Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Di Indonesia, perkebunan kelapa sawit dalam skala besar sudah dikembangkan,
dan saat ini Indonesia merupakan salah satu negara pengekspor minyak kelapa
sawit terbesar. Oleh sebab itu, minyak kelapa sawit ini sangat prospektif untuk
dikembangkan menjadi bioenergi karena pasokan untuk bahan baku pembuatan
biodiesel tersedia cukup banyak di Indonesia (Djalal Romansyah, September
2012).Biodiesel merupakan bahan bakar yang terdiri dari campuran mono-alkil-
ester dari rantai panjang asam lemak yang dipakai sebagai alternative bagi bahan
bakar dari mesin diesel dan terbuat dari sumber terbaharui seperti minyak nabati
atau lemak hewan (Soerawidjaja, 2005; National Biodiesel Board – NBB,
2003).

Biodiesel merupakan bahan bakar dari proses transesterifikasi lipid untuk


mengubah minyak dasar menjadi ester yang diinginkan dan membuang lemak
bebas. Setelah melewati proses ini tidak seperti minyak nabati langsung
biodiesel memiliki sifat pembakaran yang mirip dengan diesel dari minyak bumi
dan dapat menggantikan minyak bumi dalam banyak kasus. Namun biodiesel
lebih sering digunakan sebagai penambah untuk diesel petroleum (Anggi Yudi
Tiawarman,2013 ). Seperti yang telah kita ketahui bahwa ketersediaan minyak
bumi di dunia yang terbatas lama kelamaan akan semakin berkurang karena
sifatnya yang tidak dapat diperbaharui dan juga adanya dominasi kebutuhan
energi dunia dari minyak bumi yang mencapai 63% dari total keseluruhan
sumber energi di dunia. Ditambah lagi adanya pencemaran pada tingkat yang
telah mengkhawatirkan menyebabkan kita harus berpikir keras untuk dapat
mencari solusi energi alternatif lain.
Oleh karena itu, biodiesel dapat menjadi solusi alternatif pengganti minyak
bumi. Adapun keuntungan bahan bakar biodiesel dibanding minyak bumi
adalah sifatnya yang dapat teroksigenasi relatif sempurna (terbakar habis) dan
dapat terurai secara alami (biodegradable) sehingga tidak merusak lingkungan
serta aplikasi langsung pada kendaraan maupun industri yang tidak
membutuhkan modifikasi banyak pada sistem bahan bakar peralatan. Dilain sisi,
Indonesia mempunyai sumber daya hayati yang sangat berlimpah sebagai bahan
baku ini. Saat ini, Indonesia memiliki beberapa industri perminyakan yang
memproduksi biodiesel, salah - satunya yaitu PT Louis Dreyfus Company
Indonesia yang berada di Provinsi Lampung.

1.2 Tujuan Kerja Praktek

Tujuan dari makalah ini adalah untuk memahami biodiesel dan mekanisme
pengolahan biodisel

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sejarah Pembuatan Biodiesel


Dari segi kata biodiesel terdiri dari dua kata yaitu bio yang berarti energi dan
diesel yang berarti bahan bakar. Biodiesel didefinisikan sebagai metil/etil ester
yang diproduksi dari minyak tumbuhan atau hewan dan memenuhi kualitas
untuk digunakan sebagai bahan bakar di dalam mesin diesel. Sedangkan
minyak yang didapatkan langsung dari pemerahan atau pengempaan biji
sumber minyak (oil seed), yang kemudian disaring dan dikeringkan (untuk
mengurangi kadar air), disebut sebagai minyak mentah yang diproses lanjut
guna menghilangkan kadar fosfor (degumming) dan asam-asam lemak bebas
(dengan netralisasi dan steam refining) disebut dengan refined fatty oil atau
straight vegetable oil (SVO).

12
SVO didominasi oleh trigliserida sehingga memiliki viskositas dinamik yang
sangat tinggi dibandingkan dengan solar (dapat mencapai 100 kali lipat,
misalkan pada Castor Oil. Oleh karena itu, penggunaan SVO secara langsung
di dalam mesin diesel umumnya memerlukan modifikasi/penambahan
pemanas bahan bakar sebelum sistem pompa dan injektor bahan bakar untuk
menurunkan harga viskositas. Viskositas bahan bakar yang sangat tinggi akan
menyulitkan pompa bahan bakar dalam mengalirkan bahan bakar ke ruang
bakar. Aliran bahan bakar yang rendah akan menyulitkan terjadinya atomisasi
bahan bakar yang baik. Buruknya atomisasi berkorelasi langsung dengan
kualitas pembakaran, daya mesin dan emisi gas buang.

