Anda di halaman 1dari 42

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Krisis energi merupakan masalah yang dihadapi dunia, hal ini disebabkan sumber
energi utama yang diandalkan untuk mencukupi kebutuhan energi sebagian besar
berasal dari minyak bumi. Salah satu contoh energi yang berasal dari minyak bumi
adalah bahan bakar. Bahan bakar yang selama ini berasal dari minyak bumi, perlu
dicari sumber pengganti lainnya yang dapat diperbaharui. Energi yang dapat
diperbaharui salah satunya yaitu biodiesel. Beberapa kelebihan biodiesel yaitu
mengurangi emisi gas-gas beracun seperti, mengurangi senyawa karsinogenik dan
meningkatkan pelumasan mesin.

Dalam pembuatan biodiesel dapat dimanfaatkan hewan maupun tumbuhan


sebagai bahan bakunya. Keunggulan pemanfaatan hewan sebagai bahan baku
pembuatan biofuel, di antaranya ketersediaan yang bersifat berkelanjutan dan
dapat diperbaharui sehingga pemenuhannya dapat terjamin, dari segi lingkungan
biofuel lebih ramah lingkungan. Salah satu alternatif bahan baku yang dapat
digunakan untuk pembuatan biodiesel adalah ulat hongkong (Yellow Mealworm
Beetle) seperti pada Gambar 1.1

Gambar 1.1 Ulat hongkong (Yellow Mealworm Beetle)

1
Ulat hongkong atau Yellow Mealworm Beetle (YMB) merupakan serangga yang
dapat dijadikan bahan baku untuk biodiesel. Setiap induk YMB dapat bertelur
sekitar 300 telur yang dapat menetas dalam waktu 10-14 hari. YMB ini umumnya
digunakan sebagai pakan burung kicau. Meskipun YMB banyak dimanfaatkan,
ketersediaannya bersifat berkelanjutan karena waktu berkembangbiak relatif
cepat. Sehinga dapat menjadi pilihan sebagai sumber bahan baku biodiesel.
Penelitian pembuatan biodiesel dari minyak hewani tidak sebanyak minyak
nabati. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang pengaruh
tahapan proses terhadap hasil perolehan biodiesel dari sumber-sumber minyak
hewani tersebut.

1.2 Rumusan Masalah

Bertalian dengan latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang dapat
dirumuskan adalah sebagai berikut:
1. Mengapa minyak ulat hongkong (Yellow Mealworm Beetle) dapat digunakan
sebagai bahan baku biodiesel?
2. Bagaimana pemanfaatan minyak ulat hongkong (Yellow Mealworm Beetle)
sehingga menjadi bahan baku biodiesel?
3. Bagaimana pengaruh waktu operasi dan rasio pelarut dan minyak ulat
hongkong (Yellow Mealworm Beetle) terhadap densitas, viskositas, bilangan
iod, nilai kalor dan kandungan biodiesel?

1.3 Tujuan Penelitian

Bertalian dengan latar belakang dan rumusan masalah diatas, adapun tujuan yang
ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk:
1. mengetahui kandungan minyak ulat hongkong (Yellow Mealworm Beetle)
sehingga dapat dijadikan bahan baku biodiesel;

BAB I PENDAHULUAN 2
2. memanfaatkan minyak ulat hongkong (Yellow Mealworm Beetle) sebagai
bahan baku biodiesel;
3. mengetahui pengaruh waktu operasi dan rasio reaktan minyak ulat hongkong
(Yellow Mealworm Beetle) terhadap densitas, viskositas, bilangan iod, nilai
kalor dan kandungan biodiesel.

1.4 Ruang Lingkup

Penelitian ini dilakukan dengan batasan – batasan sebagai berikut:


1. Minyak yang digunakan adalah minyak ulat hongkong (Yellow Mealworm
Beetle);
2. Jenis alkohol yang digunakan pada pembuatan biodiesel adalah methanol;
3. Katalis yang digunakan CaO;
4. Reaktan yang digunakan Metanol dan Minyak ulat hongkong (Yellow
Mealworm Beetle). Reaksi dilakukan selama 45, 60, 75, dan 90 menit dengan
temperatur 65oC. Biodiesel didiamkan selama 3 jam;
5. Menganalisis biodiesel dengan uji densitas, viskositas, bilangan iod, nilai kalor
dan kandungan biodiesel dengan GCMS.

1.5 Sistematika Penulisan

Pada karya ilmiah ini, akan dipaparkan mengenai energi alternatif (Biofuel).
Biodiesel akan diproduksi dengan memanfaatan minyak ulat hongkong sebagai
bahan baku. Kandungan biodiesel yang dihasilkan akan dibandingkan dengan
kandungan biodiesel standar dan biodiesel dari bahan baku lainnya. Pada
pembuatan biodiesel, digunakan katalis CaO (Kalsium Oksida) sebagai katalis
basa pada proses transesterifikasi. Minyak ulat hongkong akan direaksikan
dengan alkohol yaitu metanol untuk reaksi transesterifikasi pembentukan metal
ester. Aspek yang diteliti meliputi karakteristik minyak biodiesel, viskositas,
densitas, bilangan iod dan bilangan asam.

BAB I PENDAHULUAN 3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Biodiesel secara umum adalah bahan bakar mesin diesel yang terbuat dari bahan
terbarukan atau secara khusus merupakan bahan bakar mesin diesel yang terdiri atas
ester alkil dari asam asam lemak. Biodiesel tersusun dari berbagai macam ester
asam lemak yang dapat diproduksi dari minyak tumbuhan maupun lemak hewan.
Minyak tumbuhan yang sering digunakan antara lain minyak sawit (palm oil),
minyak kelapa, minyak jarak pagar dan lain-lain. Sedangkan lemak hewani seperti
lemak babi, lemak ayam, lemak sapi, dan juga lemak yang berasal dari ikan.

Biodiesel disintesis dari ester asam lemak dengan rantai karbon antara C6 - C22
dengan reaksi transesterifikasi. Biodiesel bisa digunakan dengan mudah karena
dapat bercampur dengan segala komposisi minyak solar, mempunyai sifat-sifat
fisik yang mirip dengan solar biasa sehingga dapat diaplikasikan langsung untuk
mesin-mesin diesel yang ada hampir tanpa modifikasi (Prakoso, 2003). Bahan-
bahan mentah pembuatan biodiesel adalah:

a) Trigliserida-trigliserida, yaitu komponen utama aneka lemak dan minyak-


lemak, dan
b) Asam-asam lemak, yaitu produk samping industri pemulusan (refining)
lemak dan minyak-lemak.

Bahan bakar yang ada sekarang ini, umumnya diproduksi atau berasal dari minyak
bumi. Minyak bumi atau bahan bakar fosil yang digunakan sekarang ini sangat
terbatas jumlahnya. Hal ini dikarenakan proses adanya kembali minyak bumi yang
membutuhkan waktu ratusan bahkan jutaan tahun. Dengan keadaan sekarang ini,
sangat diperlukan sumber bahan bakar lain yang dapat menggantikan minyak bumi.

4
Biodiesel merupakan salah satu bahan bakar mesin diesel yang ramah lingkungan
dan dapat diperbarui (renewable). Biodiesel dapat dibuat dari minyak nabati,

minyak hewani atau dari minyak goreng bekas/daur ulang. Biodiesel merupakan
monoalkil ester dari asam-asam lemak rantai panjang yang terkandung dalam
minyak nabati atau lemak hewani untuk digunakan sebagai alternatif yang paling
tepat untuk menggantikan bahan bakar mesin diesel. Biodiesel bersifat
biodegradable, dan hampir tidak mengandung sulfur. Alternatif bahan bakar terdiri
dari metil atau etil ester, hasil transesterifikasi baik dari triakilgliserida (TG) atau
esterifikasi dari asam lemak bebas (FFA).

2.1 Biodiesel

Biodiesel adalah suatu ester monoalkil dari asam lemak rantai panjang, yang
berasal dari sumber yang dapat diperbaharui, seperti minyak tumbuhan dan lemak
hewan, yang dapat digunakan dalam mesin diesel. Kandungan utama biodiesel
adalah metil ester asam lemak yang dihasilkan dari trigliserida dalam minyak nabati
dan lemak hewan melalui reaksi transesterifikasi dengan metanol. Biodiesel
memiliki karakterisasi yang sama dengan bahan bakar diesel konvensional, karena
itu biodiesel dapat dijadikan sebagai bahan bakar alternatif bagi bahan bakar diesel
konvensional. Sumber (Gerpen, 2004). Dalam penggunaanya, biodiesel dapat
digunakan langsung dalam mesin diesel tanpa harus ada modifikasi pada mesin
terlebih dahulu (dikenal dengan B100) atau dipakai untuk campuran bahan bakar
diesel misalnya B20 (campuran 20% biodiesel, 80% diesel konvensional).

