Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Produksi minyak bumi di Indonesia yang telah mencapai puncaknya pada
tahun 1977 yaitu sebesar 1.685 ribu barel per hari terus menurun hingga tinggal
909 ribu barel per hari tahun 2006, atau menurun dengan laju 1,83% per tahun. Di
sisi lain, konsumsi minyak bumi terus meningkat dengan laju 5,04% per tahun.
Hal ini membuat Indonesia yang semula sebagai net eksporter menjadi net
importer sejak tahun 2000 dengan tingkat defisit yang semakin meningkat.
Apalagi kondisi global yang terjadi di pasar dunia memperlihatkan adanya
kecenderungan konsumsi minyak dunia yang terus meningkat, sekitar 70% pada
tahun 2030. Hal ini menjadikan Indonesia berpotensi menghadapi masalah energi
yang cukup mendasar (Indriyani & Suryani, 2015).
Ide penggunaan minyak nabati yaitu sebagai pengganti bahan bakar diesel
yang didemonstrasikan pertama kalinya oleh Rudolph Diesel (±tahun 1990).
Berbagai riset dibidang ini terus berkembang dengan memanfaatkan bahan bakar
hayati (biofuel) dan dapat diperbaharui (renewable). Perkembangan ini mencapai
puncaknya di pertengahan tahun 80-an dengan ditemukannya alkil ester asam
lemak yang memiliki karakteristik hampir sama dengan minyak diesel fosil yang
dikenal dengan biodiesel.
Peluang untuk mengembangkan potensi biodiesel di indonesia cukup besar
terutama untuk substitusi minyak solar mengingat saat ini penggunaan minyak
solar mencapai sekitar 40% dari total penggunaan BBM untuk sektor transportasi.
Sementara pengunaan solar pada industri adalah sebesar 74% dari total
penggunaan BBM pada kedua sektor tersebut. Untuk itulah substitusi biodiesel
untuk solar memiliki peluang yang cukup besar.

1.2 Tujuan
Adapun tujuan penulisan laporan magang ini untuk memahami proses
yang terjadi pada Biodiesel Plant PT. PAA.

1
1.3 Ruang Lingkup
Adapun ruang lingkup selama proses penulisan laporan magang ini adalah
proses yang terjadi pada Biodiesel Plant.

1.4 Manfaat
Adapun manfaat yang didapat selama kegiatan magang ini adalah:
1. Mengetahui proses produksi pada Biodiesel Plant.
2. Mengetahui faktor yang mempengaruhi proses produksi dan capaian
quality.
3. Mengetahui dan memahami peralatan produksi Biodiesel Plant.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bahan Baku dan Produk pada Biodiesel Plant


2.1.1 Refined Bleached Deodorized Palm Oil (RBDPO)
Refined Bleached Deodorized Palm Oil atau RBDPO adalah minyak sawit
yang telah mengalami proses penyulingan untuk menghilangkan asam lemak
bebas serta penjernihan untuk menghilangkan warna dan penghilangan bau.
Proses pengolahan kelapa sawit menjadi minyak goreng sawit dimulai dari
proses pengolahan tandan buah segar menjadi CPO. Setelah kelapa sawit
berubah menjadi CPO maka selanjutnya yaitu mengolahnya menjadi minyak
goreng sawit. Secara garis besar proses pengolahan CPO menjadi minyak
goreng sawit, terdiri dari dua tahap yaitu tahap pemurnian (Refinery) dan
pemisahan (Fractionation). Tahap pemurnian terdiri dari penghilangan gum
(Degumming). Pemucatan (Bleaching) dan penghilangan bau (Deodorization).
RBDPO merupakan minyak sawit yang telah mengalami proses penyulingan
untuk menghilangkan Free Fatty Acid (FFA) serta penjernihan untuk
penghilangan warna dan bau. FFA pada RBDPO dapat menyebabkan terjadinya
pembentukan sabun dalam reaksi transesterifikasi. Adapun komposisi asam
lemak dari RBDPO dapat dilihat pada tabel 2.1 berikut:
Asam Lemak Jumlah (%)
Asam Miristat (C14 : 0) 1,06
Asam Palmitat (C16 : 0) 42,56
Asam Palmitoleat (C16 : 1) 0,21
Asam Stearat (C18 : 0) 4,76
Asam Oleat (C18 : 1) 40,08
Asam Linoleat (C18 : 2) 10,69
Asam Linolenat (C18 : 3) 0,53
Asam Arakidat (C20 : 0) 0,11

3
Asam lemak bebas adalah asam lemak yang berada sebagai asam bebas
tidak terikat sebagai trigliserida. Asam lemak bebas dihasilkan dari proses
hidrolisis dan oksidasi biasanya bergabung dengan lemak netral. Hasil reaksi
hidrolisa minyak sawit adalah gliserol dan FFA. Reaksi ini akan dipercepat
dengan adanya faktor-faktor seperti panas, air, keasaman dan katalis (enzim).
Semakin lama reaksi ini berlangsung maka semakin banyak FFA yang terbentuk.

2.1.2 Refined Bleached Deodorized Palm Stearin (RBDPS)


Refined Bleached Deodorized Palm Stearin (RBDPS) merupakan hasil
dari proses fraksinasi RBDPO. RBDPS merupakan fraksi berat atau padat dari
proses fraksinasi RBDPO yang dapat digunakan dalam pembuatan margarin.
Refined Bleached Deodorized Palm Stearin (RBDPS) adalah stearin kelapa sawit
yang dapat digunakan sebagai bahan lemak margarin yang mengandung 57%
asam palmitat. Kandungan dominana pada stearin adalah campuran palmitat-
oleat-palmitat (POP), palmitat-oleat-stearat (POS), dan stearat-oleat-palmitat
(SOP).

