Anda di halaman 1dari 18

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. ANALISIS MUTU CPO

CPO merupakan minyak nabati berwarna jingga kemerah-merahan yang diperoleh dari
hasil pengempaan (ekstraksi) daging buah tanaman Elaeis guinneensis (BSN 2006). Mutu CPO
ditentukan oleh karakteristik kimia dan fisik. Karakteristik kimia yang dikaji pada penelitian ini
sesuai dengan standar yang ditetapkan dalam SNI 01-2901-2006 meliputi kadar kadar air dan
kotoran, kadar asam lemak bebas (ALB), dan bilangan Iod, sedangkan karakteristik fisik yang
dikaji adalah profil solid fat content (SFC) CPO. Selain itu juga dilakukan analisis korelasi antara
karakteristik kimia dengan nilai SFC yang didapatkan. Beberapa penelitian sebelumnya
menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara sifat kimia suatu minyak dengan profil SFC-nya.
Bilangan Iod dan ALB memiliki hubungan terbalik dengan SFC (Basiron 2005; Foubert et al.
2004). Menurut Metin dan Hartel (2005) kadar kotoran memiliki hubungan searah terhadap SFC.

1. Analisis Mutu Kimia CPO


Kualitas CPO ditentukan oleh beberapa parameter yaitu kadar air dan kotoran,
kadar ALB, dan bilangan Iod. Mutu CPO di Indonesia diatur dalam SNI 01-2901-2006
tentang minyak sawit kasar. Hasil pengujian mutu CPO tersaji pada Tabel 10 dengan data
lengkap pada Lampiran 1.

Tabel 10 Hasil analisis mutu lima CPO dari beberapa lokasi di Indonesia
Parameter
Sampel CPO
Kadar air & kotoran (%) ALB (%) Bilangan Iod (g/100g)
A 0.33 (a)
5.80(a) 50.38(a)
B 0.68(b) 3.88(b) 51.30(ab)
C 0.67(b) 3.84(b) 52.47(b)
D 0.67(b) 4.58(c) 54.15(c)
E 5.39(c) 4.60(c) 50.79(a)
SNI 01-2901-2006 * Maks 0.5 Maks 0.5 50-55
Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang
signifikan (p<0.05)
Sumber : *BSN (2006)

Hasil analisis mutu kimia CPO pada Tabel 10 menunjukkan semua sampel CPO
yang dianalisis tidak memenuhi standar mutu yang telah ditetapkan dalam SNI 01-2901-2006
tentang minyak sawit kasar. Hal ini diakibatkan oleh proses produksi yang tidak terkontrol
dan adanya penimbunan CPO di Pabrik Kelapa Sawit (PKS) yang menyebabkan terjadinya
penurunan mutu CPO.
Uji statistik ANOVA one way dengan uji lanjut Duncan dilakukan untuk melihat
apakah terdapat perbedaan karakteristik mutu kimia antar sampel CPO yang digunakan. Hasil
ANOVA one way dengan uji lanjut Duncan (Lampiran 2) menunjukkan bahwa kelima
sampel memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Perbedaan karakteristik dari kelima sampel
CPO dimungkinkan akibat perbedaan kematangan buah saat pemanenan dan proses produksi
yang diterapkan oleh masing-masing perusahaan.
23
Kadar air merupakan persentase kandungan air dengan kandungan bahan kering
pada suatu bahan. Kadar kotoran merupakan jumlah bahan-bahan yang tidak larut dalam
minyak seperti mineral. Kadar air dan kadar kotoran disebut juga sebagai kadar kemurnian
CPO. Hasil pengujian kadar air dan kadar kotoran pada Tabel 10 menunjukkan kadar air dan
kadar kotoran setiap sampel CPO bervariasi dan hanya CPO A saja yang memenuhi standar
dalam SNI 01-2901-2006. Banyaknya sampel CPO yang tidak memenuhi syarat diakibatkan
oleh pemanenan buah sawit yang dilakukan saat lewat matang dan kontaminasi dari tangki
penyimpanan atau alat pengolahan minyak sawit. Buah yang dipanen saat lewat matang akan
memiliki kadar air yang tinggi. Menurut Naibaho (1998) kotoran pada CPO terjadi akibat
adanya kontaminasi dari tangki penampungan CPO. CPO C memiliki kadar air dan kadar
kotoran tertinggi yaitu 4.84%. Kadar air dan kadar kotoran yang tinggi dapat menyebabkan
kerusakan CPO. Kadar air yang tinggi akan memicu terjadinya reaksi hidrolisis yang
menghasilkan ALB pada CPO. Mineral seperti Cu dan Fe dapat mengkatalisis reaksi oksidasi
lemak sehingga akan terbentuk senyawa peroksida yang akan menyebabkan ketengikan pada
minyak (CAC 2005).
Asam lemak bebas (ALB) merupakan salah satu parameter kerusakan pada produk
minyak atau lemak. Hasil analisis menunjukkan kelima sampel CPO tidak memenuhi standar
ALB yang ditetapkan dalam SNI 01-2901-2006 yaitu batas maksimal ALB pada CPO adalah
0.5%. Namun ALB dari CPO tersebut masih memenuhi standar yang ditetapkan dalam SNI
CPO sebelum revisi 2006 (SNI 01-2901-1992) yaitu maksimal 5% dan hanya CPO A yang
melebihi 5%.
Nilai ALB yang tinggi menandakan minyak atau lemak sudah mengalami
kerusakan. ALB terbentuk ketika asam lemak terpisah dari TAG, DAG, atau MAG akibat
adanya reaksi kimia atau enzimatis (Rohani et al. 2006). Menurut Codex Alimentarius
Commision (CAC) (2005) nilai ALB yang tinggi diakibatkan oleh reaksi hidrolisis. Reaksi
hidrolisis dipicu oleh adanya air dalam minyak. Hidrolisis lemak akan menghasilkan gliserol
dan ALB yang menyebabkan ketengikan pada minyak. Proses reaksi hidrolisis TAG dapat
dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9 Reaksi hidrolisis menghasilkan Asam Lemak Bebas (ALB) (Ketaren 2005)

Proses tahapan sterilisasi pada produksi CPO dilakukan dengan suhu 135 ºC. Proses
tersebut bertujuan mematikan enzim lipase sehingga kenaikkan ALB akibat reaksi enzimatis
dapat dicegah (Rohani et al. 2006). Kenaikan ALB juga diakibatkan oleh suhu penyimpanan
yang tinggi. Menurut Naibaho (1998) kematangan buah saat pemanenan sangat menentukan
ALB dan rendemen yang dihasilkan. Apabila buah dipanen pada saat belum masak maka

24
akan menghasilkan ALB dan rendemen yang rendah. Pemanenan yang dilakukan saat buah
lewat masak akan menghasilkan ALB dan rendemen yang tinggi.
Bilangan Iod menunjukkan derajat ketidakjenuhan suatu lemak atau minyak.
Menurut Ketaren (2005) bilangan Iod menyatakan jumlah gram Iod yang digunakan untuk
mengadisi 100 gram lemak/minyak. Bilangan Iod ditentukan dengan perbandingan antara
asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh penyusun suatu lemak atau minyak.
Komposisi minyak sawit kasar terdiri dari 50% asam lemak jenuh dan 50% asam lemak tidak
jenuh (Basiron 2005). Oleh karena itu bilangan Iod pada minyak sawit adalah 50-55 g
Iod/100 g sampel (BSN 2006). Hasil analisis menunjukkan bahwa kelima sampel CPO
mempunyai bilangan Iod yang sesuai dengan yang ditetapkan dalam SNI.