Bahan baku utama pembuatan biodiesel adalah minyak nabati, lemak hewani
ataupun lemak bebas. Bahan baku yang digunakan mengandung trigliserida
dan asam lemak bebas. Bahan baku lainnya yaitu alkohol. Pada pembuatan
biodiesel dibutuhkan katalis untuk proses esterifikasi, katalis dibutuhkan
karena alkohol larut dalam minyak. Minyak nabati memiliki kandungan asam
lemak bebas lebih rendah dibandingkan dengan asam lemak hewani. Minyak
nabati selain mengandung asam lemak bebas juga mengandung phospholipid
yang dapat dihilangkan pada proses degumming sedangkan asam lemak bebas
dapat dihilangkan pada proses refining (Rahayu, 2013).

Pemanasan bahan bakar sebelum memasuki sistem pompa dan injeksi bahan
bakar merupakan satu solusi yang paling dominan untuk mengatasi
permasalahan yang mungkin timbul pada penggunaan SVO secara langsung
pada mesin diesel. Pada umumnya, orang lebih memilih untuk melakukan
proses kimiawi pada minyak mentah atau refined fatty oil / SVO untuk
menghasilkan metil ester asam lemak (Fatty Acid Methyl Ester - FAME) yang
memiliki berat molekul lebih kecil dan viskositas setara dengan solar sehingga
dapat langsung digunakan dalam mesin diesel konvensional. Biodiesel
umumnya diproduksi dari refined vegetable oil menggunakan proses
transesterifikasi. Proses ini pada dasarnya bertujuan untuk mengubah [tri, di,
mono] gliserida berberat molekul dan berviskositas tinggi yang mendominasi
komposisi refined fatty oil menjadi asam lemak metal ester (FAME).

13
Adapun sifat-sifat dan keutamaan pada bahan bakar biodiesel ialah:
1. Dapat diperbaharui dalam artian bahan baku untuk menghasilkan biodiesel
dapat diperbaharui kembali dengan penanaman kembali tumbuhan yang
menjadi bahan bakunya.
2. Mudah terurai oleh bakteri dalam artian sisa hasil pengolahan dapat dengan
mudah diuraikan kembali oleh bakteri penyebab pembusukan.
3. Tidak memperparah efek rumah kaca karena siklus karbon yang terlibat
pendek.
4. Kandungan energi yang hampir sama dengan kandungan energi petroleum
diesel.
5. Penggunaan biodiesel dapat memperpanjang usia mesin diesel karena
memberikan lubrikasi lebih dari pada bahan bakar petroleum.
6. Memiliki flash point yang tinggi yaitu sekitar 200oC, sedangkan bahan
bakar petroleum diesel hanya memiliki flash point sebesar 70oC.
7. Bilangan setana (cetane number) yang lebih tinggi dari pada petroleum
diesel.

2.2 Macam – Macam Proses Biodiesel

2.2.1 Proses Pirolisis


Menurut Tarwiyah Kemal (2001), pirolisis adalah pembakaran tidak
sempurna pada tempurung kelapa menyebabkan senyawa karbon
kompleks tidak teroksidasi menjadi karbon dioksida.Proses pirolisis
minyak nabati mengalami dekomposisi termal dengan kehadiran
udara/nitrogen (jika tidak diinginkan kehadiran oksigen). Dekomposisi
termal minyak nabati menghasilkan berbagai jenis senyawa termasuk
alkana, alkena, alkadiena, aromatil, dan asam karboksilat. Komposisi hasil
dekomposisi sangat bervariasi tergantung dari minyak nabati yang
digunakan. Fraksi-fraksi cair dari minyak nabati yang terdekomposisi
termal cukup mendekati karakter minyak diesel. Minyak nabati terpirolisis
mengandung jumlah sulfur, air dan endapan dalam jumlah yang dapat

14
diterima, demikian juga dengan korosi tembaganya, namun terdapat juga
abu dan residu karbon dalam jumlah yang tidak diterima. Penggunaan
minyak nabati terpirolisis pada mesin dibatasi untuk pemakaian jangka
pendek.