Penggunaan biodiesel sebagai bahan bakar alternatif memiliki kelebihan


dibandingkan dengan penggunaan bahan bakar diesel konvensional, seperti:
1) Merupakan bahan bakar yang lebih ramah lingkungan karena tidak mengandung
sulfur bebas, halogen dan kadar abu yang rendah.
2) Bilangan setana lebih tinggi dari 60, sehingga efisiensi pembakaran lebih baik.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5


3) Biodegradable, sehingga dapat terurai oleh lingkungan.
4) Merupakan energi yang dapat diperbaharui karena bahan baku utamanya adalah minyak
nabati.
5) Meningkatkan independensi suplai bahan bakar suatu negara karena pemilihan bahan
bakunya dapat memanfaatkan kondisi geografis negara tersebut.
(Nathasya Pamata, 2008)

2.1.1 Karakteristik Biodiesel

Biodiesel tidak mengandung nitrogen atau senyawa aromatik dan hanya mengandung kurang
dari 155 ppm (part per million) sulfur. Biodiesel mengandung 11% oksigen dalam persen
berat yang keberadannya mengakibatkan berkurangnya kandungan energi namun
menurunkan kadar emisi gas buang yang berupa karbon monoksida (CO), Hidrokarbon
(HC), partikulat dan jelaga. Kandungan energy biodiesel 10% lebih rendah bila
dibandingkan dengan diesel. Sedangkan efisiensi bahan bakar biodiesel lebih kurang dapat
dikatakan sama dengan diesel. Kandungan asam lemak dalam minyak nabati yang
merupakan bahan baku dari biodiesel menyebabkan bahan bakar biodiesel tidak stabil
dibandingkan dengan diesel, ketidakstabilan ini dapat meningkatkan kandungan asam lemak
bebas, menaikkan viskositas, mengakibatkan terbentuknya gums, dan sedimen sehingga
dapat menyumbat saringan bahan bakar.

Biodiesel memiliki sifat melarutkan (solvency). Hal ini menyebabkan suatu permasalahan,
dimana apabila digunakan pada mesin diesel yang sebelumnya telah lama menggunakan
diesel dan didalam tankinya telah terbentuk kerak dan sedimen, maka biodiesel akan
melarutkan kerak dan sedimen tersebut, sehingga dapat menyumbat saringan dan saluran
bahan bakar. Oleh karena itu apabila kandungan sedimen dan kerak didalam tangki bahan
bakar cukup tinggi sebaiknya diganti sebelum digunakan biodiesel. Beberapa material
seperti kuningan, tembaga, timah, dan seng dapat mengoksidasi biodiesel dan menghasilkan
sedimen, untuk mencegah hal ini maka sebaiknya tanki terbuat dari bahan stainless steel atau
alumunium.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6
2.1.2 Standar Mutu biodiesel

Spesifikasi bahan bakar minyak biodiesel menurut SNI (Standar Nasional Indonesia) dapat
dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Standar SNI untuk Biodiesel SNI 7182:2012 (Badan Standarisasi Nasioal
(BSN), 2015)
No Parameter Satuan Nilai
1 Angka Setana - min 51
2 Viskositas kinematik 40 °C Mm2/s (cSt) 2,3 - 6,0
3 Massa jenis pada 40°C kg/m3 850 - 890
4 Nilai kalor Kcal/Kg Maks. 9938,76
5 Titik nyala (mangkok tertutup) °C min 100
6 Titik kabut °C maks. 18
7 Air dan sedimen %-vol. maks 0,05
8 Angka iodium %-massa (gI2/100 g) maks. 115
9 Angka asam mg-KOH/g maks 0,6
Residu karbon :
10 - Dalam contoh asli %-massa maks 0,05
- Dalam 10 % ampas distilasi maks 0,30
11 Temperatur distilasi 90 % °C 360
12 Abu tersulfatkan %-massa maks 0,02
13 Belerang (mg/kg) maks 100
14 Fosfor (mg/kg) maks 10
15 Gliserol bebas %-massa maks 0,02
17 Kadar asetil alkil %-massa min 96,5
18 Metode rancimat Menit 360
19 Indeks bias - 1,3 – 1,45

1. Angka Setana
Untuk bahan bakar motor diesel digunakan acuan Angka Setana, yaitu dengan bahan
referensi normal cetane (C16H34) yang tidak memiliki keterlambatan menyala dan
aromat methyl naphtalene (C10H7CH3) yang keterlambatannya besar sekali. Angka
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 7
Setana dari biodiesel sebesar minimal 51 sedangkan standar dari solar sebesar 48.
Bilangan setana menunjukkan seberapa cepat bahan bakar mesin diesel yang dapat
diinjeksikan ke ruang bahan bakar agar terbakar secara spontan.

Bilangan setana dari minyak diesel konvensional dipengaruhi oleh struktur hidrokarbon
penyusun. Semakin rendah bilangan cetana maka semakin rendah pula kualitas
penyalaan karena memerlukan suhu penyalaan yang lebih tinggi (Hendartono, T., 2005).
Semakin tinggi angka setana, semakin cepat pembakaran semakin baik efisiensi
termodinamisnya. Angka setana yang tinggi berpengaruh signifikan terhadap waktu
singkat yang diperlukan antara bahan bakar diinjeksikan dengan inisiasi sehingga
menyebabkan start yang baik dan suara yang halus pada mesin. Angka setana yang lebih
tinggi akan memastikan start yang baik dan meminimalkan pembentukan asap putih.

2. Kinematic Viscosity
Viskositas merupakan sifat fluida yang menunjukkan resistensi fluida terhadap
alirannya, karena gesekan di dalam bagian cairan yang berpindah dari suatu tempat ke
tempat yang lain mempengaruhi pengatoman bahan bakar dengan injeksi kepada ruang
pembakaran, akibatnya terbentuk pengendapan pada mesin. Viskositas yang tinggi atau
fluida masih lebih kental akan mengakibatkan kecepatan aliran akan lebih lambat
sehingga proses derajat atomisasi bahan bakar akan terlambat pada ruang bakar. Untuk
mengatasi hal ini perlu dilakukan proses kimia yaitu transesterifikasi untuk menurunkan
nilai viskositas minyak nabati sampai mendekati viskositas solar.

Pada umumnya viskositas minyak nabati jauh lebih tinggi dibandingkan viskositas
solar, sehingga biodiesel turunan minyak nabati masih mempunyai hambatan untuk
dijadikan sebagai bahan bakar pengganti solar. Standar Kinematik viscosity dari
biodiesel adalah sebesar 2,3 cSt sampai 6 cSt. Jika harga viskositas terlalu tinggi maka
akan besar kerugian gesekan di dalam pipa, kerja pompa akan berat, penyaringannya
sulit dan kemungkinan kotoran ikut terendap besar, serta sulit mengabutkan bahan
bakar. Sebaliknya jika viskositas terlalu rendah berakibat pelumasan yang tipis, jika
dibiarkan terus menerus akan mengakibatkan keausan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 8


3. Massa Jenis (Densitas)
Massa jenis menunjukkan perbandingan massa persatuan volume, karakteristik ini
berkaitan dengan nilai kalor dan daya yang dihasilkan oleh mesin diesel persatuan
volume bahan bakar.

4. Nilai Kalor
Nilai kalor adalah suatu angka yang menyatakan jumlah panas /kalori yg dihasilkan dari
proses pembakaran sejumlah tertentu bahan bakar dengan udara/oksigen.

5. Tititk Nyala (Flash Point)


Titik nyala adalah titik temperatur terendah dimana bahan bakar dapat menyala ketika
bereaksi dengan udara. Bila nyala terjadi secara terus menerus maka suhu tersebut
dinamakan titik bakar (fire point). Titik nyala yang terlampau tinggi dapat menyebabkan
keterlambatan penyalaan sementara apabila titik nyala terlampau rendah akan
menyebabkan timbulnya denotasi yaitu ledakan kecil yang terjadi sebelum bahan bakar
masuk ruang bakar. Hal ini juga dapat meningkatkan resiko bahaya saat penyimpanan.
Semakin tinggi titik nyala dari suatu bahan bakar semakin aman penanganan dan
penyimpanannya.

6. Titik Kabut (Cloud Point)


Titik kabut adalah temperatur pada saat bahan bakar mulai tampak “berawan” (cloudy),
hal ini timbul karena munculnya kristal-kristral (padatan) di dalam bahan bakar.
Walaupun bahan bakar masih bisa mengalir, pada titik ini keberadaan kristal di dalam
bahan bakar dapat mempengaruhi kelancaran aliran bahan bakar di dalam filter, pompa,
dan injector. Sedangkan titik tuang (pour point) adalah temperatur terendah yang masih
memungkinkan terjadinya aliran bahan bakar. Di bawah pour point bahan bakar tidak
lagi bisa mengalir karena terbentuknya kristal yang menyumbat aliran bahan bakar dan
cloud point terjadi pada

Pada umumnya pour dan cloud point biodiesel lebih tinggi dibandingkan dengan solar.
Untuk mengatasi hal itu dapat dipergunakan pencampuran biodiesel dengan solar, atau
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 9
menambahkan adatif tertentu pada biodiesel untuk mencegah terjadinya kristal- kristal
yang terbentuk pada biodiesel (Indartono, 2006).