2. Analisis Profil SFC CPO


SFC menunjukkan banyaknya kristal lemak dalam suatu lipid, yang dihitung sebagai
fungsi dari suhu (Zaliha et al. 2003). Suhu pengukuran yang diterapkan adalah 5-60 oC untuk
mendapatkan nilai SFC hingga 0%. Pengukuran SFC CPO menggunakan lima sampel CPO
dari beberapa daerah di Indonesia untuk mendapatkan kisaran nilai SFC CPO pada suhu
tertentu. Pengukuran SFC CPO menggunakan alat Nuclear Magnetic Resonance (NMR)
yang mengukur kandungan lemak padat berdasarkan kecepatan mobilitas elektron yang
berbeda pada fase padat dan cair. Resonansi elektron akan menginduksi signal yang akan
dipancarkan oleh alat NMR sehingga akan mewakili jumlah fase cair ataupun padat pada
sampel (Satiawihardja et al. 2001).
Dalam analisis SFC, dilakukan proses pretreatment terlebih dahulu pada sampel
yang akan diujikan. Pada preatreatment atau prosedur stabilisasi, CPO terlebih dahulu
dipanaskan sampai 80 ºC selama 30 menit untuk meyakinkan homogenitasnya serta
menghilangkan ingatan mengenai kristal dan disimpan pada suhu 0 ºC selama 60 menit untuk
memastikan terbentuknya kristal lemak. CPO dipertahankan pada suhu pengukuran selama
30 menit. Hal ini dimaksudkan agar kristal yang terbentuk telah stabil.
Hasil pengujian pada Gambar 10 dan Tabel 11 menunjukkan bahwa nilai SFC
CPO berbanding terbalik dengan suhu pengukuran. Hal ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Salimon dan Abdullah (2009) bahwa semakin tinggi suhu pengukuran, maka
nilai SFC akan menurun. Data mengenai nilai SFC selengkapnya dapat dilihat pada
Lampiran 3. Bentuk kurva profil SFC CPO yang didapatkan pada penelitian ini sesuai
dengan kurva SFC minyak sawit (RBDPO) oleh Smith (2001) (Gambar 2 ).

Gambar 10 Profil SFC lima sampel CPO.

25
Gambar 10 dan Tabel 11 menunjukkan bahwa nilai SFC kurang dari 10% pada
suhu di atas 40 ºC. Nilai SFC yang rendah menandakan bahwa kristal lemak pada CPO sudah
meleleh akibat pengaruh suhu. Titik leleh merupakan faktor penting dalam kristalisasi lemak
karena lemak akan mengkristal apabila suhu berada di bawah titik lelehnya. Titik leleh
minyak sawit adalah kisaran dari nilai-nilai yang menunjukkan gliserida penyusunnya yang
terdiri dari asam-asam lemak dengan titik cair yang berbeda (Satiawihardja et al. 2001).
Menurut Himawan et al. (2006), titik leleh minyak sawit adalah 40 ºC.
Hasil pengujian profil SFC minyak sawit pada penelitian ini menunjukkan nilai
yang berbeda dengan hasil pengujian yang dilakukan oleh Zaliha et al. (2003). Perbedaan ini
diakibatkan kedua penelitian menggunakan sampel minyak sawit yang berbeda. Pada
penelitian Zaliha et al. (2003) digunakan sampel refined bleached deodorized palm oil
(RBDPO) yang telah mengalami pemurnian, sedangkan pada penelitian ini menggunakan
CPO yang masih menggandung kadar kotoran dan komponen minor. Menurut Metin dan
Hartel (2005) adanya komponen minor dan kotoran pada minyak sawit kasar turut berperan
dalam proses kristalisasi lemak pada CPO. Adanya kotoran mendukung terjadinya kristalisasi
sehingga nilai SFC semakin besar. Hal inilah yang menyebabkan nilai SFC pada penelitian
yang dilakukan oleh Zaliha et al.(2003) pada suhu 40 ºC sudah mencapai 0%, sedangkan
pada penelitian ini masih berkisar 4.69-9.63%. Nilai SFC minyak sawit yang didapatkan pada
penelitian ini cenderung sama dengan nilai SFC pada penelitian yang dilakukan oleh
Himawan et al. (2006) kecuali nilai SFC pada suhu 10 dan 15 ºC.

Tabel 11 Pengaruh perubahan suhu terhadap profil SFC CPO*


Suhu (ºC) Kisaran SFC (%) Rata-rata
5 48.03-50.44 49.02
10 43.17-46.98 45.15
15 32.45-38.45 35.65
20 23.81-30.08 27.18
25 14.55-20.16 17.41
30 9.13-14.63 11.78
35 6.36-11.43 8.36
40 4.59-9.36 6.76
45 4.53-7.85 5.81
50 4.11-7.18 5.22
55 4.06-7.01 4.88
60 3.58-6.38 4.33

*Pengukuran dilakukan menggunakan lima sampel CPO

Faktor penting yang mempengaruhi nilai SFC salah satunya adalah slip melting
point (SMP). SMP merupakan suhu saat lemak pada pipa kapiler mulai meleleh. Menurut
Goh dan Ker (1991), SMP lemak dapat ditentukan ketika SFC menunjukan nilai di bawah
5%. Data SFC pada Tabel 11 menunjukan penurunan nilai SFC hingga di bawah 5% terjadi
antara suhu 35-40 ºC yang menandakan SMP CPO 35-40 ºC. Kisaran SMP CPO yang
didapatkan pada penelitian ini berada dalam kisaran SMP yang diteliti oleh Lin (2002). Lin
(2002) menyebutkan SMP minyak sawit berkisar 32-40 ºC.

26
Faktor lain yang mempengaruhi kristalisasi lemak adalah komposisi triacylglicerol
(TAG) pada suatu lemak atau minyak. CPO mengandung banyak TAG dengan asam lemak
yang berbeda panjang rantainya, derajat kejenuhannya, dan letak gliserolnya (Basiron 2005).
SFC pada suhu di atas 40 ºC sudah tidak mengalami penurunan yang besar karena asam
lemak penyusun CPO telah meleleh. Asam lemak dominan pada CPO adalah asam palmitat
dengan panjang rantai C16. Asam palmitat memiliki titik leleh yang tinggi yaitu 64 ºC
(Ketaren 2005). Hal inilah yang menyebabkan SFC CPO pada suhu 60 ºC berkisar 3.5-6.8%
belum mencapai 0%.