2.2.2 Proses Mikroemulsifikasi


Proses Mikroemulsifikasi adalah disperse dari minyak, air, sulfaction dan
terkandung suatu molekul ampilik yang digunakan konsurfaction. Hasil
disperse ini adalah suatu tetesan (droplet) yang isotropik, jernih dan stabil
secara termodinamika. Suatu mikroemulsi dapat dibuat dari minyak nabati
dengan ester dan dispersan (kosolven), atau dari suatu minyak nabati,
suatu alkohol dan suatu sulfaction, dengan atau tanpa minyak diesel.
Namun alkohol memiliki kalor penguapan yang tinggi dan karenanya
dapat menurunkan suhu ruang pembakaran dan memudahkan terjadinya
penyumbatan. Suatu mikroemulsi dan metanol dengan minyak nabati
memiliki kelakuan yang mirip dengan minyak diesel.

2.2.3 Transesterifikasi
Berdasarkan kandungan FFA dalam minyak nabati maka proses
pembuatan biodiesel secara komersial dibedakan menjadi 2 yaitu:

1. Transesterifikasi dengan katalis basa (sebagian besar menggunakan


kalium hidrooksida) untuk bahan baku refined oil atau inyak nabati
dengan kandungan FFA rendah.
2. Esterifikasi dengan katakis asam (umumnya menggunakan asam sulfat)
untuk minyak nabati dengan kandungan FFA tinggi dilanjutkan dengan
transesterifikasi dengan katalis basa.

Esterifikasi adalah proses yang menghasilkan metil ester asam lemak


bebas (FFA) dengan alcohol rantai pendek (methanol atau etanol)
menghasilkan metil ester asam lemak (FAME) dan air. Katalis yang

15
digunakan untuk reaksi esterifikasi adalah asam, biasanya asam sulfat
(H2SO4) atau asam fosfat (H3PO4). Proses esterifikasi dengan katilis
asam diperlukan jika minyak nabati mengandung FFA diatas 5%. Jika
minyak berkadar FFA tinggi (>5%) langsung ditransesterifikasi dengan
katalis basa maka FFA akan bereaksi dengan katalis membentuk sabun.
Terbentuknya sabun dalam jumlah yang cukup besar dapat menghambat
pemisahan gliserol dari metil ester dan berakibat terbentuknya emulsi
selama proses pencucian. Jadi esterifikasi digunakan sebagai proses
pendahuluan untuk mengkonversikan FFA menjai metil ester sehingga
mengurangi kadar FFA dalam minyak nabati dan selanjutnya
ditransesterifikasi dengan katalis basa untuk mengkonversikan trigliserida
menjadi metil ester.

Reaksi esterifikasi dapat dilihat pada gambar 2.1 dibawah ini:

Free Fatty Acid Metanol Methyl Ester Air

Gambar 2.1 Reaksi Esterifikasi. Sumber:

Pada PT. LDC Indonesia menggunakan bahan baku dengan kandungan


FFA (<5%) sehingga menggunakan proses transesterifikasi.
Transesterifikasi merupakan suatu reaksi kesetimbangan. Secara
stoikiometris dibutuhkan 3 molekul alkohol untuk setiap molekul
trigliserida yang direaksikan. Untuk memecah trigliserida diperlukan
sebuah katalis yang merupakan zat yang memulai suatu reaksi.

Proses transesterifikasi dipengaruhi oleh berbagai faktor tergantung


kondisi reaksinya (Meher et al. 2004). Faktor tersebut diantaranya adalah
kandungan asam lemak bebas dan kadar air minyak, jenis katalis dan
konsentrasinya, perbandingan molar antara alkohol dengan minyak dan
jenis alkoholnya, suhu dan lamanya reaksi, dan intensitas pencampuran.
Tahapan konversi minyak atau lemak menjadi metil ester bergantung pada

16
mutu awal minyak. Proses konversi dipengaruhi oleh kandungan asam
lemak bebas dan kandungan air. Minyak yang mengandung asam lemak
bebas rendah, dapat langsung dikonversi menjadi metil ester melalui
transesterifikasi. (Freedman et al. 1984).