7. Air (Water Contain)


Pada negara yang mempunyai musim dingin kandungan air yang terkandung dalam
bahan bakar dapat membentuk kristal yang dapat menyumbat aliran bahan bakar. Selain
itu keberadaan air dapat menyebabkan korosi dan pertumbuhan mikroorganisme yang
juga dapat menyumbat aliran bahan bakar. Sedimen dapat menyebabkan penyumbatan
dan juga kerusakan mesin (Indartono, 2006).

8. Bilangan Iodine (Number iodine)


Angka iodine pada biodiesel menunjukkan tingkat ketidakjenuhan senyawa penyusun
biodiesel, padahal disisi lain keberadaan senyawa tak jenuh meningkatkan performansi
biodiesel pada temperatur rendah karena senyawa ini memiliki titik leleh (melting point)
yang lebih rendah sehingga berkorelasi pada cloud dan pour point yang juga rendah.
Namun di sisi lain banyak senyawa lemak tak jenuh di dalam biodiesel yang
memudahkan senyawa itu bereaksi dengan oksigen di atmosfer dan bisa terpolimerisasi
membentuk material serupa plastik. Oleh karena itu terdapat batasan maksimal harga
iodine yang diperbolehkan untuk biodiesel yaitu 115 berdasarkan standard SNI
Biodiesel. Pengaruh naiknya ketidakjenuhan metil ester dapat menyebabkan gas CO2
bertambah. Besarnya derajat ketidakjenuhan berhubungan dengan bilangan iodine.
Semakin panjang rantai karbon semakin rendah emisi gas buang CO2 dan semakin
tinggi bilangan iodine semakin rendah emisi gas buang CO2 yang dihasilkan (Indartono,
2006)
9. Bilangan Asam
Bilangan asam adalah ukuran dari jumlah asam lemak bebas, serta dihitung berdasarkan
berat molekul dari asam lemak atau campuran asam lemak. Bilangan asam dinyatakan
sebagai jumlah milligram KOH 0,1 N yang digunakan untuk menetralkan asam lemak
bebas yang terdapat dalam 1 gram minyak atau lemak. Bilangan asam di dalam bahan
bakar dapat mempengaruhi sifat korosinya terhadap mesin. Semakin tinggi bilangan
asam maka korosivitasnya semakin tinggi (Auliya, 2008).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 10


2.1.3 Proses Pembuatan Biodiesel

Biodiesel dapat dihasilkan menggunakan du acara yaitu transesterifikasi dan esterifikasi.

2.1.3.1 Transesterifikasi

Reaksi transesterifikasi atau biasa diketahui juga sebagai reaksi alkoholisis. Reaksi
transesterifikasi yang terjadi yaitu trigliserida dalam minyak direaksikan dengan alkohol
membentuk alkil ester. Alkohol yang digunakan dalam reaksi transesterifikasi yaitu metanol.
Secara umum, reaksi transesterifikasi trigliserida dengan metanol adalah sebagai berikut:

Gambar 2.1 Reaksi Transesterifikasi

Proses transesterifikasi dipengaruhi oleh berbagai faktor tergantung kondisi reaksinya


(Meher dkk, 2004). Faktor tersebut di antaranya adalah kandungan asam lemak bebas dan
kadar air dari minyak, jenis katalis dan konsentrasinya, perbandingan molar antara alkohol
dengan minyak dan jenis alkoholnya, suhu dan lamanya reaksi, intensitas pencampuran dan
penggunaan co-solvent organik. Kualitas metil ester dipengaruhi oleh kualitas minyak
(feedstock), komposisi asam lemak dari minyak, proses produksi dan bahan lain yang
digunakan dalam proses dan parameter pasca-produksi seperti kontaminan (Gerpen, 2004).
Kontaminan tersebut diantaranya adalah bahan tak tersabunkan, air, gliserin bebas, gliserin
terikat, alkohol, FFA, sabun, residu katalis. Definisi metil ester adalah ester lemak yang
dibuat melalui proses esterifikasi asam lemak dengan metil alkohol, berbentuk cairan. Metil
ester memiliki sifat tidak korosif (seperti halnya asam lemak nabati), lebih tahan terhadap
oksidasi dan tidak mudah berubah warna.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 11
Gambar 2.2 Mekanisme transesterifikasi basa

Gambar 2.3 Mekanisme Transesterifikasi Asam


BAB II TINJAUAN PUSTAKA 12
2.1.3.2 Esterifikasi

Biodiesel biasanya diproduksi dari minyak dengan kualitas tinggi melalui proses
transesterfikasi yang sulit terjadi jika kadar asam lemak bebas pada minyak lebih dari 3%.
Pada pembuatan biodiesel kandungan asam lemak yang tinggi menjadi tantangan tersendiri.
Asam lemak yang tinggi ini tidak diinginkan pada saat dilakukan transesterifikasi basa
karena dapat membentuk sabun, mengurangi yield yang diperoleh, dan meningkatkan
kesulitan pada saat pemisahan produk. Sehingga dilakukan proses dua tahap yaitu
esterifikasi asam sebagai pretreatment untuk menurunkan kadar asam lemak bebas dan
transesterifikasi basa untuk menghasilkan biodiesel. (Chai, 2014). Selain itu, jika ALB
masih terdapat dalam biodiesel, akan meningkatkan nilai bilangan asam di atas standar
sehingga dapat mengakibatkan korosi pada mesin diesel. Esterifikasi adalah reaksi asam
lemak bebas dengan alkohol membentuk ester dan air. Dengan esterifikasi, kandungan asam
lemak bebas dapat dihilangkan dan diperoleh tambahan ester. Reaksi Esterifikasi :

RCOOH + CH3OH RCOOCH3 + H2O

Gambar 2.4 Reaksi Esterifikasi

Metode esterifikasi menggunakan katalis asam bertujuan mengonversi asam lemak bebas
dari minyak menjadi ester. Selanjutnya reaksi konversi trigliserida (reaksi lambat) menjadi
metil ester. Hal ini disebabkan asam lemak bebas bereaksi dengan katalis alkohol asam
sehingga membentuk metil ester dan air. Reaksi ini dipengaruhi beberapa faktor diantaranya
adalah jumlah pereaksi alkohol dan ALB, waktu reaksi, suhu, konsentrasi katalis dan
kandungan air dalam minyak. Katalis yang digunakan pada metode esterifikasi adalah katalis
asam kuat, misalnya H2SO4 atau HCl. Katalis asam tersebut selain mengesterifikasi ALB

juga mengonversi trigliserida menjadi metil ester tetapi dengan kecepatan yang lebih rendah
jika dibandingkan dengan transesterifikasi menggunakan katalis basa. Pada gambar 2.5
diperlihatkan mekanisme reaksi esterifikasi dengan katalis asam.

Mekanisme reaksi esterifikasi dengan katalis asam :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 13


Gambar 2.5 Mekanisme Reaksi Esterifikasi dengan Katalis Asam

2.2 Bahan Baku (Raw Material)

Pemilihan bahan baku pada pembuatan biodiesel merupakan salah satu faktor yang sangat
penting. Bahan baku utama biodiesel yang berupa minyak dapat diperoleh dari berbagai
sumber nabati maupun hewani. Saat ini, penelitian mengenai variasi sumber minyak untuk
bahan baku pembuatan biodiesel sedang banyak dilakukan. Berikut merupakan pemaparan
mengenai minyak nabati dan minyak hewani yang merupakan bahan baku dari biodiesel.

2.2.1 Minyak Nabati

Minyak nabati merupakan minyak yang diperoleh dari tumbuh-tumbuhan. Biodiesel dapat
dibuat dari minyak nabati maupun lemak hewan, namun yang paling umum digunakan
sebagai bahan baku pembuatan biodiesel adalah minyak nabati. Minyak nabati dan biodiesel
tergolong ke dalam kelas besar senyawa-senyawa organik yang sama, yaitu kelas ester asam-
asam lemak. Akan tetapi, minyak nabati adalah triester asam-asam lemak dengan gliserol,
atau trigliserida, sedangkan biodiesel adalah monoester asam-asam lemak dengan metanol.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 14


Perbedaan wujud molekuler ini memiliki beberapa konsekuensi penting dalam penilaian
keduanya sebagai kandidat bahan bakar mesin diesel :

1. Minyak nabati (yaitu trigliserida) berberat molekul besar, jauh lebih besar dari biodiesel
(yaitu ester metil). Akibatnya, trigliserida relatif mudah mengalami perengkahan
(cracking) menjadi aneka molekul kecil, jika terpanaskan tanpa kontak dengan udara
(oksigen).
2. Minyak nabati memiliki kekentalan (viskositas) yang jauh lebih besar dari minyak
diesel/solar maupun biodiesel, sehingga pompa penginjeksi bahan bakar di dalam mesin
diesel tak mampu menghasilkan pengkabutan (atomization) yang baik ketika minyak
nabati disemprotkan ke dalam kamar pembakaran.
3. Molekul minyak nabati relatif lebih bercabang dibanding ester metil asam-asam lemak.
Akibatnya, cetane number minyak nabati lebih rendah daripada cetane number ester
metil. Cetane number adalah tolok ukur kemudahan menyala/terbakar dari suatu bahan
bakar di dalam mesin diesel.