3. Korelasi Mutu Kimia CPO dengan SFC CPO


Untuk mengetahui adanya hubungan antara mutu kimia dengan SFC dilakukan
analisis Pearson correlation. Analisis Pearson correlation dilakukan untuk setiap parameter
kimia dengan nilai SFC pada suhu 25 ºC. Suhu 25 ºC dipilih karena analisis mutu kimia
hanya dilakukan pada suhu ruang (25 ºC).
Hasil analisis Pearson correlation pada penelitian ini (Lampiran 4) menunjukkan
bahwa tidak ada hubungan antara nilai SFC dengan bilangan Iod, kadar asam lemak bebas,
dan kadar air. Ada atau tidaknya korelasi antar kedua faktor ditentukan dengan nilai Pearson
correlation dan signifikansinya. Nilai Pearson correlation untuk bilangan Iod dengan SFC
bernilai 0.269 dengan signifikansi lebih besar dari 0.05 yang menandakan korelasi antar
kedua faktor tersebut cukup namun tidak signifikan. Kadar asam lemak bebas dengan SFC
mempunyai nilai Pearson correlation -0.328 dengan signifikansi lebih besar dari 0.05 yang
berarti korelasi antar kedua fakor cukup dan berbanding terbalik namun tidak signifikan.
Nilai Pearson correlation untuk kadar air dengan SFC bernilai 0.621 dengan signifikansi
lebih besar dari 0.05 yang berarti korelasi antara kedua faktor kuat namun tidak signifikan.
Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Basiron (2005) dan Foubert et al. (2004)
menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara bilangan Iod dan kadar asam lemak bebas
dengan nilai SFC. Menurut Basiron (2005), bilangan Iod mempunyai korelasi negatif dengan
SFC yaitu semakin rendah bilangan Iod maka nilai SFC akan semakin tinggi. Bilangan Iod
yang rendah menandakan kandungan asam lemak jenuh lebih banyak daripada asam lemak
tidak jenuh dalam suatu lemak. Asam lemak jenuh memiliki titik leleh lebih tinggi dibanding
dengan asam lemak tidak jenuh. Rantai jenuh yang panjang memiliki konformasi goyang
yang memanjang sehingga struktur ini dapat dikemas dengan cukup teratur seperti dalam
kristal (Hart 2003). Menurut Foubert et al. (2004), kandungan ALB yang tinggi
menyebabkan struktur lemak menjadi tidak beraturan dan memiliki titik leleh lebih rendah.
Selain itu Wright et al. (2000) juga menyebutkan adanya asam lemak bebas pada suatu lemak
menyebabkan titik lelehnya lebih rendah sehingga kandungan lemak padatnya lebih rendah.
Pada penelitian ini tidak terlihat adanya korelasi antara bilangan Iod dan kadar asam
lemak bebas dengan SFC. Hal ini karena kisaran bilangan Iod yang digunakan pada
penelitian ini kecil (50-55 g Iod/100 g sampel) sesuai dengan persyaratan SNI 01-2901-2006.
Basiron (2005) menggunakan sampel dengan kisaran bilangan Iod yang lebih besar (24-50 g
Iod/100 g sampel). Selain itu bilangan Iod dan kadar asam lemak bebas yang bervariasi pada
setiap sampel penelitian ini menyebabkan tidak dapat dilihatnya pengaruh dari salah satu
faktor saja.
Hasil analisis Pearson correlation antara kadar kotoran dengan SFC menunjukkan
adanya korelasi antar keduanya. Pearson correlation yang bernilai 0.789 dengan signifikansi
lebih kecil dari 0.05 menandakan korelasi antara kedua faktor bersifat searah, yang berarti

27
semakin tinggi kadar kotoran maka nilai SFC akan semakin besar. Keberadaan kotoran dapat
mempercepat terjadinya kristalisasi. Metin dan Hartel (2005) menyatakan adanya kotoran
dapat mengurangi energi bebas untuk pembentukkan inti (nukleasi) sehingga nukleasi lebih
mudah terjadi. Kotoran akan menghubungkan fase padat dan fluida lewat jenuh
(supersaturated) sehingga terjadi interaksi yang menyebabkan terbentuknya inti kristal.
Berdasarkan hasil analisis korelasi yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan
bahwa tidak terlihat adanya korelasi antara nilai SFC CPO dengan bilangan Iod, kadar asam
lemak bebas, dan kadar air. Korelasi antara SFC CPO dengan mutu kimia hanya terlihat pada
kadar kotoran. Kadar kotoran CPO mempunyai hubungan searah dengan nilai SFC CPO yang
berarti semakin tinggi kadar kotoran akan menghasilkan nilai SFC yang semakin tinggi pula.

B. PERUBAHAN SFC CPO SELAMA PENYIMPANAN

Penyimpanan CPO menyebabkan terjadinya perubahan pada karakteristik CPO. Menurut


List et al. (2005) minyak yang disimpan pada suhu tinggi dalam waktu lama akan mengalami
penurunan mutu. Hal ini dikarenakan penyimpanan pada suhu tinggi dapat mempercepat
terjadinya kerusakan. Menurut Brulenno et al. (2003) nilai SFC pada produk berlemak juga akan
berubah selama penyimpanan. Pada tahap ini dikaji perubahan SFC CPO selama penyimpanan
pada berbagai suhu.
Sampel yang digunakan pada tahap ini adalah sampel CPO A. Pemilihan CPO A
didasarkan pada bilangan Iod CPO A yang paling rendah yaitu 50.38 g Iod/100 g sampel. Bilangan
Iod yang rendah menandakan potensi pembentukan kristal lemak yang lebih banyak karena
memiliki kandungan asam lemak jenuh yang lebih banyak. Hal ini dapat mensimulasikan kondisi
penyimpanan dan transportasi saat sampel CPO yang ditangani memiliki potensi kristalisasi yang
tinggi.
Penyimpanan CPO dilakukan selama empat minggu pada suhu penyimpanan 20-40 ºC.
CAC (2005) menetapkan suhu maksimal pada penyimpanan minyak nabati adalah 40 ºC. Sebelum
disimpan pada masing-masing suhu penyimpanan, CPO terlebih dahulu dipanaskan sampai suhu
55 ºC dengan kenaikan suhu 5 ºC/hari. Pemanasan hingga suhu 55 ºC sebelum penyimpanan
dimaksudkan untuk mensimulasikan proses transportasi selama bongkar muatan CPO. CAC
(2005) dan Naibaho (1998) menyatakan kenaikan suhu 5 ºC/hari untuk meminimalkan terjadinya
kerusakan pada CPO.
Pemanasan sampai suhu 55 ºC menyebabkan CPO meleleh sehingga ketika CPO
disimpan pada suhu penyimpanan 20-40 ºC terjadi pemisahan fase padat dengan fase cair pada
CPO. Menurut Metin dan Hartel (2005), bila lemak didinginkan di bawah titik leleh dari
komponen TAG dengan titik leleh tertinggi, akan terdapat rasio antara lemak padat terhadap lemak
cair yang tergantung pada kondisi campuran TAG. Fraksi cair disebut sebagai fraksi olein yang
terdiri dari asam lemak tidak jenuh dengan titik leleh rendah, sedangkan fraksi padat disebut
sebagai fraksi stearin yang terdiri dari asam lemak jenuh dengan titik leleh tinggi. Contoh
terjadinya pemisahan antara fraksi padat dan fraksi cair pada CPO saat penyimpanan dapat dilihat
pada Gambar 11

28
Fraksi cair

Fraksi padat

Gambar 11 Pemisahan fraksi padat dan fraksi cair pada CPO setelah empat minggu penyimpanan
pada suhu 40 ºC.