2.1.3 Metanol
Metanol merupakan bentuk alkohol paling sederhana. Metanol juga
dikenal sebagai metil alkohol, wood alcohol atau spiritus memiliki rumus kimia
CH3OH. Pada keadaan atmosfer, metanol berbentuk cairan yang ringan, mudah
menguap, tidak berwarna, mudah terbakar, dan beracun dengan bau yang khas
(berbau lebih ringan dari pada etanol). Pada reaksi transesterifikasi menggunakan
alkohol sebagai reaktannya yang juga disebut sebagai reaksi alkoholisis.
Metanol kadang disebut sebagai wood alcohol karena dahulu merupakan
produk samping dari distilasi kayu. Saat ini metanol di produksi melalui proses
multi tahap. Secara singkat, gas alam dan uap air dibakar dalam tungku untuk
membentuk gas hidrogen dan karbon monoksida, kemudian gas hidrogen dan gas
karbon monoksida tersebut bereaksi dalam tekanan tinggi dengan bantuan katalis
untuk menghasilkan metanol. Tahap pembentukannya adalah endotermik dan

4
tahap sintesisnya adalah eksotermik. Adapun sifat fisik dari metanol dapat dilihat
pada tabel 2.2
Tabel 2.2 sifat fisik dari metanol
Rumus Molekul CH3OH
Berat Molekul 32,04 gr/mol
Wujud (30oC, 1 atm) Cair
Kenampakan Tak berwarna
Densitas 0,792 g/l
Viskositas 0,5410 cP
Titik Didih 64,7oC
Titik leleh -97 oC

2.1.4 Biodiesel
Biodiesel merupakan monoalkil ester dari asam-asam lemak rantai panjang
yang terkandung dalam minyak nabati atau lemak hewani untuk digunakan
sebagai bahan bakar mesin diesel. Biodiesel dapat diperoleh melalui reaksi
transesterifikasi trigliserida dan atau reaksi esterifikasi asam lemak bebas
tergantung dari kualitas minyak nabati yang digunakan sebagai bahan baku.
Transesterifikasi adalah proses yang mereaksikan trigliserida dalam minyak nabati
atau hewani dengan alkohol rantai pendek seperti metanol atau etanol. Umumnya
sebagian besar produksi biodiesel menggunakan metanol menghasilkan metil ester
asam lemak (Fatty acid methyl ester atau FAME) dan gliserin sebagai produk
samping.
Sejatinya, terdapat banyak sumber nabati yang dapat dijadikan sebagai
bahan baku pembuatan biodiesel. Beberapa bahan baku tersebut diantaranya
seperti kelapa sawit, kedelai, jarak pagar serta kacang-kacangan. Dari beberapa
bahan baku tersebut di indonesia yang mempunyai prospek untuk diolah menjadi
biodiesel adalah kelapa sawit. Tanaman industri kelapa sawit telah tersebar
hampir di seluruh wilayah indonesia, pengolahannya sudah mapan, dibandingkan
dengan tanaman yang lain seperti kedelai, arak pagar dan lain-lain yang masih
mempunyai kelemahan antara lain sumbernya sangat terbatas dan masih terus

5
diimpor. Sedangkan bahan baku minyak jarak pagar masih dalam taraf penelitian
skala laboratorium untuk budidaya dan pengolahannya, sehingga dapat dikatakan
bahwa kelapa sawit merupakan bahan baku untuk biodiesel yang paling siap
(Sugiono, 2008).
Transesterifikasi minyak nabati pertama kali dilakukan pada tahun 1853
oleh 2 orang ilmuwan, yaitu E. Duffy dan J. Patrick. Hal ini terjadi sebelum mesin
diesel pertama ditemukan. Baru pada tanggal 10 Agustus 1893 di Augsburg,
Jerman, Rudolf Diesel mempertunjukan model mesin diesel penemuannya pada
world fair tahun 1898 di Paris, Prancis. Rudolph Diesel memamerkan mesin
dieselnya yang menggunakan bahan bakar kacang tanah. Dia mengira bahwa
penggunaan bahan bakar biomassa memang masa depan bagi mesin ciptaannya.
Namun pada tahun 1920, mesin diesel diubah supaya dapat menggunakan bahan
bakar fosil (Petro Diesel) dengan viskositas yang lebih rendah dari biodiesel.
Penyebabnya karena pada waktu mesin itu petrodiesel relatif lebih murah dari
pada biodiesel.
Biodiesel merupakan bahan bakar yang terdiri dari campuran monoalkil
ester dari rantai panjang asam lemak yang dipakai sebagai alternatif bagi bahan
bakar dari mesin diesel. Biodiesel memiliki kandungan enam sampai tujuh macam
ester asam lemak. Senyawa ini didefinisikan sebagai metil ester dengan panjang
rantai karbon antara 12 sampai 20 dari asam lemak turunan dari lipid. Komposisi
dan sifat kimia dari biodiesel tergantung pada kemurnian, panjang pendek rantai
karbon, derajat kejenuhan, dan struktur rantai alkil asam lemak penyusunnya
(Karinda, 2011).
Biodiesel dapat digunakan sebagai bahan bakar murni ataupun sebagai
campuran untuk bahan bakar diesel (petrodiesel). Biodiesel lebih ramah
lingkungan karena bersifat biodegradable dan nontoxic. Biodiesel itu sendiri
terbuat dari bahan baku yang dapat diperbaharui, seperti minyak sayur atau lemak
hewan. Bahan baku tersebut kemudian direaksikan dengan alkohol, umumnya
metanol atau etanol bersama dengan katalis. Reaksi tersebut merupakan reaksi
esterifikasi atau transesterifikasi yang menghasilkan senyawa ester biodiesel dan
gliserin sebagai hasil samping. Umumnya bahan baku yang digunakan harus