Walaupun memiliki perbedaan di atas, minyak nabati dan biodiesel memiliki kesamaan yaitu
memiliki komponen penyusun utama yaitu asam-asam lemak (≥ 90 %-berat). Pada proses
transesterifikasi minyak nabati diubah menjadi metal ester dari asam-asam lemak tersebut
sehingga dihasilkan produk yaitu biodiesel yang memiliki viskositas mendekati vidkositas
diesel, cetane number lebih tinggi dari diesel, dan stabil terhadap proses perengkahan.
memang bertujuan memodifikasi minyak nabati menjadi produk (yaitu biodiesel) yang
berkekentalan mirip solar, cetane number lebih tinggi, dan relatif lebih stabil terhadap
perengkahan. Semua minyak nabati dapat digunakan sebagai pengganti bahan bakar namun
dengan proses-proses pengolahan tertentu. Tabel 2.2 menunjukkan berbagai macam
tanaman penghasil minyak nabati serta produktifitas yang dihasilkannya.

Tabel 2.2 Tanaman Penghasil Minyak Nabati (Direktorat Sumber Daya Energi,

Mineral, dan Pertambangan, 2015)

Produktivitas
Nama
(ton/ha/tahun)
Sawit
24
(Elaeis guineensis)
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 15
Tabel 2.2 Tanaman Penghasil Minyak Nabati (Direktorat Sumber Daya Energi,

Mineral, dan Pertambangan, 2015) (Lanjutan)

Produktivitas
Nama
(ton/ha/tahun)
Kelapa
1,2-7,5
(Cocos nucifera)
Jarak pagar (Jatropha
5-10
curcas)
Karet
1,7
(Hevea brasiliensis)
Tebu
75-95
(Saccharum)
Ubi kayu
40-40
(Manihot esculenta)
Jagung
8-14
(Zea mays)
Sagu
25
(Metroxylon sagu)
Aren
80
(Arenga pinnata)
Shorgum
30-50
(Sorghum bicolor)

Keuntungan penggunaan minyak nabati sebagai bahan baku biodiesel:

- Tidak bersaing dengan sumber makanan manusia

- Bahan baku mudah untuk di dapatkan

- Ramah lingkungan

Kerugian penggunaan minyak nabati sebagai bahan baku biodiesel:

- Perlu menunggu masa panen

- Bergantung pada musim

2.2.2 Minyak Hewani

Minyak dan lemak ditemukan pada organisme yang hidup, biasanya mengandung asam
lemak ester dan campuran gliserin yang dikenal dengan triacylglyserols (umumnya disebut
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 16
trigliserida, yang dihidrolisis selama proses ekstraksi dan penyimpanan, sehingga dapat
melepaskan asam lemak dan gliserin. Lemak hewani sangatlah viskos dan kebanyakan
berada pada fasa padatnya pada temperatur ruang dikarenakan kandungan asam lemak
jenuhnya yang tinggi. Bahan bakar dengan viskositas yang tinggi membuat optimasi bahan
bakar buruk dan pembakaran tidak sempurna. Konsekuensi dari hal ini adalah meningkatnya
emisi dari polutan pada gas buang (Vivian., dkk, 2011). Lemak hewani umumnya terus
tersedia karena industri pemotongan hewan biasanya baik dalam mengontrol produk dan
prosedur kerjanya, tetapi pada lemak hewani terdapat permasalahan yang berkaitan dengan
hewan yang terkontaminasi.

Pada rantai daging di Brazil kebanyakan lemak hewani dihasilkan dari industry pemotongan
hewan dan industry rendering. Produk dari industry rendering biasanya memiliki nilai jual
yang rendah. Bahan baku ini tidak cocok untuk makanan manusia karena permasalahan pada
sanitari. Bahan-bahan ini diantaranya adalah, lemak, tulang, jeroan, dan bangkai dari
binatang yang di sembelih di tempat pemotongan hewan, serta binatang yang mati di
peternakan maupun di perjalanan.

Di Brazil, tidak ada klasifikasi lemak hewani, lemak hanya dibedakan berdasarkan jenis
lemak yang dihasilkan hewan, seperti lemak ayam atau minyak ikan, sapi, dan babi. Minyak
yang dihasilkan di Brazil dijelaskan sebagai berikut:
a) Sapi: diekstrak dari residu penjagalan sapi yang tidak memerlukan proses filtrasi jika
produknya mengandung minimal 90% total asam lemak, maksimal 1,5% pengotor yang
tidak dapat dihilangkan dan tidak mengandung asam lemak bebas atau produk turunan
lemak.
b) Babi: diekstrak dari residu penjagalan babi, spesifikasi dan kualitasnya terjamin sama
dengan sapi.
c) Lemak ayam; diekstrak dari residu penjagalan ayam broiler yang tidak memerlukan
proses filtrasi jika produknya mengandung minimal 90% asam lemak, maksimum 3%
pengotor yang tidak dapat dihilangkan, dan tidak mengandung asam lemak bebas atau
produk turunan dari lemak.
d) Campuran lemak hewani: diekstrak dari residu penjagalan mamalia atau burung yang
tidak memerlukan proses filtrasi jika produknya mengandung total asam lemak minimal
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 17
90%, maksimal 2% pengotor yang tidak dapat dihilangkan, tanpa asam lemak bebas
atau produk turunan dari lemak.

Perbedaan utama diantara lemak hewani dan minyak nabati adalah komposisi asam
lemaknya. Minyak nabati mempunyai kandungan asam lemak tak jenuh yang tinggi,
terutama asam oleic dan linoleic, sementara itu pada lemak hewani komposisi asam lemak
jenuhnya lebih tinggi.

Table 2.3 Rata-rata Komposisi Asam Lemak pada Minyak Nabati dan Minyak Hewani
(Vivian., dkk, 2011)
Asam 12:0 14:0 16:0 16:1 18:0 18:1 18:2 18:3 20:4 ≥ 20
Lemak
Jenis Oil
or Fat
Chicken 0,1 1-1,3 17-20,7 5,4 6-12 42,7 20,7 0,7-1,3 0,1 1,6
Lard 0,1 1-2 23,6-30 2,8 12-18 40-50 7-13 0-1 1,7 1,3
Tallow 0,1 3-6 23,3-32 4,4 19-25 37-43 2-3 0,6-0,9 0,2 1,8
Fish 0,2 6,1 14,3 10,0 3,0 15,1 1,4 0,7 0,7 56,6
Butter - 7-10 24-26 - 10-13 1-2,5 2-5 - - -
Soybean - 0,1 6-10,2 - 2-5 20-30 50-60 - - -
Rapeseed 0,2 0,1 3,9 0,2 1,7 60,0 18,8 9,5 - 4,0
Coen - 1-2 8-12 0,1 2-5 19-49 34-62 0,7 - 2,0
Olive - - 9-10 - 2-3 73-84 10-12 Traces - -
Cotton - - 20-25 - 1-2 23-35 40-50 Traces - -
Keterangan:
12:0 = Lauric acid 18:1 = Oleic Acid 16:1 = Palmitoleic acid
14:0 = Myristic acid 18:2 = Lineleic acid 18:0 = Stearic acid
16:0 = Palmitic acid 18:3 = Linolenic acid 20:4 = Arakidonat acid

Di Brazil, produk dari industri toilet dan alat kebersihan menggunakan residu lemak hewani
untuk memproduksi sabun dan lilin, sementara bagian lainnya digunakan pada produksi
pelumas dan pengawet kulit. Tetapi antara tahun 2008 dan 2009 industri pembuatan
biodiesel telah mengkonsumsi sebagian besar dari total residu dari sapi tersebut. Meskipun
Brazil juga merupakan produsen ayam dan babi, lemak dari hewan tersebut masih belum

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 18


digunakan untuk produksi biodiesel. Limbah dari tempat pemotongan hewan sebagian besar
merupakan produk samping yang tidak dapat dikonsumsi. Lemak dengan kualitas baik
digunakan untuk pembuatan obat dan kosmetik, sementara asam lemak yang memiliki nilai
jual rendah atau tidak memiliki nilai jual, menjadi target menjanjikan untuk produksi
biodiesel. Lemak dengan kualitas baik memiliki kandungan asam lemak bebas dibawah 2%,
lemak inilah yang digunakan untuk produksi obat dan kosmetik. Lemak dengan kualitas
menengah memiliki kandungan asam lemak bebas 3-5%, sementara lemak dengan kualitas
rendah memiliki kandungan asam lemak bebas diatas 5% dan dijadikan bahan baku produksi
biofuel. (Vivian., dkk, 2011)

Keuntungan menggunakan minyak hewani sebagai bahan baku biodiesel:


- Bahan baku akan selalu aja selama hewan terus ada
- Tidak mengenal musim
- Beberapa hewan tertentu mudah dikembangbiakan
- Tidak bersaing dengan makanan manusia karena yang digunakan merupakan
limbah dari hewan

Kerugian menggunakan minyak hewani sebagai bahan baku biodiesel:


- Terdapat hewan yang memerlukan masa kembangbiak yang relatif lama

2.3 Katalis Pembuatan Biodiesel dari Cangkang Kerang (CaO)

Dalam reaksi kimia, katalis merupakan perantara dalam reaksi kimia yang dapat membuat
reaksi berlangsung lebih mudah. Katalis dapat mempercepat terjadinya reaksi kimia. hal
tersebut dilakukan dengan cara berikatan dengan molekul yang bereaksi dan membuat
reaktan ini bereaksi menjadi produk. Produk akan terlepas dari katalis dan meninggalkan
katalis seperti keadaan semula sehingga katalis dapat digunakan untuk reaksi dari reaktan
yang lain (Auliya, 2008).