CPO yang disimpan pada suhu 20 dan 25 ºC tidak menunjukkan pemisahan antara fraksi
cair dan fraksi padat. Hal ini karena semua fraksi pada CPO telah mengkristal pada suhu 20 dan
25 ºC. Menurut Gee (2007) titik leleh stearin adalah 46.60-53.80 ºC, sedangkan titik leleh olein
adalah 24 ºC (BSN 1998). CPO yang disimpan pada suhu 30-40 ºC menunjukkan terjadinya
pemisahan antara fraksi cair dan fraksi padat dengan fraksi cair berada di atas. Hal ini dikarenakan
pada suhu penyimpanan tersebut hanya fraksi stearin saja yang mengkristal sedangkan fraksi olein
belum mengkristal.
Komponen asam lemak penyusun CPO (Tabel 3) memiliki titik leleh yang berbeda-beda
bergantung pada tingkat kejenuhannya. Asam lemak kaprat dan asam lemak palmitoleat belum
mengkristal pada suhu 35 ºC. Asam lemak kaprat (C10:0) memiliki titik leleh 31.5 ºC (Ketaren
2005) dan asam lemak palmitoleat (C16:1) memiliki titik leleh 33 ºC (Gunstone 1994). Selain
asam lemak, TAG penyusun CPO juga turut berperan pada kristalisasi lemak pada CPO.
Kompisisi TAG penyusun CPO (Tabel 4) memiliki titik leleh yang berbeda bergantung pada
panjang rantai dan tingkat kejuenuhan asam lemak penyusunnya. TAG POP memiliki titik leleh
38 ºC (Sato & Ueno 2005), POS, PSO, dan SPO memiliki titik leleh 37.8 ºC, PPO memiliki titik
leleh 35 ºC, dan PLS memiliki titik leleh 30 ºC (O‟Brien 2009). Suhu yang lebih rendah
menyebabkan komponen TAG dan asam lemak penyusun CPO lebih banyak yang mengkristal.
Hal inilah yang menyebabkan fraksi padat yang terbentuk pada suhu 30 ºC lebih banyak dibanding
dengan fraksi padat pada suhu 40 dan 35 ºC.
Hasil pengujian perubahan SFC CPO selama penyimpanan menunjukkan korelasi dengan
pembentukan fraksi cair. Perubahan nilai SFC selama penyimpanan pada beberapa suhu
penyimpanan dapat dilihat pada Tabel 12. Data lengkap mengenai perubahan SFC CPO A selama
penyimpanan dapat dilihat pada Lampiran 5. Hasil analisis SFC CPO pada Tabel 12
menunjukkan bahwa CPO yang disimpan pada suhu yang lebih rendah memiliki nilai SFC yang
lebih tinggi.

Tabel 12 Perubahan nilai SFC CPO A selama penyimpanan pada beberapa suhu.
Lama Penyimpanan Suhu Penyimpanan (ºC)
(minggu) 20 25 30 35 40
1 10.07 8.93 8.45 6.27 4.93
2 10.58 9.67 8.25 6.07 4.7
3 11.12 10.6 7.63 6.09 4.55
4 11.48 10.85 7.27 5.02 3.83

29
Nilai SFC CPO meningkat selama penyimpanan pada suhu 20 dan 25 ºC tetapi menurun
selama disimpan pada suhu 30-40 ºC. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Brulenno et al. (2003) yang menyatakan bahwa terjadi kristalisasi lemak selama penyimpanan
pada suhu rendah yang diamati dengan peningkatan SFC. Peningkatan nilai SFC CPO selama
penyimpanan pada suhu 20 dan 25 ºC akibat mengkristalnya fraksi olein. Kristal yang terbentuk
semakin banyak dengan semakin lamanya penyimpanan.
Penyimpanan CPO pada suhu 30-40 ºC menyebabkan penurunan nilai SFC akibat adanya
reaksi hidrolisis selama penyimpanan. Suhu optimum hidrolisis adalah 30-40 ºC (Saloko 2011).
Reaksi hidrolisis menghasilkan gliserol dan asam lemak bebas (ALB). Gan et al. (2004)
menyebutkan terjadi peningkatan nilai ALB selama penyimpanan minyak sawit. Adanya ALB
menyebabkan struktur kristal lemak tidak beraturan sehingga kristal lemak yang terbentuk sedikit
yang berakibat nilai SFC semakin rendah (Foubert et al. 2004).
Penyimpanan pada suhu 20 dan 25 ºC tidak menyebabkan pemisahan antara fraksi padat
dan fraksi cair, tetapi hanya mempunyai nilai SFC yang berkisar berkisar 8.82-11.67%. Hal ini
karena fraksi cair berada di dalam fraksi padat sehingga tidak menyebabkan pemisahan fraksi.
Menurut Che dan Swe (1995) jika lemak mengandung kristal, struktur lemak akan menjadi padat
sehingga kapiler antar kristal menyempit. Kapiler yang menyempit mengakibatkan kristal-kristal
saling mengunci dengan cairan yang berada di sekelilingnya.
Uji ANOVA dengan uji lanjut Duncan dilakukan untuk mengetahui perbedaan signifikan
dengan taraf kepercayaan 95% pada perubahan SFC CPO selama penyimpanan. Dengan uji
Duncan data-data yang tidak berbeda signifikan akan berada pada subset yang sama, sedangkan
data-data yang berbeda signifikan akan berada pada subset yang berbeda. Hasil ANOVA dengan
uji lanjut Duncan (Lampiran 6) menunjukkan bahwa nilai SFC CPO berubah secara signifikan
pada minggu ketiga saat disimpan pada suhu 20 ºC, sedangkan saat disimpan pada suhu 25 ºC
sudah berubah secara signifikan pada minggu kedua. Sampel CPO yang disimpan pada suhu
30-40 ºC berubah secara signifikan pada minggu keempat.

bb cc
12 a ab b
10 a aa
ab b
8
SFC (%)

a aa
b a abab 1 minggu
6
b 2 minggu
4
2 3 minggu

0 4 minggu
20 25 30 35 40

Suhu ( ºC)

Gambar 12 Perubaban nilai SFC CPO A selama penyimpanan pada beberapa suhu penyimpanan
selama empat minggu.

Menurut Marangoni dan McGauley (2003) selama penyimpanan produk berlemak pada
suhu rendah terjadi perubahan polimorfisme kristal lemak. Perubahan polimorfisme kristal lemak
dapat dilihat dari peningkatan nilai SFC selama penyimpanan. Menurut Sato dan Ueno (2005)
perubahan polimorfisme lemak dipengaruhi oleh suhu dan waktu. Perubahan polimorfisme kristal
lemak dapat terjadi melalui dua cara, yaitu solid-solid dan melt mediated transformation. Model

30
solid-solid terjadi ketika kristalisasi lemak berlangsung pada waktu yang lama. Model melt
mediated transformation terjadi ketika lemak dilelehkan dan dikristalisasi secara berulang.
Perubahan polimorfisme kristal lemak hanya terjadi saat CPO disimpan pada suhu 20 dan
25 ºC. Perubahan polimorfisme ini terjadi melalui model solid-solid. Kristal lemak dibagi menjadi
tiga yaitu α, β‟, dan β dengan kestabilan yang meningkat. Menurut Metin dan Hartel (2005) ketika
lemak yang telah meleleh didinginkan kembali maka kristal α akan terbentuk. Bentuk kristal α ini
tidak bertahan lama hanya sekitar satu jam dan segera berubah menjadi bentuk yang lebih stabil
(β‟). Bentuk β‟ pada minyak sawit bertahan lama dan merupakan bentuk kristal yang paling sering
dijumpai (Wong 1989). Penyimpanan CPO pada suhu 30-40 ºC tidak menyebabkan perubahan
polimorfisme kristal lemak. Hal ini karena penyimpanan CPO pada suhu 30-40 ºC tidak
menyebabkan terjadinya pelelehan dan kristalisasi berulang.

C. PENGARUH LAJU PENDINGINAN TERHADAP SFC, KINETIKA


KRISTALISASI, DAN MIKROSTUKTUR KRISTAL LEMAK.