6
terlebih dahulu dilakukan pretreatment untuk memastikan biodiesel yang
digunakan sesuai standar. Parameter bahan baku yang digunakan yakni memiliki
kandungan FFA (Free Fatty Acid), water content, unsaponifiables (senyawa
tocopherols, carotenoids, phytosterols, tocotrienols, coenzyme Q serta squalene),
dan fosfor yang dapat menyebabkan bau dan warna yang tidak diinginkan
sehingga pempengaruhi umur simpan.
Kandungan asam lemak bebas dalam minyak diusahakan serendah
mungkin (<0,5% w/w). Akan terjadi penurunan yield biodiesel jika reaktan yang
digunakan tidak memenuhi persyaratan tersebut. Karena adanya kandungan asam
lemak bebas dalam minyak juga akan menyebabkan terbentuknya sabun,
menurunkan yield dan mempersulit pemisahan biodiesel dan gliserol.
Transesterifikasi berkatalis basa akan efisien jika bahan baku minyak memiliki
kemurnian tinggi sehingga proses ini tidak sesuai untuk minyak atau lemak
berkandungan asam lemak bebas tinggi. Kajian tentang karakteristik biodiesel,
solar dan minyak nabati dapat dilihat pada tabel 2.2 berikut.
Tabel 2.3 Perbandingan Biodiesel dengan Solar dan Minyak Nabati
Sifat Biodiesel Petrodiesel Minyak Nabati
Metil Ester atau
Komposisi Hidrokarbon Asam lemak
asam lemak
Densitas, g/ml 0,8624 0,830 0,912-0,965
Viskositas, cSt 3,2-10,7 4,7 20,5-48,5
o
Flash point, C 120 60 214
Cetane Number 48-53 45 31-51
Emisi CO rendah CO tinggi
Keberadaan Terbarukan Tak terbarukan Terbarukan
Energi yang Energi yang
Engine power dihasilkan 128.000 dihasilkan
BTU 130.000 BTU
Lubrikasi Lebih tinggi Lebih rendah Lebih rendah
Lingkungan Toksitas 10 kali
Toksitas rendah
lebih tinggi
Modifikasi Tidak diperlukan Diperlukan

7
Produksi biodiesel (metil ester) harus memenuhi persyararatan atau
spesifikasi yang sudah ditetapkan oleh suatu negara untuk saat dipakai sebagai
bahan bakar standar ASTM D 6751-02, dan Eropa berdasarkan EDIN 51606 dan
juga Indonesia SNI untuk menjamin konsistensi kualitas biodiesel yang
memenuhi spesifikasi pada kondisi proses pengolahan dan pemurnian produk
setelah produksi. Berdasarkan peraturan dirjen migas No.
002/P/DM/MIGAS/1979 tanggal 25 mei 1979 tentang spesifikasi bahan bakar
minyak dan gas dan standar penguian SNI 7182:2015 dapat dianalisa:
1. Angka Setana
Angka setana merupakan acuan angka untuk bahan bakar motor diesel
yaitu dengan bahan referensi normal cetane (C16H34) yang tidak memiliki
keterlambatan menyala dan aromat methyl napthalena (C10H7CH3) yang
keterlambatannya besar sekali. Angka setana dari biodiesel sebesar minimal 51
sedangkan standar solar sebesar 48, berarti angka setana biodiesel 1,05 lebih
rendah daripada solar. Tetapi angka setana dari biodiesel yang dihasilkan masih
termasuk dalam kisaran standar biodiesel yaitu 51. Pada mesin diesel udara
dimampatkan sampai tekanan 30 sampai 40 kg/cm2 akibat pembakaran maka
tekanan yang ada di ruang bakar mencapai 60 sampai 65 kg/cm 2. Pada kondisi ini
diharapkan tidak ada keterlambatan dari nyala agar kenaikan tekanan tidak terlalu
tinggi. Kenaikan tekanan yang terlalu tinggi akan menyebabkan detonasi.
Hambatan lain yaitu proses pembakaran tidak sempurna sehingga terbentuk jelaga
(butiran arang yang halus dan lunak yang terbentuk akibat asap berwarna hitam).

2. Kinematic Viscosity
Kinematic Viscosity standar dari biodiesel adalah sebesar 2,3-6 cSt. Jika
harga viskositas terlalu tinggi maka akan besar kerugian gesekan didalam pipa,
kerja pompa akan berat, penyaringannya sulit dan kemungkinan kotoran ikut
terendap besar, serta sulit mengabutkan bahan bakar sebaliknya jika viskositas
terlalu rendah berakibat pelumasan yang tipis, jika dibiarkan terus menerus akan
mengakibatkan keausan.

8
3. Spesific Gravity
Spesific Gravity dari biodiesel masih masuk dalam kisaran solar yaitu
antara 0,82 hingga 0,95.
4. Nilai Kalor
Standar minimal kalori yang dihasilkan oleh biodiesel adalah 10.600
sampai 11.000 kkal/kg. Sebagai bahan bakar, biodiesel harus memenuhi
persyaratan yang ditetapkan oleh SNI.
Biodiesel memiliki tingkat polusi yang lebih rendah dari pada solar dan
dapat digunakan pada motor diesel tanpa modifikasi sedikitpun. Biodiesel
dianggap tidak menyumbang pemanasan global sebanyak bahan bakar fosil.
Mesin diesel yang beroperasi dengan menggunakan biodiesel sebagai bahan bakar
menghasilkan emisi karbon monoksida, hidrokarbon yang tidak terbakar,
partikulat, dan udara beracun yang lebih rendah dibandingkan dengan mesin
diesel yang menggunakan bahan bakar petroleum. Penggunaan biodiesel
mempunyai beberapa keuntungan, menurut studi yang dilakukan National
Biodiesel Board beberapa keuntungan penggunaan biodiesel antara lain:
1. Biodiesel mempunyai karakteristik hampir sama dengan minyak diesel,
sehingga dapat langsung digunakan pada motor diesel tanpa melakukan
modifikasi yang signifikan dengan resiko kerusakan yang sangat kecil
2. Biodiesel memberikan efek pelumasan yang lebih baik daripada minyak
diesel konvensional. Bahkan satu persen penambahan biodiesel dapat
meningkatkan pelumasan hampir 30%.
3. biodiesel dapat diperbaharui dan siklus karbonnya yang tertutup tidak
menyebabkan pemanasan global. Analisa siklus kehidupan
memperlihatkan bahwa emisi CO2 secara keseluruhan berkurang sebesar
78% dibandingkan dengan mesin diesel yang menggunakan bahan bakar
petroleum.

