B. Bentonit
Bleaching Earth adalah istilah yang digunakan dalam dunia perdagangan untuk sejenis lempung
(clay) yang mempunyai struktur montmorilonit. Lempung yang mempunyai struktur
montmorilonit adalah bentonit. Bentonit merupakan bahan baku untuk pembuatan bleaching
earth, yang diperoleh dari aktivasi pada kondisi asam (Hymore, 1996 dalam Yusnimar dan
Handayani, 2013). Kandungan mineral montmorilonit yang terdapat pada bentonit sekitar 85%
(Tsai et al. 2002 dalam Yusaldi, 2011). Bentonit adalah mineral alumina silikat hidrat yang
termasuk dalam pilosilikat atau silikat berlapis yang terdiri dari jaringan anion (SiO4)2- dengan
adanya perbandingan Si:O sebesar 2:5. Rumus kimia umum bentonit adalah Al2O3.4SiO2.H2O
(Endang, 1996 dalam Bahri, 2014). Penghilangan adanya berbagai warna yang tidak disukai
pada minyak maka harus dilakukan pemucatan. Hal ini biasanya dilakukan dengan proses
hidrogenasi, penambahan suatu pelarut, pemanasan, adsorpsi (dilakukan dengan adsorben
bentonit dan zeolit). Salah satu adsorben yang digunakan untuk proses bleaching adalah bentonit.
(Haryanti dan Hidayat, 2017). Bentonit mempunya sifat mengadsorpsi, karena ukuran partikel
koloidnya sangat kecil dan memiliki kapasitas permukaan yang tinggi (Suhartono, 1997 dalam
Yusnimar dan Handayani, 2013).
Bentonit dapat ditingkatkan daya jerapnya dengan proses aktivasi secara kimia dengan
menggunakan asam dan fisika dengan pemanasan di furnace (Adel dkk, 2003 dalam Yusnimar
dan Handayani, 2013). Bentonit alam memiliki kemampuan adsorpsi yang rendah, akan tetapi
jika diolah seperti diaktivasi dengan asam seperti H2SO4 (5%) pada suhu tertentu selama 2- 4
jam, maka daya jerapnya akan meningkat (Riyanto, 1992 dalam Yusnimar, 2010).
D. Degumming
Degumming merupakan suatu proses yang digunakan untuk memisahkan getah atau lendir yang
terdiri dari fosfatida, protein, residu, karbohidrat, air dan resin (Sumarna, 2014). Gum atau getah
dikenal sebagai pengotor terdiri dari fosfatida, protein, hidrokarbon, karbohidrat, air, logam berat
dan resin, asam lemak bebas (ALB), tokoferol, pigmen dan senyawa lainnya. Pada minyak yang
terdapat pengotor akan menurunkan kualitas dan mempengaruhi penampilan fisik, rasa, bau dan
waktu simpan dari minyak, sehingga harus dihilangkan melalui proses pemisahan secara fisika
maupun secara kimia (Zufarov dkk, 2008 dalam Ristianingsih dkk, 2011).
Proses degumming dibedakan menjadi water degumming, dry degumming, enzymatic
degumming, membrane degumming dan acid degumming (Dijkstra dan Opstal, 1987; Zufarov
dkk., 2008 dalam Ristianingsih dkk, 2011). Pada proses acid degumming CPO menggunakan
asam fosfat dimaksudkan untuk memisahkan fosfatida yang merupakan sumber rasa dan warna
yang tidak diinginkan (Madya dan Aziz, 2006 dalam Ristianingsih dkk, 2011). Senyawa
fosfatida yang terdapat di dalam minyak terdiri dari dua macam yaitu fosfatida hydratable dan
fosfatida non hydratable. Fosfatida hydratable mudah dipisahkan dengan penambahan air pada
suhu yang rendah sekitar 400C. Penambahan air yang dilakukan mengakibatkan fosfolipid akan
kehilangan sifat lipofiliknya dan berubah sifat menjadi lipofobik sehingga mudah dipisahkan dari
minyak (Dijkstra dan Opstal, 1987 dalam Ristianingsih dkk, 2011).