CPO dialirkan dari truk ke tangki kapal saat bongkar muatan. Pengaliran CPO dari truk ke
tangki kapal memerlukan nilai SFC yang rendah agar pengaliran dapat dilakukan dengan mudah.
Berdasarkan hasil penelitian tahap sebelumnya, SFC yang rendah didapatkan pada suhu tinggi
yaitu di atas titik leleh CPO atau di atas 40 ºC. Saat CPO dialirkan, suhu CPO mengalami
penurunan suhu akibat adanya kontak dengan suhu lingkungan yang lebih rendah. Penurunan suhu
terjadi dengan laju pendinginan tertentu yang akan mempengaruhi nilai SFC-nya.
Menurut Wiking et al. (2009) kristalisasi lemak dipengaruhi oleh laju pendinginan
(cooling rate). Pengaruh laju pendinginan terhadap perubahan nilai SFC tersaji pada Gambar 13
dengan data lengkap pada Lampiran 7. Suhu tertinggi pada pengujian ini adalah 55 ºC yang
didasarkan pada rekomendasi CAC (2005) untuk suhu pengaliran CPO. Pengujian tidak dilakukan
pada suhu di atas 55 ºC untuk menjaga kandungan karoten pada CPO tetap tinggi. Karoten
merupakan pigmen alami pada CPO yang sangat sensitif dan mudah rusak pada suhu tinggi.
Suryadarma et al. (2008) menyebutkan karoten belum mengalami kerusakan pada suhu di bawah
60 ºC.

Gambar 13 Pengaruh laju pendinginan terhadap nilai SFC.

Lemak yang didinginkan di bawah titik lelehnya akan mengalami kristalisasi, yang
diamati dengan meningkatnya SFC. Laju pendinginan yang berbeda akan menghasilkan proses
kristalisasi yang berbeda seperti yang dapat dilihat pada Gambar 13 dan Lampiran 7. Nilai SFC
31
pada laju pendinginan 0.2 ºC/menit lebih rendah dibanding dengan laju pendinginan lainnya saat
suhu di atas 40 ºC. Hal ini karena suhu di atas 40 ºC menyebabkan kristal lemak meleleh. Pada laju
pendinginan 0.2 ºC/menit, waktu untuk kristal lemak meleleh lebih lama sehingga kristal lemak
yang meleleh lebih banyak. Kristal lemak yang meleleh menyebabkan penurunan nilai SFC.
Namun, ketika suhu diturunkan menjadi 25 ºC dengan ketiga laju tersebut, nilai SFC pada laju
pendinginan 0.2 ºC/menit meningkat lebih tinggi dibandingkan dengan kedua laju pendinginan
lainnya. Waktu pembentukan kristal yang lebih lama menyebabkan kristal yang terbentuk juga
lebih banyak yang menyebabkan kenaikan nilai SFC. Pengukuran SFC pada tahap ini dilakukan
dalam kondisi transisi saat suhu kristalisasi belum setimbang. Pengujian kristalisasi lemak ini
merupakan pengujian secara non isotermal. Menurut Talbot et al. (2005), pada kristalisasi non
isotermal, sampel lemak diturunkan suhunya dengan laju pendinginan tertentu hingga mencapai
suhu di bawah titik lelehnya tanpa dipertahankan suhunya secara isotermal.
Metin dan Hartel (2005) menyatakan bahwa molekul lipid mempunyai waktu untuk
mengatur, membentuk lapisan tipis, dan ikatan pada pendinginan lambat. Sebagian besar
kristalisasi telah terjadi saat suhu kristalisasi diatur tercapai pada laju pendinginan lambat.
Sebaliknya pada pendinginan cepat, kristalisasi dimulai setelah sampel mencapai suhu kristalisasi
(Martini et al. 2002). Hal inilah yang menyebabkan nilai SFC akhir saat suhu 25 ºC pada laju
pendinginan 0.2 ºC/menit lebih besar dibandingkan dengan laju pendinginan lainnya.
CPO yang dialirkan dari truk ke tangki penampungan dengan laju pendinginan tertentu,
suhunya akan stabil pada titik tertentu (isotermal). Pada keadaan isotermal, kristalisasi tetap terjadi
yang diamati dengan meningkatnya SFC. Menurut Marangoni (1998), kurva kristalisasi lemak
yang dipantau dengan meningkatnya SFC terhadap waktu berbentuk sigmoid. Kurva tersebut
terdiri dari tiga fase yaitu fase lag, fase logaritmik, dan fase stasioner. Kenaikan nilai SFC tidak
berlangsung secara cepat, tetapi melewati fase lag terlebih dahulu dengan kenaikan nilai SFC yang
lambat. Selanjutnya diikuti oleh fase log dengan kenaikan nilai SFC yang berlangsung secara cepat
dan kemudian mencapai nilai SFC yang stabil. Kenaikan SFC CPO saat suhu isotermal 25 ºC
setelah mengalami laju pendinginan tertentu ditunjukkan pada Gambar 14, 15, dan 16 dengan
data selengkapnya yang dapat dilihat pada Lampiran 8.

14
12
10
SFC (%)

8
6
4
2
0
0 10 20 30 40 50
Waktu (menit)

Gambar 14 Kenaikan SFC selama suhu kristalisasi isotermal 25 ºC pada laju pendinginan
1 ºC/menit.

32
14
12
10

SFC (%)
8
6
4
2
0
0 10 20 30 40 50
Waktu (menit)

Gambar 15 Kenaikan SFC selama suhu kristalisasi isotermal 25 ºC pada laju pendinginan
0.5 ºC/menit

14
12
10
SFC (%)

8
6
4
2
0
0 10 20 30 40 50
Waktu (menit)

Gambar 16 Kenaikan SFC selama suhu kristalisasi isotermal 25 ºC pada laju pendinginan
0.2 ºC/menit

Laju pendinginan mempengaruhi kinetika kristalisasi lemak. Analisis kinetika kristalisasi


lemak pada tahap ini menggunakan model persamaan Avrami. Menurut Metin dan Hartel (2005),
model persamaan Avrami paling banyak digunakan untuk mengamati kinetika kristalisasi lemak
dibanding model Fisher-Turbbull dan model Gormetz.
Model persamaan Avrami menggunakan parameter eksponen Avrami (n) dan konstanta
Avrami (k) untuk melihat kinetika kristalisasi lemak. Nilai n dan k didapatkan dengan memplotkan
ln (t) sebagai sumbu x dan ln[-ln(1-F)] sebagai sumbu y. Nilai F merupakan ratio antara hasil
pengurangan SFC pada waktu tertentu dengan SFC awal dan hasil pengurangan SFC maksimal
dengan SFC awal. Perhitungan nilai ln[-ln(1-F)] selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 9.
Hasil plot antara ln(t) sebagai sumbu x dengan ln[-ln(1-F)] sebagai sumbu y (Lampiran 10) akan
menghasilkan persamaan regresi linier berupa y = a+bx. Nilai a merupakan ln dari konstanta
Avrami (k), sedangkan b merupakan eksponen Avrami (n). Contoh hubungan ln (t) dengan
ln[-ln(1-F)] pada laju pendinginan 0.2 ºC/menit dapat dilihat pada Gambar 17.

33
2
1.5
y = 1.562x - 4.182
1 R² = 0.970

ln(-ln(1-F) 0.5
0
-0.5 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4

-1
-1.5
-2
-2.5 ln(t)

Gambar 17 Hubungan ln (t) dengan ln[-ln(1-F)] pada CPO A yang telah mengalami laju
pendinginan 0.2 ºC/menit menuju suhu kristalsasi 25 ºC dan ditahan selama 40
menit.