9
2.2 Reaksi pada Proses Pembuatan Biodiesel
2.2.1 Reaksi Transesterifikasi
Transesterifikasi adalah reaksi antara minyak dan lemak dengan alkohol
untuk menghasilkan ester. Alkohol yang digunakan yaitu metanol maupun etanol
karena pada umumnya alkohol dengan atom C lebih sedikit memiliki kereaktifan
yang lebih tinggi dari pada alkohol dengan atom C lebih banyak. Reaksi
transesterifikasi untuk memproduksi biodiesel tidak lain adalah reaksi alkoholisis,
reaksi ini hampir sama dengan rekasi hidrolisis tetapi menggunakan alkohol.
Reaksi ini bersifat reversible dan menghasilkan alkil ester dan gliserol. Alkohol
berlebih digunakan pada reaksi transesterifikasi untuk memicu reaksi
pembentukan produk. Transesterifikasi juga menggunakan katalis dalam
reaksinya karena tanpa adanya katalis, konversi yang dihasilkan maksimum
namun reaksi berjalan dengan lambat. Katalis yang biasa digunakan pada reaksi
transesterifikasi adalah katalis basa, karena katalis ini dapat mempercepat reaksi.
Mekanisme reaksi transesterifikasi dapat dilihat pada gambar 2.1 dibawah.

Gambar 2.1 Reaksi Transesterifikasi

Reaksi transesterifikasi sebenarnya berlangsung dalam 3 tahapan reaksi, yaitu:

Gambar 2.2 Tahapan Reaksi Transesterifikasi

10
Transesterifikasi merupakan suatu bentuk reaksi kesetimbangan. Secara
stoikiometri dibutuhkan 3 molekul alkohol untuk setiap mol trigliserida yang
direaksikan. Perbandingan molar alkohol dengan trigliserida adalah 3:1, namun
untuk mendorong reaksi agar bergerak ke arah kanan (untuk memperoleh konversi
metil ester yang maksimum) maka rasio alkohol yang dibutuhkan lebih dari itu
yaitu dengan cara menggunakan alkohol dalam jumlah yang berlebih atau salah
satu produk yang dihasilkan harus dipisahkan. Hal ini merupakan penerapan
langsung azas Le Chatelier.
Transesterifikasi juga menggunakan katalis dalam reaksinya. Tanpa
adanya katalis, konversi yang dihasilkan maksimum namun reaksi berjalan
dengan lambat. Katalis yang biasa digunakan dalam reaksi transesterifikasi adalah
katalis basa, karena katalis ini dapat mempercepat reaksi. Produk yang diinginkan
dari reaksi transesterifikasi adalah metil ester asam lemak. Menurut Swern (1982),
jumlah alkohol dianjurkan sekitar 1,6 kali jumlah yang dibutuhkan secara teoritis.
Jumlah alkohol yang lebih dari 1,75 kali jumlah teoritis tidak mempercepat reaksi
bahkan mempersulit pemisahan gliserol selanjutnya.

2.2.2 Reaksi Hidrolisis


Hidrolisis merupakan reaksi samping yang dapat terjadi pada proses
pembuatan biodiesel. Hal ini dapat terjadi dikarenakan adanya kandungan air pada
RBDPO. Air inilah yang dapat menjadi agen penghidrolisa pada minyak. Pada
proses ini molekul minyak (trigliserida) bereaksi dengan molekul air, membentuk
3 asam lemak bebas, dan satu molekul gliserol. Mekanisme reaksi hidrolisis dapat
dilihat pada gambar 2.3.

Gambar 2.3 Reaksi Hidrolisis RBDPO

11
Terjadinya reaksi hidrolisis ini merupakan salah satu reaksi samping yang
terjadi pada reaktor transesterifikasi. Kandungan air pada bahan baku RBDPO
mampu menjadi agen penghidrolisis sehingga meningkatkan kandungan FFA.
Apabila FFA meningkat, maka dapat memicu terjadi reaksi samping lainnya
seperti terjadinya reaksi saponifikasi. Selain itu, pada proses reaksi
transesterifikasi menggunakan katalis CH3ONa. Katalis ini bereaksi juga dengan
air. Reaksi hidrolisis katalis dapat dilihat pada gambar 2.4 berikut:

Gambar 2.4 Reaksi Hidrolisis Katalis

2.2.3 Reaksi Saponifikasi


Proses ini merupakan proses yang paling tua diantara proses-proses yang
ada, karena bahan baku untuk proses ini sangat mudah diperoleh. Dahulu
digunakan lemak hewan dan sekarang telah digunakan pula minyak nabati.
Kandungan FFA (free fatty acid) pada RBDPO juga memungkinkan dapat
terjadinya reaksi samping lainnya yaitu reaksi saponifikasi (penyabunan). Selain
itu, ternyadinya reaksi hidrolisis juga menyebabkan kandungan FFA semakin
meningkat. Nantinya FFA tersebut akan bereaksi dengan katalis yang bersifat
basa menghasilkan garam alkali atau sabun. Mekanisme reaksi saponifikasi dapat
dilihat pada gambar 2.5 dibawah ini.

Gambar 2.5 Reaksi Saponifikasi FFA dengan Katalis

Terjadinya reaksi hidrolisis katalis juga menimbulkan senyawa NaOH. Oleh


karena itu, juga terjadi reaksi saponifikasi antara FFA dengan NaOH. Adapun
mekanisme reaksi saponifikasi antara FFA dengan NaOH dapat dilihat pada
gambar 2.6 berikut:

12
Gambar 2.6 Reaksi Saponifikasi FFA dengan Katalis

2.2.4 Reaksi Asidifikasi


Reaksi asidifikasi merupakan suatu reaksi yang melibatkan asam (acid)
sebagai reaktannya. Pada pengolahan biodiesel sendiri terdapat beberapa reaksi
asidifikasi yang terjadi yaitu:
1. Meaturing Reactor
Biodiesel yang memiliki pH basa kemudian dinetralisasi dengan
menambahkan larutan HCl. Tujuan dari penambahan larutan HCl ini selain untuk
menetralkan, juga berfungsi untuk meminimalisir terjadinya emulsi dan
pembentukan sabun pada saat biodiesel atau palm methylester dicuci pada
Washing Column. Mekanisme reaksi asidifikasi yang terjadi dapat dilihat pada
gambar 2.7 berikut:

Gambar 2.7 Reaksi Asidifikasi


Sementara mekanisme reaksi netralisasi antara larutan NaOH yang masih
terdapat pada biodiesel dengan larutan HCl dapat dilihat pada gambar 2.8 sebagai
berikut:

Gambar 2.8 Reaksi Netralisasi

2. Methanol Recovery
Water-glycerine-methanol yang akan didistilasi atau di-recovery
metanolnya sebelum memasuki kolom Methanol Recovery, maka campuran
ditambahkan larutan HCl pekat untuk mengasamkan asam lemak yang ada pada
campuran glycerine water sehingga terbentuk Fatty Matter. Hal ini dapat
memudahkan pemisahan serta mengoptimalkan proses penguapan metanol yang
terjadi di kolom Methanol Recovery nantinya.