E. Netralisasi
Pada umumnya proses pemurnian minyak nabati terdiri dari 4 tahap, yaitu proses pemisahan gum
(degumming), proses pemisahan asam lemak bebas (netralisasi) dengan cara mereaksikan asam
lemak bebas dengan basa atau pereaksi lainnya sehingga terbentuk sabun. Proses pemucatan
(bleaching) yang merupakan proses penghilangan komponen warna coklat seperti karatenoid dan
tokoferol, proses penghilangan bau (deodorisasi) yang merupakan proses penghilangan asam
lemak bebas dan komponen penyebab bau tidak sedap seperti peroksida, keton dan senyawa hasil
oksidasi lemak lainnya (Copeland dan Maurice, 2005 dalam Ristianingsih dkk, 2011). Salah satu
tahapan pemurnian minyak sawit secara kimia adalah deasidifikasi atau netralisasi. Pemurnian
dapat dilakukan setelah melalui tahap degumming (penghilangan gum) untuk memisahkan asam
lemak bebas yang terbentuk oleh aktivitas enzim, mikroba, uap air dan oksigen pasca panen
sawit (Widarta dkk, 2008). Netralisasi adalah proses untuk pemisahan asam lemak bebas dari
minyak, dengan cara mereaksikan asam lemak bebas dengan basa atau pereaksi lainnya sehingga
membentuk sabun (Polii, 2016). Netralisasi dengan metode alkali paling umum dilakukan pada
skala industri karena lebih murah dan efisien dalam mereduksi asam lemak bebas pada minyak
mentah atau kasar sampai kadar tertentu yang diinginkan. Alkali yang paling sering digunakan
untuk netralisasi adalah NaOH (Boshle dan Subramanian, 2004 dalam Widarta dkk, 2008).
Pemakaian NaOH dengan konsentrasi yang terlalu tinggi, akan bereaksi sebagian dengan
trigliserida sehingga menambah jumlah sabun yang terbentuk dan mengurangi rendemen
minyak. Dengan demikian penyabunan trigliserida dan terbentuknya emulsi yang ada didalam
minyak dapat dikurangi, sehingga dihasilkan minyak netral dengan rendemen yang lebih besar
dan mutu minyak yang lebih baik (Kurniati dan Susanto, 2015).
F. Bleaching
Pemucatan (bleaching) bertujuan untuk menghilangkan zat-zat warna yang tidak disukai yang
terdapat di dalam minyak. Pemucatan ini dilakukan dengan mencampurkan minyak dalam
sejumlah bahan pemucat seperti bleaching earth, lempung aktif dan arang aktif atau
menggunakan bahan kimia (Nasution, 2013 dalam Polii, 2016). Efektivitas pemucatan
(bleaching) dipengaruhi oleh adanya suhu dan konsentrasi bahan pemucat. Proses bleaching yang
dilakukan dengan menggunakan suhu semakin tinggi, maka akan menghasilkan minyak yang
semakin cerah (nilai kecerahan warnanya semakin menurun). (Haryono, 2012 dalam Polii,
2016). Salah satu tahapan dari pemurnian minyak sawit adalah pemucatan (bleaching) (Haryono,
2012). Pemucatan minyak sawit yang dilakukan di industri minyak sawit, umumnya dilakukan
dengan adsorben berupa bleaching earth. Pemucatan yang dilakukan dengan bleaching earth
secara komersial dilakukan dengan suhu 100-1300C selama 30 menit, dengan kadar bleaching
earth sebanyak 6-12 kg/ton minyak sawit atau sekitar 0,6-1,2% (Pahan, 2008 dalam Haryono
dkk, 2012). 2.7 Metode Permukaan Respon (Respons Surface Method) RSM merupakan
kumpulan dari teknik yang digunakan untuk menganalisa masalah, dimana beberapa variabel
mempengaruhi sebuah respon. Tujuannya adalah untuk mengoptimalkan respon tersebut
(Ikawati, 2005). Kegunaan dari RSM antara lain menunjukkan bagaimana variabel respon y
dipengaruhi oleh variabel bebas x diwilayah yang secara tertentu diperhatikan, menentukan
variabel bebas yang tepat dimana akan memberikan hasil yang memenuhi spesifikasi dari respon
yang berupa hasil kotoran, warna, tekstur dan lain-lain, mengekplorasi ruang dari variabel bebas
x untuk mendapatkan hasil maksimum dan menentukan sifat dasar dari nilai maksimum (Biorata,
2012).
Salah satu faktor pertimbangan penting yang muncul dalam RSM adalah bagaimana menentukan
faktor dan level yang dapat cocok dengan model yang akan dikembangkan. Jika faktor atau level
yang dipilih dalam suatu eksperimen tidak tepat maka kemungkinan terjadi ketidakcocokan
model akan sangat besar dan jika itu terjadi maka penelitian yang dilakukan itu bersifat bias.
Tahapan dalam RSM antara lain (Biorata, 2012) : 1. Screening: Dalam tahap ini, berbagai faktor
yang diduga dapat berpengaruh, diuji untuk dilakukan seleksi faktor mana saja yang benar-benar
memberikan dampak besar terhadap sistem, sementara faktor lain yang hanya memberikan
dampak kecil dapat diabaikan. 2. Improvisasi: Dalam tahap ini dilakukan pengubahan nilai
faktor-faktor yang dilakukan secara berulang-ulang sehingga mendapatkan sekumpulan variasi
data yang dapat diolah secara statistik untuk kemudian dicari nilai optimumnya. 3. Penentuan
titik optimum: Merupakan proses pencarian titik optimum menggunakan metode regresi orde dua
Biodiesel - 100 mL
DiEthyl Ether – 10 mL
Sampel 110 mL