Parameter kinetika kristalisasi lemak yang dikaji pada tahap ini adalah waktu induksi,
SFC maksimum, waktu setengah kristalisasi (t1/2), konstanta Avrami (k), dan eksponen Avrami (n).
Pengaruh laju pendinginan terhadap parameter kinetika kristalisasi tersaji pada Tabel 13 dan data
selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 11.

Tabel 13 Parameter kinetika kristalisasi lemak pada CPO dengan beberapa laju pendinginan yang
dipelajari melalui pengukuran SFC isotermal di suhu 25 ºC
Laju pendinginan (ºC/menit)
Parameter
0.2 0.5 1
Eksponen Avrami (n) 1.614 2.032 2.170
Konstanta Avrami (k) 0.013 0.003 0.002
Waktu Induksi (menit) 2 5 7
SFC maksimum (%) 12.815 11.245 10.725
t ½ (menit) 11.953 15.750 14.884

Waktu induksi merupakan interval waktu pada fase lag. Waktu induksi pada laju
pendinginan 0.2 ºC/menit adalah 2 menit. Nilai ini lebih rendah dibandingkan dengan waktu
induksi pada laju pendinginan 0.5 dan 1 oC/menit yang masing-masing bernilai 5 dan 7 menit.
Menurut Metin dan Hartel (2005) pembentukan inti kristal (nucleation) terjadi selama waktu
induksi. Hal ini menandakan pembentukan inti kristal lemak lebih cepat terjadi pada laju
pendinginan lambat yang dibuktikan dengan waktu induksi yang lebih cepat.
Nukleasi terjadi apabila lemak berada dalam kondisi lewat dingin (supercooling) saat
berada di bawah titik lelehnya. Perbedaan antara suhu aktual dengan titik leleh merupakan driving
force terjadinya kristalisasi. Apabila driving force terus berlangsung maka akan terjadi
pertumbuhan kristal lemak (crystal growth) (Metin & Hartel 2005). Pertumbuhan kristal lemak
ditandai dengan kenaikan nilai SFC yang berlangsung cepat (fase log) hingga mencapai SFC
maksimum. SFC maksimum merupakan SFC saat fase stasioner atau saat tidak ada pembentukan

34
kristal lagi. Pada laju pendinginan lambat, SFC maksimum lebih tinggi daripada laju pendinginan
cepat.
Eksponen Avrami (n) dan konstanta Avrami (k) dihitung dengan menggunakan model
persamaan Avrami. Eksponen Avrami (n) menggambarkan dimensi pertumbuhan kristal dan
mekanisme nukleasi (Metin & Hartel 2005; Campos et al. 2002). Nilai n dari persamaan Avrami
yang didapat adalah 2.170, 2.032, dan 1.614 untuk laju pendinginan 1, 0.5, dan 0.2 oC/menit. Data
tersebut menunjukkan bahwa terjadi peningkatan nilai n pada laju pendinginan cepat. Menurut
Campos et al. (2002) nilai n yang tinggi menunjukkan kristalisasi terjadi secara spontan. Hal ini
terjadi karena pada laju pendinginan cepat, driving force kristalisasi lebih besar dibanding laju
pendinginan lambat sehingga memicu terjadinya kristalisasi secara spontan.
Nilai n yang diperoleh dari ketiga laju pendinginan tersebut dapat dibulatkan menjadi
n=2. Menurut Toro et al. (2002), mekanisme pertumbuhan kristal dengan nilai n=2 adalah
silindris. Nilai eksponen Avrami (n) yang didapatkan pada penelitian ini berbeda dengan eksponen
Avrami yang didapatkan pada penelitian Kawamura (1979). Kawamura (1979) dalam Metin dan
Hartel (1998) menyebutkan bahwa nilai n pada minyak sawit adalah 4. Perbedaan ini terjadi
karena sampel yang digunakan pada kedua penelitian berbeda. Pada penelitian Kawamura (1979)
digunakan minyak sawit yang telah dimurnikan, sedangkan pada penelitian ini menggunakan
minyak sawit kasar yang belum mengalami pemurnian. Minyak sawit kasar masih mengandung
kotoran yang mempengaruhi kinetika kristalisasinya. Metin dan Hartel (2005) menyebutkan
adanya kotoran mendukung terjadinya kristalisasi lemak. Eksponen Avrami dengan n=2
menunjukkan bahwa laju nukleasi terjadi secara cepat (Metin & Hartel 1998).
Konstanta Avrami (k) menggambarkan laju pertumbuhan kristal sebagai fungsi dari suhu
(Metin & Hartel 1998). Selain itu, konstanta Avrami (k) juga menggambarkan laju kristalisasi dan
berhubungan dengan waktu setengah kristalisasi (t 1/2). Nilai k pada laju pendinginan 0.2 ºC/menit
sebesar 0.013 dan lebih tinggi dibandingkan dengan nilai k pada laju pendinginan 0.5 dan
1 ºC/menit yang masing-masing bernilai 0.003 dan 0.002. Nilai k yang tinggi pada laju
pendinginan lambat menandakan kristalisasi lebih mudah terjadi, yang ditunjukkan dengan waktu
induksi dan waktu setengah kristalisasi yang lebih rendah. Waktu setengah kristalisasi pada laju
pendinginan 0.2 ºC/menit adalah 11.953 menit dan lebih rendah dibanding dengan kedua laju
pendinginan lainnya. Waktu setengah kristalisasi (t1/2) menunjukkan jumah waktu dalam menit
yang dibutuhkan untuk membentuk 50% fraksi kristal (Martini et al. 2002).
Laju pendinginan juga mempengaruhi mikrostruktur kristal lemak yang terbentuk. Pada
tahap ini dilakukan pengamatan menggunakan mikroskop polarisasi untuk mengetahui bentuk
kristal. Hasil mikrostruktur kristal dengan menggunakan perbesaran 40x10 pada ketiga laju
pendinginan terlihat pada Gambar 18, 19, dan 20.
Gambar 18, 19, dan 20 menunjukkan pertambahan dan perubahan ukuran kristal lemak
selama proses isotermal di suhu 25 ºC. Martinez et al. (2006), menyebutkan bahwa terjadi
perubahan ukuran dan jumlah kristal lemak saat lemak ditahan pada suhu isotermal. Kristal yang
terbentuk selama proses isotermal semakin banyak dan semakin besar pada waktu kristalisasi yang
lebih lama. Ukuran kristal lemak saat ditahan isotermal selama 35 menit lebih besar daripada
ukuran kristal lemak saat ditahan isotermal selama 25 menit. Pertambahan jumlah kristal dapat
terlihat dengan semakin meningkatnya nilai SFC dengan semakin lamanya waktu kristalisasi.