13
2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Reaksi Transesterifikasi
2.3.1 Kadar Air dan FFA pada Minyak Nabati
Minyak nabati yang akan ditransesterifikasi harus memiliki angka asam
yang lebih kecil dari 1%. Banyak peneliti yang menyarankan agar kandungan
asam lemak bebas lebih kecil dari 0,5% (<0,5%). Selain itu, semua bahan yang
akan digunakan harus bebas dari air. Reaksi transesterifikasi dengan
menggunakan katalis yang bersifat basa sangat dipengaruhi oleh adanya
kandungan air pada minyak nabati yang digunakan. Keberadaan air dalam reaksi
ini dapat memicu terjadinya reaksi parsial saponifikasi FFA. Air akan selalu
memberikan dampak negatif pada reaksi transesterifikasi karena akan mengurangi
konsentrasi katalis sehingga dapat berpengaruh terhadap perolehan Biodiesel
nantinya.

2.3.2 Rasio Mol Alkohol dan Minyak


Secara stoikiometri, jumlah alkohol yang dibutuhkan untuk reaksi adalah 3
mol untuk setiap 1 mol trigliserida untuk memperoleh 3 mol alkil ester dan 1 mol
gliserol. Perbandingan alkohol dengan minyak nabati 4,8:1 dapat menghasilkan
konversi 98% (Bradshaw and Meuly, 1944). Secara umum ditunjukkan bahwa
semakin banyak jumlah alkohol yang digunakan, maka konversi yang diperoleh
juga akan semakin bertambah. Pada rasio molar 6:1, setelah 1 jam konversi yang
dihasilkan 98-99%, sedangkan pada rasio molar 3:1 adalah 74-89%. Nilai
perbandingan yang terbaik adalah 6:1 karena dapat memberikan konversi yang
maksimum.

2.3.3 Suhu Reaksi


Suhu reaksi merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh dalam
reaksi transesterifikasi ini. Peningkatan suhu yang terjadi akan meningkatkan laju
reaksi serta mempercepat waktu reaksi karena pengurangan viskositas minyak.
Namun, peningkatan suhu reaksi luar secara optimal menyebabkan penurunan
yield biodiesel, karena suhu reaksi yang lebih tinggi mempercepat saponifikasi
trigliserida dan menyebabkan metanol mudah menguap. Biasanya suhu reaksi

transesterifikasi harus di bawah titik didih alkohol untuk mencegah penguapan


alkohol. Kisaran optimal suhu reaksi dari 50-60°C tergantung pada minyak atau
lemak yang digunakan. Akan tetapi banyak penelitian yang menggunakan
temperatur reaksi yang mendekati titik didih alkohol yang digunakan untuk
memperoleh konversi yang lebih cepat.
14
2.3.4 Waktu Reaksi
Konversi metil ester yang hampir mendekati sempurna biasanya dilakukan
dengan penggunaan waktu reaksi antara 2 sampai 6 jam dalam proses pembuatan
biodiesel (Lee, dkk., 2009). Yield akan meningkat hingga mencapai maksimum
dan kemudian akan menurun seiring dengan peningkatan waktu reaksi. Hal ini
disebabkan oleh hidrolisis ester.

2.3.5 Jenis dan Konsetrasi Katalis


Alkali katalis (katalis basa) akan mempercepat reaksi transesterifikasi bila
dibandingkan dengan katalis asam. Katalis basa yang paling populer untuk reaksi
transesterifikasi adalah Natrium Hidroksida (NaOH), Kalium Hidroksida (KOH),
Natrium Metoksida (NaOCH3) serta Kalium Metoksida (KOCH3). Katalis sejati
bagi reaksi sebenarnya adalah ion metilat (Metoksida). Reaksi transesterifikasi
akan menghasilkan konversi yang maksimum dengan jumlah katalis 0,5-1,5%-b
minyak nabati. Jumlah katalis yang efektif untuk reaksi adalah 0,5%-b minyak
nabati untuk natrium metoksida dan 1%-b minyak nabati untuk natrium
hidroksida.

2.3.6 Kecepatan Pengadukan


Kecepatan pengadukan merupakan peran penting dalam pebentukan
produk akhir (mono alkil ester atau biodiesel), karena pengadukan dari campuran
minyak dan katalis akan meningkatkan reaksi. Misalnya intensitas pencampuran
yang dipilih adalah 200 rpm, 400 rpm, 600 rpm, dan 800 rpm selama 60 menit
sementara parameter lainnya tetap konstan. Karena, kecepatan pengadukan yang
lebih rendah dapat mengakibatkan pembentukan produk yang lebih kecil. Hal ini
disebabkan reaksi reversible dari reaksi transesterifikasi.

2.4 Spesifikasi Kualitas Biodiesel


Terdapat beberapa parameter kunci didalam standar mutu biodiesel.
Parameter-parameter tersebut memiliki batasan yang telah ditetapkan untuk mutu
biodiesel tersebut. Dengan demikian kualitas biodiesel akan terlihat jelas sesuai
dengan parameter kunci tersebut. Adapun beberapa parameter kunci kualitas
biodiesel yaitu:

15
2.4.1 Kandungan Ester
Kandungan ester dalam biodiesel minimum 96,5% (mol/mol). Kandungan
ester dalam biodiesel sangat mempengaruhi dasar bilangan setana. Bilangan
setana menunjukkan kemampuan minyak diesel terbakar secara mandiri dalam
ruang bakar mesin diesel. Bilangan setana yang relatif tinggi mempersingkat
waktu yang diperlukan minyak diesel untuk menyala.