2.3 Mekanisme dan Efek Transesterifikasi

Berikut ini Gambar 2.2 mengenai Reaksi transesterifikasi adalah sebagai


berikut :

Gambar 2.2 Reaksi Transesterifikasi. Sumber: Robert E. Babcock,dkk., 2014

Untuk reaksi psedo-homogen tiga tahap reaksi metanolisis dapat dituliskan


ditunjukkan pada Gambar 2.3 dibawah ini :

17
Gambar 2.3 Tiga Tahap Proses Transesterifikasi. Sumber: Robert E.
Babcock,dkk., 2014

Trigliserida (juga disebut triasilgliserol, triasilgliserida, atau TAG) adalah


unsur utama minyak nabati dan lemak hewani. Mono, di- dan tri-gliserida
berhubungan dengan asam lemak:

- Monogliserida adalah kondensasi dari satu asam lemak dan gliserol.


- Diglyceride adalah kondensasi dari dua asam lemak dan gliserol.
- Trigliserida adalah kondensasi dari tiga asam lemak dan gliserol.

Berikut ini Gambar 2.3 yang menjelaskan mengenai reaksi dari uraian diatas:

18
Gambar 2.3 Uraian 3 Tahap Transesterifikasi. Sumber: Robert
E. Babcock,dkk., 2014
Dalam standar EN yang digunakan oleh PT. LDC Indonesia , maksimum yang
diijinkan untuk monogliserida, digliserida dan trigliserida adalah 0,80% berat,
0,20% berat dan 0,20% berat.

2.3.1 Tipe, Konsentrasi dan Efek Penggunaan Alkohol


Sharma et al. menyatakan bahwa metanol memiliki gugus hidroksil polar
yang dapat bertindak sebagai pengemulsi yang menyebabkan emulsifikasi
dan menghasilkan kesulitan parah dalam pemisahan lapisan metil ester
dari air. Kelebihan metanol yang tersisa setelah reaksi transesterifikasi
harus dihilangkan sebelum tahap pencucian untuk meminimalkan
keberadaan alkohol dalam limbah cair.

Penggunaan metanol pada suhu superkritis bisa saja dilakukan sehingga


proses transesterifikasi bisa terjadi tanpa adanya katalis yang jauh lebih
sederhana dimana kondisi asam lemak bebas (FFA) akan tersesterifikasi
menjadi metil ester tinggi akibat tidak ada pengaruh penambahan air, dan
juga waktu transesterifikasi yang digunakan lebih singkat. Konversi yang
dihasilkan mencapai penyelesaian 95% dalam 10 menit ( Demirbas,
2005). Pengguanan perbandingan rasio mol minyak : alkohol yaitu sebesar
1 : 42 dimana bahan baku dan metanol dibebankan ke reaktor dengan suhu
dan tekanan di luar titik kritis metanol (Tc = 240 ° C, Pc = 1.140 psia, lihat
Gambar 2.4). Konsep dasar perawatan metanol superkritis didasarkan
pada efek suhu dan tekanan pada sifat termofisik metanol, seperti
viskositas, difusivitas, densitas, dan polaritas. Ketika diperlakukan di luar
titik kritisnya, metanol tidak lagi memiliki fase cair atau uap yang
berbeda, melainkan fase cair tunggal. Dengan perubahan fase ini, metanol
memiliki peningkatan difusivitas massa, penurunan viskositas, dan
kepadatan yang dapat dimanipulasi dalam kisaran besar melalui
perubahan suhu dan tekanan yang relatif kecil. Sifat-sifat cairan ini
memungkinkan metanol superkritis digunakan sebagai pelarut dengan

19
karakteristik perpindahan massa yang unggul (R. E. Babcock, P. I., 2014).
Namun tidak disarankan untuk dilakukan karena membutuhkan suhu
reaksi yang tinggi 250 - 400°C (525 - 675 K) dan tekanan yang besar 35 -
60 MPa (350 - 600 kg / cm2) (Demirbas, 2005).

Gambar 2.4 Diagram Phase Metanol. Sumber:


Perry,1999.