35
(a) (b)
Gambar 18 Bentuk kristal lemak pada laju pendinginan 1 ºC/menit setelah ditahan isotermal pada
suhu 25 ºC selama (a) 25 menit (b) 35 menit

(a) (b)
Gambar 19 Bentuk kristal lemak pada laju pendinginan 0.5 ºC/menit setelah ditahan isotermal
pada suhu 25 ºC selama (a) 25 menit (b) 35 menit

(a) (b)

Gambar 20 Bentuk kristal lemak pada laju pendinginan 0.2 ºC/menit setelah ditahan isotermal
pada suhu 25 ºC selama (a) 25 menit (b) 35 menit

Pada laju pendinginan 1 ºC/menit kristal lemak yang terbentuk berukuran lebih kecil
dibandingkan dengan laju pendinginan lainnya. Menurut Metin dan Hartel (2005) laju pendinginan
berpengaruh pada laju nukleasi, yang mempengaruhi ukuran kristal. Pendinginan cepat sampai
suhu rendah mengakibatkan pembentukan kristal lebih kecil. Kristal terbentuk dengan ukuran
besar ketika lemak didinginkan dengan lambat. Menurut Wiking et al. (2009) kristal lemak yang
terbentuk pada laju pendinginan cepat lebih seragam dibandingkan dengan laju pendinginan
lambat. Pada laju pendinginan lambat, nukleasi terjadi pada suhu yang lebih tinggi dan
mengakibatkan pembentukan inti lebih sedikit sehingga kristal berkembang menjadi lebih besar.

36
D. PENGARUH LAJU PENDINGINAN DAN SHEAR RATE TERHADAP
KINETIKA KRISTALISASI LEMAK

Menurut Metin dan Hartel (2005) dan Herrera dan Hartel (1998), adanya agitasi/shear
rate mempengaruhi kristalisasi lemak. Herrera dan Hartel (1998) telah melakukan penelitian
mengenai pengaruh agitasi terhadap sifat kristalisasi lemak pada susu. Chen et al. (2002) telah
mempelajari kristalisasi lemak pada RBDPO dengan melihat kenaikan viskositas terukur setelah
sampel ditahan secara isotermal pada suhu kristalisasi selama 60 menit. Viskositas adalah ukuran
bertahannya suatu fluida untuk mengalir (Matuszek 1997). Viskositas dipengaruhi oleh
pertumbuhan kristal, terutama pada larutan lewat jenuh (Marangoni 2005 dalam Wiking et al.
2009). Menurut Foubert (2003), proses kristalisasi diikuti dengan perubahan viskositas sebagai
fungsi dari waktu.
Pada tahap ini dikaji kombinasi pengaruh laju pendinginan dan shear rate terhadap proses
kristalisasi lemak yang dilihat melalui fenomena kenaikan nilai viskositas terukur. Penerapan laju
pendinginan dan shear rate menggunakan instrumen Haake Rotoviscometer RV 20. Menurut Chen
et al.(2002), ketika lemak didinginkan, TAG dengan titik leleh tinggi akan membentuk fase solid
(stearin) di dalam fase liquid (olein) yang memiliki titik leleh rendah. Perbedaan tingkatan
kristalisasi CPO dapat diamati dengan perubahan viskositas.
Pembentukan kristal lemak akan menyebabkan kenaikan viskositas. Kenaikan viskositas
terjadi secara perlahan pada awal proses kristalisasi (fase lag) dan dilanjutkan dengan kenaikan
viskositas secara cepat (fase log). Menurut Chen et al. (2002), ketika lemak pada kondisi lewat
dingin, yaitu saat suhu kristalisasi tercapai akan terjadi nukleasi yang ditandai dengan kenaikan
viskositas secara perlahan. Nukleasi diikuti dengan pertumbuhan kristal menyebabkan kenaikan
viskositas secara linier. Kenaikan viskositas tidak berlangsung secara terus menerus tetapi akan
mencapai viskositas maksimum yaitu saat viskositas tidak mengalami kenaikan lagi. Penerapan
shear rate dan laju pendinginan yang berbeda akan menghasilkan kenaikan viskositas yang
berbeda pula. Kenaikan viskositas pada berbagai laju pendinginan dan shear rate sebagai fungsi
dari waktu tersaji pada Gambar 21, 22, dan 23.

0.18
Viskositas terukur (Pa.S)

0.16
0.14
40 s-1
0.12
100 s-1
0.1 400 s-1
0.08
0.06
0.04
0.02
0
0 20 40 60 80
Waktu (menit)

Gambar 21 Pengaruh shear rate terhadap viskositas terukur sampel CPO yang telah mengalami
laju pendinginan 1 ºC/menit menuju suhu kristalisasi 25 ºC yang ditahan isotermal
selama 60 menit.

37
0.18

Viskositas terukur (Pa.S)


0.16
0.14
40 s-1
0.12
100 s-1
0.1 400 s-1
0.08
0.06
0.04
0.02
0
0 20 40 60 80
Waktu (menit)
Gambar 22 Pengaruh shear rate terhadap viskositas terukur sampel CPO yang telah mengalami
laju pendinginan 0.5 ºC/menit menuju suhu kristalisasi 25 ºC yang ditahan isotermal
selama 60 menit.

0.18
Viskositas terukur (Pa.S)

0.16
0.14 40 s-1
0.12 100 s-1
0.1 400 s-1
0.08
0.06
0.04
0.02
0
0 20 40 60 80
Waktu (menit)

Gambar 23 Pengaruh shear rate terhadap viskositas terukur sampel CPO yang telah mengalami
laju pendinginan 0.2 ºC/menit menuju suhu kristalisasi 25 ºC yang ditahan isotermal
selama 60 menit.

Pengaruh laju pendinginan dan shear rate terhadap kinetika kristalisasi lemak pada CPO
ditunjukkan pada Tabel 14 dengan data selengkapnya terdapat pada Lampiran 12. Hasil pada
Tabel 14 menunjukkan bahwa penerapan shear rate yang lebih tinggi dan laju pendinginan lambat
menghasilkan kristalisasi lemak yang lebih cepat yang ditunjukkan dengan waktu induksi yang
lebih cepat.
Hasil ANOVA univariate (Lampiran 13) dengan uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa
penerapan shear rate dan laju pendinginan yang berbeda memberikan pengaruh yang signifikan
(p<0.05) terhadap waktu induksi pada setiap perlakuan. Penerapan shear rate 400 s-1 memberikan
waktu induksi yang berbeda signifikan (p<0.05) dengan shear rate 40 dan 100 s-1 , namun
penerapan shear rate 40 dan 100 s-1 tidak memberikan pengaruh yang signifikan (p<0.05)
terhadap waktu induksi. Penggunaan laju pendinginan 1 ºC/menit dan 0.5 ºC/menit tidak
memberikan pengaruh signifikan (p<0.05) terhadap waktu induksi, namun penggunaan laju
pendinginan 0.2 ºC/menit memberikan pengaruh signifikan (p<0.05) terhadap waktu induksi.

38
Tabel 14 Parameter kinetika kristalisasi CPO pada beberapa laju pendinginan dan shear rate yang
dipelajari melalui kenaikan viskositas isotermal di suhu 25 ºC
Laju pendinginan Shear rate Waktu induksi
(ºC/menit) (s-1) (menit)
400 2.5a
0.2 100 9.5b
40 10b
400 11.5c
0.5 100 20.5d
40 21d
400 15e
1 100 20.5d
40 21d
Nilai yang diikuti huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang signifikan (p<0.05).