2.4.2 Bilangan Asam (Acid Value)


Maksimum bilangan asam yang diperbolehkan adalah ≤ 0,5 mg KOH/g
asam lemak. Bilangan asam menunjukkan jumlah asam mineral dan asam lemak
bebas dalam biodiesel. Kandungan asam lemak bebas yang tinggi dapat menjadi
katalisator terjadinya reaksi hidrolitik secara autokatalitik yang memecahkan
ikatan ester, korosi, dan deposit pada mesin.

2.4.3 Bilangan Iodin (Iodine Value)


Besar bilangan iodin adalah ≤ 120 g I2/100 g. Bilangan iodin
menunjukkan total ikatan tidak jenuh di dalam senyawa asam lemak. Biodiesel
dengan kandungan bilangan iodin yang tinggi akan mengakibatkan tendensi
polimerisasi dan pembentukan deposit pada injector, nozzle, dan cincin piston
pada saat mulai pembakaran. Senyawa tidak jenuh juga dapat menurunkan
stabilitas biodiesel terhadap oksidasi yang dapat menurunkan kualitas lubrikasi.

2.4.4 Gliserol Bebas


Kandungan gliserol bebas yang diperbolehkan maksimum 0,02%
(mol/mol). Jumlah gliserol bebas dalam kandungan biodiesel merupakan
parameter bagi keberhasilan purifikasi biodiesel. Gliserol dalam biodiesel pada
proses penyimpanan dapat menyerang senyawa polar seperti air, monogliserida,
dan sabun yang dapat menyebabkan korosi non ferrous pada logam terutama
logam tembaga, kromium, dan seng. Gliserol juga dapat menyebabkan
terbentuknya deposit pada saringan bahan bakar yang dapat meningkatkan emisi
aldehid.

16
2.4.5 Mono, Di, Trigliserida dan Total Gliserol
Kandungan mono-, di-, dan trigliserida yang diperoleh ≤ 0,80%, 0,20%
(mol/mol) dan total gliserol maksimum ≤ 0,25% (mol/mol). Total gliserol disini
adalah jumlah total gliserol yang terikat pada mono-, di-, dan trigliserida.
Biodiesel yang memiliki kandungan mono-, di-, dan trigliserida lebih dari baku
mutu dapat menyebabkan coking dan pembentukan deposit pada injector nozzle,
piston, dan katup pada mesin.

2.4.6 Metanol
Kandungan metanol dalam biodiesel maksimum 0,20% (mol/mol).
Metanol sisa dalam biodiesel dipisahkan dengan menggunakan kolom distilasi
atau dengan melakukan pengulangan dalam pencucian produk biodiesel.
Kandungan metanol sangat mempengaruhi keselamatan dalam proses
penyimpanan dan proses distribusi biodiesel. Parameter ini berhubungan dengan
flash point biodiesel.

2.4.7 Air dan Sedimen


Air yang terkandung didalam biodiesel berasal dari proses produksi, yaitu
pada tahapan pencucian. Air ini harus dikurangi dengan cara pengeringan.
Biodiesel bersifat higroskopis sehingga selama penyimpanan biodiesel mampu
menyerap air sampai dengan 1000 ppm. Air akan terpisah didalam tangki dan

berada dibagian bawah ketika melebihi batas kelarutan. Batas kelarutannya sekitar
1.500 ppm dalam bahan bakar yang mengandung 0,2 % metanol. Jumlah air dan
sedimen yang cukup banyak didalam bahan bakar dapat menyebabkan fouling dan
dapat menimbulkan masalah pada mesin. Akumulasi sedimen didalam tangki dan
filter dapat menganggu aliran bahan bakar dapat mengakibatkan korosi tangki dan
peralatan. Kandungan air yang rendah memang tidak menjadi masalah untuk
biodiesel murni, tetapi akan menimbulkan masalah pada saat biodiesel dicampur
dengan solar karena memungkinkan tidak tercampur sempurna. Indonesia telah
menentukan standar maksimum kandungan air dan sedimen sebesar 0,05 %

17
BAB III
URAIAN PROSES

3.1 Transesterification section


Proses transesterifikasi pada Biodiesel Plant diawali dengan
diumpankannya Refined Bleached Deodorized Palm Oil (RBDPO) terlebih dahulu
ke Pre-Heater (110E01) sampai suhu lebih kurang 60oC. Kemudian RBDPO
dimasukkan ke Reaktor 1 (110D01) bersamaan dengan metanol (CH 3OH) dan
sodium metoxide (NaOCH3) pada suhu operasi kurang lebih 60 oC. Kemudian hasil
reaksi transesterifikasi dari Reaktor 1 kemudian dimasukkan ke Cooler (110E02)
yang bertujuan untuk mendinginkan hasil reaksi agar lebih mudah dipisahkan
pada Separator 1 (110D02). Suhu keluaran dari Cooler kurang lebih 50oC. Pada
Separator 1 akan terbentuk fasa ringan (Light Phase) berupa crude
methylester dan fasa berat (Heavy Phase) berupa sabun dan gliserin, dimana
pemisahan dalam separator ini terjadi secara gravitasi. Fasa berat yang berupa
sabun dan gliserin akan dialirkan ke Collecting Vessel (110F08) dan fasa ringan
berupa crude methylester akan dimasukkan kedalam Reaktor 2 (110D03) dengan
menggunakan pompa (110G03). Pada Reaktor 2 ini ditambahkan metanol
(CH3OH) dan sodium metilate (NaOCH3) kembali dengan kondisi operasi lebih
kurang 60oC. Tujuan direaksikannya kembali crude methylester di Reaktor 2 ini
untuk mereaksikan sisa-sisa minyak yang belum bereaksi dan untuk
menyempurnakan reaksi yang telah terjadi pada Reaktor 1.
Hasil reaksi transesterifikasi pada Reaktor 2 kemudian dimasukkan ke
Cooler (110E04) untuk didinginkan sampai dengan suhu 50 oC sebelum masuk ke
Separator 2 (110D04). Sama seperti yang terjadi pada Separator 1, di dalam
Separator 2 juga terjadi pemisahan secara gravitasi antara fasa berat dan fasa
ringan. Fasa berat yang terbentuk berupa sabun dan gliserin yang terbentuk dalam
jumlah yang lebih sedikit dari yang terbentuk pada Separator 1 akan di-recycle ke
Reaktor 1. Sedangkan fasa ringannya yang berupa Crude Methylester akan
dimasukkan ke Cooler (110E05) untuk didinginkan sampai suhu lebih kurang

18
40oC sebelum nantinya dipompakan menggunakan pompa (110G06) ke Static
Mixer (110D05).