Rasio minyak terhadap alkohol memainkan peran penting dalam


menentukan kemurnian FAME. Semakin rendah rasio semakin sedikit
kompleksitas proses pemisahan dan pemurnian. Perbandingan molar
alkohol dengan trigliserida adalah 3:1, namun untuk mendorong reaksi
agar bergerak ke kanan (untuk memperoleh konversi metil ester yang
maksimum) maka rasio yang dibutuhkan lebih dari itu, yaitu dengan cara
menggunakan alkohol dalam jumlah yang berlebih atau salah satu produk
yang dihasilkan harus dipisahkan. Banyak penelitian telah menunjukkan
bahwa transesterifikasi dengan metanol lebih praktis daripada dengan
etanol. Metanol lebih disukai karena biayanya yang rendah dan
keuntungan fisik dan kimianya (Demirbas, 2005). Keuntungan lain dari
menggunakan metanol adalah pemisahan gliserin, di mana dapat
diperoleh melalui dekantasi sederhana (Nagi et al., 2008).

20
Ali N. Eman dan Tay Isis Cadence, meneliti karakteristik biodiesel yang
dihasilkan dari minyak sawit menggunakan proses transesterifikasi yang
dikatalisis dasar. Untuk menemukan kondisi terbaik untuk produksi
biodiesel, tiga variabel penting dipilih seperti suhu reaksi 40, 50, dan 60 °
C, waktu reaksi 40, 60 dan 80 menit. dan rasio metoksida 4: 1, 6: 1 dan 8:
1. Setelah melakukan percobaan pada variabel-variabel ini menggunakan
kombinasi yang berbeda, hasil tertinggi 88% dicapai dengan
menggunakan suhu reaksi 60 ° C, waktu reaksi 60 menit dan perbandingan
metoksida 6: 1, dan karakteristik fisik yang diperoleh dari hasil akhir
biodiesel optimal berada dalam ASTM D 6751 dan Standar Eropa EN
14214. Data hasil penelitian tersebut terdapat pada tabel dibawah ini :

Tabel 2.1 Hasil Yield Biodisel dengan Variasi Parameter

Sumber: Eman N. Alia, Cadence Isis Taya

Kondisi alkoholisis klasik diatas juga dijelaskan oleh Freedman et al.


(1984) termasuk reaksi TAG (Trigliserida) dengan kelebihan enam
ekivalen molar metanol (berkenaan dengan TAG) dan katalis alkali 0,5

21
persen (berat.%) (Berkenaan dengan TAG) pada 60 ° C selama 1 jam
untuk menghasilkan asam lemak metil ester (FAME, biodiesel) dan
gliserol.

Sharma et al. melaporkan bahwa meningkatkan rasio molar metanol


terhadap minyak melebihi rasio 6 : 1, tidak meningkatkan hasil produk
atau konten ester, melainkan membuat proses pemulihan ester menjadi
rumit dan mengurangi biaya. Van Gerpen et al. menyatakan bahwa karena
kelarutan gliserol rendah dalam ester alkil, pemisahan biasanya terjadi
dengan cepat dan dilakukan dengan tangki pengendapan, dan adanya
penambahan air ke campuran reaksi setelah reaksi transesterifikasi dapat
meningkatkan pemisahan ester alkil dan produk sampingnya, gliserol.
Dalam karyanya, ia mengungkapkan bahwa metanol yang tidak bereaksi
cenderung bertindak sebagai penstabil dan dapat memperpanjang proses
pemisahan sehingga menguntungkan apabila menghilangkan metanol
yang tidak bereaksi sebelum pemisahan fase. Dari beberapa uraian diatas
PT. LDC Lampung menggunakan kondisi rasio molar metanol : minyak
yaitu 6 : 1 dalam waktu 60 menit sehingga mendapat hasil sebesar 88 %.

2.3.2 Tipe, Konsentrasi, dan Efek Penggunaan Katalis


Pada kondisi sekitar, trigliserida dan asam lemak bebas, yang keduanya
merupakan senyawa non-polar, tidak terlalu larut dalam metanol
(senyawa polar ). Oleh karena itu, ketika metanol dikombinasikan dengan
trigliserida atau asam lemak bebas tanpa menggunakan katalis alkali atau
asam (masing-masing) sistem reaksi pada dasarnya heterogen. Dengan
demikian, dua fase tidak larut terbentuk, memungkinkan sangat sedikit
kontak antara reaktan. Kurangnya kontak intim ini menjelaskan waktu
reaksi yang panjang, lebih dari 10 jam, yang diperlukan untuk produksi
biodiesel tanpa menggunakan katalis (R. E. Babcock, P. I, 2014).