2.3.1 Deskripsi dan Klasifikasi Kerang Darah (Anadara granosa)

Kerang darah (Anadara granosa) merupakan salah satu jenis kerang yang terdapat di pantai
laut pada substrat lumpur berpasir dengan kedalaman 10-30 m. Anadara granosa dapat hidup
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 19
di perairan dengan suhu optimum 20-30oC serta salinitas 26-31 ppt. Komposisi kimia kerang
sangat bervariasi tergantung pada spesies, jenis kelamin, umur, dan habitat. Pada umumnya
kerang kaya akan asam suksinat, asam sitrat, asam glikolat yang erat kaitannya dengan cita
rasa dan memberikan energi sebagai kalori. Selain itu kerang juga mengandung enzim
tiaminase dalam jumlah yang besar sehingga dapat merusak vitamin B1 bila dikonsumsi
dalam keadaan mentah. Tiaminase dapat diinaktifkan dengan pemanasan atau pemasakan.
Kualitas dan keamanan konsumsi dari produk-produk perikanan merupakan hal yang sangat
penting dan perlu diperhatikan dalam hubungannya dengan dibukanya perdagangan bebas,
karena menyangkut kepercayaan konsumen dalam dan luar negeri terhadap produk yang
dihasilkan (Arita, 2014).

2.3.2 Kalsinasi

Kalsinasi berasal dari bahasa Latin yaitu calcinare yang artinya membakar kapur. Proses
kalsinasi yang paling umum adalah diaplikasikan untuk dekomposisi kalsium karbonat (batu
kapur, CaCO3) menjadi kalsium oksida (kapur bakar, CaO) dan gas karbon dioksida atau
CO2. Produk dari kalsinasi biasanya disebut sebagai “kalsin,“ yaitu mineral yang telah
mengalami proses pemanasan. Proses Kalsinasi dilakukan dalam sebuah tungku atau reaktor
yang disebut dengan kiln atau calciners dengan beragam desain, seperti tungku poros, rotary
kiln, tungku perapian ganda, dan reaktor fluidized bed. Normalnya proses kalsinasi
dilakukan di bawah temperatur leleh (melting point) dari bahan produk. Untuk batu kapur,

proses kalsinasi umumnya dilakukan pada temperatur antara 900 – 1000oC. Berikut
beberapa contoh proses kalsinasi antara lain :

1) Dekomposisi mineral karbonat seperti pada kalsinasi calcium karbonat (limestone)


menjadi calsium oksida dan gas carbon dioksida.
2) Dekompisisi mineral hidrat seperti pada kalsinasi bauxsite yang bertujuan untuk
membuang air Kristal
3) Dekomposisi zat mudah menguap yang terkandung pada petroleum coke.

(Arita, 2014)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 20


2.3.3 Kalsium oksida (CaO)

Nama lain dari kalsium oksida adalah lime, caustic, quicklime atau gamping. Kalsium oksida
(CaO) merupakan oksida basa yang didapat dari batuan gamping dimana terkandung
kalsium oksida sedikitnya 90% dan magnesia 0- 5%, kalsium karbonat, silika, alumina, feri
oksida terdapat sedikit sebagai ketidakmurnian. Ditinjau dari komposisinya, ada beberapa
jenis gamping. Gamping hidraulik didapat dari pembakaran batu gamping yang mengandung
lempung, gamping berkadar kalsium tinggi lebih dimanfaatkan didalam reaksi kimia.

Pada suhu dibawah 650oC tekanan keseimbangan CO2 hasil dekomposisi cukup rendah.

Akan tetapi suhu antara 650oC sampai 900oC, tekanan dekomposisi itu cukup meningkat

(Austin, 1984). Kalsinasi CaCO3 pada suhu 900oC.

CaCO3(s) CaO(s) + CO2(g)

Gambar 2.6 Mekanisme Reaksi Pembentukan CaO

CaO memiliki sisi-sisi yang bersifat basa dan CaO telah diteliti sebagai katalis basa yang
kuat dimana untuk menghasilkan biodiesel menggunakan CaO sebagai katalis basa
mempunyai banyak manfaat, misalnya aktivitas yang tinggi, kondisi reaksi yang rendah,
masa katalis yang lama, serta biaya katalis yang rendah. Beberapa keuntungan dari
penggunaan CaO sebagai katalis:

1) Murah dan mudah di dapat.


2) Mudah dipisahkan dari produk.
3) Yield yang dihasilkan tinggi.

(Arita, 2014)

2.4 Karakterisasi Limbah Lemak Hewani

Beberapa penelitian mengenai biodiesel dari limbah lemak hewani telah dilakukan.
Diantaranya biodiesel yang dihasilkan dari minyak ulat hongkong, mikrolaga, limbah kulit

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 21


ayam, limbah ayam broiler, dan limbah lemak ayam. Pada subab ini, karakteristik dari
biodiesel yang dihasilkan dari sumber sumber berikut akan dijelaskan lebih lanjut.

2.4.1 Minyak Ulat Hongkong (Yellow Mealworm Beetle Grease)

Menurut Zheng L., dkk, Ulat hongkong atau Yellow Mealworm beetle (YMB) yang
cenderung memakan biji-bijian busuk atau biji-bijian giling dengan kondisi yang lembab
dan buruk. Setiap induk YMB dapat bertelur sekitar 300 telur yang dapat menetas dalam
waktu 10-14 hari. YMB ini biasanya digunakan sebagai sumber protein tradisional terutama
pada akuakultur. Tetapi belum ada studi lebih lanjut tentang penggunaan minyak YMB
sebagai bahan baku biodiesel.

YMB yang digunakan diberi pakan berupa sayuran busuk dan di panen setelah 9 minggu
untuk di ekstrak minyaknya. Ekstraksi dilakukan menggunakan beberapa solvent organik,
dimana hasil dengan efisiensi tertinggi dan energi terendah didapat dengan menggunakan
solvent berupa patroleum eter. Setelah diekstraksi minyak YMB dibersihkan dari
pengotornya. Selain biodiesel dari minyak ulat hongkong, pada penelitian yang dilakukan
oleh Zheng L., dkk juga membandingkan biodiesel yang dihasilkan dari serangga lain yaitu
larva lalat tentara hitam dan dari minyak biji-bijian. Sifat biodiesel yang diproduksi dari
minyak YMB dibandingkan dengan standar biodiesel yang digunakan sebagai bahan bakar
di Eropa (EN 14214), biodiesel dari BSFL (Black Soldier Fly Larvae) dan minyak biji-bijian
yaitu :

Tabel 2.4 Perbandingan Komposisi Biodiesel (Zheng dkk., 2012)

BSFL Rapeseed
Properties EN 14214 YMB biodiesel
biodiesel biodiesel
Ester content (%) 96,5 min 96,8 97,2 -
Density (kg/m3) 860-900 860 872 880
Viscosity at 40OC
3,5-5,0 5,9 5,8 4,83
(mm/kg)
Water content (mg/kg) 500 max 300 300 300
Flash point (closed cup)
120 min 127 121 -
(OC)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 22


Tabel 2.4 Perbandingan Komposisi Biodiesel (Zheng dkk., 2012) (Lanjutan)

BSFL Rapeseed
Properties EN 14214 YMB biodiesel
biodiesel biodiesel
Cetane number 51 min 58 53 45
Acid number (mg
<0,5 0,9 0,8 0,31
KOH/g)
Methanol or ethanol
0,2% 0,2% 0,3% -
(et.%)
Distillation - 92% at 360 oC 91% At 360 OC 91% At 352 OC

2.4.2 Mikroalga

Menurut Yusuf Chisti, mikroalga dapat memberikan beberapa jenis biofuel yang berbeda.
Antara lain menghasilkan metana dengan proses anaerobic oleh biomassa alga (ganggang),
biodiesel yang berasal dari minyak mikroalga, dan biohydrogen dari proses photobiologis.
Ide untuk menggunakan mikroalga sebagai sumber untuk bahan bakar tidaklah baru, tetapi
sekarang ini dianggap lebih serius dikarenakan harga minyak bumi yang terus menerus
meningkat, dan yang lebih signifikan, timbulnya persoalan pemanasan global yang berkaitan
dengan pembakaran bahan bakar fosil.