3.2 Washing and Drying Section


Crude methylester selanjutnya dipompakan ke static mixer (110D06) yang
sebelumnya telah diinjekkan larutan HCl dengan konsentrasi 3% yang bertujuan untuk
mengasamkan crude methylester menjadi memiliki pH asam 2-3. Static mixer (110D06)
ini berfungsi untuk menghomogenkan larutan HCl dengan crude methylester. Setelah
itu, campuran tersebut kemudian masuk ke maturing reactor (110D12) yang bertujuan
untuk mematangkan reaksi antara larutan HCl dengan crude methylester. Crude
methylester yang telah dimatangkan di maturing reactor (110D12) kemudian
dipompakan dengan menggunakan pompa (110G08) ke washing column (110D08).
Pada washing column (110D08) ini terjadi proses pencucian yang bertujuan untuk
memurnikan crude methylester dari zat-zat pengotor, sisa metanol, gliserol yang
terbawa, dan larutan HCl. Selain itu, air pencuci juga bertujuan untuk menghentikan
reaksi dan mengikat gum-gum maupun metanol sisa yang terkandung dalam crude palm
methylester. Pencucian dilakukan dengan menggunakan air demin yang bersuhu kurang
lebih 40oC.

Pencucian pada washing column ini dilakukan dengan menggunakan metode


Counter Current (berlawanan arah) dimana crude methylester diumpankan dari dasar
washing column sedangkan air demin diumpankan dari puncak washing column. Pada
washing column inilah terbentuk produk samping berupa Sterol Glucoside (SG). Setelah
itu, crude methylester yang telah dicuci dimasukkan ke tangki penyimpanan sementara
(111F01). Crude methylester kemudian dipompakan dengan menggunakan (111G07)
menuju Centrifuge (111S20A/B) yang bertujuan untuk memisahkan antara methylester
dengan air dan Sterol Glucoside (SG). Pemisahan dilakukan secara pemusingan. Sterol
Glucoside (SG) dan air kemudian dialirkan ke tangki penyimpanan sementara Sterol
Glucoside (SG). Sedangkan methylester dimasukkan ke tangki penyimpanan sementara
(111F21). Methylester yang berasal dari (111F21) kemudian dipompakan dengan
menggunakan (111G01) ke economizer (111E01) dengan tipe plate heat exchanger.
Pada economizer (111G01), terjadi pertukaran panas antara dried methylester dengan
methylester. Setelah itu, methylester masuk ke dried cycle heater (111E02) dengan tipe

19
Shell and Tube agar dipanaskan kembali untuk memudahkan Vacuum untuk menarik
dan menghisap uap air dalam crude methylester sebelum akhirnya methylester masuk ke
vacuum drier 1 (111D01). methylester yang telah dipanaskan kemudian masuk ke
vacuum drier 1 (111D01) melalui bagian puncak dengan cara disemprotkan (spray).
Suhu operasi pada vacuum drier 1 (111D01) berkisar antara 110-115oC. Adapun tujuan
dioperasikan pada kondisi Vacuum adalah untuk menarik uap air, mengurangi kadar
metanol sisa, dan mengurangi sabun yang masih terkandung di dalam methylester.
Setelah melewati vacuum drier 1 (111D01), kemudian methylester dipompakan dengan
menggunakan pompa (111G02) ke dalam vacuum drier 2 (111D02) untuk
memaksimalkan pengeringan kembali pada methylester. Suhu operasi pada vacuum
drier 2 (111D02) ini berkisar antara 105-115oC.

Setiap vacuum drier ini terhubung dengan vacuum booster (111G03 A/B) dan
vacuum air set (111G04 A/B). Hasil keluaran dari vacuum drier 2 disebut sebagai dried
methylester yang kemudian dipompakan ke economizer (111E01) dengan menggunakan
pompa (111G05). Setelah melewati economizer (111E01), dried methylester masuk ke
cooler (111E03) untuk didinginkan. Dried methylester yang telah didinginkan
kemudian dilakukan penyaringan pada filter (111D03 A/B) hingga akhirnya masuk ke
tank farm untuk disimpan pada tangki penyimpanan produk palm methylester.

3.3 Methanol Recovery, Rectification and Gly-water Pre-Treatment Section


Umpan pada section ini yang berasal dari collecting vessel (110F08). Heavy
phase yang berupa glycerine-water dan sabun beserta dengan sisa metanol yang berasal
dari Separator 1 (110D02) dan Separator 2 (110D04) masuk dan terkumpul pada
collecting vessel (110F08). Pada prosesnya, umpan ini mula-mula dipompakan
menggunakan pompa (110G27) ke economizer (110E08). Pada economizer (110E08) ini terjadi
pertukaran panas antara antara aliran feed gliserin-water dengan aliran gly-water yang keluar
methanol recovery (110D07). Setelah itu, untuk menyempurnakan proses pemanasan gliserin-
water, maka umpan dimasukkan ke gliserin-metanol preheater (110E09) dengan tujuan untuk
memecahkan metanol sebelum dimasukkan ke methanol recovery. Suhu keluaran dari preheater
ini berkisar antara suhu 65-75oC. Setelah itu, umpan yang telah keluar dari preheater kemudian
diinjeksikan larutan HCl pekat dengan tujuan untuk mencegah pembentukan busa di dalam
campuran dan menjaganya dalam kondisi yang asam dengan pH berkisar antara 2-3. Selain itu,
larutan HCl juga berfungsi untuk memisahkan Fatty Matter di dalam campuran glycerine-

20
water- metanol. Kemudian campuran larutan HCl dengan umpan dihomogenkan pada static
mixer (110D05).