Penelitian pada tahap sebelumnya hanya mengkaji pengaruh laju pendinginan tanpa
adanya pengaruh shear rate terhadap waktu induksi. Hasil penelitian tahap sebelumnya
menunjukkan waktu induksi yang lebih rendah yaitu 2, 6, dan 8 menit untuk laju pendinginan
1, 0.5, dan 0.2 ºC/menit. Waktu induksi yang lebih rendah pada penelitian tahap sebelumnya
menandakan bahwa pembentukkan kristal lebih cepat terjadi ketika tidak diberikan perlakuan
shear rate. Penelitian tahap ini menunjukkan bahwa penggunaan shear rate yang lebih tinggi
menyebabkan kristalisasi lemak pada CPO lebih cepat terjadi ditunjukkan dengan waktu induksi
yang lebih rendah. Hasil penelitian tahap sebelumnya (tanpa ada pengaruh shear rate) dan
penelitian tahap ini (ada pengaruh shear rate) menunjukkan bahwa pemberian shear rate
memberikan dua pengaruh terhadap kristalisasi lemak, yaitu mempercepat dan menghambat
terjadinya kristalisasi.
Menurut Graef et al. (2008), shear rate mempunyai dua pengaruh terhadap kristalisasi,
yaitu mempercepat terjadinya kristalisasi dan merusak kristal lemak yang terbentuk sehingga
kristal lemak menjadi lebih kecil. Pada shear rate 40 s-1 kristalisasi lebih lama terjadi
dibandingkan dengan shear rate lainnya yang ditunjukkan dengan waktu induksi yang tinggi.
Kerusakan kristal akibat pemberian shear rate mengakibatkan kenaikan viskositas secara lambat.
Namun saat shear rate yang diberikan lebih tinggi, kristalisasi lebih cepat terjadi yang ditunjukkan
dengan waktu induksi yang lebih rendah. Grall dan Hartel (1992) dalam Metin dan Hartel (2005)
dan Graef et al. (2008) menyatakan bahwa peningkatan laju agitasi mengakibatkan peningkatan
laju nukleasi sehingga kristalisasi lebih cepat terjadi. Metin dan Hartel (2005) menyebutkan bahwa
agitasi yang tinggi mempercepat terjadinya secondary nucleation dan pertumbuhan kristal.
Secondary nucleation merupakan pembentukkan inti kristal baru pada larutan yang telah
mengalami kristalisasi. Adanya agitasi/shear rate yang tinggi akan menyebabkan kontak antar
kristal-kristal, kristal-dinding, dan kristal-stirer yang akan menyebabkan terbentuknya agregrat
kristal. Agregrat kristal yang terbentuk mempunyai struktur yang lebih rapat (Graef et al. 2008).
Hasil pada Tabel 14 menunjukkan kristalisasi lemak pada CPO hanya terjadi dalam satu
tahap kristalisasi. Chen et al. (2002) menyebutkan bahwa minyak sawit yang dikristalisasi pada
suhu di atas 22 ºC menunjukkan satu tahap kristalisasi, sedangkan kristalisasi pada suhu di bawah
22 ºC menunjukkan dua tahap kristalisasi. Dua tahapan kristalisasi terjadi akibat adanya perubahan
polimorfisme kristal lemak (Foubert et al. 2006; Chen et al. 2002). Pada suhu di bawah 22 ºC,
fraksi stearin mengkristal pada tahap pertama membentuk kristal α, sedangkan fraksi olein

39
mengkristal pada tahap kedua membentuk kristal β‟. Namun pada suhu di atas 22 ºC kedua fraksi
tersebut mengkristal secara bersamaan membentuk kristal β‟. Hal ini terjadi karena fraksi stearin
membentuk kristal α pada suhu rendah ( Ng 1990 dalam Chen et al. 2002).

E. REKOMENDASI PENANGANAN CPO UNTUK MEMINIMALISASI


PEMBENTUKAN KRISTAL

Pembentukan kristal lemak pada CPO selama proses penyimpanan dan transportasi perlu
dihindari. Pembentukan kristal lemak selama penyimpanan CPO menyebabkan terjadinya
pemisahan antara fraksi padat (stearin) dengan fraksi cair (olein). Pemisahan tersebut terjadi akibat
perbedaan titik leleh TAG penyusun CPO. Pembentukan kristal lemak akan menyumbat pipa dan
menghambat laju alir CPO sehingga perlu dihindari dalam transportasi CPO. Untuk itu perlu
dilakukan upaya agar pembentukan kristal lemak pada CPO dapat diminimalisasi dengan
penggunaan suhu, laju pendinginan, dan shear rate yang tepat selama proses penyimpanan dan
transportasi CPO.
CPO yang akan disimpan sebaiknya memiliki kadar kotoran yang rendah karena kadar
kotoran yang tinggi pada CPO mendukung terjadinya kristalisasi lemak pada CPO. Selain itu juga
harus dihindari penambahan kotoran dari tangki penyimpanan CPO. Penyimpanan CPO sebaiknya
dilakukan pada suhu 40 ºC karena penyimpanan pada suhu tersebut menunjukkan nilai SFC
terendah. Nilai SFC CPO yang rendah menandakan pembentukan kristal lemak pada CPO lebih
sedikit sehingga dibutuhkan lebih sedikit pemanasan untuk melelehkan kristal lemak. Selain itu,
penyimpanan CPO pada suhu 40 ºC hanya memerlukan waktu pemanasan sebanyak tiga hari
sebelum CPO tersebut dialirkan. Suhu untuk pengaliran CPO adalah 55 ºC dan kenaikan suhu dari
proses penyimpanan menuju proses pengaliran maksimal 5 ºC/menit (CAC 2005). Penyimpanan
CPO pada suhu 40 ºC sebaiknya hanya dilakukan dalam waktu yang relatif singkat, seperti satu
minggu. Apabila penyimpanan dilakukan dalam waktu lama, sebaiknya disimpan pada suhu yang
lebih rendah seperti 20 atau 25 ºC. Hal ini bertujuan menghindari terjadinya kerusakan CPO akibat
suhu tinggi. CAC (2005) menyebutkan suhu penyimpanan CPO adalah 32-40 ºC. Penyimpanan
pada suhu di atas 30 ºC dalam waktu lama sebaiknya dihindari karena merupakan suhu optimum
untuk hidrolisis lemak. Menurut Saloko (2011) suhu optimum hidrolisis adalah 30-40 ºC. Proses
hidrolisis akan menghasilkan asam lemak bebas (ALB) yang akan menurunkan mutu CPO.
Penggunaan laju pendinginan dan shear rate yang berbeda dalam proses transportasi CPO
akan menghasilkan proses kristalisasi lemak yang berbeda pula. Dalam pengaliran CPO sebaiknya
digunakan laju pendinginan lambat dengan shear rate tinggi. Hasil pada penelitian ini
menunjukkan kombinasi laju pendinginan lambat dengan shear rate tinggi akan menghasilkan
waktu induksi rendah dengan laju kristalisasi tinggi, namun penggunaan kombinasi kedua faktor
ini memiliki kelebihan. Penggunaan laju pendinginan lambat akan menghasilkan waktu induksi
rendah, namun pada laju pendinginan lambat membutuhkan waktu yang lebih lama menuju suhu
kristalisasi. Hal ini menguntungkan karena proses pemanasan saat suhu kristalisasi tercapai tidak
perlu sering dilakukan. Apabila menggunakan laju pendinginan cepat, proses pemanasan saat suhu
kristalisasi tercapai lebih sering dilakukan karena waktu menuju suhu kristalisasi berlangsung
lebih cepat. Proses pemanasan akan menurunkan mutu CPO karena dapat meningkatkan kadar
ALB dan menurunkan total karoten CPO.
Pada proses pengaliran CPO sebaiknya menggunakan shear rate tinggi walaupun
menghasilkan waktu induksi rendah. Penggunaan shear rate tinggi menyebabkan laju alir CPO
menjadi cepat sehingga diharapkan proses pengaliran CPO berlangsung secara singkat.

40

Anda mungkin juga menyukai