Tabel 2.5 Perbandingan Beberapa Sumber Biodiesel (Chisti, Y., 2007)


Land area needed Percent of existing
Crop Oil Yield (L/ha)
(M ha)a US cropping area
Corn 172 1540 846
Soybean 446 594 326
Canola 1190 223 122
Jatropha 1892 140 77
Coconut 2689 99 54
Oil palm 5950 45 24
Microalgaeb 136.900 2 1,1
Microlagaec 58.700 4,5 2,5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 23


Keterangan:
a
Untuk mencapai 50% dari seluruh bahan bakar yang digunakan untuk transportasi
di US
b
70% minyak dalam biomass
c
30% minyak dalam biomass

Dari Tabel 2.5 terlihat bahwa dibandingkan dengan tanaman yang lain mikroalga merupakan
yang paling berpotensi digunakan sebagai sumber biodiesel menggantikan solar. Tidak
seperti yang lain, mikroalga tumbuh dengan sangat cepat dan banyak yang sangat kaya akan
minyak. Mikroalga biasanya melipatgandakan biomassa nya dalam 24 jam. Penggandaan ini
saat fasa pertumbuhan eksponensial biasanya hanya selama 3 jam. Kandungan minyak dari
mikroalga dapat melebihi 60% dari berat biomassa kering. Produktivitas minyak, yaitu
massa dari minyak yang diproduksi per volume mikroalga per hari, bergantung pada laju
pertumbuhan alga dan kandungan minyak dari biomassa. Mikroalga dengan produktivitas
minyak yang tinggi ini lah yang diinginkan saat produksi biodiesel. Berdasarkan jenisnya,
mikroalga menghasilkan lipid, hidrokarbon, dan minyak majemuk lain yang berbeda-beda
jenis. Tidak semua minyak alga dapat digunakan untuk produksi biodiesel, tetapi minyak
yang sesuai lebih sering ditemui. Penggunaan mikroalga dalam produksi biodiesel tidak akan
membahayakan produksi makanan, makanan ternak, dan produk lain yang berasal dari
tanaman.

Biodiesel dari mikroalga haruslah memenuhi standar yang sudah ada (EN 14124). Minyak
mikroalga berbeda dengan kebanyakan minyak sayur dalam banyak nya asam lemak tak
jenuh ganda sebanyak 4 atau lebih ikatan rangkap. Asam lemak dan metil ester asam lemak
dengan 4 atau lebih ikatan rangkap rentan teroksidasi selama penyimpanan dan hal ini dapat
menurunkan penerimaan mereka sebagai biodiesel. Standar EN 14124 dalam batasan jumlah
asam linolenic metil ester pada biodiesel untuk kendaraan yaitu sebesar 12%(mol). Selain
itu, kriteria lain yang harus dipenuhi adalah total ketidakjenuhan dari minyak yang
ditunjukkan dengan iodine value. Standar EN 14124 mengharuskan nilai iodine tidak lebih
dari 120 g iodine/100 g biodiesel. Jika dilihat dari nilai tersebut, kebanyakan minyak
mikroalga tidak memenuhi standar. Kadar ketidakjenuhan minyak dan kandungan asam
lemak dengan 4 atau lebih ikatan rangkap dapat dikurangi dengan mudah dengan
menghidrogenasi katalis parsial minyak. (Chisti, Y., 2007)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 24


2.4.3 Limbah Kulit Ayam

Menurut Khartik A. V., dkk, minyak dari limbah kulit ayam memiliki kandungan asam
lemak bebas sebanyak 2,397% dan proses transesterifikasi satu tahap cukup untuk
memproduksi biodiesel. Yang menjadi masalah adalah kandung air pada biodiesel yang
dapat mengganggu proses transesterifikasi. Namun, biodiesel harus dicampur dengan solar
untuk meningkatkan efisiensinya. Dengan pencampuran pada B20 dan B40.

2.4.4 Limbah Ayam Broiler

Menurut Abraham, J., dkk, minyak dari ayam memiliki kandungan asam lemak bebas yang
tinggi dan dapat dikonversi menjadi biodiesek berkualitas baik dengan proses esterifikasi
dan transesterifikasi. Tetapi metil ester minyak ayam ini harus dicampur dengan solar untuk
meningkatkan efisiensinya. Pada Tabel 2.6 ditampilkan sifat biodiesel yang diproduksi dari
limbah ayam broiler.

Tabel 2.6 Sifat Biodiesel dari Limbah Ayam Broiler (Abraham, J., dkk, 2015)

BIS
Fuel properties B100 B20 B00 (Diesel)
Specification
Kinematic viscosity at 40oC (cST) 5,83 ± 0,05 2,5-6,0 4,74 ± 0,03 4,43 ± 0,04
Flash point (oC) 172,16 ± 0,16 120 mini 52,5 ± 0,28 50,26 ± 0,37
Fire point (oC) 183 - 65,56 ± 0,06 60
Ash content (oC) 0,23 ± 0,04 - 0,37 ± 0,01 0,21 ± 0,01
Gross calorific value (MJ/kg) 38,7 ± 0,10 - 39,46 ± 0,20 42,42 ± 0,12

2.4.5 Limbah Lemak Ayam

Menurut Ahmed., dkk, limbah lemak ayam berbahaya untuk manusia dikarenakan
kandungan lemak pada chicken. Karena hal itu terdapat limbah lemak ayam yang melimpah
dan dapat dimanfaat sebagai bahan baku untuk biodiesel. Setelah diproduksi diteliti sifat
kimia dari biodiesel yang didapatkan. Hasil yang didapat ditampilkan pada tabel 2.7 berikut:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 25


Tabel 2.7 Sifat Biodiesel dari Limbah Lemak Ayam (Ahmed., dkk, 2016)
No. Properties/Elements Chicken Biofuel Biodiesel
1. Density (g/cm3) 0,869 0,88
2. Carbon Residue 2,146% 0,05%
3. Viscosity (cp) 4,56 1,9-6,0
4. Acid Value 0,4573 0,5
5. Carbon % 64,14 77
6. Sulphur % 0,02 0,05
7. Hydrogen % 13,99 12

Dari hasil tersebut, terlihat bahwa biodiesel nya memenuhi standar kecuali kandungan
karbon dan nilai residu karbon. Nilai residu karbon dari biodiesel tinggi. Hal ini dapat
dikurangi dengan pencucian hingga kandungan sabun dan pengotor lainnya hilang. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa biofuel ini dapat dijadikan energi alternatif.

2.5 Produksi Biodiesel dari Minyak Ulat Hongkong (YMB Grease)

Serangga terdistribusi secara luas di hampir seluruh permukaan bumi. Dalam beberapa tahun
kebelakang ini, serangga telah menarik perhatian para peneliti untuk menggunakannya
sebagai potensi sumber energi. Kemampuan serangga mengkonversi limbah organic
menjadi akumulasi lemak di dalam tubuh nya merupakan salah satu faktor yang menarik
perhatian para peneliti. (Zheng, dkk., 2012). Ulat hongkong atau Yellow Mealworm beetle
(YMB) merupakan jenis serangga yang dapat digunakan menjadi bahan baku biodiesel. Ulat
hongkong terlebih dahulu diekstrasi untuk mengambil kandungan minyak didalamnya. Pada
penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Zheng L., dkk, minyak ulat hongkong
diekstraksi dengan menggunakan beberapa pelarut untuk mengetahui pelarut mana yang
memiliki efisiensi paling tinggi. Patroleum Ether didapat sebagai pelarut yang memiliki
efisiensi tertinggi dengan energi yang rendah. Minyak diekstraksi dari ulat hongkonh yang
terlebih dahulu telah di keringkan. Pada Tabel 2.8 dibawah ini, ditampilkan sifat dari minyak
ulat hongkong. Kemudian, pada Tabel 2.9, ditampilkan kandungan asam lemak yang
terdapat pada minyak ulat hongkong.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 26


Tabel 2.8 Sifat Minyak Ulat Hongkong (Zheng., dkk, 2012)
Property YMB grease
Acid value (mg KOH/g) 7,6
Iodine value (gl/100 g) (wt.%) 96
Safonification value (mg KOH/g) 162
Cloud point (oC) 3,7
Peroxide value (meq/kg) 0,27

Tabel 2.9 Kandungan Asam Lemak pada Minyak Ulat Hongkong (Zheng., dkk, 2012)
Fatty acids YMB Biodiesel
Saturated fatty acids
Capric acid (10:0) 1,2
Lauric Acid (12:0) 1,3
Myristic Acid (14:0) 8,1
Palmitic acid (16:0) 17,6
Stearic acid (18:0) 11,4
Unsaturate fatty acids
Palmitoleic acid (16:1) 9,3
Oleic acid (18:1) 1,6
Linoleic acid (18:2) 16,3
Linolenic acid (18:3) 19,7
Odd acrbochain fatty acids
Pentadecanoic acid (15:0) 1,5
Heptadecanoic acid (17:0) 1,7
Nonadecanoic acid (19:0) 2,6

Dikarenakan bilangan asam dari minyak ulat hongkong yang terlampau tinggi, maka
produksi biodiesel dari minyak ulat hongkong melalui dua tahap yaitu esterifikasi yang
diikuti transesterifikasi. Esterifikasi dilakukan menggunakan katalis asam dan bertujuan
untuk menurunkan keasaman dari minyak. Kemudian lapisan bagian atas pada reaktor
dipisahkan dan dilakukan transesterifikasi menggunakan katalis basa. Transesterifikasi
dilakukan dengan methanol dan NaOH. Lapisan bagian atas dari hasil transesterfikasi
dipisahkan kemudian dimurnikan untuk menghilangkan residu methanol yang tertinggal.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 27


Biodiesel yang dihasilkan dari minyak ulat hongkong memiliki spesifikasi seperti yang di
tampikan pada Tabel 2.10.

