching yaitu 500C dan batas atasnya 900C. Sedangkan
untuk faktor lama waktu bleaching memiliki batas bawah 1 jam dan batas atas
5 jam. Berdasarkan batasan tersebut akan dihasilkan nilai optimal untuk warna.
Penentuan batas bawah respon warna berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan Handayani dan Yusnimar (2013) pada awal adsorpsi antara 1-3 jam,
proses penyerapan terjadi cepat dan meningkat dengan signifikan. Hal ini
disebabkan karena pada waktu kontak antara 1-3 jam, jumlah pori dan
permukaan aktif bentonit besar, sehingga kemampuan menyerapnya tinggi dan
dari penelitian yang telah dilakukan daya serap terbaik didapatkan pada suhu
adsorpsi 700C. Diketahui bahwa kenaikan suhu adsorpsi tidak meningkatkan
kemampuan daya serap bentonit bahkan sebaliknya semakin tinggi suhu
semakin berkurang daya serapnya.
Warna CPO sangat terkait dengan kadar karoten yang dikandungnya. Siahaan
et al. (2006) melaporkan bahwa semakin tinggi kadar karoten maka warna
CPO semakin merah. Pemanasan CPO menyebabkan senyawa karoten
terdegradasi sehingga warnanya menjadi pucat. Hal ini menunjukkan bahwa
semakin tinggi kadar karoten pada CPO yang dipanaskan menyebabkan
degradasi karoten semakin banyak. Analisa warna berkaitan dengan kadar
ALB yaitu jika kandungan ALB dalam minyak besar maka analisa warna yang
dihasilkan akan semakin gelap dan tidak jernih. Hal ini disebabkan karena
minyak lebih rentan terhadap kerusakan dan ketengikan.
BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Proporsi suhu bleaching dan lama waktu bleaching yang berbeda menghasilkan
nilai pengujian warna yang berbedabeda pula. Perbedaan proporsi suhu
bleaching dan lama waktu bleaching berpengaruh secara nyata terhadap
parameter warna. Berdasarkan 13 sampel yang telah dilakukan percobaan dan
pengujian didapatkan hasil nilai warna yang paling maksimum pada suhu
bleaching 700C dengan lama waktu bleaching 3 jam sebesar 2,7952. Sedangkan
berdasarkan hasil prediksi yang dilakukan program didapatkan hasil suhu
bleaching 53,050C dan lama waktu bleaching 5 jam dengan prediksi nilai warna
sebesar 2,5437. Dari hasil perbandingan yang telah dilakukan antara hasil
prediksi RSM dengan hasil percobaan, diketahui bahwa hasil percobaan dengan
suhu 700C dan lama waktu bleaching 3 jam lebih baik dibandingkan dengan
hasil prediksi RSM yaitu suhu 53,050C dan lama waktu bleaching 5 jam. Dari
semua rangkaian penelitian yang telah dilakukan, keadaan CPO awal seperti
ALB, mengalami penurunan dari ALB awal sebesar 7,3% menjadi 6,94% CPO.
Kadar air mengalami penurunan dari kadar air awal CPO sebesar 2,8% menjadi
2,2%. Kadar kotoran mengalami penurunan dari kadar kotoran CPO awal
sebesar 5,5% menjadi 3,5% dan warna meningkat lebih jernih dari warna CPO
awal.
BAB IV DAFTAR PUSTAKA

Akbar, A.M. 2012. Optimasi Ekstraksi Spent Bleaching Earth dalam Recovery
Minyak Sawit. Skripsi. Teknik di Departemen Teknik Kimia Fakultas Teknik
Universitas Indonesia.
Bahri, S. 2014. Pengaruh Adsorben Bentonit Terhadap Kualitas Pemucatan
Minyak inti sawit. Jurnal Dinamika Penelitian Industri. Vol 2 (1): 63-69.
Hasibuan, H.A. 2012. Kajian Mutu dan Karakteristik Minyak Sawit Indonesia Serta
Produk Fraksinasinya. Jurnal Standarisasi. Vol 14 (1): 13-21
Hasibuan, HA dan Nuryanto, E. 2011. Kajian Kandungan P, Fe, Cu dan Ni Pada
Minyak Sawit, Minyak Inti Sawit dan Minyak Kelapa Selama Proses
Rafinasi. J Stand 13 (1): 45-60
Silalahi, N.R.L. Sari, P.D dan Dewi, A.I. Pengujian Free Fatty Acid (FFA) dan Colour
Untuk Mengendalikan Mutu Minyak Goreng Produksi PT. XYZ. Jurnal
Teknologi dan Manajemen Agroindustri. Vol 6 (1): 41-50.

Anda mungkin juga menyukai