Kemudian umpan yang telah dinetralkan dengan larutan HCl dimasukkan ke


methanol recovery (110D07) atau bisa disebut dengan kolom distilasi metanol yang dimana
suhu operasi pada puncak kolom dijaga pada suhu 64,7oC sedangkan suhu dasar kolom 102 oC.
Uap methanol yang menguap dari kolom kemudian keluar dari puncak kolom dan masuk ke
condenser (110E07) untuk dikondensasikan.
Hasil dari kondensasi kemudian masuk ke Methanol Receiver (110F06) sebagai
tempat penyimpanan sementara metanol yang telah dikondensasikan. Umpan pada
kolom distilasi yang tidak menguap dan berupa produk bawah gly- water dan fatty
matter yang terbentuk kemudian dipompakan menggunakan pompa (110G29) menuju
economizer (110E08). Setelah itu didinginkan pada cooler (110E10). Hasil pendinginan
pada cooler (110E10) kemudian masuk ke fat separator (112D02) yang bertujuan untuk
memisahkan campuran gly-water dengan fatty matter yang terbentuk. Hasil pemisahan
pada fat separator (112D02) berupa gly-water yang underflow kemudian masuk ke
reaktor netralisasi (112D03).
Pada reaktor netralisasi (112D03) ini gly-water ditambahkan larutan NaOH
dengan tujuan untuk menetralkan dari sisa larutan HCl yang dimana pH berkisar antara
5-8. Gly-water yang telah netral kemudian masuk ke gly-water.
Receiver (112F04) sebelum dipompakan menggunakan pompa (112G08) ke
tangki penyimpanan di area tank farm. Sedangkan produk overflow dari fat separator
berupa fatty matter kemudian masuk ke fat collector vessel (112F03) dan kemudian
dipompakan dengan menggunakan pompa (112G07) ke tangki penyimpanan di area
tank farm.

21
BAB IV
GAMBARAN UMUM
PT. PELITA AGUNG AGRINDUSTRI

4.1Sejarah Singkat Perusahaan


PT. Pelita Agung Agrindustri merupakan sebuah perusahaan yang bergerak di

bidang pengolahan Buah Kelapa Sawit dari bahan baku Tandan Buah Segar (TBS)

untuk memproduksi minyak CPO (Crude Palm Oil) hingga pengolahan lanjutan dari

turunan minyak CPO itu sendiri. Hasil dari pengolahan minyak CPO ini akan dijual

kepada pihak luar atau pun dikirimkan ke cabang unit sepupu untuk pengolahan lebih

lanjut. Tandan Buah Segar (TBS) diperolah dari dua pihak, yaitu dari kebun sendiri

(PT. Abdi Jaya Abadi, Desa Sepakat, Dumai KM. 20) dan pihak luar yakni pembelian

dari kebun masyarakat.

PT. Pelita Agung Agrindustri adalah salah satu dari delapan anak perusahaan

Permata Hijau Group (PHG) yang merupakan induk perusahaan yang berlokasi di

Medan. PKS ini memiliki luas area sekitar ± 279.595 m2 atau 27,9595 Ha yang

berlokasi di Simpang Bangko, Jl. Lintas Duri-Dumai KM. 22 Desa Bumbung,

Kecamatan Bathin Solapan, Kabupaten Bengkalis, Duri - Riau. Perusahaan ini memulai

proyeknya pada tahun 2004 dan mulai beroperasi pada tahun 2006. Untuk saat ini PT.

Pelita Agung Agrindustri memiliki jumlah karyawan sebanyak ± 511 orang (data tahun

2016) dalam melakukan proses operasional pengolahan pabriknya. Produk yang

dihasilkan oleh PKS PT. Pelita Agung Agrindustri ini telah memiliki sertifikasi

Halal dari Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama

Indonesia (LPPOM - MUI) dengan No. Sertifikasi : HS3A5147/022016/PAA yang

berperingkat “A”.

22
4.2Visi – Misi dan Nilai-nilai Perusahaan
A. Visi

Menjadi yang terbaik dan berkelanjutan dalam Industri Minyak Sawit dengan
menghasilkan produk yang berkualitas dan bermanfaat bagi masyarakat.
B. Misi
1. Memenuhi permintaan pelanggan.
2. Mengembangkan SDM yang professional.
3. Mengupayakan peningkatan yang berkelanjutan.
4. Memaksimalkan keuntungan bagi Stakeholder.
C. Nilai-nilai Perusahaan
Nilai-nilai yang diterapkan dalam persahaan PT. Pelita Agung Agrindustri terdiri
dari beberapa unsur, yaitu:
1. Team Work
Hal yang besar dapat dicapai dengan cara bekerja sebagai satu tim.
2. Integrity
Bertindak dengan kejujuran yang megikuti standar etika tertinggi.
3. Professionalism
Mengetahui bagaimana melakukan, kapan dilakukan,dan melakukannya.
4. Communication
Mendengar dan menanggapi dengan sikap positif.
5. Excellence
Memberikan upaya yang terbaik dalam segala hal.

23
BAB V
PENUTUP

5. 1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat diambil yaitu:
1. Biodiesel Plant memiliki kapasitas 600 ton/hari.
2. Produksi biodiesel menghasilkan beberapa produk samping berupa
gliserin, fatty matter, sterol glucoside dengan bahan baku berupa RBDPO,
bahan penolong Metanol, katalis berupa Sodium Metilat serta larutan HCl
dan NaOH.
3. Kandungan FFA dan H2O dalam RBDPO sangat mempengaruhi quality
produk serta perlakuan terhadap setiap proses.

5.2 Saran
Adapun saran yang dapat diberikan yaitu sebaiknya transparansi data
pabrik agar lebih terbuka lagi untuk kebutuhan tugas akhir Mahasiswa dalam
melaksanakan magang.

24
DAFTAR PUSTAKA

Heryani, Hesty. 2018. Teknologi Produksi Biodiesel ISBN: 978-602-6483-86-


7.Lambung Mangkurat University Press: Banjarmasin.
Indriyani, Liga., Suryani, Dini. 2015. Pabrik Biodiesel dari PFAD (Palm Fatty
Acid Distillate) dengan Proses Transesterifikasi Metode Foolproof.
Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh November:
Surabaya.
Kalinda, Eliana Ayu. 2011. Evaluasi dan Analisis Alat Pemisah Kontinyu
Biodiesel-Gliserol. Fakultas Teknik Universitas Indonesia: Depok.

25
LAMPIRAN

26

Anda mungkin juga menyukai