Tabel 2.10 Spesifikasi Biodiesel dari Minyak Ulat Hongkong Dibandingkan dengan
Standar Biodiesel yang Digunakan Sebagai Bahan Bakar di Eropa (Zheng., dkk, 2012)
Properties EN 14214 YMB biodiesel
Ester content (%) 96,5 min 96,8
Density (kg/m3) 860-900 860
Viscosity at 40OC (mm/kg) 3,5-5,0 5,9
Water content (mg/kg) 500 max 300
Flash point (closed cup) (OC) 120 min 127
Cetane number 51 min 58
Acid number (mg KOH/g) <0,5 0,9
Methanol or ethanol (et.%) 0,2% 0,2%
Distillation - 92% at 360 oC

2.6 Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu mengenai proses pembuatan biodiesel dari sumber hewani dan nabati
disajikan pada Tabel 2.11

Tabel 2.11 Transesterifikasi pada Penelitian Terdahulu


Raw Material Pelarut:Raw Katalis Temperatur Yield Pustaka
material (oC) (%)
Limbah Kulit 3:10 NaOH 60 73-80% Karthik A. V.,
Ayam dkk, 2018
Ulat - NaOH 65 82% Zheng, dkk,
Hongkong 2012
(YMB)
Minyak 6:1 NaOH 60 92% Mamilla V.
Kelapa Sawit R., dkk, 2012

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 28


Tabel 2.11 Transesterifikasi pada Penelitian Terdahulu (Lanjutan)
Raw Material Pelarut:Raw Katalis Temperatur Yield Pustaka
material (oC) (%)
Minyak Jarak 3:1 KOH 60 89,80% Opayemi A.
O., dkk,
Tahun?
Minyak 2:10 NaOH 65 - Hossain A.,
Kelapa dkk, 2012
Crude Palm 3,5:10 CaO 60-65 52,4% Arita, dkk,
oil (CPO) 2014

Berdasarkan Tabel 2.11 penelitian akan dilakukan dengan pembuatan biodiesel dari minyak
hewani yaitu minyak ulat hongkong, menggunakan katalis CaO (Kalsium Oksida). Variasi
waktu operasi yang akan digunakan yaitu 45, 60, 75 dan 90 menit dengan temperature 65oC.
Dengan kondisi waktu terbaik dilakukan kembali pembuatan biodiesel dengan perbandingan
massa minyak ulat hongkong dan methanol 7:1, 7:1,5, 7:2, 7:3 dan 7:4. Parameter yang akan
diukur antara lain %yield, densitas, viskositas, bilangan iod, nilai kalor, dan kandungan
biodiesel.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 29


BAB II TINJAUAN PUSTAKA 30
BAB III

METODOLOGI PERCOBAAN

3.1 Tahapan Penelitian

Pada penelitian ini, dilakukan tahap – tahap yang meliputi penyiapan bahan baku,
reaksi pembentukan metil ester, pemurnian biodiesel dari gliserol dan analisis
biodiesel. Adapun proses pembuatan biodiesel yang akan dipelajari adalah pada
tahap penyiapan bahan baku dan reaksi pembentukan metil ester. Pada proses
transesterifikasi dipengaruhi oleh variabel–variabel seperti perbandingan molar
metanol dan minyak ulat hongkong yang digunakan sebagai parameter. Parameter
yang divariasikan untuk dipelajari pada proses transesterifikasi adalah:
 Waktu operasi 45, 60, 75 dan 90 menit
 Perbandingan mol metanol terhadap minyak ulat hongkong: 7:1, 7:1,5, 7:2,
7:3 dan 7:4

Untuk parameter tetap yang digunakan pada penelitian adalah temperatur reaksi
65oC menggunakan reaktor dengan tipe berpengaduk yang dioperasikan dengan
kecepatan pengadukan tertentu.

3.2 Alat dan Bahan

3.2.1 Alat

Tabel 3.1 Alat


No Nama alat Jumlah
1 Gelas Ukur 100 mL 1
2 Oven 1
3 Nampan 1
4 Hot Plate 1
5 Kondensor 1
6 Labu erlenmeyer + tutup 5
7 Labu dasar bulat leher tiga 2
8 Magnetic stirrer 2

31
Tabel 3.1 Alat (Lanjutan)
No Nama alat Jumlah
9 Termometer 1000 C 3
10 Decanter 1
11 Piknometer 25 mL 2
12 Viskometer Ostwald 1
13 Statif + klem 4
14 Gelas kimia 500 mL 2
15 Buret 1
16 Selang 5
17 Botol semprot 2
18 Gelas ukur 50 mL 2
19 Kaca arloji 2
20 Spatula 1
21 Batang pengaduk 1
22 Neraca teknis 1
23 Neraca analitik 1
24 Pipet tetes 2
25 Filler 1
26 Adapter 2
27 Stillhead 1
28 Heater 2
29 Mesin press ekstraktor 1
30 Sarigan mesh 1
31 Corong pemisah 1

3.2.2 Bahan

Tabel 3.2 Bahan


No Nama Bahan
1 Minyak ulat Hongkong
2 Asam Sulfat
3 Metanol
4 Cangkang kerang
5 Indikator Phenolptalein
6 Natrium Tiosulfat
7 Kalium iodat
8 Indikator pati

BAB III METODOLOGI PERCOBAAN 32


Tabel 3.2 Bahan (Lanjutan)
No Nama Bahan
9 Kalsium Oksida
10 Kloroform
11 Natrium Hidroksida

Alat yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 3.1, Gambar 3.2, dan Gambar 3.3

Gambar 3.1 Skema Alat Ekstraksi

Keterangan:
1. Labu leher tiga
2. Magnetic stirrer
3. Hotplate
4. Termometer
5. Kondensor
6. Statif
7. Water Bath

Gambar 3.2 Skema alat Esterifikasi dan Transesterifikasi

BAB III METODOLOGI PERCOBAAN 33


Gambar 3.2 Skema Pemisahan Metil ester

Keterangan:
1. Hot plate 15. Umpan
2. Labu leher tiga 16. Cooling bath
3. Still head
4. Termometer
5. Kondensor
6. Air pendingin masuk
7. Air pendingin keluar
8. Labu bulat
9. Vaccum/gas inlet
10. Adaptor
11. Pengontrol panas
12. Pengaduk
13. Stirrer/heat plate
14. Heating bath

BAB III METODOLOGI PERCOBAAN 34


3.3 Prosedur Percobaan

Prosedur pada pembuatan biodiesel dari minyak ulat hongkong ini dimulai dengan
persiapan bahan baku dan katalis kemudian dilanjutkan ke prosedur inti yaitu
pembentukan biodiesel.

3.3.1 Persiapan bahan baku (Ekstraksi ulat hongkong)

Ulat hongkong dimasukkan ke dalam oven sampai mencapai suhu 100oC selama 15
menit. Ulat hongkong kering dihancurkan menggunakan blender. Ulat hongkong
yang hancur dimasukkan ke dalam ekstraktor untuk di ekstrak kandungan minyak
nya. Minyak yang dihasilkan kemudian disaring menggunakan saringan. Sehingga
didapatkan minyak mentah ulat hongkong.

3.3.2 Persiapan katalis

Cangkang kerang dicuci dengan air bersih sampai seluruh kotoran dan debu hilang
pada permukaan.Sampel yang telah bersih dikeringkan pada sinar matahari selama
dua hari diikuti dengan pengeringan dalam oven pada suhu 110oC selama dua hari.
Sampel dihancurkan menggunakan mortar. Diayak dengan ukuran partikel antara
8-16 mesh. Serbuk cangkang kerang dikalsinasi pada suhu 900oC selama 4 jam
dengan dialiri gas nitrogen.