22
Penambahan katalis membantu mempromosikan serangan nukleofilik
metanol pada kelompok karboksil dalam bahan baku, meningkatkan laju
reaksi untuk esterifikasi atau transesterifikasi. Katalis yang digunakan
dalam pembuatan biodiesel dapat berupa katalis basa maupun katalis
asam. (Kirk & Othmer, 1980). Katalis basa memiliki kemampuan
katalisator yang tinggi serta harganya yang relatif lebih murah
dibandingkan dengan katalis asam. Namun, untuk mendapatkan performa
proses yang baik, penggunaan katalis basa dalam reaksi transesterifikasi
memiliki beberapa persyaratan penting, diantaranya alkohol yang
digunakan harus dalam keadaan anhidrous dengan kandungan air < 0.1 -
0.5 % serta minyak yang digunakan harus memiliki kandungan asam
lemak bebas < 0.5% (Lotero et al., 2005).

Helwani et al. membahas kelebihan dan kekurangan penggunaan katalis


homogen (alkali dan asam) dan katalis heterogen (padatan dan enzim)
dalam produksi industri FAME. Katalis homogen penting untuk produksi
FAME industri karena konversi yang mudah pada suhu sedang (40 -
65˚C), tetapi dihadapkan dengan masalah pemurnian. Namun, katalis
heterogen diperkenalkan dalam produksi FAME untuk menghindari
beberapa langkah netralisasi dan pencucian yang diperlukan untuk proses
menggunakan katalis homogen. Para ilmuwan mengungkapkan
kemurnian metil ester melebihi 99%, dengan hasil mendekati 100%,
gliserol sebagai produk sampingan dengan kemurnian lebih dari 98%
dibandingkan dengan sekitar 80% dari proses homogen. Katalis alkali
Sodium Methylate digunakan, akan menghilangan beberapa proses
pemurnian, dan lebih sedikit air limbah meskipun membutuhkan waktu
reaksi lebih lama. Di samping itu, hasil yang lebih tinggi dan
kemungkinan daur ulang katalis dapat dilakukan. Namun dikarenakan
katalis heterogen cenderung lebih mahal dibanding katalis homogen
sehingga PT. LDC Lampung menggunakan katalis homogen yaitu
Sodium Metilat dikarenakan merupakan katalis homogen yang
memerlukan lebih sedikit air limbah sehingga lebih efisien dalam proses
pemisahan.

23
2.3.3 Efek Air dan Free Fatty Acid ( FFA )

Trigleserida merupakan komponen terbesar pada minyak dan lemak yaitu


> 95%, sisanya adalah asam lemak bebas dan lainnya.Asam lemak yang
tidak terikat pada gliserol disebut asam lemak bebas ( free fatty acid ).
Kandungan asam lemak bebas pada minyak sawit kasar sekitar 3 – 5 %.

Saat reaksi transesterifikasi, FFA tidak dapat dikonversi menjadi biodiesel


secara langsung karena dalam keadaan basa, sebagai gantinya membentuk
sabun yang membatasi perpindahan massa antar fase, secara signifikan
mengurangi laju reaksi kimia dan selektivitas terhadap biodiesel, dan
semakin mempersulit pemisahan fase setelah penyelesaian reaksi (Aranda
et al., 2008 ). Pemulihan residu FFA juga sulit dan tidak layak secara
ekonomi (Aranda et al., 2008).

Pada saat suhu tinggi, air dapat menghidrolisis trigliserida menjadi


digliserida dan membentuk FFA. Sedangkan, pembetukan Sabun
diakibatkan penambahan air pada suhu rata - rata dimana FFA akan
bereaksi dengan katalis membentuk sabun. Hal ini dapat digambarkan
pada proses transesterifikasi dengan katalis natrium hidroksida atau
kaliaum hidrosida. Air dapat memisahkan natrium atau kalium dari
hidroksida, dan ion Na+ dan K+ dapat bereaksi dengan asam lemak bebas
untuk membentuk sabun. Gambar 2.5 menunjukkan bagaimana air dapat
membantu membentuk asam lemak bebas, dan asam lemak bebas dapat
bereaksi dengan ion Na+ untuk membentuk sabun. Natrium yang
digunakan untuk katalis sekarang terikat dengan asam lemak dan tidak
dapat digunakan. Ini juga mempersulit pemisahan dan pemulihan. Semua
minyak mungkin secara alami mengandung asam lemak bebas. Minyak
nabati olahan mengandung kurang dari 1%, sedangkan minyak nabati
mentah memiliki 3%, minyak limbah 5%, dan lemak hewani 20%. Lemak
hewani adalah bahan baku yang kurang diinginkan.

24
Gambar 2.5 A. Reaksi Samping Trigleseria Dengan Air (Pada suhu kritis
air). Sumber : BEEMS Modul B4

Gambar 2.5 B. Pembentukan Sabun ( Pembentukan Asam lemak bebas


dapat bereaksi dengan ion alkali membentuk sabun). Sumber : BEEMS
Modul B4

2.3.4 Pembentukan Sterol Glukosida (SG)


Kontaminan yang baru-baru ini terbukti menyebabkan masalah bahan
bakar dan filterabilitas adalah SG, yang dianggap tidak dapat disahkan.
Bentuk SG terasilasi, yang dikenal sebagai asil sterol glikosida (ASG),
ditemukan dalam sel tumbuhan dan hewan dan merupakan bagian dari
lapisan fosfolipid yang membentuk dinding membran di dalam sel. ASG
sangat larut dalam minyak, namun demikian langkah degumming dalam
proses pemurnian minyak dapat menurunkan konsentrasinya. Selama
reaksi transesterifikasi, rantai ASG terasilasi dihilangkan menghasilkan
SG. SG ini tidak larut dalam biodiesel dan mengkristal keluar dari solusi,
menciptakan kabut bahan bakar. Tidak seperti MG atau DG, SG tidak
dapat dipanaskan dan dilarutkan kembali karena titik lelehnya yang tinggi
(240ᵒC). Kehadiran SG pada tingkat serendah 30 ppm dapat menyebabkan
pembentukan kabut bahan bakar, bahkan pada suhu kamar. SG berbeda
dari sterol bebas dan tokoferol, yang telah terbukti memiliki efek positif
pada masa penyimpanan, karena sifat antioksidannya. Jika SG hadir dalam

25
konsentrasi yang cukup tinggi, ia dapat mengkristal dan menetap di dasar
wadah penyimpanan. Suhu dingin dapat membuat SG bertindak sebagai
biji kristal untuk kontaminan lain, seperti MG dan DG (Alessandro Gabriel
Montpetit, 2015).

2.4 Proses Batch Pada Pembuatan Biodiesel


Dibawah ini adalah proses pembuatan biodiesel secara batch sebagai berikut
:

26
DAFTAR PUSTAKA

Aranda, C., Luna, L., Bosio, L. y M. Berón 2008. A case of multiple metastasis in
late Holocene hunter-gatherers from argentine Pampean region. International
Journal of Osteoarchaeology 18: 492-506.

Alessandro Gabriel Montpetit, 2015. “Measurement and Separation of Sterol


Glycosides in Biodiesel and FAME”. Department of Biological and Chemical
Engineering University of Ottawa

Cetinkaya, Merve, and Filiz Karaosmanoglu. “Optimization of Base-Catalyzed


Transesterification Reaction of Used Cooking Oil”, Energy & Fuels 18 (2004):
1888-1895.

Demirbas, A., 2005. “Biodiesel Production From Vegetable Oils by Supercritical


Methanol”. Journal of Scintific & Industrial Research Vol. 64, pp. 858-865

Demirbas, A., 2009. “Production of FAME fuels from linseed oil using methanol
and ethanol in non-catalytic SCF conditions.” Biomass Bioener., 33: 113–118.

Desmet Ballestra, 2016. Biodiesel Manual Book Production, Louis Dreyfus


Company

Dharsono, Wulandari. 2010. “Proses Pembuatan Biodiesel dari Dedak dan Metanol
dengan Esterifikasi In Situ”. Skripsi. Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik,
Universitas Diponegoro.

Eman N. Alia,*, Cadence Isis Taya , 2013. “Characterization of Biodiesel Produced


from Palm Oil via Base Catalyzed Transesterification” Procedia Engineering 53
( 2013 ) 7 – 12

27

Anda mungkin juga menyukai