3.3.3 Penentuan bilangan asam

5 gram sampel minyak ulat hongkong ditimbang menggunakan labu Erlenmeyer


250 mL. 25 mL alkohol netral ditambahkan ke dalam labu Erlenmeyer berisi
sampel. Labu erlenmeyer dihubungkan dengan pendingin tegak kemudian
dididihkan diatas penangas air selama ±30 menit. Larutan pada labu Erlenmeyer
didinginkan kemudian dititrasi menggunakan NaOH 0,1N dengan penambahan
indikator penolpthalein.

BAB III METODOLOGI PERCOBAAN 35


3.3.4 Pembentukan Biodiesel

Pada pembentukan biodiesel akan dilakukan melalui dua proses yaitu proses
esterifikasi kemudian dilanjutkan dengan transesterifikasi.

3.3.4.1 Proses Esterifikasi

Alat untuk proses esterifikasi dirangkai sesuai skema alat pada Gambar 3.1.
Methanol dan katalis H2SO4 dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer leher tiga.
Larutan tersebut dipanaskan sampai mencapai suhu 50oC. Sebanyak 250 mL
minyak ulat hongkong ke dalam labu Erlenmeyer leher tiga. Campuran tersebut
dipanaskan hingga suhu 65oC selama 3 jam, kemudian dimasukkan ke dalam
corong pemisah. Campuran didiamkan hingga terbentuk 2 lapiran (lapisan bawah
adalah endapan katalis dan lapisan atas adalah minyak ulat hongkong). Campuran
yang telah terbentuk 2 lapisan dipisahkan dengan corong buchner. Minyak yang
telah dipisahkan selanjutnya dilakukan proses transesterifikasi.

3.3.4.2 Proses Transesterifikasi


Alat untuk proses transesterifikasi dirangkai sesuai dengan skema alat pada Gambar
3.1. Methanol dan katalis cangkang kerang dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer
leher tiga. Larutan tersebut dipanaskan sampai mencapai suhu 50oC. Sebanyak 250
mL minyak ulat hongkong ke dalam labu Erlenmeyer leher tiga. Campuran tersebut
dipanaskan hingga suhu 65oC selama 3 jam, kemudian dimasukkan ke dalam
corong pemisah. Campuran didiamkan hingga terbentuk 2 lapiran (lapisan bawah
adalah endapan katalis dan lapisan atas adalah biodiesel). Sementara itu alat
distilasi dirangkai sesuai dengan skema alat pada Gambar 3.2. Campuran yang telah
terbentuk 2 lapisan dipisahkan dengan corong pemisah. Lapisan atas dimasukkan
ke dalam labu dasar bulat leher tiga untuk selanjutnya dilakukan proses distilasi.
Campuran dipanaskan hingga mencapai suhu 65oC. Proses distilasi dihentikan
ketika tidak ada lagi distilat yang keluar. Larutan pada labu dasar bulat yang telah
di distilasi dimasukkan ke dalam corong pisah dan didiamkan selama 15 jam.
Larutan akan terbentuk beberapa lapisan dengan lapisan paling atas adalah metil

BAB III METODOLOGI PERCOBAAN 36


ester yang kemudian akan dipisahkan. Percobaan selanjutnya dilakukan dengan
parameter percobaan yang lain.

3.4 Analisis Produk

Produk biodiesel yang diperoleh akan dianalisis kandungannya. Analisis yang akan
dilakukan antara lain adalah penetuan densitas dari biodiesel, penentuan viskositas,
penentuan bilangan bilangan iodine, penentuan nilai kalor dan penentuan
kandungan biodiesel.

3.4.1 Penentuan Densitas

Piknometer kosong ditimbang dan dicatat massanya. Aquadest dimasukkan


kedalam piknometer kosong hingga penuh kemudian ditimbang dan dicatat
massanya. Piknometer kosong dimasukkan ke dalam oven pada suhu 100oC
sampai aquadest dalam piknometer menguap. Piknometer dikeluatkan dari oven
kemudian dimasukkan ke dalam desikator sampai tidak ada air yang tersisa pada
piknometer. Biodiesel (40°C) dimasukkan ke dalam piknometer kosong hingga
penuh kemudian ditimbang dan dicatat massanya.

3.4.2 Penentuan viskositas

Aquadest dimasukkan ke dalam viskometer ostwald hingga bagian cembung terisi


setengahnya. Aquadest dihisap dengan filler hingga tanda batas atas. Waktu
turunnya aquadest dari tanda batas atas hingga tanda batas bawah dihitung dan
prosedur tersebut dilakukan sebanyak 3 kali. Selanjutnya biodiesel (40°C)
dimasukkan ke dalam viskometer Ostwald hingga bagian cembung terisi
setengahnya. Biodiesel dihisap dengan filler hingga tanda batas atas. Waktu
turunnya biodiesel dari tanda batas atas hingga tanda batas bawah dihitung dan
prosedur tersebut dilakukan sebanyak 3 kali.

BAB III METODOLOGI PERCOBAAN 37


3.4.3 Penentuan Bilangan Iodine

Sebanyak 0,5 gram minyak ulat hongkong ditimbang dan dimasukkan ke dalam
labu Erlenmeyer 250 mL. Minyak ulat hongkong yang telah ditimbang dilarutkan
dengan 1 mL CHCl3. 5 mL larutan Hanus I ditambahkan pada campuran dan
dibiarkan selama 30 menit. 1 mL Larutan KI 15 % ditambahkan sambil dikocok
secara perlahan. 10 mL aquadest dingin ditambahkan ke dalam Larutan. Larutan
dititrasi dengan 0,1 N Na2S2O3 sampai warna kuning menjadi agak pucat.
Beberapa tetes indikator pati ditambahkan dan titrasi dilanjutkan sampai warna
biru hilang kemudian bilangan iodine dihitung.

3.4.4 Penentuan Nilai Kalor

Sampel biodiesel yang akan diukur nilai kalornya ditimbang sebanyak 1 gram.
Kawat pada tangkai penyala yang terpasang pada tutup bomb digulung dan
dipasang. Cawan berisi sampel biodiesel ditempatkan pada ujung tangkai penyala.
Bomb ditutup dengan kuat kemudian diisikan oksigen dengan tekanan 15-20 bar.
Bomb yang telah terpasang ditempatkan pada calorimeter dan dimasukkan air
pendingin sebanyak 1250 mL. Kalorimeter ditutup kemudian dihidupkan pengaduk
air pendingin selama 5 menit sebelum dilakukan penyalaan. Temperature air
pendingin dibaca dan dicatat. Penyalaan dihidupkan sambil pengaduk air pendingin
tetap dinyalakan selama 5 menit setelah penyalaan. Temperature air pendingin
dibaca dan dicatat kembali kemudian pengaduk dimatikan.

3.4.5 Penentuan Kandungan Biodiesel

Kandungan dari biodiesel yang didapat akan ditentukan melalui GCMS (Gas
Chromatography Mass Spectrometry). GCMS adalah terdiri dari dua prinsip utama
yaitu kromatografi gas dan spektrometer massa. Kromatografi gas menggunakan
kolom kapiler yang bergantung pada dimensi kolom itu (panjang, diameter,
ketebalan film) serta sifat fase. Perbedaan sifat kimia antara molekul-molekul yang
berbeda dalam suatu campuran dipisahkan dari molekul dengan melewatkan
sampel sepanjang kolom. Molekul-molekul memerlukan jumlah waktu yang

BAB III METODOLOGI PERCOBAAN 38


berbeda (disebut waktu retensi) untuk keluar dari kromatografi gas, dan ini
memungkinkan spectrometer massa untuk menangkap, mempercepat,
membelokkan dan mendeteksi molekul terionisasi secara terpisah. Spectrometer
massa melakukan hal ini dengan memecah masing-masing molekul terionisasi
mendeteksi fragmen menggunakan massa untuk mengisi rasio.

BAB III METODOLOGI PERCOBAAN 39


3.5 Jadwal Kegiatan
Tabel 3.3 Jadwal kegiatan

bulan ke- Bulan ke- Bulan ke- Bulan ke-


No Kegiatan 1 2 3 4
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1 Peminjaman alat
2 persiapan bahan
penentuan bilangan
3
asam
Proses esterifikasi
4
dengan katalis asam
proses
transesterifikasi
dengan
5 perbandingan molar
dan waktu operasi
sebagai variabel
bebas
pemurnian biodiesel
6
dari gliserol
Uji viskositas
7
biodiesel
8 Uji densitas biodiesel
Uji bilangan iod
9
biodiesel
Uji nilai kalor
10
Biodiesel
Penentuan
11
Kandungan biodiesel
Pengambilan data
12
pengamatan
Bimbingan dan atau
13
evaluasi
14 Progres
15 Penulisan laporan
Pengembalian alat
16
yang dipinjam

BAB III METODOLOGI PERCOBAAN 40


BAB III METODOLOGI PERCOBAAN 41
BAB III METODOLOGI PERCOBAAN 42

Anda mungkin juga menyukai